Rabu, 28 Desember 2016

SILATURRAHIM REJEKI

Berapa banyak dr kita yg begitu ingin memulai suatu usaha?? Yg merasa jenuh dg rutinitas?? Yg mulai merasa kekurangan bahkan kehilangan waktu untuk keluarga??

Saya yakin jawabannya mungkin hampir semua dr kita.

Lalu berapa banyak dr kita yg mempertanyakan "usaha model apa yg aman dan minim resiko?? Yg modalnya ga besar tapi berkelanjutan?? Yg kecil persaingan??

Jawabannya?? Jelas tidak ada!!

Terkadang manusia terlalu sibuk memikirkan ini dan itu, begini dan begitu sampai-sampai dia lupa bahwa ada "invisible hand" yg turut menentukan hasil akhir suatu ikhtiar.

Ya, dalam situasi ekonomi yg tidak menentu seperti sekarang ini dimana banyak kebijakan hanya berpihak pada golongan tertentu adalah hal yg wajar jika kita mengkhawatirkan siapa lagi pembeli produk di tengah tingginya persaingan yg akhirnya berujung pada sikap pesimis.

Hal yg sama saya rasakan dan sempat saya pikirkan. Meski usaha saya belum dalam skala yg besar dan dari segi hasil belum juga bisa dibilang mapan, saya merasa nyaman dan tenang. Apa kuncinya??
Simpel saja, saya serahkan semua pada "Invisible Hand" , Allah swt. Sesimpel itukah?? Ya, sesimpel itu koq.

Setelah berikhtiar maksimal jangan lupa  meminta Allah untuk memberi hasil yg sesuai keinginan kita. Cara mintanya bagaimana?! Praktekkan saja syarat-syaratNya. Tahukah kamu bahwa justru syarat hidup bahagia yg Allah ajukan tidak memerlukan biaya besar.

1. Mendoakan kebaikan bagi sesama
2. Memudahkan jalan dan usaha orang lain
3. Banyak bersedekah (tidak mesti dg uang)
4. Silaturrahim Rejeki

Untuk point 1 sampai 3 saya yakin teman2 secara teori sudah kenyang mendengar sejak kecil, meski prakteknya masih pilih-pilih seperti saya. Memilih hanya ke orang-orang yg saya sukai saja kalo mau mendoakan dan membantu...hehehe.

Tapi untuk point no.4 SILATURRAHIM REJEKI??? Sudah berapa banyak dari kita yg mem-praktekkan?

Sebenarnya, gabungan dr point 1,2,3 juga merupakan silaturrahmi rejeki.
Silaturrahim model inilah yg "menyelamatkan" pelaku usaha sekaligus membuat usaha yg dijalani tetap eksis meski diterpa krisis.

Dalam skala yg kecil, bentuknya adalah dg membeli, menggunakan, atau bertransaksi dg teman-teman atau tetangga terdekat yg memiliki usaha. Abaikan harganya jika sedikit mahal, niatkan agar usahanya tetap berputar dan berjalan. Dg bertindak seperti itu kamu sudah memudahkan jalan orang lain, DAN secara otomatis Allah pun akan "membayar janjiNya" pada kamu. Karena Allah menjanjikan kemudahan bagi hambaNya yg memudahkan urusan orang lain (dalam hal yg baik tentunya). Buang jauh-jauh mindset "harga teman lebih murah", karena secara tidak sadar akan membuat kita jadi stressor buyer bagi teman kita.

Dalam skala yg besar, silaturrahim rejeki bisa berbentuk berbelanja di tempat-tempat yg didominasi masyarakat biasa seperti pasar tradisional. Dg demikian kita turut aktif memutar roda perekonomian di akar rumput. DAN kalo bisa, jangan pake acara nawar, kalo harus nawar pun jangan kelewat sadis ya.

Buktikan deh keampuhan silaturrahim rejeki. Jangankan bertransaksi, baru ber-silaturrahim saja sudah merupakan pembuka pintu rejeki...apalagi bersilaturrahim sambil bertransaksi??
Buktikan kebenaran janji Allah. Hanya silaturrahim rejeki yg bisa membuat usaha dan pelaku usaha menjadi berkah dan penuh manfaat, insya Allah. Jangan ukur segala sesuatu hanya dr nominal dan untung rugi, ga bakal bahagia hidup kita.

Sok lah buktikan...

Kamis, 06 Oktober 2016

Binaiya Itu...Memang Beda!!

berdiri ki-ka : saya, Rizky, Andy, Sylvi, Herni dan Ading. duduk ki-ka : Margie, Afri dan Yanstri

"Satu kali kamu berdiri dipuncak gunung, kelak setiap kali bepergian kamu akan selalu mencari tempat-tempat yang tinggi bernama puncak. Karena kamu pernah berada disana, tahu bagaimana rasanya dan kesanalah kerinduanmu akan selalu tertuju. Binaiya hanyalah satu dari seribu nama itu." K2 2-6 Oktober 2016
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tanggal 30 September 2016
Suasana airport Soetta sudah mulai lengang saat satu persatu anggota tim berdatangan ke Terminal 1A, sebagai meeting point yang telah disepakati. Hari itu, Jumat malam, kami bersembilan akan bersama-sama menuju Maluku untuk mendaki Gunung Binaiya. Pesawat kami baru akan take off pukul 1.30 dinihari tanggal 1 Oktober. Sambil menunggu waktu untuk check in dan boarding, kami pun berdiskusi tentang rundown perjalanan. Maklum saja, sebelumnya kami memang tidak mempunyai waktu khusus untuk berkumpul membahas pembagian tugas dan hal-hal yang berkaitan dengan pendakian. Ditambah lagi mayoritas dari kami belum saling kenal. Yang kami tau, kami sama-sama ber-status para pemburu Indonesian Seven Summit. Mayoritas dari kami sudah mengantongi 4 puncak tertinggi di Indonesia.

7 puncak tertinggi di Indonesia itu adalah :
1. Kerinci 3805 mdpl di P. Sumatra
2. Semeru 3676 mdpl di P. Jawa
3. Rinjani 3726 mdpl di Kep. Nusa Tenggara
4. Latimojong 3478 mdpl di P. Sulawesi
5. Binaiya 3027 mdpl di Kep. Maluku
6. Bukit Raya 2278 mdpl di P. Kalimantan
7. Cartenz Pyramid 4884 mdpl di Papua


Check in tengah malam

Ya, kami memang baru saling kenal via medsos saja sebelumnya, sehingga pembagian tugas pun kami atur via medsos juga. Setelah selesai membahas rundown, kami pun bergegas untuk check in.
Setelah sedikit tertunda, pesawat yang kami tumpangi akhirnya take off pukul 2.00. Saya pribadi tidak bisa menikmati perjalanan selama 4 jam tersebut karena sakit kepala yang luar biasa tiba-tiba menyerang. Hanya pemandangan Maluku yang indah menjelang landing yang bisa  mengurangi sedikit rasa sakit kepala ini.

Tanggal 1 Oktober 2016
Selesai bongkar bagasi, kami pun mencari guide kami yang bernama Alif Hatapayo dari Shelter Expedition. 2 buah mobil tipe minibus sudah disiapkan oleh Alif untuk menjemput dan mengantar kami menuju Pelabuhan Tulehu yang berjarak sekira 50 menit dari airport. Supir kami memacu mobil karena mengejar jadwal kapal cepat pukul 9.00 menuju Amahai. Jadwal keberangkatan kapal cepat ini hanya 2 kali sehari.

