Rabu, 13 Mei 2015

Argopuro 3088 mdpl...Cerita Pendek Sebuah Perjalanan Panjang

Setelah perencanaan selama nyaris 10 bulan, akhirnya tepat hari ini, Rabu, 13 Mei 2015, pukul 10.00, saya dan ketujuh rekan lainnya berkumpul di Stasiun Bogor. Trip ini awalnya di gagas bulan Juli 2014 oleh beberapa rekan KPK Korwil Bogor saat turun dari ekspedisi Merapi Merbabu. Seiring waktu berjalan akhirnya hanya saya, Ifenk, Iyan dan Zafran yang tetap berangkat dari para inisiator awal. Di tambah bergabungnya Irfan, Gilang, David dan Wilco menggenapi jumlah tim menjadi 8 orang. 

Beberapa hari sebelum hari H kami berkumpul untuk final briefing, membagi tugas dan cek kelengkapan alat. Saya juga sekaligus memberikan gambaran tentang kondisi perjalanan nanti berikut karakter gunungnya. Ya, ini akan menjadi pendakian Argopuro saya yang kedua setelah yang pertama di tahun 1999. Tim kami akan mendaki melalui Jalur Baderan dan turun via Bremi. 

Argopuro memiliki ketinggian 3088 mdpl dan merupakan bagian dari dataran tinggi Hyang yang terletak diantara kabupaten Situbondo dan Probolinggo. Gunung yang memiliki panjang lintasan sejauh 40 kilometer ini merupakan  gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa. Lintasan yang panjang dan rentang pendakian yang membutuhkan waktu tidak kurang dari 4 hari membuatnya "kurang" diminati para pendaki.

Bandingkan dengan panjang lintasan Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Jawa yang "hanya" sejauh 10,5 kilometer. Selain itu titik awal pendakiannya yang tergolong rendah (sekitar 700 mdpl di Baderan) menambah panjang waktu tempuh pendakian. Gunung ini memiliki banyak cerita unik baik dari sisi mistis maupun eksotisnya. 

Singkat cerita, kami berdelapan segera menaiki Commutter Line tujuan Pasar Senen setelah menunggu selama 40 menit. Rupanya Commuter Line yang kami tumpangi hanya sampai stasiun Duri, alhasil kami terpaksa harus turun untuk berganti kereta. Sempat terjadi miskomunikasi, kami tadinya berencana berganti kereta di stasiun Tanah Abang, namun karena kurang cepat akhirnya kami urungkan, sialnya Zafran sudah terlanjur turun. Beruntung kami kembali berkumpul di stasiun Duri. 

Jam sudah menunjukkan pukul 12.45 saat kereta yang kami tunggu akhirnya datang. Saya mulai agak khawatir, sebab feeling saya mengatakan kami akan tiba terlambat di Pasar Senen, sedangkan jadwal KA.Kertajaya yang akan membawa kami ke Surabaya berangkat pukul 14.00. Demi menuruti feeling, akhirnya saya minta teman-teman untuk turun di Stasiun Gang Sentiong. 

Waktu terasa berjalan cepat, membuat saya bertambah panik, kurang dari 30 menit lagi kami akan ketinggalan kereta. Dan dengan terpaksa tim kami menyewa ojeg agar bisa tiba dengan cepat di Pasar Senen. 15 menit menjelang kami berlari di pelataran stasiun Senen untuk boarding pass tiket dan naik KA.Kertajaya. Dalam perjalanan, saya terus berkomunikasi dengan Ubay, ya, Ubay ini memang akan bergabung dengan tim kami untuk mendaki bersama. Hanya saja Ubay dan satu rekannya---belakangan saya tahu namanya Arya---sudah tiba lebih awal 1 hari sebelum kami alias berangkat tanggal 12 Mei. 

Ubay mengabarkan bahwa mobil-mobil carteran yang biasa mangkal di sekitaran stasiun Pasar Turi memasang harga terlalu tinggi, minimal 1,5 juta untuk sekali jalan. Saya pun memutar otak, mencari solusi sebab budget kami tidak mencukupi. Akhirnya saya menghubungi seorang kawan lama yang tinggal di Situbondo untuk meminta bantuan. Saya diberi nomor telepon travel langganannya, well ternyata tarifnya sangat terjangkau, jadilah tim kami mem-booking travel tersebut agar standby di Pasar Turi dini hari nanti. 

