Selasa, 19 Desember 2017

Bukit Raya The Hirudinean Kingdom

Tim Ekspedisi Bukit Raya 7 - 17 Desember 2017
ki-ka : Tika, Fendi (porter), Hanny, Tutet, Andy, Margie dan saya

"Mengukur kesulitan sebuah gunung berdasarkan ketinggiannya adalah suatu kesalahan besar. Setiap gunung memiliki karakter dan kesulitannya masing-masing. Jika tidak, apalagi yang akan menjadi daya tariknya??" --- Kukuh ---
---------------------------------------

Hari Kedua, 8 Desember 2017.
------------------------------------------------
Akhirnya setelah 5-6 jam menaiki speed boat dari pelabuhan Nanga Pinoh, menempuh jarak tak kurang dari 400 kilometer, tepat jam 17.45 saya dan tim yg menaiki boat kedua, tiba di Serawai. Margie dan bang Tutet yang menaiki boat pertama tiba 20 menit lebih awal. Perjalanan menyusuri sungai Melawi benar-benar membawa kesan tersendiri bagi saya.

Senja di dermaga Nanga Pinoh (16/12/2017)
.
Ini pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di pulau Borneo bagian barat dan menyusuri ratusan kilometer sungai dengan boat. Banyak hal yang membuat saya terpukau sekaligus sedih. Sungai memang menjadi urat nadi utama kehidupan masyarakat disini. Dari mulai transportasi hingga eksplorasi.

Tongkang pengangkut alat berat di Sungai Melawi (8/12/2017)
.
Boat ini kami sewa dengan harga 2,8 juta untuk pergi dan pulang. Kapasitas boat  maksimal 5 orang plus keril. Saya duduk di depan, di sebelah sopir boat yang bernama Udin. Sambil sesekali terkantuk kantuk karena angin, saya ngobrol santai dengan volume suara yang lebih mirip teriakan --- maklum saja, suara mesin boat sangatlah keras, kami harus susah payah untuk membuat lawan bicara dengar apa yang kita sampaikan.
Ribuan perahu berbagai tipe dan model hilir mudik dari pagi hingga petang, membawa banyak orang hingga barang-barang keperluan. Diantara rutinitas itu, banyak pula aktivitas penambangan emas liar dan logging yang sangat jelas meninggalkan jejak kerusakan yang massive. Puluhan tongkang dan ratusan tambang emas liar terapung nampak berjejalan di titik-titik tertentu.
.
Re-packing barang bawaan di teras penginapan kami di Serawai (8/12/2017)

Bangunan bercat hijau itulah penginapan terapung di Serawai (9/12/2017)

Karena kami tiba terlalu sore di Serawai, berakibat kami tidak bisa mengejar target untuk melanjutkan perjalanan ke Rantau Malam. Karena itu mau tidak mau, kami harus bermalam di penginapan terapung di Serawai. Kami menyewa 2 kamar sangat sederhana berukuran 3 x 3 meter, dengan harga sewa 40 ribu per malam per kamar. Sambil menunggu waktu, kami merapikan seluruh bawaan yang lebih mirip orang pindah rumah.
.
Kami memang sedang dalam perjalanan untuk mendaki Bukit Raya, titik tertinggi di Pulau Kalimantan. Tim saya berjumlah 6 orang. Saya, Andy, Margie, bang Tutet, mbak Hanny dan Tika. Sebenarnya titik tertinggi Kalimantan ini terletak di propinsi Kalimantan Tengah dalam naungan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, dengan ketinggian 2278 meter dari permukaan laut. Namun jalur pendakian yang umum dilewati justru melalui desa Rantau Malam di propinsi Kalimantan Barat. Malam ini, dipenginapan ini banyak juga yang bernasib sama seperti kami, mesti bermalam karena tidak adanya sopir perahu yang mau melanjutkan. Jangan dibayangkan ada lampu penerangan di sepanjang pinggiran sungai ya. Sungai disini sangat lebar, dengan warna air coklat, sangat gelap setelah matahari terbenam sehingga akan sangat beresiko jika berperahu di malam hari. Diantara banyak orang yang menginap, terdapat pula 1 grup pendaki yang baru saja turun dari Bukit Raya. 3 orang laki-laki dan 1 perempuan. Mereka tiba di Serawai sekitar pukul 19.00 saat kami sedang re-packing. Yang kemudian kami ketahui berasal dari Medan, Makassar, Balikpapan dan Ambon.
Seperti biasa, ketika pendaki bertemu dengan pendaki, apalagi di daerah antah berantah seperti ini, maka sudah pasti kami menjadi sangat akrab. Dan terbukti, kami menghabiskan malam dengan obrolan tak habis-habis dengan tema yg mungkin membuat orang lain mual....tema gunung....hehehe.
Beruntung tim kami berjumpa dengan tim ini, dari mereka lah kami mendapatkan banyak informasi baru yang cukup membuat kami terkaget-kaget.
.
.
Hari Ketiga, 9 Desember 2017
------------------------------------------------
Adzan subuh membangunkan saya jam 4.15. Udara pagi yang tidak dingin (menurut saya), membuat saya ringan melangkah untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat. Biasanya, yang sudah-sudah, diperlukan motivasi dan kekuatan ekstra untuk beranjak bangun di saat subuh jika itu dalam perjalanan mendaki. Selesai shalat, saya memilih duduk diberanda penginapan yang menghadap sungai sambil menikmati secangkir kopi. Kayu-kayu yang menjadi lantai bangunan masih basah akibat hujan semalam. Pagi ini matahari tidak muncul, langit yang berselimut mendung seperti bicara bahwa matahari sedang berlibur dari tugasnya.
.
Jam 6 pagi kami semua sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke Rantau Malam. Sebelum jalan, kami berenam sarapan sekaligus membungkus nasi untuk makan siang nanti. Hal ini kami lakukan untuk menghemat pengeluaran setelah mendapat informasi dari tim lain semalam bahwa apapun berharga mahal di Rantau Malam. Salah satunya, jika kopi yg saya nikmati di Serawai ini masih dihargai 5000 per cangkir, maka di Rantau Malam harganya jauh di atas itu --- makanya kalau ada yang bilang kopi paling mahal itu adanya di S*tarbuck, berarti orang itu masih kurang jauh mainnya...hihi. Di Serawai ini, harga makanan masih cukup normal, berkisar 15 hingga 25 ribu per porsi.
Seluruh peralatan sudah selesai kami loading ke long boat (perahu panjang) carteran dan rencananya kami akan start jam 8 pagi.
Sesaat menjelang berangkat, saya, mbak Hanny dan Andy menyempatkan diri ke pasar di atas sungai untuk mencari legging. Ya, akhirnya saya putuskan untuk membeli legging meski tidak ada budget untuk itu. Pertimbangannya setelah mendengarkan cerita dan saran dari tim lain tentang dahsyatnya serangan pacet di rimba Bukit Raya. Meski pacet bukan hal aneh bagi saya, tapi terkadang mendengarkan saran dari yang sudah berhasil melewati Bukit Raya rasanya akan lebih baik.

Membelah Sungai Serawai untuk menuju Rantau Malam (9/12/2017)

Perjalanan menuju Rantau Malam (9/12/2017)
.
Tepat jam 8 kami beranjak meninggalkan Serawai untuk menuju Rantau Malam. Biaya untuk mencarter long boat  ini 2,5 juta untuk pergi pulang. Long boat ini memiliki panjang -+9 meter dan lebar atas sekitar 1,5 meter, bisa memuat hingga 15 penumpang. Bang Ngea beserta istrinya duduk paling depan sebagai nakhoda, barang bawaan kami di sepertiga depan dan kami duduk berjajar di tengah. Sepertiga bagian belakang hanya mesin long boat saja. Kami lebih banyak diam karena percuma saja ngobrol, tidak akan bisa terdengar dengan baik karena bisingnya suara mesin boat. Sepanjang perjalanan menuju Rantau Malam, pemandangannya hampir sama dengan ketika kami naik speed boat , penambangan emas liar terlihat di beberapa titik. Sungai Serawai ini lebih berarus dibanding Sungai Melawi, sehingga perahu kami terasa lebih berat lajunya.
.
45 menit menjelang Rantau Malam kami bertemu dengan percabangan besar, bang Ngea membelokkan perahu ke arah kiri. Rupanya arah ke kanan itu adalah untuk menuju Nanga Jelundung, disana tidak ada perkampungan, yang ada hanya pertambangan emas liar. Semakin mendekati Rantau Malam arus sungai semakin deras dan meliuk sempit, menandakan dangkalnya sungai. Bang Ngea sebagai nakhoda menjadi lebih ekstra hati-hati agar baling-baling perahu tidak membentur batu. Tepat pukul 12.45 perahu kami tiba di dermaga desa Rantau Malam. Yang di maksud dermaga disini adalah tempat sandar sederhana untuk perahu. Kami masih harus menaiki tangga kayu setinggi 15 meter untuk mencapai pelataran pertama yang dilanjutkan jalanan tanah licin menanjak.

Tiba di dermaga desa Rantau Malam (9/12/2017)

Salah satu aktivitas penambangan emas liar di tepi sungai Serawai (9/12/2017)

Bagan apung untuk penambangan emas liar di Sungai Serawai (16/12/2017)

Aktivitas penambangan emas liar (9/12/2017)
.
Home stay kami terletak di ujung tanjakan. Sebuah rumah warga lokal dengan model panggung yang cukup bagus. Pemilik rumah ini bernama bang Buje, laki-laki berperawakan sedang. Dari beliau kami tahu bahwa rumah-rumah warga yang ditunjuk sebagai home stay ini sudah melalui musyawarah mereka, dan sistemnya rotasi bergilir berdasarkan kunjungan pendaki atau tamu. Jadi, tamu sebelum dan sesudahnya tidak menginap di rumah yang sama dengan tim kami. Dan perlu diketahui tidak semua homestay dilengkapi TV dan genset. Barang-barang bawaan kami letakkan dan bongkar di bagian tengah rumah. Biaya homestay ini 100 ribu rupiah per malam per tim. Tak lama kemudian datang 3 orang yang akan menjadi porter kami.
.
Sebenarnya, kami hanya menyiapkan budget untuk menyewa 2 porter saja, tapi setelah kami tau bahwa untuk tim dengan jumlah 5 - 7 orang wajib menggunakan 3 porter, akhirnya kami pun "terpaksa" menuruti. Aturan soal berapa banyak porter ini memang belum ter-sosialisasikan dengan baik sehingga tidak sedikit menimbulkan banyak perdebatan di antara tamu dan warga lokal. Padahal aturan jumlah porter ini juga sudah diketahui dan disetujui oleh pihak Taman Nasional. Hal lain yang perlu di ketahui adalah, porter ini menjual jasanya secara paket. Yaitu, di hitung 6 hari perjalanan naik turun dengan biaya 175 ribu per hari per orang, dan biaya tersebut masih belum termasuk rokok, ojek pergi pulang ke Korong Hape dan kebutuhan makannya. Kalaupun kita bisa mengejar 4-5 hari pendakian akan tetap dihitung 6 hari oleh mereka. Lebih dari 6 hari maka akan dikenakan biaya tambahan yang besarannya bergantung pada hasil negosiasi antara pendaki dan porter. Umumnya 100 ribu per hari per porter.

ooii...inilah bil alias invoice tim kami selama 2 hari menginap di homestay...aje gile! (15/12/2017)
.
Catatan penting lain yang harus diketahui adalah kebutuhan makan 1 porter yang mencapai 1 liter / kilogram beras per hari. Hal ini diluar perhitungan kami, meski memang sebelumnya saya sudah pernah mendengar soal ini, tapi saya tidak serta merta percaya. Hingga akhirnya saat semalam kami sharing pengalaman dengan tim yang baru saja turun, maka lagi-lagi dengan agak "terpaksa" kami menyiapkan logistik tambahan, khususnya beras untuk para porter.

Negosiasi dan sosialisasi aturan penggunaan porter di homestay. (9/12/2017)
note: tidak semua homestay dilengkapi TV dan genset.
.
Sambil merapikan ulang barang bawaan, tim menugaskan Margie dan mbak Hanny untuk "nego halus" soal biaya upacara adat kepada pemilik rumah. Sekaligus juga memperjelas hal-hal lain apa saja kah yang harus kami bayar. Dan disinilah proses negosiasi itu berlangsung alot dan berujung dengan "kekalahan" tim negosiator kami. Untuk upacara adat kami harus menyiapkan uang sekitar 200 ribu untuk pemangku adatnya. Lalu membayar biaya ayam untuk kurban dengan harga 70 ribu per kilogram (kami dapat ayam dengan bobot 2,45 kilogram ketika upacara naik, dan ayam dengan bobot 3,4 kilogram ketika turun) --- hitungan mereka sangat detail, hingga 1/2 ons - nya pun mesti kami bayar. Belum lagi ditambah dengan biaya untuk manik-manik gelang. Kamipun mesti urunan membeli bahan bakar dengan harga 20 ribu per liter untuk genset (tim kami memutuskan hanya membeli 10  liter, masing-masing 5 liter untuk sebelum naik dan sesudah turun). Sebatas untuk keperluan men-charge HP dan power bank. Biaya lainnya adalah kami harus mengganti biaya gas yang kami gunakan untuk masak di homestay sebesar 60 ribu rupiah untuk tabung 3 kilogram. Serta biaya beli arak untuk tetua adat dan warga ketika turun dari gunung.

Ritual adat Dayak Ot Danum sebelum kami masuk ke hutan Bukit Raya (9/12/2017)

Foto bersama Bapak Otong pemuka adat dan bapak Hata salah satu porter kami (9/12/2017)

Ritual gigit mandau sebelum pendakian (9/12/2017)

Ritual tabur beras di kepala setelah pendakian, katanya supaya penghuni rimba ga ngikutin kami (15/12/2017)
.
Printilan biaya-biaya tidak terduga ini menyebabkan budget kami membengkak. Tika sebagai bendahara dan pengatur pengeluaran berkali-kali mesti berhitung ulang. Dan untuk mencegah bertambahnya pengeluaran tim, kami sepakat untuk membersihkan dan mengolah ayam --- yang juga kami minta untuk kami potong sendiri supaya halal dan bisa kami makan (terima kasih untuk bang Tutet yang bersedia menjadi tukang jagal dadakan). Bahkan saking kami berhati-hati dengan pengeluaran, kami sampai tidak menyentuh "welcome drink" berupa kopi yang disuguhkan pemilik rumah...haha, ngirit apa pelit ya kami ini?...meski pada akhirnya masih kami juga yang harus membayar kopi tersebut.
Tapi sungguh, tidak ada tendensi pada siapapun, kami lakukan semua itu karena memang apapun tidak ada yang gratis disini, budget kami terbatas sehingga kami harus berhemat.
.
Jam 16.00 saat kami sedang bersantai, datanglah pemuka adat desa yang bernama Bapak Otong beserta rekannya Bapak Hata. Beliau mengatakan bahwa upacara adat sudah bisa dimulai. Maka kami pun berkumpul, duduk berjejer di tengah rumah menghadap ke arah timur. Dihadapan kami digelar sehelai tikar anyaman berwarna coklat. Istri bang Buje membawa piring berisi manik-manik dan tongang, semacam tali yang terbuat dari kulit pohon tertentu yang diambil dari dalam hutan. Sementara bang Buje membawa ayam yang akan di jadikan kurban. Ayam itu di serah terimakan kepada Bapak Otong yang kemudian mengayun-ayunkannya di atas kepala kami sambil membaca "mantra" dalam bahasa Dayak Ot Danum. Selesai itu, bang Tutet, sesuai yang kami rencanakan, meminta mandau yang akan digunakan untuk memotong. Ya, kami meminta ijin untuk memotong ayam itu dengan cara Islam agar halal dan bisa kami makan.
.
Bapak Otong memegang ayam dan bang Tutet yang menyembelih. Darah ayam di biarkan menetes ke piring dimana terdapat tongang dan manik-manik. Lalu diikatkan lah tongang dan manik-manik itu menjadi gelang di tangan kanan kami. Oh iya, bapak Otong mengharuskan tangan kanan kami dalam posisi terkepal saat gelang di ikat. Ritual terakhir adalah kami diwajibkan menggigit bagian tumpul dari mandau yang tadi digunakan untuk menyembelih sebanyak tiga kali. Setiap kali kami sudah menggigit, bapak Otong lalu meletakkan mandau di atas kepala kami, begitu berulang hingga tiga kali. Selesai ritual, kami pun di sibukkan dengan membersihkan ayam. Bang Tutet dengan dibantu Andy merendam ayam dengan air panas dan mencabuti bulunya. Sementara mbak Hanny dan Margie menyiapkan bumbu-bumbu. Saya sendiri membantu memasak nasi. Kami bersedia repot mengolah ayam karena jika warga yang mengolah maka akan keluar "tagihan" lagi ke kami....hehehe.
.
Pukul 18.30 kami menikmati makan malam dengan lauk ayam kecap. Selesai kami makan mulailah rumah bang Buje ramai didatangi para pria desa Rantau Malam. Kami sempat berpikir, mungkin ini sudah jadi kebiasaan warga desa berkumpul di salah satu rumah warga, seperti lazimnya orang-orang kampung kebanyakan. Tapi rupanya dugaan kami salah, karena mereka ini datang memang untuk bertemu dengan kami. Mereka ini adalah para porter yang biasa menemani pendaki. Kurang lebih ada 15 orang yg berkumpul. Diantaranya ada bapak Dionisius Bacok yang menjadi ketua perkumpulan porter Rantau Malam dan bapak Toni, petugas lapangan TNBBR. Sempat terjadi perdebatan panjang diantara kami dengan mereka soal kebijakan jumlah porter yang harus kami gunakan. Tarik ulur dan adu argumentasi berakhir dengan kami harus mengikuti aturan yang berlaku di desa ini. Di putuskan pula 3 orang porter yang akan mendampingi kami adalah bapak Fendi, bapak Hata dan bapak Badat. Untuk jalur yang akan kami tempuh, kami sepakat jika sungai tidak pasang maka kami akan melewati jalur Batu Lintang, dan jika pasang kami akan melalui Korong Hape tanpa menaiki ojek. Agenda kami untuk menaiki ojek terpaksa kami batalkan karena hujan yang mengguyur desa sejak pukul 13.00 tidak juga ada tanda-tanda akan berhenti. Bahkan hingga rapat pertemuan kami dengan para porter berakhir pukul 20.00. Selesai rapat, para porter ngobrol santai sambil menikmati kopi yang disuguhkan pemilik homestay. Dan konyolnya di akhir nanti kami pula yang harus membayar kopi tersebut. Rupanya adat disini adalah tamu yang menjamu warga...what the??!...tau begitu mending kami ikut minum kopi daripada ga minum tapi harus membayar.
Sebelum tidur, kami mengemas ulang barang bawaan serta membagi beban untuk porter ke dalam tiga keril yang memang sudah kami persiapkan.
.
.
Hari Pertama, 7 Desember 2017
----------------------------------------------------
Saya sedang tertidur pulas di Bus Damri saat tiba-tiba HP saya berbunyi dengan dering khas Whatsapp Call. Rupanya Margie yang menelepon. Dia menanyakan posisi saya dimana. Sambil melihat keluar jendela untuk mencari tau, saya menjawab bahwa saya sudah memasuki area bandara Soetta. Perkiraan saya tidak sampai 15 menit lagi, saya akan tiba di Terminal 1A, tempat pesawat kami akan diberangkatkan. Dan sesuai dengan waktu yang telah di perkirakan, saya tiba di Terminal 1A pukul 18.30. Jadwal take off kami masih 50 menit lagi. Setelah saya bertemu Margie, dari situ saya tau jika Tika dan Andy masih belum tiba.
.
Dari kami berenam, memang hanya saya, Andy, Margie dan Tika yang berangkat dari Jakarta. Sedangkan mbak Hanny dari Medan dengan pesawat sore. Bang Tutet sendiri sudah landing di Pontianak sejak pagi, beliau naik flight pertama dari Makassar. Jam terasa lebih cepat berputar karena saya dan Margie mulai merasa waswas dua rekan kami masih belum muncul. Akhirnya kami putuskan untuk boarding dan check in saja dulu. Kami berdua membawa 4 keril, dua keril kami sendiri, 1 keril Andy dan 1 keril khusus berisi logistik. Saat kami sedang antri check in, datanglah Tika dengan setengah basah kuyup hasil hujan-hujanan mengejar Damri tadi sore. Andy masih belum muncul sementara 15 menit lagi pesawat akan take off, akhirnya kami titipkan tiket Andy di counter 16, supaya dia bisa langsung ambil ketika tiba di bandara --- semoga tidak tertinggal pesawat ya bro...hehe...--- kami bertiga sudah mulai bisa nyengir karena dapat informasi bahwa pesawat kami bahkan belum landing di Soetta. Tapi sengaja kami tidak inform Andy supaya dia semakin panik...haha, sorry bro, anggap saja fit and proper test kesiapan mendaki.
Andy muncul ketika kami bertiga sedang bersantai di waiting hall gate 11. Dengan terengah-engah dia duduk di lantai. Maklum saja badannya kan 11-15 dengan saya, dia gendut banget dan saya gendut...(*'# so what the different??...lol).
Dan, untuk kali pertama saya dan rekan sangat bersyukur Singa Terbang mengalami delay parah, karena dengan itu rekan kami (Andy) jadi tetap bisa ikut sesuai rencana. Tidak terbayang jika tadi akhirnya pesawat terbang tepat waktu, pasti Andy sudah nangis bombay meratapi nasibnya tertinggal pesawat.
.
Pukul 21.20 WIB, pesawat kami take off meninggalkan Jakarta. Selama di perjalanan kami semua terdiam dengan lamunan masing-masing, hingga landing di Pontianak pukul 23.15 WITA. Di hall kedatangan airport Supadio, kami melihat mbak Hanny duduk sendirian, segera saja kami mendekati dan menemui. Saya pribadi baru mengenal mbak Hanny via grup yang sengaja dibentuk untuk tim yang akan berangkat ke Bukit Raya. Mbak Hanny, wanita yang supel berusia awal 40an, sengaja terbang jauh dari Medan demi mengejar puncak Bukit Raya. Setelannya pendaki banget coy. Setelah memperkenalkan diri, kami pun cuek bebek berfoto-foto di back ground drop airport Supadio. Yah, kapan lagi.com toh bisa kesini lagi, jadi abadikanlah momen sekecil apapun itu. Puas berfoto, kami pun beranjak menuju pengambilan bagasi. Dari bagasi, kami keluar untuk mencari mobil carteran yang telah kami pesan dengan biaya 3 juta pergi pulang. Kami sempat kebingungan bagaimana cara loading keril-keril besar kami. Mau di ikat di atas tapi talinya tidak cukup. Akhirnya kami paksakan untuk sementara hingga mendapatkan tali, keril-keril di tumpuk di jok bagikan belakang bersama Margie. Saya, Andy dan Dede (kenek mobil) di jok tengah. Tika dan mbak Hanny didepan. Sebenarnya ada alternatif lebih murah untuk menuju Nanga Pinoh yaitu dengan bus Damri dengan biaya 175 ribu untuk sekali jalan. Tapi kami memilih mencarter mobil saja supaya lebih gampang jika ingin berhenti dan lain-lain sepanjang perjalanan.
.
Dari airport kami akan menjemput bang Tutet terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Nanga Pinoh yang katanya memakan waktu 9-10 jam. Singkatnya, bang Tutet kami jemput di daerah Wonodadi tepat pukul 24.00.
Di rumah kenalan beliau kami menyempatkan diri untuk mengikat keril di atas mobil agar kami bisa lebih leluasa duduk dalam perjalanan selanjutnya.
Para wanita mengisi jok belakang, para lelaki termasuk saya di jok tengah, di depan di isi sopir dan keneknya. Dan mobil pun melaju membelah jalanan kota Pontianak yang sudah lengang. Kami beberapa kali berhenti, termasuk saat singgah untuk melaksanakan shalat subuh di sebuah masjid di daerah Sekadau. Oh iya, dalam perjalanan kami menuju Nanga Pinoh, tak banyak mesjid yang kami jumpai, disana mayoritas warga beragama Kristen sehingga gereja-lah tempat beribadah yang mendominasi. 30 menit lepas shalat subuh, kami tiba di pertigaan Entikong (wilayah yang menjadi perbatasan Indonesia - Malaysia, menurut supir, Entikong lebih dekat dibanding ke Nanga Pinoh. Dan benar saja, pada akhirnya kami baru bisa tiba di Nanga Pinoh resort TNBBR pukul 11.45. Letak resort TNBBR ini melewati Dermaga Pelabuhan Air, berada di sebelah kanan jalan di kilometer 10 lepas Kota Pinoh. 

Mengurus perijinan pendakian di resort TNBBR Nanga Pinoh (8/12/2017)

Tim tiba di resort TNBBR Nanga Pinoh (8/12/2017)


Bongkar muatan untuk dipindahkan ke speedboat di dermaga Nanga Pinoh (8/12/2017)

Loading muatan ke speedboat di dermaga Nanga Pinoh (8/12/2017)
.
Selesai mengurus perijinan pendakian, mobil kami kembali ke arah Kota Pinoh untuk menuju dermaga Pelabuhan Air Nanga Pinoh. Begitu kami keluar dari mobil untuk memindahkan barang-barang ke speedboat carteran, barulah terasa panasnya udara Kalimantan Barat, benar-benar membakar kulit. Berkali-kali saya menyeka peluh yang terus bercucuran.
Sempat terjadi hal yang diluar rencana yaitu, speedboat carteran kami yang di nakhodai bang Udin ternyata tidak mampu mengangkut semua barang bawaan kami. Kami berenam dan 8 keril besar-besar. Kapasitas angkut speedboat hanya 500kg. Akhirnya, Margie dan bang Tutet serta 1 keril dipindahkan ke speedboat lain dengan membayar ekstra charge 400 ribu rupiah. Perjalanan menuju Serawai menghabiskan waktu 5 jam. Sempat speed kami transit di SPBU terapung ditengah perjalanan.

SPBU terapung di pertengahan perjalanan dari Nanga Pinoh dan Serawai (8/12/2017)
.
.
Hari Keempat, 10 Desember 2017
Trail 1 : Rantau Malam - Pos 3 Hulu Menyanoi.
.
Foto bersama di depan homestay sebelum pendakian (10/12/2017)

Hari masih pagi saat kami mulai menuju dermaga Rantau Malam untuk mengangkut seluruh barang ke pangkalan ojek Korong Hape dengan longboat milik bang Buje. Dan sekedar nginfo lagi, kami kena charge 15 ribu rupiah per orang lho naik longboat ini. Tadinya kami sempat berencana memulai perjalanan melalui Batu Lintang, namun karena kemarin hujan nyaris turun seharian maka kami batalkan rencana itu dengan pertimbangan faktor keselamatan. Kami pun menuju pos ojek dengan longboat karena jembatan penghubung desa terputus dihantam banjir bandang beberapa waktu lalu. Dan karena itu pula, kami tidak bisa menaiki ojek sesuai rencana awal. Yang artinya untuk mencapai Korong Hape kami harus berjalan kaki menelusuri jalur terbuka yang naik turun entah berapa bukit dibawah udara yang luar biasa panas selama kurang lebih 2,5jam.

Bertemu rombongan Dayak yang baru pulang berburu dijalanan menuju Korong Hape (10/12/2017)
.
Pukul 11.00 kami belum tiba di Korong Hape, tetapi di putuskan tim untuk break makan siang di tepi sumber air terakhir sebelum Pos 3. Makan siang kami bubur kacang hijau dan roti. Menjelang shalat dzuhur kami melanjutkan perjalanan dengan tempo yang semakin melambat. Tempo jalan kami memang sangat lambat, utamanya karena kondisi fisik saya yang drop. Setiap kali break, saya pasti rebahan, merasakan lelah yang entah kenapa begitu mendera. Belum pernah sebelumnya saya seperti ini saat mendaki. Seolah saya tidak lagi memiliki tenaga --- Inilah akibat ga pernah olahraga dan kegendutan...lol. Dan setelah susah payah, tim berhasil tiba di Korong Hape pukul 13.00. Lagi-lagi saya merebahkan diri cukup lama sebelum melanjutkan perjalanan.

Break makan siang 1 jam menjelang Korong Hape (10/12/2017)
.
Korong Hape sendiri sebenarnya adalah jalanan yang dibuat suatu proyek logging atau pertambangan, sekaligus satu-satunya spot dimana pendaki bisa mendapatkan sinyal handphone. Korong Hape juga merupakan pintu masuk rimba Bukit Raya. Soal pintu rimba ini memang tidak terdapat tanda khusus dan terletak di pinggir jalan utama, sehingga mungkin akan sedikit membingungkan bagi yang belum pernah berkunjung kesana karena jalan utama terus membentang ke arah kanan (arah proyek tambang liar), sedangkan pintu rimba justru hanya setapak kecil ke arah kiri.
.
Tadinya Tim mentargetkan untuk buka camp di Pos 4 Sungai Mangan, tapi setelah melihat kondisi akhirnya kami mengubah target menjadi Pos 3 Hulu Menyanoi. Pukul 13.40 kami mulai bergerak. Saya, Andy dan Margie berjalan dibelakang, pelan tapi pasti. Sesekali kami break untuk "bernafas". Rute awal kami sudah berhadapan dengan 3 kali naik turun bukit kecil. Cukup membuat saya tersengal-sengal. Oh iya, karena ritme jalan saya yg payah akhirnya keril saya di bawa bang Tutet, dan saya membawa daypack yang bobotnya lebih ringan. Tiba-tiba hujan turun pukul 15.10, seketika saya teringat jika raincoat saya ada di keril yang di bawa bang Tutet, karena malas berbasah-basah, saya pun mempercepat langkah untuk menyusulnya. Rupanya bang Tutet berjarak cukup jauh dengan saya, terpisah 1 bukit dan 2 lembahan, jadi perlu effort khusus bagi saya untuk mengejar. Setelah berkumpul,  lalu kami jalan beriringan menembus hujan di gelapnya rimba. Rimbunnya hutan Bukit Raya mengakibatkan suasana siang seperti sore. Pukul 16.00 kami tiba di simpang Batu Lintang (kilometer 19,5) --- (jalur resmi TNBBR--- setiap 100 meter memang terpasang plang penunjuk jalan yang sangat memudahkan pendaki untuk orientasi arah. Jika mulai mendaki via Batu Lintang titik awal dimulai dari kilometer 22), sedangkan jika via Korong Hape, kurang lebih panjang lintasannya sekitar 30 kilometer. Setelah berfoto dibawah hujan kami melanjutkan perjalanan karena menurut porter, Pos 3 sudah dekat. Benar saja, 30 menit kemudian kami tiba di Pos 3 Hulu Menyanoi. Area ini letaknya tepat di tepi sungai kecil dengan luas efektif sekitar 4 x 5 meter dengan kontur tidak rata dan becek, sehingga harus kami atur agar muat untuk 3 tenda. Sedangkan para porter membuat shelter-nya sendiri dengan cara yang unik, yang biasa dibuat saat mereka masuk rimba. Saya pribadi kagum dengan efektifitas dan kreativitas porter yang berasal dari masyarakat Dayak Ot Danum ini. Bang Tutet memasak untuk makan malam kami di dalam tenda dibawah guyuran hujan. Selesai makan sambil menunggu tidur, kami mulai ritual baru yaitu inspeksi pacet. Maklum saja, pacet memang menjadi momok pendaki yang berkunjung ke Bukit Raya. Dan benar saja, tak butuh waktu lama untuk melihat pacet-pacet merayapi tenda dan sepatu basah kami diluar. Padahal ini belum masuk area inti yang menjadi gudang mereka.

Camp kami di Pos 3 Hulu Menyanoi (10/12/2017)

Sungai di Pos 3 Hulu Menyanoi, nampak porter kami bapak Badat (11/12/2017)
.
.
Hari Kelima, 11 Desember 2017
Trail 2 : Pos 3 Hulu Menyanoi - Pos 5 Hulu Rabang
.
Kami berencana mendaki Bukit Raya dalam waktu 5 hari 4 malam dan agar bisa mencapai target itu kami mencoba memulai pendakian hari kedua lebih pagi. Meski pagi itu masih lembab dan basah sisa hujan semalam, kami sudah mulai bangun dan memasak sarapan. Pukul 7.30 Andy dan Margie jalan lebih dulu. Hari ini target kami menuju Pos 7 Linang. Sebagian logistik kami tinggal disini untuk meringankan bawaan. Pukul 8.30 tim kembali melanjutkan perjalanan. Saya dibuatkan bilah kayu yang dibentuk seperti pisau panjang oleh pak Badat yang fungsinya untuk mencongkel jika ada pacet yang merayap di kaki atau bagian tubuh yang lain. Kelak, bilah kayu ini menjadi senjata andalan setiap anggota tim untuk meminimalisir serangan pacet selama pendakian. Jalur awal sedikit menanjak, lalu bertahap naik turun dengan melewati 4 aliran air kecil. Jarak Pos 3 dan Pos 4 tidak jauh, bahkan boleh dibilang inilah jarak antar pos yang paling pendek, cukup 45 menit saja untuk menempuhnya. Area camp Pos 4 ini cukup luas (bisa untuk membangun 4 tenda) dan relatif rata. Terdapat sungai kecil yang airnya agak kemerahan di sebelah bawah jalur pendakian selanjutnya. Saya beristirahat sekitar 20 menit disini. Porter menginfokan bahwa untuk mencapai Pos 5 Hulu Rabang diperlukan waktu 4,5 jam --- merupakan salah satu jarak terpanjang antar pos selain dari Pos 8 ke puncak Bukit Raya--- jika menilik dari kecepatan jalan kami. Fisik saya masih belum juga pulih, ditambah perut yang menolak diisi nasi membuat kecepatan jalan saya tidak juga membaik. Meski harus sambil menahan mual, saya pun berjalan lagi.

Simpang Lekawai di foto dari atas (11/12/2017)

Pukul 10.15 saya tiba di Simpang Lekawai, lembahan kecil yang cukup nyaman untuk beristirahat meski tetap tidak bisa duduk di tanah, setidaknya ada rebahan batang pohon besar yang bisa dijadikan alas pantat. Simpang Lekawai ini merupakan daerah lintasan Enggang atau sejenis burung Rangkong, unggas endemik hutan Bukit Raya, sekaligus titik simpang untuk menuju hulu sungai Serawai. Disini saya meminta porter untuk memasakkan air untuk menyeduh energen. Dua sachet sekaligus saya seduh, mengingat saya tidak sarapan, akan sangat beresiko terus berjalan dengan medan seberat ini dalam keadaan perut kosong.
.
Satu jam menjelang tengah hari, dengan ditemani pak Badat saya kembali berjalan untuk menyusul teman-teman yang lain. Pukul 12.10 dalam satu turunan panjang, saya kembali minta berhenti karena perut yang terasa lapar. Lagi-lagi saya memasak air untuk menyeduh energen. Selesai, 30 menit kemudian saya kembali berjalan, masih di temani pak Badat. Jalur masih terus menurun, dan memang rute antara Pos 4 dan Pos 5 ini 80% adalah turunan, PR besar bagi saya saat perjalanan pulang nanti. Langit masih cerah saat saya tiba di Pos 5 Hulu Rabang 700 mdpl --- wah, susah payah mendaki selama hampir 6 jam rupanya hanya naik 100 meter saja ketinggiannya. Disana Andy, Margie dan yang lain sedang sibuk membangun tenda. Mumpung cuaca masih bagus kami mengerjakan semua dengan cepat. Pelajaran hari kemarin saat di timpa hujan membuat kami mulai mengerti karakter cuaca disini. Tapi, ada lagi tambahan PR bagi kami yaitu keberadaan pacet yang semakin banyak dan agresif. Jika di pos-pos sebelumnya hanya ada pacet hitam, disini mulai kami temui pacet loreng. Pacet ini familiar disebut masyarakat lokal sebagai pacet tentara. Beberapa menit sekali kami harus membersihkan atau mengawasi pacet-pacet itu dari gear atau tenda. Meski demikian, dari seluruh pos yang ada di Bukit Raya, pos 5 inilah favorit saya karena sungainya yang cukup besar, jernih dan nyaman untuk dibuat mandi.

Logistik kami untuk 6 hari 5 malam (9/12/2017)

Seperti hari sebelumnya, menjelang Ashar hujan turun lagi, beruntung kami sudah selesai masak dan makan. Dalam dua hari ini kami sudah kehilangan cadangan perbekalan untuk 3 kali masak. Penyebabnya kami salah perhitungan soal daya tahan makanan. Di dalam hutan Bukit Raya memang sangat sejuk karena rapatnya vegetasi, namun sedari hari pertama, logistik yang sudah kami persiapkan harus melalui cuaca Pontianak yang sangat panas, baik di boat maupun di perjalanan menuju Korong Hape. Hal ini disebabkan posisi Pontianak yang tepat berada di garis khatulistiwa. Mataharinya berasa ada sepuluh...hehehe.
.
Saat kami sudah mulai terlelap, tetiba saya dikagetkan suara Andy yang mengatakan tenda banjir. Antara sadar dan tidak, saya lihat jam, tertera pukul 21.00. Lalu saya mulai melihat sekeliling, benar saja, air hujan merembes masuk dari atap. Rupanya flysheet menempel ke layer tenda, di tambah tipe bahan flysheet yang digunakan adalah ultralight maka tidak mampu menahan derasnya hujan. Jadilah malam itu kami sibuk mengeringkan banjir dalam tenda sekaligus memasang ulang flysheet. Setelah 2 jam, barulah kami bisa kembali tidur.
.
.
Hari Keenam, 12 Desember 2017
Trail 3 : Hulu Rabang - Pos 8 Soa Tohutung 1536 mdpl
.
Pagi ini, dengan agak malas saya bangun untuk menunaikan shalat subuh. Selesai shalat, saya duduk diam di dalam tenda tanpa membuka pintunya. Bukan apa-apa, bukan soal dingin, tapi soal si p-a-c-e-t itu lho. Setia banget nunggu mangsa. Bahkan ada beberapa yang sukses menerobos masuk melalui jaring halus tenda. Kami mengetahuinya saat bangun dari tidur lalu ada darah segar yang menempel. Rupanya si pacet keenakan menghisap dan pecah karena terhimpit badan kami. Pagi ini tim sarapan dengan nasi goreng, kecuali saya dan Andy yang memang masih belum bisa menerima nasi untuk masuk mengisi lambung. Dan jadilah energen saja yang berkolaborasi dengan oksigen untuk di oksidasi menjadi energi. Selesai packing dan ritual-ritual pagi lainnya, pukul 8.30 tim mulai bergerak menuju target hari ini yaitu Pos 8 Soa Tohutung. Seperti yang sudah di infokan porter sebelumnya, bahwa di hari ketiga ini jalur pendakian yang sesungguhnya akan di mulai. Di awal, kami harus menerobos setapak yang semakin rapat vegetasinya, dimana pacet-pacet daun sudah menunggu di pos nya masing-masing. Sepertinya mereka sudah di beritahu rekannya di Pos 5 bahwa akan lewat rombongan tim kami...hehehe.
.
Lima belas menit kemudian, mulailah jalur menanjak curam, terus menanjak dengan melewati beberapa bibir jalur yang tipis. Serasah tebal menjadi alas jalan kami, dan dibalik serasah itulah pacet hitam sudah menunggu. Berjalan di jalur dengan kemiringan 60°, licin dan basah cepat menguras tenaga yang ada, tapi bukan itu yang "menyiksa", kami khususnya saya "tersiksa" karena hanya bisa beristirahat tidak lebih dari 15 detik saja dengan posisi membungkuk. Semakin lama diam di titik yang sama, maka semakin ramailah pacet mendekati. Bagusnya, saya sudah memakai senjata rahasia sejak di Pos 3, yaitu tembakau dan anti nyamuk sachet dan spray. Saya sengaja membawa 1 kilogram tembakau rajang hanya untuk mengurangi serangan pacet. Setiap akan memakai sepatu, tembakau itu saya selipkan di dalam sepatu dan di dalam kaos kaki. Sepatu yang basah pun seakan menjadi berkah karena semakin memperkuat aroma tembakau. Setelah memakai tembakau, kaos kaki dan legging pun saya olesi dengan krim anti nyamuk. Telapak tangan saya olesi juga barulah saya gunakan baselayer ketat panjang. Di pinggang saya terselip spray anti nyamuk, dan di tangan saya bilah kayu buatan porter untuk mencongkel pacet yang masih membandel. Setelan saya mirip dengan tentara siap tempur yang kegendutan. Tapi terbukti, dengan cara ini, saya menjadi anggota tim yang paling sedikit terkena pacet. Setidaknya saya hanya terkena di pipi, kepala, betis, tangan dan engkel, yang kalau di total-total tidak lebih dari 30 ekor. Jumlah itulah yang berhasil menempel di kulit saya. Tapi kalau yang menempel di sepatu dan gear lainnya sih ga terhitung.
.
Berjalan pelan sekali dengan nafas senin kamis, saya tiba di Pos 6 Hulu Jelundung pukul 11.00. Saat tiba, bang Tutet sedang memasak air, maka saya pun segera menyeduh energen dan teh manis agar tenaga tetap terjaga. Di Pos 6 ini kurang ideal untuk membangun camp karena konturnya yang miring. Sumber air cukup besar disini, karena ada sungai di kanan jalur. Meski ada sungai, namun saya tidak berminat untuk menghampiri karena disini jugalah mulai ditemui pacet berperut merah. Dibanding pacet hitam dan loreng, pacet tipe inilah yang cukup menjadi teror karena gigitannya yang terasa sakit, selain ukurannya yang memang sudah besar sebelum menghisap. Setiap menit kami harus mencongkel atau menyemprot mereka dengan spray anti nyamuk. Setelah break 45 menit kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 7. Diperkirakan kami akan tiba di Pos 7 sekitar pukul 14.00. Dan memang tim tiba di Pos 7 Linang 1200 mdpl sesuai target yang di tentukan. Terdapat air terjun sekitar 200 meter di kanan jalur. Namun saya tidak berminat untuk melihatnya, cukup mendengar gemuruh airnya saja. Di Pos 7 kami memasak air dan membuat teh manis. Di temani cemilan biskuit untuk menambah tenaga. Persis di hadapan kami tanjakan panjang dan curam sudah menunggu, menunggu bersama pacet perut merah.
.
Pukul 14.30 saya menyusul mbak Hanny dan Fendi. Kaki yang sudah mulai terasa panas karena terlalu lelah harus terus dipaksa menapaki langkah demi langkah. Di hari ketiga pendakian ini saya masih saja terus muntah tanpa mengeluarkan apa-apa. Saya sudah tidak lagi peduli masih berapa lama harus melangkah. Saya hanya fokus pada sisa tenaga yang ada. Kondisi real pendakian telah menyadarkan saya bahwa jangan pernah mengukur gunung hanya dari ketinggiannya. Syukur Alhamdulillah, pukul 16.15 saya berhasil tiba di Pos 8 Soa Tohutung 1536 mdpl. Posisi Pos 8 ini keluar dari jalur utama ke arah kanan sejauh 200 meter, dekat dengan sungai kecil berair jernih. Jangan khawatir tersesat bagi teman-teman yang belum pernah kesini, karena terdapat plang penunjuk arah yang sangat jelas mana arah puncak dan arah Pos 8. Saat saya tiba, seluruh tenda sudah selesai dibangun. 150 meter lebih ke dalam dari Pos 8 terdapat tugu perbatasan propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
.
Saya dan Andy memutuskan untuk mandi sebelum menunaikan shalat ashar. Kami bergantian saling mengawasi pergerakan pacet. Sebab di Pos 8 ini pacet mengintai hingga di tepi sumber air. Terbukti saat saya mengambil wudhu, satu pacet berukuran cukup besar sudah menempel di kaki. Secara keseluruhan, dari pengamatan saya, wilayah yang menjadi gudang pacet adalah lepas Pos 5 hingga Pos 8, wilayah yang tutupan hutannya paling rapat dan lembab. Meski tetap merasa horor namun perlahan saya dan rekan yang lain mulai agak terbiasa dengan kondisi ini. Khusus di Pos 8 ini, kami mengurangi kegiatan diluar tenda untuk menghindari serangan si "drakula melata", di pos ini memang besar-besar ukuran pacetnya.  Dan sebelum kami mulai tidur, kami bersepakat untuk memulai summit attack pukul 4 pagi, yang artinya pukul 3.00 dini hari kami harus sudah bangun plus packing. Kami memang juga sepakat untuk beres packing alat-alat pribadi sebelum summit attack karena kami ingin di hari kelima nanti bisa mulai perjalanan turun dari Pos 7 untuk mempercepat waktu tempuh. Standar waktu summit menurut porter sekitar 5 jam. Sedangkan pace jalan kami rata-rata lebih lambat 1-2 jam dari standar waktu yang ada disini. Kami memperkirakan jika mulai summit pukul 4 subuh maka kami bisa tiba di puncak pukul 9 pagi. Alokasi waktu untuk sesi foto dan lain-lain maksimal 2 jam, kembali turun 5 jam, berarti kami baru tiba di Pos 8 lagi pukul 16.00. Karena itulah kami memutuskan packing sebelum summit, agar keril-keril kami bisa di angkut porter yang tidak ikut ke puncak hingga di persimpangan Pos 8.
.
.
Hari Ketujuh, 13 Desember 2017
Trail 4 : Pos 8 Soa Tohutung - Puncak Bukit Raya
.
Kami memang bangun tepat pukul 3.00, tapi kenyataannya kami baru mulai summit pukul 4.40, itupun tanpa sarapan. Porter yang memandu kami ke puncak adalah Pak Hata, jadi Pak Badat dan Fendi lah yang bertugas packing tenda dan memasangnya kembali di Pos 7, sekaligus mengangkut keril kami hingga di persimpangan Pos 8.
Pola jalan tim masih tidak berubah, terdepan masih bang Tutet dan 3 terbelakang adalah saya, Margie dan Andy. Berkali-kali saya muntah tanpa keluar apa-apa karena tekanan perut yang kosong. Jalur yang terus menanjak tanpa bonus sempat membuat saya ingin menyerah. Untuk kali pertama sejak tiga hari pendakian, saya tidak lagi mempedulikan si pacet. Saya sibuk berpikir apakah akan terus summit atau balik badan dan menyerah. Hari sudah terang saat tim tiba di bawah tebing karst basah Puncak Jempol. Disitu kami memasak air untuk sekedar menyeduh teh dan energen untuk mengisi perut. Pukul 7.45 hingga pukul 8.15 kami break.
Jalur selanjutnya kami berjalan melipir sisi bawah tebing yang licin dan sempit. Kucuran air menetes deras dari atas tebing, membasahi kami yang berjalan pelan dibawahnya. 20 menit kemudian tim tiba di jalur bekas longsor yang cukup berbahaya. Ini satu-satunya jalur menuju Puncak Jempol. Jadi setiap pendaki memang harus melalui Puncak Jempol sebelum mencapai puncak Bukit Raya.
Mempertimbangkan faktor keselamatan, akhirnya di wakili bang Tutet, tim memasang webbing di ketinggian sekitar 7 meter untuk memudahkan kami meniti jalur. Tebing yang harus kami lalui ini nyaris vertikal, mungkin sekitar 80° kemiringannya. Lepas titian dengan webbing kami masih harus agak merayap dengan hati-hati sejauh 10 meter untuk mencapai dataran punggungannya. Plang penunjuk arah tertera puncak masih 1900 meter horisontal. Dalam perhitungan saya, mungkin jarak 1,9km bisa ditempuh dengan waktu 30 menit saja. Dan lagi-lagi saya salah, karena pada akhirnya, meski jadi yang pertama tiba di puncak, saya perlu waktu hingga 1 jam 15 menit (pukul 10.15).
.
1900 meter horisontal terakhir ini justru jadi yang terberat menurut saya. Hutan lumut yang penuh dengan pohon tumbang dan longsoran membuat saya berkali-kali ingin "menangis". Saya membatin, "Salak saja yang sudah saya khatamkan puncak 1 hingga puncak 11ga gini-gini amat beratnya."
Beratnya jalur masih di tambah kita harus sangat jeli berorientasi arah. Alaminya jalur membuat seolah semua arah adalah jalur. Dan saya bersyukur pihak TNBBR sudah memasang plang penunjuk setiap 100 meter --- menurut info porter, plang ini baru di pasang di awal bulan November 2017. 1900 meter terakhir benar-benar ujian mental bagi saya, sejak di bawah Puncak Jempol saya memang tidak lagi membawa botol air minum karena rusak dan tumpah. Untuk minum saya menghisap dari embun-embun yang menggantung di ujung untaian lumut dan mengumpulkan dari kantung semar (Nephentes) yang Alhamdulillah banyak terdapat hingga di area puncak. Seandainya tidak ada kantung semar entahlah gimana nasib saya. Intinya saya hanya bisa bilang 1900 meter terakhir ini luar biasa beratnya. Yang sedikit menghibur adalah di dua plang 200 meter terakhir pihak TNBBR menambahkan kalimat "SEMANGAT BRO!!"...Sepertinya pihak TN tau bahwa di jarak ini mental dan semangat pendaki sudah benar-benar nyaris habis. Andai saja pihak TN tidak memberi plang tanda jarak, maka mungkin saja saya tidak menyadari jika saya sudah tiba di puncak Bukit Raya.
.
Rasanya, ini juga kali pertama saya kurang antusias dengan tempat bernama puncak. Suasana yang tidak seperti puncak pada umumnya sedikit banyak berpengaruh dengan euforia yang di timbulkan. Padahal ini puncak ke enam saya dari jajaran 7 puncak tertinggi Indonesia. Setelah saya tiba dipuncak, saya hanya duduk diam, menatap papan tanda puncak dihadapan saya. Pikiran saya menerawang, betapa beratnya proses untuk bisa berada disini, betapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan, betapa tidak bisa hanya bermodal semangat untuk bisa berdiri disini. Sangat dibutuhkan tim yang solid dan benar-benar mengerti satu sama lain agar bisa saling menguatkan.
Saya lihat jam di android, pukul 10.30, berarti sudah 15 menit saya berada disini sendirian. 5 menit kemudian barulah satu persatu anggota tim berdatangan ke puncak. Ketika Andy datang, saya peluk, kami terdiam, tak terbayang bisa berhasil "menaklukkan" Puncak Kakam 2278 mdpl. Hebat orang sini, seberat ini hanya disebut BUKIT. Saya akan sangat ikhlas dan mendukung jika suatu hari nanti Bukit Raya berganti nama menjadi "Gunung Raya"...hehehe. Ya, beratnya jalur dan kontur alam disini lebih cocok disebut Gunung daripada Bukit.
Setahun lalu, saya pernah mengatakan disalah satu catper saya bahwa Gunung Binaiya (baca catper saya Binaiya Itu...Memang Beda!!)  di Maluku adalah gunung dengan PHP terbaik. Maka tahun ini, setelah berhasil "menaklukkan" Bukit Raya Kalimantan, saya tidak ragu untuk mengatakan, inilah gunung terberat yang pernah saya daki. Penilaian berat ini juga di amini oleh bang Tutet yang sudah pernah mendaki Cartenz Pyramid, beliau mengatakan, "ke Cartenz saya masih sanggup dua kali bolak balik dalam satu kesempatan, tapi disini saya ga sanggup". Selamat untuk bang Tutet yang sudah menyelesaikan Seven Summit Indonesia-nya, selamat untuk mbak Hanny dan Margie yang sudah menggapai puncak kelima-nya, Andy dan Tika yang tinggal menunggu Cartenz untuk menamatkan seven summit-nya. Terima kasih khusus saya ucapkan untuk Allah swt yang telah memberi saya kekuatan dan kesempatan untuk berada disini. Terima kasih untuk Nino dan mami serta ortu yang selalu mendukung dan mendoakan, plus teman-teman sehobi. Terima kasih yang besar bagi porter tim kami, Fendi, pak Badat dan pak Hata, kalian luar biasa.

Saya di Puncak Kakam 2278 mdpl...Alhamdulillah..Puncak ke-enam dari 7 puncak tertinggi Indonesia (13/12/2017)

Masing-masing punya gaya...yang penting udah nyampe di puncak.(13/12/2017)

Full team di Puncak Kakam Bukit Raya dengan bendera kebangsaan KGI...Alhamdulillah
.
Alhamdulillah....
.
.
End Of Long Journey
Ekspedisi Bukit Raya 2278 mdpl
7 - 17 Desember 2017
.
.
More info :
WA / SMS Only 0811-118-1225
E-mail : cliff.klie@gmail.com
Follow IG : Kukuh Klie

Gallery :

Saya dan Andy didepan resort TNBBR Rantau Malam pasca pendakian (15/12/2017)
Tongkang besar pengangkut alat berat di Sungai Melawi (8/12/2017)
Kaki serasa di iris-iris akibat setiap hari memakai sepatu basah (14/12/2017)
Hutan Lumut menjelang puncak (13/12/2017)
Foto bersama sebelum meniti tebing vertikal Puncak Jempol (13/12/2017)
Bayangkan jembatan dengan kayu gelondongan sebesar itu putus diterjang banjir Sungai Serawai (10/12/2017)
Lagi-lagi aktivitas penambangan emas liar di tepi sungai Melawi (8/12/2017)

Selasa, 01 Agustus 2017

MANAJEMEN PUP...(ketika di Gunung)

by : me
.
Mungkin terdengar sedikit janggal saat judulnya dibaca. Ngapaih sih pup aja harus pake manajemen??
Bagi yg belum pernah naik gunung mungkin ga merasa penting atau yg jarang berkegiatan di alam bebas dimana ga ada toilet juga mungkin ga pernah terpikir pentingnya ilmu soal ini.
.
Tanpa harus sy jelaskan, semua jg tau pup itu salah satu kebutuhan yg nyaris setiap hari dilakukan manusia normal. Dalam keseharian yg normal tentu kita ga pusing, tinggal masuk toilet, beres. Tapi kalo di gunung, hutan atau alam bebas lainnya gmn?? Apalagi didaerah yg susah atau ga ada air?? Masa iya main buang sembarangan??
.
Pup memang perlu manajemen guys, ga sedikit masalah yg muncul gegara minimnya pengetahuan soal cara pup di alam bebas. Bukti nyata, yg terbaru, hilang atau jatuhnya seorang pendaki dr Jakarta saat pup ke jurang dg kedalaman lebih dr 100 meter di area "letter S" Rinjani 3 hari lalu.
.
.
Langsung aja ya, Manajemen Pup saya bagi ke dalam 3 point besar...,
.
Yg pertama,
A. Manajemen Alat
Alat2 yg dimaksud adalah, benda2 yg sebisa mungkin harus ada dalam list gear bawaan kamu.
1. Sekop kecil, golok kecil, fungsinya untuk menggali lubang tempat kita pup.
2. Tissue kering dan Tissue basah, fungsinya sebagai pengganti air u/ membersihkan.
3. Trekking Pole dan sarung / kain, fungsinya sebagai shelter penutup darurat jika kita kebelet di area yg relatif terbuka. Semacam toilet tent-lah fungsinya.

B. Manajemen Lokasi
Karena kebelet itu tidak memandang waktu, maka pilihlah area yg :
a. Sedikit jauh dr camp area
b. Bukan jalur yg umum di lalui manusia
c. Tidak di sumber air atau di sekitar sumber air, meski air berlimpah dan mengalir. Ingat, orang lain pun menggunakan air tersebut.
d. Terlindung tetapi semak perdunya tidak tinggi.
e. Ajak 1 kawan u/ ikut menjaga, antisipasi hal2 yg tdk diinginkan.
f. Tidak di tepi area miring dan terjal.

C. Manajemen Etika dan Cara
1. Buatlah lubang secukupnya u/ pup. Hal ini penting sbg manusia yg punya adab.
2. Buanglah tissue yg kita gunakan dilubang yg sama.
3. Tutuplah bekas pup kita dg tanah di sekitar.
4. Pastikan kita telah membersihkan dubur dg sempurna agar terhindar dr Fistula Ani. Blm tau Fistula Ani? Googling sana. Pendaki bisa tamat karirnya kalo udh kena Fistula Ani.
5. Pastikan lubang bekas kita pup sudah tertutup dg baik.
.
Dan sebaiknya tidak usah kita meminum tablet2 pereda diare macam Dia*pet, Entr*ostop dll dg dalih supaya ga sakit perut. Karena ga nyambung. Obat2 semacam itu justru membuat perut jadi tidak enak nantinya karena fungsi utamanya adalah memampatkan. Perut ga diare ngapain di obatin? Kontraindikasinya perut bisa kembung. Kalo perut kembung, nafsu makan menurun, dan di udara dingin, perut yg kosong akan memicu Hypothermia....alhasil jadi masalah baru lagi kan??
.
Kebelet dan pup itu anugrah koq, jd ga perlu ditahan2, tapi jangan juga dibuang sembarangan mentang2 alam bebas begitu luas. Jadilah pendaki dan petualang yg bermartabat dan tau adab, supaya lingkungan tetap bersih dan kita pun sehat.
.
Demikian semoga bermanfaat.

Selasa, 07 Maret 2017

Kenapa Jalanku Masih Sulit Setelah Hijrah??

by : me

Assalamualaikum,
Saya termasuk salah satu manusia paling beruntung di dunia ini. Bukan karena saya berlimpah materi...bukan juga karena saya ganteng (fitnah itu mah)...apalagi karena punya jabatan??..boro-boro.
.
Saya beruntung semata karena masih dikasih umur untuk hijrah. Ya, hanya itu alasan satu-satunya saya merasa beruntung.
.
Seperti hal nya kebanyakan orang yang "ngedadak" hijrah saat dihantam keterpurukan, terutama soal ekonomi. Di fase awal saya pun langsung gaspoll ngejar ibadah, mencoba memperbaiki hubungan saya dengan Allah. Cerita-cerita tentang kematian saya jadikan trigger supaya ga kendor. Nasihat dan kisah teladan saya lahap untuk memotivasi diri untuk bangkit.
.
Shalat wajib selalu di mesjid supaya bisa berjamaah, sedekah seadanya tapi terus menerus (modal senyum juga ibadah kan?)...di tambah amalan "doppingannya" mulai dr ODOJ subuh n Isya, tahajud, dhuha, hajat, taubat, dll. Pokoknya ga ada sela untuk membiarkan diri berkurang umur dengan percuma.
.
Hati terasa lapang, plong, ringan dan tiada keinginan lain selain ingin selalu dekat sama Allah. Ya maklum saja, job lagi ga tentu, pemasukan nol, jadi ibadah pun jelas jadi hal satu-satunya yang bisa saya lakukan.
.
Dan lagi-lagi seperti kebanyakan cerita tentang orang yang dalam kondisi down yang memilih hijrah dan ibadah sebagai solusi, saya pun mulai memperoleh "bonus" dari Allah dalam bentuk materi. Sedikit demi sedikit terbuka lagi jalan saya. Berdatangan lagi job-job yang saya rindukan, dari segala arah.
.
Saya mulai kesulitan menyortir dan membuat skala prioritas terhadap pekerjaan. Semua ingin saya ambil, semua saya kerjakan sebaik-baiknya seolah ini adalah kesempatan terakhir bagi saya. Jam tidur saya mundur larut, berakibat terlewat waktu tahajud. Pun begitu pasca shalat subuh saya lebih memilih tidur dan meninggalkan kebiasaan tilawah.
.
Seru memang berkutat dengan kesibukan kerja...selama beberapa waktu, secara finansial saya mulai membaik, bahkan dalam waktu yang relatif singkat setelah terpuruk sekian lama.
Saya pun tambah semangat bekerja, semakin terpacu mencari materi dengan cara yang halal. Hari hari berlalu cepat.
.
Hingga suatu ketika saya masuk ke dalam fase banyak gagal, job berantakan hingga rasa kecewa dan frustasi mulai mampir lagi dikepala. Ga ada ketenangan. Hati bertanya, apa yg salah? Shalat fardhu saya masih terjaga, ikhtiar pun dengan cara yang halal, lalu kenapa saya mengalami perasaan seperti ini??
.
Dalam perenungan saya, saya membuat coretan-coretan kecil tentang kebiasaan-kebiasaan yang rutin saya lakukan dahulu dalam fase proses awal hijrah. Di tambah saya terngiang nasihat bijak yang mengatakan : "Jika banyak masalah maka periksa bagaimana shalatmu? Sedekahmu? Ibadahmu? Amalanmu?
Hasilnya??
Ternyata banyak dopping amalan yang saya tinggalkan atau terabaikan...dari mulai tahajud, dhuha sampe tilawah terkesan hanya sesempatnya saja dengan alasan pekerjaan yang bertambah.
.
Entah gimana, saya pun akhirnya meyakini bahwa inilah penyebab saya masuk lagi ke fase banyak gagal dan tidak tenang. Saya terobsesi dan terbuai dengan "kesempatan kedua" yang Allah berikan. Menjadikannya semata kesempatan tanpa berpikir bahwa itu adalah ujian. Ujian kesungguhan niat hijrah saya.
.
Cetek banget nih iman, di kasih senang dikit bisa ninggalin amalan-amalan dopping. Benar yang fardhu ga tinggal, tapi bukan pembenaran juga yang sampingan jadi ditinggalkan. PADAHAL saya tidak pernah tau lewat amalan yang mana ikhtiar dunia saya dimudahkan Allah.
.
Dan, Alhamdulillah, sejak saat itu saya berusaha berazzam tidak akan meninggalkan amalan-amalan doppingan diluar yang fardhu, sesibuk apapun saya, se-cape apapun saya. Saya pun berjanji sama diri sendiri untuk menjalani hidup ini dengan kebiasaan-kebiasaan seperti saat dulu awal hijrah.
Karena saya tidak pernah tau dari amalan yang mana Allah mengijabah doa dan ikhtiar saya.
.
Sungguh mengejar dunia benar-benar menghanyutkan, membutakan dan mengeraskan hati. Maka berhati-hatilah teman. Jangan sampai mengalami fase gagal lagi pasca hijrah.
'Karena bertaubat hanya pantas bagi yang melakukan dosa karena ketidak tahuannya (lupa saya ini ayat di surat apa).
.
Wassalam

Senin, 27 Februari 2017

JAGALAH LISANMU

by : me
.
Tahukah kamu apa alasan Nabi Ibrahim ga bisa ngasih syafaat untuk umat manusia khususnya umat di jamannya saat di Padang Mahsyar nanti??
Ternyata alasannya "sepele" lho..."hanya" karena semasa hidupnya di dunia beliau pernah berbohong sebanyak 3 kali. Iya, benar, hanya karena pernah berbohong 3 kali.
.
Di Pengadilan Allah, sekelas Nabi Ibrahim tidak bisa ngasih syafaat. Luar biasa "syarat" yang harus dipenuhi agar bisa memberi syafaat untuk umat sampai-sampai 3 kali berbohong semasa hidup dan semua untuk kebaikan menjadi "penghalangnya." Padahal beliau di jamin Surga sama Allah.
.
Dan tahukah kamu bahwa di jaman Nabi Besar Muhammad saw, sistem peradilan sudah tertata dan teratur bahkan hingga persoalan apa saja yang boleh di masukan meja pengadilan dan siapa saja yang bisa di jadikan saksi??

Alkisah, ada seorang ayah yang berkunjung ke rumah putranya. Saat sang ayah tiba, rupanya putranya sedang tidak ada di rumah, hanya ada menantunya yang menyambutnya. Setelah berbincang seperlunya, menantunya pamit meninggalkan sebentar. Sang ayah rupanya lapar, dan sebenarnya maksud tujuan beliau datang adalah hendak meminta beras.
Tanpa menunggu menantunya kembali, ia mengambil beberapa genggam beras lalu beranjak pulang.
.
Ternyata, tanpa sepengetahuannya, menantunya itu melihat saat ia mengambil beras tersebut. Lalu ketika sang suami pulang, ia mengadukan apa yang ia lihat dan menuntut suaminya agar memperkarakan ayahnya yang sudah mengambil beras tanpa ijin. Karena di desak sedemikian rupa, sang suami pun mengabulkan keinginan istrinya untuk memperkarakan ayahnya ke pengadilan dengan tuduhan "nyolong beras".
.
Setelah mendengar pembelaan sang ayah atas tuntutan anaknya, Hakim pengadilan merasa ragu untuk mengadili kasus ini, jadi ia pergi menghadap Rasulullah untuk minta petunjuk dan solusi. Setelah mendengar penjelasan Hakim dan ayah si anak itu, Nabi pun memanggil si anak, Nabi berkata dengan nada keras "Tahukah kamu bahwa apa yg ada di dirimu dan milikmu adalah milik ayahmu??!!".
.
Demi mendengar perkataan Nabi, sang Hakim tak berpikir panjang langsung memutus bebas sang ayah dari segala tuntutan. Sang anak pun bersujud memohon maaf pada sang ayah dan Nabi atas apa yg sudah ia perbuat.
.
Dalam kasus di atas, benar bahwa ada saksi (menantunya), ada barang yang diambil, tp peradilan di mata Rasul benar-benar melihat urgensi dan musababnya. Hubungan ayah dengan anak menjadi pertimbangan, selain alasan yang menyebabkan sang ayah terpaksa mengambil beras. Sungguh jauh berbeda dengan jaman sekarang dimana begitu mudah memperkarakan sesuatu hal tanpa melihat secara jernih duduk persoalannya. Yang penting orang yang di "target" segera di hukum, syukur-syukur hukuman berat. Kalo perlu bersaksi palsu sekalian biar cepat kelar perkara.
.
Di jaman Rasul, pengadilan benar-benar adil karena saksi-saksi yang dihadirkan benar-benar berkualitas. Seperti apakah saksi yang berkualitas?? Apakah ia harus berpendidikan tinggi dan berpengaruh? Apakah harus lulusan sekolah tertentu??
.
Ya, memang hal-hal diatas adalah beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi saksi di jaman Rasul, lalu apa bedanya dengan saksi jaman sekarang?? Satu hal yang menjadi pembeda dengan saksi jaman sekarang adalah saksi pada jaman Rasul sudah teruji dan di telusuri track record nya, bahwa ia tidak pernah berbohong, bayangkan!! Begitu detailnya. Tidak cukup hanya dg sumpah demi Allah saja syaratnya. Hanya Seseorang yang jujur lah yang layak dan pantas dijadikan saksi dalam pengadilan.
Tata cara memilih saksi yang seperti itu dipertahankan hingga ke jaman Khalifah Umar bin Khattab demi mendapatkan sistem peradilan yg terjaga kredibilitasnya.
.
Bagaimana dengan jaman sekarang??
.
Mungkin kita semua juga tau, proses pemilihan saksi hanya didasarkan pada bidang keilmuannya saja tanpa melihat kejujuran dalam kesehariannya. Jadi tidak heran supremasi hukum dinegara ini tidak bisa diharapkan. Sudah mah petingginya hobi main "power", sistem peradilannya pun tebang pilih.
.
Abu Hurairah, konon, saat ia mengumpulkan riwayat hadits-hadits, tidak pernah begitu saja menelan informasi tentang sabda Rasulullah. Sedikitnya, meski harus melintas negara lain, beliau akan menelusuri dan mencari hingga bertemu langsung dengan sumber yang bisa mengatakan "Ya, saya mendengar sendiri Rasul bersabda seperti itu", barulah beliau akan mencatatnya dalam kumpulan hadits-hadits nya. Bayangkan akhlak luhur beliau yang menjunjung tinggi tentang kesaksian yang murni dan jujur.
.
Tidak cukup hanya itu, pernah suatu ketika Abu Hurairah sedang mengkonfirmasi tentang suatu riwayat ke narasumber, dilihatnya si narasumber memegang daging di tangan kanannya lalu memanggil-manggil kucing yang jadi peliharaannya, si kucing mendekat lalu ditangkapnya...TAPI rupanya kucing tersebut tidak diberi daging yang tadi digunakan untuk memancingnya mendekat. Demi melihat itu, Abu Hurairah pun tidak jadi mencatat keterangan dari si narasumber itu. Karena beliau melihat ia membohongi kucing!
.
Lebay kah??!!...bisa jadi jika kita melihat dari kacamata jaman sekarang. Timbang bo'ongin kucing aja jadi masalah. Tapi, lihatlah dari sisi keluhuran akhlak muslim sejati, bahwa menjaga kejujuran itu tidak memandang terhadap siapa dan dalam kondisi apa.
Terhadap hewan sekalipun.
.
Begitu berhati-hatinya Nabi, para Khalifah dan sahabat-sahabat di jaman Rasul beserta keluarganya dalam menjaga kejujuran secara total.
Sebab, memang Allah telah berfirman akan mengadzab orang yang bersaksi palsu. Begitu berbahayanya akibat yang bisa ditimbulkan oleh seorang yang bersaksi palsu, sampai-sampai ancaman Allah adalah akan mengumpulkan orang-orang itu lebih dahulu dibanding para penyembah berhala di hari akhir nanti. Mereka dikumpulkan lebih dahulu dan dimasukkan ke neraka kelas VVIP....naudzubillaahi...
.
So, hati-hati lah dalam berbicara dan bersaksi, jangan katakan apa yang tidak kita ketahui kebenarannya karena kelak jangankan ucapan,.... soal mata, telinga dan seluruh hal yang ada dalam diri kita akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah swt.
.
Semoga Bermanfaat untuk kita semua, terutama untuk saya.

Senin, 23 Januari 2017

Manusia Kera versi Darwin adalah Monyet Jaman Sekarang

Bagi kamu yang suka berpikir njelimet atau berteka-teki, tentu banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepala tentang "kenapa ini bisa begini?" "Kenapa itu bisa begitu?" "Dari mana metode untuk validasi suatu hal itu berasal?"
.
Itu versi bentuk pertanyaan yang kalimatnya baku. Kalo simpelnya sih, seperti ini :
Contoh , soal emas aja :
- Dari mana orang jaman dulu tau bahwa dari sekian banyak unsur dan jenis logam, koq cuma emas yang memiliki nilai tukar dan berharga?? - Dari mana orang jaman dulu tau lokasi-lokasi yang mengandung emas berikut cara pengolahannya?? Atau,

Bagaimana orang jaman dulu membangun piramida dengan struktur ruang dalam yang rumit dan kompleks?? Bagaimana cara mengangkat dan menempatkan bongkah-bongkah batu yang beratnya lebih dari 3000kg per buah dengan sangat presisi??
----------------------------------

Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya, saya yakin untuk itu.
.
Saya pun termasuk orang yang pernah pusing dan di pusingkan oleh pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Hingga kurang lebih seminggu yang lalu secara "spontan" otak saya menemukan jawaban jitu yang tidak terbantah meski belum melalui pembuktian ilmiah.
.
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan sangat memusingkan dan seolah diperlukan cara ilmiah untuk pembuktiannya. Ya, jika cara berpikir kita hanya dari sudut pandang sebagai manusia jaman sekarang yang mengenal android, ilmu kimia, mobil ferrari dan pesawat tipe air bus tentu kita akan menganggap orang-orang jaman dulu itu ga modern dan primitive, kasarnya kemana-mana aja naik kuda atau perahu dayung.
Akhirnya kita pun sepakat bahwa manusia sekarang hasil evolusi monyet sesuai teori Darwin.
.
Tapi....
Ada celah besar yang tertinggal untuk pertanyaan lainnya, fakta bahwa ada kehidupan sebelum monyet-monyet itu berevolusi tidak terbantahkan. Seperti Situs Gunung Padang yang umurnya sudah sangat-sangat tua, mungkinkah yang membangunnya monyet?? Kemanakah pemilik peradaban itu? Kenapa hanya peninggalannya yang tersisa?? Itu hanya salah satu contoh.
.
Kaum pemikir akan terus berusaha mencari jawaban dengan cara-caranya yang ilmiah.
Tapi saya sejak minggu lalu justru menemukan jawaban sekaligus pembuktian kebenaran kitab suci Al-Quran.
.
Ya, jawabannya ada di Al Quran, kitab yang tidak ada keraguan / kesalahan didalamnya. Banyak ayat dalam Quran yang bercerita sekaligus mengingatkan tentang kaum-kaum yang hidup sebelum manusia jaman sekarang. Kaum-kaum yang jauh lebih hebat, lebih besar dan lebih kuat dari kita sekarang ini.
.
Kaum-kaum yang di adzab dan di musnahkan oleh Allah swt karena kesombongan dan kedzolimannya. Mereka di anugerahi kecerdasan di atas kita, kemampuan super dan kemakmuran namun lupa dengan yang memberinya yaitu Allah swt.
Maka dari itu seperti Quran bilang "tidak sulit bagi Allah memusnahkan suatu kaum dan menggantinya dengan kaum yang baru jika kaum tersebut banyak berbuat kemunkaran.
.
Allah juga berfirman yang bunyinya kurang lebih "maka berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah kesudahan kaum-kaum sebelum kamu yg kami musnahkan, padahal mereka lebih hebat dari kamu..." (QS.Fatir 44)
.
Dan Allah juga sengaja menyisakan sedikit dari peninggalan peradaban kaum-kaum yang di adzab itu untuk di jadikan pelajaran dan pengingat bagi kita di jaman sekarang.
.
So....dengan berpegang pada Quran, sebenarnya apa yang kita alami dan miliki sebagai manusia dijaman sekarang boleh jadi belum ada apa-apanya dibanding kehebatan kaum-kaum jaman dahulu yang telah di adzab Allah karena kesombongannya. Disebut "kaum" tentu karena mereka itu manusia. Manusia-manusia hebat di jamannya, dengan teknologi yang jauh lebih tinggi dari kita yang sekarang.
Banyak teori yang meragukan bahkan membantah teori Darwin bahwa Manusia berasal dr monyet / kera.
.
Tapi Al - Quran, kitab suci saya yang agung telah memberikan jawaban bagi saya untuk meng-counter teori Darwin, bahwa diperadaban dulu, dengan manusia-manusia yang sangat cerdas dan modern, bisa jadi monyet-monyetnya pun lebih cerdas dari monyet jaman sekarang, sehingga bisa membuat peralatan sederhana untuk berburu dll, bisa melukis di gua dll.
.
Karena manusia-manusianya sudah lenyap di adzab Allah maka yang tersisa hanya hewan-hewan termasuk monyet purba yang "cerdas" seperti Phitecanthropus. Itu sebabnya saya buat tulisan ini "Manusia Kera versi Darwin adalah Monyet di Jaman yang Sekarang".
Dan, kalo kita mau selamat jangan sombong, apa yang kita punya ini hanya ujian / cobaan... "Hadza min fadli robbik".

Note :
Iseng nulis di CL, Kesimpulan saya tentang Obrolan sore itu di Dapoer Bisma.
Ini hanya opini versi saya. Jangan ada yang baper ya.

Kamis, 12 Januari 2017

Review Tenda Tipe 4 Musim dan Ekspedisi

Nyaris semua tenda 4 season memiliki desain seperti di bawah ini. Dan yg bisa disebut berkualitas hampir semua merupakan produk import. Di gambar kedua adalah contoh tenda dari brand yang sudah sangat terkenal di dunia pendakian yaitu The North Face. Tenda TNF cukup mendominasi digunung-gunung negara 4 musim karena fitur2nya yg memang diciptakan untuk menghadapi cuaca ekstrim.
.
Statusnya yg import sudah jelas menyebabkan tingginya harga untuk pasaran di Indonesia, salah satunya faktor pajak masuk dan bea import.
.
Bicara soal tenda 4 musim, apakah relevan jika penggiat di tanah air ingin menggunakannya? Mengingat negara kita berada di wilayah tropis dan hanya mengenal 2 musim yaitu penghujan dan kemarau.
.
Menurut catatan admin, meski di Indonesia hanya terdapat 2 musim, tenda-tenda bertipe 4 musim sangat cocok dan tetap berfungsi maksimal penggunaannya. Acuannya adalah prinsip dasar dari desain tenda 4 musim yang di peruntukkan menghadapi cuaca ekstrim dan pendakian berdurasi panjang.
.
Seringkali admin melihat di lapangan, dibawah cuaca yg buruk seperti angin kencang, banyak tenda2 yg rusak bahkan roboh. Mengingat tenda adalah rumah untuk perlindungan, tentunya merupakan suatu kerugian besar jika rusak saat masa pendakian belum selesai yg imbasnya akan membahayakan nyawa si pendaki.
.
Nah, tenda pada gambar pertama (yg terdiri dari 4 gambar), bisa dijadikan solusi untuk menghadapi cuaca ekstrim di Indonesia dan juga negara 4 musim. Tenda keluaran dalam negeri sendiri ini cukup mengakomodir kebutuhan pendaki yg sering membangun tenda di ketinggian ekstrim dengan resiko angin super kencang dalam durasi panjang.
.
Material yg digunakan pun cukup berkualitas. Tenda jenis ekspedisi dengan nama seri Expedition merk Merapi Mountain ini tipenya standing free (bisa berdiri dan di geser dalam keadaan utuh). Struktur bangunnya Geodesic Dome mempertegas kekuatannya untuk menghadapi kerasnya angin dan hujan. Vestibule-nya sangat luas (nyaris 1 meter) akan memudahkan kita berkegiatan masak meski di bawah cuaca buruk. Untuk akses keluar masuk yg cepat, terdapat juga vestibule 1 pintu di sisi yg berseberangan.
.
Gap atau jarak antara inner dan layer luar (flysheet) juga jauh sehingga pendaki akan sangat nyaman bernafas dan terhindar dari uap nafasnya sendiri yg berbalik. Ruang dalam dari tenda ini hampir 2,5 meter panjangnya, dengan lebar 1,8 meter, sehingga dapat dipastikan pendaki dapat beristirahat dengan sangat nyaman.
.
Meski berdimensi besar, tenda ini di desain hanya untuk 3-4 orang saja. Dan jangan khawatir, hanya diperlukan 2 orang saja untuk membangun tenda ini. Jadi walau bobotnya mencapai 4,5kg, tenda ini bisa dijadikan pilihan untuk kamu2 yg membutuhkan tenda dengan kekuatan dan kenyamanan lebih saat melakukan pendakian atau ekspedisi berdurasi panjang dan di bawah cuaca ekstrim.
.
Soal harga, well, sangat terjangkau temans, masih di bawah idr 3 juta per unit nya.
.
Semoga review dari admin tentang tenda ekspedisi bisa bermanfaat bagi teman-teman yg sedang mencari tenda berkekuatan khusus ya.
.
Happy nice day...keep your safety guys.


Note : pict source by Google

Rabu, 28 Desember 2016

SILATURRAHIM REJEKI

Berapa banyak dr kita yg begitu ingin memulai suatu usaha?? Yg merasa jenuh dg rutinitas?? Yg mulai merasa kekurangan bahkan kehilangan waktu untuk keluarga??

Saya yakin jawabannya mungkin hampir semua dr kita.

Lalu berapa banyak dr kita yg mempertanyakan "usaha model apa yg aman dan minim resiko?? Yg modalnya ga besar tapi berkelanjutan?? Yg kecil persaingan??

Jawabannya?? Jelas tidak ada!!

Terkadang manusia terlalu sibuk memikirkan ini dan itu, begini dan begitu sampai-sampai dia lupa bahwa ada "invisible hand" yg turut menentukan hasil akhir suatu ikhtiar.

Ya, dalam situasi ekonomi yg tidak menentu seperti sekarang ini dimana banyak kebijakan hanya berpihak pada golongan tertentu adalah hal yg wajar jika kita mengkhawatirkan siapa lagi pembeli produk di tengah tingginya persaingan yg akhirnya berujung pada sikap pesimis.

Hal yg sama saya rasakan dan sempat saya pikirkan. Meski usaha saya belum dalam skala yg besar dan dari segi hasil belum juga bisa dibilang mapan, saya merasa nyaman dan tenang. Apa kuncinya??
Simpel saja, saya serahkan semua pada "Invisible Hand" , Allah swt. Sesimpel itukah?? Ya, sesimpel itu koq.

Setelah berikhtiar maksimal jangan lupa  meminta Allah untuk memberi hasil yg sesuai keinginan kita. Cara mintanya bagaimana?! Praktekkan saja syarat-syaratNya. Tahukah kamu bahwa justru syarat hidup bahagia yg Allah ajukan tidak memerlukan biaya besar.

1. Mendoakan kebaikan bagi sesama
2. Memudahkan jalan dan usaha orang lain
3. Banyak bersedekah (tidak mesti dg uang)
4. Silaturrahim Rejeki

Untuk point 1 sampai 3 saya yakin teman2 secara teori sudah kenyang mendengar sejak kecil, meski prakteknya masih pilih-pilih seperti saya. Memilih hanya ke orang-orang yg saya sukai saja kalo mau mendoakan dan membantu...hehehe.

Tapi untuk point no.4 SILATURRAHIM REJEKI??? Sudah berapa banyak dari kita yg mem-praktekkan?

Sebenarnya, gabungan dr point 1,2,3 juga merupakan silaturrahmi rejeki.
Silaturrahim model inilah yg "menyelamatkan" pelaku usaha sekaligus membuat usaha yg dijalani tetap eksis meski diterpa krisis.

Dalam skala yg kecil, bentuknya adalah dg membeli, menggunakan, atau bertransaksi dg teman-teman atau tetangga terdekat yg memiliki usaha. Abaikan harganya jika sedikit mahal, niatkan agar usahanya tetap berputar dan berjalan. Dg bertindak seperti itu kamu sudah memudahkan jalan orang lain, DAN secara otomatis Allah pun akan "membayar janjiNya" pada kamu. Karena Allah menjanjikan kemudahan bagi hambaNya yg memudahkan urusan orang lain (dalam hal yg baik tentunya). Buang jauh-jauh mindset "harga teman lebih murah", karena secara tidak sadar akan membuat kita jadi stressor buyer bagi teman kita.

Dalam skala yg besar, silaturrahim rejeki bisa berbentuk berbelanja di tempat-tempat yg didominasi masyarakat biasa seperti pasar tradisional. Dg demikian kita turut aktif memutar roda perekonomian di akar rumput. DAN kalo bisa, jangan pake acara nawar, kalo harus nawar pun jangan kelewat sadis ya.

Buktikan deh keampuhan silaturrahim rejeki. Jangankan bertransaksi, baru ber-silaturrahim saja sudah merupakan pembuka pintu rejeki...apalagi bersilaturrahim sambil bertransaksi??
Buktikan kebenaran janji Allah. Hanya silaturrahim rejeki yg bisa membuat usaha dan pelaku usaha menjadi berkah dan penuh manfaat, insya Allah. Jangan ukur segala sesuatu hanya dr nominal dan untung rugi, ga bakal bahagia hidup kita.

Sok lah buktikan...