Port Tulehu pagi itu

Kapal Cepat yg kami naiki...keren ya

Desak-desakan di dalam kapal cepat

Dekil bin kumel...tumpuk-tumpuk campur barang bawaan

Alhamdulillah kami tidak ketinggalan kapal, setelah membeli tiket seharga 115 ribu per orang kami pun masuk dan menyimpan barang-barang bawaan kami ke ruangan di bagian bawah yang ber-AC. Meski namanya kapal cepat express, tetapi tetap saja manifest-nya over. Banyak penumpang yang duduk berjejalan di lorong-lorong, berbaur dengan pedagang kopi dan mie yang lalu lalang. Badan yang lelah membuat kami tak lagi peduli dengan kenyamanan, yang penting kami bisa sampai tujuan.

Setelah transit 30 menit di Pelabuhan Tuhaha, pukul 11.50 kami pun tiba di Pelabuhan Amahai. Amahai ini merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Masohi, Maluku Tengah. Setiap pendaki yang akan menuju Binaiya pasti datang melalui pelabuhan ini.

Tujuan kami berikutnya adalah kantor Taman Nasional Manusela di kota Masohi. Untuk berhemat, kami pun menyewa satu angkot dengan tarif 20 ribu rupiah per orang. 15 menit kemudian kami pun tiba di kantor Taman Nasional untuk mengurus perijinan dan lain-lain.

Rupanya, di depan kantor Taman Nasional telah menunggu juga dua mobil yang akan kami gunakan untuk menuju desa Piliana --- titik awal pendakian.
Karena kami datang di hari Sabtu, maka kami harus menunggu petugas Balai datang. Selayaknya instansi pemerintah, sabtu minggu adalah hari libur. Beruntung saya sudah meng-apply surat permohonan ijin mendaki Binaiya sejak satu bulan sebelumnya. Selain itu, surat permohonan ijin memang tidak bisa dadakan. Jadi disarankan bagi teman-teman yang ingin mendaki Binaiya agar memasukkan surat permohonannya sejak jauh hari.

Ngeksis di depan Balai Taman Nasional Manusela

Mobil yg mengantar kami ke Piliana

Foto bersama dengan Bp. William

Pelayanan registrasi pendakian pun sangat bagus, aturan berjalan sebagai mana mestinya, profesional dan tanpa pungli. Terima kasih khusus kami ucapkan kepada Bapak William staff Balai Taman Nasional yang sudah bersedia membantu mengurus perijinan meski beliau harus masuk kantor di hari libur.

Simaksi yang harus kami bayar adalah 25 ribu rupiah per orang untuk lima hari pendakian. Selain itu, ada 4 lapis berkas yang harus saya tanda tangani di atas materai sebagai leader tim. Oh iya, jangan lupa juga untuk membawa 3 lembar materai 6000 rupiah ya.

Pukul 14.15 kami pun berangkat menuju desa Piliana di kecamatan Tehoru. Perjalanan kami menuju Piliana relatif lancar. Jalanan mulus beraspal yang menyusuri tepian pantai selama 4 jam sangat memanjakan mata. Sempat kami singgah di rumah Alif, di desa Tehoru untuk minum kopi dan menikmati cemilan ringan khas daerah. Kelak dalam perjalanan pulang pun kami kembali mampir dirumah Alif, menginap dengan bonus makan papeda dengan ikan kuah kuning...yuummii...thanks a lot brother Alif.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Piliana, kami berhenti sebentar di kantor Taman Nasional Manusela Resort Tehoru, untuk menyerahkan salinan berkas ijin pendakian.
Beruntung sungai Kawanua sedang tidak banjir saat kami menyeberang. Karena untuk mencapai desa Piliana mobil kami memang harus turun menyeberangi sungai. 

Kawanua merupakan sungai yang besar dan lebar. Sebenarnya setengah dari sungai ini sudah ter-cover oleh jembatan yang cukup panjang, sekira 100 meter, entah kenapa sebagian yang lain tidak tersambung oleh jembatan, sehingga mobil harus menyeberangi setengah sungai sebelum bisa naik ke jembatan. 15 menit setelahnya kami kembali berhenti di Resort Saunolu untuk menyerahkan berkas ijin pendakian.

Lewat maghrib kami tiba di desa Piliana, langsung menuju rumah Bapa Raja. Bapa Raja ini adalah tetua adat sekaligus tempat pendaki lapor sebelum melakukan pendakian. Karena jumlah kami cukup banyak, maka kami melakukan packing dan re-packing di balai desa yang letaknya persis disebelah kanan bawah rumah Bapa Raja. Malam itu, kami menginap di rumah beliau.

Tanggal 2 Oktober 2016
Bersiap di depan rumah Bapa Raja
Jalan desa, jalur awal pendakian
Menuju Air Tempayang

Pagi-pagi kami sudah bangun dan bersiap. Jam demi jam kami menunggu, tapi porter yang kami tunggu belum juga datang. Bapa Raja bilang kami harus tunggu sampai ibadah minggu selesai barulah diijinkan berangkat mendaki.
Ya, kami lupa bahwa ini hari minggu. Warga desa Piliana yang mayoritas umat Kristen beribadah di gereja yang letaknya persis didepan rumah Bapa Raja.

Piliana, desa yang sangat menarik, at least bagi saya. Terletak di ketinggian 415mdpl, berlatar gunung di sebelah utara dan laut di sebelah selatan. Meski dekat dengan laut tapi airnya begitu sejuk karena mengalir langsung dari gunung. Masyarakatnya hidup dari bertani dan berladang. Komoditas andalannya adalah cengkeh, sagu, keladi dan kasbi.

Penduduk desanya pun sangat ramah dan bersahabat. Yang sedikit disayangkan adalah belum adanya aliran listrik masuk ke desa ini. Sehingga untuk mendapatkan pasokan listrik, masyarakatnya menggunakan genset yang bahan bakarnya dikolektif secara swadaya. Genset dihidupkan mulai sore hari hingga lewat tengah malam, sekira pukul 1.00 dini hari.

Akhirnya setelah menunggu sekian lama, pukul 10.30 kami bisa memulai perjalanan untuk mendaki Binaiya. Di hari pertama ini, karena kami berangkat sudah siang, guide kami - Alif, mengatakan bahwa jika sampai pukul 16.00 kami belum mencapai Pos I, maka di Pos I lah kami akan mendirikan camp --- sebelumnya kami berencana untuk buka camp di Shelter Aimoto (Pos 2).

Trail I
Piliana 415 mdpl - Shelter Aimoto 1186 mdpl  
Selesai berdoa, kami pun berjalan beriringan dengan santai. Cuaca mendung sedikit panas. Dua porter kami ---- Pak Kijang dan Pak Chris --- berjalan paling depan. Diikuti Alif sebagai guide dan di sweeper oleh Pak Bertus yang juga porter. 

Jalur awal adalah setapak kecil berbatu seperti granit dan tanah berwarna kuning bercampur butiran pasir kasar. Kiri dan kanan jalur adalah ladang penduduk yang di dominasi pohon sagu dan cengkeh. Jalur relatif landai, hanya sesekali saja agak menanjak. Konturnya naik turun dan melintasi beberapa genangan air berlumpur.

Jembatan dari pohon tumbang banyak kami lewati dalam perjalanan

Satu jam lepas dari Piliana, pola jalan kami mulai terpecah menjadi kelompok-kelompok lebih kecil. Saya, Herni, Alif dan dua porter menjadi kelompok terdepan. Disusul Margie, Afri, Rizky dan Sylvi. Lalu yang paling belakang adalah Yanstri, Ading, Andy dan Pak Bertus.

Sungai Air Tempayang, kondisi sebelum hujan

Tanjakan selepas Air Tempayang

Pukul 12.00 kami tiba di Air Tempayang, sungai kecil berbatu-batu dengan air yang jernih dan layak minum. Disini kami break cukup lama sebelum melanjutkan perjalanan. Perjalanan berikutnya kami berjalan menyusuri sungai sekira kurang lebih sepanjang 500 meter. Lepas dari Air Tempayang jalur menanjak curam dan licin sepanjang seratus meter. Lalu kembali menjadi landai dan cenderung menurun, meski dibeberapa titik terdapat tanjakan. Pukul 13.50 kami tiba di tepian Sungai Yahe. Kami break 20 menit untuk relaksasi dan bermain air. Pukul 14.30 kami tiba di sungai Yamitala, sungai ketiga yang harus kami seberangi. Di tepian sungai Yamitala kami memutuskan untuk istirahat makan siang dan shalat dzuhur.

