Kamis, 10 Maret 2016

Air Terjun Tirta Kemantin

Perjalanan saya ke Tirta (air terjun) Kemantin awalnya sama sekali tidak terencana. Saat itu saya bersama seorang teman baru saja turun dari mendaki Gunung Raung. Kami tiba di basecamp pendakian lewat tengah hari. Karena tiket pulang masih esok hari, jadilah kami harus menginap di basecamp untuk satu malam lagi.

Sambil beristirahat kami ngobrol bertukar cerita. Di sela obrolan, guide pendakian kami menawarkan untuk jalan-jalan ke air terjun pengantin, karena opsi tawaran pertama untuk ke Ijen melihat blue fire terpaksa kami tolak akibat keterbatasan waktu. Setelah melihat masih ada cukup waktu, kami pun mengiyakan ajakan guide tersebut.

Singkatnya pukul 8.40, dengan menaiki dua motor, kami berangkat menuju lokasi. Motor melaju ke arah utara, arah yang sama dengan jalur pendakian Gunung Raung. Ternyata hanya memerlukan waktu lima menit untuk mencapai area parkir air terjun dari basecamp ibu Suto.

Kondisi area parkir masih seadanya, tidak ada pagar ataupun pembatas. Lahannya pun masih tanah. Setiap pengunjung yang datang di kenakan biaya Rp.2500,- untuk parkir dan Rp.2500,- untuk tiket masuk. Dari tempat parkir gemuruh suara air terjun sudah terdengar.

Tak sabar, saya dan Wilco pun segera mengikuti Arif dan Rijal (guide sekaligus kawan) berjalan turun menapaki anak tangga yang juga dari tanah. Teduh pepohonan yang menghijau membuat suasana semakin sejuk. Lima menit kemudian kami tiba di pelataran dasar area air terjun.

Terdapat bangunan shelter dari kayu. Ada juga lantai bekas bangunan yang sudah hilang atapnya. Bahkan ada juga kolam kecil tidak berair---mungkin tadinya diperuntukkan untuk anak kecil bermain. Air yang jatuh melimpaskan butiran-butiran halus serupa embun, menciptakan titik-titik air yang membasahi kulit.

Di musim penghujan seperti ini, debit air terjun memang sangatlah besar. Saya takjub memandangi, mata saya menyapu mulai dari kolam dasar hingga puncak aliran. Lidah air berlarian tiada henti. Aliran yang menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar. Keunikan air terjun ini adalah terdapat dua jalur aliran yang bersebelahan, seperti kembar. Mungkin inilah asal muasal penyebutan Tirta Kemantin, karena ada dua aliran, seperti berpasangan.

Air terjun ini, menurut keterangan guide kami, baru populer di kalangan masyarakat lokal saja. Padahal letaknya tidak begitu jauh dari kota (stasiun Kalibaru). Di luar berbagai macam keterbatasannya, saya sangat mengapresiasi usaha warga yang secara swadaya terus mengembangkan lokasi air terjun ini menjadi lokasi wisata bernilai jual tinggi.

Jika saja saya masih punya banyak waktu, mungkin saya akan mendirikan tenda dan berkemah disini, menikmati hingar deru airnya.  Meski keinginan berkemah tidak terlaksana tapi secara pribadi saya merasa beruntung bisa berkunjung kesini, menjadi saksi keindahannya yang sederhana. Semoga ke depannya keberadaan Air Terjun Tirta Kemantin ini tidak hanya menjadi sumber air saja, tetapi juga bisa menjadi penopang kehidupan ekonomi warga. Selalu terjaga kebersihan dan kelestariannya.