Rabu, 17 Oktober 2018

Jelajah Bumi Jambi - Gunung Masurai 2980 mdpl


Bogor, 11 Oktober 2018
.
Hari itu, sebelum berangkat perut saya tiba-tiba error, ritual sedekah bumi selepas subuh di mesjid juga nyaris 30 menit, 3x lebih lama dr normal !! . Sampe2 sy hopeless bisa tiba di airport tepat waktu. Rupanya keberuntungan masih berpihak. Di rush hour yg hampir pasti selalu macet, entah kenapa pagi tadi lengang sekali. Nyaris ga percaya hanya 70 menit bisa tiba di airport. Alhamdulillah.... malah punya banyak waktu lebih sebelum boarding.
.
Di bawah cuaca pagi yg mendung, pesawat sy take off tepat waktu (tumben, secara ini naik Singa Terbang, rajanya delay ).
Dapat seat 3 saff dr belakang membuat setiap getaran pesawat begitu terasa. Puncaknya selama on flight, menikmati turbulensi yg keras akibat gugusan Cumulonimbus yg lumayan bikin deg-degan.
.
Tak lama setelah landing, hujan pun turun. Persis sama suasananya saat kali pertama kesini di Agustus 2014, saat saya akan mendaki Kerinci. Jadi flashback ke masa itu, dimana terjadi "tragedi" yg menyenangkan...*lol...
Perjalanan masih panjang, baru jam 17.00 nanti sy melanjutkan ke Kabupaten Merangin. Rencana akan singgah dahulu di Bangko (7 jam dr Jambi kota).
Sementara menunggu, bisa lah sy beristirahat sejenak memejamkan mata setelah semalaman tadi nyaris ga tidur. Saya memang kelelahan akibat mengejar pengerjaan beberapa project yg sedang berjalan di Bogor.
.
.
Jambi City, 11 Oktober 2018 / 14.00
.
Siang yg masih juga mendung ini saya gunakan untuk berbaring di kamar dirumah senior saya semasa di kampus dulu. Meski pada akhirnya tetap ga bisa tidur, lumayanlah bisa meluruskan punggung. Sementara perut saya masih saja rewel. Pasca terkena typus di awal tahun, saya memang rentan sekali bermasalah dengan lambung.裸
.
Menjelang maghrib, datanglah Firman, rekan kerja dr bang Catur yg akan bergabung untuk mendaki Gunung Masurai. Kami mengobrol tentang apa saja sekedar mencairkan suasana sebelum mendaki. Satu jam kemudian, kami semua sudah berada di dalam mobil menuju destinasi pertama yaitu Kabupaten Bangko untuk menjemput anggota tim sekaligus guide kami, bang Rimen. Sepanjang perjalanan menuju Bangko saya dan Catur hanya tidur-tidur ayam untuk membunuh bosan dan mengalihkan rasa sakit di perut. Jadilah Firman yg bertugas menjadi supir di malam itu.
.
Menjelang tiba di Bangko, saya meminta singgah di sebuah minimarket untuk berbelanja logistik. Bukan apa-apa, feeling saya sudah agak terganggu karena kami sama sekali belum mempersiapkan logistik kecuali bahan bakar. Sebuah hal yg nyaris tidak pernah saya lakukan ketika akan mendaki gunung. Biasanya saya selalu merencanakan dengan matang, termasuk soal logistik, minimal 7 hari sebelumnya. Dan saya pun mengambil keperluan-keperluan logistik meski tidak maksimal karena banyak yg saya cari tidak tersedia.
.
.
Bangko - Jangkat - Sei Lalang
12 Oktober 2018
.
Pukul 1.30 kami tiba di Bangko, menemui Rimen. Setelah melahap pecel lele di sebuah warung tenda, kami lanjutkan menuju rumah Rimen untuk beristirahat menunggu pagi. Disana saya pun melanjutkan tidur. Tepat adzan subuh berkumandang, hujan turun dengan derasnya. Membuat malas untuk bergerak. Pukul 6.00, dengan Firman masih menjadi supir, mobil kami melaju membelah jalanan Bangko yg sepi dan dingin, menuju destinasi berikutnya, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Oh iya, jika kamu pernah ke Kerinci via Jambi, maka posisi Bangko adalah setelah pertigaan arah Sungai Penuh dr Sarolangun.
.
Menurut Rimen, Desa Sei Lalang (desa terakhir untuk mendaki Masurai) dapat di capai dengan 3 jam perjalanan mobil dr Bangko. Nyaris betul, karena kami memerlukan 3,5 jam untuk itu.
.
Mushalla Al Ikhlas
Jalanan Awal