Hutan lebat menuju Sungai Yahe

Menyeberangi sungai Yahe

ki-ka : Alif, Bp.Kijang dan saya

re-packing di Pos I karena hujan

Lima menit di atas sungai Yamitala adalah lokasi Pos I. Hampir 1,5 jam kami beristirahat di Sungai Yamitala sebelum kembali melanjutkan perjalanan menuju target awal kami yaitu Shelter Aimoto. Di Pos I kami berhenti lagi sejenak untuk memakai jas hujan karena rintik gerimis mulai turun.

Lepas Pos I jalur berubah konturnya menjadi tanah licin berlumpur, bercampur pecahan granit dan kelindan akar-akar. Jalur yang berupa setapak tipis yang di pagari pohon-pohon berduri dan menanjak curam cukup menguras tenaga kami. Karena waktu kami dirasa masih memungkinkan, kami pun kembali ke target awal yaitu camp di Shelter Aimoto.

Setelah Pos I, tantangan berikutnya adalah mendaki Bukit Lukuamano. Di bawah hujan yang semakin deras dan jarak pandang yang terbatas karena kabut dan senja, saya dan Herni semakin tertinggal jauh dari porter yang terus melaju didepan. Saya tiba di Lukuamano pukul tepat pukul 17.00, puncak kecil tanpa dataran. Dari keterangan Alif, untuk mencapai Aimoto tinggal naik turun 2 bukit kecil. Dan dengan sisa-sisa tenaga yang ada saya pun kembali berjalan.
Jalur masih berupa setapak sempit yang licin dengan batu-batu tajam tak beraturan. Vegetasi sangat lebat dan lembab.

Pukul 18.10, saya mulai menapaki jalan menurun yang cukup terjal, lalu didasar, jalur tiba-tiba hilang berganti sungai kecil. Dibawah kabut dan gelap saya mencoba orientasi arah. Maklum saja, salah-salah langkah kami bisa saja tersesat. Saya minta Herni untuk menunggu, dan saya benar-benar memasang mata untuk mencari jalur selanjutnya.

Ditengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba saya mendengar teriakan panggilan yang jaraknya sangat dekat. Di arah kanan. Saya pun menyahut. Dan dengan berbekal panggilan-panggilan itu saya pun menjadi yakin arah yang benar. Saya berjalan menyusuri sungai kecil itu --- yang akhirnya saya tahu bahwa itulah yang dinamakan sungai Aimoto, dan ternyata arti dari Aimoto sendiri adalah "Pohon Kering", jauh sekali dari rekaan saya yang mengira artinya "Air Mata"...hehehe
--- di ujung sungai, di antara rumpun bambu yang rimbun saya melihat ada setapak tanah menanjak. Saya terus mengikuti dan ketika rumpun bambu itu habis tepat di ujungnya adalah bangunan Shelter Aimoto, Alhamdulillah, saya merasa lega saat tahu sudah berada di jalur dan tempat yang benar. Di teras shelter nampak 3 porter kami sedang duduk meringkuk menahan dingin. Saya lihat jam, pukul 18.30.

Bangunan Shelter Aimoto

Masak-masak di Shelter Aimoto

Satu persatu anggota tim bermunculan, yang terakhir datang adalah Andy, sekira pukul 20.15. Malam itu tim kami bermalam di Shelter Aimoto tanpa membuka tenda, sementara diluar hujan masih setia mengguyur.

Tanggal 3 Oktober 2016
Trail 2
Aimoto - Shelter HighCamp 1896 mdpl
Pukul 5.00 saya bangun, melawan dingin yang menusuk untuk menunaikan shalat subuh. Semua laki-laki tidur di teras shelter sedangkan yang perempuan didalam bangunan. Selesai shalat saya mulai memasak nasi untuk kami sarapan. Rencananya di hari kedua ini target kami adalah Shelter Isilali 2075 mdpl.

Selesai sarapan dan packing, pukul 9.30 saya menjadi anggota tim yang terakhir yang mulai mendaki dihari itu. Teman-teman yang yang lain sudah bergerak lebih dulu. Hari kedua ini saya memutuskan memakai sepatu saja, pertimbangannya, jalur pasti sangat becek karena kemarin hujan turun sangat lama. Dan perkiraan saya tepat, jalur berikutnya tidak lebih baik dari kemarin, malah semakin berat.

15 menit awal kami harus turun naik 3 lembahan kecil sebelum bertemu dengan tanjakan panjang dan curam sejauh hampir seratus meter. Rupanya teman-teman yang jalan lebih dulu banyak yang tertahan di tanjakan ini. Seperti hari yang lalu, perlahan tapi pasti satu persatu mereka saya susul. Pukul 9.50 saya berhasil tiba di dataran Aiulanusalai. Sebuah dataran yang cukup untuk membangun 2 tenda. Disini saya, Alif, Herni dan Pak Bertus beristirahat sejenak sambil menunggu rekan-rekan yang lain.

Dataran Aiulanusalai

Afri dan Ading break saat menuju Teleuna 1

Lima belas menit kemudian kami melanjutkan perjalanan. Masih di bawah hutan tropis yang lembab dan basah. Saya berjalan sendiri, terpisah karena tubuh yang lelah. Berjalan perlahan, akhirnya pukul 10.45 saya tiba di puncak Teleuna 1. Break selama 15 menit untuk ngemil biskuit dan minum energen. Teleuna 1 hanya sebutan bidang datar pertama pasca jalur menanjak dari Aiulanusalai. Tidak ada plang atau papan nama.

Selanjutnya jalur sedikit menurun sebelum kembali menanjak panjang dengan akar-akar berkelindan selama 30 menit. Ujung dari tanjakan ini adalah puncak Teleuna 2. 
Teleuna 2 ini di tandai papan nama bertuliskan Teleuna. Disini saya tidur kurang lebih 20 menit. Tidur dengan posisi duduk beralaskan lumut basah dan tetesan air yang jatuh dari dedaunan. Menurut keterangan porter, jalur selanjutnya relatif datar dan dipenuhi lumut-lumut tebal. Shelter Highcamp masih 2 hingga 2,5 jam lagi dari sini.

Pukul 11.50 saya kembali melanjutkan perjalanan. Menelusuri hutan lumut yang benar-benar dipenuhi lumut tebal. Terus terang baru kali ini saya bertemu dengan hutan lumut seperti ini, sebelumnya pernah juga masuk area-area yang di sebut hutan lumut seperti di Argopuro ataupun Salak, tapi kondisi lumutnya tidak setebal disini. Saya sempat mengambil beberapa foto dan videonya.

Shelter Highcamp pagi itu

Apa yang diucapkan porter ternyata benar, jalur hutan lumut ini relatif datar, hanya sesekali agak menanjak. Meski jalurnya datar tapi setapaknya tetap sempit sekali. Ditengah penelusuran hutan lumut, hujan turun lagi, memaksa saya berganti alas kaki dengan sendal gunung. Dan setelah berjalan selama 75 menit saya bertemu dengan jalur menurun panjang. Di dasar jalur,  disebelah kanan itulah letak Shelter Highcamp. Saat saya lirik jam tangan saya tertera pukul 14.00. Sambil menunggu rekan-rekan yang lain saya membantu Herni untuk memasak makanan, sementara porter mencoba membuat perapian.

