Kamis, 07 Januari 2016

Kepingan Surga itu bernama Sindoro (3153mdpl)


 

         Gunung Sindoro 3153 mdpl


Jumat siang itu panas menyengat sekali, saya tahu sebentar lagi akan turun hujan. Sebagai orang yang lahir dan besar di Kota Hujan (Bogor) tentunya saya hafal gejala-gejala jika hujan akan turun. Seperti hari ini, begitu kontras perubahan suhu yang di rasakan oleh kulit saya saat keluar dari gerbong ber-AC Commuter Line dan berjalan menyusuri peron Stasiun Pasar Senen. Sebentar saja saya sudah mandi keringat...selain saya berlari dengan menyandang cariel, saya juga memang agak tergesa karena jadwal keberangkatan kereta Krakatau yang akan saya naiki tinggal 10 menit lagi. Setelah tiket saya di stempel di boarding pass saya segera menuju gerbong 5 seat 4C. Saya sempat kesulitan menyimpan Cariel saya di bagasi atas penumpang, setelah saya paksa barulah cariel saya bisa masuk. Terlambat 30 menit dari jadwal yang seharusnya, tepat jam 13.00 pelan tapi pasti kereta mulai bergerak meninggalkan Jakarta.

Duduk didepan saya 2 orang laki-laki...yang satu saya taksir berumur awal 50-an sedangkan disebelahnya sekitar 65 tahun. Seat disebelah saya kosong...hehe...lumayan bisa nyelonjornih. Tak banyak yang kami bisa bicarakan dalam perjalanan kecuali pertanyaan standar macam "dari mana?" "Turun mana?"...selebihnya asyik dengan gadget masing-masing.
Singkat cerita kurang lebih jam 21.20 saya tiba di Kutoarjo. Kota ini memiliki banyak sekali kenangan dalam hidup saya, tapi saya tidak akan bercerita tentang itu kali ini. Saya melangkah santai sambil menyapu setiap sisi bangunan stasiun dengan pandangan mata yang kuyu akibat kurang tidur dan demam. Niat mendaki Sindoro memang tidak masuk dalam agenda saya, justru yang sudah menjadi agenda (ke Kerinci di bulan April lalu) malah gagal karena saya harus menyelesaikan beberapa kontrak dengan konsumen. Ya, Sindoro memang agenda dadakan, penyebabnya saya sedang iseng buka FB, lihat-lihat postingan di grup pendaki ada open tripke Sindoro yang di adakan oleh PPGP / KPGP Pekalongan. Tanpa pikir panjang---saat itu H-3---saya bicara dengan istri, minta ijin untuk ikut. Alhamdulillah istri mengijinkan dan jadilah sekarang saya berada di Kutoarjo, persinggahan sementara sebelum melanjutkan perjalanan ke Wonosobo.

Di Kutoarjo saya bermalam dirumah seorang kenalan yang terletak tidak jauh dari stasiun. Saya masih disambut dan dijamu dengan baik padahal sudah lebih dari 9 tahun saya tidak silaturrahim. Itulah hebatnya brotherhood antar pendaki. Beliau saya kenal saat sama2 mendaki Merbabu di akhir tahun 2004. Setelah puas melepaskan kangen saya pamit istirahat. Tak lupa sebutir antibiotik saya telan untuk meredakan demam dan tak lupa men-charge gadget-gadget yang saya bawa. Pagi-pagi saya bangun, mandi dan berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Tepat jam 7.30 saya meninggalkan Kutoarjo untuk menuju Purworejo dimana nanti saya akan berganti kendaraan dengan bus kecil tujuan Wonosobo.

20rb rupiah adalah nominal yang harus saya bayar untuk mencapai kota Wonosobo. Mata saya sempat melihat plang bertuliskan Kepil saat saya menyerahkan ongkos pada kernet bus yang saya tumpangi. Dari Kepil ini tampak jelas "kakak beradik" Sindoro dan Sumbing berdiri gagah di sebelah kanan jalan. Pemandangan yang mampu mengalihkan saya dari demam yang makin terasa. Sontak saja imajinasi saya langsung bermain dengan pertanyaan dan khayalan tentang pendakian nanti. 
Ini memang pengalaman pertama saya mengikuti open trip dengan orang-orang yang belum pernah saya kenal. Bahkan, sebenarnya, rencana dadakan saya ini bukan ke Sindoro melainkan ke Cikuray Garut. Ada kawan kenalan di KPK Jakarta Barat yang mengajak sekaligus juga membatalkan. Wahyu namanya, saya pikir dia seumuran saya...tapi sudahlah bukan hal penting juga membahas usia. Akhirnya malah berbalik saya yang mengajak Wahyu ke Sindoro. Ajakan saya diterima dan kami sepakat bertemu di Wonosobo. Setelah Wahyu setuju bergabung segera saya konfirmasi ke pihak PPGP untuk urus registrasinya. CP pihak PPGP yang komunikasi dengan saya namanya Agus. Ikon messenger-nya hati, jadi saya ga punya bayangan seperti apa mas Agus ini, bahkan berapa orang yang ikut selain saya dan Wahyu pun saya ga tau. Bagi saya, kalo batal sekalipun saya akan tetap naik toh menjadi soloist bukan barang baru lagi bagi saya. Salak, TNGGP, Lawu, Arjuno saya kunjungi dengan solo.

