Sabtu, 06 Juni 2015

Puncak Itu Tujuan...Bukan Bonus

Hari gini, walau perlahan sudah jadi hal yg biasa, terkadang tetap saja saya masih merasa gumun (kagum-Jawa) dengan nge-hits-nya kegiatan outdoor khususnya mendaki gunung. Kalau saya runut-runut sepertinya trend mendaki populer sejak muncul novel 5cm dan  lanjutan versi layar lebarnya yg fenomenal...sekitar 10 tahun lalu ya. Tak bisa di pungkiri, demam 5cm begitu kuat mendoktrin benak masyarakat khususnya anak2 remaja. Semakin ramai gunung, semakin banyak juga persoalan kompleks tentang lingkungan yg muncul. Tapi untuk kali ini saya bukan mau bicara tentang sampah, safety atau etikanya. Lagi malas bicara yg serius-serius nih.

Untuk kesempatan ini, saya tergelitik membahas banyaknya slogan yg menyuarakan "puncak itu hanya bonus, bukan tujuan utama". Dan sejenisnya. Benar kan? Slogan-slogan semacam itu semakin santer di dengungkan dan mudah sekali kita (saya) temukan pada setiap postingan di sosmed. Hmmm...sebenarnya ga ada yg salah sih dengan slogan itu, tapi saya dengan sudut pandang saya ga merasa setuju dan sreg. Berulangkali saya coba "menerima" slogan itu dalam pemikiran, berusaha menempatkannya dari berbagai macam perspektif pemikiran, tapi kesimpulan yg keluar dari otak saya yg kadang sengke, ya slogan tersebut tak lebih dari ucapan penghiburan, entah bentuk menghibur diri sendiri yg gagal muncak atau menghibur orang lain (temannya) yg juga gagal muncak plus menggagalkan kesempatan muncak teman-temannya yg lain. Saya sudah berusaha keras mencari sudut pandang lain agar slogan itu bisa di terima dengan baik oleh otak saya tapi lagi-lagi paling mentok menurut saya, slogan itu hanya bentuk kata-kata para pendaki yg baru mulai mendaki agar terlihat idealisme dan sifat setia kawannya.

Saya pribadi berpendapat dan selalu berpikir bahwa "Puncak adalah tujuan utama" dalam setiap perjalanan mendaki. Saya ga mau muna, apalagi sekedar berbasa-basi. Kalau saya naik gunung ya harus sampai puncak. Terlepas ending nya seperti apa yg jelas saya akan berupaya keras untuk mencapai puncak. Kenapa saya berpikir puncak adalah tujuan utama? Silakan teman-teman jawab sendiri pertanyaan saya:
1. Apa yg paling menarik dari tantangan mendaki gunung?
2. Pemandangan terindah di gunung ada di bagian apa?
3. Di titik mana rasa kecil diri ini muncul jika di banding sang pencipta saat mendaki gunung?
4. Beban berat dan peralatan yg kau sandang itu untuk menuju bagian mana dari gunung?
5. Di bagian gunung yg mana kebanggaanmu muncul ketika berhasil mencapainya?

So???....
Masih mau bilang puncak itu bukan tujuan utama?

#Note:
Tentu saja ambisi muncak saya di ikuti oleh dukungan setidaknya 3 faktor kunci, yaitu :
1. Alat, peralatan serta perbekalan logistik dengan standar high safety.
2. Kondisi cuaca dan situasi lapangan yg kondusif
3. Jika mendaki bersama tim, sudah saya pastikan seluruh anggota tim sehat fisik dan mental untuk menggapai tujuan (puncak).

Tanpa dukungan 3 faktor kunci itu saya tidak akan nekat muncak sebab saya sangat menyadari ada keluarga yg menunggu saya kembali pulang dengan selamat.

---------#########--------------

Senin, 01 Juni 2015

Gue Mah Orang Gokil...

Sejak kecil saya sangat menyukai berbagai macam kegiatan yg berhubungan dengan petualangan dan olahraga. Sedikit banyak antusiasme saya terhadap kedua hal itu karena pengaruh mama saya. Ya, mama memang memiliki pengaruh yg sangat besar dalam "meracuni" saya untuk mencintai dunia petualangan. Sedari sebelum sekolah, setiap mama libur saya pasti di ajaknya untuk sekedar jalan-jalan, berolahraga bahkan masuk hutan. Salah satu kenangan yg paling saya ingat adalah sewaktu saya masih kelas 3 Sekolah Dasar, tahun 1989, pertama kalinya mama ngajak saya naik gunung. Saat itu masa liburan sekolah, mama mengajak saya dan adik untuk petualang menjelajahi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur. Adik saya, perempuan bahkan belum masuk SD ketika itu. Almarhumah nenek saya pun ikut menemani. Keberadaan nenek saya saat itu saya anggap biasa, lazimnya nenek yg menemani cucu---kalau sekarang mengingat-ingat tentu ada perasaan luar biasa, secara hiking bareng nenek...hehe. Tidak ada perasaan istimewa berlebih saat kami berhasil menjejakkan kaki di Mahameru. Usia saya baru 9 tahun, belum tau sensasi candu "muncak", belum tau esensi hiking dan mendaki, ga peduli dengan statusnya yang Atap Jawa bahkan ga ada beban yang saya sandang di pundak. Ya, tidak ada perasaan yang luar biasa selain dingin yang jelas luar biasa...haha. Kalaupun ada, hanya rasa puas dan senang bisa menikmati keindahan alam dari puncak atau pantai nan bersih dan indah. Ya, rasa puas bisa menyalurkan hobi berpetualang.

Saya jadi membayangkan saat ini, betapa kerennya nenek saya---usia beliau sekitar 60 tahun ketika itu---di tahun 1989. Ya, jelas keren, soalnya dulu, sebelum olahraga hiking dan lainnya begitu hits seperti sekarang, nenek saya sudah hobi bertualang ke pelosok-pelosok daerah hingga Papua---dulu Irian Barat---untuk menjelajah atau mendaki. And guess what?? Beliau back packer- an dg Almarhum kakek saya---meninggal tahun 1996, nenek menyusul 15 tahun kemudian--- ...so sweet story.. Hobi kakek nenek saya menurun pada mama, dan di turunkan juga ke saya.
Sering saya berkhayal, mencoba memposisikan diri sebagai Kakek, nenek atau yg terdekat sebagai mama dalam hal menjadi petualang di jaman 70-80an. Jangankan jalur pendakian, mungkin saat itu akses transportasi pun belum semudah sekarang. Pun bagaimana melengkapi diri dengan peralatan yg memadai dan aman. Kalo hari gini sih tentu sudah ga sulit untuk mendapatkan peralatan yg di maksud. Duh...pokoknya pasti keren deh mereka.:):).

Akibat "racun" yg sudah terlalu akut dan menjalar, saya sempat kelewat gila bertualang. Ada uang atau ngga, saya selalu cari cara untuk bisa jalan-jalan. Salah satu hal gokil yg pernah saya lakukan adalah, ketika saya begitu penasaran dengan keindahan Yogyakarta. Saya memang pernah kesana tapi hanya sekedar lewat-lewat saja, belum pernah sengaja datang untuk meng-eksplor. Begitu besar dorongan hati untuk meng-eksplor Yogya, akhirnya---waktu itu antara tahun 1996-1997--- setiap weekend, sepulang sekolah saya kesana. Yup, masih dengan seragam pramuka berwarna coklat minus baret, begitu bubar, segera saya menuju stasiun Bogor, naik Kereta Listrik tanpa beli karcis (dulu mah bebas) naik di atas gerbong untuk menuju stasiun Jakarta Kota atau Manggarai dan kemudian melanjutkan ke stasiun Jatinegara. Kalau lagi ada uang, saya beli karcis yg berwarna merah ciri khas kereta ekonomi jarak jauh dan berbentuk kartu domino dengan tarif 11.000-12.500. Kalau lagi ga ada uang, saya tetap nekat naik dan membayar di atas. Untuk menuju Yogya saya harus "ngamplopin" 3x---di Jakarta, Stasiun Cirebon dan Stasiun Purwokerto--- ke petugas karcis supaya ga di kick out. Pergantian masinis dari Jakarta ke Yogya memang terjadi di stasiun-stasiun yg saya sebut di atas. Dengan cara nyogok gitu cukup dengan sembilan ribu rupiah saya bisa sampai di Yogya Lempuyangan dari Jakarta.
Dalam tas sekolah saya hanya ada seragam putih abu-abu dan beberapa buku TTS. Buku TTS itulah senjata saya untuk sangu alias jajan di jalan...hehe..jadi dalam perjalanan menuju Yogya, saya mondar mandir dalam gerbong kereta berjualan TTS.
Kenapa saya bawa seragam putih abu?? Sebab itulah metode gila saya saat itu. Jadi, dengan berangkat sepulang sekolah dan naik kereta sore dari Jakarta, saya bisa tiba di Yogya pagi hari. Dari pagi hingga sore saya jalan-jalan eksplor Yogya. Misal di weekend ini saya khusus eksplor keraton, maka next weekend target saya khusus Malioboro dan seterusnya. Begitu sore, segeralah saya menuju stasiun Lempuyangan, mengejar kereta Progo yg akan membawa saya kembali ke Jakarta. Biasanya, Senin dinihari kereta sudah tiba di Jatinegara, paginya, begitu tiba di Bogor saya langsung menuju sekolah lagi dengan seragam putih abu untuk upacara. Capek dan ngantuk...plus agak bau (maklum ga pake mandi dulu) memang, tapi PUAS!!...pola yg sama saya lakukan setiap weekend. Saking jarang ada di rumah, misal ada kawan datang ke rumah dan mencari saya, mama hanya ngasih jawaban "paling lagi ke gunung" atau "besok atau lusa aja datang lagi kesini ya"...hehe...parah.

Yaah setidaknya kepingan-kepingan travelling di masa lalu, pun sekarang, membuat saya merasa begitu "kaya". Tanpa saya sadari, wawasan saya bertambah luas, di samping saya bisa belajar untuk memahami karakter banyak orang yg saya temui berikut adat istiadatnya. Saya beruntung bisa menghabiskan masa kecil, abg hingga kuliah dengan banyak bepergian dan bertualang. Setidaknya saya tau Indonesia saya ini surga. Surga yg membuat saya jadi orang gila...gila travelling...gila backpacker-an...Dan aneka macam kegilaan lainnya.
Beruntung saya lahir dan besar disini. Saya bangga jadi warga negara Indonesia. Terima kasih Mah, Nenek, Kakek yg sudah mewariskan gen "gila" dalam darah saya. Saya bangga punya ortu dan keluarga seperti kalian. Kelak anak saya pun akan saya didik untuk mencintai alam, agar terbentuk mental baja, mampu survive dimana saja kaki berpijak dan terutama agar bangga pada negerinya. 

Salam Lestari