Tidak ada penanda khusus yg menjadi titik awal pendakian, kecuali bangunan mushala Al Ikhlas di seberang jalan masuk. Bahkan, tidak ada biaya untuk perijinan, kecuali kami membayar pada warga untuk menitipkan mobil. Hari gini, sudah jarang bisa menemui gunung tanpa retribusi. Desa Sei Lalang ini terletak di ketinggian 1720m dpl. Kabut tebal dan gerimis menyambut kedatangan kami. Sambil berkemas, kami pun menyempatkan diri sarapan di warung kecil sebrang jalan masuk pendakian. Pecel lontong pun menjadi pilihan saya pagi itu.
.
Pukul 10.15, kami memulai perjalanan. Menyusuri jalan desa yg lurus sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Meski sudah berada di kaki gunung, namun akibat kabut yg sangat tebal, kami tetap tidak bisa melihat wujud utuh gunung yg akan kami daki ini. Persis sebelum tikungan yg menanjak ada jalan tanah coklat berpasir turun ke kiri. Itulah arah jalur pendakian selanjutnya. 10 meter ke bawah, kami menemui rintangan pertama, yaitu sungai berbatu selebar 4 meter. Derasnya arus pasca hujan membuat kami harus lebih berhati-hati menyebranginya. Satu jam berikutnya kami menyusuri kebun penduduk yg di dominasi pohon kopi. Jejak ban motor membuat trek menanjak ini menjadi dalam dan licin. Jalur seperti ini mengingatkan saya dengan pendakian Argopuro di 2015.

Tantangan Pertama, menyeberangi sungai
Jalur selepas ladang penduduk
Pintu Rimba Masurai

.
Pukul 11.30, Rimen baru menyadari jika kami salah jalur alias nyasar. Beruntung tak jauh dr lokasi kami ada bangunan gubug petani yg bisa kami tanyai. Meski harus berpindah lembahan kecil, akhirnya kami kembali ke jalur yg seharusnya. Tak lama kami tiba di Pintu Rimba Masurai, sepetak bidang datar kecil berukuran 4x4 meter. Papan pintu rimba nampak sudah rusak dan hanya bersandar pada pokok pohon besar yg sudah tumbang. Bagian akar pohon tumbang itu menciptakan kanopi kecil yg bisa kami gunakan untuk berteduh dr hujan. Bayangkan besarnya pohon itu jika bagian bawahnya bisa menjadi kanopi.
.
Shelter I, istirahat makan siang

