Kamis, 06 Oktober 2016

Binaiya Itu...Memang Beda!!

berdiri ki-ka : saya, Rizky, Andy, Sylvi, Herni dan Ading. duduk ki-ka : Margie, Afri dan Yanstri

"Satu kali kamu berdiri dipuncak gunung, kelak setiap kali bepergian kamu akan selalu mencari tempat-tempat yang tinggi bernama puncak. Karena kamu pernah berada disana, tahu bagaimana rasanya dan kesanalah kerinduanmu akan selalu tertuju. Binaiya hanyalah satu dari seribu nama itu." K2 2-6 Oktober 2016
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal 30 September 2016
Suasana airport Soetta sudah mulai lengang saat satu persatu anggota tim berdatangan ke Terminal 1A, sebagai meeting point yang telah disepakati. Hari itu, Jumat malam, kami bersembilan akan bersama-sama menuju Maluku untuk mendaki Gunung Binaiya. Pesawat kami baru akan take off pukul 1.30 dinihari tanggal 1 Oktober. Sambil menunggu waktu untuk check in dan boarding, kami pun berdiskusi tentang rundown perjalanan. Maklum saja, sebelumnya kami memang tidak mempunyai waktu khusus untuk berkumpul membahas pembagian tugas dan hal-hal yang berkaitan dengan pendakian. Ditambah lagi mayoritas dari kami belum saling kenal. Yang kami tau, kami sama-sama ber-status para pemburu Indonesian Seven Summit. Mayoritas dari kami sudah mengantongi 4 puncak tertinggi di Indonesia.

7 puncak tertinggi di Indonesia itu adalah :
1. Kerinci 3805 mdpl di P. Sumatra
2. Semeru 3676 mdpl di P. Jawa
3. Rinjani 3726 mdpl di Kep. Nusa Tenggara
4. Latimojong 3478 mdpl di P. Sulawesi
5. Binaiya 3027 mdpl di Kep. Maluku
6. Bukit Raya 2278 mdpl di P. Kalimantan
7. Cartenz Pyramid 4884 mdpl di Papua


Check in tengah malam

Ya, kami memang baru saling kenal via medsos saja sebelumnya, sehingga pembagian tugas pun kami atur via medsos juga. Setelah selesai membahas rundown, kami pun bergegas untuk check in.
Setelah sedikit tertunda, pesawat yang kami tumpangi akhirnya take off pukul 2.00. Saya pribadi tidak bisa menikmati perjalanan selama 4 jam tersebut karena sakit kepala yang luar biasa tiba-tiba menyerang. Hanya pemandangan Maluku yang indah menjelang landing yang bisa  mengurangi sedikit rasa sakit kepala ini.

Tanggal 1 Oktober 2016
Selesai bongkar bagasi, kami pun mencari guide kami yang bernama Alif Hatapayo dari Shelter Expedition. 2 buah mobil tipe minibus sudah disiapkan oleh Alif untuk menjemput dan mengantar kami menuju Pelabuhan Tulehu yang berjarak sekira 50 menit dari airport. Supir kami memacu mobil karena mengejar jadwal kapal cepat pukul 9.00 menuju Amahai. Jadwal keberangkatan kapal cepat ini hanya 2 kali sehari.

Port Tulehu pagi itu

Kapal Cepat yg kami naiki...keren ya

Desak-desakan di dalam kapal cepat

Dekil bin kumel...tumpuk-tumpuk campur barang bawaan

Alhamdulillah kami tidak ketinggalan kapal, setelah membeli tiket seharga 115 ribu per orang kami pun masuk dan menyimpan barang-barang bawaan kami ke ruangan di bagian bawah yang ber-AC. Meski namanya kapal cepat express, tetapi tetap saja manifest-nya over. Banyak penumpang yang duduk berjejalan di lorong-lorong, berbaur dengan pedagang kopi dan mie yang lalu lalang. Badan yang lelah membuat kami tak lagi peduli dengan kenyamanan, yang penting kami bisa sampai tujuan.

Setelah transit 30 menit di Pelabuhan Tuhaha, pukul 11.50 kami pun tiba di Pelabuhan Amahai. Amahai ini merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Masohi, Maluku Tengah. Setiap pendaki yang akan menuju Binaiya pasti datang melalui pelabuhan ini.

Tujuan kami berikutnya adalah kantor Taman Nasional Manusela di kota Masohi. Untuk berhemat, kami pun menyewa satu angkot dengan tarif 20 ribu rupiah per orang. 15 menit kemudian kami pun tiba di kantor Taman Nasional untuk mengurus perijinan dan lain-lain.

Rupanya, di depan kantor Taman Nasional telah menunggu juga dua mobil yang akan kami gunakan untuk menuju desa Piliana --- titik awal pendakian.
Karena kami datang di hari Sabtu, maka kami harus menunggu petugas Balai datang. Selayaknya instansi pemerintah, sabtu minggu adalah hari libur. Beruntung saya sudah meng-apply surat permohonan ijin mendaki Binaiya sejak satu bulan sebelumnya. Selain itu, surat permohonan ijin memang tidak bisa dadakan. Jadi disarankan bagi teman-teman yang ingin mendaki Binaiya agar memasukkan surat permohonannya sejak jauh hari.

