Rabu, 17 Oktober 2018

Jelajah Bumi Jambi - Gunung Masurai 2980 mdpl


Bogor, 11 Oktober 2018
.
Hari itu, sebelum berangkat perut saya tiba-tiba error, ritual sedekah bumi selepas subuh di mesjid juga nyaris 30 menit, 3x lebih lama dr normal !! . Sampe2 sy hopeless bisa tiba di airport tepat waktu. Rupanya keberuntungan masih berpihak. Di rush hour yg hampir pasti selalu macet, entah kenapa pagi tadi lengang sekali. Nyaris ga percaya hanya 70 menit bisa tiba di airport. Alhamdulillah.... malah punya banyak waktu lebih sebelum boarding.
.
Di bawah cuaca pagi yg mendung, pesawat sy take off tepat waktu (tumben, secara ini naik Singa Terbang, rajanya delay ).
Dapat seat 3 saff dr belakang membuat setiap getaran pesawat begitu terasa. Puncaknya selama on flight, menikmati turbulensi yg keras akibat gugusan Cumulonimbus yg lumayan bikin deg-degan.
.
Tak lama setelah landing, hujan pun turun. Persis sama suasananya saat kali pertama kesini di Agustus 2014, saat saya akan mendaki Kerinci. Jadi flashback ke masa itu, dimana terjadi "tragedi" yg menyenangkan...*lol...
Perjalanan masih panjang, baru jam 17.00 nanti sy melanjutkan ke Kabupaten Merangin. Rencana akan singgah dahulu di Bangko (7 jam dr Jambi kota).
Sementara menunggu, bisa lah sy beristirahat sejenak memejamkan mata setelah semalaman tadi nyaris ga tidur. Saya memang kelelahan akibat mengejar pengerjaan beberapa project yg sedang berjalan di Bogor.
.
.
Jambi City, 11 Oktober 2018 / 14.00
.
Siang yg masih juga mendung ini saya gunakan untuk berbaring di kamar dirumah senior saya semasa di kampus dulu. Meski pada akhirnya tetap ga bisa tidur, lumayanlah bisa meluruskan punggung. Sementara perut saya masih saja rewel. Pasca terkena typus di awal tahun, saya memang rentan sekali bermasalah dengan lambung.裸
.
Menjelang maghrib, datanglah Firman, rekan kerja dr bang Catur yg akan bergabung untuk mendaki Gunung Masurai. Kami mengobrol tentang apa saja sekedar mencairkan suasana sebelum mendaki. Satu jam kemudian, kami semua sudah berada di dalam mobil menuju destinasi pertama yaitu Kabupaten Bangko untuk menjemput anggota tim sekaligus guide kami, bang Rimen. Sepanjang perjalanan menuju Bangko saya dan Catur hanya tidur-tidur ayam untuk membunuh bosan dan mengalihkan rasa sakit di perut. Jadilah Firman yg bertugas menjadi supir di malam itu.
.
Menjelang tiba di Bangko, saya meminta singgah di sebuah minimarket untuk berbelanja logistik. Bukan apa-apa, feeling saya sudah agak terganggu karena kami sama sekali belum mempersiapkan logistik kecuali bahan bakar. Sebuah hal yg nyaris tidak pernah saya lakukan ketika akan mendaki gunung. Biasanya saya selalu merencanakan dengan matang, termasuk soal logistik, minimal 7 hari sebelumnya. Dan saya pun mengambil keperluan-keperluan logistik meski tidak maksimal karena banyak yg saya cari tidak tersedia.
.
.
Bangko - Jangkat - Sei Lalang
12 Oktober 2018
.
Pukul 1.30 kami tiba di Bangko, menemui Rimen. Setelah melahap pecel lele di sebuah warung tenda, kami lanjutkan menuju rumah Rimen untuk beristirahat menunggu pagi. Disana saya pun melanjutkan tidur. Tepat adzan subuh berkumandang, hujan turun dengan derasnya. Membuat malas untuk bergerak. Pukul 6.00, dengan Firman masih menjadi supir, mobil kami melaju membelah jalanan Bangko yg sepi dan dingin, menuju destinasi berikutnya, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Oh iya, jika kamu pernah ke Kerinci via Jambi, maka posisi Bangko adalah setelah pertigaan arah Sungai Penuh dr Sarolangun.
.
Menurut Rimen, Desa Sei Lalang (desa terakhir untuk mendaki Masurai) dapat di capai dengan 3 jam perjalanan mobil dr Bangko. Nyaris betul, karena kami memerlukan 3,5 jam untuk itu.
.
Mushalla Al Ikhlas
Jalanan Awal

Tidak ada penanda khusus yg menjadi titik awal pendakian, kecuali bangunan mushala Al Ikhlas di seberang jalan masuk. Bahkan, tidak ada biaya untuk perijinan, kecuali kami membayar pada warga untuk menitipkan mobil. Hari gini, sudah jarang bisa menemui gunung tanpa retribusi. Desa Sei Lalang ini terletak di ketinggian 1720m dpl. Kabut tebal dan gerimis menyambut kedatangan kami. Sambil berkemas, kami pun menyempatkan diri sarapan di warung kecil sebrang jalan masuk pendakian. Pecel lontong pun menjadi pilihan saya pagi itu.
.
Pukul 10.15, kami memulai perjalanan. Menyusuri jalan desa yg lurus sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Meski sudah berada di kaki gunung, namun akibat kabut yg sangat tebal, kami tetap tidak bisa melihat wujud utuh gunung yg akan kami daki ini. Persis sebelum tikungan yg menanjak ada jalan tanah coklat berpasir turun ke kiri. Itulah arah jalur pendakian selanjutnya. 10 meter ke bawah, kami menemui rintangan pertama, yaitu sungai berbatu selebar 4 meter. Derasnya arus pasca hujan membuat kami harus lebih berhati-hati menyebranginya. Satu jam berikutnya kami menyusuri kebun penduduk yg di dominasi pohon kopi. Jejak ban motor membuat trek menanjak ini menjadi dalam dan licin. Jalur seperti ini mengingatkan saya dengan pendakian Argopuro di 2015.

Tantangan Pertama, menyeberangi sungai
Jalur selepas ladang penduduk
Pintu Rimba Masurai

.
Pukul 11.30, Rimen baru menyadari jika kami salah jalur alias nyasar. Beruntung tak jauh dr lokasi kami ada bangunan gubug petani yg bisa kami tanyai. Meski harus berpindah lembahan kecil, akhirnya kami kembali ke jalur yg seharusnya. Tak lama kami tiba di Pintu Rimba Masurai, sepetak bidang datar kecil berukuran 4x4 meter. Papan pintu rimba nampak sudah rusak dan hanya bersandar pada pokok pohon besar yg sudah tumbang. Bagian akar pohon tumbang itu menciptakan kanopi kecil yg bisa kami gunakan untuk berteduh dr hujan. Bayangkan besarnya pohon itu jika bagian bawahnya bisa menjadi kanopi.
.
Shelter I, istirahat makan siang

Shelter I kami tempuh dalam waktu 1 jam dr Pintu Rimba, dengan melewati banyak titian pohon tumbang berukuran raksasa. Licin sekali, tak terhitung berapa kali kami terjatuh. Beruntung tidak cidera serius. Di Shelter I yg berukuran sangat kecil, kami beristirahat makan siang selama 1,5 jam.
Ada satu ciri unik saat kamu akan tiba di Shelter I yaitu, kamu akan tiarap untuk melewati pohon tumbang, harus tiarap karena pohon itu, meski sudah tumbang, batangnya terlalu besar dan tinggi untuk di langkahi. Di kiri bawah Shelter terdapat sumber aliran air yg jernih. Sebaiknya pendaki mengisi perbekalan air banyak-banyak disini. Karena sumber air berikutnya baru akan di temui di Danau Mabuk (-+6-7 jam), atau Danau Kumbang (-+5,5jam) itu pun harus turun ke bawah dr jalur pendakian. Kalaupun ada sumber lain yg tidak perlu turun adalah di sekitar Shelter II (5 jam), berupa genangan air di bawah akar pohon besar. Airnya berwarna kecoklatan.
.
.
Simpang Danau Mabuk 2740m dpl
.
Di Shelter I kawan kami Rimen, karena satu dan lain hal harus kembali turun sehingga tidak bisa menemani kami ke atas. Setelah meng-packing ulang bawaan, kami bertiga melanjutkan pendakian. Tetap di bawah cuaca buruk dan kabut. Kami menargetkan pukul 17.00 bisa tiba di Simpang Danau Kumbang untuk shalat Ashar dan beristirahat.
.
Lepas shelter I, kami langsung berhadapan dengan tanjakan-tanjakan yg panjang dan sangat terjal. Sedikitpun kami tidak menemui bonus trek saat menuju Simpang Danau Kumbang. Vegetasi rapat, pohon-pohon yg sangat besar dan kabut tebal terus mengiringi perjalanan kami. Jalur model ini cukup membuat stress dan cepat menguras tenaga. Di tambah lagi udara dingin menusuk membuat cadangan panas tubuh menurun drastis. Jika harus mencari bandingannya, jalur menuju Simpang Danau ini mirip dengan jalur Latimojong dr Pos II ke Pos III, atau Bapa Tere Ciremai, terus menerus tanpa bonus.
.
Keril yg berat karena basah membuat Catur kepayahan. Saya meski dalam kondisi yg tidak fit, memintanya melepas keril lalu bergantian menyandangnya ke punggung saya. Kami berjalan lambat sekali. Seringnya melangkahi atau merangkak di bawah pokok pohon besar yg tumbang betul-betul menjadi ujian kesabaran. Belum lagi memanjat tanjakan panjang dan licin, mengandalkan kekuatan tangan dalam memegang akar dan fokus agar kaki tidak salah memijak, menjadi suatu keharusan. Waktu terus beranjak senja, sedangkan belum ada tanda-tanda kami akan menemui persimpangan. Akhirnya pukul 17.30 kami memutuskan berhenti di bidang kecil yg agak datar untuk rehat dan shalat.
.
Pukul 18.00, setelah memasang headlamp kami melanjutkan pendakian dan kembali berhadapan dengan tanjakan yg semakin panjang dan terjal. Kami berjalan rapat karena sudah gelap dan kabut. Tanpa saya sadari, rupanya bekal air kami habis, hanya menyisakan botol kecil yg ada pada saya, itupun tinggal isi setengahnya. Manajemen air kami buruk sekali. Gegabah dalam menggunakan air hanya karena merasa akan segera tiba di danau, yg notabene air berlimpah ruah.
.
Lima belas menit kemudian, kami tiba di persimpangan, petak datar berukuran 3 x 3 meter. Disitu terpampang jelas beberapa papan bertuliskan Simpang Danau Mabuk 2740m dpl lengkap berikut tanda panah yg mengatakan posisi danau  berada 300 meter di bawah simpangan. Kami sempat kebingungan karena dr hasil observasi awal sebelum pendakian tidak ada tulisan-tulisan yg membahas soal keberadaan Danau Mabuk. Apalagi Rimen sebelum turun mengatakan bahwa nanti yg akan kami temui adalah persimpangan yg berupa pelataran berbatu, dan tepat di depan pelataran tersebut adalah Danau Kumbang.
.
Camp kami saat hilang orientasi arah

Saya sempat terpikir untuk membuat camp di persimpangan ini, mengingat tubuh yg sudah sangat kelelahan dan lokasi persimpangan ini sangat ideal untuk camp. Tapi demi mengingat bekal air kami tidak lebih dari 300 ml lagi yg tersisa, kami memutuskan untuk turun ke Danau sesuai tanda panah yg terpasang. Dari informasi yg kami dapat sebelumnya, katanya untuk turun ke danau hanya membutuhkan waktu 30 menit saja. Kami pun bergegas turun dengan sisa tenaga menembus kabut.
.
10 menit awal jalur memang menurun, wajar saja, karena kami memang sedang turun menuju danau. Namun perlahan tapi pasti, jalur semakin tertutup, luar biasa rapat, berlumut tebal. Kami beberapa kali kehilangan arah karena pedoman kami turun hanyalah pita-pita yg terpasang di ranting. Jarak pandang yg tidak lebih dr 3 meter membuat kami harus sering berhenti mencari keberadaan pita penunjuk arah. Saat itu sudah tidak karuan perasaan kami, rasanya kami hanya berputar-putar di tempat saja. Satu jam berlalu, kami hanya naik turun di lorong-lorong gelap. Berkali-kali kepala terantuk dahan atau kaki terperosok ke dalam lubang akar yg tertutupi serasah. Sakitnya tidak perlu di tanya. Kepala saya pun berdarah saat terantuk kesekian kalinya. Firman cidera saat terperosok sampai sedalam lutut.
.
Puncaknya, hujan turun lagi, jam menunjukkan pukul 19.30. Kesabaran saya habis, dan saya meminta tim untuk mencari bidang yg sedikit datar dan luas sekedar untuk membuat bivak. Pikiran di kepala sudah terkontaminasi hal-hal yg sifatnya spooky. Jangan-jangan kami di kerjain makhluk halus penunggu Masurai sehingga hanya mutar-mutar disini. Ketika hujan semakin lebat, saya menengadahkan kepala dan membuka mulut, berharap agar ada tetesan air hujan yg bisa masuk untuk saya minum, karena bekal air kami sudah total habis. Saat sudah putus asa dan menggigil, Qodarullah, dalam langkah yg sudah tidak bertenaga, headlamp saya menyorot ke bawah lembah kecil dan nampaklah genangan air berwarna coklat teh. Catur dan Firman pun mengatakan bahwa itu memang air. Alhamdulillah, Allah masih sayang pada kami. Tanpa memperhitungkan kondisi kontur lembahan yg becek dan berlumpur saya pun meng-komando tim untuk membuat bivak sederhana dr flysheet untuk sekedar berteduh.
.
Dalam pikiran saya, yg penting kami berada di dekat sumber air. Saya tidak berpikir jika bisa saja itu adalah wilayah minum satwa liar seperti Harimau Sumatra atau lainnya. Gelap, kabut dan hujan membuat kami bertiga menggigil kedinginan luar biasa. Beruntung kami bisa menyalakan kompor dan memasak energen untuk mengisi perut. Jika dibiarkan tidak ada asupan, dalam kondisi basah menggigil kami akan rentan terserang hypothermia alias kehilangan panas tubuh.
.
Saya sempat bingung, harus bagaimana. Apakah terus mencari jalan ke danau tanpa kejelasan arah dan kondisi seperti ini atau kembali ke atas, ke persimpangan dengan resiko tinggi lebih tersesat karena kelewat lelah, atau diam disini hingga pagi tiba dan kabut hilang, dengan konsekuensi duduk jongkok sepanjang malam. Setelah berdiskusi, kami sepakat mencari arah untuk kembali ke persimpangan dan jika menemui bidang yg sedikit datar, kami akan berhenti disitu dan mendirikan camp untuk beristirahat. Terus mencari jalan ke atas adalah salah satu prosedur jika pendaki hilang orientasi. Maka mulailah kami kembali berjalan dalam gelap dan hujan. Tak lupa sebelumnya kami isi botol air yg kami miliki. 40 menit berjalan, hujan berhenti, berganti angin dingin, dengan langkah yg lambat, saya menemukan bidang datar kecil. Saya tau bidang ini adalah tempat aliran air jika hujan turun lagi. Kami tidak punya pilihan lain, bisa menemukan bidang datar ini sudah seperti suatu keajaiban dalam kondisi ini. Segera saja kami membagi tugas. Meski Flyair saya tidak bisa berdiri sempurna, saya paksakan saja, tak apalah rusak yg penting kami bisa berteduh dengan lebih layak.
.
Pukul 23.10 kami selesai membangun shelter. Memasak pun kami lakukan di dalam tenda. Kami tidak memasak makanan yg bisa menimbulkan aroma khas, mencegah kemungkinan datangnya kucing besar. Lebih baik kami bersiaga dan mencegah daripada terjadi hal yg tidak diinginkan. Jadilah untuk mengganjal perut kami hanya makan biskuit, energen dan kopi hangat. Tak lama, kami semua terlelap pulas dalam sunyinya rimba Masurai.
.
.
Puncak Masurai 2980 mdpl, 13 Okt'18
.
Pagi tiba, masih dingin. Pukul 8.00 kami berkemas. Jika merunut durasi kami turun, maka diperlukan waktu setidaknya 45 menit untuk kembali ke persimpangan, dengan catatan kami tidak hilang orientasi lagi. Dari altimeter yg ada di HP saya, diketahui posisi kami di ketinggian 2500 mdpl. Dan dr kompas yg di bawa Firman kami jadi tau arah, terutama barat. Alhamdulillah pukul 9.00 saya tiba dipersimpangan. Segera saja saya berteriak memanggil kedua rekan yg lain soal ini. Di persimpangan, kami memasak sarapan dan memutuskan akan terus menuju puncak tanpa turun ke Danau Kumbang yg menjadi target di hari pertama. Dalam perhitungan saya, puncak tinggal 200 meter lagi vertikal dari posisi kami. Dan berpedoman pada pace kami di hari pertama, puncak bisa kami gapai dalam waktu 1 atau 1,5 jam. Agar kami bisa bergerak cepat, maka keril-keril besar kami tinggalkan dan sembunyikan di semak yg aman dan hanya menyisakan daypack berisi P3K dan air minum.
.
Puncak I Masurai, pelataran Danau Kumbang
Danau Kumbang

Satu menit lepas simpang Danau Mabuk, ternyata kami tiba di pelataran batu yg di ceritakan Rimen. Kami pun tertawa lepas, mentertawakan diri sendiri atas kebodohan yg kami lakukan semalam. Kebodohan yg nyaris membuat kami pulang nama. Ketidak sabaran dalam mengambil keputusan karena deraan haus, lapar dan dingin. Padahal jika kami berpikir jernih dan mau orientasi arah sedikit lebih lama, tentunya rundown pendakian kami bisa sesuai perencanaan. Tapi sudahlah, yg sudah terjadi tidak bisa di ulang. Di atas pelataran berbatu itu kami menikmati keindahan Danau Kumbang. Setelahnya kami lanjutkan perjalanan menuju puncak.
.
Sepuluh menit dari pelataran berbatu, kami tiba di Simpang Danau Kumbang. Kami hanya diam sambil menatap jalur menurun ke arah danau, tempat yg seharusnya menjadi tempat bermalam kami di hari pertama. Tak berlama-lama, kami pun melanjutkan perjalanan. Cuaca berkabut tebal di sisi barat dan selatan. Saya masih belum bisa mengetahui puncak Masurai ada di sisi mana. Rasanya tanah yg saya pijak ini sudah merupakan titik tertinggi, di tambah lagi, di pelataran berbatu tadi terdapat plang bertuliskan Puncak I Masurai, jangan-jangan puncaknya yg tadi itu.... Lima belas menit selanjutnya jalur mulai mengecil, datar sedikit menurun. Saya mulai curiga, jika bertemu jalur seperti ini adalah ciri khas akan berpindah lembahan yg artinya Puncak tertinggi Masurai ada di bukit yg lainnya. 
.
Tanjakan tiada habis

Bagian terendah dari jalur ini adalah lokasi Shelter II. Letak Shelter II ini kembali membuat saya geleng-geleng kepala. Jaraknya itu lho yg mencapai lima jam dari Shelter I. Luasnya pun bisa di bilang 11-12 dengan Shelter I. Yg agak menyenangkan, disini posisi vegetasinya sedikit terbuka, sehingga kami bisa menikmati hangat matahari di balik mendung. Jika di tarik garis imajiner maka letak puncak tertinggi Masurai ini adalah ujung dari huruf U, dan ujung satunya merupakan Simpang Danau Kumbang. Kebayang kan jauhnya berjalan memutar.
.
Tak lama kami Shelter II, hanya sempat mengambil beberapa foto. Dan sepuluh menit setelahnya di mulailah "siksaan" itu. Saya berdiri diam di bawah tanjakan panjang nyaris vertikal, belum nampak dr saya ujung dr tanjakan ini. Seketika saya teringat dengan Tanjakan vertikal di Bukit Raya saat akan menggapai Puncak Jempol. Jika saat itu, disana saya menggunakan alat bantu berupa webbing, maka kali ini, disini, saya hanya mengandalkan kekuatan kedua tangan saya. Dan ternyata panjang tanjakan ini nyaris tiga kali panjang Tanjakan Jempol di Bukit Raya. Luar biasa, 200 meter nyaris vertikal yg sangat menguras tenaga. Lepas tanjakan itu, ujian belum selesai. Kami masih harus menapaki jalur relatif datar, hanya saja berbagai macam gaya harus kami lakukan. Mulai dr merangkak, merayap, jalan menunduk dan jongkok demi melewati batang dan akar-akar yg berkelindan penuh lumut tebal. Serupa jalur menuju Highcamp Binaiya atau 300 meter menjelang Puncak Kakam Bukit Raya. Jam sudah menunjukkan pukul 12.10, jauh melewati target kami. Dalam kondisi basah dan kuyup, kami sepakat jika dalam waktu lima belas menit ke depan masih belum mencapai puncak, maka kami akan balik badan dan kembali pulang. Kami tidak boleh egois dan harus mengingat bahwa perjalanan turun pun masih sangat panjang dan berat.
.
Dan lagi-lagi, keberuntungan kembali menghampiri, Alhamdulillah lima menit setelah kami coba lanjut mendaki, tibalah kami di Puncak Masurai 2980 mdpl. Sujud syukur dan segala puji bagi Allah swt kami panjatkan. Perjalanan berat dan berbagai rintangan yg kami lewati terbayar sudah. Akhirnya kami bisa menjejak puncaknya. Masurai, ketinggianmu memang tak seberapa di bandingkan dengan saudaramu Kerinci, tapi kontur dan belantaramu sungguh jauh diluar perkiraan. Setelah mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan kami pun bergegas turun. Pukul 12.45 kami mulai turun dan Alhamdulillah pukul 22.00 kami tiba di desa Sei Lalang untuk kemudian kembali ke Bangko.
Sampai Jumpa di Petualangan berikutnya ya....
.
Perabotan Lenong saya

.
.
Terima kasih untuk Allah swt, Maminya Nino, ortu dan sahabat yg sudah men doakan kami.
Terima kasih untuk bang Catur dan keluarga, Rimen dan Firman yg telah menjadi teman dalam pendakian kali ini. Tanpa kalian mungkin saya sudah menyerah.
.
Untuk teman-teman yg ingin menjajal ganasnya Masurai, sekedar saran mendakilah di saat bukan musim hujan, persiapkan fisik, informasi dan logistik sebaik-baiknya.
Jika memerlukan informasi lebih lanjut soal akses dan transportasi bisa menghubungi alamat di bawah :

HP.       : 0811 118 1225 ( WA / SMS )
IG.       : Kukuh Klie
FB.       : Kukuh Klie
E-mail : cliff.klie@gmail.com
.
Kutu Gunung Indonesia
Jl. Achmad Syam / Pandu Raya
Komplek IPB IV Blok A/4
Tanah Baru Bogor Utara.

Rabu, 27 Desember 2017

Kembali Pulang

Hari Ke-Tujuh, 13 Desember 2017
Trail 4 : Puncak Bukit Raya - Pos 7 Linang.
.
Masih di Puncak Kakam Bukit Raya, tanpa menghiraukan cuaca yang kurang bersahabat, kami terus saja menikmati kemenangan ini. Tak terasa sudah tengah hari. Langit yang menggelayut hitam sudah siap melepaskan bebannya yang berupa butiran hujan. Tapi semesta masih berpihak pada kami, ditiuplah angin untuk menghalau, sehingga hanya rinai kecil saja yang singgah di tubuh. Mulailah kami memasak makan siang di puncak, untuk bekal tenaga saat turun nanti.
.
Ikan asin tumis, telur dadar dan nasi adalah menu makan kami siang itu. Di tutup dengan nutrijell sebagai dessert. Alhamdulillah, siang itu saya berhasil memasukkan nasi ke lambung saya meski hanya beberapa suap. Lain hal dengan Andy yang masih tidak bisa makan, alhasil dia turun dengan hanya mengandalkan coklat di sakunya.
.
Hujan semakin deras saja, seolah menjadi tanda bahwa memang kami "disuruh" segera turun. Di perjalanan turun ini, Andy di dapuk untuk berjalan paling depan, supaya ritme jalan tim tetap rapat. Pukul 13.40 kami bergerak meninggalkan Puncak Kakam.
Seperti yang sudah saya prediksi sebelumnya, perjalanan turun sama susahnya seperti naik, bahkan hingga di bawah Puncak Jempol nanti rasanya lebih susah berjalan turun. Di hari ini pula, saya mulai merasakan dinginnya udara Bukit Raya, mungkin pengaruh lelah dan perut yang lebih sering kosong.
.
Berjalan rapat memang jadi pilihan satu-satunya agar tidak ada yang terpisah. Seperti hari-hari yang lalu, lewat pukul 15.00 suasananya sudah seperti menjelang maghrib, belum lagi kabut dan angin yang hari ini terasa lebih kencang berhembus. Akhirnya pukul 16.30 kami semua berhasil tiba kembali di bawah Puncak Jempol. Setelah rehat tidak lebih dari 10 menit kami melanjutkan perjalanan. Target kami adalah langsung ke Pos 7 Linang. Namun sebelumnya kami harus menuju ke persimpangan Pos 8 untuk mengambil keril-keril yang sudah dipersiapkan Fendi dan Pak Badat.
Jalan turun menuju persimpangan memang 100% menurun, tapi curamnya jalur membuat banyak dari kami seringkali terpeleset dan jatuh. Saat itu pukul 17.30, hari sudah benar-benar gelap dan kami mulai berjalan dengan menggunakan headlamp. Mulai saat itu, posisi leader jalan di ambil alih oleh saya.
.
Fokus cahaya headlamp saya yang tidak begitu bagus membuat saya harus benar-benar memperhatikan arah. Hujan yang sangat deras dan gelapnya rimba sangat membatasi jarak pandang. Alhamdulillah, kami tidak tersesat dan tetap rapat berjalan. Menjelang tiba di persimpangan, jalur semakin rimbun, kecil dan membingungkan. Saya sempat menahan tim untuk menunggu sementara saya orientasi arah. Akhirnya tepat pukul 19.00 tim tiba di persimpangan Pos 8.
.
Di hadapan kami bertumpuk keril-keril yang hanya di naungi atap flysheet tipis. Basah semua keril saat kami mengambil dan membersihkannya dari pacet. Kami saling bergantian menginspeksi tubuh, memastikan bersih dari pacet. Maklum saja, serangan pacet lebih "menggila" saat hujan. Tika dan bang Tutet pamit untuk melanjutkan ke Pos 7 lebih dulu. Karena mereka tidak menggunakan raincoat, mereka total basah dan kedinginan. Setelah mereka berdua pergi, kami berempat dengan masih di temani pak Hata, masih sibuk membersihkan diri di bawah hujan dengan bantuan headlamp.
Saat itu, yang saya tau kondisi Andy yang paling parah terkena pacet. Dikarenakan dia yang paling sering jatuh saat turun tadi. Di tambah nekat ga pake sempak, akhirnya jadilah saya yang harus menyoroti tubuhnya dengan headlamp, sementara dia mencabuti pacet dari sekujur tubuhnya. Ketika kami siap melanjutkan perjalanan ke Pos 7, mendadak Andy menahan langkah kami. Saya membalikkan badan, lalu menyorot ke arah perutnya. Tanpa bicara dia memasukkan tangan ke selangkangannya, lalu saat tangannya di tarik keluar, nampaklah pacet yang sudah gemuk oleh darah. Rupanya makhluk menggemaskan itu "bertengger" di kemaluan Andy....hiiiyy. Lagian, suruh siapa kaga pake sempak...dudulz.
.
Saat mulai melangkah, pikiran saya berputar, mencoba mengulang ingatan di hari ke enam, saat saya sedang berjuang menuju Pos 8, terutama mengingat soal waktu tempuh. Ya, saya ingat bahwa perlu waktu 1,5 jam untuk menempuh rute Pos 7 ke Pos 8 dengan jalur yang 90% menanjak dan 10% datar. Berarti untuk turun paling tidak diperlukan waktu 1 jam saja, yang artinya pukul 20.30 tim kami bisa tiba di Pos 7.
Kalkulasi hitungan saya memang benar, meski di perjalanan, beberapa kali di antara kami harus kembali jatuh bangun karena licinnya medan. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda saat kami tiba di Pos 7. Di bawah flysheet, di shelter porter, nampaknya pak Badat dan Fendi sudah terlelap. Tika dan bang Tutet juga sudah tak terdengar suaranya, mungkin mereka sudah tidur.
.
Saya keluarkan barang-barang dari keril terutama baju ganti dan jaket lalu saya masukkan ke dalam tenda. Keril basah saya gantungkan di tiang shelter. Selama di perjalanan ini, saya selalu tidur berdua dengan Andy. Saya berganti pakaian lalu masuk ke dalam tenda. Barulah setelahnya Andy. Itupun setelah saya wajibkan dia untuk membersihkan badannya dulu dari pacet. Jaket waterproof-nya penuh pacet di bagian inner akibat berulang kali jatuh selama di jalur, akhirnya dengan terpaksa jaket itu di isolasi ke dalam plastik kresek, karena sangat tidak mungkin mencabuti pacet satu persatu hingga bersih. Setelah itu saya bantu dia membersihkan kepalanya, sekilas mirip Medusa...hahaha...itu lho legenda wanita berambut ular. Berhubung si Andy laki-laki ya sebut saja Meduso, lelaki berambut pacet.
.
Sesaat sebelum tidur, saya melihat jam, tertera pukul 22.00. Sudah 8 jam berlalu Puncak Kakam kami tinggalkan.
.
.
Hari Kedelapan, 14 Desember 2017
Trail 5 : Pos 7 - Pos 4 Sungai Mangan
.
Pukul 6.00, sudah 30 menit dari saya bangun untuk shalat subuh. Masih belum ada tanda-tanda pergerakan dari tim. Sepertinya lelah akibat dari perjalanan kemarin masih belum hilang. Ya, jika di total, khusus hari kemarin kami berjalan selama 12 jam naik turun. Perjalanan terpanjang selama di ekspedisi ini. Dan kondisi lelah itu diperparah kami tidak makan malam. Pagi ini setelah sarapan dengan energen, sedikit mie dan nutrijell saya, Andy, Margie, pukul 8.30 mulai bergerak menuju target kami Pos 3 Hulu Menyanoi. Disana kami akan mendirikan camp untuk bermalam. Disana pula kami meninggalkan sebagian logistik. Rute Pos 7 menuju Pos 6 100% turunan. Diperkirakan waktu tempuh sekitar 2 jam. Saya masih mengenakan pakaian basah bekas hujan semalam. Perjalanan menuju Pos 6 relatif mulus dan tidak ada kendala, meski kami tiba lebih lambat 30 menit dari target. Rehat sejenak lalu kami bergerak lagi, pokoknya jangan sampai kami tersusul oleh porter yang paling belakang. 20 menit menjelang Pos 5, saya mempercepat langkah, meninggalkan pak Badat, pak Hata, Andy dan Margie. Saya terus berjalan cepat sambil tetap jeli dengan arah. Tepat pukul 12.00 saya tiba di pos favorit saya, Pos 5 Hulu Rabang. Tak lupa saya ambil dryfit yang saya tinggalkan disini pada hari kedua pendakian. Di sini saya bertemu dengan bang Tutet dan Tika. Sedangkan mbak Hanny rupanya sudah melanjutkan jalan bersama Fendi.
.
Berjalan cepat seperti tadi menghabiskan energi saya cukup banyak. Perut terasa lapar. Akhirnya saya mengambil air dari sungai lalu mengaduk energen. Jelas saja tidak larut. Saya tidak peduli, anggap saja energen dingin, yang penting perut terisi. 15 menit kemudian Andy dan Margie datang, bergabung istirahat. Alhamdulillah stok coklat Andy masih cukup banyak, jadilah kami makan siang dengan coklat dan sebungkus indomie kremes. Agak lama juga kami rehat di Pos 5. Mengumpulkan tenaga untuk menempuh rute ke Pos 4 yang merupakan rute terpanjang dan 80% tanjakan. Pukul 13.30 kami melanjutkan perjalanan.
.
Berhubung jalur menanjak, kami terpaksa hanya menggunakan gigi 1...hehe...maklum tiga orang yang dibelakang ini body nya jumbo-jumbo. Pak Badat yang menjadi sweeper pun dengan sabar mengawal kami. Dan kembali hujan turun sesuai jadwal hariannya, pukul 14.50. Lalu reda saat kami tiba di Simpang Lekawai pukul 16.45. Disini saya shalat terlebih dulu.
Selesai shalat, setelah memasang headlamp, kamipun mulai bergerak lagi. Saya perkirakan kami akan tiba di Pos 3 pukul 19.00. Saya berjalan dengan lebih bersemangat karena tau Pos berikutnya (Pos 4) sudah tidak jauh lagi. Paling hanya 15-20 menit kami sudah bisa tiba di Pos 4 Sungai Mangan.
Pukul 17.20 kami tiba dan kami agak heran, seluruh anggota tim berkumpul disana. Sebuah bivak dari flysheet sudah berdiri. Lalu kami berembuk mengenai rencana perjalanan selanjutnya. Mbak Hanny meminta kami buka camp disini, bang Tutet ingin lanjut, sedangkan porter kami juga enggan berjalan di malam hari meski ada headlamp. Kebanyakan dari masyarakat Dayak Ot Danum memang pantang berjalan di rimba malam hari. Ketika saya diminta pendapat, saya katakan bahwa saya mengikuti saja baiknya bagaimana. Keputusan final adalah kami bermalam di Pos 4 ini. Lalu tim bergerak cepat membangun shelter untuk bermalam. Dan khusus di malam terakhir kami di rimba, pak Badat yang memasak makan malamnya. Enak juga rupanya masakan beliau. Istimewanya, beliau masak dengan perapian kayu, dengan sendok sayur yang diukir sendiri on the spot. Keren lah pokoknya.
Malam ini juga istimewa karena untuk pertama kalinya saya dan Andy bisa makan lahap. Alhamdulillah.
.
.
Hari ke Sembilan, 15 Desember 2017
Trail 6 : Pos 4 - Rantau Malam.
.
Hari terakhir kami di rimba Bukit Raya. Untuk merayakannya saya pun berganti pakaian dengan pakaian kering dan bercelana pendek. Untuk sepatu, tetap dengan sepatu basah, jari-jari kaki saya yang luka karena gesekan basah sudah saya balut dengan perban. Niat menggunakan sendal saya urungkan karena sendal saya rupanya ditinggalkan porter di Pos 3 bersama logistik ketika hari kedua. Seperti biasa, di hari terakhir ini pun saya, Margie dan Andy masih menghuni posisi sweeper. Belum genap pukul 7 pagi saat kami bergerak meninggalkan Pos 4. Perut yang kenyang membuat jalan kami lebih tenang. Pukul 8.10 kami sampai di Pos 3. Sambil beristirahat saya membuat minuman sachet sari mangga. Segar betul rasanya. Di tambah berjalan dengan sendal, membuat saya makin ringan melangkah.
.
Kami tiba di pintu rimba pukul 11.30, disambut dengan panasnya tusukan matahari. Drastis sekali perubahan suhu yang kami alami. Memandang jalur selanjutnya yang berada langsung di bawah matahari membuat kami malas beranjak. Mengharapkan ojek namun sedikitpun tidak ada tanda-tandanya. Dan mau tidak mau, kami harus segera melangkah. Nyaris pukul 12 siang saat langkah kaki kami mulai bergerak menyusuri jalur yang tandus dan luar biasa panas ini. Setiap 100-200 meter saya menepi mencari sekedar pelepah pohon untuk berlindung dari sengatan panas. Saya berjalan lebih cepat, saya ingin segera mengakhiri berjalan di bawah panas seperti ini. 1/3 jarak tertempuh, datanglah ojek menjemput, dan Margie lah yang kebagian giliran pertama naik ojek. Lalu saya terus melanjutkan perjalanan. Andy dan pak Badat berada 15 menit dibelakang saya. 1/3 akhir perjalanan, datang Fendi dengan menggunakan motor ojek yang sama menjemput saya. Rupanya si ojek sudah kelelahan, dan Fendi lah yang melanjutkan penjemputan. Hehehe...tukang ojek yang naik motor aja KO dihajar panasnya jalur, apalagi kami yang berjalan kaki. Saat saya tiba dipangkalan ojek, bang Tutet sedang tidur. Saya diberitahu Tika bahwa Margie dan mbak Hanny sedang merendam kaki di tepi sungai. Saya pun segera bergabung. Duuh...nikmat sekali merendam kaki di dinginnya air sungai sambil menikmati sebotol Coca Cola gratis traktiran Margie.
.
Tak lama saya relaksasi di tepi sungai, datanglah Andy dengan terengah-engah, bergabung dengan kami. Ga tanggung-tanggung, Andy malah menceburkan dirinya ke sungai. Persis anak kecil ketemu mainan. Cukup lama kami bersantai disini. Hampir 1 jam.
Selesai berendam kami merapikan barang-barang dan berjalan ke arah kiri, ke arah setapak becek. Menurut keterangan pak Badat, ini jalan pintas untuk menuju desa. Jika kami rela menyeberang dengan air setinggi dada, maka bisa saja kami menyeberang melalui titik dimana tadi kami berendam.
.
Belum lama kami meninggalkan pos ojek, saya dan pak Badat di "hadang" 2 perempuan, yang ternyata salah satunya adalah istri bang Ngea. Dia mengatakan bahwa perahu sudah menunggu untuk membawa kami ke Serawai sesuai perjanjian awal. Kami memang meminta bang Ngea untuk menjemput tanggal 15 Desember. Saya sempat bingung untuk memberi persetujuan karena tadi ketika kami sedang bersantai di tepi sungai, kami sepakat jika tanggal 16 Desember pagi, baru akan meninggalkan Rantau Malam, yang artinya malam ini kami ingin beristirahat saja di homestay.
Istri bang Ngea berkeras kami harus jadi ke Serawai sore ini juga, dia bilang besok perahunya sudah di booking untuk mengangkut peralatan proyek mikro hydro. Tarik ulur kami mencari solusi, akhirnya bang Ngea mengalah dan mempersilakan kami untuk menginap lagi semalam di Rantau Malam. Dengan catatan, besok pagi jam 6 kami harus sudah standby di tepi dermaga Rantau Malam. Dan Alhamdulillah bang Ngea bersedia mengantar kami ke dermaga desa dengan boat-nya, jadi kami tak perlu bersusah payah berjalan dan berbasah-basah menyeberangi sungai.
.
Tiba di homestay, saya, Andy dan Margie segera membongkar seluruh peralatan yang kotor. Baru pukul 15.00, kami rasa akan cukup waktu untuk membersihkan seluruh peralatan. 6 hari dihutan, semua peralatan basah, becek dan lembab. Jadilah 2 jam berikutnya kami sibuk di tepi dermaga desa, mencuci sepatu, flysheet hingga tenda-tenda. Beruntung sore itu cuaca cerah, matahari bersinar terik. Memberi kesempatan peralatan basah kami untuk sedikit mengering. Banyaknya peralatan membuat kami harus menitipkan jemur di beberapa rumah warga. Selesai ritual bersih-bersih alat dan shalat, kami memanfaatkan waktu untuk berkeliling desa. Berkunjung ke rumah Fendi (porter), kami disuguhi jagung rebus dan teh manis (yang ini free no charge)...hehehe. Lalu kami berfoto-foto di resort TNBBBR Rantau Malam.
.
Tepat pukul 18.00, hari sudah gelap. Ritual potong ayam pasca pendakian pun di mulai. Seperti di hari pertama kami datang, di hari terakhir ini pun, kembali bang Tutet menjadi tukang jagal-nya. Dan anggota tim yang lain bertugas membersihkan dan mengolah ayam tersebut untuk lauk makan malam.
Ada yang sedikit berbeda di ritual turun gunung ini, yaitu bapak Otong menaburi kepala kami dengan beras serta meminta telapak tangan kami terbuka agar bisa ia tekan dengan jari telunjuknya yang sudah dibasahi darah ayam. Selesai ritual, beliau meminta kami membeli arak. Wah, saya sempat keder juga, jangan-jangan semua wajib minum. Tapi Alhamdulillah, kami yang tidak minum tidak dipaksa untuk minum. Kami hanya membeli, dan yang meminum adalah beliau dan beberapa warga desa. Konyol juga, menyaksikan mereka mabuk. But who cares?...masing-masing aja lah.
.
Saat saya sedang asyik memindahkan foto dari Garmin Virb ke eksternal hardisk milik mbak Hanny via laptop milik Fendi (keren nih si Fendi, punya laptop n printer pula). Tetiba Andy menghampiri saya dan dengan bahasa kode yang ga saya mengerti dia ngasih tau saya. Andy sembunyi-sembunyi mengacungkan telunjuk dan 4 jari nya bergantian. Saya yang belum ngerti maksudnya cuma ngangguk-ngangguk aja. Dan setelah sekian lama akhirnya saya paham maksudnya, Andy tuh mau bilang kalo tagihan tim kami untuk biaya adat dan lain-lain itu 1,4 juta....wooott??!!...1,4 juta??...aje gileee...
Saya tanya dimana itu perincian invoice-nya, ternyata di taruh di depan pintu kamar kami, selembar kertas buku tulis bergaris, dengan detail berisi barisan angka. Well, akhirnya untuk kenang-kenangan saya abadikan kertas invoice itu dengan Canon 500D yang saya bawa.
.
Saya lupa malam itu tidur jam berapa, yang jelas seperti malam-malam sebelumnya selama 8 hari terakhir, malam ini pun suara mendengkur khas si Andy yang menjadi pengantar tidur saya menuju pagi.
.
.
Hari Ke Sepuluh, 16 Desember 2017
Trail 7 : Rantau Malam - Nanga Pinoh
.
Sesuai perjanjian dengan bang Ngea, pagi itu kami semua sudah bersiap pukul 6.00. Sebelum berangkat, kami sarapan dengan sisa logistik yang kami miliki yaitu spaghetti dan nasi goreng. Ga apalah Karbo vs karbo. Tak perlu waktu lama untuk kami menghabiskannya.
Tepat pukul 7.00, dengan di antar porter-porter kami, longboat mulai bergerak meninggalkan dermaga desa Rantau Malam. Dan pada saat itu ada perasaan sedih yang melintas di hati saya melihat porter-porter kami yang baik melambaikan tangan perpisahan. Kebaikan dan ketulusan mereka menghapuskan hal-hal yang kurang mengenakkan yang kami alami selama disana. Insya Allah jika ada umur dan kesempatan mungkin saya akan silaturrahim lagi ke Rantau Malam-nya saja, bukan ke Bukit Raya-nya. Naik ke Bukit Raya cukup sekali saja deh.
.
Selama di longboat menuju Serawai kami lebih banyak diam. Tidur tidak, ngobrol tidak. Debit air sungai yang berkurang membuat boat seringkali bergesekan dengan dasar sungai yang berbatu, menimbulkan perasaan waswas dan khawatir boat kami mengalami trouble.
Matahari pun bersinar sangat terik membakar kami yang duduk pasrah tanpa atap. Perjalanan pulang ini lebih cepat, hanya 3,5 jam atau pukul 10.30 kami sudah kembali tiba di teras penginapan Serawai. Ramai sekali hari itu. Kami transit selama satu jam sebelum melanjutkan ke Nanga Pinoh.
Pukul 11.30, kami menuju Nanga Pinoh dengan speedboat yang sama seperti saat kami pergi. Dan lagi-lagi, satu orang dari kami harus di oper ke boat reguler dengan alasan keselamatan. Dan kali ini Andy lah yang terpisah. Menurut saya, pengurangan penumpang dengan alasan keselamatan ini hanya akal-akalan sopir boat saja, karena saya melihat banyak boat yang bisa memuat penumpang hingga 9 orang plus barang. Tidak ada masalah, konsekuensinya hanya laju boat berkurang. Dan hal ini di iya-kan pula oleh rekan yang lain. Setelah kami perhatikan sopir boat kami ini memang over atraktif dalam memacu boat-nya. Manuver-manuvernya menurut saya berlebihan. Mungkin dia merasa jadi Valentino Rossi versi sungai.
.
Sebelumnya kami sudah tau jika nanti akan cukup lama menunggu jemputan untuk ke Pontianak karena kami baru menghubungi mobil jemputan saat tiba di Serawai. Perjalanan Pontianak ke Pinoh sekitar 9 jam. Perjalanan Serawai ke Pinoh hanya 3-4 jam. Jadi nanti di Pinoh kami akan menunggu sekitar 5-6 jam.
Pukul 14.30 speedboat kami sudah tiba di Nanga Pinoh. Selesai membayar biaya boat, kami susun keril-keril kami di tepi dermaga. Kami putuskan untuk menunggu jemputan di dermaga saja. Lebih nyaman.
.
Sambil menunggu jemputan, saya memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar pasar Nanga Pinoh, sekaligus mencari mesjid untuk menunaikan shalat dzuhur dan ashar. Sekira pukul 17.00 saya kembali ke dermaga dan beristirahat bersama teman-teman yang lain. Ternyata senja di dermaga Nanga Pinoh ini cukup indah. Saya abadikan beberapa dengan kamera.
.
.
Hari ke Sebelas, 17 Desember 2017
Trail 8 : Nanga Pinoh - Pontianak
.
Memang benar kata pepatah, menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Waktu berjalan terasa lambat sekali. Saya meminta Tika untuk menanyakan jemputan kami sudah sampai mana. Saat itu pukul 20.00, di jawab oleh supir jemputan bahwa posisi mobil masih di Sanggau. Waduh, masih jauh rupanya. Perkiraan saya, mobil baru akan tiba di Pinoh pukul 1.00 dini hari. Margie mengambil flysheet lalu digelarnya. Dan kami pun memutuskan untuk tidur saja, bergantian.
Benar saja, pukul 1.00 mobil kami baru tiba. Tanpa menunggu lama, segera kami angkut semua keril dan ikat di atas mobil. Pukul 1.30 mobil pun meluncur menuju Pontianak. Jika perjalanan lancar, sekitar pukul 9 pagi kami akan tiba disana.
.
Entah ini cobaan atau apa, lagi-lagi kami terhambat dalam perjalanan pulang ini. Mobil kami minim sekali bensinnya. Lampu indikator sudah menyala, memperingatkan kami soal bensin. Di jalan Trans Kalimantan ini, SPBU sedikit sekali, dan pendek jam operasionalnya.
Sambil harap-harap cemas, kami memasang mata, kalau-kalau ada penjual bensin eceran. Gelap malam dan sepi, ga lucu kalau mobil kami berhenti dan mati mesinnya. Kecepatan mobil dibatasi tidak lebih dari 40km/jam untuk menghemat bensin yang tersisa. Namun akhirnya sopir memutuskan menepi dan berhenti karena tidak mau ambil resiko mobil kehabisan bensin. Waktu menunjukkan pukul 3.30. kami nekat mengetuk beberapa pintu rumah warga untuk sekedar bertanya apakah ada bensin yang dijual. Usaha kami nihil, tak ada warga yang punya, dan jangankan mereka mau memberi info, keluar rumahnya pun tidak. Mungkin mereka juga takut kalau kami ini begal, secara mengetuk pintu di dinihari. Setelah berunding sejenak, semua sepakat untuk nekat jalan kembali. Kami benar-benar tidak tau berapa liter yang masih tersisa di tanki. Saya pun berbicara dengan suara yang mungkin hanya terdengar oleh diri saya sendiri, saya meminta bantuan Allah untuk mendatangkan bensin pada kami. Saya benar-benar berdoa dengan sungguh-sungguh. Meminta keajaiban.
.
Selang 15 menit kemudian, pukul 4.00, ditepi jalan yang gelap, saya melihat ada seorang lelaki usia sekitar 50an. Saya pun meminta sopir menepi agar kami bisa bertanya apakah ada penjual bensin di lokasi dekat kami ini. Allahu Akbar...Alhamdulillah...lelaki berpenampilan sederhana itu ternyata menjual bensin. Setelah berbicara sejenak, dia lalu menyeberang jalan dan menuju rumahnya. Ketika kembali, ditangannya kami lihat bensin sebanyak 4 liter. Allah menjawab doa saya kontan. Jika tanpa pertolongan Allah, mana mungkin kami bertemu dengan lelaki itu. Sekedar info, rumah lelaki itu pun agak masuk ke dalam, sehingga tidak mungkin dari jalan raya kami bisa tau kalau dia menjual bensin.
.
Kami pun bisa melanjutkan perjalanan dengan lebih tenang. Setidaknya 4 liter bensin ini lebih dari cukup untuk kami mencapai SPBU resmi di daerah Sekadau.
Belum 10 menit mobil melaju, adzan subuh memanggil, saya pun meminta sopir menepi di mesjid terdekat. Saat saya tadi berdoa meminta "keajaiban" dari Allah, saya mengucap janji bahwa jika adzan subuh terdengar maka saya akan segera menunaikannya di mesjid pertama yang saya temui. Selesai shalat, plong sudah hati ini. Mobil melaju cepat, di SPBU juga kami tidak mengantri dan jalanan lancar sekali.  Sehingga sebelum pukul 11 siang kami sudah tiba di kota Pontianak. Luar biasa kemudahan yang Allah berikan.
.
Karena kami tiba di Pontianak masih siang, akhirnya kami memutuskan untuk mampir silaturrahim ke teman-teman Mapala UNTAN. Pukul 12.00 kami tiba dan disambut dengan hangat oleh mereka.
Sekira pukul 14.00, kami berkeliling kota dengan ditemani salah satu rekan dari Mapala Untan. Kami menuju PSP, membeli oleh-oleh sekaligus jajan. Menjelang ashar kami kembali ke Untan untuk beristirahat. Hari ini adalah hari terakhir kami di Pontianak, hari perpisahan dengan rekan tim ekspedisi. Saya, Andy dan Margie memang akan pulang hari ini dengan pesawat malam. Jadi kami puas-puasin deh keliling kota. 
.
Pukul 18.30, selesai shalat maghrib, mobil angkutan online yang saya pesan tiba di pekarangan Mapala. Kami bertiga pun berpamitan dengan mbak Hanny, bang Tutet dan Tika serta rekan-rekan dari Mapala Untan. Terima kasih untuk petualangan yang luar biasa, terima kasih untuk kebersamaan yang hangat selama 10 hari terakhir. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain kesempatan. Menjelajahi rimba dan terjalnya jalur bersama-sama. Sehat dan sukses selalu untuk kalian semua.
.
.
The End.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

Selasa, 19 Desember 2017

Bukit Raya The Hirudinean Kingdom

Tim Ekspedisi Bukit Raya 7 - 17 Desember 2017
ki-ka : Tika, Fendi (porter), Hanny, Tutet, Andy, Margie dan saya

"Mengukur kesulitan sebuah gunung berdasarkan ketinggiannya adalah suatu kesalahan besar. Setiap gunung memiliki karakter dan kesulitannya masing-masing. Jika tidak, apalagi yang akan menjadi daya tariknya??" --- Kukuh ---
---------------------------------------

Hari Kedua, 8 Desember 2017.
------------------------------------------------
Akhirnya setelah 5-6 jam menaiki speed boat dari pelabuhan Nanga Pinoh, menempuh jarak tak kurang dari 400 kilometer, tepat jam 17.45 saya dan tim yg menaiki boat kedua, tiba di Serawai. Margie dan bang Tutet yang menaiki boat pertama tiba 20 menit lebih awal. Perjalanan menyusuri sungai Melawi benar-benar membawa kesan tersendiri bagi saya.

Senja di dermaga Nanga Pinoh (16/12/2017)
.
Ini pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di pulau Borneo bagian barat dan menyusuri ratusan kilometer sungai dengan boat. Banyak hal yang membuat saya terpukau sekaligus sedih. Sungai memang menjadi urat nadi utama kehidupan masyarakat disini. Dari mulai transportasi hingga eksplorasi.

Tongkang pengangkut alat berat di Sungai Melawi (8/12/2017)
.
Boat ini kami sewa dengan harga 2,8 juta untuk pergi dan pulang. Kapasitas boat  maksimal 5 orang plus keril. Saya duduk di depan, di sebelah sopir boat yang bernama Udin. Sambil sesekali terkantuk kantuk karena angin, saya ngobrol santai dengan volume suara yang lebih mirip teriakan --- maklum saja, suara mesin boat sangatlah keras, kami harus susah payah untuk membuat lawan bicara dengar apa yang kita sampaikan.
Ribuan perahu berbagai tipe dan model hilir mudik dari pagi hingga petang, membawa banyak orang hingga barang-barang keperluan. Diantara rutinitas itu, banyak pula aktivitas penambangan emas liar dan logging yang sangat jelas meninggalkan jejak kerusakan yang massive. Puluhan tongkang dan ratusan tambang emas liar terapung nampak berjejalan di titik-titik tertentu.
.
Re-packing barang bawaan di teras penginapan kami di Serawai (8/12/2017)

Bangunan bercat hijau itulah penginapan terapung di Serawai (9/12/2017)

Karena kami tiba terlalu sore di Serawai, berakibat kami tidak bisa mengejar target untuk melanjutkan perjalanan ke Rantau Malam. Karena itu mau tidak mau, kami harus bermalam di penginapan terapung di Serawai. Kami menyewa 2 kamar sangat sederhana berukuran 3 x 3 meter, dengan harga sewa 40 ribu per malam per kamar. Sambil menunggu waktu, kami merapikan seluruh bawaan yang lebih mirip orang pindah rumah.
.
Kami memang sedang dalam perjalanan untuk mendaki Bukit Raya, titik tertinggi di Pulau Kalimantan. Tim saya berjumlah 6 orang. Saya, Andy, Margie, bang Tutet, mbak Hanny dan Tika. Sebenarnya titik tertinggi Kalimantan ini terletak di propinsi Kalimantan Tengah dalam naungan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, dengan ketinggian 2278 meter dari permukaan laut. Namun jalur pendakian yang umum dilewati justru melalui desa Rantau Malam di propinsi Kalimantan Barat. Malam ini, dipenginapan ini banyak juga yang bernasib sama seperti kami, mesti bermalam karena tidak adanya sopir perahu yang mau melanjutkan. Jangan dibayangkan ada lampu penerangan di sepanjang pinggiran sungai ya. Sungai disini sangat lebar, dengan warna air coklat, sangat gelap setelah matahari terbenam sehingga akan sangat beresiko jika berperahu di malam hari. Diantara banyak orang yang menginap, terdapat pula 1 grup pendaki yang baru saja turun dari Bukit Raya. 3 orang laki-laki dan 1 perempuan. Mereka tiba di Serawai sekitar pukul 19.00 saat kami sedang re-packing. Yang kemudian kami ketahui berasal dari Medan, Makassar, Balikpapan dan Ambon.
Seperti biasa, ketika pendaki bertemu dengan pendaki, apalagi di daerah antah berantah seperti ini, maka sudah pasti kami menjadi sangat akrab. Dan terbukti, kami menghabiskan malam dengan obrolan tak habis-habis dengan tema yg mungkin membuat orang lain mual....tema gunung....hehehe.
Beruntung tim kami berjumpa dengan tim ini, dari mereka lah kami mendapatkan banyak informasi baru yang cukup membuat kami terkaget-kaget.
.
.
Hari Ketiga, 9 Desember 2017
------------------------------------------------
Adzan subuh membangunkan saya jam 4.15. Udara pagi yang tidak dingin (menurut saya), membuat saya ringan melangkah untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat. Biasanya, yang sudah-sudah, diperlukan motivasi dan kekuatan ekstra untuk beranjak bangun di saat subuh jika itu dalam perjalanan mendaki. Selesai shalat, saya memilih duduk diberanda penginapan yang menghadap sungai sambil menikmati secangkir kopi. Kayu-kayu yang menjadi lantai bangunan masih basah akibat hujan semalam. Pagi ini matahari tidak muncul, langit yang berselimut mendung seperti bicara bahwa matahari sedang berlibur dari tugasnya.
.
Jam 6 pagi kami semua sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke Rantau Malam. Sebelum jalan, kami berenam sarapan sekaligus membungkus nasi untuk makan siang nanti. Hal ini kami lakukan untuk menghemat pengeluaran setelah mendapat informasi dari tim lain semalam bahwa apapun berharga mahal di Rantau Malam. Salah satunya, jika kopi yg saya nikmati di Serawai ini masih dihargai 5000 per cangkir, maka di Rantau Malam harganya jauh di atas itu --- makanya kalau ada yang bilang kopi paling mahal itu adanya di S*tarbuck, berarti orang itu masih kurang jauh mainnya...hihi. Di Serawai ini, harga makanan masih cukup normal, berkisar 15 hingga 25 ribu per porsi.
Seluruh peralatan sudah selesai kami loading ke long boat (perahu panjang) carteran dan rencananya kami akan start jam 8 pagi.
Sesaat menjelang berangkat, saya, mbak Hanny dan Andy menyempatkan diri ke pasar di atas sungai untuk mencari legging. Ya, akhirnya saya putuskan untuk membeli legging meski tidak ada budget untuk itu. Pertimbangannya setelah mendengarkan cerita dan saran dari tim lain tentang dahsyatnya serangan pacet di rimba Bukit Raya. Meski pacet bukan hal aneh bagi saya, tapi terkadang mendengarkan saran dari yang sudah berhasil melewati Bukit Raya rasanya akan lebih baik.

Membelah Sungai Serawai untuk menuju Rantau Malam (9/12/2017)

Perjalanan menuju Rantau Malam (9/12/2017)
.
Tepat jam 8 kami beranjak meninggalkan Serawai untuk menuju Rantau Malam. Biaya untuk mencarter long boat  ini 2,5 juta untuk pergi pulang. Long boat ini memiliki panjang -+9 meter dan lebar atas sekitar 1,5 meter, bisa memuat hingga 15 penumpang. Bang Ngea beserta istrinya duduk paling depan sebagai nakhoda, barang bawaan kami di sepertiga depan dan kami duduk berjajar di tengah. Sepertiga bagian belakang hanya mesin long boat saja. Kami lebih banyak diam karena percuma saja ngobrol, tidak akan bisa terdengar dengan baik karena bisingnya suara mesin boat. Sepanjang perjalanan menuju Rantau Malam, pemandangannya hampir sama dengan ketika kami naik speed boat , penambangan emas liar terlihat di beberapa titik. Sungai Serawai ini lebih berarus dibanding Sungai Melawi, sehingga perahu kami terasa lebih berat lajunya.
.
45 menit menjelang Rantau Malam kami bertemu dengan percabangan besar, bang Ngea membelokkan perahu ke arah kiri. Rupanya arah ke kanan itu adalah untuk menuju Nanga Jelundung, disana tidak ada perkampungan, yang ada hanya pertambangan emas liar. Semakin mendekati Rantau Malam arus sungai semakin deras dan meliuk sempit, menandakan dangkalnya sungai. Bang Ngea sebagai nakhoda menjadi lebih ekstra hati-hati agar baling-baling perahu tidak membentur batu. Tepat pukul 12.45 perahu kami tiba di dermaga desa Rantau Malam. Yang di maksud dermaga disini adalah tempat sandar sederhana untuk perahu. Kami masih harus menaiki tangga kayu setinggi 15 meter untuk mencapai pelataran pertama yang dilanjutkan jalanan tanah licin menanjak.

Tiba di dermaga desa Rantau Malam (9/12/2017)

Salah satu aktivitas penambangan emas liar di tepi sungai Serawai (9/12/2017)

Bagan apung untuk penambangan emas liar di Sungai Serawai (16/12/2017)

Aktivitas penambangan emas liar (9/12/2017)
.
Home stay kami terletak di ujung tanjakan. Sebuah rumah warga lokal dengan model panggung yang cukup bagus. Pemilik rumah ini bernama bang Buje, laki-laki berperawakan sedang. Dari beliau kami tahu bahwa rumah-rumah warga yang ditunjuk sebagai home stay ini sudah melalui musyawarah mereka, dan sistemnya rotasi bergilir berdasarkan kunjungan pendaki atau tamu. Jadi, tamu sebelum dan sesudahnya tidak menginap di rumah yang sama dengan tim kami. Dan perlu diketahui tidak semua homestay dilengkapi TV dan genset. Barang-barang bawaan kami letakkan dan bongkar di bagian tengah rumah. Biaya homestay ini 100 ribu rupiah per malam per tim. Tak lama kemudian datang 3 orang yang akan menjadi porter kami.
.
Sebenarnya, kami hanya menyiapkan budget untuk menyewa 2 porter saja, tapi setelah kami tau bahwa untuk tim dengan jumlah 5 - 7 orang wajib menggunakan 3 porter, akhirnya kami pun "terpaksa" menuruti. Aturan soal berapa banyak porter ini memang belum ter-sosialisasikan dengan baik sehingga tidak sedikit menimbulkan banyak perdebatan di antara tamu dan warga lokal. Padahal aturan jumlah porter ini juga sudah diketahui dan disetujui oleh pihak Taman Nasional. Hal lain yang perlu di ketahui adalah, porter ini menjual jasanya secara paket. Yaitu, di hitung 6 hari perjalanan naik turun dengan biaya 175 ribu per hari per orang, dan biaya tersebut masih belum termasuk rokok, ojek pergi pulang ke Korong Hape dan kebutuhan makannya. Kalaupun kita bisa mengejar 4-5 hari pendakian akan tetap dihitung 6 hari oleh mereka. Lebih dari 6 hari maka akan dikenakan biaya tambahan yang besarannya bergantung pada hasil negosiasi antara pendaki dan porter. Umumnya 100 ribu per hari per porter.

ooii...inilah bil alias invoice tim kami selama 2 hari menginap di homestay...aje gile! (15/12/2017)
.
Catatan penting lain yang harus diketahui adalah kebutuhan makan 1 porter yang mencapai 1 liter / kilogram beras per hari. Hal ini diluar perhitungan kami, meski memang sebelumnya saya sudah pernah mendengar soal ini, tapi saya tidak serta merta percaya. Hingga akhirnya saat semalam kami sharing pengalaman dengan tim yang baru saja turun, maka lagi-lagi dengan agak "terpaksa" kami menyiapkan logistik tambahan, khususnya beras untuk para porter.

Negosiasi dan sosialisasi aturan penggunaan porter di homestay. (9/12/2017)
note: tidak semua homestay dilengkapi TV dan genset.
.
Sambil merapikan ulang barang bawaan, tim menugaskan Margie dan mbak Hanny untuk "nego halus" soal biaya upacara adat kepada pemilik rumah. Sekaligus juga memperjelas hal-hal lain apa saja kah yang harus kami bayar. Dan disinilah proses negosiasi itu berlangsung alot dan berujung dengan "kekalahan" tim negosiator kami. Untuk upacara adat kami harus menyiapkan uang sekitar 200 ribu untuk pemangku adatnya. Lalu membayar biaya ayam untuk kurban dengan harga 70 ribu per kilogram (kami dapat ayam dengan bobot 2,45 kilogram ketika upacara naik, dan ayam dengan bobot 3,4 kilogram ketika turun) --- hitungan mereka sangat detail, hingga 1/2 ons - nya pun mesti kami bayar. Belum lagi ditambah dengan biaya untuk manik-manik gelang. Kamipun mesti urunan membeli bahan bakar dengan harga 20 ribu per liter untuk genset (tim kami memutuskan hanya membeli 10  liter, masing-masing 5 liter untuk sebelum naik dan sesudah turun). Sebatas untuk keperluan men-charge HP dan power bank. Biaya lainnya adalah kami harus mengganti biaya gas yang kami gunakan untuk masak di homestay sebesar 60 ribu rupiah untuk tabung 3 kilogram. Serta biaya beli arak untuk tetua adat dan warga ketika turun dari gunung.

Ritual adat Dayak Ot Danum sebelum kami masuk ke hutan Bukit Raya (9/12/2017)

Foto bersama Bapak Otong pemuka adat dan bapak Hata salah satu porter kami (9/12/2017)

Ritual gigit mandau sebelum pendakian (9/12/2017)

Ritual tabur beras di kepala setelah pendakian, katanya supaya penghuni rimba ga ngikutin kami (15/12/2017)
.
Printilan biaya-biaya tidak terduga ini menyebabkan budget kami membengkak. Tika sebagai bendahara dan pengatur pengeluaran berkali-kali mesti berhitung ulang. Dan untuk mencegah bertambahnya pengeluaran tim, kami sepakat untuk membersihkan dan mengolah ayam --- yang juga kami minta untuk kami potong sendiri supaya halal dan bisa kami makan (terima kasih untuk bang Tutet yang bersedia menjadi tukang jagal dadakan). Bahkan saking kami berhati-hati dengan pengeluaran, kami sampai tidak menyentuh "welcome drink" berupa kopi yang disuguhkan pemilik rumah...haha, ngirit apa pelit ya kami ini?...meski pada akhirnya masih kami juga yang harus membayar kopi tersebut.
Tapi sungguh, tidak ada tendensi pada siapapun, kami lakukan semua itu karena memang apapun tidak ada yang gratis disini, budget kami terbatas sehingga kami harus berhemat.
.
Jam 16.00 saat kami sedang bersantai, datanglah pemuka adat desa yang bernama Bapak Otong beserta rekannya Bapak Hata. Beliau mengatakan bahwa upacara adat sudah bisa dimulai. Maka kami pun berkumpul, duduk berjejer di tengah rumah menghadap ke arah timur. Dihadapan kami digelar sehelai tikar anyaman berwarna coklat. Istri bang Buje membawa piring berisi manik-manik dan tongang, semacam tali yang terbuat dari kulit pohon tertentu yang diambil dari dalam hutan. Sementara bang Buje membawa ayam yang akan di jadikan kurban. Ayam itu di serah terimakan kepada Bapak Otong yang kemudian mengayun-ayunkannya di atas kepala kami sambil membaca "mantra" dalam bahasa Dayak Ot Danum. Selesai itu, bang Tutet, sesuai yang kami rencanakan, meminta mandau yang akan digunakan untuk memotong. Ya, kami meminta ijin untuk memotong ayam itu dengan cara Islam agar halal dan bisa kami makan.
.
Bapak Otong memegang ayam dan bang Tutet yang menyembelih. Darah ayam di biarkan menetes ke piring dimana terdapat tongang dan manik-manik. Lalu diikatkan lah tongang dan manik-manik itu menjadi gelang di tangan kanan kami. Oh iya, bapak Otong mengharuskan tangan kanan kami dalam posisi terkepal saat gelang di ikat. Ritual terakhir adalah kami diwajibkan menggigit bagian tumpul dari mandau yang tadi digunakan untuk menyembelih sebanyak tiga kali. Setiap kali kami sudah menggigit, bapak Otong lalu meletakkan mandau di atas kepala kami, begitu berulang hingga tiga kali. Selesai ritual, kami pun di sibukkan dengan membersihkan ayam. Bang Tutet dengan dibantu Andy merendam ayam dengan air panas dan mencabuti bulunya. Sementara mbak Hanny dan Margie menyiapkan bumbu-bumbu. Saya sendiri membantu memasak nasi. Kami bersedia repot mengolah ayam karena jika warga yang mengolah maka akan keluar "tagihan" lagi ke kami....hehehe.
.
Pukul 18.30 kami menikmati makan malam dengan lauk ayam kecap. Selesai kami makan mulailah rumah bang Buje ramai didatangi para pria desa Rantau Malam. Kami sempat berpikir, mungkin ini sudah jadi kebiasaan warga desa berkumpul di salah satu rumah warga, seperti lazimnya orang-orang kampung kebanyakan. Tapi rupanya dugaan kami salah, karena mereka ini datang memang untuk bertemu dengan kami. Mereka ini adalah para porter yang biasa menemani pendaki. Kurang lebih ada 15 orang yg berkumpul. Diantaranya ada bapak Dionisius Bacok yang menjadi ketua perkumpulan porter Rantau Malam dan bapak Toni, petugas lapangan TNBBR. Sempat terjadi perdebatan panjang diantara kami dengan mereka soal kebijakan jumlah porter yang harus kami gunakan. Tarik ulur dan adu argumentasi berakhir dengan kami harus mengikuti aturan yang berlaku di desa ini. Di putuskan pula 3 orang porter yang akan mendampingi kami adalah bapak Fendi, bapak Hata dan bapak Badat. Untuk jalur yang akan kami tempuh, kami sepakat jika sungai tidak pasang maka kami akan melewati jalur Batu Lintang, dan jika pasang kami akan melalui Korong Hape tanpa menaiki ojek. Agenda kami untuk menaiki ojek terpaksa kami batalkan karena hujan yang mengguyur desa sejak pukul 13.00 tidak juga ada tanda-tanda akan berhenti. Bahkan hingga rapat pertemuan kami dengan para porter berakhir pukul 20.00. Selesai rapat, para porter ngobrol santai sambil menikmati kopi yang disuguhkan pemilik homestay. Dan konyolnya di akhir nanti kami pula yang harus membayar kopi tersebut. Rupanya adat disini adalah tamu yang menjamu warga...what the??!...tau begitu mending kami ikut minum kopi daripada ga minum tapi harus membayar.
Sebelum tidur, kami mengemas ulang barang bawaan serta membagi beban untuk porter ke dalam tiga keril yang memang sudah kami persiapkan.
.
.
Hari Pertama, 7 Desember 2017
----------------------------------------------------
Saya sedang tertidur pulas di Bus Damri saat tiba-tiba HP saya berbunyi dengan dering khas Whatsapp Call. Rupanya Margie yang menelepon. Dia menanyakan posisi saya dimana. Sambil melihat keluar jendela untuk mencari tau, saya menjawab bahwa saya sudah memasuki area bandara Soetta. Perkiraan saya tidak sampai 15 menit lagi, saya akan tiba di Terminal 1A, tempat pesawat kami akan diberangkatkan. Dan sesuai dengan waktu yang telah di perkirakan, saya tiba di Terminal 1A pukul 18.30. Jadwal take off kami masih 50 menit lagi. Setelah saya bertemu Margie, dari situ saya tau jika Tika dan Andy masih belum tiba.
.
Dari kami berenam, memang hanya saya, Andy, Margie dan Tika yang berangkat dari Jakarta. Sedangkan mbak Hanny dari Medan dengan pesawat sore. Bang Tutet sendiri sudah landing di Pontianak sejak pagi, beliau naik flight pertama dari Makassar. Jam terasa lebih cepat berputar karena saya dan Margie mulai merasa waswas dua rekan kami masih belum muncul. Akhirnya kami putuskan untuk boarding dan check in saja dulu. Kami berdua membawa 4 keril, dua keril kami sendiri, 1 keril Andy dan 1 keril khusus berisi logistik. Saat kami sedang antri check in, datanglah Tika dengan setengah basah kuyup hasil hujan-hujanan mengejar Damri tadi sore. Andy masih belum muncul sementara 15 menit lagi pesawat akan take off, akhirnya kami titipkan tiket Andy di counter 16, supaya dia bisa langsung ambil ketika tiba di bandara --- semoga tidak tertinggal pesawat ya bro...hehe...--- kami bertiga sudah mulai bisa nyengir karena dapat informasi bahwa pesawat kami bahkan belum landing di Soetta. Tapi sengaja kami tidak inform Andy supaya dia semakin panik...haha, sorry bro, anggap saja fit and proper test kesiapan mendaki.
Andy muncul ketika kami bertiga sedang bersantai di waiting hall gate 11. Dengan terengah-engah dia duduk di lantai. Maklum saja badannya kan 11-15 dengan saya, dia gendut banget dan saya gendut...(*'# so what the different??...lol).
Dan, untuk kali pertama saya dan rekan sangat bersyukur Singa Terbang mengalami delay parah, karena dengan itu rekan kami (Andy) jadi tetap bisa ikut sesuai rencana. Tidak terbayang jika tadi akhirnya pesawat terbang tepat waktu, pasti Andy sudah nangis bombay meratapi nasibnya tertinggal pesawat.
.
Pukul 21.20 WIB, pesawat kami take off meninggalkan Jakarta. Selama di perjalanan kami semua terdiam dengan lamunan masing-masing, hingga landing di Pontianak pukul 23.15 WITA. Di hall kedatangan airport Supadio, kami melihat mbak Hanny duduk sendirian, segera saja kami mendekati dan menemui. Saya pribadi baru mengenal mbak Hanny via grup yang sengaja dibentuk untuk tim yang akan berangkat ke Bukit Raya. Mbak Hanny, wanita yang supel berusia awal 40an, sengaja terbang jauh dari Medan demi mengejar puncak Bukit Raya. Setelannya pendaki banget coy. Setelah memperkenalkan diri, kami pun cuek bebek berfoto-foto di back ground drop airport Supadio. Yah, kapan lagi.com toh bisa kesini lagi, jadi abadikanlah momen sekecil apapun itu. Puas berfoto, kami pun beranjak menuju pengambilan bagasi. Dari bagasi, kami keluar untuk mencari mobil carteran yang telah kami pesan dengan biaya 3 juta pergi pulang. Kami sempat kebingungan bagaimana cara loading keril-keril besar kami. Mau di ikat di atas tapi talinya tidak cukup. Akhirnya kami paksakan untuk sementara hingga mendapatkan tali, keril-keril di tumpuk di jok bagikan belakang bersama Margie. Saya, Andy dan Dede (kenek mobil) di jok tengah. Tika dan mbak Hanny didepan. Sebenarnya ada alternatif lebih murah untuk menuju Nanga Pinoh yaitu dengan bus Damri dengan biaya 175 ribu untuk sekali jalan. Tapi kami memilih mencarter mobil saja supaya lebih gampang jika ingin berhenti dan lain-lain sepanjang perjalanan.
.
Dari airport kami akan menjemput bang Tutet terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Nanga Pinoh yang katanya memakan waktu 9-10 jam. Singkatnya, bang Tutet kami jemput di daerah Wonodadi tepat pukul 24.00.
Di rumah kenalan beliau kami menyempatkan diri untuk mengikat keril di atas mobil agar kami bisa lebih leluasa duduk dalam perjalanan selanjutnya.
Para wanita mengisi jok belakang, para lelaki termasuk saya di jok tengah, di depan di isi sopir dan keneknya. Dan mobil pun melaju membelah jalanan kota Pontianak yang sudah lengang. Kami beberapa kali berhenti, termasuk saat singgah untuk melaksanakan shalat subuh di sebuah masjid di daerah Sekadau. Oh iya, dalam perjalanan kami menuju Nanga Pinoh, tak banyak mesjid yang kami jumpai, disana mayoritas warga beragama Kristen sehingga gereja-lah tempat beribadah yang mendominasi. 30 menit lepas shalat subuh, kami tiba di pertigaan Entikong (wilayah yang menjadi perbatasan Indonesia - Malaysia, menurut supir, Entikong lebih dekat dibanding ke Nanga Pinoh. Dan benar saja, pada akhirnya kami baru bisa tiba di Nanga Pinoh resort TNBBR pukul 11.45. Letak resort TNBBR ini melewati Dermaga Pelabuhan Air, berada di sebelah kanan jalan di kilometer 10 lepas Kota Pinoh. 

Mengurus perijinan pendakian di resort TNBBR Nanga Pinoh (8/12/2017)

Tim tiba di resort TNBBR Nanga Pinoh (8/12/2017)


Bongkar muatan untuk dipindahkan ke speedboat di dermaga Nanga Pinoh (8/12/2017)

Loading muatan ke speedboat di dermaga Nanga Pinoh (8/12/2017)
.
Selesai mengurus perijinan pendakian, mobil kami kembali ke arah Kota Pinoh untuk menuju dermaga Pelabuhan Air Nanga Pinoh. Begitu kami keluar dari mobil untuk memindahkan barang-barang ke speedboat carteran, barulah terasa panasnya udara Kalimantan Barat, benar-benar membakar kulit. Berkali-kali saya menyeka peluh yang terus bercucuran.
Sempat terjadi hal yang diluar rencana yaitu, speedboat carteran kami yang di nakhodai bang Udin ternyata tidak mampu mengangkut semua barang bawaan kami. Kami berenam dan 8 keril besar-besar. Kapasitas angkut speedboat hanya 500kg. Akhirnya, Margie dan bang Tutet serta 1 keril dipindahkan ke speedboat lain dengan membayar ekstra charge 400 ribu rupiah. Perjalanan menuju Serawai menghabiskan waktu 5 jam. Sempat speed kami transit di SPBU terapung ditengah perjalanan.

SPBU terapung di pertengahan perjalanan dari Nanga Pinoh dan Serawai (8/12/2017)
.
.
Hari Keempat, 10 Desember 2017
Trail 1 : Rantau Malam - Pos 3 Hulu Menyanoi.
.
Foto bersama di depan homestay sebelum pendakian (10/12/2017)

Hari masih pagi saat kami mulai menuju dermaga Rantau Malam untuk mengangkut seluruh barang ke pangkalan ojek Korong Hape dengan longboat milik bang Buje. Dan sekedar nginfo lagi, kami kena charge 15 ribu rupiah per orang lho naik longboat ini. Tadinya kami sempat berencana memulai perjalanan melalui Batu Lintang, namun karena kemarin hujan nyaris turun seharian maka kami batalkan rencana itu dengan pertimbangan faktor keselamatan. Kami pun menuju pos ojek dengan longboat karena jembatan penghubung desa terputus dihantam banjir bandang beberapa waktu lalu. Dan karena itu pula, kami tidak bisa menaiki ojek sesuai rencana awal. Yang artinya untuk mencapai Korong Hape kami harus berjalan kaki menelusuri jalur terbuka yang naik turun entah berapa bukit dibawah udara yang luar biasa panas selama kurang lebih 2,5jam.

Bertemu rombongan Dayak yang baru pulang berburu dijalanan menuju Korong Hape (10/12/2017)
.
Pukul 11.00 kami belum tiba di Korong Hape, tetapi di putuskan tim untuk break makan siang di tepi sumber air terakhir sebelum Pos 3. Makan siang kami bubur kacang hijau dan roti. Menjelang shalat dzuhur kami melanjutkan perjalanan dengan tempo yang semakin melambat. Tempo jalan kami memang sangat lambat, utamanya karena kondisi fisik saya yang drop. Setiap kali break, saya pasti rebahan, merasakan lelah yang entah kenapa begitu mendera. Belum pernah sebelumnya saya seperti ini saat mendaki. Seolah saya tidak lagi memiliki tenaga --- Inilah akibat ga pernah olahraga dan kegendutan...lol. Dan setelah susah payah, tim berhasil tiba di Korong Hape pukul 13.00. Lagi-lagi saya merebahkan diri cukup lama sebelum melanjutkan perjalanan.

Break makan siang 1 jam menjelang Korong Hape (10/12/2017)
.
Korong Hape sendiri sebenarnya adalah jalanan yang dibuat suatu proyek logging atau pertambangan, sekaligus satu-satunya spot dimana pendaki bisa mendapatkan sinyal handphone. Korong Hape juga merupakan pintu masuk rimba Bukit Raya. Soal pintu rimba ini memang tidak terdapat tanda khusus dan terletak di pinggir jalan utama, sehingga mungkin akan sedikit membingungkan bagi yang belum pernah berkunjung kesana karena jalan utama terus membentang ke arah kanan (arah proyek tambang liar), sedangkan pintu rimba justru hanya setapak kecil ke arah kiri.
.
Tadinya Tim mentargetkan untuk buka camp di Pos 4 Sungai Mangan, tapi setelah melihat kondisi akhirnya kami mengubah target menjadi Pos 3 Hulu Menyanoi. Pukul 13.40 kami mulai bergerak. Saya, Andy dan Margie berjalan dibelakang, pelan tapi pasti. Sesekali kami break untuk "bernafas". Rute awal kami sudah berhadapan dengan 3 kali naik turun bukit kecil. Cukup membuat saya tersengal-sengal. Oh iya, karena ritme jalan saya yg payah akhirnya keril saya di bawa bang Tutet, dan saya membawa daypack yang bobotnya lebih ringan. Tiba-tiba hujan turun pukul 15.10, seketika saya teringat jika raincoat saya ada di keril yang di bawa bang Tutet, karena malas berbasah-basah, saya pun mempercepat langkah untuk menyusulnya. Rupanya bang Tutet berjarak cukup jauh dengan saya, terpisah 1 bukit dan 2 lembahan, jadi perlu effort khusus bagi saya untuk mengejar. Setelah berkumpul,  lalu kami jalan beriringan menembus hujan di gelapnya rimba. Rimbunnya hutan Bukit Raya mengakibatkan suasana siang seperti sore. Pukul 16.00 kami tiba di simpang Batu Lintang (kilometer 19,5) --- (jalur resmi TNBBR--- setiap 100 meter memang terpasang plang penunjuk jalan yang sangat memudahkan pendaki untuk orientasi arah. Jika mulai mendaki via Batu Lintang titik awal dimulai dari kilometer 22), sedangkan jika via Korong Hape, kurang lebih panjang lintasannya sekitar 30 kilometer. Setelah berfoto dibawah hujan kami melanjutkan perjalanan karena menurut porter, Pos 3 sudah dekat. Benar saja, 30 menit kemudian kami tiba di Pos 3 Hulu Menyanoi. Area ini letaknya tepat di tepi sungai kecil dengan luas efektif sekitar 4 x 5 meter dengan kontur tidak rata dan becek, sehingga harus kami atur agar muat untuk 3 tenda. Sedangkan para porter membuat shelter-nya sendiri dengan cara yang unik, yang biasa dibuat saat mereka masuk rimba. Saya pribadi kagum dengan efektifitas dan kreativitas porter yang berasal dari masyarakat Dayak Ot Danum ini. Bang Tutet memasak untuk makan malam kami di dalam tenda dibawah guyuran hujan. Selesai makan sambil menunggu tidur, kami mulai ritual baru yaitu inspeksi pacet. Maklum saja, pacet memang menjadi momok pendaki yang berkunjung ke Bukit Raya. Dan benar saja, tak butuh waktu lama untuk melihat pacet-pacet merayapi tenda dan sepatu basah kami diluar. Padahal ini belum masuk area inti yang menjadi gudang mereka.

Camp kami di Pos 3 Hulu Menyanoi (10/12/2017)

Sungai di Pos 3 Hulu Menyanoi, nampak porter kami bapak Badat (11/12/2017)
.
.
Hari Kelima, 11 Desember 2017
Trail 2 : Pos 3 Hulu Menyanoi - Pos 5 Hulu Rabang
.
Kami berencana mendaki Bukit Raya dalam waktu 5 hari 4 malam dan agar bisa mencapai target itu kami mencoba memulai pendakian hari kedua lebih pagi. Meski pagi itu masih lembab dan basah sisa hujan semalam, kami sudah mulai bangun dan memasak sarapan. Pukul 7.30 Andy dan Margie jalan lebih dulu. Hari ini target kami menuju Pos 7 Linang. Sebagian logistik kami tinggal disini untuk meringankan bawaan. Pukul 8.30 tim kembali melanjutkan perjalanan. Saya dibuatkan bilah kayu yang dibentuk seperti pisau panjang oleh pak Badat yang fungsinya untuk mencongkel jika ada pacet yang merayap di kaki atau bagian tubuh yang lain. Kelak, bilah kayu ini menjadi senjata andalan setiap anggota tim untuk meminimalisir serangan pacet selama pendakian. Jalur awal sedikit menanjak, lalu bertahap naik turun dengan melewati 4 aliran air kecil. Jarak Pos 3 dan Pos 4 tidak jauh, bahkan boleh dibilang inilah jarak antar pos yang paling pendek, cukup 45 menit saja untuk menempuhnya. Area camp Pos 4 ini cukup luas (bisa untuk membangun 4 tenda) dan relatif rata. Terdapat sungai kecil yang airnya agak kemerahan di sebelah bawah jalur pendakian selanjutnya. Saya beristirahat sekitar 20 menit disini. Porter menginfokan bahwa untuk mencapai Pos 5 Hulu Rabang diperlukan waktu 4,5 jam --- merupakan salah satu jarak terpanjang antar pos selain dari Pos 8 ke puncak Bukit Raya--- jika menilik dari kecepatan jalan kami. Fisik saya masih belum juga pulih, ditambah perut yang menolak diisi nasi membuat kecepatan jalan saya tidak juga membaik. Meski harus sambil menahan mual, saya pun berjalan lagi.

Simpang Lekawai di foto dari atas (11/12/2017)

Pukul 10.15 saya tiba di Simpang Lekawai, lembahan kecil yang cukup nyaman untuk beristirahat meski tetap tidak bisa duduk di tanah, setidaknya ada rebahan batang pohon besar yang bisa dijadikan alas pantat. Simpang Lekawai ini merupakan daerah lintasan Enggang atau sejenis burung Rangkong, unggas endemik hutan Bukit Raya, sekaligus titik simpang untuk menuju hulu sungai Serawai. Disini saya meminta porter untuk memasakkan air untuk menyeduh energen. Dua sachet sekaligus saya seduh, mengingat saya tidak sarapan, akan sangat beresiko terus berjalan dengan medan seberat ini dalam keadaan perut kosong.
.
Satu jam menjelang tengah hari, dengan ditemani pak Badat saya kembali berjalan untuk menyusul teman-teman yang lain. Pukul 12.10 dalam satu turunan panjang, saya kembali minta berhenti karena perut yang terasa lapar. Lagi-lagi saya memasak air untuk menyeduh energen. Selesai, 30 menit kemudian saya kembali berjalan, masih di temani pak Badat. Jalur masih terus menurun, dan memang rute antara Pos 4 dan Pos 5 ini 80% adalah turunan, PR besar bagi saya saat perjalanan pulang nanti. Langit masih cerah saat saya tiba di Pos 5 Hulu Rabang 700 mdpl --- wah, susah payah mendaki selama hampir 6 jam rupanya hanya naik 100 meter saja ketinggiannya. Disana Andy, Margie dan yang lain sedang sibuk membangun tenda. Mumpung cuaca masih bagus kami mengerjakan semua dengan cepat. Pelajaran hari kemarin saat di timpa hujan membuat kami mulai mengerti karakter cuaca disini. Tapi, ada lagi tambahan PR bagi kami yaitu keberadaan pacet yang semakin banyak dan agresif. Jika di pos-pos sebelumnya hanya ada pacet hitam, disini mulai kami temui pacet loreng. Pacet ini familiar disebut masyarakat lokal sebagai pacet tentara. Beberapa menit sekali kami harus membersihkan atau mengawasi pacet-pacet itu dari gear atau tenda. Meski demikian, dari seluruh pos yang ada di Bukit Raya, pos 5 inilah favorit saya karena sungainya yang cukup besar, jernih dan nyaman untuk dibuat mandi.

Logistik kami untuk 6 hari 5 malam (9/12/2017)

Seperti hari sebelumnya, menjelang Ashar hujan turun lagi, beruntung kami sudah selesai masak dan makan. Dalam dua hari ini kami sudah kehilangan cadangan perbekalan untuk 3 kali masak. Penyebabnya kami salah perhitungan soal daya tahan makanan. Di dalam hutan Bukit Raya memang sangat sejuk karena rapatnya vegetasi, namun sedari hari pertama, logistik yang sudah kami persiapkan harus melalui cuaca Pontianak yang sangat panas, baik di boat maupun di perjalanan menuju Korong Hape. Hal ini disebabkan posisi Pontianak yang tepat berada di garis khatulistiwa. Mataharinya berasa ada sepuluh...hehehe.
.
Saat kami sudah mulai terlelap, tetiba saya dikagetkan suara Andy yang mengatakan tenda banjir. Antara sadar dan tidak, saya lihat jam, tertera pukul 21.00. Lalu saya mulai melihat sekeliling, benar saja, air hujan merembes masuk dari atap. Rupanya flysheet menempel ke layer tenda, di tambah tipe bahan flysheet yang digunakan adalah ultralight maka tidak mampu menahan derasnya hujan. Jadilah malam itu kami sibuk mengeringkan banjir dalam tenda sekaligus memasang ulang flysheet. Setelah 2 jam, barulah kami bisa kembali tidur.
.
.
Hari Keenam, 12 Desember 2017
Trail 3 : Hulu Rabang - Pos 8 Soa Tohutung 1536 mdpl
.
Pagi ini, dengan agak malas saya bangun untuk menunaikan shalat subuh. Selesai shalat, saya duduk diam di dalam tenda tanpa membuka pintunya. Bukan apa-apa, bukan soal dingin, tapi soal si p-a-c-e-t itu lho. Setia banget nunggu mangsa. Bahkan ada beberapa yang sukses menerobos masuk melalui jaring halus tenda. Kami mengetahuinya saat bangun dari tidur lalu ada darah segar yang menempel. Rupanya si pacet keenakan menghisap dan pecah karena terhimpit badan kami. Pagi ini tim sarapan dengan nasi goreng, kecuali saya dan Andy yang memang masih belum bisa menerima nasi untuk masuk mengisi lambung. Dan jadilah energen saja yang berkolaborasi dengan oksigen untuk di oksidasi menjadi energi. Selesai packing dan ritual-ritual pagi lainnya, pukul 8.30 tim mulai bergerak menuju target hari ini yaitu Pos 8 Soa Tohutung. Seperti yang sudah di infokan porter sebelumnya, bahwa di hari ketiga ini jalur pendakian yang sesungguhnya akan di mulai. Di awal, kami harus menerobos setapak yang semakin rapat vegetasinya, dimana pacet-pacet daun sudah menunggu di pos nya masing-masing. Sepertinya mereka sudah di beritahu rekannya di Pos 5 bahwa akan lewat rombongan tim kami...hehehe.
.
Lima belas menit kemudian, mulailah jalur menanjak curam, terus menanjak dengan melewati beberapa bibir jalur yang tipis. Serasah tebal menjadi alas jalan kami, dan dibalik serasah itulah pacet hitam sudah menunggu. Berjalan di jalur dengan kemiringan 60°, licin dan basah cepat menguras tenaga yang ada, tapi bukan itu yang "menyiksa", kami khususnya saya "tersiksa" karena hanya bisa beristirahat tidak lebih dari 15 detik saja dengan posisi membungkuk. Semakin lama diam di titik yang sama, maka semakin ramailah pacet mendekati. Bagusnya, saya sudah memakai senjata rahasia sejak di Pos 3, yaitu tembakau dan anti nyamuk sachet dan spray. Saya sengaja membawa 1 kilogram tembakau rajang hanya untuk mengurangi serangan pacet. Setiap akan memakai sepatu, tembakau itu saya selipkan di dalam sepatu dan di dalam kaos kaki. Sepatu yang basah pun seakan menjadi berkah karena semakin memperkuat aroma tembakau. Setelah memakai tembakau, kaos kaki dan legging pun saya olesi dengan krim anti nyamuk. Telapak tangan saya olesi juga barulah saya gunakan baselayer ketat panjang. Di pinggang saya terselip spray anti nyamuk, dan di tangan saya bilah kayu buatan porter untuk mencongkel pacet yang masih membandel. Setelan saya mirip dengan tentara siap tempur yang kegendutan. Tapi terbukti, dengan cara ini, saya menjadi anggota tim yang paling sedikit terkena pacet. Setidaknya saya hanya terkena di pipi, kepala, betis, tangan dan engkel, yang kalau di total-total tidak lebih dari 30 ekor. Jumlah itulah yang berhasil menempel di kulit saya. Tapi kalau yang menempel di sepatu dan gear lainnya sih ga terhitung.
.
Berjalan pelan sekali dengan nafas senin kamis, saya tiba di Pos 6 Hulu Jelundung pukul 11.00. Saat tiba, bang Tutet sedang memasak air, maka saya pun segera menyeduh energen dan teh manis agar tenaga tetap terjaga. Di Pos 6 ini kurang ideal untuk membangun camp karena konturnya yang miring. Sumber air cukup besar disini, karena ada sungai di kanan jalur. Meski ada sungai, namun saya tidak berminat untuk menghampiri karena disini jugalah mulai ditemui pacet berperut merah. Dibanding pacet hitam dan loreng, pacet tipe inilah yang cukup menjadi teror karena gigitannya yang terasa sakit, selain ukurannya yang memang sudah besar sebelum menghisap. Setiap menit kami harus mencongkel atau menyemprot mereka dengan spray anti nyamuk. Setelah break 45 menit kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 7. Diperkirakan kami akan tiba di Pos 7 sekitar pukul 14.00. Dan memang tim tiba di Pos 7 Linang 1200 mdpl sesuai target yang di tentukan. Terdapat air terjun sekitar 200 meter di kanan jalur. Namun saya tidak berminat untuk melihatnya, cukup mendengar gemuruh airnya saja. Di Pos 7 kami memasak air dan membuat teh manis. Di temani cemilan biskuit untuk menambah tenaga. Persis di hadapan kami tanjakan panjang dan curam sudah menunggu, menunggu bersama pacet perut merah.
.
Pukul 14.30 saya menyusul mbak Hanny dan Fendi. Kaki yang sudah mulai terasa panas karena terlalu lelah harus terus dipaksa menapaki langkah demi langkah. Di hari ketiga pendakian ini saya masih saja terus muntah tanpa mengeluarkan apa-apa. Saya sudah tidak lagi peduli masih berapa lama harus melangkah. Saya hanya fokus pada sisa tenaga yang ada. Kondisi real pendakian telah menyadarkan saya bahwa jangan pernah mengukur gunung hanya dari ketinggiannya. Syukur Alhamdulillah, pukul 16.15 saya berhasil tiba di Pos 8 Soa Tohutung 1536 mdpl. Posisi Pos 8 ini keluar dari jalur utama ke arah kanan sejauh 200 meter, dekat dengan sungai kecil berair jernih. Jangan khawatir tersesat bagi teman-teman yang belum pernah kesini, karena terdapat plang penunjuk arah yang sangat jelas mana arah puncak dan arah Pos 8. Saat saya tiba, seluruh tenda sudah selesai dibangun. 150 meter lebih ke dalam dari Pos 8 terdapat tugu perbatasan propinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
.
Saya dan Andy memutuskan untuk mandi sebelum menunaikan shalat ashar. Kami bergantian saling mengawasi pergerakan pacet. Sebab di Pos 8 ini pacet mengintai hingga di tepi sumber air. Terbukti saat saya mengambil wudhu, satu pacet berukuran cukup besar sudah menempel di kaki. Secara keseluruhan, dari pengamatan saya, wilayah yang menjadi gudang pacet adalah lepas Pos 5 hingga Pos 8, wilayah yang tutupan hutannya paling rapat dan lembab. Meski tetap merasa horor namun perlahan saya dan rekan yang lain mulai agak terbiasa dengan kondisi ini. Khusus di Pos 8 ini, kami mengurangi kegiatan diluar tenda untuk menghindari serangan si "drakula melata", di pos ini memang besar-besar ukuran pacetnya.  Dan sebelum kami mulai tidur, kami bersepakat untuk memulai summit attack pukul 4 pagi, yang artinya pukul 3.00 dini hari kami harus sudah bangun plus packing. Kami memang juga sepakat untuk beres packing alat-alat pribadi sebelum summit attack karena kami ingin di hari kelima nanti bisa mulai perjalanan turun dari Pos 7 untuk mempercepat waktu tempuh. Standar waktu summit menurut porter sekitar 5 jam. Sedangkan pace jalan kami rata-rata lebih lambat 1-2 jam dari standar waktu yang ada disini. Kami memperkirakan jika mulai summit pukul 4 subuh maka kami bisa tiba di puncak pukul 9 pagi. Alokasi waktu untuk sesi foto dan lain-lain maksimal 2 jam, kembali turun 5 jam, berarti kami baru tiba di Pos 8 lagi pukul 16.00. Karena itulah kami memutuskan packing sebelum summit, agar keril-keril kami bisa di angkut porter yang tidak ikut ke puncak hingga di persimpangan Pos 8.
.
.
Hari Ketujuh, 13 Desember 2017
Trail 4 : Pos 8 Soa Tohutung - Puncak Bukit Raya
.
Kami memang bangun tepat pukul 3.00, tapi kenyataannya kami baru mulai summit pukul 4.40, itupun tanpa sarapan. Porter yang memandu kami ke puncak adalah Pak Hata, jadi Pak Badat dan Fendi lah yang bertugas packing tenda dan memasangnya kembali di Pos 7, sekaligus mengangkut keril kami hingga di persimpangan Pos 8.
Pola jalan tim masih tidak berubah, terdepan masih bang Tutet dan 3 terbelakang adalah saya, Margie dan Andy. Berkali-kali saya muntah tanpa keluar apa-apa karena tekanan perut yang kosong. Jalur yang terus menanjak tanpa bonus sempat membuat saya ingin menyerah. Untuk kali pertama sejak tiga hari pendakian, saya tidak lagi mempedulikan si pacet. Saya sibuk berpikir apakah akan terus summit atau balik badan dan menyerah. Hari sudah terang saat tim tiba di bawah tebing karst basah Puncak Jempol. Disitu kami memasak air untuk sekedar menyeduh teh dan energen untuk mengisi perut. Pukul 7.45 hingga pukul 8.15 kami break.
Jalur selanjutnya kami berjalan melipir sisi bawah tebing yang licin dan sempit. Kucuran air menetes deras dari atas tebing, membasahi kami yang berjalan pelan dibawahnya. 20 menit kemudian tim tiba di jalur bekas longsor yang cukup berbahaya. Ini satu-satunya jalur menuju Puncak Jempol. Jadi setiap pendaki memang harus melalui Puncak Jempol sebelum mencapai puncak Bukit Raya.
Mempertimbangkan faktor keselamatan, akhirnya di wakili bang Tutet, tim memasang webbing di ketinggian sekitar 7 meter untuk memudahkan kami meniti jalur. Tebing yang harus kami lalui ini nyaris vertikal, mungkin sekitar 80° kemiringannya. Lepas titian dengan webbing kami masih harus agak merayap dengan hati-hati sejauh 10 meter untuk mencapai dataran punggungannya. Plang penunjuk arah tertera puncak masih 1900 meter horisontal. Dalam perhitungan saya, mungkin jarak 1,9km bisa ditempuh dengan waktu 30 menit saja. Dan lagi-lagi saya salah, karena pada akhirnya, meski jadi yang pertama tiba di puncak, saya perlu waktu hingga 1 jam 15 menit (pukul 10.15).
.
1900 meter horisontal terakhir ini justru jadi yang terberat menurut saya. Hutan lumut yang penuh dengan pohon tumbang dan longsoran membuat saya berkali-kali ingin "menangis". Saya membatin, "Salak saja yang sudah saya khatamkan puncak 1 hingga puncak 11ga gini-gini amat beratnya."
Beratnya jalur masih di tambah kita harus sangat jeli berorientasi arah. Alaminya jalur membuat seolah semua arah adalah jalur. Dan saya bersyukur pihak TNBBR sudah memasang plang penunjuk setiap 100 meter --- menurut info porter, plang ini baru di pasang di awal bulan November 2017. 1900 meter terakhir benar-benar ujian mental bagi saya, sejak di bawah Puncak Jempol saya memang tidak lagi membawa botol air minum karena rusak dan tumpah. Untuk minum saya menghisap dari embun-embun yang menggantung di ujung untaian lumut dan mengumpulkan dari kantung semar (Nephentes) yang Alhamdulillah banyak terdapat hingga di area puncak. Seandainya tidak ada kantung semar entahlah gimana nasib saya. Intinya saya hanya bisa bilang 1900 meter terakhir ini luar biasa beratnya. Yang sedikit menghibur adalah di dua plang 200 meter terakhir pihak TNBBR menambahkan kalimat "SEMANGAT BRO!!"...Sepertinya pihak TN tau bahwa di jarak ini mental dan semangat pendaki sudah benar-benar nyaris habis. Andai saja pihak TN tidak memberi plang tanda jarak, maka mungkin saja saya tidak menyadari jika saya sudah tiba di puncak Bukit Raya.
.
Rasanya, ini juga kali pertama saya kurang antusias dengan tempat bernama puncak. Suasana yang tidak seperti puncak pada umumnya sedikit banyak berpengaruh dengan euforia yang di timbulkan. Padahal ini puncak ke enam saya dari jajaran 7 puncak tertinggi Indonesia. Setelah saya tiba dipuncak, saya hanya duduk diam, menatap papan tanda puncak dihadapan saya. Pikiran saya menerawang, betapa beratnya proses untuk bisa berada disini, betapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan, betapa tidak bisa hanya bermodal semangat untuk bisa berdiri disini. Sangat dibutuhkan tim yang solid dan benar-benar mengerti satu sama lain agar bisa saling menguatkan.
Saya lihat jam di android, pukul 10.30, berarti sudah 15 menit saya berada disini sendirian. 5 menit kemudian barulah satu persatu anggota tim berdatangan ke puncak. Ketika Andy datang, saya peluk, kami terdiam, tak terbayang bisa berhasil "menaklukkan" Puncak Kakam 2278 mdpl. Hebat orang sini, seberat ini hanya disebut BUKIT. Saya akan sangat ikhlas dan mendukung jika suatu hari nanti Bukit Raya berganti nama menjadi "Gunung Raya"...hehehe. Ya, beratnya jalur dan kontur alam disini lebih cocok disebut Gunung daripada Bukit.
Setahun lalu, saya pernah mengatakan disalah satu catper saya bahwa Gunung Binaiya (baca catper saya Binaiya Itu...Memang Beda!!)  di Maluku adalah gunung dengan PHP terbaik. Maka tahun ini, setelah berhasil "menaklukkan" Bukit Raya Kalimantan, saya tidak ragu untuk mengatakan, inilah gunung terberat yang pernah saya daki. Penilaian berat ini juga di amini oleh bang Tutet yang sudah pernah mendaki Cartenz Pyramid, beliau mengatakan, "ke Cartenz saya masih sanggup dua kali bolak balik dalam satu kesempatan, tapi disini saya ga sanggup". Selamat untuk bang Tutet yang sudah menyelesaikan Seven Summit Indonesia-nya, selamat untuk mbak Hanny dan Margie yang sudah menggapai puncak kelima-nya, Andy dan Tika yang tinggal menunggu Cartenz untuk menamatkan seven summit-nya. Terima kasih khusus saya ucapkan untuk Allah swt yang telah memberi saya kekuatan dan kesempatan untuk berada disini. Terima kasih untuk Nino dan mami serta ortu yang selalu mendukung dan mendoakan, plus teman-teman sehobi. Terima kasih yang besar bagi porter tim kami, Fendi, pak Badat dan pak Hata, kalian luar biasa.

Saya di Puncak Kakam 2278 mdpl...Alhamdulillah..Puncak ke-enam dari 7 puncak tertinggi Indonesia (13/12/2017)

Masing-masing punya gaya...yang penting udah nyampe di puncak.(13/12/2017)

Full team di Puncak Kakam Bukit Raya dengan bendera kebangsaan KGI...Alhamdulillah
.
Alhamdulillah....
.
.
End Of Long Journey
Ekspedisi Bukit Raya 2278 mdpl
7 - 17 Desember 2017
.
.
More info :
WA / SMS Only 0811-118-1225
E-mail : cliff.klie@gmail.com
Follow IG : Kukuh Klie

Gallery :

Saya dan Andy didepan resort TNBBR Rantau Malam pasca pendakian (15/12/2017)
Tongkang besar pengangkut alat berat di Sungai Melawi (8/12/2017)
Kaki serasa di iris-iris akibat setiap hari memakai sepatu basah (14/12/2017)
Hutan Lumut menjelang puncak (13/12/2017)
Foto bersama sebelum meniti tebing vertikal Puncak Jempol (13/12/2017)
Bayangkan jembatan dengan kayu gelondongan sebesar itu putus diterjang banjir Sungai Serawai (10/12/2017)
Lagi-lagi aktivitas penambangan emas liar di tepi sungai Melawi (8/12/2017)