Senin, 03 Maret 2014

Mahameru, Puncak Abadi Para Dewa



Mahameru 3676 mdpl

Hari itu Selasa, 24 Desember 2013 jam 12.00, saya berdiri berpegangan pada handle penumpang Commuter Line Jakarta Bogor. Berseberangan dari posisi saya, berdiri adik sepupu saya Hendri yg biasa di panggil Belo, sebutan suku Sunda untuk orang yg memiliki mata besar. Kami berdua sedang menuju Stasiun Pasar Senen, tempat kumpul yg telah disepakati sebelum kami berangkat menuju ke Malang. Belo ini sebenarnya "pemain" cabutan.Tanpa persiapan sama sekali dia saya ajak untuk ikut ke Malang. Bahkan dia sendiri juga belum tahu akan saya ajak kemana, yg dia tahu saya ngajak dia berpetualang. Saya hanya menyuruhnya memakai sepatu lapang dan jaket tebal, serta membawa pakaian ganti seperlunya. Belo ini saya ajak untuk menggantikan posisi Dillo, kenalan saya di media sosial yg batal berangkat sebab ijin dari keluarganya mendadak di cabut. Rencana awal petualangan ini memang berlima, saya Klie sebagai inisiator dan empat rekan saya Dillo, Jokaw, Coro dan Boyor.

Setelah satu setengah jam akhirnya kami sampai di stasiun Pasar Senen dan langsung menuju Alfa Mart (tempat kumpul sebelum berangkat). Saat saya tiba di depan Alfa Mart hanya ada Jokaw bengong sendirian. Singkatnya, dari Jokaw saya tahu bahwa Coro dan Boyor juga mendadak batal berangkat. Coro ga bisa ninggalin kerjaannya padahal dia sudah mengajukan cuti sejak sebulan lalu, sedangkan Boyor menurut keterangan Jokaw mendadak mencret2 level akut. Damn!...kesal rasa hati ini, campur aduk antara marah dan bingung. Apakah perjalanan ini lebih baik dibatalkan atau terus berlanjut. Memang, selama ini segala macam persiapan kami lakukan hanya mengandalkan komunikasi via SMS, telpon atau chatting saja mengingat kesibukan masing-masing yg menyebabkan ga memungkinkan kami untuk bertemu sebelum hari H. Saya, Jokaw, Coro dan Boyor 10-13 tahun yg lalu memang tergabung dalam kelompok Pecinta Alam yg sama sebab kami kuliah di Fakultas yg sama. Jadi walaupun lama kami ga pernah bertemu paling tidak naluri "rasa pengertian" sebagai pecinta alam masih melekat dan bisa di andalkan. Sejenak saya berbicara serius dengan Jokaw dan akhirnya kami putuskan untuk terus melanjutkan rencana berpetualang ke Malang.

Ya, sudah sejak 4 bulan sebelumnya kami berlima berencana petualang ke Malang, tepatnya ke Mahameru, puncak tertinggi tanah Jawa, puncak abadi para Dewa (lagu banget sih). Sama sekali rencana ini di buat bukan untuk menyaingi kepopuleran film "5cm" apalagi coba2 bikin sekuel versi kami. Bahkan kalau boleh sedikit sombong, lebih hebat persahabatan kami daripada tokoh2 di film itu. Salah satunya umur persahabatan kami yg sudah lebih dari 10 tahun. Kalaupun kami jumlahnya berlima itupun bukan hasil settingan...murni hanya kebetulan. Sampai sebelum hari ini saya terus membayangkan serunya petualangan nanti bersama sahabat2 saya. Tapi apa mau di kata, rencana tinggal rencana, kerjaan yg ga bisa di tinggal dan mencret membuyarkan angan2 saya tentang serunya cerita petualangan ini.

Ada bagusnya saya ajak Belo, dan bagusnya si Belo mau saya ajak---kalau ga mau ya aneh aja mengingat Belo ini statusnya jobless alias pengangguran---karena saya ga kebayang misal benar-benar hanya jalan berdua dengan Jokaw. Bukan apa2, Jokaw memang mempunyai pengetahuan yg cukup dalam mendaki dan sudah cukup sering saat masih di kampus dulu kami berpetualang bareng...TAPI...bobot Netto nya Jokaw ini ga kurang dari 80kg. Dan sudah sejak dulu Dwi Atmaja alias Jokaw ini dalam setiap petualangan mengalami kesulitan dengan bobotnya itu dan konsekuensinya dia ga bisa bawa ransel dengan beban yg berat. Jadi bayangkan saja kalau segala peralatan team seperti tenda, nesting, kompor dll yg bobotnya tidak akan berkurang sampai kami kembali pulang hanya di sandang oleh saya, belum lagi beratnya logistik. Itulah alasan lain saya mengajak Belo untuk ikut walau baru jam 1.30 dini hari tadi saya menghubungi, bagusnya dia belum tidur dan setelah sedikit merayu akhirnya saya berhasil meyakinkan dia untuk ikut. Itu sebabnya saya bilang Belo ini "pemain cabutan".
Saya di kereta Matarmaja