Shelter I kami tempuh dalam waktu 1 jam dr Pintu Rimba, dengan melewati banyak titian pohon tumbang berukuran raksasa. Licin sekali, tak terhitung berapa kali kami terjatuh. Beruntung tidak cidera serius. Di Shelter I yg berukuran sangat kecil, kami beristirahat makan siang selama 1,5 jam.
Ada satu ciri unik saat kamu akan tiba di Shelter I yaitu, kamu akan tiarap untuk melewati pohon tumbang, harus tiarap karena pohon itu, meski sudah tumbang, batangnya terlalu besar dan tinggi untuk di langkahi. Di kiri bawah Shelter terdapat sumber aliran air yg jernih. Sebaiknya pendaki mengisi perbekalan air banyak-banyak disini. Karena sumber air berikutnya baru akan di temui di Danau Mabuk (-+6-7 jam), atau Danau Kumbang (-+5,5jam) itu pun harus turun ke bawah dr jalur pendakian. Kalaupun ada sumber lain yg tidak perlu turun adalah di sekitar Shelter II (5 jam), berupa genangan air di bawah akar pohon besar. Airnya berwarna kecoklatan.
.
.
Simpang Danau Mabuk 2740m dpl
.
Di Shelter I kawan kami Rimen, karena satu dan lain hal harus kembali turun sehingga tidak bisa menemani kami ke atas. Setelah meng-packing ulang bawaan, kami bertiga melanjutkan pendakian. Tetap di bawah cuaca buruk dan kabut. Kami menargetkan pukul 17.00 bisa tiba di Simpang Danau Kumbang untuk shalat Ashar dan beristirahat.
.
Lepas shelter I, kami langsung berhadapan dengan tanjakan-tanjakan yg panjang dan sangat terjal. Sedikitpun kami tidak menemui bonus trek saat menuju Simpang Danau Kumbang. Vegetasi rapat, pohon-pohon yg sangat besar dan kabut tebal terus mengiringi perjalanan kami. Jalur model ini cukup membuat stress dan cepat menguras tenaga. Di tambah lagi udara dingin menusuk membuat cadangan panas tubuh menurun drastis. Jika harus mencari bandingannya, jalur menuju Simpang Danau ini mirip dengan jalur Latimojong dr Pos II ke Pos III, atau Bapa Tere Ciremai, terus menerus tanpa bonus.
.
Keril yg berat karena basah membuat Catur kepayahan. Saya meski dalam kondisi yg tidak fit, memintanya melepas keril lalu bergantian menyandangnya ke punggung saya. Kami berjalan lambat sekali. Seringnya melangkahi atau merangkak di bawah pokok pohon besar yg tumbang betul-betul menjadi ujian kesabaran. Belum lagi memanjat tanjakan panjang dan licin, mengandalkan kekuatan tangan dalam memegang akar dan fokus agar kaki tidak salah memijak, menjadi suatu keharusan. Waktu terus beranjak senja, sedangkan belum ada tanda-tanda kami akan menemui persimpangan. Akhirnya pukul 17.30 kami memutuskan berhenti di bidang kecil yg agak datar untuk rehat dan shalat.
.
Pukul 18.00, setelah memasang headlamp kami melanjutkan pendakian dan kembali berhadapan dengan tanjakan yg semakin panjang dan terjal. Kami berjalan rapat karena sudah gelap dan kabut. Tanpa saya sadari, rupanya bekal air kami habis, hanya menyisakan botol kecil yg ada pada saya, itupun tinggal isi setengahnya. Manajemen air kami buruk sekali. Gegabah dalam menggunakan air hanya karena merasa akan segera tiba di danau, yg notabene air berlimpah ruah.
.
Lima belas menit kemudian, kami tiba di persimpangan, petak datar berukuran 3 x 3 meter. Disitu terpampang jelas beberapa papan bertuliskan Simpang Danau Mabuk 2740m dpl lengkap berikut tanda panah yg mengatakan posisi danau  berada 300 meter di bawah simpangan. Kami sempat kebingungan karena dr hasil observasi awal sebelum pendakian tidak ada tulisan-tulisan yg membahas soal keberadaan Danau Mabuk. Apalagi Rimen sebelum turun mengatakan bahwa nanti yg akan kami temui adalah persimpangan yg berupa pelataran berbatu, dan tepat di depan pelataran tersebut adalah Danau Kumbang.
.
Camp kami saat hilang orientasi arah

Saya sempat terpikir untuk membuat camp di persimpangan ini, mengingat tubuh yg sudah sangat kelelahan dan lokasi persimpangan ini sangat ideal untuk camp. Tapi demi mengingat bekal air kami tidak lebih dari 300 ml lagi yg tersisa, kami memutuskan untuk turun ke Danau sesuai tanda panah yg terpasang. Dari informasi yg kami dapat sebelumnya, katanya untuk turun ke danau hanya membutuhkan waktu 30 menit saja. Kami pun bergegas turun dengan sisa tenaga menembus kabut.
.
10 menit awal jalur memang menurun, wajar saja, karena kami memang sedang turun menuju danau. Namun perlahan tapi pasti, jalur semakin tertutup, luar biasa rapat, berlumut tebal. Kami beberapa kali kehilangan arah karena pedoman kami turun hanyalah pita-pita yg terpasang di ranting. Jarak pandang yg tidak lebih dr 3 meter membuat kami harus sering berhenti mencari keberadaan pita penunjuk arah. Saat itu sudah tidak karuan perasaan kami, rasanya kami hanya berputar-putar di tempat saja. Satu jam berlalu, kami hanya naik turun di lorong-lorong gelap. Berkali-kali kepala terantuk dahan atau kaki terperosok ke dalam lubang akar yg tertutupi serasah. Sakitnya tidak perlu di tanya. Kepala saya pun berdarah saat terantuk kesekian kalinya. Firman cidera saat terperosok sampai sedalam lutut.
.
Puncaknya, hujan turun lagi, jam menunjukkan pukul 19.30. Kesabaran saya habis, dan saya meminta tim untuk mencari bidang yg sedikit datar dan luas sekedar untuk membuat bivak. Pikiran di kepala sudah terkontaminasi hal-hal yg sifatnya spooky. Jangan-jangan kami di kerjain makhluk halus penunggu Masurai sehingga hanya mutar-mutar disini. Ketika hujan semakin lebat, saya menengadahkan kepala dan membuka mulut, berharap agar ada tetesan air hujan yg bisa masuk untuk saya minum, karena bekal air kami sudah total habis. Saat sudah putus asa dan menggigil, Qodarullah, dalam langkah yg sudah tidak bertenaga, headlamp saya menyorot ke bawah lembah kecil dan nampaklah genangan air berwarna coklat teh. Catur dan Firman pun mengatakan bahwa itu memang air. Alhamdulillah, Allah masih sayang pada kami. Tanpa memperhitungkan kondisi kontur lembahan yg becek dan berlumpur saya pun meng-komando tim untuk membuat bivak sederhana dr flysheet untuk sekedar berteduh.
.
Dalam pikiran saya, yg penting kami berada di dekat sumber air. Saya tidak berpikir jika bisa saja itu adalah wilayah minum satwa liar seperti Harimau Sumatra atau lainnya. Gelap, kabut dan hujan membuat kami bertiga menggigil kedinginan luar biasa. Beruntung kami bisa menyalakan kompor dan memasak energen untuk mengisi perut. Jika dibiarkan tidak ada asupan, dalam kondisi basah menggigil kami akan rentan terserang hypothermia alias kehilangan panas tubuh.
.
Saya sempat bingung, harus bagaimana. Apakah terus mencari jalan ke danau tanpa kejelasan arah dan kondisi seperti ini atau kembali ke atas, ke persimpangan dengan resiko tinggi lebih tersesat karena kelewat lelah, atau diam disini hingga pagi tiba dan kabut hilang, dengan konsekuensi duduk jongkok sepanjang malam. Setelah berdiskusi, kami sepakat mencari arah untuk kembali ke persimpangan dan jika menemui bidang yg sedikit datar, kami akan berhenti disitu dan mendirikan camp untuk beristirahat. Terus mencari jalan ke atas adalah salah satu prosedur jika pendaki hilang orientasi. Maka mulailah kami kembali berjalan dalam gelap dan hujan. Tak lupa sebelumnya kami isi botol air yg kami miliki. 40 menit berjalan, hujan berhenti, berganti angin dingin, dengan langkah yg lambat, saya menemukan bidang datar kecil. Saya tau bidang ini adalah tempat aliran air jika hujan turun lagi. Kami tidak punya pilihan lain, bisa menemukan bidang datar ini sudah seperti suatu keajaiban dalam kondisi ini. Segera saja kami membagi tugas. Meski Flyair saya tidak bisa berdiri sempurna, saya paksakan saja, tak apalah rusak yg penting kami bisa berteduh dengan lebih layak.
.
Pukul 23.10 kami selesai membangun shelter. Memasak pun kami lakukan di dalam tenda. Kami tidak memasak makanan yg bisa menimbulkan aroma khas, mencegah kemungkinan datangnya kucing besar. Lebih baik kami bersiaga dan mencegah daripada terjadi hal yg tidak diinginkan. Jadilah untuk mengganjal perut kami hanya makan biskuit, energen dan kopi hangat. Tak lama, kami semua terlelap pulas dalam sunyinya rimba Masurai.
.
.
Puncak Masurai 2980 mdpl, 13 Okt'18
.
Pagi tiba, masih dingin. Pukul 8.00 kami berkemas. Jika merunut durasi kami turun, maka diperlukan waktu setidaknya 45 menit untuk kembali ke persimpangan, dengan catatan kami tidak hilang orientasi lagi. Dari altimeter yg ada di HP saya, diketahui posisi kami di ketinggian 2500 mdpl. Dan dr kompas yg di bawa Firman kami jadi tau arah, terutama barat. Alhamdulillah pukul 9.00 saya tiba dipersimpangan. Segera saja saya berteriak memanggil kedua rekan yg lain soal ini. Di persimpangan, kami memasak sarapan dan memutuskan akan terus menuju puncak tanpa turun ke Danau Kumbang yg menjadi target di hari pertama. Dalam perhitungan saya, puncak tinggal 200 meter lagi vertikal dari posisi kami. Dan berpedoman pada pace kami di hari pertama, puncak bisa kami gapai dalam waktu 1 atau 1,5 jam. Agar kami bisa bergerak cepat, maka keril-keril besar kami tinggalkan dan sembunyikan di semak yg aman dan hanya menyisakan daypack berisi P3K dan air minum.
.
Puncak I Masurai, pelataran Danau Kumbang
Danau Kumbang

Satu menit lepas simpang Danau Mabuk, ternyata kami tiba di pelataran batu yg di ceritakan Rimen. Kami pun tertawa lepas, mentertawakan diri sendiri atas kebodohan yg kami lakukan semalam. Kebodohan yg nyaris membuat kami pulang nama. Ketidak sabaran dalam mengambil keputusan karena deraan haus, lapar dan dingin. Padahal jika kami berpikir jernih dan mau orientasi arah sedikit lebih lama, tentunya rundown pendakian kami bisa sesuai perencanaan. Tapi sudahlah, yg sudah terjadi tidak bisa di ulang. Di atas pelataran berbatu itu kami menikmati keindahan Danau Kumbang. Setelahnya kami lanjutkan perjalanan menuju puncak.
.
Sepuluh menit dari pelataran berbatu, kami tiba di Simpang Danau Kumbang. Kami hanya diam sambil menatap jalur menurun ke arah danau, tempat yg seharusnya menjadi tempat bermalam kami di hari pertama. Tak berlama-lama, kami pun melanjutkan perjalanan. Cuaca berkabut tebal di sisi barat dan selatan. Saya masih belum bisa mengetahui puncak Masurai ada di sisi mana. Rasanya tanah yg saya pijak ini sudah merupakan titik tertinggi, di tambah lagi, di pelataran berbatu tadi terdapat plang bertuliskan Puncak I Masurai, jangan-jangan puncaknya yg tadi itu.... Lima belas menit selanjutnya jalur mulai mengecil, datar sedikit menurun. Saya mulai curiga, jika bertemu jalur seperti ini adalah ciri khas akan berpindah lembahan yg artinya Puncak tertinggi Masurai ada di bukit yg lainnya. 
.
Tanjakan tiada habis

Bagian terendah dari jalur ini adalah lokasi Shelter II. Letak Shelter II ini kembali membuat saya geleng-geleng kepala. Jaraknya itu lho yg mencapai lima jam dari Shelter I. Luasnya pun bisa di bilang 11-12 dengan Shelter I. Yg agak menyenangkan, disini posisi vegetasinya sedikit terbuka, sehingga kami bisa menikmati hangat matahari di balik mendung. Jika di tarik garis imajiner maka letak puncak tertinggi Masurai ini adalah ujung dari huruf U, dan ujung satunya merupakan Simpang Danau Kumbang. Kebayang kan jauhnya berjalan memutar.
.
Tak lama kami Shelter II, hanya sempat mengambil beberapa foto. Dan sepuluh menit setelahnya di mulailah "siksaan" itu. Saya berdiri diam di bawah tanjakan panjang nyaris vertikal, belum nampak dr saya ujung dr tanjakan ini. Seketika saya teringat dengan Tanjakan vertikal di Bukit Raya saat akan menggapai Puncak Jempol. Jika saat itu, disana saya menggunakan alat bantu berupa webbing, maka kali ini, disini, saya hanya mengandalkan kekuatan kedua tangan saya. Dan ternyata panjang tanjakan ini nyaris tiga kali panjang Tanjakan Jempol di Bukit Raya. Luar biasa, 200 meter nyaris vertikal yg sangat menguras tenaga. Lepas tanjakan itu, ujian belum selesai. Kami masih harus menapaki jalur relatif datar, hanya saja berbagai macam gaya harus kami lakukan. Mulai dr merangkak, merayap, jalan menunduk dan jongkok demi melewati batang dan akar-akar yg berkelindan penuh lumut tebal. Serupa jalur menuju Highcamp Binaiya atau 300 meter menjelang Puncak Kakam Bukit Raya. Jam sudah menunjukkan pukul 12.10, jauh melewati target kami. Dalam kondisi basah dan kuyup, kami sepakat jika dalam waktu lima belas menit ke depan masih belum mencapai puncak, maka kami akan balik badan dan kembali pulang. Kami tidak boleh egois dan harus mengingat bahwa perjalanan turun pun masih sangat panjang dan berat.
.
Dan lagi-lagi, keberuntungan kembali menghampiri, Alhamdulillah lima menit setelah kami coba lanjut mendaki, tibalah kami di Puncak Masurai 2980 mdpl. Sujud syukur dan segala puji bagi Allah swt kami panjatkan. Perjalanan berat dan berbagai rintangan yg kami lewati terbayar sudah. Akhirnya kami bisa menjejak puncaknya. Masurai, ketinggianmu memang tak seberapa di bandingkan dengan saudaramu Kerinci, tapi kontur dan belantaramu sungguh jauh diluar perkiraan. Setelah mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan kami pun bergegas turun. Pukul 12.45 kami mulai turun dan Alhamdulillah pukul 22.00 kami tiba di desa Sei Lalang untuk kemudian kembali ke Bangko.
Sampai Jumpa di Petualangan berikutnya ya....
.
Perabotan Lenong saya

.
.
Terima kasih untuk Allah swt, Maminya Nino, ortu dan sahabat yg sudah men doakan kami.
Terima kasih untuk bang Catur dan keluarga, Rimen dan Firman yg telah menjadi teman dalam pendakian kali ini. Tanpa kalian mungkin saya sudah menyerah.
.
Untuk teman-teman yg ingin menjajal ganasnya Masurai, sekedar saran mendakilah di saat bukan musim hujan, persiapkan fisik, informasi dan logistik sebaik-baiknya.
Jika memerlukan informasi lebih lanjut soal akses dan transportasi bisa menghubungi alamat di bawah :

HP.       : 0811 118 1225 ( WA / SMS )
IG.       : Kukuh Klie
FB.       : Kukuh Klie
E-mail : cliff.klie@gmail.com
.
Kutu Gunung Indonesia
Jl. Achmad Syam / Pandu Raya
Komplek IPB IV Blok A/4
Tanah Baru Bogor Utara.