Rabu, 27 Desember 2017

Kembali Pulang

Hari Ke-Tujuh, 13 Desember 2017
Trail 4 : Puncak Bukit Raya - Pos 7 Linang.
.
Masih di Puncak Kakam Bukit Raya, tanpa menghiraukan cuaca yang kurang bersahabat, kami terus saja menikmati kemenangan ini. Tak terasa sudah tengah hari. Langit yang menggelayut hitam sudah siap melepaskan bebannya yang berupa butiran hujan. Tapi semesta masih berpihak pada kami, ditiuplah angin untuk menghalau, sehingga hanya rinai kecil saja yang singgah di tubuh. Mulailah kami memasak makan siang di puncak, untuk bekal tenaga saat turun nanti.
.
Ikan asin tumis, telur dadar dan nasi adalah menu makan kami siang itu. Di tutup dengan nutrijell sebagai dessert. Alhamdulillah, siang itu saya berhasil memasukkan nasi ke lambung saya meski hanya beberapa suap. Lain hal dengan Andy yang masih tidak bisa makan, alhasil dia turun dengan hanya mengandalkan coklat di sakunya.
.
Hujan semakin deras saja, seolah menjadi tanda bahwa memang kami "disuruh" segera turun. Di perjalanan turun ini, Andy di dapuk untuk berjalan paling depan, supaya ritme jalan tim tetap rapat. Pukul 13.40 kami bergerak meninggalkan Puncak Kakam.
Seperti yang sudah saya prediksi sebelumnya, perjalanan turun sama susahnya seperti naik, bahkan hingga di bawah Puncak Jempol nanti rasanya lebih susah berjalan turun. Di hari ini pula, saya mulai merasakan dinginnya udara Bukit Raya, mungkin pengaruh lelah dan perut yang lebih sering kosong.
.
Berjalan rapat memang jadi pilihan satu-satunya agar tidak ada yang terpisah. Seperti hari-hari yang lalu, lewat pukul 15.00 suasananya sudah seperti menjelang maghrib, belum lagi kabut dan angin yang hari ini terasa lebih kencang berhembus. Akhirnya pukul 16.30 kami semua berhasil tiba kembali di bawah Puncak Jempol. Setelah rehat tidak lebih dari 10 menit kami melanjutkan perjalanan. Target kami adalah langsung ke Pos 7 Linang. Namun sebelumnya kami harus menuju ke persimpangan Pos 8 untuk mengambil keril-keril yang sudah dipersiapkan Fendi dan Pak Badat.
Jalan turun menuju persimpangan memang 100% menurun, tapi curamnya jalur membuat banyak dari kami seringkali terpeleset dan jatuh. Saat itu pukul 17.30, hari sudah benar-benar gelap dan kami mulai berjalan dengan menggunakan headlamp. Mulai saat itu, posisi leader jalan di ambil alih oleh saya.
.
Fokus cahaya headlamp saya yang tidak begitu bagus membuat saya harus benar-benar memperhatikan arah. Hujan yang sangat deras dan gelapnya rimba sangat membatasi jarak pandang. Alhamdulillah, kami tidak tersesat dan tetap rapat berjalan. Menjelang tiba di persimpangan, jalur semakin rimbun, kecil dan membingungkan. Saya sempat menahan tim untuk menunggu sementara saya orientasi arah. Akhirnya tepat pukul 19.00 tim tiba di persimpangan Pos 8.
.
Di hadapan kami bertumpuk keril-keril yang hanya di naungi atap flysheet tipis. Basah semua keril saat kami mengambil dan membersihkannya dari pacet. Kami saling bergantian menginspeksi tubuh, memastikan bersih dari pacet. Maklum saja, serangan pacet lebih "menggila" saat hujan. Tika dan bang Tutet pamit untuk melanjutkan ke Pos 7 lebih dulu. Karena mereka tidak menggunakan raincoat, mereka total basah dan kedinginan. Setelah mereka berdua pergi, kami berempat dengan masih di temani pak Hata, masih sibuk membersihkan diri di bawah hujan dengan bantuan headlamp.