Jam 13.40 kereta Matarmaja Ekonomi AC yg kami tumpangi berangkat meninggalkan Pasar Senen. Saya sempat melihat ada sekitar 150-200 orang pendaki menumpang kereta yg sama dengan kami. Melihat itu hati saya menjadi tenang dan terhibur, toh banyak barengannya dan besar kemungkinannya tujuan mereka sama seperti kami. Sudah bukan rahasia lagi bahwa dimanapun pendaki yg tidak saling mengenal sekalipun akan menjadi seperti saudara saat bertemu pendaki lain. Saya salah satu orang yg sangat "mengagungkan" persahabatan antar pendaki. Rasa setia kawan yg besar adalah jaminan yg pasti dimiliki saat mempunyai teman baru dalam pendakian. 

Teriakan petugas restorasi yg menawarkan nasi goreng mengganggu lamunan saya yg sedang asyik melihat hamparan air alias banjir diluar sana..hehe...rupanya kereta sudah masuk wilayah Karawang. Rasa lapar membuat saya dan Jokaw ga pikir panjang untuk memesan. Belo ga mau, belum lapar katanya. 
36.000 rupiah, itulah jumlah yg harus saya bayar untuk 2 porsi nasi goreng yg jauh dari enak rasanya. Makin ga enak saat harus membayar nasi goreng yg ga enak itu. Dan bertambah ekstra ga enak saat Belo tiba2 ikut memesan setelah sebelumnya menolak. Seandainya nasi gorengnya enak atau ga apa2 ga enak asal ga mahal mungkin saya akan lebih ikhlas untuk membayari. Soalnya sebagai orang yg mengajak dan mengingat status dia yg jobless segala kebutuhan Belo dalam perjalanan ini menjadi tanggungan saya pergi pulang.

Belum lagi kereta masuk wilayah Cirebon, Jokaw dan Belo sudah tumbang ke alam mimpi. Jadilah saya melamun sendirian. Selepas Isya perut saya terasa lapar lagi, tapi "trauma" dengan harga nasi goreng siang tadi membuat saya berpikir lebih cerdas. Kereta selalu berhenti pada stasiun2 yg di tentukan dan berdasarkan pengalaman saya back packer selama ini, selalu ada penjual nasi bungkus yg "standby" dg harga yg jauh lebih murah di setiap stasiun pemberhentian. Walau harus agak lama menahan lapar---sebab saya baru mendapatkan nasi bungkus yg saya cari itu 3 jam kemudian---kira2 jam 23.00 menjelang masuk daerah Solo akhirnya muncullah tokoh protagonis itu membawa nasi bungkus paket hemat, cukup dengan enam ribu saja perutpun kenyang. Dan saya pun bisa beristirahat dengan tenang, sementara diluar sana hujan mulai turun.

 Jam 7 pagi tanggal 25 Desember, setelah 16 jam perjalanan tiba juga kami di stasiun Malang Kota Baru. Hujan masih setia menemani saat kami berjalan keluar stasiun. Tujuan kami berikutnya adalah pasar tradisional yg terletak tidak jauh di sebelah timur stasiun. Saya memberikan daftar barang dan logistik yg harus di beli ke Jokaw dan Belo. Sambil menunggu mereka belanja saya duduk di belakang penjual bubur sumsum. Kondisi tubuh saya agak turun, terasa mual dan pusing tapi saya berusaha tetap "cool", walau bagaimana saya adalah leader perjalanan ini, saya harus menunjukkan kekuatan dan semangat untuk Jokaw dan Belo. 1 jam kemudian segala keperluan yg kami cari sudah lengkap dan kami melanjutkan perjalanan menuju perempatan Blimbing dengan menumpang angkot trayek AMD untuk kemudian berganti colt putih ciri khas angkutan arah Pasar Tumpang. Setelah 30 menit kami tiba di Pasar Tumpang. Suasananya ramai oleh Jeep-Jeep dan Truk angkutan khusus untuk para calon pendaki Mahameru ataupun Bromo. Siang itu hujan masih belum berhenti tapi hiruk pikuk pendaki yg sedang mempersiapkan diri sama sekali tidak berkurang apalagi terganggu. Rasa mual dan pusing saya semakin menjadi dan dengan terpaksa saya relakan sebutir antibiotik masuk melewati tenggorokan saya demi mengurangi rasa nyeri di kepala dan mual. Tumpang adalah kota kecil terakhir yg akan ditemui para calon pendaki. Di Pasar Tumpang ini segala kebutuhan untuk pendakian tersedia cukup lengkap. Jadi kamipun melengkapi segala sesuatu hal yg masih di rasa kurang. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah saya back packer, saya membeli ransel dan peralatan lainnya dalam perjalanan. Bukan apa2, si Belo ini sejak dari Jakarta hanya menyandang daypack kecil pinjaman dari saya dan banyaknya bawaan kami bertiga khususnya logistik tidak lagi cukup untuk di muat dalam dua ransel yg kami bawa memaksa saya untuk membeli ransel dan peralatan tambahan. Tidak adil jika hanya saya dan Jokaw yg menyandang ransel. Dan yg terutama tidak "safety" jika hanya membawa 2 ransel dan peralatan yg tidak lengkap. Selain Desember dikenal sebagai bulan yg tidak ideal dan membahayakan untuk kegiatan alam bebas, saya pribadi memang sering di anggap ribet oleh teman2. Saya memang ribet sebab saya mengharuskan siapapun yg setuju untuk jalan dengan saya maka peralatan dan perlengkapannya wajib sesuai standar. Walau back packer, standar safety saya tidak berkurang. Ga masalah beban ransel bertambah berat yg penting keselamatan terjamin. Jam 12 kurang Jeep yg kami sewa mulai berjalan menuju Ranupani. Supirnya, Pak Mun, adalah ayah dari kenalan saya (alm) Mas Samsul. Ini memang kedatangan saya yg ke empat ke Mahameru setelah yg pertama tahun 1989, 1997 dan 2002 silam. Bedanya, biasanya dulu saya datang dibulan-bulan yg ideal dan mendukung untuk kegiatan alam bebas seperti mendaki.

Saya dan Jokaw

Casio di tangan sy menunjukkan pukul 13.30, Hujan itu masih setia menemani saat kami tiba di pos Ranupani. Ranupani ini adalah nama danau dan desa terakhir di kaki Mahameru,sekaligus titik awal untuk melakukan pendakian. Berada di ketinggian 2200 mdpl (setara dengan ketinggian puncak Gunung Salak di Jawa Barat), hembusan anginnya terasa maknyus banget. Setelah mengurus berkas2 pendaftaran kami melakukan final check alat dan perbekalan di pondokan Mak Yem. Kami di suguhi teh manis panas oleh beliau, lumayan untuk mengurangi dingin yg mulai terasa menusuk. Kamipun menitipkan beberapa barang yg tidak diperlukan dalam pendakian di rumah beliau. Selesai berkemas saya dan Jokaw beranjak ke mushala untuk shalat. Di situ saya berkenalan dengan laki2 usia awal 50an kira2.
Sedikit berbasa basi ala persahabatan sesama pendaki, sy meminjam sendalnya untuk berwudhu. Dan pada akhirnya kami shalat berjamaah. Selesai shalat sambil kembali memakai sepatu, saya jadi tahu jika bapak itu sedang dalam kondisi tidak fit di tambah tidak membawa alat standar untuk pendakian. Anaknya yg juga ikut dan ternyata seorang dokter, berulang kali meminta supaya bapaknya tidak memaksakan diri, tapi sia2, sang bapak berkeras melanjutkan mendaki.


Gerbang awal pendakian

Jam 14.30 setelah berdoa dan memberi pengarahan untuk Jokaw dan Belo, kami start mendaki, masih setia di temani hujan. Jarak kami dengan sang bapak kira2 15-20 menit.
Singkat cerita, karena cuaca yg sangat tidak bersahabat membuat mental kami drop, di tambah hujan membuat jalur menjadi berlumpur dan licin, membuat fisik kami semakin terkuras sebab selain langkah yg sulit, ransel di pundak terasa semakin berat terbasahi oleh hujan yg tak kunjung reda. Tapi walau bagaimana saya terus menyemangati diri dan rekan. Target jam 18.00 sampai Ranu Kumbolo meleset jauh, sebab pada jam tersebut justru kami baru tiba di Watu Rejeng. Watu Rejeng adalah nama pos ketiga dalam pendakian menuju Mahameru. Umumnya para pendaki selalu berusaha sudah melewati pos ini sebelum gelap atau maghrib. Sudah sejak dulu pos ini menyimpan banyak cerita mistis atau tragedi kecelakaan pendakian, baik yg benar-benar kisah nyata ataupun sekedar mitos turun temurun. Sesuai namanya, Watu yg berarti batu, di pos ini terdapat tebing batu granit berwarna gelap yg menjulang vertikal dengan tinggi sekitar 50-60 meter dan memanjang 200 meter. Jika saya analisis dari segi ilmiah mengapa di pos ini sering terjadi kecelakaan pendakian atau lain-lain itu lebih karena kondisi fisik dan konsentrasi pendaki rata-rata sudah menurun saat memasuki area pos ini. Sebab, di trek sebelumnya pendaki harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menunduk atau melangkahi banyaknya pohon tumbang yg melintang menutupi badan trek sambil tetap menyandang ransel yg berat. Jarak Ranupani dengan Watu Rejeng ini sekitar 2,5-3,5 jam perjalanan. Karakter trek Watu Rejeng yg sempit---pada beberapa titik hanya muat dilewati satu pendaki---membuat pendaki yg naik harus bergantian dan sabar untuk lewat jika berpapasan dengan pendaki yg turun. Terkadang ketidak sabaran itu menjadi salah satu faktor terjadinya kecelakaan, perlu di ketahui disebelah kiri trek adalah jurang yg tertutup vegetasi sejenis perdu. Saat musim hujan seperti ini pendaki harus ekstra waspada sebab sering terjadi longsoran atau batu yg jatuh dari atas tebing granit tersebut. Dan saya rasa ga perlu lah membahas analisa dari segi mistis nya, itu bukan teritori saya, kalaupun terjadi atau mengalami anggap saja sebagai "bonus trek" ...hehehe.
Mendekati pos Watu Rejeng terjadi antrian panjang pendaki...bahkan ramai terlihat pendaki berkumpul. Saat kami tiba di pos, saya tahu apa penyebab antrian ini...para pendaki sedang coba mengevakuasi seorang pendaki yg jatuh di Watu Rejeng akibat serangan jantung. Nasib baik tidak berpihak terhadap pendaki tersebut yg ternyata bapak yg shalat dan ngobrol dengan saya sebelumnya.
Cuaca buruk, kondisi fisik yg tidak fit serta alat yg tidak standar jadi kombinasi fatal untuk jiwanya.
Innalillahi wainailaihi rajiun...sang bapak berpulang, nyawanya tidak tertolong dan saya dan rekan hanya bisa terdiam. Kejadian ini menambah panjang daftar kecelakaan yg terjadi di Watu Rejeng dan entah suatu kebetulan atau bukan, selepas kejadian di maghrib itu cuaca mendadak berubah sangat cerah, langit menampakkan jutaan bintangnya dan cuaca cerah ini terus berlanjut hingga kami turun kembali ke Ranupani. Padahal sebelumnya dari obrolan kami dengan Mak Yem, beliau mengatakan bahwa sudah nyaris 10 hari hujan atau gerimis tidak berhenti di Ranupani dan sekitarnya. Setelah memberikan doa dan penghormatan terakhir terhadap bapak itu kami pun melanjutkan pendakian.

30 menit selepas Watu Rejeng saya baru menyadari ada yg ga beres dengan Jokaw dan Belo sebab mereka terus meminta air minum dari saya. Saya sendiri sengaja hanya berbekal air minum 600ml sebab untuk ukuran saya jumlah tersebut cukup untuk menempuh perjalanan 5-6 jam. Betapa marahnya saya saat tahu benar Jokaw dan Belo lupa membawa air minum dari Ranupani. Sejak awal saya memang sudah menargetkan hanya akan buka tenda di Ranu Kumbolo sekaligus masak untuk makan dan minum. Posisi kami saat ini masih 1-1,5 jam lagi dari Ranu Kumbolo. Setelah mampu menguasai keadaan saya serahkan air minum yg saya miliki untuk mereka tapi tentunya saya atur pola minumnya. Jangan sampai kami benar2 kehabisan air---walau sudah bisa dipastikan akan kehabisan---walau saat itu sisa air yg saya bawa tinggal 5-6 teguk lagi. Akumulasi rasa kesal, dingin yg menusuk tulang, kesabaran yg harus terus di gali lebih dalam serta beban berat ransel di pundak cukup untuk menguras tenaga yg memang sudah terkuras. Efeknya setiap 5-10 langkah saya pasti berhenti untuk sekedar menundukkan badan sambil berpegangan pada pohon, mencoba mengumpulkan kepingan tenaga dan semangat yg mungkin tinggal 25% saja. Dan dalam kondisi tersebut saya harus tetap terlihat "cool" agar tidak membuat Jokaw dan Belo semakin drop. Terus menyemangati dan meyakinkan mereka dalam kondisi seperti ini sungguh suatu hal yg sangat sulit. Dalam setiap langkah saya selanjutnya saya terkenang pendakian ke Gunung Ciremai di penghujung tahun 2001. Saat itu saya membawa 23 rekan dan kami benar-benar kehabisan air untuk minum. Gunung dengan ketinggian 3078 mdpl itu memang tidak memiliki sumber air selain di pos awal pendakian. Nasib kami di ujung tanduk dan sudah setengah putus asa sampai-sampai kami harus meminum minyak tanah yg kami bawa untuk mengurangi dahaga yg menggila. Dalam keadaan seperti itu Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya, hujan Dia turunkan, tidak lama memang tapi cukup untuk membuat ceruk-ceruk kecil di tanah jadi genangan air berwarna kecoklatan. Akhirnya air berwarna kecoklatan bercampur tanah itulah yg kami minum demi bertahan hidup. Manusia tanpa makan mampu bertahan hidup 7-10 hari tapi tanpa minum bisa bertahan hidup 3 hari saja masih bagus. Lamunan saya buyar saat kami berpapasan dengan rombongan pendaki lain yg sedang beristirahat. Dengan sedikit berbasa basi akhirnya kami memperoleh bantuan air minum dari mereka, cukup untuk bekal melanjutkan perjalanan menuju Ranu Kumbolo.

Langkah kaki kami sudah semakin berat, bernafas pun pendek-pendek, sependek jarak pandang kami yg bergantung pada sorotan lampu senter. Jam menunjukkan pukul 20.10, sudah meleset 2 jam 10 menit dari target awal. Di ujung semangat yg sudah nyaris habis akhirnya tampak di hadapan kami, dilembah terbuka dalam keremangan malam, hamparan air yg begitu luas, memantulkan cahaya keperakan hasil sentuhan cahaya bulan purnama. Kami terduduk terpesona demi melihat pemandangan itu. Di langit bintang-bintang semakin banyak menghiasi. Alhamdulillah...Subhanallah...puji syukur akhirnya kami tiba di Ranu Kumbolo tepat di saat energi kami benar-benar habis. Ranu Kumbolo ini adalah sebuah danau di ketinggian 2400 mdpl, dengan luas sekitar 10 hektar dan menjadi tempat wajib bagi para pendaki yg hendak menaklukkan Mahameru untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Entah dapat tambahan energi dari mana kami bertiga bersemangat turun ke lembah. Tiba di lembah di tepi danau kami lepas ransel berat yg selama nyaris 6 jam nongkrong di pundak. Tidak berlama-lama saya segera membagi tugas karena sangat berbahaya membiarkan tubuh diam di bawah udara dingin seperti ini, bisa hypothermia. Jokaw saya tugaskan untuk memasak, Belo membongkar ransel dan membuat penerangan sedangkan saya mendirikan tenda. 2 jam kemudian kami sudah bersantai menikmati makan malam dan hangatnya teh tubruk manis didalam tenda. Kurang lebih jam 24.00 kami pun tidur.

Ranu Kumbolo di pagi hari



         Tanggal 26 Desember jam 4.30, sepagi itu saya sudah terbangun, selain karena dingin yg menggigit juga karena saya harus melaksanakan shalat subuh. Subuh itu dingin luar biasa, dari alat ukur yg saya bawa, air raksa menunjuk angka  8 derajat Celcius. Sungguh suatu "cobaan" untuk niat saya beribadah. Dalam keremangan lampu tenda saya lihat Jokaw dan Belo pun terlihat tidak nyaman tidurnya, sesekali menggigil padahal kami semua sudah menggunakan jaket tebal, kaos kaki tebal, sarung tangan dan kantong tidur alias sleeping bag. Akhirnya saya paksakan untuk keluar tenda untuk mengambil wudhu. Setiap hembusan nafas saya mengeluarkan asap yg sangat banyak seperti merokok, hidung pun menjadi berair saking dinginnya.
Bahkan saya tidak mampu berdiri tegak dalam shalat sebab tubuh saya terus gemetar menahan dingin. Selesai shalat sambil menunggu matahari terbit saya menyalakan kompor gas portable untuk membuat teh hangat dan mencairkan minyak goreng yg putih membeku untuk memasak sarapan kami nanti. Ya, pada suhu seperti ini gas pun akan sedikit membeku, itu sebabnya dalam mengemas barang di ransel, tabung gas selalu diposisikan terlindung dan hangat. Sedangkan minyak goreng pada suhu 15-18 derajat Celcius sudah membeku. Akhirnya matahari terbit juga menerangi dan menghangatkan Ranu Kumbolo. Nampak puluhan tenda pendaki lain mengelilingi setiap sudutnya. Luar biasa keindahan ciptaan Tuhan ini, sekilas suasananya mirip hutan pinus di Eropa atau Utara Amerika. Sungguh bangga saya hidup di bumi Indonesia. Matahari sudah mulai tinggi, jam menunjukkan pukul 9 pagi, selesai menikmati sarapan pagi kami berkemas, bersiap melanjutkan perjalanan menuju puncak Mahameru. Setelah memastikan segala sesuatunya lengkap termasuk air, kami pun melanjutkan pendakian. 


 Berjuang demi puncak tertinggi

Tantangan pertama yg kami hadapi adalah Tanjakan Cinta. Trek menanjak dengan kemiringan 45-60 derajat dan panjang kurang lebih 150-200 meter ini sebenarnya tidaklah terlalu berat untuk dilalui apalagi kami baru saja mengisi bahan bakar full tadi pagi, boleh dibilang treknya jauh lebih ringan dari Tanjakan Setan di Taman Nasional Gede Pangrango. Seperti yg disebutkan di film "5 cm" mitos dari tanjakan ini adalah barang siapa yg melintasinya tanpa menoleh kebelakang (ke arah danau) sambil terus memikirkan nama seseorang yg dicintai atau dikasihi maka hubungannya akan langgeng dan abadi. Kontur trek Tanjakan Cinta ini adalah tanah dengan sedikit pasir dan batu kecil dan sangat licin untuk di lalui saat musim hujan atau turun hujan. Ada jalur alternatif di sebelah barat laut atau utara jika pendaki enggan melewati Tanjakan Cinta. Jalur alternatif tersebut nantinya akan bertemu dengan jalur Tanjakan Cinta di gerbang Oro-Oro Ombo. Setelah susah payah melewati Tanjakan Cinta---terutama Jokaw dengan tubuhnya yg aduhai itu---kami berhasil mencapai puncak tanjakan. Pemandangan Ranu Kumbolo dari sini begitu menawan. Saya putuskan untuk sejenak beristirahat disini sebab rute kami selanjutnya adalah berjalan menyusuri Oro-Oro Ombo yg terbuka dan minim vegetasi tinggi sebagai peneduh. Oro-Oro Ombo atau dalam bahasa Indonesia-nya padang rumput yg luas merupakan areal terbuka di jalur pendakian Mahameru di antara bukit-bukit hijau dengan jejeran pohon pinus. Sepintas menyerupai bukit di film Teletubbies. Jalur ini memanjang beberapa kilometer. Pendaki biasanya menghindari melewati jalur ini saat matahari sedang terik-teriknya sebab bisa mengakibatkan dehidrasi. 


Hamparan Lavender di sepanjang Oro-oro Ombo


Di awal musim kemarau Oro-Oro Ombo juga ditumbuhi tanaman musiman yg mirip sekali dengan bunga Lavender menghampar luas di kiri dan kanan trek. Tanaman yg tumbuh merumpun ini mempunyai bunga berwarna ungu dan sungguh sangat indah di pandang mata. Dari Oro-Oro Ombo ini pula kita bisa melihat kepulan asap yg keluar dari puncak Mahameru. Dari sini puncak Mahameru masih terhalang Gunung Kepolo yg oleh sebagian pendaki yg baru pertama kali ke Mahameru di anggap sebagai puncak Mahameru. Kira-kira 2,5 jam sejak kami meninggalkan Ranu Kumbolo kami masuk area hutan pinus, inilah yg dikenal sebagai pos Cemoro Kandang. Suasana sejuk langsung terasa saat kami mulai menapaki jalurnya lebih dalam. Trek Cemoro Kandang ini bukan tanpa hambatan, beberapa kali kami terpaksa berhenti untuk sekedar menarik nafas atau istirahat karena medannya mulai berat untuk dilalui. Dan memang dalam masa ini energi dr sarapan kami tadi pagi sudah mulai habis. Terasa sekali perbedaannya berjalan di waktu teduh (malam) dan diwaktu panas (terang). Kurang lebih 1,5-2 jam waktu yg kami perlukan untuk bisa melewati Cemoro Kandang. Selewat tengah hari akhirnya kami sampai juga di titik peristirahatan yaitu Kalimati. Pos Kalimati ini berada di ketinggian 2700mdpl dan merupakan jalur aliran lahar jika terjadi erupsi. Konturnya yg datar dan terdapat bidang luas menyerupai lapangan dengan pepohonan yg menjadi peneduh disekelilingnya menjadikan Kalimati pilihan utama para pendaki untuk beristirahat sebelum melakukan summit attack di malam hari. Di saat musim puncak pendakian (Juli sampai September) sulit untuk memilih tempat nge-camp di pos ini disebabkan penuhnya pendaki yg datang. Seperti sebelumnya, saya membagi tugas, saya mendirikan tenda dan mempersiapkan peralatan masak, Jokaw dan Belo sy tugaskan mengambil air. Mumpung cuaca masih terang saya bergegas, sebab akan menjadi sulit mempersiapkan segala keperluan jika cuaca sudah gelap. 30 menit di sebelah barat Kalimati memang terdapat mata air yg bernama Sumber Mani dan merupakan sumber air terakhir yg ada dalam jalur pendakian. Suhu siang menjelang sore ini terukur 18 derajat Celcius. Sesekali saya membersihkan peralatan dari abu vulkanik dari puncak Mahameru yg diterbangkan angin. Saat kami sedang memasak untuk makan malam, lewat beberapa rombongan pendaki yg tidak membuka tenda di Kalimati, melainkan langsung menuju Arcopodo. Jokaw sempat bertanya kenapa kami ga buka tenda di Arcopodo yg notabene lebih dekat dengan puncak. Saya jelaskan, benar bahwa Arcopodo lebih dekat untuk menuju puncak tapi konturnya tidak mendukung pendaki untuk beristirahat dengan nyaman.
Tenda tempat kami berlindung


 Arcopodo ini adalah hutan terakhir di lereng Mahameru. Di namakan Arcopodo konon menurut legenda terdapat Arca (patung) kembar---Arco =Arca, Podo / Pada = kembar (bahasa Jawa)---yg wujudnya gaib di dalam hutannya. Kebenarannya sejauh mana saya sendiri tidak tahu sebab saya belum pernah melihatnya. Kontur tanah di Arcopodo ini elevasinya kurang ideal untuk mendirikan tenda dan sering terjadi longsor, itu sebabnya saya lebih memilih Kalimati untuk tempat beristirahat. Kami terus mengecek peralatan untuk summit attack malam nanti. Senter, Head Lamp berikut baterainya, daypack untuk tempat air, makanan ringan dan kamera serta gaiter untuk pelindung kaki.

 Gelap merambat menjadi malam, kami bersantai sambil memulihkan tenaga. Jokaw dan Belo terlihat asyik menghisap rokoknya sedangkan saya rebahan di teras tenda di temani teh tubruk hangat dan biskuit sebagai camilan. Suasana begitu damai, tenang hingga kami mulai menggigil kedinginan. Rupanya sudah jam 21.20, pantas saja udara begitu menusuk. Kami pun berpindah dan melanjutkan istirahat di dalam tenda. Malam itu pada akhirnya kami semua tidak ada yg tidur. Yah lebih baik terjaga daripada bangun terlambat. Menjelang tengah malam saya bersiap dan menyuruh Jokaw dan Belo juga untuk bersiap. Tepat jam 24.00 kami keluar dari tenda. Setelah berdoa terlebih dahulu kami pun memulai perjuangan untuk menggapai puncak Mahameru. Belo saya tugaskan memimpin di depan dan hanya boleh berjarak paling jauh 20 meter dengan Jokaw yg berposisi dibelakangnya. Saya sendiri mengambil posisi sebagai sweeper alias penyapu jalan dengan jarak yg juga kurang lebih sama. Daypack disandang oleh saya. Tidak ada pendaki yg melakukan summit attack ke puncak Mahameru dengan membawa ransel sebab sangat berbahaya. 2 jam awal kami habiskan untuk berjibaku dengan rimbunnya hutan Arcopodo. Batang2 pohon yg melintang tidak beraturan dan tanah yg mudah longsor mempersulit langkah kami. Di titik ini saja tenaga sudah terasa habis, padahal kami, tepatnya Jokaw dan Belo tidak membawa beban apapun. Istirahat kami sejak sore tadi hanya cukup untuk tenaga mendaki selama 2 jam saja rupanya. Di jam seperti ini udara menjadi lebih dingin dan menusuk, belum lagi terpaan anginnya, membuat pori-pori wajah berkerut. Dengan nafas tersengal saya terus mengingatkan 2 rekan saya agar tetap semangat dan fokus. Posisi kami saat ini berada adalah 3000mdpl, kami baru saja melewati Arcopodo. Pada ketinggian ini kadar oksigen memang tipis dan itu salah satu penyebab beratnya nafas kami. Dingin yg kami rasakan pun adalah dingin kering, tenggorokan terasa kering dan kesat. Belum lagi abu vulkanik yg beterbangan terkadang terhisap oleh hidung. Sesekali saya menyeka hidung saya yg mendadak berair. Saya jadi terbayang dengan kisah pendakian Jon Krakauer, seorang penulis untuk majalah petualangan ternama di luar negeri. Dia mendaki Everest yg merupakan puncak tertinggi di dunia (8808mdpl). Dalam jurnalnya dia menjelaskan pada ketinggian di atas 25000 kaki kemampuan berpikir otak seorang dewasa tidak jauh berbeda dengan balita, dengan kata lain tipisnya oksigen membuat otak tidak berfungsi. Bahkan sangat mungkin terserang HACE (High Altitude Cerebral Edema) atau pembengkakan otak yg menyebabkan kematian. Tapi tentu saja kemungkinan seperti itu terjadi di tempat kami berada jauh sekali. Tempat kami berada walau sudah terasa berat untuk bernafas masih relatif tebal oksigennya.

 Selepas Arcopodo inilah tantangan yg sesungguhnya. Kami harus berjuang kira-kira 4 jam lagi untuk menginjak puncak Mahameru. Saya melirik pergelangan tangan, tertera jam 2.15 dini hari. Sejauh ini saya hanya meleset 15 menit dari target. Saya berikan air minum kepada Jokaw dan Belo yg sudah tersengal-sengal. Saya yakinkan mereka untuk terus semangat sambil mengatakan "ayo...sebentar lagi puncak". Dengan tertatih tatih kami terus mendaki. Berulang kali kaki kami terperosok dalam pasir dan melorot ke bawah, menyebabkan langkah kami seperti sia-sia sebab dengan begitu kami sama saja melangkah ditempat. Stress dan setengah putus asa, saya tau pasti hal itu yg ada dalam benak Jokaw dan Belo. Saya tidak menyalahkan otak mereka berpikir seperti itu, saat pertama datang kesini pun saya mengalami hal seperti itu. Kondisi trek yg seperti inilah yg membuat tidak ada pendaki yg membawa ranselnya untuk ke puncak. Ketidak stabilan pijakan, rawannya longsoran batu dari puncak, hembusan angin serta abu vulkanik merupakan ancaman untuk keselamatan diri. 4 jam terakhir tempat kami berpijak benar-benar ga ada pelindung. Lelah yg sudah tidak berperi bercampur dengan umpatan kesal umum terdengar saat kami menuju puncak. Tapi saya tetap berusaha konsentrasi maksimal, menjadi sweeper dalam kondisi trek seperti ini bukan pekerjaan mudah sebab saya harus terus memantau 2 orang di depan saya. Sedangkan untuk sekedar menengadahkan kepala saja beratnya bukan main. Dalam pendakian ke Mahameru sudah banyak terjadi kasus pendaki yg tersesat dan hilang. Dan 95% pendaki hilang itu justru saat turun dr puncak Mahameru. Lokasi hilangnya pendaki terkenal dengan nama Blank 75. Saya tidak ingin hal yg sama menimpa kami, itu sebabnya saya terus fokus mengawasi 2 rekan saya yg baru pertama menjajal trek Mahameru.
Sebenarnya rencana melanjutkan pendakian dari Ranu Kumbolo ke puncak Mahameru ga semulus seperti yg saya ceritakan itu. Pagi itu saat saya membangunkan Jokaw dan Belo---dengan susah payah---mereka khususnya Jokaw terlihat begitu excited saat memandang Ranu Kumbolo di pagi hari. Tapi saat saya beri instruksi untuk berkemas dan melanjutkan perjalanan justru Jokaw yg paling vokal untuk menolak. Jokaw merasa tidak mampu lagi melanjutkan mengingat perjalanan kami kemarin. Saya di anggapnya sudah berbohong, karena terus menerus berkata "sebentar lagi" atau "ayo semangat sedikit lagi sampai". Rupanya dia kesal dengan ucapan saya yg seperti itu. Padahal apa yg saya lakukan itu lumrah di lakukan para leader untuk menjaga kondisi psikis maupun fisik anggota team nya. Jadi bisa melihat Jokaw dan Belo berhasil melangkah sampai di titik ini ada perasaan haru dan bangga bagi saya. Sesuatu yg saya pikir mustahil. Dan tepat jam 6.30 langkah kami menjejak tanah datar, dimana kami sudah tidak lagi melihat ada tempat yg lebih tinggi untuk didaki, dimana kami berdiri sejajar dengan horison tempat matahari terbit disetiap pagi. Inilah puncak tertinggi tanah Jawa, puncak Mahameru, puncak abadi para dewa.

Lautan awan di bawah kaki kami
Menetes air mata saya saat merangkul 2 orang rekan yg menjadi sahabat dalam pendakian. Lenyap segala lelah dan letih berganti rasa takjub memandang lautan awan di bawah kaki kami yg lelah. Suhu udara 5 derajat Celcius tidak lagi terasa dingin. Subhanallah...Alhamdulillah...terima kasih Ya Allah Kau berikan kami kesempatan menikmati kebesaran ciptaanMu. Inilah momen yg dicari setiap pendaki, berdiri di atas awan, Tuhan terasa begitu dekat. Setelah beristirahat beberapa saat kami pun turun kembali ke Ranupani. Tercatat tidak sampai 30 menit kami di puncak Mahameru. Namun setiap detail perjalanan ini akan terekam dengan baik seumur hidup kami. Sayup-sayup di telinga saya seperti terngiang lagu Mahameru-nya Dewa 19.




Mendaki melintas bukit berjalan letih menahan berat beban
Bertahan didalam dingin berselimut kabut Ranu Kumbolo
Menatap jalan setapak bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
Mereguk nikmat coklat susu menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda

Bersama sahabat mencari damai
Mengasah pribadi mengukir cinta

Mahameru berikan damainya didalam beku Arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa puncak abadi para dewa

Masihkah terbersit asa anak cucuku mencumbui pasirnya
Disana nyalimu teruji oleh ganas cengkeraman hutan rimba
Mahameru sampaikan sejuk embun hati
Mahameru basahi jiwaku yang kering
Mahameru sadarkan angkuhnya manusia
Puncak abadi para dewa

(#InMemoriam Bpk.Endang-25/12/13 ..18:30pm..pos Watu Rejeng-Mahameru)
ps: Jgn pernah anggap enteng kondisi apapun di gunung atau alam bebas. Persiapkan alat dan fisik sebaik2nya smp hal yg terkecil dan remeh sekalipun.
Salam Lestari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar