Kamis, 24 September 2015

Into Thin Air --- BAB X --- LHOTSE FACE, 29 APRIL 1996 --- 23.400 KAKI

Publik Amerika pada dasarnya tidak memiliki rasa simpati terhadap para pendaki gunung, tidak seperti orang-orang di negara-negara bergunung di Eropa atau Inggris yang menciptakan olahraga ini. Disana, banyak yang memiliki semacam pengertian dan meskipun orang biasa mungkin menganggap kegiatan itu sebagai tindakan nekat yang mengancam nyawa, mereka bisa menerima bahwa itu adalah sesuatu yang harus dilakukan. Di Amerika, penerimaan semacam itu tidak ada.

Walt Unsworth
Everest

Sehari setelah upaya pertama kami mencapai Camp Tiga digagalkan oleh angin dan udara yang sangat dingin, semua anggota tim Hall kecuali Doug (yang tetap tinggal di Camp Dua untuk memulihkan batang tenggorokannya yang terluka) mencoba mendaki untuk kedua kalinya. Seribu kaki diatas Camp Dua, dilereng Lhotse Face yang terjal, aku mendaki sambil berpegang pada tali nilon yang sudah tampak usang, pendakian yang seakan-akan tidak pernah berakhir; semakin tinggi aku mendaki, semakin lambat pula gerakanku. Dengan tangan yang terbungkus sarung tangan, aku mendorong alat pendaki mekanikku ke atas, kemudian membiarkan alat kecil tersebut menopang berat tubuhku supaya aku bisa menarik napas panjang; kemudian aku menggerakkan kaki kiri, menancapkan sepatu cramponku ke permukaan es, dengan susah payah mengisi paru-paruku dengan dua tarikan napas; menancapkan kaki kananku sejajar dengan kaki kiri, menarik dan mengeluarkan napas melalui dada bawah, menarik dan mengeluarkan napas sekali lagi; kemudian mendorong alat pendaki mekanikku ke atas sekali lagi. Aku sudah menguras tenaga selama tiga jam penuh, dan berpikir bahwa aku masih harus melakukannya selama satu jam sebelum aku bisa beristirahat. Dalam kondisi yang sulit seperti itulah aku mendaki ke arah sekumpulan tenda yang menurut kabar, menempel dilereng yang sangat terjal diatasku, dengan gerakan sangat perlahan, seinci demi seinci.
     Orang-orang yang tidak pernah mendaki gunung---artinya, sebagian besar manusia---cenderung beranggapan bahwa olahraga ini merupakan olahraga nekat, sebuah kegiatan yang tidak masuk akal untuk meningkatkan gairah hidup. Akan tetapi, anggapan bahwa para pendaki hanyalah orang-orang yang kecanduan adrenalin, yang selalu mengejar kepuasan moral, tidak sepenuhnya benar, setidaknya dalam kasus Everest. Yang kulakukan ditempat yang tinggi saat ini, sama sekali berbeda dengan bungee jumping atau sky diving atau mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 120 mil per jam.
     Selain kenyamanan yang diberikan selama berada di Base Camp, ekspedisi ini nyatanya sedang melaksanakan kegiatan yang hampir-hampir bersifat religius. Rasio kesulitan ditempat ini jauh lebih besar  dibanding kesenangannya, sesuatu yang tidak kujumpai digunung-gunung lain yang pernah kudaki; dengan cepat aku menyadari bahwa mendaki Everest identik dengan penderitaan. Dan tiba-tiba saja aku sadar bahwa dengan membiarkan diri mereka selama berminggu-minggu bekerja keras, didera oleh rasa jemu dan penderitaan, sebagian besar para pendaki mungkin sedang mencari sebuah bentuk kemurnian.
     Tentu saja ada sekelompok pendaki yang memiliki motif berbeda dan kurang bermakna: ketenaran, menunjang karir, meningkatkan ego, kebanggaan diri dan uang. Namun, faktor-faktor yang sifatnya dangkal seperti itu tidak sepenting seperti yang diperkirakan para kritikus. Bahkan setelah mengamati rekan-rekanku satu tim selama beberapa minggu, aku harus mengubah pendapat awalku tentang mereka.
     Contohnya Beck Weathers, yang saat ini tampak seperti sebuah bintik merah kecil diatas permukaan es, 500 kaki dibawahku, hampir diujung barisan pendaki yang panjang. Kesan pertamaku tentang Beck jauh dari menyenangkan: patologis dari Dallas yang semula ku anggap terlalu ramah dengan kemampuan mendaki pas-pasan, sepintas memang tampak seperti seorang pendukung fanatik Partai Republik yang kaya raya, yang ingin membeli puncak Everest untuk melengkapi koleksi pialanya. Namun, setelah aku lebih mengenalnya, rasa hormatku mulai tumbuh. Meskipun sepatu gunungnya yang baru dan kaku hampir-hampir meremukkan kedua kakinya menjadi hamburger, dari hari ke hari Beck terus mendaki, hampir-hampir tidak pernah mengeluh, padahal aku yakin, dia pasti sangat kesakitan. Beck benar-benar tangguh, dengan kemauan baja dan pandai menahan diri. Sikap yang semula kuanggap congkak semakin lama semakin tampak seperti semangat yang menggebu-gebu. Dia juga tidak pernah berpikiran buruk tentang orang lain (termasuk kepada Hillary Clinton). Sifat Beck yang periang dan rasa optimisme yang tidak terbatas benar-benar mampu mencairkan hati orang, sehingga mau tidak mau, aku mulai menyukainya.
     Sebagai anak seorang penerbang Angkatan Udara, Beck menghabiskan masa kecilnya dengan berpindah-pindah dari satu komplek militer ke komplek militer lain, sebelum akhirnya dia masuk universitas di Wichita Falls. Setelah lulus dari fakultas kedokteran, Beck menikah dan memiliki dua anak, hidup nyaman dan berkecukupan sebagai dokter praktik di Dallas. Pada 1986, saat usianya mendekati empat puluh tahun, dia berlibur ke Colorado dan mulai tertarik pada olahraga mendaki gunung, sehingga dia mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus dasar mendaki gunung di Rocky Mountain National Park.
     Para dokter memang lazim dikenal sebagai orang-orang yang ingin meraih prestasi tinggi; Beck bukan satu-satunya dokter yang tergila-gila pada hobi baru. Namun, mendaki tidak sama dengan olahraga golf atau tenis atau beberapa kegiatan pengisi waktu luang yang banyak di geluti rekan-rekannya. Ketahanan fisik dan perjuangan emosional yang dituntut oleh kegiatan mendaki gunung dan bencana nyata yang dihadapi---menjadikan olahraga ini bukan sekedar permainan. Mendaki lebih mirip dengan kehidupan nyata, dengan kondisi yang lebih sulit, dan tantangan seperti itu belum pernah dia hadapi. Istrinya, Peach, semakin cemas melihat suaminya yang seakan-akan tenggelam dalam hobi barunya, merampas sang suami dari kebersamaan keluarga mereka. Dia tidak senang ketika Beck, beberapa saat setelah dia mulai menekuni hobi barunya, mengumumkan bahwa dia bermaksud menaklukkan Tujuh Puncak.
     Meskipun obsesi Beck membuatnya sangat egois dan berlebihan, itu bukan sebuah tindakan sembrono. Kesungguhan yang sama dalam meraih sasaran kuamati pula pada diri Lou Kasischke, pengacara dari Bloomfield Hills; pada Yasuko Namba, wanita Jepang yang pendiam yang selalu melahap mie untuk sarapan pagi; dan pada diri John Taske, ahli anestesi dari Brisbane berusia lima puluh enam tahun, yang mulai menekuni hobi mendaki setelah pensiun dari angkatan darat.
     "Ketika aku meninggalkan kehidupan militer, aku seperti orang yang kehilangan arah," keluh Taske dengan aksen Australianya yang kental. Dia mantan orang penting di Angkatan Darat---seorang kolonel di Special Air Service, satuan Baret Hijau nya Australia. Taske yang dua kali ditugaskan di Vietnam saat perang sedang berkecamuk, benar-benar tidak siap menghadapi kehidupan datar paska militer. "Aku baru sadar bahwa aku tidak bisa bergaul dengan orang-orang sipil," tambahnya. "Perkawinanku hancur. Aku melihat sebuah terowongan panjang dan gelap yang perlahan-lahan menutup, berujung pada kerentaan, usia tua dan kematian. Kemudian aku mulai mendaki gunung, dan olahraga ini memberi aku banyak hal yang tidak aku temukan dalam kehidupan sebagai orang sipil---tantangan, persahabatan dan perasaan memiliki misi."
      Ketika rasa simpatiku terhadap Taske, Weathers dan beberapa rekanku semakin menguat, aku semakin tidak nyaman dengan peranku sebagai wartawan. Aku tidak akan ragu-ragu jika aku harus menulis dengan jujur tentang Hall, Fischer atau Sandy Pittman, orang-orang yang selama bertahun-tahun dan secara agresif  selalu mencari perhatian media. Tidak demikian halnya dengan beberapa rekan sependakianku yang lain. Saat mereka mendaftarkan diri untuk bergabung dengan tim ekspedisi Hall, tidak satupun dari mereka yang tahu bahwa seorang wartawan akan hadir ditengah kelompok mereka---seseorang yang terus menerus menulis, mencatat diam-diam semua kata-kata dan tindakan mereka, agar semua kekurangan dan kelemahan mereka  bisa diungkapkan kepada publik yang mungkin tidak simpatik.
     Setelah ekspedisi berakhir, Weathers diwawancarai oleh sebuah stasiun televisi untuk sebuah program yang dinamai Turning Point. Dalam salah satu segmen wawancara yang belum disunting dan disiarkan, seorang pembicara ABC News bernama Forrest Sawyer bertanya kepada Beck, "Bagaimana perasaan Anda tentang hadirnya seorang wartawan ditengah tim ekspedisi?" Beck menjawab,

Kehadiran seorang wartawan jelas sangat meningkatkan stress. Aku sendiri kurang setuju dengan gagasan tersebut---Anda tahu bukan, orang ini akan menulis cerita yang kemudian dibaca oleh jutaan orang. Artinya, aku sudah merasa cukup buruk karena berada disana dan melakukan tindakan bodoh bersama para pendaki lain. Namun, kehadiran seseorang yang mungkin akan menulis berlembar-lembar cerita dihalaman majalah tentang Anda sebagai pelawak atau badut, pasti akan membuat Anda tertekan dan salah tingkah, sehingga Anda harus bekerja lebih keras. Dan aku khawatir, kehadiran seorang wartawan membuat orang-orang berupaya lebih keras dari yang seharusnya. Hal serupa bisa terjadi pada para pemandu. Artinya, mereka akan berusaha keras  membawa klien yang dibawanya mencapai puncak karena, sekali lagi, seseorang akan menulis tentang itu, dan karena mereka akan dinilai.

Selanjutnya Sawyer bertanya, "Apakah Anda merasa, bahwa kehadiran seorang wartawan memberi tekanan ekstra kepada Rob Hall?" Beck menjawab,

Ya, aku yakin demikian. Pekerjaan ini merupakan mata pencaharian Rob, dan jika salah seorang kliennya terluka, seorang pemandu akan merasa sangat buruk.... Dia memang meraih sukses besar dalam pendakian dua tahun sebelumnya, ketika dia berhasil membawa seluruh kliennya ke puncak, sesuatu yang sungguh luar biasa. Dan, aku benar-benar percaya bahwa Rob berpikir, tim kami merupakan tim yang kuat sehingga kami bisa mengulang sukses tersebut....Jadi, aku yakin tekanan itu memang ada, yaitu agar ketika semua ini dituangkan menjadi berita, ke dalam majalah, laporannya akan bersifat menguntungkan.

Hari sudah menjelang siang ketika akhirnya aku, dengan terbungkuk-bungkuk berjalan menuju Camp Tiga: tiga buah tenda kecil berwarna kuning, ditengah-tengah Lhotse Face yang miring dan luas. Kemah-kemah itu berada disebuah paparan yang sudah lebih dahulu diratakan oleh para Sherpa sehingga tidak lagi berada diatas lereng yang licin. Ketika aku tiba, Lhakpa Chhiri dan Arita sedang bekerja keras untuk membuat sebuah paparan untuk tenda keempat, jadi aku melepaskan ranselku dan membantu mereka meratakan permukaan. Pada ketinggian 24.000 kaki, aku hanya bisa melakukan tujuh atau delapan ayunan kapak es, kemudian berhenti untuk menarik napas selama lebih dari satu menit. Bantuanku jelas  tidak ada artinya, dan perlu lebih dari satu jam sebelum mereka menyelesaikan seluruh pekerjaan.
     Perkemahan kami yang kecil, seratus kaki diatas perkemahan milik tim ekspedisi yang lain, benar-benar berada ditempat yang terbuka. Selama berminggu-minggu kami mendaki dan menguras  tenaga  ditempat yang bisa dikatakan ngarai; sekarang, untuk pertama kalinya selama ekspedisi berlangsung, kami berhadapan langsung dengan langit, bukan dengan bumi. Sekelompok awan tebal berwarna putih berkejar-kejaran dibawah sinar matahari, membentuk gambar pemandangan dengan bayangan yang terus berubah dan sinar yang menyilaukan mata. Sambil menunggu kedatangan rekan-rekanku, aku duduk dengan kedua kakiku menjulur diatas ngarai, mataku menatap ke arah gerombolan awan, kemudian turun mengamati beberapa puncak gunung yang berada pada ketinggian 22.000 kaki. Sebulan yang lalu, puncak-puncak itu masih  berada jauh diatas kepalaku. Setelah melalui waktu yang cukup panjang, aku akhirnya benar-benar berada didekat puncak dunia.
     Namun, puncak itu sendiri masih berada satu mil vertikal diatasku, dilingkari oleh kondensasi awan hujan yang bisa menjadi bibit sebuah badai. Meskipun puncak itu berada ditengah terjangan angin dengan kecepatan seratus mil per jam, udara di Camp Tiga hampir-hampir tidak berangin, dan ketika siang perlahan lahan berlalu, kepalaku mulai terasa pusing karena sinar matahari yang bersinar terik---setidaknya, aku berharap panas mataharilah yang membuat ku merasa seperti orang bodoh, bukan tanda-tanda awal dari serangan HACE.
     High Altitude Cerebral Edema atau HACE (pembengkakan otak akibat ketinggian) lebih jarang terjadi dibandingkan High Altitude Pulmonary Edema (Pembengkakan paru-paru karena ketinggian), tetapi lebih mematikan. HACE merupakan sejenis penyakit membingungkan dan terjadi jika ada kebocoran pada pembuluh darah otak yang kekurangan oksigen, menyebabkan otak membengkak cepat, dengan hanya sedikit atau bahkan tanpa peringatan sama sekali. Ketika tekanan didalam rongga otak meningkat, kemampuan motorik dan mental penderita akan menurun dengan drastis---biasanya hanya dalam waktu beberapa jam atau kurang---dan biasanya, si korban tidak sadar akan perubahan yang terjadi. Tahap selanjutnya adalah koma, jika si pasien tidak segera dievakuasi ke ketinggian yang lebih rendah, lalu disusul dengan kematian.
     Sore itu aku berpikir tentang HACE karena dua hari yang lalu, tepat di Camp Tiga ini, salah seorang pendaki dari kelompok Fischer bernama Dale Kruse, seorang dokter gigi berusia empat puluh empat tahun dari Colorado, terserang HACE yang cukup parah. Kruse yang merupakan teman lama Fischer adalah pendaki yang tangguh dan berpengalaman. Pada 26 April, dia mendaki dari Camp Dua ke Camp Tiga , membuat teh untuk dirinya sendiri dan teman-temannya, kemudian berbaring ditendanya untuk tidur siang. "Aku langsung tertidur" kenang Kruse, "dan terus tertidur selama dua puluh empat jam, sampai kira-kira pukul 14.00 siang keesokan harinya. Ketika seseorang membangunkan aku, orang-orang langsung menyadari bahwa pikiranku tidak bekerja, meskipun aku sendiri tidak menyadarinya. Kemudian Scott berkata kepadaku, 'Kami harus membawamu keluar dari tempat ini secepatnya."
     Kruse bahkan kesulitan untuk memakai pakaian sendiri. Harness nya dikenakan secara terbalik, dan diikat diluar jaket anti anginnya. Dia juga tidak mampu mengikatkan tali harness nya dengan benar. Untunglah, Fischer dan Neal Beidleman melihatnya sebelum Kruse mulai menuruni gunung. "Jika dia turun gunung dengan tali seperti itu," kata Beidleman, 'dia pasti terlepas dari harness nya dan jatuh ke dasar Lhotse Face."
     "Aku seperti orang yang mabuk berat," kenang Kruse. "Aku tidak bisa berjalan tanpa tersandung, dan aku benar-benar tidak bisa berpikir atau berbicara. Aku merasa benar-benar aneh. Otakku memikirkan sejumlah perkataan, tetapi aku tidak bisa mengeluarkannya melalui mulut. Jadi Scott dan Neal harus membantu aku berpakaian dan memastikan harness ku terpasang dengan benar, kemudian Scott menurunkan aku melalui jalur tali yang sudah terpasang." Ketika tiba di Base Camp, kata Kruse, "aku membutuhkan tiga atau empat hari sebelum bisa berjalan ke tendaku atau tenda utama tanpa tersandung.
    
Saat matahari sore turun kebalik Puncak Pumori, temperatur di Camp Tiga turun sampai lebih dari lima puluh derajat, dan ketika udara menjadi lebih dingin, kepalaku mulai terasa jernih: kecemasan bahwa aku terserang HACE ternyata tidak berdasar, setidaknya untuk sementara waktu. Keesokan harinya, setelah aku melewatkan malam yang melelahkan karena tidak bisa tidur, pada ketinggian 24.000 kaki, kami turun kembali ke Camp Dua, dan sehari kemudian pada 1 Mei, aku turun ke Base Camp untuk mengembalikan kekuatan yang dibutuhkan untuk mendaki puncak.
     Proses aklimatisasi kami secara resmi sudah berakhir---dan aku terkejut bercampur gembira karena strategi Hall ternyata berhasil: Setelah tiga minggu berada di atas gunung, aku menemukan bahwa udara di Base Camp terasa tebal, kaya dan penuh oksigen dibanding dengan buruknya atmosfer di dua perkemahan di atasku yang kandungan oksigennya sangat tipis.
     Meskipun begitu, bukan berarti bahwa tubuhku baik-baik saja. Aku kehilangan berat badan hampir sepuluh kilogram, terutama dibagian bahu, punggung dan kaki. Hampir semua lemak yang berada dibawah kulitku telah habis terbakar, membuatku sangat rentan terhadap udara dingin. Namun masalah yang paling menggangguku adalah dadaku: batuk kering yang menyerangku sejak beberapa minggu yang lalu, yaitu saat aku sedang berada di Lobuje, semakin hari semakin bertambah parah, dan mengoyakkan beberapa tulang rawan rusukku ketika aku terbatuk keras saat berada di Camp Tiga. Batuk yang kuderita tidak juga mereda, dan setiap kali aku terbatuk, aku merasa seakan-akan seseorang menendangku diantara tulang rusukku.
     Hampir semua pendaki di Base Camp berada dalam kondisi yang juga buruk---ini sekadar kenyataan hidup dipunggung Everest. Dan dalam waktu lima hari, para anggota tim ekspedisi Hall dan Fischer akan meninggalkan Base Camp untuk menuju puncak. Berharap bisa memulihkan kondisiku, aku memutuskan untuk beristirahat, menelan ibuprofen (semacam obat anti inflamasi nonsteroid) dan menelan sebanyak mungkin makanan yang bisa kutelan saat itu.
     Sejak awal ekspedisi, Hall berencana untuk mencapai puncak pada 10 Mei. "Dari empat kali penaklukan puncak,' katanya "dua kali aku lakukan pada 10 Mei. Seperti kata para Sherpa, tanggal sepuluh merupakan tanggal 'keberuntunganku." Namun, sebenarnya ada alasan lain yang lebih masuk akal, yang terkait dengan pemilihan tanggal tersebut: angin muson yang terus berfluktuasi sepanjang tahun membuat tanggal 10 Mei atau tanggal-tanggal di seputarnya menjadi tanggal yang paling baik.
     Sepanjang bulan April, angin kencang yang bertiup ke arah barat menerjang puncak Everest layaknya sebuah selang api. Bahkan ketika cuaca di Base Camp terasa tenang dan disinari matahari, spanduk-spanduk es raksasa yang tertiup angin melesat turun dari arah puncak. Namun, pada awal bulan Mei, kami berharap angin muson yang bertiup dari Teluk Bengali akan memaksa angin yang bertiup ke barat tadi membelok ke utara menuju Tibet. Jika cuaca tahun ini serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, celah diantara perginya angin tadi dan tibanya badai muson bisa memberi kami cuaca yang jernih dan tenang sehingga kami bisa menaklukkan puncak.
     Sayangnya, pola tahunan cuaca ditempat ini bukan lagi merupakan rahasia, dan semua tim ekspedisi sama-sama menantikan datangnya udara tenang tersebut. Untuk menghindari terjadinya kemacetan yang sangat berbahaya akibat banyaknya jumlah pendaki, Hall mengadakan pertemuan dengan para pemimpin ekspedisi di Base Camp. Dan kami semua sudah sepakat, bahwa Goran Kropp, seorang pemuda Swedia yang mengendarai sepeda dari Stockholm ke Nepal akan menjadi pendaki pertama yang mendaki sendirian pada 3 Mei, disusul oleh tim Montenegro. Kemudian pada 8 atau 9 Mei, tim ekspedisi IMAX mendapat giliran.
     Tim ekspedisi Hall dan Fischer akan sama-sama mendaki pada 10 Mei. Setelah hampir terbunuh oleh sebuah batu yang jatuh di Punggung Tenggara, Petter Neby, pendaki solo warga Norwegia akhirnya pergi: suatu pagi, diam-diam dia meninggalkan Base Camp dan kembali ke Skandinavia. Sebuah tim yang dipandu oleh dua warga Amerika, Todd Burleson dan Pete Athans, juga tim komersial pimpinan Mal Duff dan satu tim komersial dari Inggris, berjanji bahwa mereka tidak akan mendaki tanggal 10 Mei, juga tim dari Taiwan. Hanya Ian Woodall yang menolak membuat kesepakatan dan menyatakan bahwa tim  Afrika Selatan akan mendaki kapan saja dan sesuai dengan keinginan mereka, mungkin juga pada 10 Mei. Tim lain yang tidak suka dipersilakan mundur.
     Hall yang biasanya tidak mudah marah, benar-benar geram mendengar penolakan Woodall untuk bekerja sama. "Aku tidak ingin berada disekitar puncak saat penjudi itu berada disana," katanya dengan marah.

Rabu, 23 September 2015

Into Thin Air : BAB IX ~~~ CAMP DUA ~~~ 28 APRIL 1996 ~~~ 21.300 KAKI

Kita mengisahkan dongeng-dongeng untuk diri kita sendiri agar bisa bertahan hidup ... Kita mencari khotbah dalam upaya bunuh diri yang kita lakukan, untuk mencari pelajaran moral dan sosial dalam pembunuhan terhadap lima orang. Kita menafsirkan apa yang kita lihat, memilih yang paling tepat dari  pilihan yang ada. Kita hidup, terutama jika kita penulis, dengan sepenuhnya mengandalkan kalimat-kalimat narasi tentang beberapa gambaran yang berbeda, dengan "sejumlah gagasan" yang kita gunakan untuk belajar membekukan gambaran fantastik yang terus berubah, yang merupakan pengalaman nyata kita.

JOAN DIDION
THE WHITE ALBUM

Pukul 04.00 pagi, aku sudah bangun saat alarm jam tanganku berbunyi; hampir semalaman aku tidak bisa tidur, berjuang keras untuk bisa bernapas ditengah udara yang sangat tipis. Dan sekarang, tiba waktunya untuk memulai ritual yang tidak menyenangkan, keluar dari kehangatan kantong tidur dan masuk ke dalam udara dingin yang menusuk pada ketinggian 21.300 kaki. Dua hari yang lalu---Jumat, 26 April---dengan terbungkuk-bungkuk kami mendaki dari Base Camp menuju Camp Dua untuk memulai dan mengakhiri hari ketiga program aklimatisasi, sebagai persiapan untuk menuju puncak. Pagi ini, sesuai dengan rencana besar Rob, kami akan mendaki dari Camp Dua ke Camp Tiga dan menginap semalam di Camp Tiga pada ketinggian 24.000 kaki.
     Rob meminta kami untuk siap berangkat pada pukul 4.45 tepat---artinya empat puluh lima menit lagi---hampir-hampir tidak cukup untuk berpakaian, menelan sepotong cokelat dan meneguk sedikit teh, dan memasang crampon pada sepatu. Dengan mengarahkan lampu kepalaku pada termometer murah yang kubeli ditoko kelontong, termometer yang sekarang menempel di atas parka yang kugunakan sebagai bantal, aku bisa melihat bahwa temperatur didalam tenda kecil untuk dua orang ini mencapai tujuh derajat Fahrenheit dibawah nol. "Doug!" teriakku pada gundukan terbungkus kantong tidur disisiku. "Waktunya bergerak, kawan. Kamu sudah bangun, kan?"
     "Bangun?" katanya bersungut-sungut dengan suara lelah. "Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa aku bisa tidur? Aku merasa sangat payah. Pasti ada yang salah dengan tenggorokanku. Kawan, aku benar-benar terlalu tua untuk kegiatan seperti ini."
     Sepanjang malam, udara bau yang keluar melalui pernapasan kami mengembun dan membentuk lapisan tipis yang membeku dibagian dalam nilon tenda; ketika aku duduk dan mulai mencari-cari pakaianku ditengah kegelapan, mau tidak mau tubuhku akan menyentuh bagian bawah tenda, dan setiap kali itu terjadi butiran-butiran embun beku akan jatuh menutupi segala sesuatu didalam tenda dengan kristal-kristal es. Sambil gemetar kedinginan, aku memakai tiga lapis pakaian dalam yang terbuat dari bahan propylene yang hangat dan mantel anti angin terbuat dari nilon, kemudian memakai sepatu plastikku yang kaku. Aku berteriak kesakitan ketika tali sepatu ku tarik terlalu keras, selama dua minggu terakhir, keadaan ujung-ujung jari tanganku yang pecah-pecah dan berdarah semakin bertambah buruk akibat udara dingin.
     Aku berjalan keluar dari tenda tanpa melepaskan lampu kepalaku, dibelakang Rob dan Frank, mendaki diantara pilar-pilar es dan tumpukan batuan rombakan menuju badan gletser. Selama dua jam berikutnya, kami berjalan melewati lereng yang landai, seperti lereng yang kerap digunakan para pemain ski pemula untuk berlatih, sampai akhirnya kami tiba di bergschrund yang merupakan batas atas dari Gletser Khumbu. Tepat diatasnya berdiri Lhotse Face, sebuah permukaan es yang miring dan luas, mengilat seperti krom kotor ditengah keremangan sinar matahari fajar. Seutas tali dengan diameter sembilan milimeter menjulur ke bawah, seolah-olah turun dari surga, berkelok-kelok ditengah permukaan yang luas dan beku tersebut, seperti pohon kacang dalam cerita Jack dan kacang ajaib. Aku meraih ujung tali tersebut, mengaitkan alat pendaki mekanisku (jumar)*1 ke lintasan tali yang sedikit bergoyang tersebut, dan mulai memanjat.
     Tubuhku terasa dingin dan tidak nyaman sejak meninggalkan kemah, karena pakaian dalam yang kupakai tidak cukup tebal. Aku mengira udara akan panas karena dampak oven matahari yang selalu terjadi jika matahari menyinari Cwm Barat. Namun, pagi ini udara tetap dingin karena angin dingin bertiup ke bawah dari bagian atas gunung sehingga temperatur udara turun drastis sampai empat puluh derajat dibawah nol. Aku membawa beberapa mantel hangat diranselku, tetapi untuk memakainya aku harus melepaskan dulu sarung tangan, ransel dan jaket anti angin yang kupakai tanpa melepaskan peganganku pada tali yang terentang. Karena takut menjatuhkan sesuatu, aku memutuskan untuk menunggu sampai aku tiba dibagian lereng yang tidak terlalu terjal, supaya aku bisa berdiri tanpa bergantung pada tali. Jadi aku terus memanjat dan sambil memanjat, badanku menjadi kian dingin dan dingin.
     Tiupan angin menerbangkan bubuk-bubuk salju yang berputar menuruni lereng seperti ombak yang memecah pantai sehingga seluruh pakaianku tertutup butiran-butiran salju. Kerak es yang keras menutupi kacamata yang kupakai, membuatku sulit untuk melihat. Kakiku mulai terasa kebas. Jari-jari tanganku kaku seperti kayu. Terus memanjat dalam kondisi seperti ini tampaknya sangat tidak aman. Aku berada diawal antrean pendaki, pada ketinggian 23.000 kaki, lima belas menit didepan pemandu Mike Groom; aku memutuskan untuk menunggunya dan membicarakan masalah yang kuhadapi. Namun sebelum dia tiba didekatku, aku mendengar suara Rob melalui radio yang dibawa Mike didalam jaketnya, dan Mike berhenti mendaki untuk menjawab panggilannya. "Rob meminta semua orang untuk turun lagi!" Teriaknya berusaha mengatasi suara angin. "Kita harus meninggalkan tempat ini!".
      Tengah hari kami baru tiba kembali di Camp Dua, dan menaksir kerusakan yang terjadi. Aku merasa sangat lelah, tetapi diluar itu aku baik-baik saja. John Taske, dokter warga Australia itu terkena gigitan salju yang ringan diujung-ujung jari tangannya. Hanya Doug yang kondisinya mengkhawatirkan. Setelah kedua sepatunya dilepas, Doug menemukan beberapa luka gigitan salju di beberapa jari kakinya. Dalam pendakian Everest 1995, kaki Doug terkena gigitan salju yang cukup parah sehingga sebagian jempol kakinya harus dipotong. Sejak itu sirkulasinya agak terganggu sehingga tubuhnya rentan terhadap udara dingin; gigitan salju kali ini membuatnya semakin rentan terhadap kondisi udara diatas gunung yang buas ini.
     Akan tetapi, gangguan sistem pernapasan yang diderita Doug lebih buruk lagi. Kurang lebih dua minggu sebelum berangkat ke Nepal, Doug menjalani operasi kecil disekitar tenggorokannya. Akibatnya batang tenggorokan Doug masih sangat peka. Pagi ini, saat dia dipaksa menghirup udara yang dingin yang penuh butir-butir salju, pangkal tenggorokannya membeku. "Aku benar-benar bermasalah," kata Doug dengan suara yang hampir tak terdengar dan wajah yang sangat menderita. "Aku bahkan tidak bisa bicara. Bagiku pendakian ini sudah berakhir."
     "Ayolah jangan menyerah Douglas," bujuk Rob. "Tunggu dan lihat bagaimana perasaanmu dalam beberapa hari mendatang. Kamu sangat kuat. Aku pikir, kamu masih bisa mencapai puncak jika kamu berhasil pulih." Dengan ragu-ragu Doug kembali ke tenda kami lalu menarik kantong tidur, menutupi kepalanya. Aku sedih melihat Doug tampak putus asa. Dia sudah menjadi teman baikku, yang tak pernah lelah menceritakan pengalamannya selama pendakian pada 1995 yang gagal. Dileher aku mengenakan kalung dengan bandul batu Xi---jimat Budha keramat yang sudah direstui oleh lama kuil Pangboche---yang diberikan Doug kepadaku pada awal ekspedisi. Keinginanku agar Doug bisa mencapai puncak sama besarnya dengan keinginanku sendiri untuk mencapainya.
     Suasana shock dan depresi terus menyelimuti perkemahan sepanjang hari itu. Tanpa melepaskan bencana terburuk pun gunung itu sudah mampu membuat kami pontang panting mencari perlindungan. Bukan hanya tim kami yang merasa kecil hati dan ragu-ragu. Semangat anggota tim-tim ekspedisi yang saat ini berada di Camp Dua sama-sama berada pada titik yang paling rendah.
     Suasana buruk tersebut tampak nyata dari pertengkaran yang muncul antara Hall dan pemimpin tim ekspedisi Taiwan dan tim Afrika Selatan. Perselisihan itu menyangkut pembagian tanggung jawab merentang tali sepanjang lebih dari satu mil untuk mengamankan rute pendakian sampai ke Lhotse Face. Pada akhir April, lintasan tali berhasil direntangkan mulai puncak Cwm sampai ke Camp Tiga, setengah perjalanan menuju puncak. Untuk menyelesaikan lintasan tali, Hall, Fischer, Ian Woodall, Makalu Gau dan Tod Burleson (warga Amerika pemimpin tim ekspedisi Alpine Ascent yang dipandu) sudah sepakat bahwa pada 26 April, setiap tim akan mengirimkan satu atau dua anggota mereka untuk bersama-sama membentangkan tali di sepanjang sisa rute pendakian, yaitu antara Camp Tiga dan Camp Empat yang berada pada ketinggian 26.000 kaki. Ternyata, rencana itu tidak terlaksana.
     Pada 26 April, ketika Ang Dorje dan Lhakpa Chhiri dari tim Hall, pemandu Anatoli Boukreev dari tim Fischer dan seorang Sherpa dari tim Burleson berangkat menuju Camp Dua, para Sherpa dari tim Afrika Selatan dan Taiwan yang seharusnya ikut ternyata masih meringkuk didalam kantong tidur mereka dan menolak untuk berpartisipasi. Sore harinya, ketika Hall tiba di Camp Dua dan mengetahui tentang hal ini, dia segera menelepon melalui radio untuk menanyakan, mengapa rencana mereka tidak berjalan. Kami Dorje Sherpa, sirdar dari tim Taiwan, meminta maaf dan berjanji akan memperbaiki kesalahannya. Namun, ketika Hall menelepon Woodall melalui radio, warga Afrika Selatan yang keras kepala---pemimpin ekspedisi itu menanggapinya dengan kata-kata kotor dan hinaan.
     "Cobalah bersikap sopan kawan," kata Hall. "Ku pikir kita semua sudah sepakat." Woodall menjawab bahwa para Sherpanya tetap tinggal ditenda mereka karena tidak ada yang datang untuk membangunkan dan mengatakan kepada mereka bahwa bantuan mereka dibutuhkan. Dengan keras Hall menjawab bahwa Ang Dorje mencoba beberapa kali membangunkan mereka, tetapi mereka mengabaikannya.
     Ketika Hall mengatakan itu, Woodall berkata, "Kalau bukan kamu yang berbohong, pasti Sherpa kamu yang berbohong." Kemudian dia mengancam untuk mengirimkan beberapa Sherpa dari timnya untuk menghajar Ang Dorje.
     Dua hari setelah pertengkaran tersebut, suasana diantara tim kami dan tim Afrika Selatan masih tetap tegang. Suasana murung di Camp Dua diperparah oleh kabar yang kami terima tentang kondisi Ngawang Topche yang terus memburuk. Ketika kondisinya bertambah parah meskipun dia sudah dibawa ke tempat yang lebih rendah, para dokter menduga bahwa Ngawang tidak hanya terserang HAPE, kondisinya diperburuk oleh komplikasi TBC atau gejala awal dari berbagai jenis penyakit paru-paru. Sebaliknya para Sherpa memiliki diagnosa lain; mereka percaya bahwa salah seorang pendaki dari tim Fischer telah membuat Everest marah---Sagarmatha, sang dewi langit---dan para dewa, melampiaskan kemarahan mereka kepada Ngawang.
     Pendaki yang mereka maksud diketahui menjalin hubungan cinta dengan salah seorang anggota ekspedisi yang sedang berusaha mendaki Lhotse Face. Kondisi Base Camp memang tidak memberi keleluasaan pribadi kepada para pendaki wanita sehingga hubungan cinta yang terjadi ditenda wanita tersebut diketahui oleh seluruh anggota tim, terutama para Sherpa yang duduk diluar tenda sambil menunjuk dan mencibir. "X dan Y sedang membuat saus, membuat saus" kata mereka sambil tertawa, menirukan hubungan seksual dengan kedua tangan mereka.
     Mereka tidak peduli meskipun dicemooh oleh para Sherpa (ditambah kebiasaan buruk mereka yang sudah terkenal) yang pada dasarnya tidak menyetujui adanya hubungan seksual pranikah dilereng Sagarmatha yang suci tersebut. Setiap cuaca berubah buruk, satu atau dua warga Sherpa  akan menunjuk awan yang bergulung-gulung naik dan dengan suara sungguh-sungguh berkata, "Ada yang sedang membuat saus. Mereka membawa sial. Sebentar lagi badai pasti datang."
     Sandy Pittman mencatat kepercayaan berbau takhayul ini dalam buku hariannya saat ekspedisi pada 1994, dan dikirimkan sebagai berita Internet pada 1996:

29 April, 1994
Base Camp Everest (17.800 kaki)
Kangshung Face, Tibet
.....seorang kurir tiba sore itu membawa beberapa surat dari rumah untuk semua orang, dan sebuah majalah wanita yang dikirim oleh seorang rekan pendaki yang peduli sebagai lelucon.... Beberapa Sherpa membawa majalah itu ke kemah mereka untuk dilihat-lihat, sementara Sherpa lain merasa resah karena mereka yakin bahwa perbuatan teman-teman mereka bisa menimbulkan bencana. Dewi Chomolungma, protes mereka, tidak akan mentolerir apapun yang tidak layak----digunungnya yang suci ini.

Agama Budha yang dianut di Wilayah Khumbu memang mengandung elemen-elemen animisme: para Sherpa sangat memuliakan para dewa dan roh yang mereka percayai tinggal dilembah-lembah, sungai-sungai dan puncak-puncak diwilayah itu. Menghormati para dewa secara layak dianggap penting untuk menjamin keselamatan semua orang yang melewati wilayah yang sangat berbahaya tersebut.
     Untuk menenangkan Sagarmatha, tahun ini---seperti juga pada tahun-tahun sebelumnya---para Sherpa telah membangun lebih dari selusin chorten yang indah, dibangun dengan sangat cermat di Base Camp, satu chorten untuk satu tim ekspedisi. Bangunan sempurna berbentuk kubus setinggi lima kaki yang ada diperkemahan kami puncak altarnya dihiasi dengan tiga batu runcing yang sudah dipilih dengan cermat, dan diatas ketiga batu itu diletakkan  sebuah tiang kayu setinggi sepuluh kaki dan dipuncak tiang kayu itu diletakkan batang pohon juniper yang anggun. Lima untai bendera doa berwarna warni(*2) direntangkan dari puncak tiang tenda membentuk lingkaran untuk melindungi perkemahan kami dari bahaya. Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, mandor Base Camp---seorang Sherpa yang dituakan dan sangat dihormati bernama Ang Tshering---akan menyalakan beberapa tangkai dupa juniper dan membacakan doa-doa di chorten tersebut; sebelum menuju Jeram Es, semua pendaki, baik para pendaki Barat maupun warga Sherpa akan berjalan melewati altar---berjalan disamping kanan altar---ditengah-tengah kepulan asap manis untuk menerima restu dari Ang Tshering.
     Meskipun mereka melakukan berbagai jenis ritual, agama Budha yang dianut oleh para Sherpa bersifat luwes dan tidak dogmatik. Agar selalu dilindungi oleh Sagarmatha, misalnya, setiap tim yang memasuki Jeram Es untuk pertama kalinya harus melaksanakan puja, upacara keagamaan yang rumit. Namun, jika pada hari yang sudah ditentukan lama tua berwajah keriput yang seharusnya memimpin upacara puja tidak bisa melakukan perjalanan dari desanya yang jauh, Ang Tshering menganjurkan agar kami langsung mendaki Jeram Es, karena Sagarmatha mengerti bahwa kami akan melaksanakan puja segera setelah kami kembali.
     Kelonggaran dalam bersikap yang serupa teramati dilereng Everest: meskipun orang-orang Sherpa menyatakan bahwa mereka menghormati larangan untuk tidak berbuat maksiat, tidak sedikit warga Sherpa yang mengabaikan larangan tersebut---pada 1996, seorang warga Sherpa bahkan terlibat hubungan cinta dengan seorang pendaki Amerika anggota tim ekspedisi IMAX. Karena itu, cukup aneh jika orang-orang Sherpa menuduh bahwa penyakit Ngawang merupakan akibat dari hubungan gelap yang terjadi disalah satu tenda ekspedisi Mountain Madness. Namun, ketika sikap tidak konsisten tersebut kusampaikan kepada seorang Sherpa bernama Lopsang Jangbu---sirdar pendaki dari tim Fischer yang berusia dua puluh tiga tahun---dia bersikeras bahwa penyebabnya sesungguhnya bukan karena salah seorang pendaki Fischer "melakukan hubungan seksual" di Base Camp, melainkan karena dia melanjutkan hubungan tersebut setelah mereka berada jauh diatas gunung.
     "Gunung Everest merupakan Dewa---bagi saya, dan bagi semua orang," kata Lopsang sambil merenung, sepuluh minggu setelah ekspedisi berakhir. "Jika pasangan suami istri tidur bersama, itu baik. Namun jika (X) dan (Y) tidur bersama, mereka akan membawa sial bagi tim.... Jadi, aku berkata kepada Scott: 'Tolonglah Scott, Anda pemimpin ekspedisi . Katakan kepada (X) untuk menghentikan hubungan mereka setelah mereka berada di Camp Dua.' Namun, Scott hanya tertawa. Beberapa saat setelah (X) dan (Y) tidur bersama ditenda untuk pertama kali, Ngawang Topche jatuh sakit di Camp Dua. Jadi, sekarang dia mati."
     Ngawang adalah paman Lopsang; hubungan keduanya sangat dekat, dan Lopsang termasuk salah seorang anggota tim penyelamat yang menyongsong Ngawang dibawah Jeram Es pada malam 22 April. Kemudian, ketika di Pheriche pernapasan Ngawang berhenti dan dia harus dievakuasi ke Kathmandu, dengan cepat Lopsang berangkat ke Base Camp (dengan persetujuan Fischer) dan tiba pada saat yang tepat sehingga dia bisa menemani pamannya didalam helikopter. Perjalanan pendeknya ke Kathmandu dan perjalanan cepat kembali ke Base Camp membuatnya kelelahan dan tubuhnya kurang teraklimatisasi---sesuatu yang tidak diperhitungkan oleh tim Fischer: Fischer sangat bergantung pada Lopsang seperti Hall bergantung pada sirdar pendakinya, Ang Dorje.
     Ada beberapa pendaki Himalaya yang andal yang ikut mendaki Everest dari wilayah Nepal pada 1996---mereka adalah para veteran pendaki seperti Hall, Fischer, Breashers, Pete Schoening, Ang Dorje, Mike Groom dan Robert  Schauer, warga Austria anggota tim IMAX. Namun, selain orang-orang yang disebut diatas, masih ada empat pendaki yang jauh lebih andal---orang-orang dengan keahlian mendaki yang sangat prima pada ketinggian diatas 26.000 kaki sehingga mereka bisa dikelompokkan dalam kelas tersendiri. Orang-orang itu adalah Ed Viesturs, warga Amerika salah seorang bintang dalam film IMAX; Anatoli Boukreev, pemandu Kazakhstan yang bekerja untuk Fischer; Ang Babu, warga Sherpa yang dipekerjakan oleh tim Afrika Selatan; dan Lopsang.
     Lopsang yang pandai bergaul, tampan dan toleran terhadap kekurangan orang lain memang sedikit congkak, tetapi dia juga sangat menarik. Dia dibesarkan diwilayah Rolwaling sebagai anak tunggal; Lopsang juga tidak merokok atau minum minuman keras, sesuatu yang tidak lazim dikalangan warga Sherpa. Giginya sering terbalut emas dan dia sangat mudah tertawa. Meskipun tulang-tulangnya kecil dan tubuhnya kurus, sifatnya periang, rajin, dan bakat atletisnya yang luar biasa, membuatnya dijuluki Deion Sanders dari Khumbu. Fischer pernah mengatakan kepadaku bahwa Lopsang punya potensi untuk menjadi "Reinhold Messner kedua"---pendaki Himalaya dari Tyrolean, Italia, yang terkenal dan paling andal didunia pendaki gunung.
     Debut pertama Lopsang terjadi pada 1993. Saat itu usianya baru dua puluh tahun dan dia disewa untuk menjadi kuli angkut untuk tim ekspedisi Everest gabungan India-Nepal dipimpin oleh seorang wanita India bernama Bachendri Pal. Sebagian besar anggota tim tersebut terdiri atas wanita. Sebagai anggota ekspedisi yang paling muda, awalnya Lopsang hanya diberi peran sebagai pembantu, tetapi kekuatan fisiknya benar-benar menakjubkan sehingga pada menit-menit terakhir dia diikutkan dalam tim yang akan menuju puncak, dan pada 16 Mei, dia mencapai puncak tanpa bantuan oksigen.
     Lima bulan setelah menaklukkan Everest, Lopsang mencapai puncak Cho Oyu bersama sebuah tim dari Jepang. Pada musim semi 1994, dia bekerja untuk Fischer dalam ekspedisi Sagarmatha Environmental dan menaklukkan puncak Everest untuk kedua kalinya, juga tanpa bantuan oksigen. Pada September berikutnya, saat mencoba menaklukkan puncak Everest melalui Lereng Barat bersama tim dari Norwegia, dia tertimpa longsoran salju; setelah meluncur sejauh 200 kaki, Lopsang mampu menghentikan tubuhnya dengan bantuan sebuah kapak es, menyelamatkan dirinya sendiri dan dua rekannya yang sama-sama terikat pada satu tali. Sayangnya, paman Lopsang yang saat itu terikat pada pendaki lain, Mingma Norbu, terbawa longsoran salju dan tewas. Meskipun kehilangan itu membuat Lopsang terguncang, semangat mendakinya tidak pernah padam.
     Pada Mei 1995, dia menaklukkan puncak Everest untuk ketiga kalinya tanpa bantuan oksigen, kali ini sebagai pekerja dalam tim ekspedisi Hall, dan tiga bulan kemudian dia mencapai puncak Broad Peak, di Pakistan, yang memiliki ketinggian 26.400 kaki. Ketika Lopsang bergabung dengan tim ekspedisi Fischer pada 1996, dia baru tiga tahun mendaki, tetapi dalam waktu yang singkat dia sudah bekerja untuk tidak kurang dari sepuluh tim ekspedisi Himalaya dan memiliki reputasi sebagai pendaki gunung kelas atas.
     Saat mendaki Everest pada 1994, Fischer dan Lopsang saling mengagumi. Keduanya sama-sama energik, memiliki kepribadian yang menarik dan mampu membuat kaum wanita tergila-gila. Lopsang menganggap Fischer sebagai mentor dan anutannya, bahkan dia mulai mengikat rambutnya seperti Fischer. "Scott pria yang sangat kuat, begitu pula saya," kata Lopsang dengan nada congkaknya yang khas. "Kami merupakan tim yang kompak. Scott tidak membayarku sebaik Rob atau orang-orang Jepang, tetapi aku tidak membutuhkan uang; aku melihat jauh ke masa depan, dan Scott adalah masa depan saya. Scott selalu berkata, 'Lopsang, Sherpaku yang kuat! Aku akan membuatmu terkenal!'.... Aku pikir Scott punya rencana besar untukku dan untuk Mountain Madness."

------------------------------------------------------------

*1: Jumar (lazim disebut alat pendaki mekanik) adalah alat sebesar dompet yang mencengkeram tali melalui logam bulat bergerigi. Gerigi tersebut memungkinkan jumar dapat naik turun tanpa hambatan, dan jumar akan melekat lebih erat pada tali jika menahan sejumlah beban. Seorang pendaki akan memanjat tali dengan mendorong alat ini ke atas sedikit demi sedikit.

*2: Bendera doa biasanya berisi ayat-ayat doa agama Budha---umumnya berbunyi "Om mani padme hum"---yang dikirimkan kepada Tuhan melalui setiap kepakan bendera. Selain tulisan berisi doa, bendera tersebut kadang-kadang bergambar kuda terbang; kuda dianggap sebagai makhluk keramat didalam kosmologi Sherpa dan dipercaya sanggup membawa doa-doa ke surga dengan cepat. Bahasa Sherpa untuk bendera doa adalah "lung ta", yang secara bebas bisa diterjemahkan sebagai "kuda angin"

Senin, 31 Agustus 2015

Tour Singkat 4 Gili di Lombok Timur

Selong, Rabu, 26 Agustus 2015 pukul 06.30.


Bersama Risky dan Wawan, saya sedang menikmati pagi di balai bambu depan asrama Unit SAR Lombok Timur. Asrama yang menjadi tempat transit kami selama bertualang di Lombok. Di temani kopi panas kami ngobrol santai. Tubuh sudah terasa lebih segar setelah tidur nyenyak sejak semalam. 

Ya, kemarin malam saya dan teman-teman baru saja turun dari pendakian Gunung Rinjani. Hari ini adalah hari terakhir kami di Lombok, rencananya kami ingin tour singkat ke beberapa pulau di Lombok Timur. 

Sebelumnya, kami bertujuan ke Gili Trawangan atau Senggigi, tapi setelah diberi informasi detail oleh teman-teman di Unit SAR, niat tersebut kami urungkan saja. Selesai sarapan serabi yang di bawakan bang Apip, kami segera menaiki pick up operasional Unit SAR dan berangkat menuju Gili Kondo. 

Pukul 9.00 kami berangkat. Sempat mampir di gerai serba ada untuk membeli keperluan "mantai", akhirnya kami tiba di tepi pantai pukul 10.30. Pantainya bersih sekali, dengan pasir putih yang lembut. Berdiri beberapa gasebu dari bambu, kosong. 

Siang itu hanya 3 gasebu yang ada aktivitasnya. Pos perijinan dan tiket perahu, Penyewaan pelampung dan snorkel serta tempat berkumpul para pemilik perahu wisata. Kami di pungut biaya Rp.55.000/org untuk berkunjung ke empat Gili. Perahu wisata ini muatan maksimalnya adalah 20 orang. Misalkan jumlah penumpang hanya sedikit, maka dikenakan biaya Rp.440.000/perahu. Tinggal nanti nominal tersebut di bagi dengan jumlah penumpangnya.

Saya sedikit heran dengan suasana di pantai ini, selain karena bersihnya juga karena suasananya yang sepi. Biasanya, dari pengalaman saya, kalau ada pantai semodel ini bisa di pastikan ramai dan banyak sampah. Di tambah pelayanan yang sangat ramah dari penjaga dan orang-orang yang ada di pantai, membuat saya semakin nyaman. 

Sebelum naik perahu saya menyewa snorkel dengan biaya Rp.25.000 dan pelampung Rp.10.000. Pukul 10.45 perahu mulai bergerak meninggalkan pantai. Perahu model cadik ini bergerak tenang sebab laut sedang tidak berombak dan surut siang itu. Tujuan kami yang pertama adalah Gili Petagan, sebuah gugusan hutan bakau yang teramat luas, hijau dan asri. Perahu berjalan pelan, dan semakin pelan saat mulai memasuki jalur di antara rimbunnya bakau. Dasar pantai yang berpasir lumpur terlihat jelas karena air yang sangat jernih. 

Dasar pantainya di penuhi oleh lamun. Saya jadi teringat jaman kuliah, ekosistem padang lamun merupakan bagian materi dari mata kuliah Biologi Laut, sedangkan bakau bagian dari Ekologi Perairan...hehe. Ya, intermezzo dikit, hutan bakau merupakan kunci kelestarian perairan pantai. Tempat-tempat dimana bakau masih banyak dan rapat menjamin keberlangsungan hidup biota-biota laut. 

Bisa di pastikan kualitas air lautnya bagus, ikannya pun banyak karena bakau juga berfungsi sebagai nursery ground bagi ikan-ikan, termasuk ikan karang. Fungsi lainnya adalah sebagai pelindung perairan dari ombak yang besar atau tsunami.


Karena air yang surut, di beberapa titik di antara hutan bakau, beberapa teman kami turun untuk mendorong lajunya perahu. Setelah berputar-putar di hutan bakau Gili Petagan, perahu menuju titik snorkeling. Saya pun segera mengenakan snorkel dan menceburkan diri, ya, ini memang bagian yang paling saya tunggu, menikmati keindahan bawah laut. 

Benar saja, terumbu dan ikan-ikan disini memang luar biasa indah---maklum referensi snorkeling saya masih kawasan Sumatra dan Jawa----terkagum-kagum saya dibuatnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya---lebay.com---bisa melihat ikan badut a.k.a Nemo bermain di sela-sela anemon, its really awesome ...saya betul-betul terpukau. 

Ikan-ikan lain seperti jenis-jenis Angel Fish hilir mudik disekitar saya. Bikin betah dan malas naik ke perahu. 30 menit lebih saya dan teman-teman snorkeling sebelum kami berpindah spot ke Gili Kapal. Gili Kapal ini adalah daratan pasir putih yang muncul jika air laut sedang surut. Tak ada peneduh disini, tapi pemandangannya bikin betah. Hamparan laut yang jernih berlatar perbukitan nun jauh di darat sana menambah ke-eksotis-an tempat ini. Disini Wawan memainkan drone yang dia bawa, jadilah kami merekam moment dengan drone.


Puas bermain di Gili Kapal, kami kemudian singgah di Gili Bidara dan Gili Kondo. Di Gili Bidara, terdapat dermaga kecil dan shelter untuk berteduh. Tetapi disini tidak ada vegetasi yang tinggi, meski pantainya berpasir putih bersih. Sedangkan di Gili Kondo banyak terdapat shelter dan vegetasi tinggi sehingga suasana terasa lebih sejuk. Sama seperti halnya Gili Bidara, Gili Kondo juga merupakan pulau tak berpenghuni. Sangat cocok untuk kegiatan kemping ceria, kita akan merasa sedang berada di pulau pribadi saat berkunjung kesini. 

Yang membuat saya bertambah heran, pengunjung tidak dipungut biaya sepeser pun saat kesini. Jadi membayar biaya perahu Rp.55.000/org sudah include masuk ke Gili-Gili yang ada. Seandainya saya masih punya waktu, mungkin saya tidak akan mau pulang hari ini. Keindahan alam pantai di Lombok Timur ini benar-benar fantastik, belum puas saya meng-eksplor-nya. 

Satu perbedaan mendasar antara pantai dan pulau Lombok Timur dan Barat adalah, di Lombok Timur pantai dan pulaunya benar-benar asri, alami serta jauh dari sentuhan modern. Di tambah tidak adanya hotel atau homestay di pinggirannya---menurut keterangan warga, di Lombok Timur memang sengaja di jaga dari pembangunan hotel atau homestay agar suasana alami tetap terjaga. 

Hal yang sebaliknya terjadi di Lombok Barat dimana Gili Trawangan atau Senggigi penuh dengan hotel atau homestay bahkan terkenal dengan kehidupan / hiburan malamnya. Well bagaimanapun tentu ingin berkunjung kemana itu masalah selera masing-masing, toh pantai dan pulau di Lombok memang two thumbs up. Kalau saya sih lebih suka dengan tempat yang masih alami dan sepi, seperti di Lombok Timur ini. 

Dan akhirnya, demi mengejar jadwal pesawat untuk kembali ke Jakarta, petualangan kami di Lombok terpaksa diakhiri. Meski masih sempat nyuri kesempatan untuk mampir ke pantai Kuta Lombok yang pasirnya seperti biji merica. Tunggu ya Next trip saya ke bagian yang lebih timur, saya yakin akan bertemu dengan pantai dan pulau yang jauh lebih indah. Targetnya sih Satonda, Moyo, Labuan Bajo dan Komodo.


Damn! I love Indonesia...
Negeriku surganya pecinta keindahan alam.

-----------The End-----------------


More Info :

- BB : 745565CE

- WA only : 08111181225

- e-mail : cliff.klie@gmail

Amazing view di Gili Kapal

Pantainya bersih banged

Wilco dorong perahu karena air surut

Beautiful underwater world

Memasuki hutan bakau Gili Petagan

Berlabuh di Gili Bidara

Kaya film The Island...hihi

Still underwater world

Pinggir pantai menuju Gili Kondo

Hepi-hepi di Gili Bidara

Subhanallah...speechless

Enjoy maksimal

Nge-gaya ala model

Saya dan Wilco di Gili Kondo

Pantai bersih kaya gini sudah jarang di P. Jawa

Kamis, 27 Agustus 2015

Ketika Penyesalan Adanya di Bukit ---Rinjani 3726mdpl---via Sembalun

Plawangan Sembalun

Terkadang, dalam pendakian dibawah kondisi cuaca yang tidak baik, seorang berfisik bagus sekalipun akan kesulitan untuk memutuskan antara harus terus berjalan atau kembali turun. Semua puncak tidak pernah beranjak, tapi kesempatan menjejaknya yang mungkin tidak akan berulang. Semua tentang niat dan tekad yang kuat. Disitu nyalimu di uji oleh batas diri sendiri. Pilihannya : Sekarang atau Nanti.

Plawangan Sembalun, 24/8/2015
#############################

Saya benar-benar nyaris pingsan siang itu. Panasnya sengatan matahari pukul 13.00 itu terasa membakar seluruh tubuh. Menatap tanjakan berkelok sepanjang 1 kilometer menjelang puncak membuat saya bimbang, terus naik atau balik badan dan turun. Langit biru dan bersih tak mampu mengusir letih dan payahnya fisik. Akhirnya saya putuskan untuk merebahkan diri saja di jalur berbatu pasir ini, tanpa alas, tanpa satupun peneduh, membiarkan milyaran garis cahaya bersentuhan dengan pakaian saya. Dengan menarik buff hingga menutup seluruh wajah, saya mulai berimajinasi sendiri, memutar balik rekaman perjalanan ini sedari awal.
------------------------------------

Setelah bersitegang dengan kenek Damri yang sedang membawa saya ke airport, akhirnya saya mengalah dengan membiarkan kenek itu menurunkan kami (saya, Wilco, Zafran dan Irfan) di Terminal 3 Soetta. Waktu menunjukkan pukul 7.30 saat kami berjalan menuju pelataran Terminal untuk bergabung dengan rekan-rekan yang lain. Sambil berbincang untuk mengakrabkan diri, saya meng-kolektif urunan untuk keperluan pendakian kami ke Rinjani nanti. 

Jadwal flight kami pukul 9.05 dengan Lion Air tujuan Lombok Praya, masih 1,5 jam lagi.
Kurang lebih pukul 8 saya mengajak teman-teman untuk boarding dan check in , dan di mulailah perjuangan panjang kami. Ketika petugas check in mengatakan bahwa pesawat kami berangkat dari Terminal 1A, seketika saya dan teman-teman menjadi panik. Sambil menggerutu teringat debat dengan kenek Damri yang sotoy yang sudah semena-mena menurunkan kami di Terminal 3---kami pun tergesa-gesa setengah berlari untuk naik free shuttle yang kebetulan sedang menunggu di depan Terminal. Jarak antara Terminal 3 dan 1 cukup jauh. Setelah 15 menit, akhirnya kami tiba di Terminal 1A dan langsung check in

Lagi-lagi kami di buat stress saat proses bagasi, tanpa perasaan dosa petugas bagasi mengatakan kami sudah tidak bisa masuk karena sudah terlambat boarding, sementara saya ngotot kami tidak terlambat---saat itu pukul 8.35---pesawat kami masih 30 menit lagi take off. Sepintar apapun berdebat tetap saja tidak mengubah keadaan, kami tetap tidak bisa masuk. Panik, lemas, marah campur jadi satu. Terbayang jadwal yang sudah kami susun berantakan semua. Sementara rekan kami yang menuju Lombok via jalur darat---Iyan, Ifenk dan Jaweng--- mengabarkan bahwa mereka telah tiba di Pelabuhan Lembar. Petugas Lion Air menawarkan kami solusi untuk re-schedule. Setelah berembuk sejenak---sambil tetap gondok--- kami menerima untuk di re-schedule, parahnya kami di re-schedule ke jadwal flight terakhir yaitu pukul 20.00 which is kami harus nunggu di airport selama lebih dari 12 jam!!!. We've no choice.

Saat saya mengurus tiket re-schedule, lagi-lagi saya di buat jengkel karena masih dikenakan extra charge sebesar Rp.250.000/org...huufft...dan kami pun terpaksa mengikuti saja. Menunggu memang pekerjaan yg membosankan, dan demi sedikit mengurangi bosan, kami masing-masing beraktivitas sendiri-sendiri untuk menghalau jenuh.
Singkatnya,---mencegah terulangnya kejadian pagi tadi--- pukul 18.30 kami melakukan check in plus boarding. Berulang kali saya berkoordinasi dengan 3 teman yang sudah lebih dulu tiba tentang langkah-langkah kami selanjutnya. Saya juga terus komunikasi via HP dengan teman saya---bang Apip--- yang menjadi tuan rumah di Lombok.
 
Tepat pukul 20.00 pesawat kami take off menuju Lombok. Perkiraan kami tiba pukul 22.40 WITA. Alhamdulillah cuaca cerah sehingga kami landing tepat waktu. Airport sudah sepi saat kami menunggu bagasi, maklum saja namanya juga flight terakhir. Di luar sana para sopir dan calo berebut menawarkan jasanya. Sesuai arahan bang Apip, kami keluar menuju parkiran dimana bus Damri tujuan Selong Lombok Timur sudah menunggu. Jika tidak melalui bantuan bang Apip mungkin kami harus bermalam di airport atau menyewa kendaraan yang lebih mahal sebab jadwal bus Damri tidak sampai selarut ini. Perjalanan menuju Selong kurang lebih 1,5 jam. Selesai menyusun keril, kami pun duduk manis dan tertidur sementara bus melaju membelah jalanan malam yang sepi. 

Kami terbangun saat bus terasa mengerem sehingga membuat tubuh kami terdorong ke depan. Sambil melangkah malas kami pun turun dari bus seraya membawa keril-keril. Rupanya kedatangan kami sudah di tunggu oleh teman bang Apip yg membawa mobil bak terbuka milik unit SAR Lombok Timur. Kami pun berpindah dari bus Damri ke bak terbuka. Hanya 10 menit saja jarak terminal Selong dengan markas SAR yang menjadi tempat transit dan bermalam kami selama di Lombok. Jam sudah menunjukkan pukul 1.00 dini hari. 

Hari ini hari minggu, menjadi awal hari bagi perjalanan panjang kami. Setelah berbasa basi sebentar dengan tuan rumah, saya mengumpulkan seluruh anggota tim untuk briefing singkat untuk pembagian tugas, rencana perjalanan dan manajemen pendakian. Akhirnya di sepakati kami akan menyewa seorang porter untuk meringankan pendakian. Pukul 2.00 saya pun tidur, yah, walau bagaimana kondisi fisik tetap harus di jaga.

Pukul 5.30 kami semua sudah bangun dan bersiap. Setelah menyusun keril di mobil kami pun meluncur menuju basecamp pendakian di Sembalun. Jalanan menuju Sembalun melewati perbukitan yg kesannya gersang. Sempat juga kami melintasi jalanan dengan tanjakan curam yg di apit hutan lebat di kanan kirinya. Kami pun sempat harus turun agar mobil yang kami tumpangi bisa melaju melewati tanjakan. 

Setelah menempuh perjalanan selama 1,5 jam, kami pun tiba di basecamp pendakian Sembalun. Saya mengurus registrasi dan membayar biaya pendakian sebesar Rp.5.000/hari/org. Dari basecamp kami melanjutkan perjalanan lagi ke arah utara untuk mencapai titik awal pendakian. Jarak dari basecamp ke titik awal kami akan mendaki kira-kira 2-3 kilometer. Sambil membongkar barang dari mobil kami membeli perlengkapan dan perbekalan yang masih kurang di warung sekitar. Dan seusai berdoa bersama, tepat pukul 11.45 kami memulai langkah untuk mendaki.

Trail 1 : Basecamp Sembalun - Pos 1

Pos I

Saya berjalan di depan, bersama Zafran, Cacing dan porter kami yang bernama pak Huda. Udara yang luar biasa panas beserta debu tebal langsung menyambut kami. Menurut pak Huda, sudah 5 bulan hujan belum turun di Sembalun...hmmm...bisa di bayangkan seperti apa tebalnya debu dan panasnya matahari. Dari keterangan penduduk sekitar juga saya ketahui waktu "normal" untuk menempuh jarak antara Sembalun ke Pos I adalah 2 jam. Menyusuri jalur berdebu yang panas seperti ini saya teringat saat mendaki Argopuro. Kondisi yang sama, saat kami menuju Pos Mata Air 1. Bedanya di Argopuro kami masih bisa menemukan beberapa pohon untuk bersembunyi dari panas. Di Rinjani ini 45 menit awal tidak ada pohon yang bisa kami jadikan tempat berlindung.


Setelah 50-60 menit kami masuk area hutan yang tidak lebat. Suasana sejuk langsung terasa. Sayang hutan tersebut hanya berjarak sebentar saja, tidak lebih dari 20 menit, kami kembali berhadapan dengan area terbuka, padang savana yang panas tak berangin. Sebelum mulai bertempur lagi dengan panas, saya putuskan untuk break di pinggiran hutan untuk makan siang dan shalat dzuhur sekaligus menunggu teman-teman yang lain yang masih berada di belakang. 

Kurang lebih 40 menit saya berada di tempat ini sebelum akhirnya saya putuskan untuk kembali melanjutkan pendakian. Di selatan nampak utuh Rinjani berdiri gagah, seolah menanti kedatangan kami. Pelan tapi pasti saya dan teman-teman mulai melangkahkan kaki, masih di bawah terik matahari. Pukul 14.15, setelah melewati 3 jembatan, saya tiba di Pos I. Saat itu di posisi terdepan adalah saya, Zafran, Cacing, Wilco dan porter. Di Pos I ini tidak terdapat air. Di sebelah barat terlihat jelas Pos II. Asalkan tidak turun kabut, setiap pendaki bisa melihat jelas ke segala arah, termasuk Pos-pos yang ada karena Rinjani jalur Sembalun adalah jalur terbuka yang hampir tidak ada vegetasi tinggi, setidaknya hingga lepas Pos 3 Ekstra. 

Trail 2 : Pos 2 - Pos 3
Tidak berlama-lama berhenti di Pos I, saya mengajak Zafran untuk melanjutkan perjalanan menuju Pos II. Dan sekitar pukul 15.00, setelah 45 menit berjalan, kami tiba di Pos 2. Di Pos 2 ini terdapat sumber air dengan aliran yang kecil di sebelah kiri jalur, turun dari jembatan melalui jalan kecil. Di Pos 2 saya beristirahat cukup lama sambil ngobrol dengan 3 turis asal Ukraina. Jarak antara Pos 2 dan Pos 3 "normalnya" hanya 1 jam---pada prakteknya saya dan Zafran bisa menempuh dalam waktu 40 menit--- dan jika letaknya tidak di lembah pasti akan terlihat jelas dari Pos 2. 

Porter kami menunjuk cekungan lembahan di antara punggungan besar, seraya mengatakan di situlah letak Plawangan Sembalun, tempat kami akan bermalam dan membuka tenda. Sejak awal memang saya menekankan pada teman-teman bahwa target tempat camp di hari pertama adalah Plawangan Sembalun. Selambat apapun, selelah apapun dan selarut apapun target camp tetap disana. 

Trail 3 : Pos 3 - Pos 3 Ekstra
Pos 3

Di Pos 3 ini tidak terdapat sumber air. Areanya cukup luas dan terlindung sebab posisinya di lembahan, mirip Goa Walet di Ciremai tapi jauh lebih luas. Banyak juga monyet-monyet yang bermain dan mengais makanan dari sampah yang di tinggalkan pendaki. Zafran mengeluhkan kedua kakinya yang ototnya tertarik. Satu persatu anggota tim tiba menyusul kami di Pos 3. Seluruh tim dalam kondisi payah. Panas yang membakar telah meruntuhkan 75% kekuatan fisik mayoritas dari kami.

Pukul 17.00, saya kembali melanjutkan perjalanan, kali ini saya mendaki dengan dobel keril, satu di punggung, satu di dada. Ini di akibatkan kondisi Herdi yang drop. Padahal saya tau, setelah Pos 3 inilah pendakian yang sesungguhnya di mulai. Jalur selepas Pos 3 konturnya terus menanjak, hanya sedikit bonus jalan datar. Porter kami meminta saya nanti untuk rehat di Pos 3 Ekstra. 

Menjelang Pos 3 Ekstra Zafran tumbang, memaksa saya untuk membawa keril dobel sendirian. Tepat maghrib, pukul 18.00, saya, Ifenk, Zafran, porter, Marhas dan Jaweng tiba di Pos 3 Ekstra. Perut mulai ber-orkestra karena lapar, sementara udara dingin mulai menusuk, menembus jaket running yang saya pakai. Untuk mengganjal, kami makan biskuit dan coklat. Posisi Pos 3 Ekstra ini adalah di bukit yang kedua dari rangkaian 5 bukit terakhir sebelum Plawangan Sembalun, yang populer dengan julukan Bukit Penyesalan. Ya, akhirnya di Rinjani-lah saya menemukan fakta, bahwa tidak selalu yang namanya penyesalan itu adanya di akhir, sebab di Rinjani, penyesalan itu adanya di bukit...hehe...garing. 

Trail 4 : Pos 3 Ekstra - Plawangan Sembalun
Pukul 18.30, saat akan mulai melanjutkan perjalanan, saya menduga Plawangan pasti tinggal 1-1,5 jam lagi. Bersama-sama dengan porter, saya mulai berjalan, di ikuti Zafran dengan langkah yang lambat. Menapaki bukit ketiga ini saya semakin kepayahan, setiap 10 langkah saya pasti berhenti untuk mengumpulkan tenaga, begitu terus hingga ujung bukit ke-empat. 

Benar-benar mendatangkan penyesalan mendaki dengan dobel keril di bukit-bukit ini. Belum lagi debu yang beterbangan ditiup angin lembah. Saya sempat berpapasan dengan Wawan yang sedang rehat di kanan jalur, di bukit keempat. Dia sedang membalur kakinya dengan krim otot agar otot yang tertarik lebih lemas. Setelah memastikan Wawan bisa melanjutkan perjalanan sendiri, saya pun kembali melangkahkan kaki menyusuri tanjakan demi tanjakan. 

Tepat disaat saya sudah kehabisan tenaga, Cacing datang dan menawarkan diri untuk bergantian membawa keril yang saya bawa. Plawangan tinggal 1 bukit lagi, dan dengan senang hati saya terima tawaran Cacing. Setelah melepas satu keril, langkah saya menjadi lebih ringan dan pukul 21.00 saya, Zafran, Ifenk, Marhas dan porter tiba di Plawangan Sembalun. Porter sempat menyarankan agar kami membuat camp di Plawangan 2 yang letaknya 1 kilometer ke arah kiri atas dekat sumber air dan jalur untuk summit. Di Plawangan ini memang terdapat sumber air yang berlimpah. Sementara di bawah sana nampak permukaan air Segara Anak memantulkan cahaya bulan. Malam ini cerah tidak berkabut, angin cukup kencang dan langit penuh bintang. 

Setelah mempertimbangkan matang-matang, saya memutuskan untuk tetap mendirikan camp disini karena banyak anggota tim yang kondisinya drop. Tentu akan sangat sulit untuk menambah jarak tempuh bagi tubuh yang sudah drop, meski itu hanya 1 kilometer. Kami berbagi tugas, saya dan teman yang lain membangun tenda sementara porter mengambil air. 

Membangun 4 tenda dan 1 bivak di bawah hantaman angin dingin berdebu cukup menyulitkan. Tenggorokan dan bibir pun terasa sangat kering. Setelah tempat berlindung kami selesai di buat, saya dan Zafran segera masuk ke dalam bivak untuk beristirahat. Saya, Zafran dan Iyan memang sudah merencanakan untuk mencoba ber-bivak dalam pendakian ini. Satu persatu anggota tim bermunculan di Plawangan dan langsung masuk ke dalam tenda yang sudah tersedia. Anggota tim yang terakhir tiba pukul 23.00. Saya sudah terlalu lelah, hingga tak terlalu menghiraukan tawaran Ifenk yg membawakan makan malam. Pun begitu dengan Zafran yang terlelap pulas disebelah saya.

Senin, 24 Agustus 2015, pagi yang cerah dan sedikit berangin. Perut yang lapar memaksa saya beranjak bangun. Seluruh keperluan memasak ada di depan tenda yang di tempati porter. Marhas keluar tenda saat saya sedang mencari bahan makanan untuk di masak. Agar tidak terlalu lama akhirnya diputuskan untuk memasak mie instant campur telur saja. 5 menit kemudian saya pun sudah menikmati sarapan setelah terakhir makan kemarin siang. Sambil makan saya menginformasikan pada tim, bagi yang ingin summit agar bersiap maksimal pukul 9 nanti.

Belum genap pukul 8, matahari sudah begitu terik. Dan bisa di pastikan perjalanan summit kami akan bermandi peluh lagi seperti kemarin. Seperti biasa, sebelum memulai perjalanan kami berdoa bersama agar selalu di beri kelancaran dan keselamatan. Dan tepat pukul 9.00 kami mulai bergerak untuk summit. Dari lokasi tenda kami diperlukan waktu 15 menit untuk menuju titik awal jalur menanjak yang akan membawa kami mencapai punggungan pertama. Jalur menuju titik awal (Plawangan 2) relatif landai dan mudah di lewati, apalagi kali ini kami tidak membawa beban berat.

Setelah melewati area camp terakhir di Plawangan 2, mulai kami berhadapan dengan jalur menanjak lurus yang penuh debu dan pasir. Sedikit mirip dengan jalur pendakian Semeru. Di posisi depan adalah Ifenk, Cacing, saya, Zafran, Irfan, dan Marhas. Di belakang saya terlihat Jaweng, Herdi, Iyan, Gatot, Wawan, Rendi, Aya, Wilco dan Risky.
Saya malas harus menapaki jalur berpasir sebab sangat menguras tenaga, jadi saya memilih menapaki setapak yang debunya sangat tebal. Tak apalah berundak, yang penting tidak melewati pasir. Masing-masing, termasuk saya, menutup rapat seluruh tubuh dengan sarung tangan, penutup kepala dan wajah sehingga hanya mata bagian tubuh yang tidak tertutup.

Pukul 10.00 saya dan anggota tim terdepan sudah mencapai puncak punggungan yang pertama. Kami beristirahat sejenak, menikmati suasana. Melihat ke arah kiri, ke arah jalur yang akan kami lewati selanjutnya, nun jauh Puncak Rinjani nampak menusuk langit.

Perlahan tapi pasti tim terdepan mulai terpecah, Zafran, Irfan dan Marhas tertinggal di belakang saya, Ifenk dan Cacing. Panas yang semakin menjadi membuat saya sakit kepala. Padahal angin dingin yang kering terus bertiup. 2 kilometer terakhir memang sudah tidak ada vegetasi yang bisa kami jadikan tempat berlindung. Sebenarnya jalur pun jauh lebih landai jika di banding jalur menuju puncak Semeru atau Kerinci, tapi karena perjalanan summit kami ini siang hari, membuat fisik kami terkuras habis dan terasa jauh lebih berat. Sampai pukul 12.30 saya sudah 2 kali merebahkan badan di cekungan batu untuk menghindari panas. Bayangan batu selalu saya gunakan untuk berteduh sejenak.

Pukul 12.45 saya berhadapan dengan tanjakan panjang terakhir, mungkin panjangnya 700-800 meter dan sedikit berkelok ke kanan. Puncak Dewi Anjani ada di ujung tanjakan itu. Inilah bagian terberat dan tersulit dalam mencapai summit. Dengan sisa-sisa tenaga saya mulai melangkahkan kaki. Belum genap seratus langkah saya sudah kepayahan. Mata saya sibuk mencari cekungan batu yang bisa saya jadikan tempat berlindung tapi sia-sia. Di tanjakan terakhir ini hampir tidak ada batu besar yang bisa di jadikan tempat sembunyi dari panas. 

Nyaris putus asa saya sebelum akhirnya mata saya melihat ada batu memanjang dengan tinggi tidak lebih dari 60 centimeter, sedikit cekung sehingga menciptakan bayangan gelap teduh  selebar 30cm kira-kira 25 meter di depan saya. Tak menunggu lama, saya segera melangkah menuju batu itu. Meski hanya 25 meter dari tempat saya berdiri pada kenyataannya untuk menuju kesana diperlukan perjuangan yang tidak mudah. Saya hanya mampu berjalan per lima langkah saja. Saya langsung membaringkan tubuh di bayangan teduh batu itu, tapi sayang hanya kepala dan pundak saya yang tertutup bayangan teduhnya, sedangkan badan hingga kaki tetap berada di bawah terik matahari. 

Kepala saya semakin sakit, di tambah perut yang mual. Tak lama Ifenk datang menyusul dan berbaring di atas batu yang saya jadikan tempat berteduh itu. Sedikit bergumam, dia pun mengatakan entah akan sanggup mencapai puncak atau tidak. Saya tidak menghiraukan, sebab pada akhirnya dia mampu mencapai puncak jauh di depan saya. Angin dingin kering yang berhembus membuat badan saya semakin malas bergerak. Perut mual dan air yang tersisa sedikit membuat saya berpikir untuk "balik badan" dan turun saja. Tapi, ego saya menahan dan tetap menyemangati, sudah jauh-jauh kesini, sedikit lagi puncak...ayo jalan terus.

Demi Puncak Rinjani, kali ini saya memaksakan diri, tapi baru saja saya berdiri, rasa mual yang sudah tidak tertahan membuat saya muntah-muntah beberapa kali. Tak ada yang keluar selain air, menandakan perut saya benar-benar kosong. Setelah muntah, tubuh terasa lebih ringan. Saya segera minum obat masuk angin dan bergegas melangkah lagi. Kali ini saya konstan melangkah, setiap 20 langkah berhenti. Dengan pola seperti itu tubuh saya mampu beradaptasi dengan lebih baik.
 
Akhirnya tepat pukul 14.00 saya berhasil menggapai puncak Dewi Anjani 3726 mdpl, puncak tertinggi tanah Nusa Tenggara, tanah seribu masjid. Alhamdulillah...Allahu Akbar.
Tak lebih dari 10 menit saya berdiri di puncak, hanya mengambil beberapa foto saja lalu kembali turun. Saat saya sedang beristirahat beberapa meter di bawah puncak, berturut-turut muncul Iyan, Wilco dan Irfan. Dan rupanya hanya kami berenam yang berhasil summit dalam pendakian ini. Teman-teman yang lain memilih balik badan dan turun kembali. Setelah cukup beristirahat saya pun bergegas turun menuju camp kami di Plawangan.

-----------The End-------------

More Info :
- BB : 745565CE
- WA only : 08111181225
- e-mail : cliff.klie@gmail.com

Rute Rinjani :
BC Sembalun 1100 mdpl
Pos 1 1300 mdpl
Pos 2 1500 mdpl
Pos 3 1800 mdpl
Pos Plawangan 2700 mdpl
Puncak 3726 mdpl
------------------------------------

Waktu Tempuh : 

BC Sembalun - Pos 1 = 1,5 - 2 jam
Pos 1 - Pos 2 = 45-70 menit
Pos 2 - Pos 3 = 40-70 menit
Pos 3 - Pos 3 Ekstra = 40-60 menit
Pos 3 Ekstra-Plawangan = 1,5-2,5 jam
Plawangan - Puncak = 3-5 jam
Plawangan - Segara Anak = 2,5-3,5 jam
Segara Anak-Plawangan Senaru = 3jam 
Plawangan Senaru-Pos 3 = 2 jam
Pos 3 - Pos 2 = 2 jam
Pos 2 - Pos 1 Ekstra = 1 jam
Pos 1 Ekstra - Pos 1 = 1 jam
Pos 1 - BC Senaru = 1 jam
------------------------------------

Itinerary / Rundown yg Ideal

H1:
07.00-          : start nanjak
07.00-09.00: Otw Pos 1
09.00-09.15: break
09.15-10.15: Otw Pos 2
10.15-10.30: break + isi air
10.30-11.30: Otw Pos 3
11.30-12.30: break + ishoma
12.30-13.30: Otw Pos 3 Ekstra
13.30-16.00: Otw Plawangan
16.00-24.00: istirahat + camp

H2
24.00-01.00: Persiapan summit
01.00-05.00: Start summit
05.00-06.30: Enjoy summit
06.30-09.00: Turun ke Plawangan
09.00-11.00: Sarapan + Packing
11.00-15.00: Otw Segara Anak
15.00-08.00: Enjoy Segara Anak

H3
06.00-08.00: sarapan + packing
08.00-11.00: Otw Plawangan Senaru
11.00-12.00: Ishoma
12.00-19.00: Otw BC Senaru
19.00-06.00: Camp di BC Senaru atau Opsional.
---------------------------------------

Akses ke Rinjani

A. Jalur Darat (Start Jakarta Ps.Senen)
H1:
11.30-20.00 : Otw Yogyakarta Lempuyangan dg KA.Bengawan
20.00-07.00: Transit Yogya

H2:
07.00-07.20: Boarding
07.20-21.00: Otw Banyuwangi dg KA.Sritanjung
21.00-21.30: Otw Pelabuhan Ketapang
21.30-23.00: Otw Gilimanuk
23.00-04.00: Otw Padangbai

H3
04.00-08.00: Otw Pelabuhan Lembar
08.00-09.30: Otw Mandalika
09.30-11.30: Otw Aikmel
11.30-12.30: Otw Sembalun

B. Jalur Udara (start Soetta)
H1 :
07.30-09.00: Check in and Boarding
09.05-11.40: on Flight to Lombok
11.40-12.30: Bongkar bagasi
12.30-14.00: Otw Selong dg Damri
14.00-16.00: Otw Sembalun
---------------------------------------

The Pict

Alhamdulillah...nyampe juga di atap Nusa Tenggara. 24/8/15

Di Depan Kantor Taman Nasional Gunung Rinjani resor Sembalun. 23/8/15

Pagi, beberapa saat sebelum menuju Sembalun. 23/8/15
Berfoto di setiap venue khusus adalah wajib hukumnya...he. 22/8/15

Check in dulu bro....22/8/15


Sunrise pagi itu...

Antara aku dan Puncak Anjani


Trek awal menuju puncak selepas Plawangan.

Puncak masih 2-3 jam lagi dari posisi foto ini di ambil.

Teriknya matahari siang itu. Menuju Pos II

Menikmati sunrise

Tuh, monyet aja neduh saking ga tahan dengan teriknya matahari...hehe...

Camp pengungsian...eh, transit kami di Lombok Timur.

Terlantar 12 jam di airport...

Nunggu jadwal flight di airport

Ini nih bukit penyesalan yang kelima, yang terakhir sebelum sampai Plawangan Sembalun. Foto di ambil dari Plawangan.

Foto keluarga sebelum pulang

Jalur menuju sumber air di Plawangan

Sunrise yang eksotik

Di ujung deretan tenda itulah jalur menuju puncak Rinjani

Enjoy the morning light

Maha Besar Allah dengan ciptaanNya


Jam 5.30...lagi dingin-dinginnya

Boys band gagal...hehe

Malam hari di Plawangan Sembalun

Gini nih jalurnya 1 jam menjelang puncak

Bikin kangen

Jangan summit siang-siang kalau ga mau tepar

Neduh di satu-satunya pohon yang bisa di pake neduh pas mau muncak

Tuh, beneran satu-satunya pohon kan?

Menuju puncak punggungan pertama dari Plawangan menuju puncak Rinjani

Lokasi camp terakhir di Plawangan 2. Di ujung itu jalur menuju puncak punggungan yang pertama

Bikin adem mata

Ojeg juga tersedia untuk yang berduit, dari BC ke Pos II, sekitar 250-300k.

View dari pertengahan perbukitan sebelum BC Sembalun

Menuju Pos I, ga ada tempat neduh

Istirahat dulu di Puncak Bukit, kasian mobilnya.

Jalur awal pendakian

Udah panas full debu pula. Otw Pos I

Panasnya bikin klenger...

Sunrise lagi

Sunset di Plawangan

Porter-porter Rinjani

Pantai awan di Plawangan...what a wonderful world

Menyusun keril-keril sebelum menuju basecamp pendakian

Mosaik yang indah

Saya bersama porter kami, Pak Huda.

Warna warni tenda di Plawangan.