Saat itu, yang saya tau kondisi Andy yang paling parah terkena pacet. Dikarenakan dia yang paling sering jatuh saat turun tadi. Di tambah nekat ga pake sempak, akhirnya jadilah saya yang harus menyoroti tubuhnya dengan headlamp, sementara dia mencabuti pacet dari sekujur tubuhnya. Ketika kami siap melanjutkan perjalanan ke Pos 7, mendadak Andy menahan langkah kami. Saya membalikkan badan, lalu menyorot ke arah perutnya. Tanpa bicara dia memasukkan tangan ke selangkangannya, lalu saat tangannya di tarik keluar, nampaklah pacet yang sudah gemuk oleh darah. Rupanya makhluk menggemaskan itu "bertengger" di kemaluan Andy....hiiiyy. Lagian, suruh siapa kaga pake sempak...dudulz.
.
Saat mulai melangkah, pikiran saya berputar, mencoba mengulang ingatan di hari ke enam, saat saya sedang berjuang menuju Pos 8, terutama mengingat soal waktu tempuh. Ya, saya ingat bahwa perlu waktu 1,5 jam untuk menempuh rute Pos 7 ke Pos 8 dengan jalur yang 90% menanjak dan 10% datar. Berarti untuk turun paling tidak diperlukan waktu 1 jam saja, yang artinya pukul 20.30 tim kami bisa tiba di Pos 7.
Kalkulasi hitungan saya memang benar, meski di perjalanan, beberapa kali di antara kami harus kembali jatuh bangun karena licinnya medan. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda saat kami tiba di Pos 7. Di bawah flysheet, di shelter porter, nampaknya pak Badat dan Fendi sudah terlelap. Tika dan bang Tutet juga sudah tak terdengar suaranya, mungkin mereka sudah tidur.
.
Saya keluarkan barang-barang dari keril terutama baju ganti dan jaket lalu saya masukkan ke dalam tenda. Keril basah saya gantungkan di tiang shelter. Selama di perjalanan ini, saya selalu tidur berdua dengan Andy. Saya berganti pakaian lalu masuk ke dalam tenda. Barulah setelahnya Andy. Itupun setelah saya wajibkan dia untuk membersihkan badannya dulu dari pacet. Jaket waterproof-nya penuh pacet di bagian inner akibat berulang kali jatuh selama di jalur, akhirnya dengan terpaksa jaket itu di isolasi ke dalam plastik kresek, karena sangat tidak mungkin mencabuti pacet satu persatu hingga bersih. Setelah itu saya bantu dia membersihkan kepalanya, sekilas mirip Medusa...hahaha...itu lho legenda wanita berambut ular. Berhubung si Andy laki-laki ya sebut saja Meduso, lelaki berambut pacet.
.
Sesaat sebelum tidur, saya melihat jam, tertera pukul 22.00. Sudah 8 jam berlalu Puncak Kakam kami tinggalkan.
.
.
Hari Kedelapan, 14 Desember 2017
Trail 5 : Pos 7 - Pos 4 Sungai Mangan
.
Pukul 6.00, sudah 30 menit dari saya bangun untuk shalat subuh. Masih belum ada tanda-tanda pergerakan dari tim. Sepertinya lelah akibat dari perjalanan kemarin masih belum hilang. Ya, jika di total, khusus hari kemarin kami berjalan selama 12 jam naik turun. Perjalanan terpanjang selama di ekspedisi ini. Dan kondisi lelah itu diperparah kami tidak makan malam. Pagi ini setelah sarapan dengan energen, sedikit mie dan nutrijell saya, Andy, Margie, pukul 8.30 mulai bergerak menuju target kami Pos 3 Hulu Menyanoi. Disana kami akan mendirikan camp untuk bermalam. Disana pula kami meninggalkan sebagian logistik. Rute Pos 7 menuju Pos 6 100% turunan. Diperkirakan waktu tempuh sekitar 2 jam. Saya masih mengenakan pakaian basah bekas hujan semalam. Perjalanan menuju Pos 6 relatif mulus dan tidak ada kendala, meski kami tiba lebih lambat 30 menit dari target. Rehat sejenak lalu kami bergerak lagi, pokoknya jangan sampai kami tersusul oleh porter yang paling belakang. 20 menit menjelang Pos 5, saya mempercepat langkah, meninggalkan pak Badat, pak Hata, Andy dan Margie. Saya terus berjalan cepat sambil tetap jeli dengan arah. Tepat pukul 12.00 saya tiba di pos favorit saya, Pos 5 Hulu Rabang. Tak lupa saya ambil dryfit yang saya tinggalkan disini pada hari kedua pendakian. Di sini saya bertemu dengan bang Tutet dan Tika. Sedangkan mbak Hanny rupanya sudah melanjutkan jalan bersama Fendi.
.
Berjalan cepat seperti tadi menghabiskan energi saya cukup banyak. Perut terasa lapar. Akhirnya saya mengambil air dari sungai lalu mengaduk energen. Jelas saja tidak larut. Saya tidak peduli, anggap saja energen dingin, yang penting perut terisi. 15 menit kemudian Andy dan Margie datang, bergabung istirahat. Alhamdulillah stok coklat Andy masih cukup banyak, jadilah kami makan siang dengan coklat dan sebungkus indomie kremes. Agak lama juga kami rehat di Pos 5. Mengumpulkan tenaga untuk menempuh rute ke Pos 4 yang merupakan rute terpanjang dan 80% tanjakan. Pukul 13.30 kami melanjutkan perjalanan.
.
Berhubung jalur menanjak, kami terpaksa hanya menggunakan gigi 1...hehe...maklum tiga orang yang dibelakang ini body nya jumbo-jumbo. Pak Badat yang menjadi sweeper pun dengan sabar mengawal kami. Dan kembali hujan turun sesuai jadwal hariannya, pukul 14.50. Lalu reda saat kami tiba di Simpang Lekawai pukul 16.45. Disini saya shalat terlebih dulu.
Selesai shalat, setelah memasang headlamp, kamipun mulai bergerak lagi. Saya perkirakan kami akan tiba di Pos 3 pukul 19.00. Saya berjalan dengan lebih bersemangat karena tau Pos berikutnya (Pos 4) sudah tidak jauh lagi. Paling hanya 15-20 menit kami sudah bisa tiba di Pos 4 Sungai Mangan.
Pukul 17.20 kami tiba dan kami agak heran, seluruh anggota tim berkumpul disana. Sebuah bivak dari flysheet sudah berdiri. Lalu kami berembuk mengenai rencana perjalanan selanjutnya. Mbak Hanny meminta kami buka camp disini, bang Tutet ingin lanjut, sedangkan porter kami juga enggan berjalan di malam hari meski ada headlamp. Kebanyakan dari masyarakat Dayak Ot Danum memang pantang berjalan di rimba malam hari. Ketika saya diminta pendapat, saya katakan bahwa saya mengikuti saja baiknya bagaimana. Keputusan final adalah kami bermalam di Pos 4 ini. Lalu tim bergerak cepat membangun shelter untuk bermalam. Dan khusus di malam terakhir kami di rimba, pak Badat yang memasak makan malamnya. Enak juga rupanya masakan beliau. Istimewanya, beliau masak dengan perapian kayu, dengan sendok sayur yang diukir sendiri on the spot. Keren lah pokoknya.
Malam ini juga istimewa karena untuk pertama kalinya saya dan Andy bisa makan lahap. Alhamdulillah.
.
.
Hari ke Sembilan, 15 Desember 2017
Trail 6 : Pos 4 - Rantau Malam.
.
Hari terakhir kami di rimba Bukit Raya. Untuk merayakannya saya pun berganti pakaian dengan pakaian kering dan bercelana pendek. Untuk sepatu, tetap dengan sepatu basah, jari-jari kaki saya yang luka karena gesekan basah sudah saya balut dengan perban. Niat menggunakan sendal saya urungkan karena sendal saya rupanya ditinggalkan porter di Pos 3 bersama logistik ketika hari kedua. Seperti biasa, di hari terakhir ini pun saya, Margie dan Andy masih menghuni posisi sweeper. Belum genap pukul 7 pagi saat kami bergerak meninggalkan Pos 4. Perut yang kenyang membuat jalan kami lebih tenang. Pukul 8.10 kami sampai di Pos 3. Sambil beristirahat saya membuat minuman sachet sari mangga. Segar betul rasanya. Di tambah berjalan dengan sendal, membuat saya makin ringan melangkah.
.
Kami tiba di pintu rimba pukul 11.30, disambut dengan panasnya tusukan matahari. Drastis sekali perubahan suhu yang kami alami. Memandang jalur selanjutnya yang berada langsung di bawah matahari membuat kami malas beranjak. Mengharapkan ojek namun sedikitpun tidak ada tanda-tandanya. Dan mau tidak mau, kami harus segera melangkah. Nyaris pukul 12 siang saat langkah kaki kami mulai bergerak menyusuri jalur yang tandus dan luar biasa panas ini. Setiap 100-200 meter saya menepi mencari sekedar pelepah pohon untuk berlindung dari sengatan panas. Saya berjalan lebih cepat, saya ingin segera mengakhiri berjalan di bawah panas seperti ini. 1/3 jarak tertempuh, datanglah ojek menjemput, dan Margie lah yang kebagian giliran pertama naik ojek. Lalu saya terus melanjutkan perjalanan. Andy dan pak Badat berada 15 menit dibelakang saya. 1/3 akhir perjalanan, datang Fendi dengan menggunakan motor ojek yang sama menjemput saya. Rupanya si ojek sudah kelelahan, dan Fendi lah yang melanjutkan penjemputan. Hehehe...tukang ojek yang naik motor aja KO dihajar panasnya jalur, apalagi kami yang berjalan kaki. Saat saya tiba dipangkalan ojek, bang Tutet sedang tidur. Saya diberitahu Tika bahwa Margie dan mbak Hanny sedang merendam kaki di tepi sungai. Saya pun segera bergabung. Duuh...nikmat sekali merendam kaki di dinginnya air sungai sambil menikmati sebotol Coca Cola gratis traktiran Margie.
.
Tak lama saya relaksasi di tepi sungai, datanglah Andy dengan terengah-engah, bergabung dengan kami. Ga tanggung-tanggung, Andy malah menceburkan dirinya ke sungai. Persis anak kecil ketemu mainan. Cukup lama kami bersantai disini. Hampir 1 jam.
Selesai berendam kami merapikan barang-barang dan berjalan ke arah kiri, ke arah setapak becek. Menurut keterangan pak Badat, ini jalan pintas untuk menuju desa. Jika kami rela menyeberang dengan air setinggi dada, maka bisa saja kami menyeberang melalui titik dimana tadi kami berendam.
.
Belum lama kami meninggalkan pos ojek, saya dan pak Badat di "hadang" 2 perempuan, yang ternyata salah satunya adalah istri bang Ngea. Dia mengatakan bahwa perahu sudah menunggu untuk membawa kami ke Serawai sesuai perjanjian awal. Kami memang meminta bang Ngea untuk menjemput tanggal 15 Desember. Saya sempat bingung untuk memberi persetujuan karena tadi ketika kami sedang bersantai di tepi sungai, kami sepakat jika tanggal 16 Desember pagi, baru akan meninggalkan Rantau Malam, yang artinya malam ini kami ingin beristirahat saja di homestay.
Istri bang Ngea berkeras kami harus jadi ke Serawai sore ini juga, dia bilang besok perahunya sudah di booking untuk mengangkut peralatan proyek mikro hydro. Tarik ulur kami mencari solusi, akhirnya bang Ngea mengalah dan mempersilakan kami untuk menginap lagi semalam di Rantau Malam. Dengan catatan, besok pagi jam 6 kami harus sudah standby di tepi dermaga Rantau Malam. Dan Alhamdulillah bang Ngea bersedia mengantar kami ke dermaga desa dengan boat-nya, jadi kami tak perlu bersusah payah berjalan dan berbasah-basah menyeberangi sungai.
.
Tiba di homestay, saya, Andy dan Margie segera membongkar seluruh peralatan yang kotor. Baru pukul 15.00, kami rasa akan cukup waktu untuk membersihkan seluruh peralatan. 6 hari dihutan, semua peralatan basah, becek dan lembab. Jadilah 2 jam berikutnya kami sibuk di tepi dermaga desa, mencuci sepatu, flysheet hingga tenda-tenda. Beruntung sore itu cuaca cerah, matahari bersinar terik. Memberi kesempatan peralatan basah kami untuk sedikit mengering. Banyaknya peralatan membuat kami harus menitipkan jemur di beberapa rumah warga. Selesai ritual bersih-bersih alat dan shalat, kami memanfaatkan waktu untuk berkeliling desa. Berkunjung ke rumah Fendi (porter), kami disuguhi jagung rebus dan teh manis (yang ini free no charge)...hehehe. Lalu kami berfoto-foto di resort TNBBBR Rantau Malam.
.
Tepat pukul 18.00, hari sudah gelap. Ritual potong ayam pasca pendakian pun di mulai. Seperti di hari pertama kami datang, di hari terakhir ini pun, kembali bang Tutet menjadi tukang jagal-nya. Dan anggota tim yang lain bertugas membersihkan dan mengolah ayam tersebut untuk lauk makan malam.
Ada yang sedikit berbeda di ritual turun gunung ini, yaitu bapak Otong menaburi kepala kami dengan beras serta meminta telapak tangan kami terbuka agar bisa ia tekan dengan jari telunjuknya yang sudah dibasahi darah ayam. Selesai ritual, beliau meminta kami membeli arak. Wah, saya sempat keder juga, jangan-jangan semua wajib minum. Tapi Alhamdulillah, kami yang tidak minum tidak dipaksa untuk minum. Kami hanya membeli, dan yang meminum adalah beliau dan beberapa warga desa. Konyol juga, menyaksikan mereka mabuk. But who cares?...masing-masing aja lah.
.
Saat saya sedang asyik memindahkan foto dari Garmin Virb ke eksternal hardisk milik mbak Hanny via laptop milik Fendi (keren nih si Fendi, punya laptop n printer pula). Tetiba Andy menghampiri saya dan dengan bahasa kode yang ga saya mengerti dia ngasih tau saya. Andy sembunyi-sembunyi mengacungkan telunjuk dan 4 jari nya bergantian. Saya yang belum ngerti maksudnya cuma ngangguk-ngangguk aja. Dan setelah sekian lama akhirnya saya paham maksudnya, Andy tuh mau bilang kalo tagihan tim kami untuk biaya adat dan lain-lain itu 1,4 juta....wooott??!!...1,4 juta??...aje gileee...
Saya tanya dimana itu perincian invoice-nya, ternyata di taruh di depan pintu kamar kami, selembar kertas buku tulis bergaris, dengan detail berisi barisan angka. Well, akhirnya untuk kenang-kenangan saya abadikan kertas invoice itu dengan Canon 500D yang saya bawa.
.
Saya lupa malam itu tidur jam berapa, yang jelas seperti malam-malam sebelumnya selama 8 hari terakhir, malam ini pun suara mendengkur khas si Andy yang menjadi pengantar tidur saya menuju pagi.
.
.
Hari Ke Sepuluh, 16 Desember 2017
Trail 7 : Rantau Malam - Nanga Pinoh
.
Sesuai perjanjian dengan bang Ngea, pagi itu kami semua sudah bersiap pukul 6.00. Sebelum berangkat, kami sarapan dengan sisa logistik yang kami miliki yaitu spaghetti dan nasi goreng. Ga apalah Karbo vs karbo. Tak perlu waktu lama untuk kami menghabiskannya.
Tepat pukul 7.00, dengan di antar porter-porter kami, longboat mulai bergerak meninggalkan dermaga desa Rantau Malam. Dan pada saat itu ada perasaan sedih yang melintas di hati saya melihat porter-porter kami yang baik melambaikan tangan perpisahan. Kebaikan dan ketulusan mereka menghapuskan hal-hal yang kurang mengenakkan yang kami alami selama disana. Insya Allah jika ada umur dan kesempatan mungkin saya akan silaturrahim lagi ke Rantau Malam-nya saja, bukan ke Bukit Raya-nya. Naik ke Bukit Raya cukup sekali saja deh.
.
Selama di longboat menuju Serawai kami lebih banyak diam. Tidur tidak, ngobrol tidak. Debit air sungai yang berkurang membuat boat seringkali bergesekan dengan dasar sungai yang berbatu, menimbulkan perasaan waswas dan khawatir boat kami mengalami trouble.
Matahari pun bersinar sangat terik membakar kami yang duduk pasrah tanpa atap. Perjalanan pulang ini lebih cepat, hanya 3,5 jam atau pukul 10.30 kami sudah kembali tiba di teras penginapan Serawai. Ramai sekali hari itu. Kami transit selama satu jam sebelum melanjutkan ke Nanga Pinoh.
Pukul 11.30, kami menuju Nanga Pinoh dengan speedboat yang sama seperti saat kami pergi. Dan lagi-lagi, satu orang dari kami harus di oper ke boat reguler dengan alasan keselamatan. Dan kali ini Andy lah yang terpisah. Menurut saya, pengurangan penumpang dengan alasan keselamatan ini hanya akal-akalan sopir boat saja, karena saya melihat banyak boat yang bisa memuat penumpang hingga 9 orang plus barang. Tidak ada masalah, konsekuensinya hanya laju boat berkurang. Dan hal ini di iya-kan pula oleh rekan yang lain. Setelah kami perhatikan sopir boat kami ini memang over atraktif dalam memacu boat-nya. Manuver-manuvernya menurut saya berlebihan. Mungkin dia merasa jadi Valentino Rossi versi sungai.
.
Sebelumnya kami sudah tau jika nanti akan cukup lama menunggu jemputan untuk ke Pontianak karena kami baru menghubungi mobil jemputan saat tiba di Serawai. Perjalanan Pontianak ke Pinoh sekitar 9 jam. Perjalanan Serawai ke Pinoh hanya 3-4 jam. Jadi nanti di Pinoh kami akan menunggu sekitar 5-6 jam.
Pukul 14.30 speedboat kami sudah tiba di Nanga Pinoh. Selesai membayar biaya boat, kami susun keril-keril kami di tepi dermaga. Kami putuskan untuk menunggu jemputan di dermaga saja. Lebih nyaman.
.
Sambil menunggu jemputan, saya memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar pasar Nanga Pinoh, sekaligus mencari mesjid untuk menunaikan shalat dzuhur dan ashar. Sekira pukul 17.00 saya kembali ke dermaga dan beristirahat bersama teman-teman yang lain. Ternyata senja di dermaga Nanga Pinoh ini cukup indah. Saya abadikan beberapa dengan kamera.
.
.
Hari ke Sebelas, 17 Desember 2017
Trail 8 : Nanga Pinoh - Pontianak
.
Memang benar kata pepatah, menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Waktu berjalan terasa lambat sekali. Saya meminta Tika untuk menanyakan jemputan kami sudah sampai mana. Saat itu pukul 20.00, di jawab oleh supir jemputan bahwa posisi mobil masih di Sanggau. Waduh, masih jauh rupanya. Perkiraan saya, mobil baru akan tiba di Pinoh pukul 1.00 dini hari. Margie mengambil flysheet lalu digelarnya. Dan kami pun memutuskan untuk tidur saja, bergantian.
Benar saja, pukul 1.00 mobil kami baru tiba. Tanpa menunggu lama, segera kami angkut semua keril dan ikat di atas mobil. Pukul 1.30 mobil pun meluncur menuju Pontianak. Jika perjalanan lancar, sekitar pukul 9 pagi kami akan tiba disana.
.
Entah ini cobaan atau apa, lagi-lagi kami terhambat dalam perjalanan pulang ini. Mobil kami minim sekali bensinnya. Lampu indikator sudah menyala, memperingatkan kami soal bensin. Di jalan Trans Kalimantan ini, SPBU sedikit sekali, dan pendek jam operasionalnya.
Sambil harap-harap cemas, kami memasang mata, kalau-kalau ada penjual bensin eceran. Gelap malam dan sepi, ga lucu kalau mobil kami berhenti dan mati mesinnya. Kecepatan mobil dibatasi tidak lebih dari 40km/jam untuk menghemat bensin yang tersisa. Namun akhirnya sopir memutuskan menepi dan berhenti karena tidak mau ambil resiko mobil kehabisan bensin. Waktu menunjukkan pukul 3.30. kami nekat mengetuk beberapa pintu rumah warga untuk sekedar bertanya apakah ada bensin yang dijual. Usaha kami nihil, tak ada warga yang punya, dan jangankan mereka mau memberi info, keluar rumahnya pun tidak. Mungkin mereka juga takut kalau kami ini begal, secara mengetuk pintu di dinihari. Setelah berunding sejenak, semua sepakat untuk nekat jalan kembali. Kami benar-benar tidak tau berapa liter yang masih tersisa di tanki. Saya pun berbicara dengan suara yang mungkin hanya terdengar oleh diri saya sendiri, saya meminta bantuan Allah untuk mendatangkan bensin pada kami. Saya benar-benar berdoa dengan sungguh-sungguh. Meminta keajaiban.
.
Selang 15 menit kemudian, pukul 4.00, ditepi jalan yang gelap, saya melihat ada seorang lelaki usia sekitar 50an. Saya pun meminta sopir menepi agar kami bisa bertanya apakah ada penjual bensin di lokasi dekat kami ini. Allahu Akbar...Alhamdulillah...lelaki berpenampilan sederhana itu ternyata menjual bensin. Setelah berbicara sejenak, dia lalu menyeberang jalan dan menuju rumahnya. Ketika kembali, ditangannya kami lihat bensin sebanyak 4 liter. Allah menjawab doa saya kontan. Jika tanpa pertolongan Allah, mana mungkin kami bertemu dengan lelaki itu. Sekedar info, rumah lelaki itu pun agak masuk ke dalam, sehingga tidak mungkin dari jalan raya kami bisa tau kalau dia menjual bensin.
.
Kami pun bisa melanjutkan perjalanan dengan lebih tenang. Setidaknya 4 liter bensin ini lebih dari cukup untuk kami mencapai SPBU resmi di daerah Sekadau.
Belum 10 menit mobil melaju, adzan subuh memanggil, saya pun meminta sopir menepi di mesjid terdekat. Saat saya tadi berdoa meminta "keajaiban" dari Allah, saya mengucap janji bahwa jika adzan subuh terdengar maka saya akan segera menunaikannya di mesjid pertama yang saya temui. Selesai shalat, plong sudah hati ini. Mobil melaju cepat, di SPBU juga kami tidak mengantri dan jalanan lancar sekali.  Sehingga sebelum pukul 11 siang kami sudah tiba di kota Pontianak. Luar biasa kemudahan yang Allah berikan.
.
Karena kami tiba di Pontianak masih siang, akhirnya kami memutuskan untuk mampir silaturrahim ke teman-teman Mapala UNTAN. Pukul 12.00 kami tiba dan disambut dengan hangat oleh mereka.
Sekira pukul 14.00, kami berkeliling kota dengan ditemani salah satu rekan dari Mapala Untan. Kami menuju PSP, membeli oleh-oleh sekaligus jajan. Menjelang ashar kami kembali ke Untan untuk beristirahat. Hari ini adalah hari terakhir kami di Pontianak, hari perpisahan dengan rekan tim ekspedisi. Saya, Andy dan Margie memang akan pulang hari ini dengan pesawat malam. Jadi kami puas-puasin deh keliling kota. 
.
Pukul 18.30, selesai shalat maghrib, mobil angkutan online yang saya pesan tiba di pekarangan Mapala. Kami bertiga pun berpamitan dengan mbak Hanny, bang Tutet dan Tika serta rekan-rekan dari Mapala Untan. Terima kasih untuk petualangan yang luar biasa, terima kasih untuk kebersamaan yang hangat selama 10 hari terakhir. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain kesempatan. Menjelajahi rimba dan terjalnya jalur bersama-sama. Sehat dan sukses selalu untuk kalian semua.
.
.
The End.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

1 komentar:

  1. Jago Sabung Ayam online? Yuk daftar langsung di Bolavita dan dapatkan Bonux 100% dari total 8x/9x/10x win dari jumlah total kemenangan beruntun anda.

    Kunjungi : Agen Judi Sabung Ayam Bonus 100% - Bolavita

    Kontak resmi :
    WA : +62812-2222-995
    Wechat : Bolavita
    Telegram : @bolavitacc
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus