Senin, 15 Februari 2016

Vertical Caving di Goa Sidomba



Bogor merupakan salah satu surga bagi para penggiat alam bebas. Selama ini lebih dikenal dengan tempat-tempat wisata permukaan dan pegunungannya. Siapapun yang mengaku hobi berpetualang tentu sudah akrab dengan Curug-curug yang banyak bertebaran di sekeliling kaki gunung Gede Pangrango dan Salak. Bahkan bagi yang senang mendaki tentu tidak lengkap curiculum vitae nya jika belum mendaki gunung-gunung yang disebut diatas tadi.

Daniel memasang safety webbing (pic by: Kukuh)
Daniel dan Umme mengecek kekuatan anchor utama (pic by : Kukuh)

Tak salah memang jika tempat wisata permukaan atau pegunungan jauh lebih populer sebab kemudahan akses informasi dan transportasinya. Padahal potensi wisata bawah tanah di wilayah kabupaten Bogor juga tak kalah dahsyatnya. Potensi wisata bawah tanah khususnya wisata goa atau caving di Bogor banyak terdapat di wilayah Sentul dan Citeureup, tepatnya di wilayah dusun Siangin, desa Tajur kecamatan Citeureup. Di daerah ini memang di dominasi batuan karst yang menjadi salah satu ciri area yang memiliki goa, meskipun batuannya masih relatif muda (ditandai dengan belum sempurnanya pembentukan stalaktit dan stalagmit), namun sensasi yang bisa di rasakan penghobi kegiatan caving di jamin tidak akan kalah dengan lokasi-lokasi lainnya yang sudah lebih dulu populer. 


Membuat Harness dari webbing (pic by: Kukuh)

Tak kurang terdapat 9 lokasi goa yang bisa di ekplore oleh para penghobi caving di area ini. Beberapa diantaranya yaitu Sidomba, Sibarno, Kraton, Asem, Cikarae, Siduren dan Gapura.
Dari goa-goa tersebut, goa Sidomba merupakan goa yang paling aman untuk di eksplore atau untuk ajang berlatih bagi para penghobi caving pemula. Untuk mencapai Goa Sidomba ini tidak terlalu sulit aksesnya, teman-teman bisa menggunakan motor atau mobil. Dari Sirkuit Sentul hanya memerlukan waktu 40 menit saja ke arah Polsek Citeureup lalu berbelok ke Selatan ke arah jalan alternatif menuju Jonggol. Kurang lebih 20 menit (kira-kira 8km) lepas Polsek Citeureup, teman-teman tinggal bertanya pada penduduk sekitar. Papan-papan penunjuk arah jalan juga banyak sehingga teman-teman tidak perlu khawatir kesasar. Polsek Citeureup merupakan patokan utama bagi yang hendak menuju kawasan goa.

Biasanya para caver (sebutan hobiis caving), akan transit di kediaman Mang Eman sebelum memulai kegiatan caving. Kediaman sederhana dengan bangunan dari kayu yang asri. Mang Eman memang sudah populer dikalangan para caver yang sering bermain di sini. Beliau sangat ramah dan bisa mengakomodir keinginan para caver. Kita juga bisa bermalam disini, di teras panggung rumahnya yang cukup besar, bahkan kita juga bisa memesan makanan untuk disantap setelah selesai caving. Keberadaan Mang Eman memang sangat membantu dan rumahnya pun akhirnya di jadikan basecamp oleh para caver. Hanya saja teman-teman harus maklum, lokasi rumah beliau ini berada di pelosok, area parkir juga masih tanah yang akan menjadi sangat becek saat turun hujan. Pun begitu dengan tempat sanitasinya masih sangat sederhana namun layak.

Dari basecamp Mang Eman diperlukan waktu 40-50 menit dengan berjalan kaki untuk mencapai Goa Sidomba jika melalui jalur resmi, tapi jika melintas jalur potongan seperti yang sering saya dan teman-teman lakukan hanya diperlukan waktu 15 menit saja dengan konsekuensi jalurnya licin, terjal dan berilalang tinggi. Hari ini saya, Choki, Wilco, Umme dan Daniel sengaja berkunjung untuk men-survey jalur dan mendokumentasikan area karena bulan depan kami akan mengadakan kegiatan Vertical Caving untuk umum.

Jika melewati jalur potong, kita akan langsung tiba di depan pintu masuk goa yang merupakan bidang sempit sedikit miring, sedangkan jika melintasi jalur resmi kita akan datang di atas pintu masuk goa. Di area sekitar pintu goa kita harus ekstra hati-hati karena selain bidangnya miring dan licin, bebatuannya juga cukup tajam. Kami bersiap-siap memasang anchor dan peralatan pendukung lainnya untuk menjaga safety sambil sarapan dan ngopi. Proses penelusuran Goa Sidomba paling tidak menghabiskan waktu 5-6 jam sehingga disarankan teman-teman sudah sarapan sebelum turun dan membawa bekal untuk dimakan di dalam goa.

Pintu Goa Sidomba (pic by : Kukuh)

Saya siap-siap turun ke Bidang I (pic by : Wilco)

Peralatan wajib yang perlu di pakai dan di bawa untuk menelusuri Goa Sidomba antara lain Raincoat, Headlamp atau senter, sepatu, makanan dan air minum secukupnya dan sarung tangan. Pukul 11.00 kami turun. Daniel yang pertama turun sebagai jangkar, di susul saya, Choki, Wilco dan Umme sebagai sweeper. Turun menuju bidang datar pertama relatif cepat karena tidak memakan banyak tenaga. Ketinggian bidang pertama dengan mulut goa kurang lebih 15-20 meter vertikal. Tiga puluh meter selanjutnya kita berjalan menyusuri bidang miring berbatu cukup tajam yang dipenuhi kotoran kelelawar. Disinilah fungsi Raincoat yang kita gunakan, bukan untuk mencegah dari basah melainkan agar kulit kita terhindar atau terminimalisasi terpapar langsung oleh kotoran kelelawar. Sejak mulai turun dari bidang pertama kita sudah harus menggunakan headlamp / senter karena cahaya matahari hanya masuk hingga bidang pertama. Setelah berjalan 20 meter trek menjadi datar dan becek tergenang air setinggi 20-30 cm.

Sepuluh meter selanjutnya kita akan berhadapan dengan celah sempit yang pertama, disini disarankan teman-teman agar kaki yang lebih dulu masuk sambil tetap memegang webbing yang sudah terpasang karena dibalik celah tersebut adalah langsung bidang vertikal setinggi 8 meter. Untuk menuruni bidang vertikal ini kita hanya mengandalkan webbing sebagai pegangan. Didasar bidang vertikal ini adalah genangan air setinggi 40-50 cm. Selanjutnya trek kembali datar, menyusuri lorong gelap yang becek dan tergenang air sejauh 50-60 meter sebelum kembali bertemu dengan celah sempit yang kedua. Di celah sempit yang kedua ini kembali disarankan agar kaki yang masuk lebih dahulu. Celah sempit yang kedua ini relatif lebih mudah untuk dilewati karena setelahnya merupakan jalan mendatar.

Celah Sempit Kedua (pic by: Choki)

Dari celah sempit yang kedua trek relatif lebih mudah untuk di lewati. Kira-kira 40meter lepas celah sempit yang kedua kita akan berhadapan dengan celah sempit yang ketiga. Umumnya caver pemula yang berbadan besar akan sedikit kesulitan untuk melewatinya. Diperlukan teknik mengatur nafas yang baik agar badan yang besar bisa lolos. Memang ada cara yang lebih mudah untuk melewatinya yaitu dengan melintas celah di bagian atasnya yang beberapa centi lebih lebar, namun diperlukan bantuan webbing untuk pegangan karena tidak ada titik yang ideal untuk pijakan.

Dari celah sempit yang ketiga itu hanya perlu turun sekitar 30 meter lagi untuk mencapai titik finish pertama di Aula I. 5-6 meter turun dari Aula I treknya cukup terjal dan langsung berhadapan dengan bidang vertikal lagi setinggi 20 meter...didasarnya merupakan titik finish yang kedua yaitu Aula II. Namun bagi para pemula hanya direkomendasikan hingga Aula I saja mengingat perjalanan untuk kembali ke mulut goa cukup berat dan sangat banyak membutuhkan tenaga. Seringkali terjadi di goa Sidomba ini, para pemula terlena dengan sensasi caving sehingga memaksa guide agar membawa turun hingga Aula II. Saat turun tidak terjadi persoalan, saat kembali naik ke Aula I pun relatif lancar meski memerlukan waktu yang lama. Masalah sering terjadi saat harus naik dari bidang datar I menuju pintu goa. Mereka sudah kehabisan tenaga dan mentalnya drop. Jika sudah terjadi seperti itu mau tidak mau para guide harus melakukan vertikal rescue yang membutuhkan waktu sangat lama.

Demikian catatan dari saya tentang Vertical Caving di Goa Sidomba semoga bisa membantu dan menambah informasi bagi yang ingin berkunjung. 

Note :
1. Disarankan bagi guide jika membawa caver pemula maksimal hanya 15-20 orang saja. 
2. Foto-foto dalam catatan ini merupakan akumulatif dari beberapa kegiatan kami di Goa Sidomba
3. Kami menyediakan jasa guide dan sewa peralatan panjat untuk eksplorasi Goa Sidomba dan Goa-goa lain di sekitarnya. Hanya saja perlu jadi catatan, Goa-goa selain Sidomba tidak direkomendasikan bagi pemula karena tingkat kesulitannya.
4. Agar mengecek terlebih dahulu apakah lokasi goa sedang kosong atau tidak, terutama saat weekend untuk menghindari bentrok kegiatan dengan pihak lain. Karena akan sangat tidak nyaman jika banyak orang di ruang yang sempit. 

Info lebih lengkap dan detail silakan hubungi :

GREEN CHAPTER ADVENTURE
BB Pin : D0ACE655CE  
WA only : 08111181225 
FP : Green Chapter Adventure
email : cliff.klie@gmail.com

Selalu ada alat masak yg nyelip untuk masak indomie atau ngopi...hehe (pic by: Kukuh)
Jalur potong menuju Goa...curam dan licin (pic by: Kukuh)
Bidang sempit di depan pintu Goa Sidomba (pic by: Kukuh)
Udah kaya naik gunung bawaannya
Siap-siap, pasang alat untuk safety
Parkiran di halaman rumah Mang Eman
Teras panggung rumah Mang Eman
Exhale Inhale...Jumaring ke pintu Goa
Emang bikin ngos-ngosan juga bro nanjaknya...hehe
Antri ya...turun harus satu-satu...
Ini lagi pada ngumpul di Bidang Datar I...di briefing biar tau tekniknya
Tuh...ajib kan vertikal nya...15-20 meter...ini pas turunnya
Beres caving ya makan-makan lah...prasmanan dengan menu pedesaan...maknyoos
Serasa jadi rescue team katanya mah....
Umme lagi ngajarin peserta caving
Cewe juga banyak yang udah nyobain vertical caving
Istirahat di Aula I sebelum kembali naik
Umme turun setelah lewat Celah sempit yang pertama
Menuju Celah Sempit yang Ketiga

Rabu, 10 Februari 2016

GCI Trip to Ciremai via Apuy

Tim GCI Ciremai 2016

Ciremai merupakan gunung yg terkenal sebagai Atapnya Tanah Sunda alias tertinggi di Jawa Barat. Memiliki ketinggian 3078 mdpl (meter dari permukaan laut), dan terletak di antara kabupaten Kuningan dan Majalengka, gunung ini memiliki tiga jalur pendakian resmi yaitu Linggajati, Palutungan dan Apuy. 
Pada kesempatan ini, akan di ceritakan perjalanan tim Green Chapter Indonesia mendaki gunung Ciremai via Jalur Apuy. Sebelumnya, saya sebagai penanggung jawab trip hanya membuka pendaftaran untuk 7-8 peserta saja, namun banyaknya peminat trip membuat GCI harus membuka kuota baru untuk 15 orang peserta. Singkatnya hari Jumat, 5 Februari 2016, pukul 20.00 seluruh peserta sudah berkumpul di mabes GCI di Jl. Raya Sirkuit Sentul no.22. Tanpa menunggu lama saya instruksikan agar keril dan barang bawaan di bagi ke dalam dua mobil yang tersedia. Untuk trip kali ini GCI memang memutuskan untuk menggunakan mobil pribadi dengan pertimbangan agar lebih leluasa dan nyaman dalam mengatur waktu pergi dan pulang.

Akses transportasi menuju Ciremai via Apuy memang tidak semudah melalui Linggajati dan Palutungan. Bahkan tidak ada bus yang langsung menuju Majalengka dari Bogor. Jika ingin menuju Majalengka kita harus menuju Jakarta atau Bekasi lebih dulu. Belum lagi bus terakhir yang menuju Jakarta atau Bekasi dari Majalengka berangkat pukul 17.00 tentu akan menjadi persoalan jika pendaki terlambat tiba di terminal ketika akan pulang.

Saya, Ikmal, Fadilah, Aep, Wahyu, Irvan, Beny dan Degol di mobil APV, sedangkan Ume, Iyan, Nur, Eza, Maria, Choki di mobil Xenia. Tepat pukul 21.00 kami berangkat, saya melaju lebih dulu menuju Bekasi sebab harus menjemput Irgi (peserta trip yang menunggu di Pondok Kelapa) sedangkan Ume meluncur menuju Citeureup untuk menjemput Danil dan Riska. Sebelumnya kami telah sepakat untuk bertemu di pintu tol Kertajati untuk menghindari saling cari.
Jalanan malam itu macet parah, imbas dari long weekend hingga kami baru tiba di Kertajati pukul 2.15 dini hari. Cukup lama mobil pertama menunggu hingga akhirnya mobil kedua tiba pukul 2.45. Setelah berkumpul di Kertajati, kami melanjutkan perjalanan menuju terminal Maja yang berjarak 40 kilometer dari Kertajati. Membelah jalanan di malam yang sepi dan basah bekas hujan membuat saya sebagai driver harus ekstra hati-hati, belum lagi saat akan masuk area kota Majalengka, kabut begitu tebal. Alhamdulillah pukul 3.30 kami tiba di terminal Maja dan langsung berkoordinasi dengan mang Agus sopir mobil bak yang saya sewa.


Masih ceria soalnya belum ketemu jalur pendakian...hehe
Ya, untuk alasan keamanan, saya memutuskan menyewa mobil bak untuk menuju Pos I Berod dan menitipkan kedua mobil kami di terminal. Bukan apa-apa, kondisi jalan menuju Pos I Berod tergolong berat, sempit dan licin, lebih baik kami serahkan pada ahlinya daripada terjadi hal yang tidak di inginkan hanya demi menghemat pengeluaran. Untuk efisiensi, kami hanya menggunakan satu mobil bak sewaan dengan sistem dua kali jemput. Kekuatan satu mobil bak maksimal hanya 1,2 ton yang artinya untuk sekali jalan hanya bisa mengangkut 8 orang dari tim kami berikut keril dan barang bawaan. Pukul 4.15 saya, Choki, Irvan, Aep, Wahyu, Beni, Degol dan Fadilah berangkat menuju Pos I Berod, sisanya menyusul di jemput trip kedua. Diperlukan waktu 1 jam 15 menit untuk mencapai Pos I dari Terminal Maja. Saya segera mengurus simaksi untuk tim kami. Per orang dikenakan biaya Rp.50.000,-. Selesai mengurus simaksi saya bergegas menuju mushala untuk menunaikan shalat subuh. Hari beranjak pagi, namun cuaca mendung membuat pagi terasa malam karena gelap.


Bongkar dan packing, persiapan tim kami pagi itu sebelum mulai mendaki
Cuaca sabtu pagi di Pos I Berod sebelum kami mulai mendaki
Tim kedua tiba di Pos I pukul 6.30 dan langsung saya kumpulkan untuk briefing singkat. Setelah saya buka dengan saling memperkenalkan diri, selanjutnya kami mengatur strategi pendakian. Mengingat tim kami adalah tim besar maka tidak mungkin kami akan bisa terus berjalan beriringan karena kondisi fisik setiap orang pasti berbeda. Akhirnya kami sepakat, anggota tim yang membawa peralatan camp berjalan lebih dulu dan Pos III merupakan shelter tempat kami akan berkumpul sebelum melanjutkan pendakian ke Pos V. Setelah berdoa bersama, tim advance yang terdiri dari saya, Fadilah, Maria, Choki, Aep, Beni, Irvan dan Irgi mulai bergerak menuju Pos II. Kontur awal jalur cukup bersahabat untuk memudahkan tubuh beradaptasi. Vegetasi di kiri dan kanan pun cukup rimbun sehingga pendaki akan terlindung dari dehidrasi meski harus berjalan di siang hari. Vegetasi awal didominasi pepohonan tipe lamtoro. Diperlukan waktu 30-45 menit untuk mencapai Pos II Arban.

Jalur awal pendakian...teduh dan landai...lets go

Tim Advance...gas teruuus...

Kami sempat berfoto-foto sejenak di Pos II yang suasananya sangat ramai pagi itu. 15 menit kemudian kami pun melanjutkan perjalanan. Beberapa menit selepas Pos II jalur pendakian masih landai. Namun saya tetap mengingatkan pada teman-teman yang lain agar selalu menjaga ritme dan tidak memforsir tenaga karena perjalanan masih panjang. Pelan tapi pasti kontur jalur semakin menanjak dan sedikit curam. Jarak dari Pos II ke Pos III merupakan yang terpanjang jika dibandingkan dengan Pos-pos lainnya. Di tambah variasi jalurnya yang sedikit sulit diprediksi bagi yang belum pernah melintasinya. Seringkali pendaki bertemu bonus trek sebelum tiba-tiba dihadapkan pada tanjakan curam. Tim pertama tiba di Pos III Tegal Jamuju sekitar pukul 9.35, yang berarti kami membutuhkan waktu 1 jam 50 menit untuk mencapai Pos III.


Maria gas teruuus....otewe Pos IV...dengkul ketemu perut
Kami beristirahat sangat lama di Pos III, karena sesuai kesepakatan harus menunggu tim yang di belakang. Sambil menunggu kami makan dan berfoto-foto. Bahkan beberapa dari kami tidur sambil berjemur karena udara yang memang dingin. Setelah menunggu 1,5 jam, tim belakang masih belum juga tiba di Pos III, akhirnya saya putuskan untuk turun dan menyusul. Benar saja 15 menit turun dari Pos III saya bertemu dengan anggota tim belakang. Untuk mempercepat langkah, dua orang peserta wanita saya bawakan kerilnya menuju Pos III. Tepat setelah anggota terakhir tim belakang tiba di Pos III, tim advance pun bergerak naik menuju Pos V. Ya, melihat begitu ramainya pendaki hari ini tentu kami harus segera menemukan tempat untuk mendirikan tenda. Saya memutuskan tim kami akan mendirikan tenda di Pos V, bukan di Pos VI Goa Walet seperti kebanyakan pendaki lain.

Saya lebih memilih Pos V sebagai camp kami karena saya tidak mau ambil resiko dengan kondisi anggota tim yang lain. Karakter jalur Apuy memang mulai lebih berat selepas Pos V, sehingga akan menjadi PR tersendiri bagi pendaki yang fisiknya sudah terkuras di tambah kami semua memang kurang istirahat di malam sebelumnya. Belum lagi tipe area camp di Pos VI adalah bebatuan, saya yakin akan menyulitkan kami dalam membangun tenda. Sebelumnya saya sudah dua kali mendaki lewat Apuy dan selalu mendirikan camp di Pos V. Saat melakukan summit attack saya selalu menemukan (banyak) pendaki yang mendirikan tenda di antara Pos V dan persimpangan jalur Apuy dan Palutungan. Bahkan tak jarang ada pendaki yang mendirikan tenda disekitar persimpangan jalur. Padahal area yang saya sebutkan tadi sangat tidak ideal untuk mendirikan tenda karena selain bidangnya sempit dan miring, vegetasi juga minim sehingga terpaan angin dingin akan langsung menghantam tenda. Saya yakin, mereka-mereka yang mendirikan tenda di area ini adalah mereka yang kurang perhitungan dan memaksakan diri tanpa melihat kondisi fisik rekan setimnya.

Ini para chef yang tetap semangat masak meski hujan tak berhenti turun
Kalo yang ini tim hore nya....ga jelas apa yang di masak
Pada hari itu pun saya kembali menyaksikan tim-tim lain yang tetap memaksakan diri menuju Pos VI padahal kondisi fisik mereka sudah terkuras. Jarak Pos V dengan Pos VI tanpa membawa beban bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam saja.
Tim advance tiba di Pos V Sanghyang Rangkah pukul 13.20. Langit sedikit mendung saat kami mulai membangun tenda yang di bawa Choki. Tim kami membangun empat tenda kapasitas empat orang dan satu buah bivak tipi. Karena area Pos V sudah banyak di tempati tim lain maka tenda kami pun posisinya berpencar dua-dua. Pukul 15.30 seluruh tenda kami selesai dibangun dan lima belas menit kemudian anggota tim belakang tiba di Pos V. Tim kami merupakan tim terbesar yang ngecamp di Pos V sehingga terlihat mendominasi area camp. Setelah semua berkumpul tak lama turun hujan, hujan yang setia menemani istirahat panjang kami di Pos V. Turunnya hujan merupakan berkah tersendiri karena kami jadi memiliki persediaan air lebih banyak. Sudah diketahui banyak pendaki bahwa Ciremai merupakan salah satu gunung yang tidak ada sumber air di jalur pendakiannya. Karena hujan pula acara masak-masak kami jadi lebih seru. Menjelang pukul 20.00, sebelum tidur, saya meminta semua anggota tim agar mempersiapkan segala keperluan untuk summit attack, dan saya minta pukul 3.30 semua yang akan summit attack sudah bersiap. Tak lama, satu persatu dari kami tumbang ke alam mimpi. Saya dan Irvan memilih beristirahat di dalam bivak. Hujan bertambah deras saat menjelang tengah malam hingga pukul 2.00. Beberapa kali saya terbangun dari tidur untuk memastikan bivak yang saya tempati tidak bocor.

Hari minggu, 8 Februari, pukul 3.45. Setelah berdoa bersama, tim kami mulai bergerak untuk menuju Puncak Ciremai. Gelap dan bau tanah basah masih terasa menyengat di hidung saat kami berjalan dengan perlahan. 30 menit awal, masing-masing masih berusaha mencari ritme jalan yang nyaman. Nafas terasa lebih berat karena kami masih harus berkompetisi oksigen dengan pepohonan. Setelah satu jam kami tiba di persimpangan yang mempertemukan jalur Apuy dan Palutungan. Kami menunaikan shalat subuh di persimpangan sebelum melanjutkan pendakian. Area selepas persimpangan hingga Pos VI Goa Walet sudah minim vegetasi sehingga angin dingin lebih leluasa menyentuh tubuh kami dari kiri dan kanan. Kontur jalur menuju Pos VI ini lebih licin, pendaki wajib lebih berhati-hati dalam melangkah mengingat hari masih gelap. Pukul 5.30 langit mulai terang meski tetap berselimut mendung. Kami sudah tiba di atas Pos VI Goa Walet. Puncak tinggal lima belas menit lagi akan kami capai. Dan kami pun lebih bersemangat dalam melangkah.

Ini nih kawahnya Ciremai

IIIYes...kita ada di puncak Ciremai...akhirnya...Alhamdulillah

Yes we make it!!...we are the champions!!..we are on top!!

Masih juga di puncak niiih....*kapan turunnya??

Alhamdulillah tepat pukul 5.50 seluruh anggota tim GCI berhasil tiba di puncak Ciremai, titik tertinggi di Jawa Barat dalam keadaan baik dan sehat. Sujud syukur saya lakukan karena berhasil mendampingi teman-teman hingga ke puncak. Masing-masing anggota tim larut dalam kebahagiaannya, merayakan keberhasilan ini. Keberhasilan yang didapat karena solidnya kerjasama tim kami. Buah dari perjalanan panjang yang penuh perjuangan. Cukup lama tim kami berada di puncak sebelum akhirnya kami kembali turun ke camp di Pos V pukul 6.50.

Poto-poto dulu kite sebelum pulang

Setelah sarapan dan packing, tim kami berfoto bersama di Pos V dan mulai bergerak turun pukul 11.00. Pukul 15,00 kami semua sudah tiba di Pos I, membersihkan diri dan pulang menuju Bogor. Terima kasih untuk seluruh anggota trip GCI atas kerjasamanya yang solid, semoga silaturrahim kita selalu terjaga dan kita semua kembali dipertemukan di perjalanan selanjutnya.

Salam Lestari,

Ayo ayo kakinya standar satu ya biar semua bisa masuk
Cara makan kaya gini nih yang bikin kangen
Ki-Ka : Aep, Beni, Choki n Wahyu
Ki-Ka : Nur, Aep, Ezha, Maria, Wahyu dan Fadilah.
Ki-Ka : Lagi2 Nur, Fadilah lagi, Ikmal dan Maria lagi
Sekedar pengingat bahwa di gunung tidak boleh berspekulasi dengan fisik dan ego.
Pemandangan wilayah Majalengka dilihat dari persimpangan jalur.
yeeeay gw sampe puncak Ciremai lhoo...
Gubuk derita...eh..bivak paling keren hari itu
Choki...si maskot tim kami...ga da loe ga rame broo
Kalo yang ini saya...iya saya
Perabotan mau pindah rumah...ckckckck
Umme lagi nge-cek susunan barang sebelum jalan
Ayo disusun dulu kerilnya baru kita lets go...
Tim belakang lagi break di Pos III
Untuk Ezha ini Puncak tertinggi pertamanya...untuk Nur ini puncak tertinggi keduanya...untuk Maria ini ending dari Trilogi puncak di Pulau Jawa...top lah pokoknya.
Para wanitah...yups kalian keren bisa melawan batas kemampuan dan berdiri disini
Ki-Ka : Wahyu, Riska, Degol n Ezha


Berhubung abis naik tenaga abis jadilah kita break untuk ngemil-ngemil dulu

Kamis, 07 Januari 2016

Kepingan Surga itu bernama Sindoro (3153mdpl)


 

         Gunung Sindoro 3153 mdpl


Jumat siang itu panas menyengat sekali, saya tahu sebentar lagi akan turun hujan. Sebagai orang yang lahir dan besar di Kota Hujan (Bogor) tentunya saya hafal gejala-gejala jika hujan akan turun. Seperti hari ini, begitu kontras perubahan suhu yang di rasakan oleh kulit saya saat keluar dari gerbong ber-AC Commuter Line dan berjalan menyusuri peron Stasiun Pasar Senen. Sebentar saja saya sudah mandi keringat...selain saya berlari dengan menyandang cariel, saya juga memang agak tergesa karena jadwal keberangkatan kereta Krakatau yang akan saya naiki tinggal 10 menit lagi. Setelah tiket saya di stempel di boarding pass saya segera menuju gerbong 5 seat 4C. Saya sempat kesulitan menyimpan Cariel saya di bagasi atas penumpang, setelah saya paksa barulah cariel saya bisa masuk. Terlambat 30 menit dari jadwal yang seharusnya, tepat jam 13.00 pelan tapi pasti kereta mulai bergerak meninggalkan Jakarta.

Duduk didepan saya 2 orang laki-laki...yang satu saya taksir berumur awal 50-an sedangkan disebelahnya sekitar 65 tahun. Seat disebelah saya kosong...hehe...lumayan bisa nyelonjornih. Tak banyak yang kami bisa bicarakan dalam perjalanan kecuali pertanyaan standar macam "dari mana?" "Turun mana?"...selebihnya asyik dengan gadget masing-masing.
Singkat cerita kurang lebih jam 21.20 saya tiba di Kutoarjo. Kota ini memiliki banyak sekali kenangan dalam hidup saya, tapi saya tidak akan bercerita tentang itu kali ini. Saya melangkah santai sambil menyapu setiap sisi bangunan stasiun dengan pandangan mata yang kuyu akibat kurang tidur dan demam. Niat mendaki Sindoro memang tidak masuk dalam agenda saya, justru yang sudah menjadi agenda (ke Kerinci di bulan April lalu) malah gagal karena saya harus menyelesaikan beberapa kontrak dengan konsumen. Ya, Sindoro memang agenda dadakan, penyebabnya saya sedang iseng buka FB, lihat-lihat postingan di grup pendaki ada open tripke Sindoro yang di adakan oleh PPGP / KPGP Pekalongan. Tanpa pikir panjang---saat itu H-3---saya bicara dengan istri, minta ijin untuk ikut. Alhamdulillah istri mengijinkan dan jadilah sekarang saya berada di Kutoarjo, persinggahan sementara sebelum melanjutkan perjalanan ke Wonosobo.

Di Kutoarjo saya bermalam dirumah seorang kenalan yang terletak tidak jauh dari stasiun. Saya masih disambut dan dijamu dengan baik padahal sudah lebih dari 9 tahun saya tidak silaturrahim. Itulah hebatnya brotherhood antar pendaki. Beliau saya kenal saat sama2 mendaki Merbabu di akhir tahun 2004. Setelah puas melepaskan kangen saya pamit istirahat. Tak lupa sebutir antibiotik saya telan untuk meredakan demam dan tak lupa men-charge gadget-gadget yang saya bawa. Pagi-pagi saya bangun, mandi dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Tepat jam 7.30 saya meninggalkan Kutoarjo untuk menuju Purworejo dimana nanti saya akan berganti kendaraan dengan bus kecil tujuan Wonosobo.

20rb rupiah adalah nominal yang harus saya bayar untuk mencapai kota Wonosobo. Mata saya sempat melihat plang bertuliskan Kepil saat saya menyerahkan ongkos pada kernet bus yang saya tumpangi. Dari Kepil ini tampak jelas "kakak beradik" Sindoro dan Sumbing berdiri gagah di sebelah kanan jalan. Pemandangan yang mampu mengalihkan saya dari demam yang makin terasa. Sontak saja imajinasi saya langsung bermain dengan pertanyaan dan khayalan tentang pendakian nanti. 
Ini memang pengalaman pertama saya mengikuti open trip dengan orang-orang yang belum pernah saya kenal. Bahkan, sebenarnya, rencana dadakan saya ini bukan ke Sindoro melainkan ke Cikuray Garut. Ada kawan kenalan di KPK Jakarta Barat yang mengajak sekaligus juga membatalkan. Wahyu namanya, saya pikir dia seumuran saya...tapi sudahlah bukan hal penting juga membahas usia. Akhirnya malah berbalik saya yang mengajak Wahyu ke Sindoro. Ajakan saya diterima dan kami sepakat bertemu di Wonosobo. Setelah Wahyu setuju bergabung segera saya konfirmasi ke pihak PPGP untuk urus registrasinya. CP pihak PPGP yang komunikasi dengan saya namanya Agus. Ikon messenger-nya hati, jadi saya ga punya bayangan seperti apa mas Agus ini, bahkan berapa orang yang ikut selain saya dan Wahyu pun saya ga tau. Bagi saya, kalo batal sekalipun saya akan tetap naik toh menjadi soloist bukan barang baru lagi bagi saya. Salak, TNGGP, Lawu, Arjuno saya kunjungi dengan solo.

Lamunan saya terhenti bertepatan dengan berhentinya bus di terminal Mendolo Wonosobo. Saya sandang cariel dan berjalan menuju meeting point yang saya sepakati dengan Wahyu. Ga butuh waktu lama ,setelah kami bertemu segera perjalanan kami lanjutkan dengan bus kecil jurusan Dieng. Berdasarkan informasi dari mas Agus kami akan bertemu di pertigaan Tambi jam 14.00. Selama perjalanan menuju Tambi saya dan Wahyu asyik ngobrol hingga tak terasa kami malah sudah terlewat dari Tambi jauh sekali. Konyol...sok tau dan sok cool padahal kami belum pernah melintas jalur ini sebelumnya. Beruntung kami diberi tau seorang penumpang berseragam pramuka. Segera kami turun dengan di iringi tatapan "aneh" daribpenumpang bus dan penduduk dilokasi kami turun. Mungkin mereka mikir "ini orang bawa-bawa cariel mau kmn?" Perlu diketahui kami turun di perkebunan warga, jadi memang tampak aneh saat warga menyandang pacul kami menyandang cariel...hehe.
Bagusnya ga lama kemudian datang bus dari arah berlawanan, kami stop dan naik, jadi kami ga perlu berlama-lama menghadapi tatapan aneh dari warga sekitar kami. Kali ini ga lupa kami titip pesan sama kernet supaya diturunkan di Tambi (antisipasi kebablasan lagi).

      Gapura masuk Tambi (10/5/14)


Saat saya sedang asyik mengambil foto lokasi Tambi datanglah rombongan PPGP menggunakan mobil bak L300. Saya berkenalan langsung dengan Mas Agus. Lalu cariel saya naikkan dan saya beserta Wahyu bergabung dengan rekan-rekan yang lain. Saat saya sedang mencari posisi yang steady bahu saya ditepuk oleh rekan pendaki disebelah saya. "Ini bang Kukuh yang di KPK ya?"...saya tatap matanya lalu saya angsurkan tangan untuk berjabat..."Kukuh" ucap saya, " Tomy" balas rekan tersebut. Bertambah lagi nama kawan untuk saya save di otak kanan dalam kepala saya. Tak lama setelah saya bergabung naik, mobil pun tancap gas menyusuri jalan aspal yang mulai rusak. Guncangan demi guncangan membuat badan kami limbung ke kanan dan kiri. Basecamp rumah Bpk.Amin pun kami lewati alias ga laporan mau ndaki...(jangan ditiru ya). 5km sejak pertigaan, mobil tiba2 berbelok kekanan, ban meninggalkan aspal untuk beradu dengan susunan batu mentah. Semakin lama deru mesin terdengar semakin payah...akhirnya beberapa dari kami terpaksa turun untuk meringankan penderitaan si mobil. Saya sih ga turun...hehe...males bo!...hijaunya kebun teh di kiri dan kanan jalan seperti menghipnotis mata saya agar malas dan mengantuk. Tapi walau bagaimana saya tetap mengabadikan beberapa momen dengan Canon yang saya bawa. Termasuk saat kami packing dan memulai persiapan mendaki. Dengan menumpang mobil ini hingga pos III kami menghemat tenaga untuk berjalan selama 2 jam. Lumayan jadi lebih cepat. Jika rekan pendaki datang dengan angkutan umum reguler, begitu turun di pertigaan Tambi bisa menumpang ojeg dengan ongkos 25-30rb untuk sampai di pos III ini.

Bergaya sebelum mendaki (10/5/14)

Posisi kami berada saat ini adalah pos 3, sebuah bedengan tempat berkumpul pemetik teh. Bangunan semi indoor ini terbuat dari besi dan terlihat sangat tidak terawat. Atapnya sudah banyak berlubang, tiang-tiang penyangganya pun sudah berkarat nyaris diseluruh bagian. Bedengan ini cukup besar, kira2 berukuran 7 x 9 meter. Mas Purwo, Agus dan Aji selaku leader trip mulai memberikan pengarahan di sela-sela kegiatan kami bersiap-siap. Di mulai dengan pembagian matras dan sleeping bag dan di akhiri dengan pembagian jatah makanan. Saya memperhatikan para peserta, saya amati, mencoba-coba untuk mengukur kekuatan masing-masing saat mendaki nanti. Dalam trip ini ada 3 orang wanita yang baru saya tau namanya saat perjalanan pulang, yaitu Desita, Farida dan Gladys. Saya liat kemungkinan yang akan lemah adalah Desita, sebuah penilaian tanpa metode yang kuat ...hanya melihat postur dan gestur. Sebab pada kenyataannya kelak justru Desita yang lebih dulu tiba di puncak bahkan jauh meninggalkan saya. Di luar 3 wanita itu saya liat kebanyakan rata-rata saja fisiknya. 
Sore menjelang, adzan ashar baru saja berlalu, kabut mulai menyelimuti pos 3 daaan...tetes demi tetes air hujan mulai turun. Saya sempat berpikir ini hanya butiran air yang terbawa kabut...tapi rupanya memang benar gerimis. Akhirnya sambil menunggu cuaca kondusif kami berfoto-foto sejenak.

Foto bersama sebelum mendaki di Pos III (10/5/14)

 Alhamdulillah jam 16.15 gerimisnya reda dan kami bergegas berdoa untuk selanjutnya mulai mendaki. Tepat jam 16.30 kami mulai bergerak beriringan mendaki. Sebelum jalan saya menyempatkan mengambil gambar puncak Sindoro yang berselimut kabut tipis.

Trek awal pendakian (10/5/14)

30-60 menit awal kami masih berjalan dengan cukup rapat, dengan trek tanah berundak-undak kami langkahkan kaki menyusuri perkebunan teh. Seluruh logistik pribadi saya di bawa oleh Wahyu termasuk air. Saya hanya mengantongi 1 botol minuman penambah ion tubuh yang isinya tinggal 3/4 saja, mungkin tinggal bersisa 300-350 ml lagi. Oh iya, mengenai air ini saya sempat terkejut juga setelah mendengar penjelasan mas Aji bahwa trek Tambi ini sampai ke puncak tidak ada satu sumber air pun yang akan ditemui. Bukan apa-apa, ketidak tahuan saya tentang medan membuat saya hanya membawa 2 botol air mineral volume 600ml. Di tambah saya pernah nyaris mati di Ciremai tahun 2001 gara2 kehabisan air membuat saya menjadi waswas. Dengan tetap merasa tidak tenang saya teruskan melangkah mengikuti rekan-rekan yang lain.

Trek selepas kebun teh, Tomy di belakang saya (10/5/14)

Saya tidak hafal urutan dan posisi masing-masing saat kami berjalan mendaki. Yang saya ingat saya termasuk kelompok yang berjalan paling belakang bersama dengan mas Agus, Purwo, Wahyu, Tomy, Farida dan Gladys.  Kemiringan trek yang langsung dikisaran 45° membuat kondisi badan rata-rata dari kami "kaget". Saat itu jam 17.00...komposisi urutan pendaki masih belum banyak berubah. Yang terdepan tetap 2 orang porter gagah perkasa, padahal dipunggungnya bertengger cariel 100lt full tenda dan logistik. Bagusnya posisi saya jauh dari porter jadi saya ga perlu bertambah drop secara psikis karena melihat mereka berjalan seolah tanpa beban. Jam 17.30 posisi saya mulai menjauh dari para sweeper. Saya sempat agak terpisah berjalan diluar trek, tepatnya saya berjalan di jalur sebelah kiri, kira-kira 20 meter dari trek yang seharusnya. Saat menyadari kondisi seperti ini bisa membahayakan apalagi matahari sudah terbenam saya segera potong kompas berjalan menyilang menuju trek yang seharusnya. Akibatnya energi saya terkuras banyak demi kembali ke "jalan yang benar". Ampun...ga lagi-lagi deh nrabas-nrabas jalur.

Jam 18.30...matahari sudah kembali ke peraduannya setelah saya abadikan beberapa gambarnya.

Matahari terbenam 2600 mdpl (10/5/14)

 Posisi saya sekarang mungkin pendaki ke enam atau tujuh dari belakang. Didepan saya yang terdeteksi Wahyu, Rofiq, Bisri, Aris dan Yaksa, dibelakang saya yang terlihat hanya Tomy, dugaan saya masih ada 5 orang lagi dibelakang Tomy. Selepas maghrib fisik saya semakin turun, angin juga mulai agak kencang. Satu persatu kilatan cahaya senter / headlamp mulai terlihat. Saya tidak menyalakan senter sebab pancaran sinar bulan sangat terang sehingga memudahkan saya melihat jalur, hitung-hitung ngirit batre. Saya memperkirakan ketinggian saat ini 2500-2600 mdpl. Sempat saya jumpai ada 2 tenda yang berdiri beberapa puluh meter di bawah. Rombongan dari Pekalongan dan Tangerang. Saya sempat bertanya apakah puncak masih jauh, salah seorang dr mereka bilang kira-kira 2-3 jam lagi. Dan saya pun percaya begitu saja.

Sudah 1,5 jam sejak lewat tenda tadi saya masih belum juga menemukan tanda-tanda akan tiba dipuncak, justru kondisi trek semakin curam. Saya pun semakin payah dan lelah. Saat saya sedang beristirahat Tomy melewati saya. Jam 19.30 rekan sependakian yang berasal dari Pekalongan---sejak awal mereka selalu berkelompok sendiri---berhasil saya susul karena mereka sedang beristirahat sambil makan. Selang 30 menit kemudian gantian mereka nyusul saya...hehe...baru nge-charge energi sih. Biarlah...saya tetap berjalan lambat seperti semula. Tapi 15 menit kemudian salah seorang dari mereka terjongkok muntah-muntah dan pada akhirnya setelah saya melewati saya baru tau jika rekan yang sakit itu tidak mampu melanjutkan pendakian dan terpaksa di "titipkan" di tenda kedua yang kami temui dalam pendakian.

Jalur pendakian yg "aduhai" (11/5/14)Trek tanpa bonus...mantap!!!  (11/5/14)

Saya sempat berhenti istirahat cukup lama karena kepala mulai pusing, air yang saya bawa hanya bersisa 3-4 teguk lagi. Angin yang semakin kencang memaksa saya untuk memakai sweatersebagai pelapis kaos yang saya gunakan. Lumayan, setelah memakai sweaterbadan menjadi lebih nyaman walau sakit kepala tidak hilang. Saya lanjutkan langkah-langkah pendek saya yang sependek jarak pandang mata. Bulan sudah melewati ubun-ubun, jam saya menunjukkan angka 22.00. Tenaga sudah habis dan saya ga tau apakah sudah dekat puncak atau belum. Memang ada teriakan-teriakan dari atas yang bilang "puncak-puncak"...entah berapa kali tapi tidak saya hiraukan. Saya sudah terlalu lelah untuk menerima "janji palsu". Saat saya sudah pasrah, muncul Iwan dari belakang saya, bertanya..."bang puncak udah dekat belum?"..."30 menit lagi lah kalo pake ukuran jalan saya"...saya jawab sekenanya saja. Setelah mendengar jawaban saya Iwan bergegas melewati saya dan berjalan cepat sekali ke atas. Saya membatin "haddeeuh...gw udah mau tepar dia malah jalannya cepat banget".

Rupanya jawaban asal-asalan saya ke Iwan dikabulkan Allah, tidak sampe 30 menit akhirnya kaki saya menjejak bidang datar...melangkah 10 meter saya pun ambruk kelelahan tepat disamping tenda yang entah rombongan dari mana. Beberapa menit lamanya saya terbaring di atas rumput menatap langit, mencoba mengatur ritme nafas yang tersengal-sengal. Alhamdulillah, akhirnya saya sampai juga  di alun-alun Gunung Sindoro. Rasa mual dan pusing yang semakin terasa membuat saya makin merasa enggan untuk bangun dan mencari rekan-rekan  yang lain. Ya, saya memang belum tau dimana posisi tenda di buka. Berbekal ingatan saat membaca itinerary dari PPGP saya paksakan bangun dan berjalan menuju ke arah yang saya duga puncak tertinggi. 

 

Lokasi camp kami (11/5/14)

Di alun-alun yang luas ini banyak berdiri tenda yang sepertinya serupa, saya sedikit kehilangan orientasi, ga mau ambil resiko nyasar saya putuskan bertanya kemana arah puncak tertinggi. Setelah mengetahui arah, entah kenapa hati saya ga mengijinkan untuk menuju puncak melainkan kembali berbalik arah ke posisi awal tadi. Feeling saya rupanya benar, rekan-rekan PPGP membuka tenda di titik yang saya duga. Alhamdulillah, ga berlama-lama saya segera memasuki salah satu tenda untuk beristirahat dan menghangatkan badan. 

Belum genap 2 jam saya merebahkan badan, rasa mual saya ga tertahan lagi dan dengan terpaksa saya keluar tenda dan jackpot a.k.a muntah. Tidak ada yang keluar selain air, perut saya benar-benar kosong dan dikosongkan paksa. Selesai mengosongkan perut saya kembali ke tenda. Jam sudah menunjukkan pukul 1.00, tanggal 12 Mei 2014. Saya tidak bisa melanjutkan tidur walau badan saya sudah terasa lebih baik pasca jackpot. Akhirnya saya ngemil saja. Rupanya rekan-rekan setenda yang lain juga terbangun dan ikut ngemil bersama saya. Saya perhatikan siapa-siapa saja yang ada dalam tenda ini. Rofiq, Bisri, Wahyu dan Yaksa. Hehe...saking hilang orientasi saya sampai ga tau setenda dengan siapa saat pertama masuk. Kira-kira jam 2 lewat kami melanjutkan istirahat.

Plang Puncak Sindoro (11/5/14)

Jam 5 subuh kami semua terbangun...bersiap-siap menyambutsunrise. Alhamdulillah walau semalaman angin bertiup kencang tapi cuaca pagi ini cerah sekali. Sambil bersiap menunggu momen sunrise kami memasak energen untuk mengisi tenaga kami. Jam 5.30 kami bersama-sama dengan rekan-rekan yang lain bergerak menuju puncak tertinggi yang berjarak kurang lebih 10 menit dari posisi tenda. Tidak lama setelah kami tiba dipuncak momen yang kami tunggu pun datang...tepat jam 5.50 dari garis horison muncullah mentari pagi...yup...sunrise...lebih tepatnyaperfect sunrise n golden sunrise. 

Golden Sunrise Sindoro (11/5/14)

Menjelang fajar di puncak Sindoro (11/5/14)

Berturut-turut : Sumbing, Merbabu, Merapi dan Lawu (11/5/14)

Seketika lenyaplah rasa lelah yang mendera saya selama 24jam terakhir. Candu ini kembali bereaksi terhadap tubuh saya...candu yang menimbulkan euforia luar biasa dalam jiwa saya. Jawaban atas kecintaan saya yang begitu besar pada kegiatan mendaki gunung. Saya amati senyum-senyum yang menghiasi kawan-kawan sependakian...kawan-kawan yang menjadi saudara dan sahabat dalam perjalanan ini. Saya yakin dalam pikiran mereka masing-masing terlalu banyak kata yang tak bisa diungkap akibat euforia ini. Dan akhirnya hanya senyum dan teriakan bangga yang mewakili ekspresi.

Terima kasih Ya Allah...masih Kau beri kesempatan untuk menikmati keagungan ciptaanMu yang luar biasa ini.

Terima kasih kawan-kawanku sependakian yang ga bisa saya sebut satu persatu...saya senang bisa kenal dan mendaki bersama kalian.

Terima kasih Sindoro 3153 mdpl untuk pelajaran tentang kebersamaan dan perjuangan. Semoga selalu terjaga keindahanmu untuk anak cucuku kelak.

Pendakian Sindoro 3153 mdpl jalur Tambi Wonosobo. 10-11 Mei 2014.

Kawah Sindoro 3153 mdpl (11/5/14)

More info :
BB : 745565CE
WA only : 08111181225
E-mail : cliff.klie@gmail.com

A. Akses dan Transportasi

#Via Kereta : 

1. Dari Jkta turun di Purwokerto

2. St. Purwokerto - Terminal Bus Purwokerto, dengan angkot Rp. 5-6K

3. Term. Purwokerto - Term.Mendolo Wonosobo dengan bus besar Rp.25-30K

4. Terminal Mendolo Wonosobo - Dieng (minta turun di Tambi) dengan bus 3/4 Rp.8k

5. Gerbang Tambi - Pos 2 dengan ojek Rp. 25-30k

#Via Bus

1. Dari Bogor atau Jakarta naik bus Sinar Jaya Eksekutif jurusan Terminal Mendolo Wonosobo Rp.115k

2. Terminal Mendolo Wonosobo - Dieng (Tambi) Rp.8k

3. Selanjutnya ikuti langkah di atas.