Sempat kami bingung apakah akan melanjutkan perjalanan menuju target kami di Isilali atau camp di Shelter ini. Lama kami menunggu rekan-rekan yang lain, yang akhirnya muncul pukul 16.30-17.30. Dan karena kondisi serta cuaca yang tidak mendukung akhirnya kami memutuskan camp di Highcamp. Menghabiskan malam di shelter yang posisinya tertutup pepohonan lebat. Di shelter ini kami juga tidak membuka tenda karena kapasitas shelter masih mampu menampung jumlah kami.

Tanggal 4 Oktober 2016
Trail 3
Highcamp - Shelter Isilali 2075 mdpl
Seperti hari sebelumnya, pagi hari setelah shalat subuh kami semua sudah bangun dan bersiap. Sarapan kami pagi ini roti goreng telur dan energen. Sambil sesekali menggigil karena dinginnya udara, kami berganti pakaian basah bekas hujan kemarin. Apa boleh buat, untuk efisiensi, kami gunakan lagi pakaian basah yang kemarin. Di hari ketiga ini, kami berencana langsung menuju Camp Waifuku yang terletak hanya lima menit dari puncak Binaiya. Kami sepakat, meski harus malam hari sekalipun saat tiba disana.

Setiap hari kami harus mengawali perjalanan dengan mendaki jalur terjal sebagai konsekuensi lokasi shelter yang berada di lembahan. Setiap hari kami harus menikmati "gondoknya" sudah naik ke titik yang tinggi tapi harus camp di tempat yang rendah. Sedikit demi sedikit saya pun mulai menghafal pola jalur yang harus kami lalui. Binaiya memang gunung dengan jalur PHP terbaik yang saya pernah kenal.

Pukul 8.15 saya kami mulai bergerak naik. Jalur akar yang terjal harus kami lewati untuk mencapai Puncak Manukupa 1 dan 2. Baru 30 menit berjalan kami sudah disuguhi pemandangan yang sangat indah. Pantai dan teluk Tehoru yang membentang berselimut kabut tipis dan awan-awan Cumulonimbus yang sedang bergerak membentuk gugusan tebal. Membiarkan matahari menguapkan air laut, menyerapnya hingga lambat laun menghitam siap mencurahkan hujan kembali.

Kami terbuai dengan suasana, berfoto dan membiarkan khayalan-khayalan melintas bebas. Kami lupa bahwa perjalanan masih sangat jauh dan berat. Kami lupa bahwa setiap tengah hari awan hujan selalu mengikuti. Kami juga lupa bahwa posisi kami saat ini belum ada setengahnya dari puncak Manukupa. Karena tersadar dengan alasan itulah akhirnya saya memutuskan untuk kembali berjalan, melawan rasa malas dan lelah yang semakin mencengkeram. Mengejar Herni, Ading dan para porter yang sudah melaju jauh didepan.

Teluk Tehoru terlihat saat menuju Puncak Manukupa

Turun dari Puncak Manukupa menuju Isilali

Saya tiba di puncak Manukupa pukul 9.50, sendirian. 100 meter agak ke atas saya lihat teman-teman yang berposisi didepan sedang beristirahat. Puncak Manukupa ini adalah puncak yang dengan jelas terlihat jika kita sedang berada di Piliana. Saya masih ingat persis, dua hari yang lalu Alif mengatakan bahwa "kita akan berada disana di hari kedua" --- meski faktanya baru di hari ketiga, itupun menjelang tengah hari saya tiba disana. Puncak Manukupa dinaungi vegetasi-vegetasi kecil dan tidak ada dataran yang datar. Dari puncak Manukupa terlihat jelas jalur kami selanjutnya yaitu Puncak Gunung Bintang.

Tapi seperti biasa, untuk mencapai puncak berikutnya berarti ada lembahan yang harus kami lewati, dan itu artinya kami harus kembali berjalan turun. Puncak Manukupa sendiri berada di ketinggian 2286 mdpl. Setelah menghela nafas saya berjalan turun menuju lembah dimana terletak Shelter Isilali. Jalur awal  menuju Isilali menurun tajam dan curam dengan perpaduan pecahan batuan granit dan karang tajam. Saat perjalanan pulang di titik inilah telapak kaki saya terluka oleh karang-karang tajam itu.

Meski berjalan dengan pelan dan hati-hati, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Isilali ternyata hanya 25 menit saja. Isilali terletak di ketinggian 2075 mdpl, itu artinya kami turun sejauh lebih dari dua ratus meter. Di shelter ini terdapat sumber air. Vegetasinya agak sedikit terbuka jika dibanding shelter-shelter sebelumnya. Kami beristirahat disini hampir tiga puluh menit sebelum kembali melanjutkan perjalanan.

Shelter Isilali 2075 mdpl

Margie sedang menyaring air untuk minum

Trail 4
Isilali - Camp Nasapeha 2500 mdpl
Sejauh ini sepertinya rencana kami untuk nge-camp di Waifuku akan terlaksana dengan cukup mudah sesuai jadwal. Oleh karenanya kami tetap semangat untuk terus berjalan meski letih sudah mendera. Tantangan yang berada di depan kami adalah Puncak Gunung Bintang yang memiliki ketinggian 2660 mdpl. Berarti kurang lebih jarak vertikal yang harus kami tempuh adalah 600 meter.

Hanya membutuhkan waktu 20 menit saja untuk saya mencapai puncak punggungan pertama pasca Isilali. Dari sini pemandangan sudah sangat terbuka. Kontur jalur selanjutnya adalah batuan karang tajam dan pecahan granit berpadu dengan pohon cantigi yang berselimut lumut tipis.

Berselang seling saya melewatinya, di awali dengan rumpun cantigi, lalu terbuka saat harus meniti karang-karang tajam lalu kembali rumpun cantigi. Jalur relatif datar di 500 meter pertama. Saat saya sedang asyik menikmati jalur terbuka ini, lagi-lagi hujan turun. Meski tidak sederas hari kemarin tapi tetap saja memaksa saya untuk kembali berganti alas kaki dengan sendal. Ya, memang saya sangat menjaga agar kondisi sepatu saya tetap kering. Berjalan dengan sepatu basah sangatlah tidak nyaman.

Perjalanan menggapai puncak Bintang ternyata lebih lama dan lebih berat dari yang saya kira. Ternyata pepatah lama yang berbunyi "dekat di mata jauh di kaki" itu berlaku disini. Pukul 13.20 saya baru berhasil menjejak puncak Gunung Bintang. Dari sini terlihat jelas puncak Binaiya I berikut jalur pendakiannya. Saya sempat merilis stress dan lelah dengan cara berteriak saat berada di puncak Bintang.
Empat puluh menit kemudian atau sekira pukul 14.00 saya tiba di lembah tempat camp Nasapeha berada.

Turun dari Puncak Bintang menuju Nasapeha

Turun ke batas vegetasi Nasapeha

Camp Nasapeha di lihat dari atas

Camp kami di Nasapeha

Saya, Ading dan Herni sempat berdiskusi apakah tim kami akan terus melanjutkan perjalanan menuju target awal kami di Waifuku atau akan membuka tenda disini. Kami juga meminta saran dari porter, dan mereka menyarankan agar kami camp di Nasapeha saja. Pada akhirnya kami putuskan untuk nge-camp di Nasapeha. Pertimbangan utamanya adalah kekuatan fisik rekan-rekan kami yang masih berada dibelakang. Serta ketersediaan air.

Soal air ini merupakan tantangan selanjutnya yang harus kami hadapi. Di  Nasapeha, memang terdapat sumber air tapi berupa genangan dangkal yang airnya agak berwarna kecoklatan. Mungkin inilah sumber air "terburuk" selama pendakian kami di Binaiya. Kami harus sangat berhati-hati saat mengambil air agar endapan dan biota-biota yang ada di dalamnya tidak terbawa ke dalam wadah air kami.

Setelah susah payah menyaring, kami mendapatkan 2 jerigen air sebanyak 20 liter. Selanjutnya kami pun berbagi tugas, Herni memasak, saya dan Ading membangun tenda. Sambil menunggu rekan-rekan yang lain kami berkumpul di bawah pohon. Lama kami menunggu, hingga pukul 16.00 tak ada tanda-tanda mereka akan datang. Karena hal itu pula lah akhirnya Pak Bertus memutuskan untuk menyusul kembali ke atas, ke arah Gunung Bintang.

Udara dingin di Nasapeha terasa lebih menusuk, mungkin pengaruh vegetasi yang sudah semakin terbuka dan altitude-nya yang sudah semakin tinggi. Ditambah cuaca setelah hujan.
Setelah lama menunggu akhirnya rekan-rekan kami yang dibelakang bermunculan satu persatu. Di awali dengan datangnya Sylvi dan Rizky, lalu berturut-turut datang Afri, Margie, Yanstri dan Andy. Selesai makan, kami masuk tenda masing-masing dan beristirahat. Pukul 3.30 rencananya kami akan melakukan summit attack tanpa membawa beban.

Trail 5
Nasapeha - Puncak Binaiya 3027 mdpl
Mungkin kami semua tidak bisa tidur dengan nyenyak karena udara yang sangat dingin. Di malam itu saya merenung, memikirkan betapa saya telah sangat salah menduga karakteristik gunung ini. Dalam bayangan saya, Binaiya adalah gunung dengan vegetasi yang terbuka dan kering, jalurnya pun di dominasi padang rumput dan bebatuan biasa. Dan apa yang saya bayangkan berbeda 180° dengan kenyataan di lapangan.

Binaiya adalah gunung dengan curah hujan yang tinggi. Di tumbuhi pepohonan tinggi, lebat dan memiliki kanopi hutan yang membuat suatu tutupan rapat lazimnya hutan hujan tropis di bagian barat Indonesia. Binaiya juga banyak pacetnya. Tebalnya lumut hingga menjelang puncak juga menjadi penanda tingginya curah hujan. Jika ada hal yang menjadi pembeda dengan gunung-gunung lain adalah keberadaan bebatuan karang abu-abu hitam yang tajam yang berpadu dengan batuan granit putih.

Alarm berbunyi membuyarkan lamunan saya. Segera saya bangunkan teman-teman yang lain agar bersiap untuk summit. Jika berjalan tanpa beban, dibutuhkan waktu 2 hingga 3 jam dari Nasapeha hingga ke puncak. Kami bersiap terlalu lama hingga akhirnya baru mulai bergerak summit pukul 4.40. Saya baru akan masuk area Padang Kurcaci saat matahari mulai terbit.

Selfie di Padang Kurcaci

Hutan Lumut menjelang Puncak Binaiya I

Masih di hutan lumut menjelang puncak

Berpendarnya cahaya matahari pagi membuat kontur Binaiya yang eksotis semakin jelas terlihat. Dan memang saya pribadi seperti terhipnotis demi melihat indahnya bentang alam menjelang puncak. Terutama keberadaan pakis endemik Binaiya (Cyathea binayana) yang memiliki bentuk seperti pohon kelapa. Selain itu sempat beberapa kali tim kami bertemu dengan rusa...what an amazing journey...bertemu rusa langsung di habitatnya...hari gini...sesuatu yang sangat langka.

Vegetasi endemik Binaiya

Saat tiba di puncak Binaiya I saya sempat mengira puncak tertinggi sudah berhasil saya raih, tapi lagi-lagi saya salah, karena puncak tertinggi Binaiya masih berjarak 30 menit lagi. Rasanya ingin menangis di PHP-in gunung ini selama 4 hari terakhir. PHP tiada akhir. Naik turun naik turun seolah tak berujung. Dan memang untuk bisa berdiri di puncak tertinggi Binaiya kami harus melewati 9 bukit dan 1 gunung.

Camp Waifuku, hanya 5 menit dari puncak Binaiya

Alhamdulillah sampe juga disini

Bebatuan di Puncak Binaiya

Puncak 3035 Zona Inti Taman Nasional Manusela

Its the beautiful world

Alhamdulillah dengan sisa-sisa tenaga dan semangat yang ada, saya berhasil menjejak puncak Binaiya 3027 mdpl tepat pukul 7.00 pagi. Kami merayakan kemenangan ini dipuncak cukup lama, hingga 2 jam lebih. Berpose dengan banyak gaya. Berekspresi dengan pikiran masing-masing.

Binaiya memang luar biasa, tidak terlalu tinggi tapi luar biasa!!! Jalurnya juara, berat banget!!
Sebelum kembali turun ke Nasapeha, acara kami tutup dengan berfoto bersama-sama. Terima kasih ya temans sudah menjadi tim yang solid dan bisa bekerja sama untuk menggapai atap Maluku. Semoga catper ini bisa menjadi informasi dan panduan bagi yang ingin mendaki ke Puncak Binaiya
Kalo kamu lagi mencari gunung yang beda...cobain naik ke Binaiya, sensasi 0 mdpl-nya sesuatu lah.

-----------------------+++++----------------------


PENUTUP
Tanggal 4 Oktober 2016
Panas mentari yang menyengat membuat saya dan teman-teman yang lain segera turun dari puncak demi terhindar dari kulit terbakar. Kami tiba di Nasapeha pukul 10.10 pagi.
Setelah selesai packing dan sarapan, pukul 12.00 kami memulai perjalanan turun yang menanjak...hehehe.

Sebelum mulai bergerak kami sepakat untuk langsung menuju Shelter Aimoto. Karena di shelter itulah kami meninggalkan sebagian logistik yang memang kami simpan sebagai persediaan dalam perjalanan turun. Untuk antisipasi, kami juga memberikan beberapa bungkus mie instant ke anggota tim yang berjalan paling belakang.
Hujan rintik-rintik mulai turun, yup...seperti hari-hari yang lalu, hujan selalu mulai turun di siang seperti ini.

Berjalan perlahan namun pasti kami mulai menapaki jalur untuk menuju Puncak Gunung Bintang. Awan semakin gelap, menandakan telah penuh digelayuti butiran air yang siap bermetamorfosis menjadi hujan besar.
Pukul 13.00 saya sudah tiba di puncak Bintang, sendirian. Jauh di bawah belakang saya, terlihat Sylvi dan Rizky baru muncul di batas vegetasi Nasapeha. Saya beristirahat sejenak sambil mengambil beberapa foto. Lalu kembali berjalan dengan agak cepat menuruni lereng yang curam untuk menuju Isilali.

Saat tiba di Isilali pukul 14.15, saya hanya bertemu dengan Ading, Herni dan Bp.Kijang yang sedang beristirahat. Mereka mengatakan bahwa Pak Bertus dan Pak Chris terus melanjutkan perjalanan menuju Shelter High Camp. Saya tidak berlama-lama di Isilali, mungkin hanya sekitar 5 menit saja. Setelah ini kami akan kembali turun dengan menanjak puncak Manukupa terlebih dahulu.

Hujan semakin deras dan saya mulai merasakan perih di bagian telapak dan mata kaki sebelah kiri. Saya lihat telapak kaki saya yang memucat karena dingin. Luka sedikit terbuka akibat terperosok di karang saat menuju puncak Manukupa terbasahi air hujan. Saya salah strategi kali ini, benar sendal gunung saya kuat, tapi saya lupa bahwa sendal tidak melindungi seluruh bagian kaki. Bahkan Herni yang menggunakan sepatu saja kakinya penuh dengan luka gores mulai bawah lutut hingga mata kaki.

Akhirnya kecepatan jalan saya menurun drastis, menjadi terseok-seok dan sangat perlahan karena melangkah sambil menahan perih yg cukup menyiksa. Saya tertinggal jauh dan baru tiba di Highcamp pukul 15.55. Karena hari masih terang, meski hujan, tim memutuskan untuk terus turun ke Aimoto. Saya pun mempersilakan teman-teman yang lain untuk jalan duluan. Sementara saya masih ingin beristirahat, shalat dan berganti alas kaki dengan sepatu. Saya ingat persis, jalur selanjutnya ada setapak berkerikil dan berlumpur, adalah kebodohan besar jika saya tetap memakai sendal dengan kondisi telapak kaki terluka.

Pukul 16.10 saya melanjutkan perjalanan, kali ini dengan lebih mantap meski masih terasa nyeri. Setidaknya kaki saya sudah lebih terlindung. Saya berjalan tanpa henti hingga tiba di Teleuna 2 pukul 16.50. Di Teleuna 2 saya berhenti tidak lebih dari 3 menit. Saya bersemangat terus turun, dari sini menurut perkiraan saya, Teleuna 1 tidak lebih dari 20 menit. Dan perkiraan saya benar, walau harus terjatuh beberapa kali, saya berhasil tiba di Teleuna 1 pukul 17.10.

Jika sebelumnya saya bisa memperkirakan dengan tepat jarak antar puncak bukit dan antar shelter, maka untuk jarak dari Teleuna 1 ke dataran Aiulanusalai justru saya buta sama sekali. Saya lupa mencatatnya saat perjalanan mendaki. Saya berjalan masih dengan ritme yang sama, pelan namun konstan tanpa berhenti. 

Lelah yang sudah hampir melewati batas membuat tak terhitung berapa kali sudah saya terantuk, terpeleset dan terjatuh dalam perjalanan menuju Aiulanusalai.
Suasana menjelang maghrib membuat saya sedikit merasa spooky, di beberapa titik sempat juga saya tiba-tiba merinding, belum lagi bau harum bunga terkadang melintas. Saya jadi teringat obrolan dengan Alif waktu kami sedang istirahat di hari kedua, selepas Aimoto. 

Menurut keterangan Alif dan Pak Bertus, Aiulanusalai itu adalah nama orang, orang yang meninggal dilokasi tersebut, dan jadilah namanya diabadikan sebagai nama lokasi. Ah, kenapa saya jadi berpikir yang ngga-ngga, biar sajalah, toh dimana pun kita manusia memang hidup berdampingan dengan yang tidak terlihat. Masing-masing saja lah. Terkadang dalam kondisi kelewat lelah, bisa membuat apa yang sedang ada dalam imajinasi kita seperti menjadi nyata. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.

Meski berusaha menghibur diri dalam sepi dan jalur yang semakin gelap, saya tak henti-hentinya menggerutu saat lagi-lagi saya terjatuh dan tersangkut akar-akar. Tanpa saya sadari saya sudah berada di dataran Aiulanusalai pukul 17.35. Saya semakin bersemangat, karena saya tahu Aimoto sudah dekat. Tidak lebih dari 20 menit lagi saya pasti tiba di Aimoto. Hanya tinggal turun vertikal sekira 100 meter lagi. Alhamdulillah, tepat pukul 18.00 saya berhasil mencapai Shelter Aimoto, lokasi camp kami untuk hari ke empat.

Setiba disana, saya segera turun ke sungai untuk mandi dan mencuci gear-gear yang kotor. Di malam itu, pada akhirnya hanya saya, Ading, Herni dan ketiga porter kami yang camp di Aimoto. Sisa anggota tim kami terpaksa bermalam di Shelter Highcamp karena kelelahan dan hari yang sudah gelap saat mereka tiba disana. Kami mengetahui hal itu saat mereka tiba di Aimoto keesokan harinya sekira pukul 10 pagi. Lega sudah saat seluruh anggota tim sudah lengkap berkumpul. Dan di hari kelima ini, sesuai jadwal, selepas dzuhur kami melanjutkan perjalanan menuju desa Piliana.

Alhamdulillah pukul 18.00 seluruh anggota tim telah tiba di Piliana. Me-re-packing seluruh barang bawaan dan bersama-sama menuju Tehoru dengan mobil yang sudah datang menjemput.

Mobil kami terperosok ke sungai dalam perjalanan pulang

------------------ The End ---------------------

RINGKASAN PERJALANAN :

D1
1. Jakarta - Ambon dg Flight pagi : 4 jam
2. Airport Ambon - Port Tulehu 50 menit
3. Port Tulehu - Port Amahai 3 jam
4. Port Amahai - Balai Taman Nasional Manusela (BTMN) 20 menit
5. BTMN - Piliana 4 jam

D2
1. Piliana - Air Tempayang :  1 - 1,5 jam
2. Air Tempayang - Sungai Yahe : 45-60 menit
3. Sungai Yahe - Sungai Yamitala : 20 menit
4. Sungai Yamitala - Pos I : 5 menit
5. Pos I - Lukuamano : 1 jam
6. Lukuamano - Shelter Aimoto : 1-1,5 jam

D3
1. Shelter Aimoto - Aiulanusalai : 30 menit
2. Aiulanusalai - Teleuna 1 : 1 jam
3. Teleuna 1 - Teleuna 2 : 30 menit
4. Teleuna 2 - Shelter Highcamp 1-1,5jam

D4
1. Shelter Highcamp (1896 mdpl) - Puncak Manukupa (2300 mdpl) : 1 jam
2. Puncak Manukupa (2300 mdpl) -  Shelter Isilali (2075 mdpl) : 30 menit
3. Shelter Isilali (2075 mdpl) - Puncak Bintang (2660 mdpl) : 2,5 jam
4. Puncak Bintang (2660 mdpl) - Nasapeha (2500 mdpl) : 30 menit

D5
1. Nasapeha - Binaiya 1 : 1 jam
2. Binaiya 1 - Binaiya 2 : 1 jam.

D6
1. Binaiya 2 (3027 mdpl)- Nasapeha (2500 mdpl) : 1 jam
2. Nasapeha (2500 mdpl) - Aimoto (1186 mdpl) : 5-6 jam

D7
1. Aimoto (1186 mdpl) - Piliana (415 mdpl) : 3-4 jam
2. Piliana - Tehoru : 2 jam

D8
1. Tehoru - Port Amahai : 2 jam
2. Port Amahai - Port Tulehu : 2,5 jam
3. Port Tulehu - Pantai Letang : 1 jam

D9
1. Pantai Letang - Airport Ambon : 1 jam
2. Airport Ambon - Jakarta : 3,5 jam

Tips n Lain2
1. Jadwal kapal cepat ada 2x sehari yaitu jam 9.00 dan jam 14.00 kecuali hari minggu hanya 1 x
2. Siapkan materai 6000 3 pcs
3. Gunakan sepatu yang benar-benar kuat dan bagus, begitupun dg sendalnya.
4. Bawalah water purifier / penyaring air
5. Simpanlah sebagian logistik di Aimoto dan Highcamp
6. Persiapan packing basah karena hujan sering turun
7. Minumlah pil kina 7 hari sebelum menuju Ambon.
8. Kirimkan surat permohonan ijin mendaki paling tidak 1 bulan sebelumnya
9. Bawalah P3K yang memadai terutama untuk luka gores / terbuka mengingat batuan karang yang tajam.
10. Hindari memulai pendakian di hari minggu agar tidak tertunda jam keberangkatan karena ibadah umat kristen di Piliana.
11. Bawalah banyak cemilan untuk makan siang di pendakian karena kontur dan panjangnya jalur Binaiya kurang ideal untuk beristirahat lama disiang hari.
12. Tidak disarankan mendaki tanpa guide mengingat banyaknya percabangan dan beratnya medan pendakian.

Bagi Rekan2 Yang Berminat Mendaki ke Binaiya dan Membutuhkan Info Lebih Detail Untuk Guide dan Lain2 Silakan Hubungi Saya Via :
a. WA / SMS : 0811-118-1225
b. BBM : D0ACE655
c. E-mail : cliff.klie@gmail.com




























Kamis, 08 September 2016

Tana Toraja Tanahnya Para Raja

Tanggal 4 September 2016, saya bersama tim KGI berkesempatan untuk berkunjung ke Tana Toraja seusai pendakian Gunung Latimojong. Kami start menuju Tana Toraja dari Baraka, Enrekang. Dari lokasi kami diperlukan waktu sekira tiga jam untuk mencapai Tana Toraja.

Pukul 9.30 kami memulai perjalanan dengan menumpang mobil Avanza sewaan bertarif tujuh ratus ribu rupiah.
Saya sempat bertanya pada supir, berapa lokasi yang memungkinkan untuk kami datangi dalam waktu sehari ini. Supir kami menjawab maksimal hanya 3 destinasi yang bisa kami kunjungi. Hal itu disebabkan jarak antar destinasi yang saling berjauhan.

Toraja sendiri merupakan wilayah yang terdiri dari 2 kabupaten yaitu Tana Toraja dan Toraja Utara. Letaknya bertetangga dengan kabupaten Enrekang dan masih masuk wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

Kami bersepakat bahwa destinasi pertama yang akan kami kunjungi adalah Ke'te Kesu di Rantepao, Toraja Utara.
Pukul 11.00 mulai nampak beberapa tongkonan di kiri dan kanan jalan yang kami lewati. Rupanya kami sudah mulai memasuki wilayah Tana Toraja. Hamparan sawah menghijau, kolam-kolam ikan dan tebing-tebing karst vertikal nampak mengelilingi.
Sangat terpancar dengan kuat kesan makmur wilayah ini. Beruntung maayarakatnya mempunyai kekayaan alam seperti ini.

Tana Toraja ataupun Toraja Utara merupakan kabupaten yang penduduknya mayoritas beragama Kristen. Hal tersebut diperkuat dengan banyaknya gereja. Nyaris setiap 100-200 meter terdapat gereja. Sebaliknya agak sedikit sulit menemukan masjid disana. Ternak babi adalah hal yang umum selain keberadaan kerbau atau Tedong sebagai ikon daerah.

Sekira pukul 13.00 kami tiba di Ke'te Kesu. Setelah membayar sepuluh ribu rupiah per orang kami pun bisa masuk dan melihat-lihat.
Ke'te Kesu merupakan sebuah kompleks bangunan adat Toraja dimana merupakan suatu kesatuan antara rumah adat tongkonan dan pemakaman. Ke'te mempunyai arti kurang lebih "pemangku atau pengambil keputusan" sedangkan Kesu memiliki arti "wilayah". Jika di terjemahkan artinya kurang lebih "tempat dimana tinggal para pemangku wilayah atau pengambil keputusan".

Kami sempat berfoto-foto berlatar tongkonan sebelum mulai menjelajahi area pemakaman adat Toraja.
Ada sedikit hawa aneh saat saya berjalan masuk ke area pemakaman...aah...abaikan saja lah.
Menurut keterangan yang kami dapat dari juru bicara lokasi, memakamkan orang di tebing-tebing karst seperti adat Toraja ini ada aturan-aturannya.

Setiap yang meninggal tidak akan di makamkan sebelum di adakan pesta oleh keluarga yang di tinggalkan. Jika yg meninggal orang biasa maka pestanya cukup 1 hari dengan berkorban babi yg jumlahnya menyesuaikan. Jika yang meninggal itu orang berada maka pesta bisa digelar hingga 3-4 hari dengan berkorban Tedong atau kerbau. Nah, jika yang meninggal adalah orang yang tidak punya maka keluarga yang ditinggalkanlah yang harus mengusahakan pestanya, terlepas harus mengumpulkan dana hingga beberapa minggu atau bulan.

Sedangkan penentuan ketinggian makam di tebing didasarkan pada pangkat, jabatan dan kekayaan yang meninggal. Jika orang itu hanya memiliki pangkat maka tidak cukup untuk membuatnya dimakamkan di bagian tebing yang tinggi. Tebing teratas hanya bisa ditempati oleh orang yang berpangkat jabatan serta kaya raya. Penempatan orang berpangkat dan kaya di bagian atas di maksudkan untuk menjaga keamanan makam itu sendiri, karena orang tersebut di makamkan bersama harta benda miliknya. Ya, agak sedikit mirip dengan prosesi pemakaman orang China.

Makam-makam yang seperti digantung pada peti-peti kayu di luar tebing itu karena tebing terlalu rapuh atau berpotensi runtuh jika di pahat menjadi lubang. Kami pun melihat sudah banyak tulang belulang yang berserak dipinggiran tebing karena lapuknya peti yang digunakan untuk menyimpan.

Sekira pukul 15.00 kami keluar area Ke'te Kesu dan kembali menaiki mobil untuk menuju Makale, Burake, Tana Toraja.
Lokasi yang kami tuju ini merupakan tempat wisata rohani umat Kristen. Diperlukan waktu 40 menit untuk kami tiba di Burake. Setelah membayar retribusi sepuluh ribu rupiah, mobil kami mulai menyusuri jalanan rusak menanjak yang tersusun dari batuan kapur.
Di lokasi ini terdapat patung Yesus tertinggi di dunia. Total tingginya nyaris mencapai 50 meter. Terbagi atas 2 bagian, bagian bawahnya berbentuk mangkuk setinggi 18 meter dan sisanya adalah patungnya. Konon patung ini mengalahkan patung tertinggi di dunia sebelumnya yang terletak di Brazil. Dengan demikian Indonesia memiliki 2 patung tertinggi, pertama dan ketiga di dunia. Patung tertinggi ketiga juga ada di Sulawesi tepatnya di Manado.

Posisi patung ini persis menghadap ke arah kota Makale. Jika kita berdiri di air mancur di pusat kota, kita bisa melihat dengan jelas patung ini berdiri tegak di titik tertinggi perbukitan karst.
Setelah puas berfoto-foto, kami kembali menuju parkiran dengan menuruni anak tangga. Hari menjelang petang saat mobil mulai melaju menuju Enrekang. Sayang keterbatasan waktu membuat kami tidak bisa menjelajahi setiap sudut Toraja. Namun kesan sebagai tanah yang makmur begitu kuat tertanam di pikiran saya. Tak salah di namai Tana Toraja, karena ini memang Tanahnya Para Raja.

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya ya temans.

Selasa, 06 September 2016

Latimojong si Atap Sulawesi

Berdiri di Atap Sulawesi (3/8/16)

Terkantuk-kantuk saya dan tim saat masuk ke gerbang check in Terminal 1A airport Soetta. Jadwal flight yang pukul 04.00 membuat kami harus sudah standby di airport sejak pukul 01.00. Selesai check in kami pun menunggu di Gate 5, kami manfaatkan waktu dengan tidur-tidur ayam saja.

Tepat pukul 03.40 panggilan untuk penumpang tujuan Makassar terdengar di corong pengeras suara lounge. Dan tetap dengan mata setengah terpejam kami berjalan menuju pesawat.
Hari ini, tanggal 1 September 2016, saya, Zafran, Hendrik dan Irvan hendak menuju Makassar untuk mendaki Gunung Latimojong. Kami berangkat dalam tim kecil karena beberapa rekan lainnya berhalangan untuk ikut.

Tanggal 1 September 2016
Guncangan keras pesawat saat landing di Makassar membangunkan saya dari tidur. Saya lirik jam, pukul 07.15. Perut mulai terasa lapar, ya wajar saja, sebab saya terakhir makan jam 21.00 hari yang lalu. Setelah menghidupkan ponsel, saya segera menghubungi jemputan yang akan mengantar kami menuju Baraka.