Ngeksis di depan Balai Taman Nasional Manusela

Mobil yg mengantar kami ke Piliana

Foto bersama dengan Bp. William

Pelayanan registrasi pendakian pun sangat bagus, aturan berjalan sebagai mana mestinya, profesional dan tanpa pungli. Terima kasih khusus kami ucapkan kepada Bapak William staff Balai Taman Nasional yang sudah bersedia membantu mengurus perijinan meski beliau harus masuk kantor di hari libur.

Simaksi yang harus kami bayar adalah 25 ribu rupiah per orang untuk lima hari pendakian. Selain itu, ada 4 lapis berkas yang harus saya tanda tangani di atas materai sebagai leader tim. Oh iya, jangan lupa juga untuk membawa 3 lembar materai 6000 rupiah ya.

Pukul 14.15 kami pun berangkat menuju desa Piliana di kecamatan Tehoru. Perjalanan kami menuju Piliana relatif lancar. Jalanan mulus beraspal yang menyusuri tepian pantai selama 4 jam sangat memanjakan mata. Sempat kami singgah di rumah Alif, di desa Tehoru untuk minum kopi dan menikmati cemilan ringan khas daerah. Kelak dalam perjalanan pulang pun kami kembali mampir dirumah Alif, menginap dengan bonus makan papeda dengan ikan kuah kuning...yuummii...thanks a lot brother Alif.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Piliana, kami berhenti sebentar di kantor Taman Nasional Manusela Resort Tehoru, untuk menyerahkan salinan berkas ijin pendakian.
Beruntung sungai Kawanua sedang tidak banjir saat kami menyeberang. Karena untuk mencapai desa Piliana mobil kami memang harus turun menyeberangi sungai. 

Kawanua merupakan sungai yang besar dan lebar. Sebenarnya setengah dari sungai ini sudah ter-cover oleh jembatan yang cukup panjang, sekira 100 meter, entah kenapa sebagian yang lain tidak tersambung oleh jembatan, sehingga mobil harus menyeberangi setengah sungai sebelum bisa naik ke jembatan. 15 menit setelahnya kami kembali berhenti di Resort Saunolu untuk menyerahkan berkas ijin pendakian.

Lewat maghrib kami tiba di desa Piliana, langsung menuju rumah Bapa Raja. Bapa Raja ini adalah tetua adat sekaligus tempat pendaki lapor sebelum melakukan pendakian. Karena jumlah kami cukup banyak, maka kami melakukan packing dan re-packing di balai desa yang letaknya persis disebelah kanan bawah rumah Bapa Raja. Malam itu, kami menginap di rumah beliau.

Tanggal 2 Oktober 2016
Bersiap di depan rumah Bapa Raja
Jalan desa, jalur awal pendakian
Menuju Air Tempayang

Pagi-pagi kami sudah bangun dan bersiap. Jam demi jam kami menunggu, tapi porter yang kami tunggu belum juga datang. Bapa Raja bilang kami harus tunggu sampai ibadah minggu selesai barulah diijinkan berangkat mendaki.
Ya, kami lupa bahwa ini hari minggu. Warga desa Piliana yang mayoritas umat Kristen beribadah di gereja yang letaknya persis didepan rumah Bapa Raja.

Piliana, desa yang sangat menarik, at least bagi saya. Terletak di ketinggian 415mdpl, berlatar gunung di sebelah utara dan laut di sebelah selatan. Meski dekat dengan laut tapi airnya begitu sejuk karena mengalir langsung dari gunung. Masyarakatnya hidup dari bertani dan berladang. Komoditas andalannya adalah cengkeh, sagu, keladi dan kasbi.

Penduduk desanya pun sangat ramah dan bersahabat. Yang sedikit disayangkan adalah belum adanya aliran listrik masuk ke desa ini. Sehingga untuk mendapatkan pasokan listrik, masyarakatnya menggunakan genset yang bahan bakarnya dikolektif secara swadaya. Genset dihidupkan mulai sore hari hingga lewat tengah malam, sekira pukul 1.00 dini hari.

Akhirnya setelah menunggu sekian lama, pukul 10.30 kami bisa memulai perjalanan untuk mendaki Binaiya. Di hari pertama ini, karena kami berangkat sudah siang, guide kami - Alif, mengatakan bahwa jika sampai pukul 16.00 kami belum mencapai Pos I, maka di Pos I lah kami akan mendirikan camp --- sebelumnya kami berencana untuk buka camp di Shelter Aimoto (Pos 2).

Trail I
Piliana 415 mdpl - Shelter Aimoto 1186 mdpl  
Selesai berdoa, kami pun berjalan beriringan dengan santai. Cuaca mendung sedikit panas. Dua porter kami ---- Pak Kijang dan Pak Chris --- berjalan paling depan. Diikuti Alif sebagai guide dan di sweeper oleh Pak Bertus yang juga porter. 

Jalur awal adalah setapak kecil berbatu seperti granit dan tanah berwarna kuning bercampur butiran pasir kasar. Kiri dan kanan jalur adalah ladang penduduk yang di dominasi pohon sagu dan cengkeh. Jalur relatif landai, hanya sesekali saja agak menanjak. Konturnya naik turun dan melintasi beberapa genangan air berlumpur.

Jembatan dari pohon tumbang banyak kami lewati dalam perjalanan

Satu jam lepas dari Piliana, pola jalan kami mulai terpecah menjadi kelompok-kelompok lebih kecil. Saya, Herni, Alif dan dua porter menjadi kelompok terdepan. Disusul Margie, Afri, Rizky dan Sylvi. Lalu yang paling belakang adalah Yanstri, Ading, Andy dan Pak Bertus.

Sungai Air Tempayang, kondisi sebelum hujan

Tanjakan selepas Air Tempayang

Pukul 12.00 kami tiba di Air Tempayang, sungai kecil berbatu-batu dengan air yang jernih dan layak minum. Disini kami break cukup lama sebelum melanjutkan perjalanan. Perjalanan berikutnya kami berjalan menyusuri sungai sekira kurang lebih sepanjang 500 meter. Lepas dari Air Tempayang jalur menanjak curam dan licin sepanjang seratus meter. Lalu kembali menjadi landai dan cenderung menurun, meski dibeberapa titik terdapat tanjakan. Pukul 13.50 kami tiba di tepian Sungai Yahe. Kami break 20 menit untuk relaksasi dan bermain air. Pukul 14.30 kami tiba di sungai Yamitala, sungai ketiga yang harus kami seberangi. Di tepian sungai Yamitala kami memutuskan untuk istirahat makan siang dan shalat dzuhur.

Hutan lebat menuju Sungai Yahe

Menyeberangi sungai Yahe

ki-ka : Alif, Bp.Kijang dan saya

re-packing di Pos I karena hujan

Lima menit di atas sungai Yamitala adalah lokasi Pos I. Hampir 1,5 jam kami beristirahat di Sungai Yamitala sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju target awal kami yaitu Shelter Aimoto. Di Pos I kami berhenti lagi sejenak untuk memakai jas hujan karena rintik gerimis mulai turun.

Lepas Pos I jalur berubah konturnya menjadi tanah licin berlumpur, bercampur pecahan granit dan kelindan akar-akar. Jalur yang berupa setapak tipis yang di pagari pohon-pohon berduri dan menanjak curam cukup menguras tenaga kami. Karena waktu kami dirasa masih memungkinkan, kami pun kembali ke target awal yaitu camp di Shelter Aimoto.

Setelah Pos I, tantangan berikutnya adalah mendaki Bukit Lukuamano. Di bawah hujan yang semakin deras dan jarak pandang yang terbatas karena kabut dan senja, saya dan Herni semakin tertinggal jauh dari porter yang terus melaju didepan. Saya tiba di Lukuamano pukul tepat pukul 17.00, puncak kecil tanpa dataran. Dari keterangan Alif, untuk mencapai Aimoto tinggal naik turun 2 bukit kecil. Dan dengan sisa-sisa tenaga yang ada saya pun kembali berjalan.
Jalur masih berupa setapak sempit yang licin dengan batu-batu tajam tak beraturan. Vegetasi sangat lebat dan lembab.

Pukul 18.10, saya mulai menapaki jalan menurun yang cukup terjal, lalu didasar, jalur tiba-tiba hilang berganti sungai kecil. Dibawah kabut dan gelap saya mencoba orientasi arah. Maklum saja, salah-salah langkah kami bisa saja tersesat. Saya minta Herni untuk menunggu, dan saya benar-benar memasang mata untuk mencari jalur selanjutnya.

Ditengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba saya mendengar teriakan panggilan yang jaraknya sangat dekat. Di arah kanan. Saya pun menyahut. Dan dengan berbekal panggilan-panggilan itu saya pun menjadi yakin arah yang benar. Saya berjalan menyusuri sungai kecil itu --- yang akhirnya saya tahu bahwa itulah yang dinamakan sungai Aimoto, dan ternyata arti dari Aimoto sendiri adalah "Pohon Kering", jauh sekali dari rekaan saya yang mengira artinya "Air Mata"...hehehe
--- di ujung sungai, di antara rumpun bambu yang rimbun saya melihat ada setapak tanah menanjak. Saya terus mengikuti dan ketika rumpun bambu itu habis tepat di ujungnya adalah bangunan Shelter Aimoto, Alhamdulillah, saya merasa lega saat tahu sudah berada di jalur dan tempat yang benar. Di teras shelter nampak 3 porter kami sedang duduk meringkuk menahan dingin. Saya lihat jam, pukul 18.30.

Bangunan Shelter Aimoto

Masak-masak di Shelter Aimoto

Satu persatu anggota tim bermunculan, yang terakhir datang adalah Andy, sekira pukul 20.15. Malam itu tim kami bermalam di Shelter Aimoto tanpa membuka tenda, sementara diluar hujan masih setia mengguyur.

Tanggal 3 Oktober 2016
Trail 2
Aimoto - Shelter HighCamp 1896 mdpl
Pukul 5.00 saya bangun, melawan dingin yang menusuk untuk menunaikan shalat subuh. Semua laki-laki tidur di teras shelter sedangkan yang perempuan didalam bangunan. Selesai shalat saya mulai memasak nasi untuk kami sarapan. Rencananya di hari kedua ini target kami adalah Shelter Isilali 2075 mdpl.

Selesai sarapan dan packing, pukul 9.30 saya menjadi anggota tim yang terakhir yang mulai mendaki dihari itu. Teman-teman yang yang lain sudah bergerak lebih dulu. Hari kedua ini saya memutuskan memakai sepatu saja, pertimbangannya, jalur pasti sangat becek karena kemarin hujan turun sangat lama. Dan perkiraan saya tepat, jalur berikutnya tidak lebih baik dari kemarin, malah semakin berat.

15 menit awal kami harus turun naik 3 lembahan kecil sebelum bertemu dengan tanjakan panjang dan curam sejauh hampir seratus meter. Rupanya teman-teman yang jalan lebih dulu banyak yang tertahan di tanjakan ini. Seperti hari yang lalu, perlahan tapi pasti satu persatu mereka saya susul. Pukul 9.50 saya berhasil tiba di dataran Aiulanusalai. Sebuah dataran yang cukup untuk membangun 2 tenda. Disini saya, Alif, Herni dan Pak Bertus beristirahat sejenak sambil menunggu rekan-rekan yang lain.

Dataran Aiulanusalai

Afri dan Ading break saat menuju Teleuna 1

Lima belas menit kemudian kami melanjutkan perjalanan. Masih di bawah hutan tropis yang lembab dan basah. Saya berjalan sendiri, terpisah karena tubuh yang lelah. Berjalan perlahan, akhirnya pukul 10.45 saya tiba di puncak Teleuna 1. Break selama 15 menit untuk ngemil biskuit dan minum energen. Teleuna 1 hanya sebutan bidang datar pertama pasca jalur menanjak dari Aiulanusalai. Tidak ada plang atau papan nama.

Selanjutnya jalur sedikit menurun sebelum kembali menanjak panjang dengan akar-akar berkelindan selama 30 menit. Ujung dari tanjakan ini adalah puncak Teleuna 2. 
Teleuna 2 ini di tandai papan nama bertuliskan Teleuna. Disini saya tidur kurang lebih 20 menit. Tidur dengan posisi duduk beralaskan lumut basah dan tetesan air yang jatuh dari dedaunan. Menurut keterangan porter, jalur selanjutnya relatif datar dan dipenuhi lumut-lumut tebal. Shelter Highcamp masih 2 hingga 2,5 jam lagi dari sini.

Pukul 11.50 saya kembali melanjutkan perjalanan. Menelusuri hutan lumut yang benar-benar dipenuhi lumut tebal. Terus terang baru kali ini saya bertemu dengan hutan lumut seperti ini, sebelumnya pernah juga masuk area-area yang di sebut hutan lumut seperti di Argopuro ataupun Salak, tapi kondisi lumutnya tidak setebal disini. Saya sempat mengambil beberapa foto dan videonya.

Shelter Highcamp pagi itu

Apa yang diucapkan porter ternyata benar, jalur hutan lumut ini relatif datar, hanya sesekali agak menanjak. Meski jalurnya datar tapi setapaknya tetap sempit sekali. Ditengah penelusuran hutan lumut, hujan turun lagi, memaksa saya berganti alas kaki dengan sendal gunung. Dan setelah berjalan selama 75 menit saya bertemu dengan jalur menurun panjang. Di dasar jalur,  disebelah kanan itulah letak Shelter Highcamp. Saat saya lirik jam tangan saya tertera pukul 14.00. Sambil menunggu rekan-rekan yang lain saya membantu Herni untuk memasak makanan, sementara porter mencoba membuat perapian.

Sempat kami bingung apakah akan melanjutkan perjalanan menuju target kami di Isilali atau camp di Shelter ini. Lama kami menunggu rekan-rekan yang lain, yang akhirnya muncul pukul 16.30-17.30. Dan karena kondisi serta cuaca yang tidak mendukung akhirnya kami memutuskan camp di Highcamp. Menghabiskan malam di shelter yang posisinya tertutup pepohonan lebat. Di shelter ini kami juga tidak membuka tenda karena kapasitas shelter masih mampu menampung jumlah kami.

Tanggal 4 Oktober 2016
Trail 3
Highcamp - Shelter Isilali 2075 mdpl
Seperti hari sebelumnya, pagi hari setelah shalat subuh kami semua sudah bangun dan bersiap. Sarapan kami pagi ini roti goreng telur dan energen. Sambil sesekali menggigil karena dinginnya udara, kami berganti pakaian basah bekas hujan kemarin. Apa boleh buat, untuk efisiensi, kami gunakan lagi pakaian basah yang kemarin. Di hari ketiga ini, kami berencana langsung menuju Camp Waifuku yang terletak hanya lima menit dari puncak Binaiya. Kami sepakat, meski harus malam hari sekalipun saat tiba disana.

Setiap hari kami harus mengawali perjalanan dengan mendaki jalur terjal sebagai konsekuensi lokasi shelter yang berada di lembahan. Setiap hari kami harus menikmati "gondoknya" sudah naik ke titik yang tinggi tapi harus camp di tempat yang rendah. Sedikit demi sedikit saya pun mulai menghafal pola jalur yang harus kami lalui. Binaiya memang gunung dengan jalur PHP terbaik yang saya pernah kenal.

Pukul 8.15 saya kami mulai bergerak naik. Jalur akar yang terjal harus kami lewati untuk mencapai Puncak Manukupa 1 dan 2. Baru 30 menit berjalan kami sudah disuguhi pemandangan yang sangat indah. Pantai dan teluk Tehoru yang membentang berselimut kabut tipis dan awan-awan Cumulonimbus yang sedang bergerak membentuk gugusan tebal. Membiarkan matahari menguapkan air laut, menyerapnya hingga lambat laun menghitam siap mencurahkan hujan kembali.