Lamunan saya terhenti bertepatan dengan berhentinya bus di terminal Mendolo Wonosobo. Saya sandang cariel dan berjalan menuju meeting point yang saya sepakati dengan Wahyu. Ga butuh waktu lama ,setelah kami bertemu segera perjalanan kami lanjutkan dengan bus kecil jurusan Dieng. Berdasarkan informasi dari mas Agus kami akan bertemu di pertigaan Tambi jam 14.00. Selama perjalanan menuju Tambi saya dan Wahyu asyik ngobrol hingga tak terasa kami malah sudah terlewat dari Tambi jauh sekali. Konyol...sok tau dan sok cool padahal kami belum pernah melintas jalur ini sebelumnya. Beruntung kami diberi tau seorang penumpang berseragam pramuka. Segera kami turun dengan di iringi tatapan "aneh" daribpenumpang bus dan penduduk dilokasi kami turun. Mungkin mereka mikir "ini orang bawa-bawa cariel mau kmn?" Perlu diketahui kami turun di perkebunan warga, jadi memang tampak aneh saat warga menyandang pacul kami menyandang cariel...hehe.
Bagusnya ga lama kemudian datang bus dari arah berlawanan, kami stop dan naik, jadi kami ga perlu berlama-lama menghadapi tatapan aneh dari warga sekitar kami. Kali ini ga lupa kami titip pesan sama kernet supaya diturunkan di Tambi (antisipasi kebablasan lagi).

      Gapura masuk Tambi (10/5/14)


Saat saya sedang asyik mengambil foto lokasi Tambi datanglah rombongan PPGP menggunakan mobil bak L300. Saya berkenalan langsung dengan Mas Agus. Lalu cariel saya naikkan dan saya beserta Wahyu bergabung dengan rekan-rekan yang lain. Saat saya sedang mencari posisi yang steady bahu saya ditepuk oleh rekan pendaki disebelah saya. "Ini bang Kukuh yang di KPK ya?"...saya tatap matanya lalu saya angsurkan tangan untuk berjabat..."Kukuh" ucap saya, " Tomy" balas rekan tersebut. Bertambah lagi nama kawan untuk saya save di otak kanan dalam kepala saya. Tak lama setelah saya bergabung naik, mobil pun tancap gas menyusuri jalan aspal yang mulai rusak. Guncangan demi guncangan membuat badan kami limbung ke kanan dan kiri. Basecamp rumah Bpk.Amin pun kami lewati alias ga laporan mau ndaki...(jangan ditiru ya). 5km sejak pertigaan, mobil tiba2 berbelok kekanan, ban meninggalkan aspal untuk beradu dengan susunan batu mentah. Semakin lama deru mesin terdengar semakin payah...akhirnya beberapa dari kami terpaksa turun untuk meringankan penderitaan si mobil. Saya sih ga turun...hehe...males bo!...hijaunya kebun teh di kiri dan kanan jalan seperti menghipnotis mata saya agar malas dan mengantuk. Tapi walau bagaimana saya tetap mengabadikan beberapa momen dengan Canon yang saya bawa. Termasuk saat kami packing dan memulai persiapan mendaki. Dengan menumpang mobil ini hingga pos III kami menghemat tenaga untuk berjalan selama 2 jam. Lumayan jadi lebih cepat. Jika rekan pendaki datang dengan angkutan umum reguler, begitu turun di pertigaan Tambi bisa menumpang ojeg dengan ongkos 25-30rb untuk sampai di pos III ini.

Bergaya sebelum mendaki (10/5/14)

Posisi kami berada saat ini adalah pos 3, sebuah bedengan tempat berkumpul pemetik teh. Bangunan semi indoor ini terbuat dari besi dan terlihat sangat tidak terawat. Atapnya sudah banyak berlubang, tiang-tiang penyangganya pun sudah berkarat nyaris diseluruh bagian. Bedengan ini cukup besar, kira2 berukuran 7 x 9 meter. Mas Purwo, Agus dan Aji selaku leader trip mulai memberikan pengarahan di sela-sela kegiatan kami bersiap-siap. Di mulai dengan pembagian matras dan sleeping bag dan di akhiri dengan pembagian jatah makanan. Saya memperhatikan para peserta, saya amati, mencoba-coba untuk mengukur kekuatan masing-masing saat mendaki nanti. Dalam trip ini ada 3 orang wanita yang baru saya tau namanya saat perjalanan pulang, yaitu Desita, Farida dan Gladys. Saya liat kemungkinan yang akan lemah adalah Desita, sebuah penilaian tanpa metode yang kuat ...hanya melihat postur dan gestur. Sebab pada kenyataannya kelak justru Desita yang lebih dulu tiba di puncak bahkan jauh meninggalkan saya. Di luar 3 wanita itu saya liat kebanyakan rata-rata saja fisiknya. 
Sore menjelang, adzan ashar baru saja berlalu, kabut mulai menyelimuti pos 3 daaan...tetes demi tetes air hujan mulai turun. Saya sempat berpikir ini hanya butiran air yang terbawa kabut...tapi rupanya memang benar gerimis. Akhirnya sambil menunggu cuaca kondusif kami berfoto-foto sejenak.

Foto bersama sebelum mendaki di Pos III (10/5/14)

 Alhamdulillah jam 16.15 gerimisnya reda dan kami bergegas berdoa untuk selanjutnya mulai mendaki. Tepat jam 16.30 kami mulai bergerak beriringan mendaki. Sebelum jalan saya menyempatkan mengambil gambar puncak Sindoro yang berselimut kabut tipis.

Trek awal pendakian (10/5/14)

30-60 menit awal kami masih berjalan dengan cukup rapat, dengan trek tanah berundak-undak kami langkahkan kaki menyusuri perkebunan teh. Seluruh logistik pribadi saya di bawa oleh Wahyu termasuk air. Saya hanya mengantongi 1 botol minuman penambah ion tubuh yang isinya tinggal 3/4 saja, mungkin tinggal bersisa 300-350 ml lagi. Oh iya, mengenai air ini saya sempat terkejut juga setelah mendengar penjelasan mas Aji bahwa trek Tambi ini sampai ke puncak tidak ada satu sumber air pun yang akan ditemui. Bukan apa-apa, ketidak tahuan saya tentang medan membuat saya hanya membawa 2 botol air mineral volume 600ml. Di tambah saya pernah nyaris mati di Ciremai tahun 2001 gara2 kehabisan air membuat saya menjadi waswas. Dengan tetap merasa tidak tenang saya teruskan melangkah mengikuti rekan-rekan yang lain.

Trek selepas kebun teh, Tomy di belakang saya (10/5/14)

Saya tidak hafal urutan dan posisi masing-masing saat kami berjalan mendaki. Yang saya ingat saya termasuk kelompok yang berjalan paling belakang bersama dengan mas Agus, Purwo, Wahyu, Tomy, Farida dan Gladys.  Kemiringan trek yang langsung dikisaran 45° membuat kondisi badan rata-rata dari kami "kaget". Saat itu jam 17.00...komposisi urutan pendaki masih belum banyak berubah. Yang terdepan tetap 2 orang porter gagah perkasa, padahal dipunggungnya bertengger cariel 100lt full tenda dan logistik. Bagusnya posisi saya jauh dari porter jadi saya ga perlu bertambah drop secara psikis karena melihat mereka berjalan seolah tanpa beban. Jam 17.30 posisi saya mulai menjauh dari para sweeper. Saya sempat agak terpisah berjalan diluar trek, tepatnya saya berjalan di jalur sebelah kiri, kira-kira 20 meter dari trek yang seharusnya. Saat menyadari kondisi seperti ini bisa membahayakan apalagi matahari sudah terbenam saya segera potong kompas berjalan menyilang menuju trek yang seharusnya. Akibatnya energi saya terkuras banyak demi kembali ke "jalan yang benar". Ampun...ga lagi-lagi deh nrabas-nrabas jalur.

Jam 18.30...matahari sudah kembali ke peraduannya setelah saya abadikan beberapa gambarnya.

Matahari terbenam 2600 mdpl (10/5/14)

 Posisi saya sekarang mungkin pendaki ke enam atau tujuh dari belakang. Didepan saya yang terdeteksi Wahyu, Rofiq, Bisri, Aris dan Yaksa, dibelakang saya yang terlihat hanya Tomy, dugaan saya masih ada 5 orang lagi dibelakang Tomy. Selepas maghrib fisik saya semakin turun, angin juga mulai agak kencang. Satu persatu kilatan cahaya senter / headlamp mulai terlihat. Saya tidak menyalakan senter sebab pancaran sinar bulan sangat terang sehingga memudahkan saya melihat jalur, hitung-hitung ngirit batre. Saya memperkirakan ketinggian saat ini 2500-2600 mdpl. Sempat saya jumpai ada 2 tenda yang berdiri beberapa puluh meter di bawah. Rombongan dari Pekalongan dan Tangerang. Saya sempat bertanya apakah puncak masih jauh, salah seorang dr mereka bilang kira-kira 2-3 jam lagi. Dan saya pun percaya begitu saja.

Sudah 1,5 jam sejak lewat tenda tadi saya masih belum juga menemukan tanda-tanda akan tiba dipuncak, justru kondisi trek semakin curam. Saya pun semakin payah dan lelah. Saat saya sedang beristirahat Tomy melewati saya. Jam 19.30 rekan sependakian yang berasal dari Pekalongan---sejak awal mereka selalu berkelompok sendiri---berhasil saya susul karena mereka sedang beristirahat sambil makan. Selang 30 menit kemudian gantian mereka nyusul saya...hehe...baru nge-charge energi sih. Biarlah...saya tetap berjalan lambat seperti semula. Tapi 15 menit kemudian salah seorang dari mereka terjongkok muntah-muntah dan pada akhirnya setelah saya melewati saya baru tau jika rekan yang sakit itu tidak mampu melanjutkan pendakian dan terpaksa di "titipkan" di tenda kedua yang kami temui dalam pendakian.

Jalur pendakian yg "aduhai" (11/5/14)Trek tanpa bonus...mantap!!!  (11/5/14)

Saya sempat berhenti istirahat cukup lama karena kepala mulai pusing, air yang saya bawa hanya bersisa 3-4 teguk lagi. Angin yang semakin kencang memaksa saya untuk memakai sweatersebagai pelapis kaos yang saya gunakan. Lumayan, setelah memakai sweaterbadan menjadi lebih nyaman walau sakit kepala tidak hilang. Saya lanjutkan langkah-langkah pendek saya yang sependek jarak pandang mata. Bulan sudah melewati ubun-ubun, jam saya menunjukkan angka 22.00. Tenaga sudah habis dan saya ga tau apakah sudah dekat puncak atau belum. Memang ada teriakan-teriakan dari atas yang bilang "puncak-puncak"...entah berapa kali tapi tidak saya hiraukan. Saya sudah terlalu lelah untuk menerima "janji palsu". Saat saya sudah pasrah, muncul Iwan dari belakang saya, bertanya..."bang puncak udah dekat belum?"..."30 menit lagi lah kalo pake ukuran jalan saya"...saya jawab sekenanya saja. Setelah mendengar jawaban saya Iwan bergegas melewati saya dan berjalan cepat sekali ke atas. Saya membatin "haddeeuh...gw udah mau tepar dia malah jalannya cepat banget".

Rupanya jawaban asal-asalan saya ke Iwan dikabulkan Allah, tidak sampe 30 menit akhirnya kaki saya menjejak bidang datar...melangkah 10 meter saya pun ambruk kelelahan tepat disamping tenda yang entah rombongan dari mana. Beberapa menit lamanya saya terbaring di atas rumput menatap langit, mencoba mengatur ritme nafas yang tersengal-sengal. Alhamdulillah, akhirnya saya sampai juga  di alun-alun Gunung Sindoro. Rasa mual dan pusing yang semakin terasa membuat saya makin merasa enggan untuk bangun dan mencari rekan-rekan  yang lain. Ya, saya memang belum tau dimana posisi tenda di buka. Berbekal ingatan saat membaca itinerary dari PPGP saya paksakan bangun dan berjalan menuju ke arah yang saya duga puncak tertinggi. 

 

Lokasi camp kami (11/5/14)

Di alun-alun yang luas ini banyak berdiri tenda yang sepertinya serupa, saya sedikit kehilangan orientasi, ga mau ambil resiko nyasar saya putuskan bertanya kemana arah puncak tertinggi. Setelah mengetahui arah, entah kenapa hati saya ga mengijinkan untuk menuju puncak melainkan kembali berbalik arah ke posisi awal tadi. Feeling saya rupanya benar, rekan-rekan PPGP membuka tenda di titik yang saya duga. Alhamdulillah, ga berlama-lama saya segera memasuki salah satu tenda untuk beristirahat dan menghangatkan badan. 

Belum genap 2 jam saya merebahkan badan, rasa mual saya ga tertahan lagi dan dengan terpaksa saya keluar tenda dan jackpot a.k.a muntah. Tidak ada yang keluar selain air, perut saya benar-benar kosong dan dikosongkan paksa. Selesai mengosongkan perut saya kembali ke tenda. Jam sudah menunjukkan pukul 1.00, tanggal 12 Mei 2014. Saya tidak bisa melanjutkan tidur walau badan saya sudah terasa lebih baik pasca jackpot. Akhirnya saya ngemil saja. Rupanya rekan-rekan setenda yang lain juga terbangun dan ikut ngemil bersama saya. Saya perhatikan siapa-siapa saja yang ada dalam tenda ini. Rofiq, Bisri, Wahyu dan Yaksa. Hehe...saking hilang orientasi saya sampai ga tau setenda dengan siapa saat pertama masuk. Kira-kira jam 2 lewat kami melanjutkan istirahat.

Plang Puncak Sindoro (11/5/14)

Jam 5 subuh kami semua terbangun...bersiap-siap menyambutsunrise. Alhamdulillah walau semalaman angin bertiup kencang tapi cuaca pagi ini cerah sekali. Sambil bersiap menunggu momen sunrise kami memasak energen untuk mengisi tenaga kami. Jam 5.30 kami bersama-sama dengan rekan-rekan yang lain bergerak menuju puncak tertinggi yang berjarak kurang lebih 10 menit dari posisi tenda. Tidak lama setelah kami tiba dipuncak momen yang kami tunggu pun datang...tepat jam 5.50 dari garis horison muncullah mentari pagi...yup...sunrise...lebih tepatnyaperfect sunrise n golden sunrise. 

Golden Sunrise Sindoro (11/5/14)

Menjelang fajar di puncak Sindoro (11/5/14)

Berturut-turut : Sumbing, Merbabu, Merapi dan Lawu (11/5/14)

Seketika lenyaplah rasa lelah yang mendera saya selama 24jam terakhir. Candu ini kembali bereaksi terhadap tubuh saya...candu yang menimbulkan euforia luar biasa dalam jiwa saya. Jawaban atas kecintaan saya yang begitu besar pada kegiatan mendaki gunung. Saya amati senyum-senyum yang menghiasi kawan-kawan sependakian...kawan-kawan yang menjadi saudara dan sahabat dalam perjalanan ini. Saya yakin dalam pikiran mereka masing-masing terlalu banyak kata yang tak bisa diungkap akibat euforia ini. Dan akhirnya hanya senyum dan teriakan bangga yang mewakili ekspresi.

Terima kasih Ya Allah...masih Kau beri kesempatan untuk menikmati keagungan ciptaanMu yang luar biasa ini.

Terima kasih kawan-kawanku sependakian yang ga bisa saya sebut satu persatu...saya senang bisa kenal dan mendaki bersama kalian.

Terima kasih Sindoro 3153 mdpl untuk pelajaran tentang kebersamaan dan perjuangan. Semoga selalu terjaga keindahanmu untuk anak cucuku kelak.

Pendakian Sindoro 3153 mdpl jalur Tambi Wonosobo. 10-11 Mei 2014.

Kawah Sindoro 3153 mdpl (11/5/14)

More info :
BB : 745565CE
WA only : 08111181225
E-mail : cliff.klie@gmail.com

A. Akses dan Transportasi

#Via Kereta : 

1. Dari Jkta turun di Purwokerto

2. St. Purwokerto - Terminal Bus Purwokerto, dengan angkot Rp. 5-6K

3. Term. Purwokerto - Term.Mendolo Wonosobo dengan bus besar Rp.25-30K

4. Terminal Mendolo Wonosobo - Dieng (minta turun di Tambi) dengan bus 3/4 Rp.8k

5. Gerbang Tambi - Pos 2 dengan ojek Rp. 25-30k

#Via Bus

1. Dari Bogor atau Jakarta naik bus Sinar Jaya Eksekutif jurusan Terminal Mendolo Wonosobo Rp.115k

2. Terminal Mendolo Wonosobo - Dieng (Tambi) Rp.8k

3. Selanjutnya ikuti langkah di atas.