Kamis, 19 Mei 2016

River Tubing di Cikaniki

River Tubing

Cikaniki adalah nama aliran salah satu sungai yang membelah hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sekaligus menjadi nama resort balainya. Terletak di tengah rimba, resort Cikaniki dapat di akses melalui dua arah yaitu, Sukabumi (Parung Kuda) dan Jasinga Bogor (Nanggung). Untuk menuju kesini belum ada angkutan reguler yang bisa melayani setiap saat sehingga kendaraan pribadi adalah pilihan yang paling tepat jika tidak mau di bilang satu-satunya pilihan.

Umumnya pengunjung yang datang lebih banyak melalui jalur Nanggung Jasinga, sehingga kebanyakan bermalam di desa wisata Citalahab yang letaknya dua kilometer sebelum Resort Cikaniki. Di desa Citalahab memang banyak penginapan atau guest house berupa rumah warga yang disewakan. Tarifnya sangat terjangkau dan pelayanannya cukup baik meski masih tradisional.

Saya sendiri, setiap berkunjung ke Cikaniki, pergi selalu melalui rute Sukabumi sebab lebih nyaman (menurut saya lho ya). Dari Bogor jika tidak macet hanya memakan waktu 1,5 jam saja untuk mencapai pertigaan Parung Kuda / Parakan Salak. Tapi kalau kena macet (umumnya menjelang siang hingga sore) bisa lebih dari 3 jam. Jadi disarankan untuk berangkat pagi sebelum jam 7 jika hendak melalui jalur Sukabumi. Biasanya, saya dan teman-teman akan berhenti sejenak di pasar di Parung Kuda untuk mengisi perut dan berbelanja logistik karena kita tidak akan menjumpai warung atau sejenisnya satu jam sebelum dan sesudah resort.

Dari Parung Kuda masih diperlukan waktu sekitar 2-3 jam (tergantung kelihaian supir) untuk mencapai lokasi resort. Semakin ke pedalaman jalan semakin kecil. Berkelok-kelok terkadang sangat tajam. Meski banyak sekali percabangan tapi jangan khawatir nyaris di setiap cabang itu terdapat papan penunjuk arah untuk menuju Cikaniki.


Pemandangan awal satu jam menjelang resort

Gerbang masuk TNGHS

Saat mobil sudah berada di atas jalan berbatu dan sedikit tanah becek, itu tandanya sekitar satu jam lagi kita akan tiba di lokasi tujuan. Semakin ke dalam semakin rusak jalannya. Tidak disarankan menuju lokasi menggunakan mobil sedan atau mobil-mobil yang di modifikasi ceper, dijamin gardannya akan nyangkut. Satu jam terakhir, kita menyusuri hutan tropis khas Gunung Halimun Salak. Pohon-pohon berdiameter besar menjulang tinggi menghalangi cahaya matahari sehingga suasana lembabnya sangat terasa. Di antara pepohonan terkadang terlihat Owa ataupun Surili melintas. Suasana semakin syahdu saat orkestra alam dari kicauan burung yang berpadu dengan kerik tonggeret terdengar sangat kencang di keheningan rimba.

Bersih dan jernihnya aliran air Cikaniki


Di kesempatan ini saya bersama-sama teman dari Kutu Gunung Indonesia (KGI) datang untuk membuka jalur river tubing di Cikaniki. Pada kunjungan sebelumnya saya sempat observasi kondisi lapangan di sekitar resort dan menurut saya sungai Cikaniki ini cocok untuk river tubing. River tubing sendiri adalah kegiatan outdoor hasil pengembangan olah raga arung jeram alias rafting. Bedanya, pada river tubing tidak menggunakan perahu karet melainkan ban dalam truk yang sedikit di modifikasi.

Ruang tamu resort

Papan pilihan destinasi di depan resort

Kamar di resort

Resort Cikaniki berupa rumah panggung

Aula untuk paket hemat

Saat kami tiba hari itu, sudah menjelang sore. Kami terjebak kemacetan long weekend yg luar biasa. Akhirnya kami sepakat untuk memulai kegiatan buka jalur river tubing esok hari saja karena cuaca sudah mulai gelap. Kami beristirahat di aula resort yang biaya sewanya murah. Disini memang terdapat 5 kamar yang cukup bagus dengan tarif sewa dua ratus lima puluh ribu per malam. Satu kamar berisi 4 ranjang. Sedangkan jika menyewa aula seperti kami tarifnya seratus lima puluh ribu per malam. Tidur beralaskan matras dan sleeping bag (membawa sendiri). Aula ini bisa di isi lebih dari dua puluh orang...paket hemat brooo...hehe.

Olah Rasa dengan Memanah

Masih berolah rasa

Menuju titik awal di bawah Kanopi Trail

Esok paginya, kami menyiapkan bekal dan sarapan. Maklum kami akan seharian berada di air yang tentunya akan banyak menguras tenaga. Setelah olah rasa sejenak dengan memanah, dan mengecek peralatan yang akan di bawa, kami pun mulai berjalan ke dalam hutan ke arah Kanopi Trail yang sudah rusak, rencananya kami akan menjadikan lokasi Kanopi Trail sebagai titik awal river tubing. Di Cikaniki ini memang ada Kanopi Trail yang sebenarnya sangat bagus dan panjang, namun sayang sudah tidak bisa digunakan karena rubuh tertimpa pohon tumbang. Kanopi Trail adalah jembatan pandang yang terhubung dari pohon ke pohon yang letaknya sekitar 15-20 meter diatas tanah.

Salah satu keistimewaan area di sekitar kanopi ini adalah terdapat fluorescent mushroom a.k.a jamur bercahaya di malam hari. Memang ukuran jamurnya tidak besar namun cukup menarik karena hanya ada dua lokasi yang menjadi habitat tumbuhnya, selain di sini yaitu di hutan negara Brazil.

Gotong Royong membuka jalur

Berjuang menggeser bebatuan besar

Matahari masih belum naik penuh saat kami mulai turun dan berbasah-basah ria. Bergotong royong menggeser bebatuan untuk mendapatkan aliran air yang kami inginkan. Terkadang beberapa batu yang besar kami ikat dulu dengan webbing lalu kami tarik beramai-ramai agar bergeser. Pepohonan yang melintang besar ataupun kecil juga kami singkirkan agar jalur menjadi bersih dan tentunya aman. Keamanan atau safety adalah harga mati yang menjadi standar kami tim KGI dalam beraktivitas di outdoor. Hal ini kami jaga betul, bahkan dalam proses membuka jalur ini pun masing-masing personil tetap membekali diri dengan peralatan safety yang memadai.

Observasi penentuan arah lintasan

Setiap beberapa meter lintasan yang kami buat, kami uji coba berulang-ulang. Ada yang bertugas menjadi jangkar yaitu penguji pertama, ada yang bertugas mengecek dengan teliti kemungkinan kerasnya impact atau benturan yang mungkin terjadi, ada yang bertugas menguji jalur dengan tubing-nya, ada yang men-sweeper dan ada yang mendokumentasi. Bahkan durasi perjalanan pun kami catat dengan detail. Semua itu semata demi mendapatkan safety. Jadi kegiatan membuka jalur ini tidak serta merta kami lakukan tanpa langkah-langkah yang benar. Semua terstruktur dan bertahap.

Menguji coba jalur

Setelah enam jam berjibaku, akhirnya tim memutuskan untuk break dan menyudahi kegiatan. Tepat di atas sebuah jeram yang cukup tinggi dan sedikit mustahil untuk kami lewati dengan tubing. Setelah enam jam kami berhasil membuat jalur kurang lebih sepanjang 800-1000 meter dengan durasi perjalanan satu jam. Kami beristirahat sejenak untuk mengisi perut dan membuat minuman hangat. Sambil beristirahat kami berdiskusi tentang hal-hal yang tadi kami lakukan. Menentukan di point-point mana harus ada guide yang bersiaga dan berjaga.

You'll scream out at Jeram Bahagia

Ada kepuasan yang tidak bisa di gambarkan saat tim kami berhasil membuka jalur rintisan river tubing di lokasi ini. KGI menjadi tim pertama yang bermain disini. Kami pun memberi nama-nama jeram di sepanjang lintasan tubing berdasarkan kondisi alam dan sensasinya, beberapa diantaranya ada Jeram Gesrek, kami beri nama demikian karena tubing yang digunakan akan sedikit bergesekan dengan dasar sungai. Ada juga Jeram Bahagia, karena saat pemain melintasinya pasti akan berteriak. Ada pula Jeram Panjang, jeram ini sesuai dengan namanya adalah jeram terpanjang yang ada di lintasan.

Nampak belakang Jeram Panjang

Curug Macan yang berada di lokasi Cikaniki

Sebelum pulang kami beruji coba sekali lagi tubing di lintasan yang baru saja kami buka. Harapan kami dari tim KGI, jalur rintisan ini bisa menjadi obyek wisata baru di Resort Cikaniki. Bisa menjadi tambahan pendapatan bagi warga di hulu sungai dan menjadi nilai tambah bagi pihak TNGHS Resort Cikaniki dalam wisata minat khususnya.

Sekian, Salam Hangat

Kutu Gunung Indonesia
Perfection Of Indonesian Adventure


Bagi yang berminat mencoba river tubing di Cikaniki berikut berwisata alam, bisa menghubungi saya via :

BBM Pin : 745565CE
Whatsapp : 0811 118 1225
Website : www.kutugunung.com




















Kamis, 10 Maret 2016

Air Terjun Tirta Kemantin

Perjalanan saya ke Tirta (air terjun) Kemantin awalnya sama sekali tidak terencana. Saat itu saya bersama seorang teman baru saja turun dari mendaki Gunung Raung. Kami tiba di basecamp pendakian lewat tengah hari. Karena tiket pulang masih esok hari, jadilah kami harus menginap di basecamp untuk satu malam lagi.

Sambil beristirahat kami ngobrol bertukar cerita. Di sela obrolan, guide pendakian kami menawarkan untuk jalan-jalan ke air terjun pengantin, karena opsi tawaran pertama untuk ke Ijen melihat blue fire terpaksa kami tolak akibat keterbatasan waktu. Setelah melihat masih ada cukup waktu, kami pun mengiyakan ajakan guide tersebut.

Singkatnya pukul 8.40, dengan menaiki dua motor, kami berangkat menuju lokasi. Motor melaju ke arah utara, arah yang sama dengan jalur pendakian Gunung Raung. Ternyata hanya memerlukan waktu lima menit untuk mencapai area parkir air terjun dari basecamp ibu Suto.

Kondisi area parkir masih seadanya, tidak ada pagar ataupun pembatas. Lahannya pun masih tanah. Setiap pengunjung yang datang di kenakan biaya Rp.2500,- untuk parkir dan Rp.2500,- untuk tiket masuk. Dari tempat parkir gemuruh suara air terjun sudah terdengar.

Tak sabar, saya dan Wilco pun segera mengikuti Arif dan Rijal (guide sekaligus kawan) berjalan turun menapaki anak tangga yang juga dari tanah. Teduh pepohonan yang menghijau membuat suasana semakin sejuk. Lima menit kemudian kami tiba di pelataran dasar area air terjun.

Terdapat bangunan shelter dari kayu. Ada juga lantai bekas bangunan yang sudah hilang atapnya. Bahkan ada juga kolam kecil tidak berair---mungkin tadinya diperuntukkan untuk anak kecil bermain. Air yang jatuh melimpaskan butiran-butiran halus serupa embun, menciptakan titik-titik air yang membasahi kulit.

Di musim penghujan seperti ini, debit air terjun memang sangatlah besar. Saya takjub memandangi, mata saya menyapu mulai dari kolam dasar hingga puncak aliran. Lidah air berlarian tiada henti. Aliran yang menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar. Keunikan air terjun ini adalah terdapat dua jalur aliran yang bersebelahan, seperti kembar. Mungkin inilah asal muasal penyebutan Tirta Kemantin, karena ada dua aliran, seperti berpasangan.

Air terjun ini, menurut keterangan guide kami, baru populer di kalangan masyarakat lokal saja. Padahal letaknya tidak begitu jauh dari kota (stasiun Kalibaru). Di luar berbagai macam keterbatasannya, saya sangat mengapresiasi usaha warga yang secara swadaya terus mengembangkan lokasi air terjun ini menjadi lokasi wisata bernilai jual tinggi.

Jika saja saya masih punya banyak waktu, mungkin saya akan mendirikan tenda dan berkemah disini, menikmati hingar deru airnya.  Meski keinginan berkemah tidak terlaksana tapi secara pribadi saya merasa beruntung bisa berkunjung kesini, menjadi saksi keindahannya yang sederhana. Semoga ke depannya keberadaan Air Terjun Tirta Kemantin ini tidak hanya menjadi sumber air saja, tetapi juga bisa menjadi penopang kehidupan ekonomi warga. Selalu terjaga kebersihan dan kelestariannya.

Jumat, 26 Februari 2016

Nostalgia di Jalur Curug Nangka --- Salak II 2180mdpl

Plang Puncak Salak II yang saya pasang beberapa tahun lalu

Entah saya lagi kesambet atau gimana, tiba-tiba ngidam pengen naik ke Salak II via Curug Nangka. Pengen pake banget. Padahal intensitas hujan dan angin lagi tinggi-tingginya. Banyak hobiis gunung alias yg suka mendaki pada gantung keril di bulan Februari seperti ini. Sebelumnya saya sudah berusaha nyari partner untuk naik, tapi karena alasan cuaca, tak ada satupun yang menyambut ajakan saya mendaki Salak II.

Saya rasa sudah banyak teman-teman yang tau gimana beratnya mendaki gunung Salak, apalagi Salak II. Tapi, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada kondisi alam, alasan saya tetap mendaki di musim seperti ini adalah cuaca di Salak II yang unpredictable . Hujan turun nyaris sepanjang tahun, sehingga bagi saya pribadi tak ada waktu dan kondisi yang ideal untuk mendaki Salak II.

Secara legal, Salak II hanya memiliki satu jalur pendakian, yaitu via Curug Nangka. Tapi kira-kira sejak tahun 2006-2007 jalur pendakian ke puncak Salak II sudah resmi di tutup sehingga secara aturan tidak ada lagi jalur pendakian untuk mencapai puncaknya. Kalaupun masih ada yang bisa naik ke puncaknya itu pasti pribumi setempat atau rombongan pendaki yang di guide pribumi. Secara hukum tetap saja ilegal, tetapi dengan pertimbangan kearifan lokal, maka asalkan di dampingi pribumi yang benar-benar menguasai dan mengenal jalur, petugas TNGHS pun memberi "ijin".
Ini merupakan "kunjungan" saya yang pertama ke Salak II sejak 2014. Baca Puncak Pribumi---Salak II 2180mdpl---Dahsyatnya Jalur Laba-Laba.

Day I Bogor
26 Februari 2016
Setelah mempersiapkan peralatan tempur, plus bendera GCI, Jumat malam,
, saya memacu si Jagur, tunggangan andalan yang setia menemani saya sepuluh tahun terakhir. Ternyata di hari yang sama beberapa teman dari Cileungsi --- sebelumnya kami pernah mendaki bareng ke Merbabu dan Merapi---juga akan mendaki. Jadilah saya yang sudah siap solo hiking bergabung dengan mereka. Solo hiking itu nikmat, tapi hiking bersama teman jauh lebih baik.
Pukul 23.00, saya tiba di meeting point yang di sepakati, dan setelah berbelanja logistik yang di perlukan, empat puluh lima menit kemudian kami pun meluncur ke arah Curug Nangka. Hujan gerimis menemani perjalanan. Setelah membayar retribusi di dua gerbang kami pun memarkirkan motor di sisi kanan atas area Curug Nangka, dekat dengan gerbang masuk Herman Lantang Camp, area perkemahan milik salah seorang legenda dunia pendakian Indonesia, Om Herman Lantang.

Day 2, 27 Februari 2016
01.15 am
Semakin malam hujan bertambah deras. Untuk malam ini kami memutuskan untuk tidur di teras panggung sebuah warung yang kosong. Rencananya kami akan mulai start naik pukul enam pagi. Saya pun segera mengambil posisi untuk bobo cantik...maklum, keterbatasan kondisi fisik. Saya biarkan saja teman-teman yang lain yang rata-rata usianya setengah umur saya, bercanda menghabiskan malam. Tidur yang tidak nyenyak, hampir setiap jam saya terbangun. Pukul 4.00, hujan turun lebih deras, hingga kami bangun dan bersiap pukul 6.30 masih juga belum reda.
Alhamdulillah, pukul 7.30 hujan reda berganti gerimis halus. Segera saja kami bergegas dan mulai mendaki. 

Jalur awal pendakian

Menerobos lebatnya vegetasi yang menutupi jalur

Pasca di tutup, hanya yang pernah naik ke Salak II yang tau dimana titik awal pendakian. Sehingga sangat tidak di sarankan pendaki yang belum mengenal jalur nekat naik tanpa berbekal kemampuan navigasi dan perbekalan pendukung lainnya. Saya anjurkan, minimal memakai jasa guide warga lokal atau orang yang sudah benar-benar mengenal jalur karena hingga Pos III dan IV banyak ditemui percabangan yang tidak semuanya akan bergabung menjadi satu jalur.
Awal naik, pendaki sudah harus berhadapan dengan trek dengan kemiringan 45°, harus pandai mengatur ritme jalan, sebaiknya pendaki melangkah perlahan saja. Setelah 15 menit, jika pendaki berada di jalur yang benar akan bertemu hutan bambu. Kita akan bertemu 3 hutan bambu sebelum mencapai Pos I. Akan di temui pula 3-4 shelter. Vegetasi sangat rimbun pun begitu dengan nyamuknya...banyak banget.

Kalo udah ketemu tanjakan akar ini berarti Pos I udah dekat

Pos I...ngambil air dari pipa aliran penduduk

30-45 menit kemudian akan ditemui pertigaan di puncak punggungan kecil. Untuk ke arah puncak harus mengambil arah kiri yang turun. Sebelum puncak punggungan kecil itu juga terdapat cabang di sebelah kiri jalur. Itu adalah jalur menuju / dari Pura.
Pos I dapat di capai setelah berjalan 75-90 menit. Salah satu tanda Pos I sudah dekat, pendaki akan bertemu tanjakan sangat curam nyaris vertikal, dimana untuk melewatinya pendaki harus sedikit memanjat. Di Pos I ini terdapat sumber air dari aliran pipa penduduk. Disini tidak ideal untuk membuat camp karena bidangnya miring dan penuh akar. Di sebelah kanan Pos I adalah jurang cukup dalam dengan ketinggian kurang lebih 30 meter.

Pemandangan dari Pos III, akhirnya bisa melihat ke bawah tanpa terhalang pepohonan

Menuju Pos II di perlukan waktu 30-45 menit. Tidak ada penanda di Pos II sehingga pendaki sering tidak menyadari. 20-30 menit sebelum Pos III, terdapat jalur tikus ke arah kanan, itu adalah jalur menuju / dari Gunung Malang, jalur yang berbahaya dan sangat jarang di lintasi. Jalur tikus itu tidak terlihat jika dari arah menuju puncak. Pos III sendiri merupakan bidang sempit sedikit miring yang hanya cukup untuk satu tenda. Dari sini pemandangan ke arah kota sangat indah jika cuaca cerah. Pos III juga merupakan titik pertama dimana mata kita bisa melihat dengan leluasa ke arah bawah tanpa terhalang pepohonan.

Otw Pos V...makin berat jalurnya
Nikmati saja "siksaannya"...hehe

Break makan siang di Pos V

Masih di area Pos V, hujan sering turun di area ini

Plang penunjuk arah yang pernah saya pasang, masih menempel dengan baik

Tiga puluh menit selanjutnya pendaki akan bertemu dengan jalur yang "menyiksa" sebelum tiba di Pos IV. Pos IV ini cukup untuk membangun 3-4 tenda, di sini vegetasi sangat rapat dan lembab meski di siang hari. Lepas Pos IV menuju Pos V jalur masih "menyiksa", bahkan lebih berat.
Pukul 12.40 kami tiba di Pos V. Meski agak luas, Pos V ini hanya bisa untuk membangun 2 tenda saja. Pos ini juga sering di sebut Pos VI. Kami rehat untuk mengisi perut. Cuaca sangat khas Salak kembali kami temui yaitu kabut tebal dan gerimis. Dingin mulai menusuk padahal masih tengah hari. Dari Pos V, saya, Adot, Fahrul dan Dani bergerak lebih dulu menuju puncak untuk membuka camp. Jika sejak basecamp hingga Pos V jalur sudah sangat "menyiksa", maka jalur dari Pos V menuju puncak adalah puncak dari "penyiksaan". Dua hingga tiga jam terakhir tidak akan ada bonus yang di temui. Pendaki harus bersiap untuk selalu  mempertemukan lutut dengan dada dan dagu...bisa di bayangkan kan? Salah satu yang membuat Salak II termasuk gunung dengan jalur terberat adalah sudah mendekati puncak pun treknya masih tanah dan licin. Pacet dan kawan-kawannya harus sudah kita "akrabi" sejak awal.
Saya ga akan bahas berat jalurnya saat menjelang puncak seperti apa, biar teman-teman yang belum pernah mencobanya sendiri...hehe *ketawa jahat*.

Jembatan Ampela...salah satu titik berbahaya di jalur Salak II

Alhamdulillah setelah melewati jembatan "Ampela" alias Ambles Pasti Lewat, 15 menit kemudian kami berhasil tiba di puncak lagi dengan selamat. Puncak Pribumi Salak II 2180 mdpl. Plang puncak yang pernah saya pasang beberapa tahun lalu juga masih menempel di tempatnya. Cuaca relatif cerah untuk ukuran Salak II. Hanya berkabut tebal saja.
Kami melewati malam dengan sedikit gerimis, itupun hanya sebentar. Istirahat kami sangat maksimal. 