12 jam kemudian, pukul 01.40 kereta kami tiba di Stasiun Surabaya Ps.Turi. Kami pun bergegas keluar stasiun dan menemui Ubay serta Arya yang sudah menunggu di depan gerai serba ada. Setelah berbicara sebentar, kami pun melangkahkan kaki menuju mobil Elf carteran yang telah kami booking by phone. Tak butuh waktu lama, selesai memuat keril-keril dan bawaan kami, Elf putih ini pun meluncur menyusuri jalanan kota Surabaya yang lengang. Ketika melintas di area PLTU Paiton saya meminta supir untuk menepikan mobil. Saya ajak teman-teman yang sedang mengantuk untuk turun dan berfoto-foto sejenak. PLTU Paiton adalah salah satu penyuplai utama listrik untuk wilayah Jawa Timur. Terletak di ujung timur kabupaten Probolinggo. Saya lihat jam tangan, tertera pukul 06.10.

20 menit kemudian kami tiba di pendopo alun-alun Besuki. Setelah menurunkan seluruh barang bawaan, Iyan, Ubay dan Gilang menuju pasar yang terletak di sebelah timur alun-alun untuk melengkapi kekurangan logistik. Sementara saya mengurus angkutan untuk menuju Baderan. Sedikit alot negosiasi saya dengan calo angkutan sebelum akhirnya di sepakati tarif sebesar 20 ribu rupiah per orang untuk menuju Baderan. Mobil bison jadul dan sudah tidak utuh lagi itu di paksa memuat kami bersepuluh plus keril-keril jumbo ekstra berat. Pukul 07.30 dengan merayap pelan dan terengah mobil pun mulai berjalan. Sementara kami melanjutkan tidur yang tertunda.

Pukul 09.15 kami tiba di pos perijinan pendakian Argopuro via Baderan. Saya segera mengurus simaksi tim kami. Saya mengurus untuk pendakian 4 hari. Total biaya yang harus saya bayar adalah 110 ribu rupiah per orang. Karena terdapat 3 hari libur dan 1 hari kerja---tarif simaksi Argopuro yang berlaku per 1 Mei 2015 adalah Rp.20.000/1 hari kerja dan Rp.30.000/1 hari libur atau tanggal merah. Di luar itu kami juga harus membayar Rp.15.000 untuk ganti bea materai. Tak lupa seluruh Identitas kami di scan oleh petugas pos. Setelah menyelesaikan administrasi pendakian saya pun bergabung dengan teman-teman yang lain untuk sarapan.

Pukul 10.30 setelah berdoa kami mulai pendakian ini, untuk menuju batas jalan makadam kami putuskan berjalan kaki saja. Pada umumnya, kebanyakan pendaki lebih memilih menumpang ojeg untuk mencapai ujung jalan makadam. Membayar 35-40 ribu rupiah untuk perjalanan selama 35 menit. Jika berjalan kaki seperti kami, batas jalan makadam ditempuh dalam waktu 1,5-2 jam. Siang ini cuaca panas menyengat, ciri khas akan turun hujan. 

Karakter jalan makadam yg lebarnya hanya 100-120 centimeter ini persis seperti jalur pendakian Arjuno Welirang via Tretes, hanya saja disini nyaris tidak ada tempat berteduh atau peneduh sehingga kami benar-benar kepayahan di hajar panas. Berkali-kali kami break, dan puncaknya saat pukul 12.00, kami break sangat lama, lebih dari 1 jam. Menunggu matahari agak turun ke barat. Panas yang terlalu menyengat ini telah membuat kondisi kami drop, beberapa dari kami bahkan di serang sakit kepala dan muntah. 

Alhamdulillah, memasuki pukul 13.00 cuaca agak lebih bersahabat, sesekali ada hembusan angin yang menyejukkan. Lepas jalur makadam, kami menapaki jalan tanah yang melingkar memutari bukit-bukit di antara ladang dan kebun penduduk yang ditanami aneka sayuran. Di kanan, di kejauhan beberapa kali terlihat air terjun. Kontur jalan tanah ini sempit, dan meski relatif landai tapi sangat menyulitkan kami. Menyulitkan?? Ya, menyulitkan sebab di bagian tengah setapaknya ada parit kecil selebar 10-15 centimeter dengan kedalaman 5-15 centimeter. Parit ini bukan untuk mengalirkan air tetapi bekas jejak ban motor selama bertahun-tahun. 

Lima tahun terakhir, semakin banyak motor yang masuk ke area hutan dan jalur pendakian Argopuro via Baderan, bahkan terkadang hingga mencapai Cikasur yang notabene baru bisa di capai pendaki setelah berjalan dua hari. Mereka ini adalah para warga lokal dengan bermacam kepentingan. Berjalan mendaki di setapak model ini tentunya bisa di bayangkan kesulitannya. Kaki kami harus berjalan dengan agak melebar---semi ngangkang---zigzag, agar tidak terpeleset ke parit kecil tersebut, salah-salah langkah kami bisa terkilir di bagian ankle. Atau jika malas dengan cara jalan seperti di atas, bisa juga berjalan didalam parit kecil itu. Seperti berjalan di catwalk, membentuk pola jalan dalam satu garis lurus, bedanya sambil menggendong keril, bayangkan sulitnya seperti apa. Ironisnya, trek seperti ini harus kami lintasi hingga ke Cikasur nanti, yang artinya masih akan kami temui hingga besok sore.

Pendaki yang datang ke Argopuro via Baderan hari ini sangat banyak---mengingat Argopuro bukanlah tipe gunung yang di minati---dari data yang kami lihat, tak kurang sudah naik 60an pendaki sejak pagi sebelum kami datang. Jika di jumlah dengan yang melakukan registrasi berbarengan dengan kami maka total ada sekitar 80-90 pendaki hari ini. Demi mengingat target perjalanan tim kami hari ini adalah Pos Mata Air I, saya sudah pesimis bisa kebagian tempat untuk mendirikan tenda. 

Pos Mata Air I memang menjadi target kebanyakan pendaki untuk bermalam di hari pertama, tapi lahannya yang tidak seberapa luas---seingat saya hanya cukup untuk 5-6 tenda saja---tentu akan membuat beberapa rombongan pendaki kesulitan mendapatkan tempat. Pos Mata Air I dapat di capai setelah perjalanan selama 6 hingga 8 jam dari basecamp. Dalam perjalanan menuju Pos Mata Air I kami sempat di guyur hujan pukul 16.00 selama 30 menit. Dan tepat pukul 18.00 kami tiba. 

Benar saja dugaan saya, Pos Mata Air I sudah penuh sesak dengan tenda pendaki yang datang lebih awal dari kami. Dengan terpaksa kami mendirikan tenda di jalur, menutupi jalan. Itupun kami hanya bisa mendirikan 2 tenda saja, kapasitas 6 dan 2 hingga 2 orang dari tim kami terpaksa tidur di bawah bivak darurat. Selesai makan malam kami pun beristirahat.

Pagi tanggal 15 Mei 2015. Selesai shalat subuh saya dan David turun ke Mata Air untuk mengambil air. Posisi mata air di pos ini adalah di kiri jalur pendakian, turun sejauh 5-8 menit dengan trek yang licin dan cukup terjal. Mata air berupa aliran kecil seperti sungai. Sambil mengisi air saya pun sekalian sedekah bumi...hehe. Selesai ambil air saya memasak sarapan. Jadwal kami hari ini pukul 09.00 angkat keril menuju Pos Cikasur. 

Sambil menjemur peralatan yang basah bekas hujan kemarin sore kami berkemas. Meleset 30 menit dari jadwal, pukul 9.30 kami melanjutkan pendakian. Saya, Wilco dan Ubay berjalan di depan. Pukul 11.00, setelah melewati satu tanjakan terjal kami tiba di Pos Mata Air II. Saya dan Wilco segera mengeluarkan kompor dan nesting untuk memasak makan siang sementara Ubay turun mengambil air. Pukul 12.45 kami kembali melanjutkan pendakian. Setelah melintasi satu turunan panjang pukul 13.30 kami tiba di Sabana Kecil / Alun-alun Kecil. Setelah berfoto sejenak dengan rombongan turis asing kami kembali berjalan menuju Sabana Besar. 

Menuju Sabana Besar di awali dengan jalur yang menanjak panjang, beruntung siang menjelang sore itu cuaca tidak panas. Selepas tanjakan panjang jalur relatif datar, dan menjelang Sabana Besar agak menurun. Kami tiba di Sabana Besar pukul 14.30. Sambil beristirahat di bawah pohon yg teduh, saya, Ubay dan Wilco ngobrol santai dengan pendaki lain. 15 menit kemudian kami melanjutkan perjalanan. Berjalan dengan sangat cepat, meninggalkan teman-teman yang lain jauh di belakang. 

Dan akhirnya pukul 15.20 kami bertiga tiba Pos Cikasur. Beruntung pohon besar di tengah Cikasur yang menjadi target tempat camp kami belum di tempati pendaki lain, segera saja kami mendirikan tenda di situ. 

Cikasur merupakan sabana yang sangat-sangat luas. Terdapat bekas landasan pesawat terbang disini. Landasan rahasia itu di bangun pada masa penjajahan Jepang, kurun 1942-1945. Di sebelah barat terdapat barak-barak bangunan yang sudah tidak terawat dan cukup angker. Sudah sering terjadi kejadian aneh yang menimpa pendaki yang bermalam di dekatnya. Konon dulunya di barak-barak tersebut adalah tempat pembantaian para pekerja yang membangun landasan pesawat. Mereka di bantai agar tidak membocorkan keberadaan landasan itu. Ada juga yang mengatakan barak-barak tersebut adalah bekas semacam rumah sakit bagi penderita kusta, tempat pengasingan. Dan kebanyakan para penderita kustanya adalah orang-orang yang mencuri patung-patung arca dari puncak Rengganis atau Puncak Hyang, kasarnya mereka seperti kena kutukan. 

Di luar cerita-cerita mistisnya Pos Cikasur merupakan tempat yang sangat indah, air begitu berlimpah dan suasananya meneduhkan hati. Disini seringkali terlihat merak terbang, ayam hutan dengan bulunya yang berkilau, babi hutan bahkan terkadang macan kumbang. Saya hanya sempat melihat seekor merak dan seekor ayam hutan saat di Cikasur. Suara riuh satwa tersebut terdengar jelas di pagi hari. Malam itu dengan berselimut milyaran bintang kami beristirahat panjang dengan nyaman.

Tanggal 16 Mei, sudah hari ketiga, setelah merapikan peralatan dan berfoto, kami mengangkat keril pukul 9.30. Target kami adalah Pos Rawa Embik. Jalur selepas Cikasur menjadi lebih rapat dan sempit. Akan sulit bagi pendaki untuk mendahului pendaki didepannya. Vegetasinya mirip Alas Lali Jiwo Arjuno, ilalang tinggi dan rapat cenderung menutupi jalur. Kontur juga dominan menanjak, bonus trek semakin sedikit. Setelah melipir lintasan tipis yang panjang yang di penuhi daun jelatang alias pohon neraka kami turun menuruni lintasan terjal untuk menuju Pos Cisentor. Tepat pukul 11.00 kami tiba di Cisentor. 

Oh iya, jika mendaki via Baderan sangat di sarankan menggunakan lengan panjang, sarung tangan, sepatu, celana panjang dan jika perlu gaiter. Banyak sekali jelatang yang mengintai di sepanjang perjalanan. Ifenk, Zafran jadi "korban" perihnya di gores jelatang. Tanaman yg oleh penduduk lokal di sebut daun jancukkan ini tumbuh subur di sepanjang jalur terutama ditempat yang agak teduh. Berbentuk seperti daun begonia tetapi lebih kecil, berwarna hijau cerah, seluruh permukaan daunnya di tutupi duri-duri yang mengandung racun. Walau tidak mematikan tapi efek tergores jelatang bisa membuat pendaki menderita dalam rentang jam yang cukup lama. Perih, gatal ber-jam-jam harus rela di nikmati. Bagi yang fisiknya sedang kurang baik terkadang bisa menjadi demam.

Ketika menyebrangi sungai di Cisentor saya terpeleset, alhasil dari pinggang ke bawah saya basah kuyup. Apes! Dan sayapun terpaksa memakai sendal untuk melanjutkan pendakian. Kami memasak bubur kacang hijau dan roti untuk makan siang kali ini. Ramai sekali Cisentor, tidak ada ruang kosong. Cisentor ini merupakan titik pertemuan jalur Baderan dan Bremi. Pukul 12.30 tim melanjutkan pendakian menuju Rawa Embik. Jalur menuju Rawa Embik menanjak terus, boleh di bilang disinilah mulai terasa naik gunungnya. Dua hari sebelumnya kami banyak di beri bonus, tapi menuju Rawa Embik, bonus hanya sekali dua kali kami dapatkan. Stamina saya kendor di buatnya, berkali-kali saya harus berhenti sejenak untuk menarik nafas dan istirahat. 

Akhirnya pukul 14.15 kami tiba di Pos Rawa Embik. Pos ini merupakan tempat favorit saya di Argopuro. Begitu sunyi dan hijau. Dulu, banyak sekali babi hutan yang sering "mengganggu" tenda pendaki. Tapi seiring makin ramainya pendaki yang datang, babi-babi itu pun semakin jarang menampakkan diri. Kami sempat akan berubah rencana, yaitu akan meneruskan pendakian hingga pertigaan puncak, tapi setelah berpikir ulang, terutama tentang ketersediaan air akhirnya kami kembali pada rencana semula yaitu mendirikan camp di Rawa Embik. Ya, tim kami memang termasuk boros dalam menggunakan air, dan Rawa Embik adalah tempat sumber air terakhir yang bisa kami temui hingga ke Taman Hidup esok sore. 

Matahari belum juga tenggelam, tetapi dingin terasa sangat menusuk. Jam baru menunjukkan pukul 15.30. Ketinggian kami saat ini sekitar 2700 mdpl. Makin di rasa, dingin ini semakin menyiksa. Sebelum pukul 17.00 kami semua sudah menggunakan jaket. Sepertinya kami akan melewatkan malam yang panjang di bawah deraan udara dingin...sepertinya kami akan sangat sulit tidur. Benar saja, setelah selesai makan malam, kami segera masuk ke dalam tenda, memakai sleeping bag masing-masing dan saling merapatkan diri. Suasana menjadi hening padahal malam belum larut. Kami semua terdiam, berusaha melawan dingin yang luar biasa. Mata terpejam tetapi badan menggigil. Kaos lengan panjang, jaket windbreaker, dua lapis kaos kaki, buff, sarung tangan plus Dreamlite yang saya gunakan tak mampu menghalau dingin itu sedikitpun. Menapaki waktu detik demi detik berharap pagi segera menjelang membawa serta panas mentari untuk menghangatkan kami. Khusus esok hari saya memang menargetkan maksimal pukul 8.00 tim kami sudah angkat keril dari Rawa Embik. Itu berarti minimal kami harus sudah mulai berkemas sejak pukul 6.00. Membayangkan dingin beku esok hari membuat tubuh saya makin menggigil saja.

Pukul 5 pagi, hari ke-empat pendakian, tanggal 17 Mei, dengan melawan malas luar biasa saya menunaikan shalat subuh, di luar sudah terang, maklum ini di ujung timur Pulau Jawa. Irfan dan David juga sudah keluar tenda. Tak lama saya menyusul. Saya pun langsung berinisiatif untuk mulai berkemas. Yang pertama saya benahi adalah Flysheet bekas atap dapur kami semalam. Terasa keras dan kebas jari-jari tangan saya saat coba melepaskan simpul pengikatnya. Ternyata seluruh permukaan flysheet dan layer luar tenda terbungkus lapisan es. Pantas saja dingin yang kami rasakan begitu menyiksa, ternyata suhu udara sangat rendah, di bawah 0°C alias minus. Posisi Rawa Embik yang berada di lembahan memperpanjang derita kami sebab walau sudah terang tapi sinar matahari baru menyentuh kulit kami pukul 7.30. 

Selesai sarapan kami pun melanjutkan pendakian, hari ini target kami adalah menggapai ketiga puncak Argopuro. Dengan bergerak cepat kami berjalan menuju pertigaan puncak yang berjarak 60 menit dari Rawa Embik. Ubay sedikit keteteran, maklum saja dua jerigen air memenuhi kerilnya. Pukul 9.20 kami tiba di pertigaan puncak. Saya instruksikan teman-teman untuk menyusun dan menyimpan keril di titik yang di tentukan. Kami akan menuju Puncak Rengganis tanpa beban. 10 menit kemudian kami sudah dalam jalur pendakian Puncak Rengganis. Tanpa beban, Puncak Rengganis dapat di capai dalam waktu 15 menit saja. Tepat pukul 10.00 kami berhasil menjejaknya...Alhamdulillah...kurang lebih 15 menit kami menikmati suasana puncak sebelum kembali turun ke pertigaan. 

Puncak Rengganis ini terdiri dari 3 tahap, yang pertama semacam pekarangan, lalu di tahap berikutnya adalah makam / petilasan dan di titik tertinggi adalah Puncaknya. Puncak Rengganis ini memang teramat luas. Saya membayangkan bagaimana dulunya sewaktu tembok batu yang mengelilinginya masih utuh, pasti bangunan serupa istana ini sangatlah megah dan cantik. Ga habis pikir bagaimana bisa membangun istana di ketinggian seperti ini.

Pukul 10.30 kami kembali mengangkat keril untuk menuju titik tertinggi dataran Hyang yaitu Puncak Argopuro. Dulu, kebanyakan pendaki pasti mendaki ke puncak-puncaknya tanpa membawa beban. Umumnya barang bawaan mereka tinggalkan di tenda di area Cisentor, Rawa Embik atau maksimal pertigaan puncak sebab rute untuk turun  via Bremi harus melalui Cisentor kembali. Rute seperti itu pula yang dulu saya ikuti saat pertama mendaki Argopuro. Kali ini tim kami, berdasarkan saran dari porter-porter yang kami temui sebelumnya di perjalanan akan mencoba turun ke Bremi (Taman Hidup) melalui Puncak Arca. 

Sebenarnya matahari bersinar sangat terik tapi tidak terasa, dikalahkan hembusan udara dingin. Bahkan terjalnya jalur menuju puncak tidak membuat keringat kami bercucuran. Alhamdulillah pukul 11.00 kami semua berhasil berdiri di Puncak Argopuro. Setelah berfoto-foto, kami pun memutuskan untuk memasak makan siang di puncak ini. Masing-masing kami larut dalam kebahagiaan, perjuangan melelahkan selama empat hari terbayar lunas di Puncak Argopuro. Selang satu jam kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Arca / Hyang. 

Untuk menuju Puncak Arca kami tinggal menuruni setapak terjal di sebelah timur, menyusuri jalur sadel dan kembali naik. Jarak Puncak Argopuro dan Puncak Arca melalui jalur sadel ini hanya 10 menit saja. Kami tidak berlama-lama di Puncak Arca, hanya mengambil beberapa foto dan shalat dzuhur.

 Pukul 12.30 kami mulai turun untuk menuju Taman Hidup. Baik saya atau pun Ubay belum pernah melalui jalur ini sebelumnya, sehingga kami lebih berhati-hati dan memperhatikan kondisi jalur yg sempit, tertutup serta melipir pinggiran jurang. Sesekali kami berhenti untuk mengamati arah yang benar. 70% lintasan jalur ini menyusuri pinggiran jurang dan menurun terjal. Menurut informasi yang kami dapat dari para porter, jalur ini akan bertemu dengan jalur pendakian Bremi di sekitaran Cemara Lima. Ubay memperkirakan kami akan tiba di sekitaran Cemara Lima pukul 14.00. 

Kenyataannya, kami justru tidak menyadari kapan kami melewati area Cemara Lima sebab selepas lintasan jalur pinggiran jurang  tau-tau kami sudah masuk area Hutan Lumut yg vegetasinya sangat lebat dan gelap. Jam menunjukkan pukul 15.00 saat kami mulai masuk Hutan Lumut. "Cepat sekali udah sampe sini" batin saya. Ya, paling lama jarak Hutan Lumut dengan Taman Hidup hanya 1 jam saja. Saya membandingkan dengan jika turun ke Bremi melintasi Cisentor. Seandainya mulai turun dari Cisentor pukul 10.00 maka pukul 16.00 kami baru akan tiba di Hutan Lumut. Ini kami baru turun dari Puncak Arca selama 2,5 jam dan kami sudah tiba di Hutan Lumut, benar-benar potongan jalur yang menyingkat waktu. Tak heran juga, mengingat terjalnya jalur yang kami lewati, memotong lurus. 

Benar saja, pukul 16.00 kami akhirnya tiba di most visit shelter Argopuro yaitu Danau Taman Hidup. Setelah memilih lokasi yang aman dan nyaman kami pun mendirikan tenda. Pinggiran Danau Taman Hidup tidak bisa digunakan untuk mendirikan tenda sebab berupa rawa-rawa yang becek berlumpur serta beresiko banjir jika pas debit air danau bertambah dan naik. Taman Hidup memiliki keunikan selain keberadaan dangau mungil yang menjadi dermaga kecil, yaitu akan muncul kabut jika kita berteriak-teriak di pinggiran area danau. Menurut legendanya, danau ini merupakan tempat mandi dari Dewi Rengganis beserta dayang-dayangnya. Sayang, kondisi dangau yang menjadi ikon danau ini sudah rusak berat, belum lagi banyaknya sampah yang berserakan serta (maaf) kotoran dari manusia yang seperti tidak tau adab, di buang seenaknya tanpa memikirkan bahwa ini adalah area umum.

Jika malam sebelumnya kami kesulitan tidur akibat suhu dingin yang ekstrim, malam ini kami akan sulit tidur sebab ingin menikmati malam terakhir di Gunung Argopuro. Kami benar-benar menikmati hari terakhir ini dengan menghabiskan logistik yang masih tersisa. Bahkan hingga keesokan hari, sejak pagi kami tak henti memasak, mulai agar-agar, oseng-oseng, sambal, kopi, susu, teh manis hangat. Seluruh logistik kami habiskan untuk meringankan beban keril. Pukul 9.30, setelah berfoto bersama dan berdoa, kami mulai berjalan turun menuju basecamp Bremi yang berjarak 3 jam perjalanan untuk selanjutnya menuju Surabaya Pasar Turi. 

Alhamdulillah perjalanan kami mendaki Gunung Argopuro selama 5 hari 4 malam berlangsung dengan lancar, aman, sehat dan selamat hingga kembali pulang ke rumah. Terima kasih untuk kerjasama tim yang solid, informasi dari para petugas basecamp dan porter serta rekan-rekan yang kami temui dalam pendakian. Terakhir, terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberi kami kesempatan untuk menikmati keindahan ciptaanNya ini. Semoga selalu lestari alamku hingga anak cucu.

---------------------------------------
Mengutip ucapan kawan kami David :
"Jangan bicara Semeru, Kerinci ataupun Rinjani sebelum kau coba mendaki Argopuro!!"
----------------------------------------

Sampai bertemu di perjalanan selanjutnya ya...wassalam.
----------------------------------------

# Rincian Biaya dari Bogor (per orang) :
- St. Bogor - St.Pasar Senen Rp.15.000
- Tiket KA.Kertajaya Jakarta - Surabaya Ps.Turi Rp.90.000
- Travel Surabaya Ps.Turi - Besuki Rp.110.000
- Angkutan Besuki - Baderan Rp.20.000
- Simaksi Rp.20.000/D untuk hari kerja dan Rp.30.000/D untuk hari libur / tanggal merah.
- Sewa Elf Bremi / Surabaya Ps.Turi Rp.1.000.000 (bisa 10-12 org).
- Tiket KA.Kertajaya Surabaya Ps.Turi- Jakarta Ps.Senen Rp.90.000
- Jakarta Ps.Senen - Bogor Rp.15.000.


#Rangkuman Perjalanan :
Tanggal 13 Mei 2015
10.00            : Kumpul di St.Bogor
10.00-13.30: Otw St.Pasar Senen
13.30-14.00: Boarding KA.Kertajaya
14.00-01.40: Otw Surabaya Ps.Turi

Tanggal 14 Mei 2015
01.40-02.00: Loading keril ke Elf carteran
02.00-06.30: Otw Besuki
06.30-07.30: Belanja Logistik
07.30-09.15: Otw Baderan
09.15-10.30: Urus Simaksi, sarapan dan final check
10.30-18.00: Otw Pos Mata Air I
18.00-09.30: Buka camp

Tanggal 15 Mei 2015
06.30-09.30: Sarapan n packing
09.30-10.50: Otw Pos Mata Air II
10.50-12.15: Break, makan siang
12.30-13.30: Otw Sabana Kecil
13.30-14.30: Otw Sabana Besar
14.30-15.20: Otw Cikasur
15.20-09.30: Buka camp

Tanggal 16 Mei 2015
06.30-09.30: Sarapan n packing
09.30-11.00: Otw Cisentor
11.00-12.30: Break, makan siang
12.30-14.15: Otw Rawa Embik
14.15-08.00: Buka camp

Tanggal 17 Mei 2015
06.00-08.00: Sarapan n packing
08.15-09.20: Otw Pertigaan Puncak
09.20-09.35: Break, simpan keril
09.45-10.00: Otw Puncak Rengganis
10.00-10.10: Enjoy Rengganis
10.10-10.20: Turun ke pertigaan puncak
10.25-11.00: Otw Puncak Argopuro dg keril.
11.00-11.45: Enjoy Puncak Argopuro n makan siang di puncak.
11.45-12.30: Otw Puncak Arca
12.30-16.00: Otw Taman Hidup via Puncak Arca.
16.00-09.30: Buka camp

Tanggal 18 Mei 2015
06.30-09.30: Sarapan n packing
09.30-12.30: Otw Bremi
12.30-14.00: Bersih-bersih n istirahat di basecamp Bremi
14.00-19.00: Otw Surabaya Ps.Turi
19.00-21.00: Santai di stasiun
21.00-09.00: Otw Jakarta Ps.Senen

Tanggal 19 Mei 2015
09.00-11.00 : Naik Commuter Line ke Bogor
11.00             : Sayonara...see you in the next trip.

#Nomor Telepon Penting :
1. Mas Samhaji (Baderan): 081234591445
2. Pak Arifin (Bremi): 085204941082
3. Pak Rahmat (Elf): 085257787074
4. Dieng Travel : 082229252575 / 08113430086





Terduduk lelah di pinggir sumber air Pos Rawa Embik (hari ketiga, 16/5/2015). 


Basecamp Pendakian / Perijinan Jalur Bremi (Rumah Bp.Arifin, 18/5/2015)


Menikmati beku nya Danau Taman Hidup di pagi hari (hari kelima, 18/5/2015)


Saya selalu suka dengan view ranting pohon berlatar bersihnya langit biru (hari keempat, 17/5/2015)


Puncak Ketiga yg berhasil kami gapai siang itu, (17/5/2015)


Berpose di sebelah Arca yg telah lenyap kepalanya, Puncak Arca / Hyang, 17/5/2015


Jalur Penghubung / Sadel antara Puncak Argopuro dan Puncak Arca, 17/5/2015.


Mahameru mengintip di arah selatan, foto diambil di tengah2 jalur penghubung Argopuro dan Arca.


Empat hari mendaki demi tempat ini, Puncak Argopuro, 17/5/2015.


Petilasan Dewi Rengganis, berbentuk makam. 17/5/2015


Gunung Raung memanggil di sebelah timur Rengganis, 17/5/2015.


Dupa-dupa dan sesajen di titik tertinggi Puncak Rengganis. 17/5/2015


Tempat favorit untuk nge-camp di Cikasur. 15/5/2015


Rehat sejenak dalam perjalanan menuju Pos Mata Air I. 14/5/2015


Teriknya matahari membuat kami break berkali-kali. 14/5/2015


Mejeng dulu sebelum nanjak. 14/5/2015


Pendopo di Alun-alun Besuki, pinggir jalan raya utama Situbondo. 14/5/2015


Lengangnya jalanan pantura di pagi hari. 14/5/2015.


Berhenti dulu untuk berfoto di depan PLTU Paiton . 14/5/2015


Saya di PLTU Paiton Probolinggo, 40 menit menjelang Besuki. 14/5/2015.




Sunrise Taman Hidup. 18/5/2015


Bongkar tenda, packing, pagi itu di Pos Rawa Embik. 17/5/2015


Lebatnya vegetasi Argopuro saat turun ke Taman Hidup via Puncak Arca. 18/5/2015.


Ubay memegang pecahan es di Rawa Embik. 17/5/2015


Sunset di Taman Hidup. 17/5/2015


Dangau ikon Taman Hidup, kondisinya sudah rusak parah. 18/5/2015


Inilah penampakan si Jelatang alias pohon neraka. Pic by: Ubhay


Sangar bentuknya, sesangar efeknya -_-. Pic by: Ubhay


Tim kami di Danau Taman Hidup. 18/5/2015. Pic by: Ubhay


Kami di puncak Argopuro 3088 mdpl. 17/5/2015. Pic by: Ubhay


Foto bersama bareng pendaki lain sebelum pulang. Basecamp Bremi. 18/5/2015. Pic by: Ubhay


Tim kami pagi itu di Cikasur. 16/5/2015. Pic by: Ubhay


Ini nih jejak bekas ban motor yg bikin susah pendaki untuk melangkah, apalagi setelah hujan. Pic by: Ubhay


Rimbun dan tingginya ilalang nyaris menutupi jalur. Pic by: Ubhay


Pemandangan selepas jalur makadam. Hari pertama pendakian. Pic by: Ubhay
Awal masuk Hutan Lumut, 18/5/15.


Bebatuan terjal yg eksotis dalam perjalanan menuju Taman Hidup. 17/5/15.


Menuju Rawa Embik. 16/5/15


Menuju Puncak Rengganis . 17/5/15


Menuju Puncak Argopuro. 17/5/15


Reruntuhan pagar batu di Puncak Rengganis. 17/5/15


Lautan awan di bawah Puncak Rengganis. 17/5/15


Sunrise Cikasur. 16/5/15


Saya di Sabana Kecil. 15/5/15


Pos Mata Air II. 15/5/15


Arca yg sudah hilang kepalanya. ,17/5/15.