Kami terbuai dengan suasana, berfoto dan membiarkan khayalan-khayalan melintas bebas. Kami lupa bahwa perjalanan masih sangat jauh dan berat. Kami lupa bahwa setiap tengah hari awan hujan selalu mengikuti. Kami juga lupa bahwa posisi kami saat ini belum ada setengahnya dari puncak Manukupa. Karena tersadar dengan alasan itulah akhirnya saya memutuskan untuk kembali berjalan, melawan rasa malas dan lelah yang semakin mencengkeram. Mengejar Herni, Ading dan para porter yang sudah melaju jauh didepan.

Teluk Tehoru terlihat saat menuju Puncak Manukupa

Turun dari Puncak Manukupa menuju Isilali

Saya tiba di puncak Manukupa pukul 9.50, sendirian. 100 meter agak ke atas saya lihat teman-teman yang berposisi didepan sedang beristirahat. Puncak Manukupa ini adalah puncak yang dengan jelas terlihat jika kita sedang berada di Piliana. Saya masih ingat persis, dua hari yang lalu Alif mengatakan bahwa "kita akan berada disana di hari kedua" --- meski faktanya baru di hari ketiga, itupun menjelang tengah hari saya tiba disana. Puncak Manukupa dinaungi vegetasi-vegetasi kecil dan tidak ada dataran yang datar. Dari puncak Manukupa terlihat jelas jalur kami selanjutnya yaitu Puncak Gunung Bintang.

Tapi seperti biasa, untuk mencapai puncak berikutnya berarti ada lembahan yang harus kami lewati, dan itu artinya kami harus kembali berjalan turun. Puncak Manukupa sendiri berada di ketinggian 2286 mdpl. Setelah menghela nafas saya berjalan turun menuju lembah dimana terletak Shelter Isilali. Jalur awal  menuju Isilali menurun tajam dan curam dengan perpaduan pecahan batuan granit dan karang tajam. Saat perjalanan pulang di titik inilah telapak kaki saya terluka oleh karang-karang tajam itu.

Meski berjalan dengan pelan dan hati-hati, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Isilali ternyata hanya 25 menit saja. Isilali terletak di ketinggian 2075 mdpl, itu artinya kami turun sejauh lebih dari dua ratus meter. Di shelter ini terdapat sumber air. Vegetasinya agak sedikit terbuka jika dibanding shelter-shelter sebelumnya. Kami beristirahat disini hampir tiga puluh menit sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Shelter Isilali 2075 mdpl

Margie sedang menyaring air untuk minum

Trail 4
Isilali - Camp Nasapeha 2500 mdpl
Sejauh ini sepertinya rencana kami untuk nge-camp di Waifuku akan terlaksana dengan cukup mudah sesuai jadwal. Oleh karenanya kami tetap semangat untuk terus berjalan meski letih sudah mendera. Tantangan yang berada di depan kami adalah Puncak Gunung Bintang yang memiliki ketinggian 2660 mdpl. Berarti kurang lebih jarak vertikal yang harus kami tempuh adalah 600 meter.

Hanya membutuhkan waktu 20 menit saja untuk saya mencapai puncak punggungan pertama pasca Isilali. Dari sini pemandangan sudah sangat terbuka. Kontur jalur selanjutnya adalah batuan karang tajam dan pecahan granit berpadu dengan pohon cantigi yang berselimut lumut tipis.

Berselang seling saya melewatinya, di awali dengan rumpun cantigi, lalu terbuka saat harus meniti karang-karang tajam lalu kembali rumpun cantigi. Jalur relatif datar di 500 meter pertama. Saat saya sedang asyik menikmati jalur terbuka ini, lagi-lagi hujan turun. Meski tidak sederas hari kemarin tapi tetap saja memaksa saya untuk kembali berganti alas kaki dengan sendal. Ya, memang saya sangat menjaga agar kondisi sepatu saya tetap kering. Berjalan dengan sepatu basah sangatlah tidak nyaman.

Perjalanan menggapai puncak Bintang ternyata lebih lama dan lebih berat dari yang saya kira. Ternyata pepatah lama yang berbunyi "dekat di mata jauh di kaki" itu berlaku disini. Pukul 13.20 saya baru berhasil menjejak puncak Gunung Bintang. Dari sini terlihat jelas puncak Binaiya I berikut jalur pendakiannya. Saya sempat merilis stress dan lelah dengan cara berteriak saat berada di puncak Bintang.
Empat puluh menit kemudian atau sekira pukul 14.00 saya tiba di lembah tempat camp Nasapeha berada.

Turun dari Puncak Bintang menuju Nasapeha

Turun ke batas vegetasi Nasapeha

Camp Nasapeha di lihat dari atas

Camp kami di Nasapeha

Saya, Ading dan Herni sempat berdiskusi apakah tim kami akan terus melanjutkan perjalanan menuju target awal kami di Waifuku atau akan membuka tenda disini. Kami juga meminta saran dari porter, dan mereka menyarankan agar kami camp di Nasapeha saja. Pada akhirnya kami putuskan untuk nge-camp di Nasapeha. Pertimbangan utamanya adalah kekuatan fisik rekan-rekan kami yang masih berada dibelakang. Serta ketersediaan air.

Soal air ini merupakan tantangan selanjutnya yang harus kami hadapi. Di  Nasapeha, memang terdapat sumber air tapi berupa genangan dangkal yang airnya agak berwarna kecoklatan. Mungkin inilah sumber air "terburuk" selama pendakian kami di Binaiya. Kami harus sangat berhati-hati saat mengambil air agar endapan dan biota-biota yang ada di dalamnya tidak terbawa ke dalam wadah air kami.

Setelah susah payah menyaring, kami mendapatkan 2 jerigen air sebanyak 20 liter. Selanjutnya kami pun berbagi tugas, Herni memasak, saya dan Ading membangun tenda. Sambil menunggu rekan-rekan yang lain kami berkumpul di bawah pohon. Lama kami menunggu, hingga pukul 16.00 tak ada tanda-tanda mereka akan datang. Karena hal itu pula lah akhirnya Pak Bertus memutuskan untuk menyusul kembali ke atas, ke arah Gunung Bintang.

Udara dingin di Nasapeha terasa lebih menusuk, mungkin pengaruh vegetasi yang sudah semakin terbuka dan altitude-nya yang sudah semakin tinggi. Ditambah cuaca setelah hujan.
Setelah lama menunggu akhirnya rekan-rekan kami yang dibelakang bermunculan satu persatu. Di awali dengan datangnya Sylvi dan Rizky, lalu berturut-turut datang Afri, Margie, Yanstri dan Andy. Selesai makan, kami masuk tenda masing-masing dan beristirahat. Pukul 3.30 rencananya kami akan melakukan summit attack tanpa membawa beban.

Trail 5
Nasapeha - Puncak Binaiya 3027 mdpl
Mungkin kami semua tidak bisa tidur dengan nyenyak karena udara yang sangat dingin. Di malam itu saya merenung, memikirkan betapa saya telah sangat salah menduga karakteristik gunung ini. Dalam bayangan saya, Binaiya adalah gunung dengan vegetasi yang terbuka dan kering, jalurnya pun di dominasi padang rumput dan bebatuan biasa. Dan apa yang saya bayangkan berbeda 180° dengan kenyataan di lapangan.

Binaiya adalah gunung dengan curah hujan yang tinggi. Di tumbuhi pepohonan tinggi, lebat dan memiliki kanopi hutan yang membuat suatu tutupan rapat lazimnya hutan hujan tropis di bagian barat Indonesia. Binaiya juga banyak pacetnya. Tebalnya lumut hingga menjelang puncak juga menjadi penanda tingginya curah hujan. Jika ada hal yang menjadi pembeda dengan gunung-gunung lain adalah keberadaan bebatuan karang abu-abu hitam yang tajam yang berpadu dengan batuan granit putih.

Alarm berbunyi membuyarkan lamunan saya. Segera saya bangunkan teman-teman yang lain agar bersiap untuk summit. Jika berjalan tanpa beban, dibutuhkan waktu 2 hingga 3 jam dari Nasapeha hingga ke puncak. Kami bersiap terlalu lama hingga akhirnya baru mulai bergerak summit pukul 4.40. Saya baru akan masuk area Padang Kurcaci saat matahari mulai terbit.

Selfie di Padang Kurcaci

Hutan Lumut menjelang Puncak Binaiya I

Masih di hutan lumut menjelang puncak

Berpendarnya cahaya matahari pagi membuat kontur Binaiya yang eksotis semakin jelas terlihat. Dan memang saya pribadi seperti terhipnotis demi melihat indahnya bentang alam menjelang puncak. Terutama keberadaan pakis endemik Binaiya (Cyathea binayana) yang memiliki bentuk seperti pohon kelapa. Selain itu sempat beberapa kali tim kami bertemu dengan rusa...what an amazing journey...bertemu rusa langsung di habitatnya...hari gini...sesuatu yang sangat langka.

Vegetasi endemik Binaiya

Saat tiba di puncak Binaiya I saya sempat mengira puncak tertinggi sudah berhasil saya raih, tapi lagi-lagi saya salah, karena puncak tertinggi Binaiya masih berjarak 30 menit lagi. Rasanya ingin menangis di PHP-in gunung ini selama 4 hari terakhir. PHP tiada akhir. Naik turun naik turun seolah tak berujung. Dan memang untuk bisa berdiri di puncak tertinggi Binaiya kami harus melewati 9 bukit dan 1 gunung.

Camp Waifuku, hanya 5 menit dari puncak Binaiya

Alhamdulillah sampe juga disini

Bebatuan di Puncak Binaiya

Puncak 3035 Zona Inti Taman Nasional Manusela

Its the beautiful world

Alhamdulillah dengan sisa-sisa tenaga dan semangat yang ada, saya berhasil menjejak puncak Binaiya 3027 mdpl tepat pukul 7.00 pagi. Kami merayakan kemenangan ini dipuncak cukup lama, hingga 2 jam lebih. Berpose dengan banyak gaya. Berekspresi dengan pikiran masing-masing.

Binaiya memang luar biasa, tidak terlalu tinggi tapi luar biasa!!! Jalurnya juara, berat banget!!
Sebelum kembali turun ke Nasapeha, acara kami tutup dengan berfoto bersama-sama. Terima kasih ya temans sudah menjadi tim yang solid dan bisa bekerja sama untuk menggapai atap Maluku. Semoga catper ini bisa menjadi informasi dan panduan bagi yang ingin mendaki ke Puncak Binaiya
Kalo kamu lagi mencari gunung yang beda...cobain naik ke Binaiya, sensasi 0 mdpl-nya sesuatu lah.

-----------------------+++++----------------------


PENUTUP
Tanggal 4 Oktober 2016
Panas mentari yang menyengat membuat saya dan teman-teman yang lain segera turun dari puncak demi terhindar dari kulit terbakar. Kami tiba di Nasapeha pukul 10.10 pagi.
Setelah selesai packing dan sarapan, pukul 12.00 kami memulai perjalanan turun yang menanjak...hehehe.

Sebelum mulai bergerak kami sepakat untuk langsung menuju Shelter Aimoto. Karena di shelter itulah kami meninggalkan sebagian logistik yang memang kami simpan sebagai persediaan dalam perjalanan turun. Untuk antisipasi, kami juga memberikan beberapa bungkus mie instant ke anggota tim yang berjalan paling belakang.
Hujan rintik-rintik mulai turun, yup...seperti hari-hari yang lalu, hujan selalu mulai turun di siang seperti ini.

Berjalan perlahan namun pasti kami mulai menapaki jalur untuk menuju Puncak Gunung Bintang. Awan semakin gelap, menandakan telah penuh digelayuti butiran air yang siap bermetamorfosis menjadi hujan besar.
Pukul 13.00 saya sudah tiba di puncak Bintang, sendirian. Jauh di bawah belakang saya, terlihat Sylvi dan Rizky baru muncul di batas vegetasi Nasapeha. Saya beristirahat sejenak sambil mengambil beberapa foto. Lalu kembali berjalan dengan agak cepat menuruni lereng yang curam untuk menuju Isilali.

Saat tiba di Isilali pukul 14.15, saya hanya bertemu dengan Ading, Herni dan Bp.Kijang yang sedang beristirahat. Mereka mengatakan bahwa Pak Bertus dan Pak Chris terus melanjutkan perjalanan menuju Shelter High Camp. Saya tidak berlama-lama di Isilali, mungkin hanya sekitar 5 menit saja. Setelah ini kami akan kembali turun dengan menanjak puncak Manukupa terlebih dahulu.

Hujan semakin deras dan saya mulai merasakan perih di bagian telapak dan mata kaki sebelah kiri. Saya lihat telapak kaki saya yang memucat karena dingin. Luka sedikit terbuka akibat terperosok di karang saat menuju puncak Manukupa terbasahi air hujan. Saya salah strategi kali ini, benar sendal gunung saya kuat, tapi saya lupa bahwa sendal tidak melindungi seluruh bagian kaki. Bahkan Herni yang menggunakan sepatu saja kakinya penuh dengan luka gores mulai bawah lutut hingga mata kaki.

Akhirnya kecepatan jalan saya menurun drastis, menjadi terseok-seok dan sangat perlahan karena melangkah sambil menahan perih yg cukup menyiksa. Saya tertinggal jauh dan baru tiba di Highcamp pukul 15.55. Karena hari masih terang, meski hujan, tim memutuskan untuk terus turun ke Aimoto. Saya pun mempersilakan teman-teman yang lain untuk jalan duluan. Sementara saya masih ingin beristirahat, shalat dan berganti alas kaki dengan sepatu. Saya ingat persis, jalur selanjutnya ada setapak berkerikil dan berlumpur, adalah kebodohan besar jika saya tetap memakai sendal dengan kondisi telapak kaki terluka.

Pukul 16.10 saya melanjutkan perjalanan, kali ini dengan lebih mantap meski masih terasa nyeri. Setidaknya kaki saya sudah lebih terlindung. Saya berjalan tanpa henti hingga tiba di Teleuna 2 pukul 16.50. Di Teleuna 2 saya berhenti tidak lebih dari 3 menit. Saya bersemangat terus turun, dari sini menurut perkiraan saya, Teleuna 1 tidak lebih dari 20 menit. Dan perkiraan saya benar, walau harus terjatuh beberapa kali, saya berhasil tiba di Teleuna 1 pukul 17.10.

Jika sebelumnya saya bisa memperkirakan dengan tepat jarak antar puncak bukit dan antar shelter, maka untuk jarak dari Teleuna 1 ke dataran Aiulanusalai justru saya buta sama sekali. Saya lupa mencatatnya saat perjalanan mendaki. Saya berjalan masih dengan ritme yang sama, pelan namun konstan tanpa berhenti. 

Lelah yang sudah hampir melewati batas membuat tak terhitung berapa kali sudah saya terantuk, terpeleset dan terjatuh dalam perjalanan menuju Aiulanusalai.
Suasana menjelang maghrib membuat saya sedikit merasa spooky, di beberapa titik sempat juga saya tiba-tiba merinding, belum lagi bau harum bunga terkadang melintas. Saya jadi teringat obrolan dengan Alif waktu kami sedang istirahat di hari kedua, selepas Aimoto. 

Menurut keterangan Alif dan Pak Bertus, Aiulanusalai itu adalah nama orang, orang yang meninggal dilokasi tersebut, dan jadilah namanya diabadikan sebagai nama lokasi. Ah, kenapa saya jadi berpikir yang ngga-ngga, biar sajalah, toh dimana pun kita manusia memang hidup berdampingan dengan yang tidak terlihat. Masing-masing saja lah. Terkadang dalam kondisi kelewat lelah, bisa membuat apa yang sedang ada dalam imajinasi kita seperti menjadi nyata. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.

Meski berusaha menghibur diri dalam sepi dan jalur yang semakin gelap, saya tak henti-hentinya menggerutu saat lagi-lagi saya terjatuh dan tersangkut akar-akar. Tanpa saya sadari saya sudah berada di dataran Aiulanusalai pukul 17.35. Saya semakin bersemangat, karena saya tahu Aimoto sudah dekat. Tidak lebih dari 20 menit lagi saya pasti tiba di Aimoto. Hanya tinggal turun vertikal sekira 100 meter lagi. Alhamdulillah, tepat pukul 18.00 saya berhasil mencapai Shelter Aimoto, lokasi camp kami untuk hari ke empat.

Setiba disana, saya segera turun ke sungai untuk mandi dan mencuci gear-gear yang kotor. Di malam itu, pada akhirnya hanya saya, Ading, Herni dan ketiga porter kami yang camp di Aimoto. Sisa anggota tim kami terpaksa bermalam di Shelter Highcamp karena kelelahan dan hari yang sudah gelap saat mereka tiba disana. Kami mengetahui hal itu saat mereka tiba di Aimoto keesokan harinya sekira pukul 10 pagi. Lega sudah saat seluruh anggota tim sudah lengkap berkumpul. Dan di hari kelima ini, sesuai jadwal, selepas dzuhur kami melanjutkan perjalanan menuju desa Piliana.

Alhamdulillah pukul 18.00 seluruh anggota tim telah tiba di Piliana. Me-re-packing seluruh barang bawaan dan bersama-sama menuju Tehoru dengan mobil yang sudah datang menjemput.

Mobil kami terperosok ke sungai dalam perjalanan pulang

------------------ The End ---------------------

RINGKASAN PERJALANAN :

D1
1. Jakarta - Ambon dg Flight pagi : 4 jam
2. Airport Ambon - Port Tulehu 50 menit
3. Port Tulehu - Port Amahai 3 jam
4. Port Amahai - Balai Taman Nasional Manusela (BTMN) 20 menit
5. BTMN - Piliana 4 jam

D2
1. Piliana - Air Tempayang :  1 - 1,5 jam
2. Air Tempayang - Sungai Yahe : 45-60 menit
3. Sungai Yahe - Sungai Yamitala : 20 menit
4. Sungai Yamitala - Pos I : 5 menit
5. Pos I - Lukuamano : 1 jam
6. Lukuamano - Shelter Aimoto : 1-1,5 jam

D3
1. Shelter Aimoto - Aiulanusalai : 30 menit
2. Aiulanusalai - Teleuna 1 : 1 jam
3. Teleuna 1 - Teleuna 2 : 30 menit
4. Teleuna 2 - Shelter Highcamp 1-1,5jam

D4
1. Shelter Highcamp (1896 mdpl) - Puncak Manukupa (2300 mdpl) : 1 jam
2. Puncak Manukupa (2300 mdpl) -  Shelter Isilali (2075 mdpl) : 30 menit
3. Shelter Isilali (2075 mdpl) - Puncak Bintang (2660 mdpl) : 2,5 jam
4. Puncak Bintang (2660 mdpl) - Nasapeha (2500 mdpl) : 30 menit

D5
1. Nasapeha - Binaiya 1 : 1 jam
2. Binaiya 1 - Binaiya 2 : 1 jam.

D6
1. Binaiya 2 (3027 mdpl)- Nasapeha (2500 mdpl) : 1 jam
2. Nasapeha (2500 mdpl) - Aimoto (1186 mdpl) : 5-6 jam

D7
1. Aimoto (1186 mdpl) - Piliana (415 mdpl) : 3-4 jam
2. Piliana - Tehoru : 2 jam

D8
1. Tehoru - Port Amahai : 2 jam
2. Port Amahai - Port Tulehu : 2,5 jam
3. Port Tulehu - Pantai Letang : 1 jam

D9
1. Pantai Letang - Airport Ambon : 1 jam
2. Airport Ambon - Jakarta : 3,5 jam

Tips n Lain2
1. Jadwal kapal cepat ada 2x sehari yaitu jam 9.00 dan jam 14.00 kecuali hari minggu hanya 1 x
2. Siapkan materai 6000 3 pcs
3. Gunakan sepatu yang benar-benar kuat dan bagus, begitupun dg sendalnya.
4. Bawalah water purifier / penyaring air
5. Simpanlah sebagian logistik di Aimoto dan Highcamp
6. Persiapan packing basah karena hujan sering turun
7. Minumlah pil kina 7 hari sebelum menuju Ambon.
8. Kirimkan surat permohonan ijin mendaki paling tidak 1 bulan sebelumnya
9. Bawalah P3K yang memadai terutama untuk luka gores / terbuka mengingat batuan karang yang tajam.
10. Hindari memulai pendakian di hari minggu agar tidak tertunda jam keberangkatan karena ibadah umat kristen di Piliana.
11. Bawalah banyak cemilan untuk makan siang di pendakian karena kontur dan panjangnya jalur Binaiya kurang ideal untuk beristirahat lama disiang hari.
12. Tidak disarankan mendaki tanpa guide mengingat banyaknya percabangan dan beratnya medan pendakian.

Bagi Rekan2 Yang Berminat Mendaki ke Binaiya dan Membutuhkan Info Lebih Detail Untuk Guide dan Lain2 Silakan Hubungi Saya Via :
a. WA / SMS : 0811-118-1225
b. BBM : D0ACE655
c. E-mail : cliff.klie@gmail.com