Rabu, 07 Oktober 2015

Into Thin Air --- BAB XVI

                  INTO THIN AIR
                       BAB XVI
                JALUR SELATAN
        11 MEI 1996, PUKUL 06.00
                   26.000 KAKI

Saya tidak percaya pada ringkasan, apapun yang meluncur meloncati waktu, pernyataan berlebihan bahwa seseorang mengendalikan cerita; saya pikir, seseorang yang mengaku memahami tetapi jelas-jelas bersikap tenang, seseorang yang mengaku menulis dengan emosi yang diingatnya kembali dalam suasana tenang, adalah seorang bodoh dan pembohong. Memahami berarti merasa takut. Mengingat berarti mengalami kembali dan kembali terkoyak...Saya mengagumi keberanian seseorang untuk berlutut jika berhadapan dengan kejadian seperti itu.

Harold Brodkey
“Manipulations”

Stuart Hutchison akhirnya berhasil membangunkanku pada pukul 06.00 pagi, pada 11 Mei. “Andy tidak ada ditendanya,” katanya dengan murung, “dan dia juga tidak ada ditenda manapun. Kukira dia tidak berhasil sampai kemari.”
“Harold hilang?” tanyaku. “Tidak mungkin. Aku melihatnya berjalan ke batas perkemahan dengan mataku sendiri.” Terguncang dan bingung, aku memakai sepatuku dan bergegas keluar untuk mencari Harris. Angin masih bertiup kencang---cukup kuat untuk membuatku terjatuh beberapa kali---tetapi udara pagi cukup terang dan jernih, dan jarak pandang pun cukup baik. Aku mencari-cari disetengah wilayah Jalur Selatan selama lebih dari satu jam, mengintip ke balik setiap bongkahang batu dan memeriksa tenda-tenda yang koyak dan sudah lama ditinggalkan, tetapi aku tidak menemukan jejak Harris. Adrenalin mengalir cepat di pembuluh darahku. Air mata memenuhi kelopak mataku, yang langsung membeku dan membuat mataku tertutup. Bagaimana mungkin Andy hilang? Tidak mungkin.
Aku mendatangi kembali tempat Harris meluncur melalui lereng tepat diatas Jalur Selatan dan secara cermat  menelusuri rute yang dia tempuh saat menuju perkemahan, melalui selokan es yang lebar dan hampir datar. Dititik tempat aku melihatnya untuk terakhir kali, yaitu ketika gumpalan awan menutupi pemandanganku, sebuah belokan tajam ke arah kiri akan membawa Harris ke sebuah tonjolan batu, empat puluh atau lima puluh kaki dari perkemahan.
Tetapi aku menyadari bahwa jika dia tidak membelok kekiri melainkan berjalan lurus mengikuti selokan---sesuatu yang dengan mudah bisa terjadi ditengah hamparan  warna putih yang sangat luas ini, meskipun orang itu tidak kelelahan dan hanya setengah linglung akibat pengaruh ketinggian---dengan cepat dia akan tiba di tepi barat dari Jalur Selatan. Dibawahnya, lereng es yang curam dan berwarna kelabu dari Lhotse Face menukik tajam dan vertikal sedalam 4.000 kaki sampai ke dasar Cwm Barat. Berdiri ditempat itu, tidak berani bergerak lebih dekat ke bibir jurang, aku meihat jejak samar sebuah sepatu paku yang melewatiku menuju tepi jurang. Jejak itu, pikirku ketakutan, mungkin jejak Andy Harris.
Setibanya diperkemahan kemarin malam, aku mengatakan pada Hutchison bahwa aku melihat Harris tiba dengan selamat di perkemahan. Hutchison mengirimkan kabar itu melalui radio ke Base Camp, dan dari sana berita itu dikirimkan melalui telepon satelit kepada wanita yang hidup bersama Harris di Selandia Baru, Fiona McPherson. Fiona merasa sangat lega saat dia tahu bahwa Harris sudah selamat tiba di Camp. Tetapi, sekarang istri Hall di Christchurch harus mengabarkan kekeliruan itu---bahwa Andy ternyata hilang dan diduga tewas. Membayangkan percakapan telepon yang terjadi  dan peranku didalam peristiwa ini, membuatku terjatuh keatas lutut sambil menghela napas kering, muntah berkali-kali ditengah tiupan angin dingin yang menerpa punggungku.
Setelah sia-sia mencari Andy selama enam puluh menit, aku kembali ke kemahku dan tanpa sengaja aku mendengar percakapan radio  antara Base Camp dengan Rob Hall; ternyata Rob masih berada di lereng dekat puncak dan sedang menelepon untuk meminta bantuan. Kemudian Hutchison mengatakan padaku bahwa Beck dan Yasuko sudah tewas dan Scott Fischer hilang disatu tempat di puncak sana. Tidak lama kemudian, baterai radio kami habis sehingga kami terisolasi dari tempat-tempat lain digunung itu. Karena mereka takut kehilangan kontak dengan kami, beberapa anggota tim IMAX di Camp Dua menelepon tim Afrika Selatan, yang tendanya berada di Jalur Selatan, beberapa meter dari tempat kami. David Breashers---pemimpin IMAX dan pendaki yang sudah kukenal selama dua puluh tahun---melaporkan, “Kami tahu tim Afrika Selatan memiliki radio yang kuat dan berfungsi dengan baik, jadi kami meminta salah satu anggota tim mereka untuk menghubungi Woodall di Jalur Selatan dan mengatakan, ‘Kita sedang menghadapi keadaan darurat. Orang-orang sedang sekarat diatas sana. Kami harus bisa berkomunikasi dengan anggota tim Hall yang masih hidup untuk pembentuk tim pencari. Tolong pinjamkan radio Anda kepada Jon Krakauer.’ Tetapi, Woodall menolak permintaan kami. Dia tahu apa yang sedang dipertaruhkan, tetapi tetap menolak meminjamkan radio mereka.” Sesaat setelah ekspedisi berakhir, ketika aku sedang melakukan riset untuk artikelku untuk majalah Outside, aku mewawancarai sebanyak mungkin anggota tim Hall dan Fischer yang mendaki ke puncak ---aku bicara dengan hampir semua orang kali. Tetapi Martin Adams, yang tidak percaya pada wartawan, menolak untuk berbicara dan upayaku untuk mewawancarainya berkali-kali menemui jalan buntu sampai artikel Outside sampai ke tangan pembaca.
Ketika akhirnya aku bisa menghubungi Adams melalui telepon pada pertengahan Juli dan dia bersedia berbicara, aku memintanya menceritakan semua yang dia ingat tentang pendakian hari terakhir menuju puncak. Sebagai salah satu pendaki yang paling kuat hari itu, dia selalu berada didepan rombongan dan selama pendakian dia berada didepan atau dibelakangku. Karena dia memiliki ingatan yang tampaknya sangat tajam, aku tertarik untuk mendengarkan versinya tentang kejadian tersebut dan membandingkannya dengan versiku sendiri.
Sore itu, ketika Adams turun dari Balkon pada ketinggian 27.600 kaki, dia mengaku bahwa dia masih bisa melihatku kira-kira lima belas menit dihadapannya, tetapi gerakanku lebih cepat darinya sehingga sebentar saja aku sudah hilang dari pandangannya. “Dan, saat berikutnya aku melihatmu,” katanya, “hari sudah hampir gelap dan kamu sedang menyeberangi Jalur Selatan yang datar, kurang lebih seratus kaki dari perkemahan. Aku mengenalimu dari celana merah yang kamu kenakan.”
Tidak lama sesudah itu, Adams tiba disebuah birai datar tepat diatas lereng curam yang licin yang pernah menyulitkanku dan dia terjatuh ke dalam sebuah celah gletser yang kecil. Dia berhasil keluar  dari celah tersebut, tetapi kemudian terjatuh lagi, kali ini ke dalam sebuah celah gletser yang lebih dalam. “Saat terbaring di celah tersebut, aku berpikir, ‘barangkali inilah akhir hidupku,’” kenangnya. “Meskipun menghabiskan cukup banyak waktu, akhirnya aku mampu memanjat ke atas celah gletser tersebut. Ketika aku tiba diatas, mukaku sudah dipenuhi salju, yang dengan cepat berubah menjadi es yang membeku. Kemudian aku melihat seseorang sedang duduk diatas es disebelah kiriku, memakai lampu kepala, jadi aku berjalan ke arahnya. Saat itu hari masih belum terlalu gelap, tetapi cukup gelap sehingga aku tidak bisa lagi melihat perkemahan.”
“Jadi, aku mendekati orang itu, dan berkata, ‘Hei, kemana arah menuju perkemahan?’ dan orang itu, siapapun dia, menunjukkan arah padaku. Jadi aku berkata, ‘Ya, kupikir juga demikian.’ Kemudian orang itu mengatakan sesuatu, kalau tidak salah, ‘Hati-hati Es ditempat ini lebih licin daripada yang terlihat. Barangkali kita harus turun untuk mengambil tali dan beberapa pengait es.’ Aku berpikir, ‘persetan dengan rencanamu. Aku akan pergi dari tempat ini.’ Jadi, aku berjalan dua atau tiga langkah, tersandung dan jatuh tertelungkup, kemudian aku meluncur diatas lereng es dengan kepala didepan. Ketika sedang meluncur itulah ujung kapak esku terkait pada sesuatu sehingga tubuh aku berbalik, dan berhenti tepat didasar lereng. Aku berdiri, berjalan tertatih-tatih menuju tenda, ya, begitulah kira-kira kejadiannya.”
Ketika Adams menggambarkan pertemuannya dengan sosok yang tidak dikenalnya, dan meluncur menuruni es, mulutku terasa kering dan bulu kudukku terasa berdiri. “Martin” tanyaku saat dia selesai bicara, “mungkinkah orang yang kamu temui diatas sana adalah aku?’
“Tentu saja bukan!” katanya sambil tertawa. “Aku tidak tahu siapa dia, tapi pasti bukan kamu.” Kemudian aku ceritakan pertemuanku dengan Andy Harris dan beberapa kebetulan yang menakutkan: Pertemuanku dengan Harris  terjadi pada saat yang hampir bersamaan dengan pertemuan antara Adams dan sosok misterius tersebut dan ditempat yang hampir sama pula. Hampir semua dialog yang terjadi antara Harris dan aku secara mengerikan hampir sama dengan dialog Adams dengan sosok misterius tersebut. Dan kemudian, Adams meluncur menuruni lereng es dengan kepala dibawah, persis seperti yang kulihat terjadi pada Harris.
Setelah bicara beberapa menit, Adams mulai yakin, “Jadi kamu orang yang kuajak bicara diatas es itu,” katanya terkejut, sekarang dia mengakui bahwa mungkin dia salah saat dia melihatku melewati medan datar diatas Jalur Selatan sebelum gelap. “Berarti, akulah yang kamu ajak bicara. Artinya, orang yang kau ajak bicara sama sekali bukan Andy Harris. Wow. Teman, kupikir kamu harus membuat beberapa penjelasan.”
Aku benar-benar terkejut. Selama dua bulan aku mengatakan pada orang-orang bahwa Harris berjalan ke tepi tebing Jalur Selatan dan menemui ajalnya, padahal kejadiannya sama sekali tidak seperti itulah. Kekeliruanku secara sia-sia  menambah kesedihan Fiona McPherson; orang tua Andy, Ron dan Mary Harris; kakak Andy, Davis Harris; dan teman-temannya.
Andy bertubuh besar, tingginya lebih dari 183 cm dan beratnya mencapai seratus kilogram dan bicara dengan akses Kiwi yang tajam; Martin setidaknya lima belas sentimeter lebih pendek, beratnya hanya sekira enam puluh lima kilogram dan dia bicara dengan akses Texas yang kental. Bagaimana mungkin aku membuat kesalahan yang fatal seperti itu? Benarkah aku sudah menjadi begitu lemah sehingga wajah seseorang yang hampir-hampir asing bagiku ku anggap sebagai wajah seorang teman yang selama enam minggu terakhir selalu bersamaku? Dan jika Andy tidak pernah tiba di Camp Empat setelah tiba di puncak, demi Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?

Senin, 05 Oktober 2015

Into Thin Air --- BAB XV --- PUNCAK EVEREST --- 10 MEI 1996 PUKUL 13.25 --- 29.028 KAKI

Ada beberapa tingkatan bahaya petualangan dan badai, tetapi hanya sekali-sekali kekejaman yang menakutkan muncul sebagai fakta---sesuatu yang tidak terlukiskan yang memaksa masuk ke dalam pikiran dan hati manusia bahwa akibat dari semua musibah atau semua kemarahan yang mendasar itu datang kepadanya dengan tujuan yang penuh dendam, dengan kekuatan yang tidak terkontrol, dengan kekejaman yang tidak terbatas, yang untuk menghancurkan harapan dan rasa takutnya, rasa sakit akibat kelelahannya, dan keinginannya untuk beristirahat: artinya, untuk menghancurkan, merusak, membinasakan semua yang dia lihat, kenal, cintai, nikmati, atau benci; semua yang tidak ternilai dan perlu---sinar matahari, kenangan, masa depan; yang dimaksudkan untuk menghempaskan dunia yang sangat berharga dari pandangannya melalui sebuah tindakan yang sederhana dan mengerikan: mengambil nyawanya.

JOSEPH CONRAD
Lord Jim

Neal Beidleman tiba dipuncak Everest pada pukul 13.25 bersama klien Martin Adams. Ketika mereka tiba, Andy Harris dan Anatoli Boukreev sudah berada di puncak; aku meninggalkan puncak delapan menit sebelumnya. Menganggap bahwa anggota tim yang lain akan segera tiba, Beidleman mengambil beberapa foto, bercakap-cakap dengan Boukreev, dan duduk untuk menunggu. Pada pukul 13.45, Klev Schoening naik melewati tonjolan terakhir dan tiba dipuncak, menarik foto istri dan anak-anaknya dan memulai perayaan yang mengharukan untuk menyambut kedatangannya dipuncak dunia.
     Dari atas puncak, pemandangan ke arah rute pendakian terhalang oleh sebuah tonjolan besar dilereng gunung, dan pada pukul 14.00---waktu yang sudah ditentukan sebagai waktu kembali---Fischer dan para kliennya masih belum tampak. Beidleman mulai cemas memikirkan hari yang semakin siang.
     Beidleman yang berusia tiga puluh enam tahun, seorang insinyur ruang angkasa, adalah pria yang pendiam, penuh pertimbangan dan pemandu yang sangat bertanggung jawab, yang disukai oleh anggota timnya maupun oleh anggota tim Hall. Beidleman juga merupakan salah seorang pendaki yang paling kuat digunung itu. Dua tahun yang lalu, dia dan Boukreev---yang dianggapnya sebagai teman baiknya---mendaki Puncak Makalu yang memiliki ketinggian 27.824 kaki dengan waktu yang hampir memecahkan rekor, tanpa oksigen tambahan dan tanpa dukungan Sherpa. Pada 1992, Beidleman bertemu Fischer dan Hall untuk pertama kali dilereng K2 dan keahlian serta sikap Beidleman yang tenang dan ramah membuat kedua pria itu terkesan. Namun, karena pengalaman Beidleman dalam mendaki gunung-gunung tinggi masih terbatas (Makalu merupakan satu-satunya puncak Himalaya yang pernah dia daki), kedudukannya sebagai pemandu di Mountain Madness masih berada dibawah Fischer dan Boukreev. Bayaran yang dia terima pun mencerminkan statusnya yang masih junior: Beidleman setuju untuk menjadi pemandu Everest dengan bayaran 10.000 dolar; bandingkan dengan Boukreev yang menerima 25.000 dolar.
     Sebagai pria yang sangat peka, Beidleman sangat menyadari posisinya sebagai pemandu junior. "Aku benar-benar dianggap pemandu ketiga," katanya setelah ekspedisi berakhir, "jadi aku berusaha untuk tidak terlalu ngotot. Akibatnya, aku tidak selalu bicara ketika aku seharusnya bicara, dan sekarang aku menyesalinya."
      Beidleman mengatakan bahwa sesuai dengan rencana Fischer yang fleksibel, pada hari terakhir pendakian menuju puncak, Lopsang Jangbu akan menjadi pendaki pertama, membawa radio dan dua utas tali yang harus direntang sebelum para klien pendaki tiba; Boukreev dan Beidleman---yang sama-sama tidak memiliki radio---akan ditempatkan "ditengah atau didepan" bergantung pada gerakan para klien; dan Scott yang membawa radio kedua, akan menjadi 'pengawas'. Sesuai dengan saran Rob, kami semua harus kembali pada pukul 14.00: setiap pendaki yang belum mendekati puncak pada pukul tersebut harus berbalik dan turun.
     "Seharusnya, Scott sendiri yang mengajak para klien kembali, " Beidleman menjelaskan. "Kami sudah mendiskusikan hal itu. Aku katakan kepadanya bahwa sebagai pemandu ketiga, aku tidak merasa nyaman jika aku meminta seorang klien yang sudah membayar enam puluh lima ribu dolar untuk kembali. Jadi, Scott setuju bahwa itu tanggung jawabnya. Namun karena alasan tertentu, kesepakatan itu tidak pernah terlaksana." Kenyataannya, hanya Boukreev, Harris, Beidleman, Adams, Schoening dan aku sendiri yang tiba dipuncak sebelum pukul 14.00; seandainya Fischer dan Hall mematuhi aturan yang sudah dibuat sebelumnya, semua pendaki lain harus kembali sebelum mereka bisa mencapai puncak.
     Meskipun kecemasan Beidleman terus bertambah karena hari bertambah siang, dia sendiri tidak memiliki radio sehingga dia tidak bisa membahas situasi yang dihadapinya dengan Fischer. Lopsang---yang memegang satu radio---sama sekali belum kelihatan. Pagi itu, ketika Beidleman berpapasan dengan Lopsang yang sedang berlutut sambil muntah ke atas salju diatas Balkon, dia mengambil dua utas tali yang dibawa Sherpa itu untuk membuat lintasan di undakan batu yang terjal diatas mereka. Namun, kenangnya, "Sama sekali tidak terpikir olehku untuk mengambil radionya."
     Akibatnya, kata Beidleman, "Aku harus duduk dan menunggu lama di atas puncak, menatap jam tanganku dan menunggu sampai Scott datang, berpikir untuk turun---tetapi, setiap kali aku berdiri untuk meninggalkan puncak, seorang klien tiba dilereng gunung, jadi aku duduk kembali untuk menunggu mereka."
     Sandy Pittman tampak dilereng terakhir sekitar pukul 14.10, sedikit didepan Charlotte Fox, Lopsang Jangbu, Tim Madsen dan Lene Gammelgaard. Namun gerakan Pittman sangat lambat dan beberapa saat sebelum tiba dipuncak mendadak dia roboh diatas lututnya diatas salju. Ketika Lopsang tiba untuk membantunya dia mendapati bahwa tabung oksigen Pittman yang ketiga sudah kosong. Pagi-pagi sekali, ketika Lopsang berhenti menarik Pittman, dia mengatur agar aliran oksigen mengalir lebih cepat---empat liter per menit---akibatnya, botol oksigen Pittman relatif lebih cepat kosong. Untungnya Lopsang---yang tidak memerlukan oksigen tambahan---membawa satu botol cadangan diranselnya. Dia menyambungkan regulator Pittman ke botol oksigen yang baru, dan bersama-sama mereka mendaki beberapa meter terakhir menuju puncak, kemudian bergabung dalam perayaan yang sedang berlangsung.
     Rob Hall, Mike Groom dan Yasuko Namba tiba dipuncak pada waktu yang hampir bersamaan dan Hall mengirim pesan radio kepada Helen Wilton di Base Camp untuk mengabarkan berita gembira tersebut. "Rob mengatakan bahwa udara diatas sana sangat dingin dan berangin," kenang Wilton, "tetapi, suaranya terdengar gembira. Rob juga mengatakan, 'Doug sudah mulai tampak dikaki horizon; dan begitu dia tiba, aku akan langsung turun...Jika kamu tidak mendengar kabar dariku lagi, artinya segala sesuatu berjalan lancar." Wilton mengirimkan kabar itu ke kantor Adventure Consultants di Selandia Baru, disusul setumpuk berita faksimile yang dikirimkan kepada teman-teman dan kerabat diseluruh dunia, memberitakan tentang keberhasilan ekspedisi itu menaklukkan puncak dunia.
     Akan tetapi, Doug Hansen sama sekali belum berada dekat puncak saat itu, tidak seperti dugaan Hall, begitu pula Fischer. Fischer baru tiba dipuncak pada pukul 15.40 dan Hansen baru tiba disana setelah pukul 16.00.
     Sore sebelumnya---Kamis, pada 9 Mei---ketika kami semua mendaki dari Camp Tiga ke Camp Empat, Fischer baru tiba diperkemahan di Jalur Selatan pada pukul 17.00, dan saat itu dia tampak sangat lelah, meskipun dia berusaha keras untuk menutupi kelelahannya dari para kliennya. "Malam itu," kenang teman satu tendanya, Charlotte Fox, "Aku tidak melihat tanda-tanda bahwa Scott sedang sakit. Dia sangat antusias menyiapkan semua orang seperti seorang pelatih sepakbola yang akan menghadapi sebuah pertandingan besar."
     Padahal, Fischer pasti sangat lelah karena tekanan fisik dan mental yang dialaminya dalam beberapa minggu terakhir. Meskipun dia memiliki cadangan energi yang besar, dia sudah sangat menghamburkannya sehingga ketika dia tiba di Camp Empat, energinya sudah hampir habis. "Scott orang yang sangat kuat," kata Boukreev setelah ekspedisi berakhir, "tetapi sebelum hari pendakian terakhir menuju puncak, dia sudah sangat kelelahan, menghadapi banyak masalah dan dia sudah menghabiskan banyak tenaga. Cemas, cemas, cemas, cemas. Scott benar-benar gelisah, tetapi dia menyimpannya untuk dirinya sendiri."
     Fischer juga menyembunyikan fakta bahwa dia sedang sakit pada hari pendakian terakhir menuju puncak. Pada 1984, saat mendaki Gunung Annapurna di Nepal, Fischer terserang semacam penyakit perut yang ditimbulkan oleh sejenis parasit bernama Entamoeba histolytica. Selama bertahun-tahun penyakit ini tidak pernah benar-benar terusir dari tubuhnya. Dari waktu ke waktu, penyakitnya akan kambuh, membuat fisiknya tertekan dan meninggalkan kista dihatinya. Fischer yang tetap yakin bahwa penyakitnya tidak perlu membuatnya khawatir kerap bercerita tentang penyakitnya kepada beberapa rekannya di Base Camp.
     Menurut Jane Bromet, jika penyakit itu sedang kambuh (seperti yang tampaknya terjadi saat pendakian musim semi 1996 berlangsung), "tubuh Fischer akan berkeringat dan gemetar. Serangan itu membuatnya tidak bisa banyak beraktivitas, tetapi biasanya hanya berlangsung selama sepuluh atau lima belas menit, dan kemudian berlalu. Di Seattle, serangan penyakitnya bisa terjadi seminggu sekali, dan bisa lebih sering jika dia sedang merasa tertekan. Di Base Camp, penyakitnya muncul lebih sering---hampir setiap dua hari sekali, bahkan kadang-kadang setiap hari."
     Seandainya penyakit Fischer memang kambuh saat dia berada di Camp Empat atau diatasnya, dia tidak pernah mengatakannya. Fox melaporkan bahwa dia langsung merangkak ke dalam tendanya pada selasa malam, "Scott langsung tumbang dan tidur nyenyak selama kurang lebih dua jam." Saat dia terbangun pada pukul 22.00 untuk bersiap-siap, gerakannya sangat lamban dan dia masih tetap berada diperkemahan lama setelah klien, pemandu, dan para Sherpa berangkat menuju puncak.
     Tidak jelas kapan Fischer benar-benar meninggalkan Camp Empat pada Jumat, 10 Mei tersebut, kemungkinan baru pukul 01.00. Dia bergerak lambat jauh dibelakang pendaki lain pada hari terakhir pendakian dan sampai sekitar pukul 13.00, dia masih belum tiba di Puncak Selatan. Aku melihatnya pertama kali sekitar pukul 14.45, ketika aku baru meninggalkan puncak, menunggu di atas Hillary Step bersama Andy Harris sampai antrean pendaki habis. Fischer adalah pendaki terakhir yang tiba dan dia tampak sangat lelah.
     Setelah kami berbasa basi, dia bicara sebentar dengan Martin Adams dan Anatoli Boukreev, yang berdiri tepat diatasku dan Harris, menunggu untuk menuruni Hillary Step. "Hei, Martin," Fischer berkata melalui masker oksigennya, berusaha menyisipkan nada lucu dalam suaranya. "Menurutmu kamu bisa menaklukkan Puncak Everest?"
     "Hei, Scott," Adams menjawab dengan nada yang terdengar kesal karena Fischer tidak mengucapkan selamat kepadanya, "Aku baru saja melakukannya."
     Kemudian Fischer bercakap-cakap dengan Boukreev. Menurut Adams, Boukreev berkata kepada Fischer, "Aku akan turun bersama Martin." Kemudian Fischer bergerak dengan lambat menuju puncak, sementara Harris, Boukreev, Adams dan aku menuruni Hillary Step, melewati lintasan tali. Tidak ada seorang pun yang membahas tentang keadaan Fischer yang tampak lelah. Tidak seorang pun dari kami yang berpikir, bahwa dia mungkin sedang menghadapi kesulitan besar.

Jumat sore, pukul 15.00, Fischer masih belum tiba dipuncak, Beidleman menambahkan, "Aku memutuskan, sudah waktunya kami pergi dari tempat itu, meskipun Fischer belum muncul." Dia mengumpulkan Pittman, Gammelgaard, Fox dan Madsen, dan mulai memandu mereka menuruni tebing menjauhi puncak. Dua puluh menit kemudian, sedikit diatas Hillary Step, mereka berpapasan dengan Fischer. "Aku tidak benar-benar berbicara dengannya," kenang Beidleman. "Dia hanya mengangkat tangan. Kelihatannya dia sangat kelelahan, tetapi, dia kan Scott Fischer, jadi aku tidak terlalu mencemaskannya. Aku pikir dia akan mendaki sampai puncak dan secepatnya turun untuk membantu kami memandu para klien turun."
     Kekhawatiran Beidleman saat itu lebih tertuju pada Pittman, "Saat itu, semua orang memang tampak lelah, tetapi Sandy benar-benar kepayahan. Aku pikir, jika aku tidak benar-benar mengawasinya, kemungkinan besar dia akan terguling melewati bibir tebing. Jadi, aku pastikan bahwa dia terkait pada lintasan tali, dan ditempat-tempat lintasan tali tidak tersedia, aku memegang tali pelananya dari belakang dan terus memegangnya sampai dia terkait dengan lintasan tali berikutnya. Dia benar-benar kelelahan, dan aku tidak yakin, dia menyadari bahwa aku berada disampingnya."
     Beberapa kaki dibawah Puncak Selatan, ketika para pendaki memasuki gumpalan awan yang tebal dibawah siraman hujan salju, sekali lagi Pittman roboh dan dia meminta kepada Fox agar diberi suntikan dexametason, sejenis steroid yang sangat keras. "Dex", nama dagang yang lazim dikenal, bisa menahan untuk sementara, dampak merusak dari ketinggian; sesuai dengan saran Dr. Inggrid Hunt, setia anggota tim Fischer diminta membawa sebuah jarum suntik berisi obat didalam kotak plastik sikat gigi yang dimasukkan ke dalam kantong jaket masing-masing, ditempat yang tidak akan membuatnya membeku, kalau-kalau terjadi keadaan darurat. "Aku menurunkan celana Sandy sedikit," kenang Fox, "dan memasukkan jarum suntik itu ke dalam pinggulnya, menembus pakaian dalam dan lainnya."
     Beidleman yang menunggu di Puncak Selatan untuk menginventarisasi oksigen, tiba ditempat itu dan melihat Fox memasukkan jarum suntik ke tubuh Pittman yang tertelungkup diatas salju dengan muka menghadap ke bawah. "Ketika aku tiba diatas tanjakan dan melihat Sandy terbaring disana dan Charlotte berdiri diatasnya sambil mengacungkan jarum suntik, aku berpikir, 'Sial, sepertinya gawat.' Aku bertanya kepada Sandy, apa yang terjadi, dan ketika dia coba menjawab, yang keluar dari mulutnya hanyalah serentetan kata yang tidak berarti." Dengan cemas, Beidleman memerintahkan Gammelgaard untuk menukar tabung oksigennya yang masih penuh dengan tabung Pittman yang hampir kosong, mengatur regulatornya agar oksigen mengalir dengan kekuatan penuh, kemudian memegang Pittman yang sudah setengah koma melalui tali pelananya, dan mulai membawanya turun melewati Lereng Tenggara yang curam dan tertutup es. "Aku mengatur agar tubuhnya bisa meluncur," katanya menerangkan, "melepaskan peganganku dan meluncur mendahului tubuhnya. Setiap lima puluh meter aku akan berhenti, berpegang pada lintasan tali dan berdiri tegak untuk menahan tubuhnya yang meluncur jatuh dengan tubuhku. Ketika aku menahan tubuh Sandy yang meluncur untuk pertama kalinya, ujung-ujung cramponku yang tajam merobek pakaianku. Bulu-bulu pelapis pakaianku beterbangan kemana-mana." Semua orang merasa lega ketika kurang lebih dua puluh menit kemudian, suntika dan oksigen ekstra yang diberikan kepada Pittman mampu memulihkannya dan dia bisa menuruni gunung dengan tenaganya sendiri.
     Sekitar pukul 17.00, ketika Beidleman memandu kliennya menuruni punggung gunung, Mike Groom dan Yasuko Namba sudah tiba diatas Balkon, kira-kira 500 kaki dibawah mereka. Mulai dari birai lebar yang berada pada ketinggian  27.600 kaki ini, rute pendakian menukik tajam ke arah selatan sampai di Camp Empat. Namun, ketika Groom melihat ke arah lain---ke bagian utara dari lereng bukit yang berada dibawahnya---melewati hamparan salju yang bergelombang dan sinar yang mulai memudar, dia melihat seorang pendaki yang bergerak sendirian, jauh menyimpang dari jalur pendakian: orang itu adalah Martin Adams yang kehilangan arah karena badai, dan mengambil jalan yang salah, menuruni Kangshung Face menuju Tibet.
     Begitu Adams melihat Groom dan Namba yang berada diatasnya dia langsung menyadari kekeliruannya dan perlahan-lahan mendaki kembali menuju Balkon. "Martin sudah sangat kepayahan ketika dia tiba di sampingku dan Yasuko," kenang Groom. "Masker oksigennya terlepas, dan wajahnya ditutupi salju yang mengeras. Dia bertanya, 'Mana arah yang menuju perkemahan?"' Groom menunjukkan arah, dan dengan cepat Adams mulai menuruni punggung gunung melalui rute yang benar, mengikuti jejak yang kutinggalkan kira-kira sepuluh menit sebelumnya.
     Saat Groom menunggu Adams untuk kembali ke punggung gunung, dia memerintahkan Namba untuk turun lebih dulu, dia sendiri kemudian sibuk mencari kotak kamera yang hilang saat dia sedang mendaki puncak. Ketika dia sedang mencari-cari disekelilingnya, untuk pertama kalinya Groom melihat seseorang lain berada diatas Balkon bersamanya. "Karena tubuhnya tertutup oleh salju, aku mengira orang itu salah seorang anggota kelompok Fischer, jadi aku tidak mengacuhkannya. Ketika orang itu sudah berdiri di hadapanku dan menyapa, "Hei, Mike, 'aku baru menyadari bahwa orang itu adalah Beck."
     Groom yang terkejut melihat Beck, seperti aku yang juga terkejut saat melihatnya, mengeluarkan seutas tali pendek dan mulai menghela warga Texas itu menuju Jalur Selatan. "Saat itu Beck sudah benar-benar buta," lapor Groom, "setiap sepuluh meter dia akan menginjak udara kosong sehingga aku harus  menariknya dengan bantuan tali. Aku cemas, beberapa kali dia menyeret tubuhku bersamanya. Benar-benar menakutkan. Aku pastikan kapak esku tertancap dengan aman dan cramponku selalu menancap pada permukaan yang kukuh.
     Satu demi satu, disepanjang rute yang baru aku lewati lima belas atau dua puluh menit sebelumnya, Beidleman dan klien Fischer yang lain terperangkap di tengah badai salju yang semakin memburuk. Adams ada di belakang saya, didepan para pendaki lain; disusul oleh Namba, Groom dan Weathers, Schoening dan Gammelgaard, Beidleman dan akhirnya Pittman, Fox dan Madsen.
     Lima ratus kaki diatas Jalur Selatan, ketika singkapan serpih yang curam berubah menjadi lereng es yang lebih landai, Namba kehabisan oksigen, kemudian wanita Jepang bertubuh kecil itu duduk, menolak untuk bergerak. "Ketika aku mencoba mencabut masker oksigennya agar dia bisa bernapas lebih mudah," kata Groom, "dia bersikeras memakai maskernya kembali. Tidak ada bujukan yang bisa meyakinkan dia, bahwa oksigennya sudah habis. Saat itu, tubuh Beck juga sudah sangat lemah sehingga dia tidak bisa berjalan sendiri, dan aku harus menopangnya dengan bahuku. Untunglah pada saat itu Neal berhasil menyusul kami." Beidleman, yang melihat bahwa Groom sudah kewalahan menangani Weathers, mulai menarik Namba menuruni punggung gunung menuju Camp Empat, meskipun Namba bukan anggota tim Fischer.
     Saat itu sudah pukul 18.45 dan cuaca sudah hampir seluruhnya gelap. Beidleman, Groom dan klien mereka, serta dua orang Sherpa dari tim Fischer yang secara terlambat muncul dari tengah embun tebal---Tashi Tschering dan Ngawang Dorje---bergabung menjadi satu kelompok. Meskipun gerakannya sangat lambat, mereka berhasil turun sampai kira-kira 200 kaki vertikal dari Camp Empat. Saat itu aku baru tiba di perkemahan---barangkali tidak lebih dari lima belas menit didepan anggota pertama dari tim Beidleman. Namun, dalam waktu yang sangat pendek itu, hujan badai sudah berubah menjadi topan yang sangat dahsyat dan daya pandang sudah sangat menurun menjadi kurang dari dua puluh kaki. Untuk menghindari lereng es yang berbahaya, Beidleman memandu kelompoknya melalui rute jauh memutar ke arah timur, tempat yang lerengnya tidak terlalu curam dan sekitar pukul 19.30 mereka tiba dengan selamat di Jalur Selatan yang landai dan luas. Namun, saat itu hanya tiga atau empat pendaki yang lampu kepalanya masih menyala, dan semua orang sudah hampir roboh karena kelelahan. Fox semakin bergantung pada Madsen. Weathers dan Namba tidak mampu berjalan tanpa di bantu oleh Groom dan Beidleman secara bergantian.
     Beidleman tahu bahwa mereka berada di lereng timur Jalur Selatan yang mengarah ke wilayah Tibet, bahwa perkemahan mereka terletak disebelah barat. Namun, berjalan ke arah itu berarti menyongsong badai. Potongan-potongan es sebesar biji yang diterbangkan angin menghantam keras wajah mereka, mengoyakkan mata dan membuat mereka tidak mampu melihat jalan yang mereka yang lalui. "Benar-benar sulit dan menyakitkan," Schoening menjelaskan, "akibatnya, kami cenderung berjalan menghindari angin, terus bergerak ke arah kiri dan itulah kesalahn kami."
     "Adakalanya, kami bahkan tidak bisa melihat kaki kami sendiri karena kerasnya tiupan angin," katanya menambahkan. "Aku khawatir seseorang akan duduk atau terpisah dari kelompok dan kami tidak pernah melihatnya lagi. Namun, begitu kami tiba di Jalur Selatan yang datar, kami mulai mengikuti para Sherpa, aku pikir mereka tahu letak perkemahan. Namun, tiba-tiba mereka berhenti dan dengan cepat kembali ke rute asal sehingga kami segera sadar bahwa mereka pun tidak tahu tempat kami berada. Tiba-tiba saja perutku terasa sakit. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa kami benar-benar berada dalam kesulitan.
     Selama dua jam berikutnya, Beidleman, Groom, dua Sherpa dan tujuh klien berjalan tertatih-tatih ditengah badai tanpa bisa melihat apapun, dengan  tubuh yang makin lelah dan makin dingin, berharap bisa tiba diperkemahan. Di satu tempat, mereka menemukan beberapa botol oksigen yang kosong, menandakan bahwa perkemahan sudah semakin dekat, tetapi para pendaki itu masih belum bisa menemukan perkemahan mereka. "Benar-benar kacau," kata Beidleman. "Semua orang berjalan kesana kemari; aku berteriak kepada semua orang, meminta mereka untuk mengikuti satu pemimpin. Akhirnya, sekitar pukul sepuluh malam, aku tiba di sebuah tanjakan kecil, sepertinya aku sedang berdiri di tepi permukaan bumi. Aku bisa merasakan kekosongan yang sangat luas dibawahku."
     Tanpa disadari kelompok itu tersesat ke tepi paling timur dari Jalur Selatan, dimulut Kangshung Face yang menukik sedalam 7000 kaki. Mereka berada pada ketinggian yang sama dengan Camp Empat, hanya 1000 kaki mendatar dari tempat aman(*1), tetapi, kata Beidleman, "aku tahu, bahwa jika kami terus berjalan ditengah badai, sebentar saja seseorang pasti akan hilang. Aku sangat lelah karena harus menyeret Yasuko. Charlotte dan Sandy hampir-hampir tidak mampu berdiri. Jadi, aku berteriak kepada semua orang agar duduk sambil membungkuk ditempat itu dan menunggu sampai badai berhenti."
     Beidleman dan Shoening berusaha mencari tempat yang terlindung dari terjangan angin, tetapi tidak berhasil. Semua orang sudah kehabisan oksigen sehingga kelompok itu semakin rentan terhadap angin yang temperaturnya mencapai seratus derajat dibawah nol. Dibalik sebongkah batu yang besarnya tidak lebih dari sebuah mesin cuci piring, para pendaki itu merunduk dan membentuk barisan yang tidak teratur diatas sepetak tanah yang bebas dari es karena tiupan badai. "Saat itu, dinginnya udara hampir-hampir membuatku mati," kata Charlotte Fox. "Mataku membeku. Aku tidak yakin kami bisa keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup. Sengatan hawa dingin benar-benar menyakitkan, kukira aku tidak bisa bertahan lebih lama. Aku hanya meringkuk dan berharap kematian menjemputku dengan cepat."
     "Kami berusaha untuk tetap hangat dengan saling meninju," kenang Weathers. "Seseorang berteriak agar kami terus menggerakkan tangan dan kaki kami. Sandy menjadi histeris, berkali-kali dia menjerit, 'Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!' Selain dia, tidak ada orang yang banyak berbicara."

Kira-kira tiga ratus kaki ke arah barat, didalam tendaku, tubuhku bergetar tidak terkendali---meskipun aku terbungkus rapat didalam kantong tidurku, dan memakai semua pakaian dan penutup tubuh yang aku miliki. Tiupan badai seakan-akan siap mengoyakkan tendaku. Setiap kali pintu tenda terbuka, butiran salju yang tertiup angin menerjang masuk sehingga semua benda didalam tenda tertutup oleh lapisan salju setebal 2,54 senti. Tidak menyadari tragedi yang sedang berlangsung diluar sana, ditengah amukan badai, aku terbaring antara sadar dan tidak sadar, mengigau karena kelelahan, dehidrasi dan karena dampak kumulatif akibat kekurangan oksigen.
     Entah pukul berapa, yang pasti malam belum larut, Stuart Hutchison, teman satu tendaku, masuk dan mengguncangkan tubuhku dengan keras. Dia memintaku untuk menemaninya keluar dari tenda untuk memukuli panci dan menyorotkan lampu ke angkasa, dengan harapan kami bisa memandu para pendaki yang tersesat, tetapi aku terlalu lemah dan terlalu bingung untuk bereaksi. Hutchison---yang sudah tiba kembali diperkemahan pada pukul 14.00 dan karenanya jauh lebih segar daripadaku---kemudian berusaha membangunkan klien lain dan para Sherpa dari tenda-tenda yang lain. Namun, semua orang terlalu kedinginan atau terlalu kelelahan. Akhirnya Hutchison keluar sendirian dan menerjang badai.
     Malam itu, dia meninggalkan kemah enam kali untuk mencari pendaki yang hilang, tetapi badai es yang turun dengan dahsyat membuatnya tidak berani berjalan lebih dari beberapa meter dari batas perkemahan. "Kecepatan angin sama dengan kecepatan peluru," katanya menekankan. "Butir-butir air yang tertiup angin terasa seperti butiran pasir atau sejenisnya. Aku hanya bisa berada diluar selama lima belas menit setiap kalinya, sebelum aku sendiri kedinginan dan terpaksa kembali ke dalam tenda."
    
Diluar sana, ditengah para pendaki yang terbungkuk-bungkuk ditepi Jalur Selatan, Beidleman memaksa diri untuk waspada, menunggu tanda-tanda berhentinya badai. Sesaat sebelum tengah malam, sikap waspadanya ternyata membuahkan hasil ketika tiba-tiba dia melihat beberapa bintang diangkasa dan berteriak kepada pendaki lain untuk ikut melihat. Dibawah dekat permukaan tanah, tiupan angin masih menimbulkan badai salju, tetapi jauh diatas sana, langit mulai tampak jernih, menampilkan bayangan hitam dari puncak Everest dan Lhotse yang menjulang. Dengan mengambil dua titik ini sebagai pedoman, Klev Schoening mengatakan bahwa dia bisa mengetahui posisi kelompok mereka  terhadap Camp Empat. Setelah bertukar pendapat dengan Beidleman, yang dilakukan dengan cara berterial, dia berhasil meyakinkan si pemandu tentang arah menuju perkemahan.
     Beidleman berusaha membujuk semua orang untuk berdiri dan bergerak sesuai arah yang ditunjukkan oleh Schoening, tetapi Pittman, Fox, Weathers, dan Namba sudah terlalu lemah untuk bisa berjalan. Saat itulah Beidleman sadar, jika salah seorang dari mereka tidak bisa mencapai perkemahan dan membentuk tim penyelamat, mereka semua akan tewas. Jadi, Beidleman mengumpulkan mereka yang masih mampu berjalan, kemudian dia sendiri, Schoening, Gammelgaard, Groom dan dua orang Sherpa berjalan tertatih-tatih menembus salju untuk mencari bantuan, meninggalkan empat klien yang tidak bisa bergerak ditemani oleh Tim Madsen. Karena enggan meninggalkan teman wanitanya, Fox, Tim Madsen menawarkan diri untuk tinggal dan menjaga mereka sampai bantuan tiba.
     Dua puluh menit kemudian, kelompok Beidleman tertatih-tatih memasuki perkemahan dan disambut haru oleh Anatoli Boukreev yang sedang menunggu mereka dengan cemas. Schoening dan Beidleman, yang hampir-hampir tidak mampu bicara, menjelaskan kepada orang rusia itu tempat dia bisa menemukan kelima klien yang masih terjebak badai, kemudian roboh didalam tendanya masing-masing karena kelelahan.
     Boukreev tiba di Jalur Selatan beberapa jam mendahului rekan-rekannya yang lain dari tim Fischer. Bahkan, pada pukul 17.00, ketika rekan-rekannya masih berjuang menembus awan pada ketinggian 28.000 kaki, Boukreev sudah berada didalam tendanya, beristirahat sambil minum teh. Kelak, beberapa pemandu berpengalaman mempertanyakan keputusannya untuk menuruni gunung jauh mendahului para kliennya---sikap yang sangat tidak lazim untuk seorang pemandu. Salah seorang klien tim Fischer hanya bisa mencaci Boukreev dan berkata, "saat tenaganya sangat dibutuhkan, pemandu itu justru 'menjauh dan lari'."
     Anatoli meninggalkan puncak sekitar pukul 14.00 dan langsung tertahan oleh antrean pendaki di Hillary Step. Setelah antrean pendaki habis, dia bergerak cepat menuruni Lereng Tenggara tanpa menunggu satu klien pun---meskipun di puncak Hillary Step, dia berjanji kepada Fischer bawa dia akan turun bersama Martin Adams. Karena itu, Boukreev tiba di Camp Empat jauh sebelum badai pecah.
     Setelah ekspedisi berakhir, ketika kutanyakan kepada Anatoli, mengapa dia turun mendahului kelompoknya, dia menyodorkan kepadaku sebuah naskah wawancara yang dia kirimkan beberapa hari lalu kepada majalah Men's Journal melalui seorang penerjemah Rusia. Menurutnya, naskah itu sudah dia baca dan pernyataan yang termuat didalamnya sudah benar. Aku membaca naskah itu ditempat itu juga, sambil mengajukan sejumlah pertanyaan tentang peristiwa yang terjadi saat kami menuruni gunung dan dia menjawab,

Aku menunggu (dipuncak) selama kurang lebih satu jam...Udara sangat dingin, dan tentu saja, itu sangat menyedot tenaga...Aku tidak bisa terus menunggu dan kedinginan. Lebih bermanfaat jika aku kembali ke Camp Empat untuk membawakan beberapa botol oksigen bagi pendaki yang turun, atau kembali ke atas untuk membantu jika beberapa pendaki kelelahan saat menuruni gunung---jika Anda berdiri diam pada ketinggian seperti itu, udara dingin akan menyedot habis tenaga Anda, sehingga Anda tidak mampu melakukan apapun.

Kerentanan Boukreev terhadap udara dingin pasti diperburuk oleh fakta bahwa dia tidak menggunakan oksigen tambahan; tanpa gas tambahan, dia tidak bisa berhenti dan menunggu klien yang lamban dilereng gunung tanpa terserang gigitan salju dan hipotermia. Apapun alasannya, dia turun cepat mendahului timnya---pola yang nyatanya dia terapkan selama ekspedisi berlangsung, seperti yang ditulis oleh Fischer didalam surat-suratnya yang terakhir dan saat dia menelepon ke Seattle dari Base Camp.
     Ketika kutanyakan tentang keputusannya untuk meninggalkan semua kliennya dipunggung gunung, Anatoli bersikeras bahwa dia melakukannya demi kebaikan tim: "Lebih baik jika aku menghangatkan diri di Jalur Selatan, dan siap untuk membantu jika salah seorang klien kehabisan oksigen." Bahkan sesaat setelah gelap, ketika kelompok Beidleman belum juga kembali ke perkemahan dan angin topan berubah menjadi badai yang dahsyat, Boukreev menyadari bahwa mereka pasti menghadapi kesulitan dan dengan berani berupaya membawakan botol oksigen kepada mereka. Sayangnya, strategi yang dia terapkan punya satu kelemahan: karena dia dan Beidleman sama-sama tidak memiliki radio, Boukreev tidak tahu masalah yang dihadapi para pendaki yang tersesat, dia bahkan tidak tahu keberadaan mereka dihamparan gunung yang luas itu. Bagaimanapun, sekitar pukul 19.30, Boukreev meninggalkan Camp Empat untuk mencari kelompok Beidleman. Dia mencoba mengingat-ingat,

Jarak pandang hanya tinggal sekira satu meter. Semuanya seolah menghilang. Aku punya sebuah lampu, dan mulai menggunakan oksigen untuk mempercepat gerak. Aku membawa tiga tabung. Aku berusaha bergerak lebih cepat, tetapi tidak bisa melihat apapun...Seperti orang buta, tidak bisa melihat, semuanya gelap. Ini berbahaya, karena aku bisa jatuh ke dalam celah gletser, atau jatuh ke jurang di selatan Lhotse yang menganga sedalam 3000 meter. Aku berusaha mendaki, tetapi suasananya benar-benar gelap, aku tidak bisa menemukan lintasan tali.

Kira-kira enam ratus kaki diatas Jalur Selatan, Boukreev menyadari bahwa upayanya akan sia-sia, dan kembali ke perkemahan. Dia mengaku bahwa dia sendiri hampir tersesat. Keputusannya untuk tidak meneruskan upayanya barangkali memang tepat, karena pada saat itu rekan-rekannya sudah tidak ada lagi berada dipuncak diatasnya, tempat yang dituju Boukreev---ketika Boukreev menghentikan upayanya, kelompok Beidleman sudah berada di Jalur Selatan, enam ratus kaki di bawah orang Rusia tersebut.
     Ketika tiba di Camp Empat sekitar pukul 21.00, Boukreev mencemaskan kesembilan pendaki yang hilang tersebut, tetapi karena dia tidak tahu dimana mereka berada, dia memutuskan untuk menunggu. Kemudian, pada pukul 00.45, lewat tengah malam, Beidleman, Groom, Schoening dan Gammelgaard tertatih-tatih masuk ke perkemahan. "Klev dan Neal sudah benar-benar kehabisan tenaga dan mereka hampir-hampir tidak bisa bicara," kenang Boukreev. "Mereka mengatakan bahwa Charlotte, Sandy dan Tim Madsen perlu bantuan dan Sandy nyaris tewas. Kemudian, mereka memberi petunjuk, dimana aku bisa menemukan mereka.
     Ketika mendengar bahwa para pendaki sudah tiba, Stuart Hutchison keluar dari tendanya untuk membantu Groom. "Aku membantu Mike masuk ke tendanya," kenang Hutchison, "aku lihat dia benar-benar kelelahan. Bicaranya cukup jelas, tetapi dia harus berjuang keras, seperti orang sekarat yang sedang mengucapkan kata-kata terakhir. 'Kamu harus membawa beberapa Sherpa,' katanya padaku, 'Bawalah mereka untuk membantu Beck dan Yasuko.' Kemudian dia menunjuk ke arah Jalur Selatan yang berada dekat Kangshung Face."
     Tetapi, upaya Hutchison untuk membentuk tim pencari ternyata tidak berhasil. Chuldum dan Arita---dua Sherpa dari tim Hall yang tidak ikut dalam pendakian menuju puncak dan menunggu sebagai tenaga cadangan di Camp Empat kalau-kalau terjadi keadaan darurat---ternyata tidak mampu bergerak karena keracunan karbonmonoksida akibat memasak ditenda yang ventilasinya buruk; Chuldum bahkan sempat muntah darah. Dan empat Sherpa dalam tim kami terlalu kedinginan dan terlalu lemah akibat perjalanan ke puncak.
     Setelah ekspedisi berakhir, aku bertanya pada Hutchison: setelah dia tahu dimana para pendaki yang hilang berada, mengapa dia tidak membangunkan Frank Fishbeck, Lou Kasischke atau John Taske---atau mencoba membangunkanku untuk kedua kalinya---dan meminta bantuan kami untuk membentuk regu pencari. "Aku bisa melihat dengan jelas bahwa kalian semua benar-benar kelelahan, jadi tidak terpikir olehku untuk minta bantuan kalian. Kamu sendiri bukan hanya lelah biasa, sehingga aku berpikir, kalau kamu berusaha untuk membantu mencari mereka, kamu hanya akan memperburuk situasi---kamu pasti roboh diatas sana dan harus diselamatkan." Akhirnya, Stuart menerjang badai sendirian, tetapi sampai dibatas perkemahan sekali lagi dia kembali karena khawatir tidak dapat menemukan jalan pulang jika dia berjalan lebih jauh.
     Pada saat yang sama, Boukreev juga sedang mencoba membentuk tim pencari, tetapi dia tidak menghubungi Hutchison atau datang ke perkemahanku, jadi upaya Hutchison dan Boukreev tidak terkoordinasi, dan aku tidak tahu tentang upaya mereka untuk membentuk tim pencari. Akhirnya, seperti juga Hutchison, Boukreev menyadari bahwa semua orang yang dia bangunkan terlalu sakit, terlalu lelah atau terlalu takut untuk membantu. Jadi, orang Rusia itu memutuskan untuk membawa pulang kelompok yang tersesat itu sendirian. Dengan berani dia menerjang topan, mencari-cari di sekitar Jalur Selatan selama hampir satu jam, tetapi tidak berhasil.
     Boukreev tidak mundur. Dia kembali ke perkemahan, meminta petunjuk yang lebih jelas dari Beidleman dan Schoening, kemudian kembali masuk ke tengah badai. Kali ini samar-samar dia melihat sinar lampu kepala Madsen yang sudah pudar dan berhasil menemukan para pendaki yang hilang. "Mereka terbaring diatas es, tanpa bergerak," kata Boukreev. "Mereka tidak bisa bicara." Madsen masih sadar dan masih bisa mengurus dirinya sendiri, tetapi Pittman, Fox dan Weathers benar-benar tidak berdaya dan Namba sepertinya sudah tewas.
     Setelah Beidleman dan rekan-rekannya meninggalkan mereka untuk mencari pertolongan, Madsen mengumpulkan para pendaki yang tersisa dan memaksa mereka untuk terus bergerak agar tetap hangat. "Aku mendudukkan Yasuko dipangkuan Beck," kenang Madsen, "tetapi, Beck sama sekali tidak bereaksi dan Yasuko sama sekali tidak bergerak. Beberapa saat kemudian, aku melihat Yasuko terbaring rata diatas punggungnya, dan salju yang tertiup angin menutupi kepalanya. Sepertinya dia kehilangan sarung tangan---karena tangan kananya telanjang, dan jari-jarinya terkepal erat dan tidak bisa diluruskan. Sepertinya, mereka semua membeku sampai ke tulang.
     "Aku mengira Yasuko sudah tewas," Madsen menambahkan. "Tetapi, beberapa saat kemudian, dia tiba-tiba bergerak, sehingga aku ketakutan: dia seperti menegangkan lehernya sedikit, seperti berusaha untuk duduk dan tangan kanannya naik, kemudian diam. Yasuko terbaring kembali dan tidak pernah bergerak lagi."
     Segera setelah Boukreev menemukan kelompok pendaki tersebut, dia melihat dengan jelas bahwa dia hanya bisa membantu satu pendaki saj dalam satu kali jalan. Dia membawa sebuah tabung oksigen, yang dia hubungkan ke masker Pittman. Kemudian Boukreev memberi isyarat pada Madsen bahwa dia akan kembali secepatnya dan mulai memandu Fox ke perkemahan. "Setelah mereka pergi," kata Madsen, "Beck terbaring dengan posisi melingkar, tidak banyak bergerak dan Sandy meringkuk dipangkuan saya, juga tidak bergerak. Aku berteriak kepadanya, 'Hei, gerakkan terus kedua lenganmu! Biarkan aku melihat tanganmu.' Ketika dia duduk dan merentangkan tangannya, aku bisa melihat bahwa sarung tangannya terlepas---tergantung dipergelangan tangannya.
     "Aku berusaha untuk memasukkan tangannya ke dalam sarung tangan itu ketika Beck tiba-tiba bergumam, "Hei, aku mengerti sekarang," Kemudian dia seperti berguling menjauh, membungkuk diatas sebongkah batu besar, dan kemudian menghadapkan wajahnya pada angin dengan kedua tangan terentang. Sedetik kemudian, embusan angin yang cukup keras menerjangnya, membuat tubuhnya terjungkal ke belakang memasuki kegelapan malam, aku tidak bisa melihatnya melalui sinar lampu dikepalaku. Itulah terakhir kalinya aku melihat Beck."
     "Toli kembali beberapa saat kemudian dan menarik Sandy, jadi aku mengumpulkan barang-barangku dan mulai berjalan mengikuti mereka, mencoba mengikuti sinar lampu dari kepala Toli dan Sandy. Waktu itu, aku menduga Yasuko sudah tewas dan Beck tidak bisa diselamatkan lagi." Mereka tiba diperkemahan pada pukul 04.30 pagi, saat matahari sudah mulai menyinari ufuk timur. Setelah mendengar dari Madsen bahwa Yasuko tewas, Beidleman roboh didalam tendanya dan menangis selama empat puluh lima menit.

Bersambung.....

(*1): Meskipun seorang pendaki yang kuat membutuhkan waktu satu jam untuk menempuh jalur vertikal sepanjang 1.000 kaki, dalam hal ini jalur yang ditempuh merupakan jalur yang landai, yang seharusnya bisa ditempuh kelompom itu dalam waktu lima belas menit, jika mereka tahu letak.perkemahan.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Into Thin Air --- BAB XIV --- PUNCAK EVEREST --- 10 MEI 1996, PUKUL 13.12 --- 29.028 KAKI

Tidak hanya selama pendakian, tetapi saat menuruni gunung pun tekadku semakin menumpul. Semakin lama aku mendaki, semakin tidak penting sasaran itu bagiku, dan semakin aku tidak peduli pada diriku sendiri. Perhatianku memudar, ingatanku melemah. Kelelahan mentalku saat ini lebih besar daripada kelelahan fisik. Benar-benar menyenangkan untuk duduk tanpa melakukan apapun---dan karena itu, sangat berbahaya. Mati karena kelelahan---seperti juga mati karena kedinginan---merupakan kematian yang menyenangkan.

Reinhold Messner
The Crystal Horizon

Didalam ransel, aku membawa sebuah spanduk dari majalah Outside, sebuah bendera kecil bergambar cecak berbentuk aneh yang disulam oleh istriku, Linda, dan beberapa benda kenangan yang sengaja kubawa untuk membuat beberapa foto kemenangan. Sadar bahwa persediaan oksigenku semakin menipis, aku biarkan semua benda itu tidak tersentuh didalam ranselku dan aku hanya berdiam beberapa menit dipuncak, cukup lama untuk membuat empat foto Andy Harris dan Anatoli Boukreev yang berpose didepan tiang pengukuran dipuncak Everest. Kemudian aku berbalik dan turun dari puncak. Kira-kira delapan belas meter dibawah puncak, aku berpapasan dengan Neal Beidleman dan seorang klien Fischer bernama Martin Adams yang sedang mendaki menuju puncak. Setelah mengucapkan salam kemenangan dengan menepukkan telapak tanganku pada telapak tangan Neal, aku meraup segenggam serpihan batu yang terlepas karena tiupan angin dari jalan setapak, memasukkan cendera mata itu ke dalam kantong celanaku yang tertutup resletting dan dengan cepat berjalan menuruni punggung gunung.
     Beberapa saat kemudian aku mengamati bahwa sekelompok awan tipis mulai menyelimuti lembah-lembah disebelah selatan, mengaburkan pemandangan kecuali pemandangan dipuncak-puncak tertinggi. Adams---warga Texas bertubuh kecil dengan temperamen keras, yang menjadi kaya raya berkat penjualan obligasi selama masa booming pada 1980---adalah seorang pilot pesawat terbang yang berpengalaman dan sering menghabiskan waktu dengan mengamati puncak awan dari atas pesawatnya; kemudian dia mengakui bahwa awan yang sarat dengan uap air yang tampaknya tidak berbahaya itu akan berubah menjadi hulu badai yang sangat kuat segera setelah dia mencapai puncak. "Jika Anda melihat hulu badai dari sebuah pesawat," katanya, "reaksi pertama Anda adalah menjauhi tempat itu secepat mungkin. Dan, itulah yang saya lakukan."
     Namun tidak seperti Adams, aku tidak terbiasa mengamati awan badai dari ketinggian 29.000 kaki sehingga aku tidak menyadari datangnya badai yang saat itu bahkan sudah mulai bergerak ke arah bawah. Aku hanya mencemaskan botol oksigenku yang isinya semakin menipis.
     Lima belas menit setelah meninggalkan puncak, aku tiba di puncak Hillary Step. Ditempat itu aku berhadapan dengan sekelompok pendaki yang sedang bekerja keras untuk mendaki lintasan tali sehingga perjalananku menuruni gunung terpaksa ditunda. Saat aku menunggu untuk membiarkan kelompok pendaki itu melewatiku, Andy tiba disampingku dalam perjalanan menuju bawah. "Jon," pintanya, "Rasanya aku tidak bisa bernapas dengan baik. Tolong lihat, apakah katup udara yang menuju maskerku tertutup es?"
      Setelah memeriksa sebentar, aku melihat bahwa gumpalan es sebesar kepalan tangan menyumbat katup karet tersebut sehingga udara luar tidak bisa masuk ke dalamnya. Aku membuang gumpalan es itu dengan ujung kapak esku, dan meminta Andy untuk mematikan regulatorku supaya aku bisa menghemat gas saat melewati Hillary Step. Namun, rupanya Andy salah putar dan malah membuka katup itu lebar-lebar sehingga sepuluh menit kemudian botol oksigenku sudah kosong. Kemampuan berpikirku yang memang sudah sangat lamban dengan cepat menukik tajam. Aku merasa seperti orang yang kebanyakan minum obat tidur.
     Samar-samar, saat aku sedang menunggu, aku melihat Sandy Pittman melewatiku ke arah puncak, diikuti beberapa waktu kemudian oleh Charlotte Fox dan kemudian Lopsang Jangbu. Beberapa waktu kemudian, muncul Yasuko, hanya sedikit dibawah tubuhku, tampak bingung dan kesulitan saat melewati bagian terakhir dari Hillary Step yang paling curam. Tanpa daya aku mengamati Yasuko yang sedang berjuang selama lima belas menit untuk menarik tubuhnya ke puncak Hillary Step, terlalu lelah untuk bisa melakukannya. Kemudian aku melihat Tim Madsen yang menunggu dengan tidak sabar dibawahnya, meletakkan tangannya dibawah pantat Yasuko dan mendorongnya naik ke atas.
     Rob Hall muncul tidak lama sesudahnya. Sambil menutupi rasa panikku yang semakin memuncak, aku mengucapkan terima kasih kepadanya karena berhasil membawaku sampai ke puncak Everest. "Ya, ternyata ekspedisi ini cukup berhasil, " katanya, kemudian dia menambahkan bahwa Frank Fishbeck, Beck Weathers, Lou Kasischke, Stuart Hutchison dan John Taske telah turun gunung. Meskipun aku sudah setengah linglung karena kekurangan oksigen, aku bisa melihat bahwa Hall sangat kecewa karena lima dari delapan kliennya mundur---aku menduga, perasaan kecewanya ditambah oleh kenyataan bahwa seluruh anggota ekspedisi Fischer masih sedang berjuang menuju puncak. "Aku tadinya berharap bisa membawa lebih banyak klien ke puncak ini," keluh Rob sebelum meneruskan pendakian.
     Tidak lama kemudian, Adams dan Boukreev tiba dalam perjalanan menuju bawah, berhenti tepat diatasku, menunggu sampai antrean pendaki melewati kami. Semenit kemudian, kerumunan pendaki yang memenuhi puncak Hillary Step semakin bertambah ketika Makalu Gau, Ang Dorje dan beberapa Sherpa tiba pada lintasan tali, diikuti oleh Doug  Hansen dan Scott Fischer. Setelah beberapa waktu, Hillary Step akhirnya kosong---tetapi aku sudah menunggu lebih dari satu jam diketinggian 28.900 kaki tanpa oksigen tambahan.
     Saat itu, hampir seluruh sektor korteks indrawi di dalam otakku sepertinya sudah tertutup. Pusing, dan takut akan jatuh pingsan, aku bergerak cepat menuju Puncak Selatan, menuju botol oksigenku yang ketiga. Dengan lunglai aku menuruni lintasan tali, tubuhku kaku karena tegang. Tepat diatas tangga batu, Anatoli dan Martin berputar melewati tubuhku dan bergegas menuruni lereng. Dengan sangat hati-hati, aku terus menuruni punggung gunung sambil berpegang pada lintasan tali, tetapi lima puluh kaki sebelum aku mencapai botol oksigenku yang ketiga, lintasan tali itu berakhir, dan tubuhku menolak untuk bergerak lebih jauh tanpa bantuan oksigen.
     Diatas Puncak Selatan, aku bisa melihat Andy Harris sedang memilah-milah beberapa botol oksige berwarna oranye. "Hai, Harold!" Teriakku, "Bisa tolong bawakan sebotol oksigen baru?"
     "Tidak ada lagi oksigen ditempat ini!" Jawab alpemandu itu dengan suara keras. "Semua botol yang ada disini sudah kosong!" Kabar yang sangat mengejutkan. Otakku menjerit mminta oksigen. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tepat disaat kritis itu, Mike Groom tiba disampingku dalam perjalanan turun. Pada 1993, Mike pernah mendaki  Everest tanpa menggunakan gas sehingga dia tidak terlalu cemas jika harus turun tanpa oksigen. Dia memberikan botol oksigennya kepadaku, dan kami bergerak bersama-sama menuju Puncak Selatan.
     Setibanya disana, kami memeriksa semua tabung oksigen yang ada, dan menemukan  sedikitnya enam botol yang masih terisi penuh. Namun, Andy tidak percaya. Dia bersikeras bahwa semua botol itu sudah kosong; apapun yang aku dan Mike  katakan, dia tetap tidak mempercayainya.
     Satu-satunya cara untuk mengetahui isi gas dalam tabung adalah dengan  menghubungkan tabung tersebut dengan regulator dan kemudian membaca meterannya: barangkali itulah yang dilakukan Andy saat dia memeriksa  botol-botol yang ada di Puncak Selatan. Setelah ekspedisi berakhir, Neal Beidleman mngatakan, jika regulator Andy tertutup es, meteran pada sistem oksigennya tentu menunjukkan angka nol, meskipun botol-botol oksigen yang diperiksanya masih terisi penuh. Keterangan ini mungkin bisa menjelaskan sikap keras kepalanya yang aneh. Dan jika regulatornya memang tidak berfungsi dengan baik sehingga tidak mampu mengalirkan oksigen ke dalam maskernya, itu juga bisa menjelaskan mengapa Andy sepertinya tidak bisa berpikir jernih.
     Kemungkinan tersebut---yang sekarang tampaknya sangat masuk akal---saat itu sama sekali tidak terpikirkan, baik oleh Mike maupun olehku sendiri. Jika dipikirkan kembali, sikap Andy jelas tidak masuk akal dan lebih dari sekedar dampak serangan hipoksia biasa, tetapi pikiranku saat itu sama-sama sudah terganggu sehingga aku tidak memahami keadaan tersebut.
     Ketidak mampuanku untuk menyadari fakta yang seharusnya tampak jelas itu, dalam beberapa tingkatan diperburuk oleh etika hubungan pemandu-klien. Andy dan aku sebenarnya memiliki kemampuan fisik dan pengalaman teknis yang hampir setara; sekiranya kami mendaki bersama dalam sebuah pendakian biasa sebagai rekan yang setara, bukan sebagai klien dan pemandu, aku pasti akan langsung menyadari kondisinya yang buruk. Akan tetapi, dalam ekspedisi ini, Andy berperan sebagai pemandu yang kedudukannya lebih unggul, dan dia ada ditempat itu untuk menjagaku dan para klien yang lain; secara khusus kami juga sudah di indoktrinasi untuk tidak mempertanyakan penilaian para pemandu. Tidak pernah terpikir oleh otakku yang sudah lumpuh bahwa Andy sedang menghadapi kesulitan besar---bahwa pemandu itu sedang membutuhkan bantuanku.
     Ketika Andy tetap bersikeras bahwa tidak ada botol yang terisi di Puncak Selatan, Mike menatapku dengan pandangan bertanya. Aku menatap balik kemudian mengangkat bahu. Sambil berbalik ke arah Andy, aku berkata, "Tidak masalah, Harold. Tidak perlu meributkan hal kecil seperti itu." Kemudian aku menarik sebuah botol oksigen, menguncinya pada regulatorku dan turun gunung. Mengingat beberapa fakta yang baru terungkap beberapa jam kemudian, sikapku yang melepas tanggung jawab dengan sangat mudah---kegagalanku untuk menyadari bahwa Andy mungki sedang menghadapi kesulitan besar---akan menjadi sesal yang bisa menghantuiku sepanjang hidup.
     Sekitar pukul 15.30, aku meninggalkan Puncak Selatan mendahului Mike, Yasuko dan Andy dan langsung disambut oleh gumpalan-gumpalan awan yang sangat tebal. Salju yang ringan mulai jatuh. Dibawah cahaya yang datar dan mulai redup, aku hampir-hampir tidak bisa membedakan batas antara gunung dan langit; dalam kondisi seperti itu, setiap orang bisa dengan mudah melangkah ke bibir jurang, untuk kemudian namanya tidak terdengar lagi. Dan kondisi cuaca semakin buruk saat aku bergerak menjauhi puncak.
     Di bawah tangga batu di atas Lereng Tenggara, aku dan Mike berhenti untuk menunggu Yasuko yang tampaknya kesulitan menuruni lintasan tali. Mike berusaha menghubungi Rob melalui radio, tetapi transmitter nya hanya bekerja sekali-sekali sehingga dia tidak berhasil menghubungi siapapun. Setelah melihat bahwa Mike menemani Yasuko, dan Rob serta Andy menemani Doug Hansen---sementara pendaki lain  masih berada jauh diatas kami---aku beranggapan bahwa situasi sudah terkendali. Jadi, ketika Yasuko sudah berdiri disamping kami, aku minta izin kepada Mike untuk meneruskan perjalanan menuruni gunung. "Baik" jawabnya. "Tapi, hati-hati ya, jangan keluar dari tepi lereng."
     Sekitar pukul 16.45, ketika aku tiba di Balkon---birai besar diketinggian 27.600 kaki yang terletak di Lereng Tenggara, tempat aku tadi pagi duduk sambil mengamati matahari terbit bersama Ang Dorje---aku sangat terkejut melihat Beck Weathers berdiri sendirian di atas salju, dengan tubuh yang gemetar hebat. Ku pikir dia sudah kembali ke Camp Empat beberapa jam yang lalu. "Beck", teriakku, "apa yang kamu lakukan ditempat ini?"
     Beberapa tahun yang lalu, Beck menjalani radial keratotomy(*1) operasi untuk memperbaiki penglihatannya. Dampak samping operasi tersebut, yang baru diketahuinya pada awal ekspedisi Everest, adalah terganggunya  penglihatan Beck saat dia berada pada tekanan udara yang sangat rendah pada ketinggian yang ekstrem. Semakin tinggi dia mendaki dan semakin rendah tekanan udara, semakin buruk penglihatannya.
     Sore kemarin, selesai mendaki dari Camp Tiga menuju Camp Empat, Beck mengakui, "penglihatanku menjadi benar-benar buruk sehingga jarak pandangku hanya terbatas sampai beberapa kaki. Aku terpaksa mendaki dibelakang Taske dan menjejakkan kaki tepat dibekas telapak kakinya."
     Beck kerap mengatakan secara terus terang tentang masalah penglihatan yang dihadapinya, tetapi ketika puncak sudah semakin dekat, dia lalai mengatakan masalah penglihatannya yang bertambah buruk, tidak kepada Rob atau siapapun. Meskipun penglihatannya memburuk, dia bisa mendaki dengan baik dan merasa lebih kuat dibanding dengan saat-saat awal ekspedisi dan, katanya menjelaskan, "Aku tidak mau mundur terlalu cepat."
     Saat harus mendaki sepanjang malam di atas Jalur Selatan, Beck mampu mengimbangi anggota tim yang lain dengan menerapkan strategi serupa yang dia terapkan sore sebelumnya---menginjak bekas telapak kaki orang yang berada langsung di depannya. Namun, ketika dia tiba di Balkon, dan matahari mulai naik, Beck menyadari bahwa penglihatannya menjadi bertambah buruk. Selain itu, tanpa sengaja dia menggosok matanya dengan beberapa pecahan es sehingga melukai kedua kornea matanya.
     "Saat itu," Beck mengakui, "salah satu mataku sudah benar-benar kabur, aku hampir-hampir tidak bisa melihat hanya dengan satu mata, dan hampir-hampir tidak bisa berpikir secara jernih. Dengan kondisi penglihatan seperti itu, kupikir aku tidak mungkin bisa terus mendaki tanpa membahayakan keselamatanku sendiri atau tanpa menjadi beban bagi orang lain. Akhirnya aku berterus terang kepada Rob, dan mengatakan masalah yang aku hadapi.
     "Maaf teman," jawab Rob seketika, "Anda harus turun. Aku akan menugaskan salah seorang Sherpa untuk menemanimu." Namun Beck belum siap untuk menyerah dan masih bersikeras  ingin mencapai puncak, "Kukatakan kepada Rob bahwa penglihatanku mungkin akan membaik jika matahari sudah lebih tinggi dan kedua bola mataku bisa berkontraksi. Aku katakan, aku ingin menunggu sebentar dan menyusul yang lain jika aku sudah bisa melihat lebih jelas."
     Rob mempertimbangkan permohonan Beck, kemudian mengambil keputusan, "Baik, cukup adil. Aku akan memberimu setengah jam. Namun, aku tidak akan membiarkanmu turun ke Camp Empat sendirian. Jika penglihatanmu tidak membaik setelah tiga puluh menit, aku minta kamu menunggu ditempat ini supaya aku tahu dimana kamu berada sampai aku kembali dari puncak, kemudian kita akan turun bersama-sama. Aku sungguh-sungguh dalam hal ini: kamu boleh turun sekarang atau berjanji akan duduk disini sampai aku kembali."
     "Jadi aku berjanji dan berharap akan mati," tambah Beck dengan besar hati saat kami berdiri ditengah salju yang tertiup angin dibawah cahaya yang mulai meredup. "Dan aku menepati janjiku. Itulah sebabnya aku masih berdiri ditempat ini."
     Beberapa saat setelah tengah hari, Stuart Hutchison, John Taske dan Lou Kasischke melewatinya dalam perjalanan menuruni gunung ditemani Lhakpa dan Kami, tetapi Weathers memilih untuk tidak turun bersama mereka. "Cuaca masih baik," katanya menjelaskan, "dan aku tidak melihat alasan untuk melanggar janjiku kepada Rob saat itu."
      Akan tetapi, saat ini udara sudah mulai gelap dan cuaca sudah berubah buruk. "Turunlah bersamaku," bujukku. "Masih dua atau tiga jam sebelum Rob muncul. Aku akan menuntun Anda. Aku akan membantu Anda turun, tidak masalah." Beck hampir-hampir terbujuk untuk turun bersamaku, tetapi aku membuat kesalahan dengan mengatakan bahwa Mike Groom juga sedang dalam perjalanan ke bawah bersama Yasuko, hanya beberapa menit dibelakangku. Pada hari yang penuh dengan tumpukan kesalahan, yang satu ini ternyata menjadi kesalahan yang cukup besar.
     "Terima kasih atas tawaranmu," kata Beck. "Aku pikir sebaiknya aku menunggu Mike saja. Dia punya tali, dan dia bisa mengikat aku saat kami turun."
     "Baiklah Beck," kataku. "Itu pilihanmu. Aku harap kita bisa bertemu lagi diperkemahan nanti." Diam-diam aku merasa senang karena aku tidak harus membantu Beck menuruni rute yang sulit, yang hampir seluruhnya tidak diamankan oleh lintasan tali. Sinar matahari siang mulai meredup, cuaca semakin buruk, dan sisa-sisa kekuatanku sudah hampir punah. Namun, aku masih saja belum menyadari bahwa bencana sedang mendekat. Setelah berbicara dengan Beck, aku masih membuang waktu dengan memeriksa tabung oksigen kosong yang kutinggalkan diatas salju dalam perjalanan menuju puncak sepuluh jam yang lalu. Oleh karena tidak ingin meninggalkan sampahku diatas gunung ini, aku memasukkan tabunh kosong itu kedalam tasku yang sudah berisi dua botol oksigen (satu kosong dan satu setengah terisi), dan bergegas menuju Jalur Selatan 1600 kaki dibawahku. Dari Balkon aku turun beberapa ratus kaki melewati selokan salju yang lebar tanpa kesulitan yang berarti, tetapi kemudian, keadaan mulai berubah sulit. Jalur yang kulalui berubah berkelok-kelok, melewati singkapan serpih yang pecah-pecah dan tertutup es segar setebal 15,24 senti. Melewati medan yang goyah dan berlikh-liku seperti itu benar-benar membutuhkan konsentrasi penuh, upaya yang hampir-hampir tidak mungkin dalam kondisiku yang setengah linglung.
     Karena angin telah menghapus jejak para pendaki yang turun mendahuluiku, aku kesulitan menentukan rute yang benar. Pada 1993, rekan Mike Groom---Lopsang Tshering Bhutia, seorang pendaki Himalaya yang andal, sepupu Tenzing Norgay---mengambil belokan yang salah ditempat ini dan menemui ajalnya. Berjuang agar tetap sadar, aku mulai bicara sendiri, "Bertahanlah, bertahanlah, bertahanlah," aku terus berkomat kamit seperti orang sedang membaca mantra. "Kamu tidak boleh melakukan kesalahan ditempat ini. Ini sangat serius. Bertahanlah."
     Aku duduk untuk beristirahat diatas sebuah birai miring yang cukup lebar, tetapi baru beberapa menit terdengar sebuah suara BOOM! yang memekakkan telinga, yang memaksaku untuk berdiri. Beberapa salju baru mulai menumpuk sehingga aku takut longsoran salju dilereng diatasku melepaskan bongkahan es yang besar, tetapi saat aku berbalik dan melihat ke belakang, aku tidak melihat apapun. Sekali lagi aku mendengar suara BOOM! disusul oleh kilat yang menerangi langit, dan aku sadar bahwa aku sedang mendengar suara petir.
     Pagi tadi, dalam perjalanan ke atas, aku memutuskan untuk mengingat rute ditempat ini, berkali-kali aku melihat kebawah untuk menandai landmark yang bisa membantuku saat turun gunung dan dengan sengaja menghafal medan yang kulalui, "Ingat, belok kiri ditonjolan batu yang menyerupai haluan kapal. Kemudian ikuti lintasan salju tipis sampai dia membelok tiba-tiba ke arah kanan." Itulah latihan yang sudah kulakukan sejak beberapa tahun yang lalu, sebuah latihan yang selalu kulakukan setiap kali aku mendaki dan di Everest, kebiasaan itu mungkin telah menyelamatkan nyawaku. Pukul 18.00, ketika badai berubah menjadi badai salju yang sangat kuat dan bertiup dengan kecepatan lebih dari 60 knot, aku tiba pada lintasan tali yang dibuat oleh tim Montenegro, diatas lereng yang ditutupi salju, 600 kaki dari Jalur Selatan. Pikiranku mulai jernih karena kekuatan badai yang terus meningkat, aku sadar bahwa aku sudah berhasil melewati jalur tersulit, tepat pada waktunya.
     Setelah melingkarkan tanganku pada lintasan tali, aku menuruni lereng ditengah hantaman badai salju. Beberapa menit kemudian, perasaan tercekik yang kerap kurasakan muncul kembali dan aku sadar bahwa tangki oksigenku sekali lagi sudah kosong. Tiga jam yang lalu, ketika aku menghubungkan regulatorku dengan botol oksigen yang ketiga dan yang terakhir, angka penunjuk meteran menunjukkan bahwa botol tersebut hanya berisi setengahnya. Namun, kupikir jumlah itu cukup untuk membawaku sampai ke perkemahan, jadi aku tidak menggantinya dengan botol lain yang masih penuh. Sekarang, sekali lagi botol oksigenku kosong.
     Aku menarik masker dari mukaku dan membiarkannya tergantung dileherku, melanjutkan perjalanan menuruni lereng, anehnya aku tidak peduli.  Namun tanpa oksigen tambahan gerakanku menjadi lebih lambat dan aku harus lebih sering berhenti dan beristirahat.
     Tulisan-tulisan tentang Everest dipenuhi dongeng-dongeng tentang pendaki yang berhalusinasi karena sel-sel ditubuhnya kekurangan oksigen dan karena kelelahan. Pada 1993, seorang pendaki Inggris terkemuka bernama Frank Smythe, "melihat dua objek yang tampak aneh terbang di atas langit" langsung diatas kepalanya pada ketinggian 27.000 kaki: "(salah satu objek itu) memiliki bakal sayap pendek yang tampaknya belum berkembang, dan objek lain memiliki tonjolan-tonjolan menyerupai paruh. Mereka melayang-layang tanpa bergerak, tetapi seperti bergetar perlahan." Pada 1980, saat melakukan pendakian solo, Reinhold Messner membayangkan seorang teman sedang menemaninya mendaki. Sedikit demi sedikit, aku menyadari bahwa pikiranku mulai mengabur dengan cara serupa, dan aku mengamati dengan rasa takjub sekaligus takut, meluncurnya diriku keluar dari realitas.
     Kelelahan yang kurasakan lebih dari sekedar kelelahan biasa sehingga secara aneh aku melihat tubuhku seperti terlepas, aku mengawasi diriku sedang menuruni lereng yang letaknya beberapa kaki diatasku. Dalam pikiranku, aku memakai kardigan warna hijau dan sepatu berujung lancip. Selain itu, meskipun badai salju membuat temperatur turun hingga tujuh puluh derajat dibawah nol, secara aneh aku merasa bahwa tubuhku benar-benar hangat.
     Pada pukul 18.30, ketika cahaya terakhir menghilang dari langit, aku sudah turun sampai ketinggian 200 kaki di atas Camp Empat. Hanya ada satu hambatan yang berdiri di antara diriku dan keselamatan: sebuah tonjolan runcing tertutup es yang keras dan licin, yang harus kuturuni tanpa lintasan tali. Butiran-butiran es keras yang diterbangkan oleh angin berkecepatan 70 knot menghantam mukaku; setiap bagian tubuhku yang tidak tertutup segera membeku. Tenda-tenda perkemahan, yang jauhnya tidak lebih dari 650 kaki horizontal didepanku, sekali-sekali tampak ditengah hamparan warna putih yang sangat luas. Aku tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun. Karena takut membuat kesalahan yang fatal, aku duduk untuk mengumpulkan tenaga sebelum turun lebih jauh.
     Begitu aku berdiri, tubuhku seperti menolak untuk bergerak. Sepertinya beristirahat lebih mudah daripada berusaha untuk menuruni lereng es yang berbahaya ini; jadi aku memutuskan untuk tetap duduk disana, ditengah raungan suara badai yang mengelilingiku, membiarkan pikiranku melayang, tidak melakukan apapun, selama kurang lebih empat puluh lima menit
     Aku baru selesai mengencangkan tali penutup kepalaku, membiarkan sebuah celah kecil tetap terbuka disekitar mataku dan sedang menurunkan masker oksigen yang tidak berguna lagi dari bawah daguku ketika Andy Harris tiba-tiba muncul dari tengah kegelapan disampingku. Saat mengarahkan lampu kepalaku ke wajahnya, aku terkesiap melihat wajahnya yang sangat mengenaskan. Pipinya tertutup oleh lapisan salju yang membeku dan suaranya seperti orang mabuk. Dia benar-benar dalam kesulitan besar. "Mana arah menuju perkemahan?" tanya Andy dengan suara kalut, ingin secepatnya mencari perlindungan.
     Aku menunjuk ke arah Camp Empat, kemudian mengingatkan dia tentang tonjolan es yang sangat licin tepat dibawah kami. "Es itu lebih terjal dari yang terlihat," teriakku, berusaha mengalahkan suara badai. "Barangkali aku harus turun lebih dahulu dan mengambil tali dari perkemahan---". Sebelum kalimatku berakhir, Andy sudah berbalik dan bergerak mendekati mulut lereng, meninggalkanku yang tetap duduk dalam keadaan bingung.
     Sambil meluncur diatas pantatnya, dengan cepat Andy turun melewati bagian lereng es yang paling curam. "Andy," teriakku dari belakang, "kamu gila jika kamu mencoba dengan cara itu, kamu pasti gagal!" Sebagai balasan dia meneriakkan sesuatu, tetapi suaranya hilang ditelan suara gemuruh angin. Sedetik kemudian, dia kehilangan pijakan, terbalik melewati bibir es berbentuk mulut ceret, dan tiba-tiba saja meluncur cepat ke bawah es dengan kepala dibawah.
     Dua ratus kaki dibawahku, samar-samar aku bisa melihat tubuh Andy yang tidak bergerak terbujur di kaki lereng. Aku yakin, setidaknya salah satu kakinya paati patah, atau barangkali lehernya. Namun, secara mengagumkan, dia berdiri, melambaikan tangan untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja dan mulai bergerak menuju Camp Empat, yang saat itu tampak jelas, 500 kaki dibawahku.
     Aku bisa melihat bayangan tiga atau empat sosok tubuh berdiri diluar perkemahan; lampu kepala yang mereka kenakan berkelap-kelip diantara butiran salju yang diterbangkan angin. Aku mengamati Harris berjalan menuju mereka melewati medan yang datar, jarak yang bisa ditempuhnya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Ketika sekelompok awan menutupi pemandanganku beberapa waktu kemudian, Andy sudah berada kira-kira enam puluh kaki dari perkemahan, mungkin lebih dekat lagi. Aku tidak melihatnya lagi sesudahnya, tetapi aku yakin bahwa dia tiba dengan aman diperkemahan, disambut Chuldum dan Arita yang akan menghidangkan secangkir teh panas. Duduk menunggu dibawah terjangan badai, dengan lereng es yang masih berdiri memisahkanku dan perkemahan, aku merasa sedikit iri. Aku juga marah karena pemanduku tidak menungguku.
     Ransel punggungku hanya berisi tiga botol oksigen kosong dan sedikit limun yang sudah beku; beratnya pasti tidak lebih dari delapan atau sembilan kilogram. Namun aku sangat lelah, dan aku ragu-ragu akan bisa melewati lereng itu tanpa mematahkan salah satu kakiku, jadi aku melempar ranselku melalui mulut lereng dan berharap agar dia jatuh ditempat yang tepat agar aku bisa memungutnya kembali. Kemudian aku berdiri dan mulai menuruni lereng es yang licin dan keras seperti permukaan jalur bowling.
     Setelah lima belas menit yang melelahkan dan berkutat diatas cramponku, akhirnya aku tiba dikaki lereng. Dengan mudah aku menemukan ranselku dan sepuluh menit kemudian aku sudah berada di dalam perkemahan. Aku masuk ke dalam kemah tanpa melepaskan sepatu pakuku, menutup rapat resletting pintu tenda dan merangkak diatas lantai tenda yang tertutup salju, terlalu lelah untuk duduk tegak. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar lelah: perasaan lelah yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Namun aku selamat, Andy juga selamat. Yang lain akan segera tiba diperkemahan. Kami berhasil. Kami sudah mendaki Everest. Untuk beberapa waktu, keadaan diatas memang cukup sulit, tetapi akhirnya semua berakhir dengan baik.

Baru beberapa jam kemudian aku menyadari bahwa ternyata semuanya tidak berakhir baik---bahwa sembilan belas pria dan wanita terdampar di atas gunung karena badai, terperangkap dalam perjuangan berat untuk mempertahankan hidup mereka.

#Bersambung

(*1): Radial keratotomy adalah prosedur pembedahan untuk memperbaiki rabun jauh; dalam operasi ini, sejumlah sayatan tipis dilakukan dari ujung luar kornea ke arah tengahnya sehingga menjadikan kornea lebih pipih.

Kamis, 01 Oktober 2015

Into Thin Air---BAB XIII---LERENG TENGGARA 10 MEI 1996---27.600 KAKI

Cukup jika dikatakan bahwa (Everest) memiliki lereng yang paling terjal dan tebing yang paling curam yang pernah kulihat, dan bahwa semua desas desus tentang lereng bersalju yang mudah ditaklukkan tidak lebih dari sebuah mitos...
     Sayangku, ini benar-benar bisnis yang sangat menggetarkan jiwa, aku tidak dapat menceritakan betapa dia membuatku kerasukan, betapa besar prospek yang di milikinya. Dan betapa indah semua ini!

George Leigh Mallory
dalam satu surat untuk istrinya,
28 Juni 1921

Di atas Jalur Selatan, jauh diatas di Zona Kematian, kemampuan untuk bertahan hidup sedikit banyak menyerupai perlombaan melawan waktu. Saat keluar dari Camp Empat pada 10 Mei, setiap klien membawa dua tabung oksigen masinh-masing berisi 3,3 kilogram dan di Puncak Selatan mereka bisa mengambil botol ketiga dari tempat penyimpanan yang sudah disiapkan oleh para Sherpa. Dengan kecepatan mengalir dua liter per menit, setiap botol akan bisa bertahan antara lima sampai enam jam. Sekitar pukul 16.00 atau 17.00, setiap pendaki akan kehabisan gas. Bergantung pada hasil aklimatisasi dan fisik masing-masing, semua orang masih akan bisa berfungsi diatas Jalur Selatan---tetapi tidak cukup baik, dan tidak akan bertahan lama. Dengan cepat, kami akan menjadi lebih rentan terhadap serangan  HAPE, HACE, hipotermia, kemampuan berpikir kami akan menurun dengan cepat, dan kami lebih rentan terhadap gigitan udara dingin. Resiko kematian pun akan meroket tajam.
     Hall, yang pernah empat kali mendaki Everest, begitu pula pendaki-pendaki yang lain, memahami dengan baik perlunya mendaki dan turun dengan cepat. Sadar bahwa keterampilan dasar mendaki dari beberapa kliennya sangat diragukan, Hall bermaksud memanfaatkan lintasan tali untuk mengamankan dan melancarkan pendakian tim kami  dan tim Fischer saat melewati medan yang paling sulit. Fakta bahwa belum satu ekspedisipun yang bisa mencapai puncak tahun ini cukup mencemaskannya, artinya, belum ada lintasan tali yang terpasang di sebagian besar jalur pendakian.
     Pada 3 Mei, Goran Kropp, pendaki solo dari Swedia sudah mendaki sampai kira-kira 350 kaki dari puncak, tetapi dia tidak membuat lintasan tali. Tim Montenegro yang sudah mendaki lebih tinggi memang membuat lintasan tali, tetapi karena kurang pengalaman, mereka justru membuat lintasan tali sepanjang 1.400 kaki di atas Jalur Selatan, menyia-nyiakan tali mereka di lereng yang cukup landai. Jadi, pada hari terakhir pendakian menuju puncak, satu-satunya tali yang terentang dijalur terjal di bagian atas Lereng Tenggara hanyalah beberapa potongan tali, sisa-sisa dari ekspedisi yang lalu yang secara sporadis mencuat dari permukaan es.
     Mengantisipasi kemungkinan ini, sebelum meninggalkan Base Camp, Hall dan Fischer mengumpulkan  para pemandu dari kedua tim, dan mereka sepakat untuk mengirimkan dua Sherpa---termasuk sirdar pendaki, Ang Dorje dan Lopsang---dari Camp Empat, sembilan puluh menit sebelum tim utama berangkat. Sembilan puluh menit dianggap cukup bagi kedua Sherpa itu untuk membuat lintasan tali ditempat-tempat yang paling sulit di atas gunung sebelum para klien tiba. "Rob menekankan pentingnya melakukan hal itu," kenang Beidleman. "Dia ingin mengurangi hambatan-hambatan yang menghabiskan waktu, apapun bayarannya."
     Akan tetapi, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, tidak ada Sherpa yang berangkat mendahului kami pada 9 Mei tersebut. Barangkali mereka tertahan oleh badai yang sangat hebat yang tidak berhenti sampai pukul 19.30 sehingga tidak bisa bergerak lebih awal. Setelah ekspedisi berakhir, Lopsang mengatakan bahwa pada menit terakhir, Hall dan Fischer membatalkan rencana memasang lintasan tali untuk para klien karena mereka menerima informasi yang salah, yaitu tim Montenegro sudah membuat lintasan tali sampai di Puncak Selatan.
     Anehnya, jika penjelasan Lopsang memang benar, baik Beidleman, Groom maupun Boukreev---tiga pemandu yang lolos dari maut---tidak pernah diberi tahu tentang perubahan rencana untuk membuat lintasan tali dengan sengaja dibatalkan, mengapa Lopsang dan Ang Dorje berangkat dengan membawa seutas tali masing-masing sepanjang 300 kaki saat mereka meninggalkan Camp Empat mendahului tim masing-masing.
     Yang pasti, tidak ada lintasan tali di atas ketinggian 27.400 kaki. Ketika Ang Dorje dan aku tiba di balkon sebagai pendaki pertama pada pukul 05.30 pagi, kami berdua berada kira-kira satu jam didepan anggota tim Hall yang lain. Saat itu, kami bisa dengan mudah membuat lintasan tali. Namun, Rob dengan tegas melarangku untuk terus mendaki dan Lopsang masih berada jauh dibawah kami, menarik Pittman dengan tali pendek sehingga tidak ada orang yang menemani Ang Dorje.
     Ang Dorje yang dasarnya memang pendiam dan pemurung tampak lebih murung saat kami berdua mengamati matahari yang sedang naik. Upayaku untuk mengajaknya bercakap-cakap sama sekali tidak berhasil. Aku menduga sikap diamnya disebabkan oleh giginya yang bernanah, yang membuatnya kesakitan sejak dua minggu yang lalu. Atau, barangkali dia memikirkan bayangan buruk yang dilihatnya empat hari lalu: pada malam terakhir di Base Camp, dia dan beberapa Sherpa merayakan upaya menaklukkan puncak dengan meminum sejumlah besar chhang---sejenis bir yang kental dan manis terbuat dari beras dan semacam padi-padian. Keesokan harinya, masih pusing karena belum sepenuhnya pulih dari sisa-sisa mabuk semalam, Ang Dorje benar-benar gelisah; sebelum mendaki Jeram Es, dia mengaku kepada seorang teman bahwa dia melihat hantu. Sebagai pemuda yang sangat spiritual, Ang Dorje tidak bisa mengabaikan isyarat itu begitu saja.
     Akan tetapi, mungkin juga dia hanya marah kepada Lopsang yang dianggapnya sok pamer. Pada ekspedisi 1995, Hall mempekerjakan Lopsang dan Ang Dorje, tetapi kedua Sherpa itu kurang bisa bekerja sama.
     Ketika itu, pada hari terakhir pendakian menuju puncak, tim Hall sedikit terlambat tiba di Puncak Selatan, sekitar pukul 13.30 dan mendapati salju yang tidak stabil menutupi lereng terakhir yang menuju puncak. Hall mengirimkan seorang pemandu Selandia Baru bernama Guy Cotter dan Lopsang, bukan Ang Dorje, untuk menaksir kemungkinan mereka bisa mendaki lebih tinggi---dan Ang Dorje yang saat itu berperan sebagai sirdar pendaki menganggap penugasan tersebut sebagai penghinaan. Beberapa saat kemudian ketika Lopsang tiba didasar Hillary Step, Hall memutuskan untuk membatalkan upaya mencapai puncak dan meminta Cotter dan Lopsang untuk turun kembali. Namun Lopsang mengabaikan perintah tersebut, dan karena tidak terikat pada Cotter, dia meneruskan pendakian sampai ke puncak, sendirian. Hall sangat marah melihat pembangkangan Lopsang, dan kemarahan Hall merembet kepada Ang Dorje.
     Pada 1996 ini, meskipun keduanya bekerja untuk dua tim yang berbeda, sekali lagi Ang Dorje diminta untuk bekerja bersama Lopsang pada hari pendakian terakhir menuju puncak---dan sekali lagi Lopsang bertindak aneh. Selama enam minggu, Ang Dorje sudah melakukan semua tugasnya dengan sangat baik. Sekarang, dia tidak mau lagi melakukan tugas-tugas yang bukan bagiannya. Dengan muka murung, dia duduk disampingku diatas salju, menunggu kedatangan Lopsang, sementara tali untuk para pendaki masih belum terentang.
     Akibatnya, aku harus berhadapan dengan hambatan pertama, sembilan puluh menit setelah melewati Balkon, pada ketinggian 28.000 kaki, ketika para pendaki anggota dari ketiga tim tiba dihadapan batu yang pejal, yang hanya bisa dilewati secara aman dengan bantuan lintasan tali. Para klien berdesakan didasar undakan selama hampir satu jam, sementara Beidleman---yang mengambil alih tugas Lopsang yang saat itu tidak hadir---bekerja keras untuk memasang lintasan tali.
     Ditempat ini, ketidak sabaran dan kurangnya pengalaman salah seorang klien Hall, Yasuko Namba, hampir saja menimbulkan bencana. Pebisnis andal yang bekerja untuk Federal Express di Tokyo ini memang bukan wanita penurut dan patuh, seperti umumnya wanita Jepang berusia setengah baya. Di rumah, katanya kepadaku sambil tertawa, suaminya lah yang memasak dan membersihkan rumah. Di Jepang, upayanya untuk menundukkan Everest membuatnya cukup terkenal. Di awal ekspedisi, dia merupakan pendaki yang lamban dan kurang memiliki keyakinan, tetapi hari ini, ketika puncak sudah begitu dekat, dia berubah energik, sangat berbeda dengan Yasuko yang biasa. "Sejak kami tiba di Jalur Selatan," komentar John Taske, yang tidur satu tenda dengannya di Camp Empat, " perhatian Yasuko benar-benar terfokus pada upaya untuk mencapai puncak---dia seperti orang yang kerasukan." Sejak meninggalkan Jalur Selatan, dia berusaha keras agar berada diawal antrean para pendaki.
     Sekarang, ketika Beidleman masih bergantung dalam posisi berbahaya pada permukaan batuan, 100 kaki diatas para klien, Yasuko yang tidak sabar langsung mengaitkan alat pendaki mekaniknya ke lintasan tali yang terentang sebelum Beidleman selesai mengunci dan mengamankan ujung tali tersebut. Ketika Yasuko siap untuk memindahkan berat tubuhnya pada tali tersebut---yang akan membuat Beidleman jatuh---Mike Groom turun tangan tepat pada waktunya dan dengan halus menegurnya karena bersikap tidak sabar.
     Kemacetan yang terjadi pada lintasan tali pendakian semakin parah ketika jumlah pendaki terus bertambah sehingga para pendaki yang berada di belakang antrean semakin jauh tertinggal. Menjelang tengah hari, tiga dari klien Hall---Stuart Hutchison, John Taske dan Lou Kasischke, yang berada hampir dibelakang antrean bersama Hall---merasa semakin cemas karena lambannya pendakian. Didepan mereka, beberapa pendaki tim Taiwan mendaki dengan sangat lambat. "Cara mendaki mereka pun sangat aneh, terlalu berdekatan, " kata Hutchison, "hampir seperti potongan-potongan roti tawar yang saling bertumpuk, satu dibelakang yang lain, sehingga kami hampir-hampir tidak bisa melewati mereka. Kami harus menunggu lama sampai mereka bergerak kelintasan tali yang lebih tinggi."
     Di Base Camp, sebelum hari pendakian terakhir menuju puncak, Hall sudah menentukan waktu kembali untuk kami semua---yaitu pukul 13.00 atau 14.00. Namun, dia belum pernah menentukan dengan tegas, mana diantara kedua waktu itu yang harus dipilih---cukup aneh, mengingat seringnya dia berbicara tentang pentingnya menentukan tenggat waktu dan mematuhinya, apapun yang terjadi. Kami seperti dibiarkan berpikir bahwa Hall akan menunda keputusan sampai hari terakhir, setelah menaksir cuaca dan beberapa faktor lain, dan dia sendiri akan langsung bertanggung jawab membawa  semua orang turun dari gunung tepat pada waktunya.
     Menjelang tengah hari pada 10 Mei, Hall masih belum memutuskan, pukul berapa kami harus turun kembali. Hutchison yang konservatif menduga bahwa kami harus kembali pada pukul 13.00. Sekitar pukul 11.00, mengatakan bahwa puncak Everest masih sekitar tiga jam jauhnya, dan dia berusaha mendaki lebih cepat agar bisa melewati tim Taiwan. "Semakin lama kemungkinan untuk bisa sampai ke puncak sebelum pukul 13.00 menjadi semakin kecil," kata Hutchison. Kemudian mereka melakukan pembicaraan singkat. Pada awalnya, Kasischke tidak bersedia mundur, tetapi Taske dan Hutchison membujuknya. Pada pukul 11.30, ketiga pria itu berbalik dan turun, dan Hall mengirim dua orang Sherpa, yaitu Kami dan Lhakpa Chhiri, untuk menemani mereka.
     Memutuskan untuk turun gunung pasti sangat sulit bagi ketiga klien tersebut, begitu juga bagi Frank Fishbeck, yang sudah turun sejam sebelumnya. Para pendaki, baik pria maupun wanita, adalah orang-orang yang tidak mudah menyerah dalam meraih sasaran mereka. Pada hari akhir pendakian ini, setiap anggota tim ekspedisi sudah melewati banyak penderitaan dan bencana; orang-orang yang emosinya lebih seimbang pasti sudah lama berkemas dan pergi. Untuk sampai ke titik ini, orang harus memiliki sifat keras kepala yang lebih dari biasa.
     Sayangnya, jenis individu yang diprogram untuk mengabaikan tekanan pribadi dan memaksa mendaki sampai puncak biasanya diprogram untuk juga mengabaikan tanda-tanda datangnya bencana yang sudah sangat dekat. Inilah intisari dilema yang akhirnya dihadapi para pendaki Everest: untuk meraih sukses, Anda harus punya motivasi yang sangat kuat, tetapi, jika Anda terlalu termotivasi, Anda beresiko menemui ajal. Selain itu, pada ketinggian lebih dari 26.000 kaki, sulit membedakan antara semangat yang layak dan demam puncak yang membuat seseorang berbuat nekat karena batasnya benar-benar tipis. Itu sebabnya, lereng Everest dipenuhi oleh mayat.
     Taske, Hutchison, Kasischke dan Fishbeck masing-masing sudah mengeluarkan uang sebesar 70.000 dolar dan menderita selama berminggu-minggu agar bisa mencapai puncak. Mereka adalah orang-orang yang ambisius, yang tidak biasa kalah atau menyerah. Namun sekarang, ketika mereka dihadapkan pada keputusan yang sangat sulit, mereka termasuk sedikit dari orang-orang yang pada hari itu mengambil keputusan yang benar.
      Diatas undakan batu tempat John, Stuart dan Lou memutuskan untuk mundur, lintasan tali pendakian berakhir. Mulai dari sana jalur pendakian menjadi sangat curam, melewati lereng yang anggun, tetapi sempit yang tertutup oleh lapisan es yang mengeras karena tertiup angin yang kecepatannya meningkat di Puncak Selatan. Aku tiba ditempat itu pada pukul 11.00 dan berhadapan langsung dengan hambatan kedua yang lebih sulit. Sedikit di atasku, tidak lebih dari sepelemparan batu, tampak lereng Hillary Step yang berdiri vertikal, dan sedikit lebih ke atas lagi, aku melihat Puncak Everest. Merasa bodoh karena kagum dan lelah, aku mengambil beberapa foto, kemudian duduk bersama pemandu Andy Harris, Neil Beidleman dan Anatoli Boukreev, untuk menunggu para Sherpa yang sedang membuat lintasan tali di lereng menuju puncak yang sangat menonjol.
     Aku mengamati bahwa Boukreev, begitu pula Lopsang, tidak memakai oksigen tambahan. Meskipun orang Rusia itu sudah dua kali menaklukkan Everest tanpa oksigen tambahan, dan Lopsang sudah tiga kali, aku agak terkejut karena Fischer mengizinkan mereka memandu ke puncak tanpa oksigen, seakan-akan mereka tidak mengutamakan kepentingan para klien. Aku juga terkejut karena Boukreev sama sekali tidak membawa ransel---seorang pemandu biasanya membawa ransel berisi tali, peralatan P3K, peralatan standar untuk penyelamatan jika terjadi kecelakaan dicelah gletser, pakaian ekstra dan beberapa perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk membantu klien dalam situasi darurat. Boukreev merupakan pemandu pertama yang kulihat, digunung manapun, yang mengabaikan aturan tersebut.
     Ternyata, saat dia meninggalkan Camp Empat, dia membawa ransel dan tabung oksigen; dia juga mengatakan kepadaku kemudian bahwa meskipun dia tidak berniat menggunakan oksigen, dia ingin membawa satu botol untuk berjaga-jaga kalau-kalau "kekuatannya menurun" dan dia membutuhkannya saat berada dipuncak sana. Namun, sesampainya di Balkon, dia membuang ranselnya dan memberikan botol oksigen, masker dan regulatornya kepada Beidleman dan memintanya untuk membawakan barang-barang tersebut untuknya. Karena Boukreev tidak menggunakan oksigen tambahan, dia memutuskan untuk meminimalkan bawaannya agar bisa memaksimalkan udara yang sudah sangat menipis.
     Angin dengan kecepatan 20 knot menerjang lereng, menerbangkan lembaran-lembaran salju jauh ke atas Kangshung Face, tetapi diatas sana, langit tampak biru cemerlang. Duduk tenang di bawah sinar matahari pada ketinggian 28.700 kaki dibungkus jaket yang tebal, sambil memandang ke arah puncak dunia dengan tubuh lunglai karena kekurangan oksigen, aku benar-benar kehilangan jejak atas waktu. Tidak seorang pun dari kami menyadari bahwa Ang Dorje, Ngawang Norbu dan seorang Sherpa lain dari tim Hall, ikut duduk disamping kami, berbagi teh dari sebuah termos dan tampak tidak terburu-buru untuk mendaki lebih tinggi. Sekitar pukul 11.40, Beidleman akhirnya bertanya, "Hai, Ang Dorje, bukankah kamu harus membuat lintasan tali?" Dengan cepat tetapi pasti, Ang Dorje menjawab, "Tidak"---barangkali karena tidak satupun Sherpa dari tim Fischer ada ditempat itu untuk membantunya.
     Cemas karena jumlah pendaki yang berkerumun di Puncak Selatan terus bertambah banyak, Beidleman mendatangi Harris dan Boukreev dan bersikeras bahwa mereka bertiga  memasang lintasan tali bersama-sama; mendengar itu, dengan cepat aku menawarkan diri untuk membantu. Beidleman mengeluarkan seutas tali sepanjang 150 kaki dari dalam tasnya, aku mengambil seutas tali lain dari Ang Dorje, dan dengan dibantu Boukreev dan Harris, tepat tengah hari, kami berhasil membuat lintasan tali sampai ke puncak tebing. Namun saat itu, satu jam sudah terbuang secara sia-sia.

Oksigen botol tidak membuat Puncak Everest seperti tepi laut. Mendaki lereng Puncak Selatan dengan regulator yang menyalurkan oksigen yang mengalir dengan kecepatan kurang dari dua liter per menit memaksaku untuk berhenti setiap satu langkah untuk menarik tiga atau empat kali napas panjang. Kemudian, setiap satu langkah aku harus berhenti lagi untuk menarik empat kali napas panjang---dan itu adalah kecepatan terbaikku. Karena sistem oksigen yang kami gunakan mengalirkan gas yang dimampatkan yang dicampur dengan udara disekelilingnya, bernapas pada ketinggian 29.000 kaki dengan bantuan gas hampir setara dengan bernapas pada ketinggian  26.000 kaki, tetapi tanpa gas. Namun, oksigen botol memberikan manfaat lain yang sulit diukur.
     Mendaki sepanjang lereng puncak yang runcing, mengisap gas ke dalam paru-paruku yang terasa compang-camping, aku menikmati munculnya sensasi yang tenang dan aneh. Dunia dibalik masker karetku secara aneh terlihat sangat jelas, tetapi tidak benar-benar nyata, seperti sebuah film yang diputar dengan gerakan lambat didepan kacamataku. Aku merasa terbius, terlepas dan benar-benar terisolasi dari semua rangsangan luar. Berkali-kali aku harus mengingatkan diriku bahwa di kiri kananku ada langit dengan ketinggian 7.000 kaki, bahwa disini semua dipertaruhkan, bahwa setiap kecerobohan harus aku bayar dengan nyawaku.
     Setengah jam setelah melewati Puncak Selatan, aku tiba dikaki Hillary Step. Salah satu jalur pendakian yang paling terkenal dalam dunia pendaki gunung, lereng Hillary Step yang tertutup es dengan panjang 40 kaki dan kemiringan yang hampir vertikal itu kelihatan menakutkan, tetapi---seperti semua pendaki yang sungguh-sungguh---aku sangat ingin menjadi orang yang membawa ujung tali yang runcing, dan mendaki Hillary Step sebagai pendaki terdepan. Namun Boukreev, Beidleman dan Harris pun memiliki keinginan yang sama; barangkali otakku yang kekurangan oksigen berkhayal bahwa mereka akan membiarkan  seorang klien  menyandang tugas yang sangat didambakan itu.
     Akhirnya, Boukreev---sebagai pemandu senior dan satu-satunya diantara kami yang pernah mendaki Everest---memperoleh kehormatan itu; dibantu Beidleman yang bertindak sebagai pengulur tali, Boukreev dengan sangat ahli berhasil menyelesaikan tugas itu. Akan tetapi prosesnya berjalan lambat, dan ketika dia sedang bekerja keras mendaki menuju puncak Hillary Step, berkali-kali dan dengan perasaan cemas aku menatap ke arah jam tanganku, khawatir kehabisan oksigen. Tabung pertamaku sudah kosong sejak pukul 07.00 pagi saat aku berada di Balkon, setelah digunakan selama tujuh jam. Dengan menerapkan acuan yang sama, saat di Puncak Selatan aku menghitung bahwa tabung keduaku akan kosong pada pukul 14.00, dan dengan sangat bodoh aku beranggapan bahwa aku akan punya banyak waktu untuk sampai ke puncak dan kembali ke Puncak Selatan untuk mengambil botol ketigaku. Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul satu lewat, dan aku mulai ragu-ragu.
     Di puncak Hillary Step, aku mengungkapkan kecemasanku kepada Beidleman dan bertanya, apakah dia keberatan jika aku mendaki ke puncak dengan cepat, dan tidak membantu membuat lintasan tali yang terakhir? "Pergilah," katanya dengan besar hati. "Biar aku yang mengurus tali."
     Bergerak perlahan-lahan ke arah puncak, aku merasa seakan-akan berada dibawah permukaan air, dan kehidupan bergerak dengan kecepatan lambat, seperempat tali kecepatan biasa. Sesaat kemudian, aku menemukan diriku berada diatas sebuah birai yang tertutup lapisan es tipis, diseputarku tampak tangki-tangki oksigen yang sudah ditinggalkan, sebuah tiang alumunium yang sudah lapuk dan patah-patah, dan tidak ada tempat yang lebih tinggi untuk didaki. Seuntai bendera doa agama Budha berkepak keras tertampar tiupan angin. Jauh dibawahku, dilereng gunung yang belum pernah kulihat sebelumnya, tampak dataran Tibet yang kering membentang sampai batas cakrawala, sebuah permukaan bumi yang luas tanpa batas, berwarna cokelat keabu-abuan.
     Mencapai puncak Everest seharusnya memicu munculnya kegembiraan yang meluap-luap; setelah melewati sejumlah hambatan yang sepertinya tidak terpecahkan, akhirnya aku bisa meraih sasaran yang sangat kudambakan sejak kanak-kanak. Namun, mencapai puncak barulah setengah jalan, setiap dorongan yang muncul untuk memberi selamat kepada diriku segera sirna oleh perasaan takut memikirkan perjalanan panjang yang membentang dihadapanku, perjalanan berbahaya menuruni gunung.