Camp kami di Puncak Salak II

Camp kami dengan flysheet beberapa lapis untuk antisipasi badai di puncak

Kecilnya puncak Salak II, hanya cukup maksimal 5 tenda

Day 3, 28 Februari 2016
Pukul 5 saya bangun untuk shalat subuh. Selesai shalat saya memasak air dan menyeduh kopi. Pukul 6, teman-teman yang lain pun bangun. Langsung ambil posisi masak...hehe. Seperti biasa, cuaca pagi ini pun seperti yang sudah-sudah, mendung berkabut, daaan...di luar perkiraan, turunlah hujan yang sangat deras. Hujan yang tak berhenti hingga siang. Akhirnya dengan memperhitungkan waktu untuk turun, kami terpaksa bongkar tenda dan packing di bawah guyuran hujan, sebab target kami selambat-lambatnya pukul 12.00 kami sudah harus mulai turun.

Tepat pukul 11.30 kami mulai turun. Melintasi jalur yang basah oleh hujan bukanlah soal mudah, mengingat ekstrimnya jalur Salak II. Beberapa dari kami harus rela alat dan pakaian rusak. Adot sepatunya jebol, Fahrul celananya compang camping robek dan akhirnya harus di gunting hingga pangkal paha karena sering tersangkut dahan dan duri. Angkas yang kakinya cidera karena berulang kali jatuh. Yang lainnya "cidera standar", kulit tergores-gores onak dan dahan serta sedikit memar-memar karena sering terperosok jatuh. Kami turun relatif cepat, pukul 15.00 kami sudah tiba di Pos I. Disini kami beristirahat agak lama sambil membersihkan kaki dan tangan dari pacet yang sudah gemuk-gemuk.

Dan Pacet pun berpesta dengan darah kami...

Pukul 16.15 kami akhirnya tiba di basecamp Curug Nangka. Alhamdulillah, semua selamat dan sehat. Salak II memang keren lah, pendek tapi nendang...selalu nendang. Saya ga pernah bosan kesini, selalu ada hal baru yang saya pelajari di setiap pendakiannya. Ga salah kalau Salak II menjadi gunung dengan jalur tersulit dan terberat kedua di pulau Jawa setelah Raung. Raung adalah gunung tersulit jika jalurnya di ukur selepas Pos VIII-nya menuju puncak. Di Salak II, sedari mulai naik sampai puncak jalurnya sudah berat dan sulit. Untuk teman-teman yang ingin belajar mengenal tumbuhan dan tanaman untuk survival disinilah tempatnya. Hutan Salak sangat heterogen. Yang ingin menguji mental dan ketahanan fisik, Salak II juga bisa jadi referensi. Disini juga cocok untuk berlatih kekompakan tim dalam menghadapi tantangan alam dan cuaca.
Tapi, bagi pendaki yang cuma ngejar selfie dan alay yang cuma mau nyampah, ini bukan tempat yang cocok.

Demikian sekilas cerita nostalgia  saya ke Salak II via Curug Nangka. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak sesuai dan menyinggung pihak lain.

Note :
Untuk teman-teman yang perlu info lebih detail atau berminat mencoba mendaki Salak II dan memerlukan pemandu bisa menghubungi saya di :
1. Pin BB 745565CE
2. WA only 08111181225
3. Email : cliff.klie@gmail.com
Terima kasih...Salam Lestari


Sarapan harus kami lakukan berdesakan dalam tenda karena hujan deras

Masih suasana awal jalur pendakian

Rimbun dan rapatnya vegetasi disepanjang jalur pendakian

Jalur selepas Pos I

Kotoran hewan di jalur pendakian. Banyak kotoran serupa yang kami temui
.
Tempat yang ideal untuk Pacet dan kawan-kawan

Hutan bambu yang kedua dari tiga hutan bambu yang kami lewati

Shelter bayangan pertama , cukup untuk 2 tenda

Hutan bambu yang pertama, 15 menit dari basecamp

Ga ada foot print yang bisa di jadikan petunjuk

Jalur yang tidak jelas mengharuskan pendaki untuk sangat berhati-hati

Camping Ground Curug Nangka

Warung tempat kami bermalam sebelum mendaki

Fasilitas mushala di camp ground Curug Nangka, kurang terawat

Fasilitas toilet

Area sekitar camp ground