Foto didalam airport sambil nunggu bagasi 

Mejeng dulu sebelum lanjut menuju Baraka

Airport nya baguuuus

Pukul 8.15 kami berempatpun sudah duduk manis di dalam mobil Avanza carteran sambil menikmati panas yang sudah terasa menyengat meski hari belum siang. Tak lupa saya berpesan pada supir untuk singgah di rumah makan agar kami bisa sarapan, mengingat dengan perjalanan normal kami baru akan tiba di Baraka pukul 14.00 alias 6-7 jam perjalanan. Sekira pukul 9.00 supir kami, bang Addi, menepikan mobil di depan sebuah warung. Terlihat jelas tulisan di warung tersebut Coto Makassar dan Sop Konro.

Akhirnya saya berkesempatan juga mencicipi Coto Makassar yang orisinil.
30 menit kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Baraka, masih dengan panas yang menyengat. Untuk mencapai Baraka kami melintasi 6 kabupaten yaitu, Maros, Pangkep, Barru, Parepare, Pinrang dan Enrekang. Baraka sendiri merupakan nama kecamatan di Enrekang yang terletak kurang lebih 2 jam dari kaki Latimojong.

Rehat sejenak di Gunung Sinona dalam perjalanan menuju Baraka

Tebing-tebing karst / karang menjelang masuk Baraka, surga bagi para climber


Biasanya para pendaki yang akan menuju Latimojong datang bertepatan dengan hari pasar agar mudah mendapatkan akses transportasi dan murah tentunya. Terdapat dua hari pasar yaitu Senin dan Kamis. Transportasi menuju Baraka adalah jeep-jeep 4x4. Di luar hari pasar pendaki harus menumpang ojeg dengan biaya mulai dari 150 ribu rupiah atau menyewa jeep hingga satu juta rupiah sekali jalan. 

Pasar tempat kami berbelanja segala kebutuhan logistik

Kami sempat berhenti di Baraka untuk berbelanja logistik pendakian. Meski kami datang di hari pasar, karena satu dan lain hal kami tiba terlalu sore sehingga angkutan menuju Baraka sudah tidak ada.
Ada hal yang sedikit lucu saat kami berbelanja di pasar Baraka. Disana tidak ada satuan setengah, jadi misal kita mau beli gula ya harus 1 kilogram, begitupun dengan kebutuhan lainnya. 

Dan karena kami sudah tidak mendapat angkutan untuk ke Baraka, jadilah kami menginap satu malam di basecamp KPA Lembayung yang sekaligus kediaman bapak Dadang. Kami di jamu dan di layani dengan sangat baik oleh kawan-kawan dari KPA Lembayung.
Malam itu kami tidur sangat cepat, maklum kami kurang istirahat dan tidur sejak hari kemarin.

Basecamp KPA Lembayung tempat kami bermalam

Tanggal 2 September 2016, 03.30
Kami sudah bangun dan bersiap, karena sesuai rencana kami akan berangkat menuju Karangan setelah shalat subuh. Karangan merupakan dusun terakhir yang bisa di akses oleh kendaraan pendaki.
Alhamdulillah selain kami, ada 3 pendaki lain dari Makassar yang akan mendaki Latimojong juga. Setelah berembuk, akhirnya kami sepakat untuk berbagi ongkos untuk menyewa jeep. Lumayan lebih nyaman dibanding kami harus naik ojeg motor, mengingat jalur menuju Karangan offroad banget.
Pada akhirnya, karena kebiasaan jam karet, kami baru berangkat menuju Karangan pukul 7.30.

Jeep sewaan yang akan membawa kami ke Karangan

Tampak depan Jeep kami

Tak lupa kami singgah sebentar di kantor Polsek Baraka untuk mengisi buku kunjungan sekaligus ijin lapor hendak mendaki Gunung Latimojong. Pengurusan ijin ini tidak dipungut biaya apapun alias gratis.

Zafran dan Gede sedang mengisi buku lapor di Polsek

Kantor Polsek Baraka tempat kami mengurus perijinan

Ki-ka : Irvan, Hendrik dan saya



Saya mengambil posisi di depan bersama Gede, rekan dari Makassar. Meski jalannya horor dan offroad saya mencoba untuk tetap menikmati. Alhamdulillah cuaca cerah, sehingga perjalanan relatif lebih cepat, satu jam empat puluh lima menit kemudian kami pun tiba di Pos Pendakian Latimojong di Dusun Karangan. Setelah mengisi buku pengunjung dan membayar biaya pendaftaran kami pun segera memulai perjalanan mendaki Latimojong.

Nyobain jadi sopir Jeep, nampak sopir yang asli Bp. Amar

Jalanan menuju Karangan di apit rumah-rumah panggung

Dusun Karangan tampak dari jauh

Berpose sejenak sebelum mulai nanjak

Pos pendaftaran pendakian paling sederhana yang pernah saya lihat

Rumah Kepala Dusun, pendaki bisa menginap gratis disini

Trail 1
Karangan 1481 mdpl - Pos 1 Buntu Kaciling 1772 mdpl
Awal jalur pendakian adalah setapak lebar, sesekali kami melintasi setapak yang di semen. Pemandangan awal kami disuguhi sungai dan perkebunan kopi yang menghampar dan panas yang menyengat. Kami mulai mendaki pukul 9.50. Saya sedikit kesulitan mendapatkan ritme jalan yang nyaman di awal jalan hingga saya tertinggak jauh di belakang. Setelah 50 menit berjalan kami pun tiba di Pos 2. 

Kami melintasi jalur potong saat menuju Pos 1 untuk mempersingkat waktu tempuh. Tapi seperti umumnya di gunung-gunung lain, yang namanya jalur potong pasti treknya jauh lebih terjal dan menanjak, begitu pula dengan nasib kami...hehehe.

Jalur awal pendakian, perkebunan kopi penduduk

Trail 2 :
Pos 1 - Pos 2 Goa Sarung Pakpak 1820 mdpl
Hari sudah menjelang tengah hari saat kami tiba di Pos 1, sekira pukul 10.40. Ketiadaan vegetasi tinggi menambah derita kami yang di hajar panas menyengat. Karena panas yang luar biasa pula akhirnya kami hanya berhenti 10 menit saja di Pos 1. Kami masih harus berjalan 300 meter lagi untuk mencapai batas hutan yang lebih rimbun dan teduh. Dengan tergesa kami berjalan. Akhirnya kami bisa berjalan dengan lebih nyaman setelah masuk ke dalam hutan. Setidaknya terhindar dari dehidrasi. 

Setelah berjalan meniti jalur-jalur akar yang cukup terjal, pukul 11.50 saya kembali berhenti. Kali ini perut yang dangdutan membuat saya berinisiatif menghasut Zafran agar mau rehat sejenak untuk membuat teh manis dan makan cemilan. Wajar saja perut terasa lapar, sudah lewat 7 jam dari terakhir kami makan. 30 menit kami bersantai. Dan pukul 12.20 kami mulai melanjutkan perjalanan.

Istirahat makan siang di Pos 2

Air mengalir deras di Pos 2

Jalur selanjutnya menjadi datar dan terus menurun. Jalur pendakian terus menurun selama 30 menit berikutnya dengan kondisi jalur yang melipir setapak tipis dan miring. Tangan kami harus lincah mencari pegangan akar-akar yang kuat agar tidak terpeleset ke sebelah kiri yang merupakan jurang perdu. Ujung dari jalur ini adalah Pos 2, Goa Sarung Pakpak. Di tandai dengan adanya sungai yang jernih dan deras.

Sungai ini merupakan pemisah punggungan, jadi jalur menurun tadi adalah bagian dari perjalanan kami untuk berpindah punggungan gunung. Dengan menyeberangi jembatan kayu sederhana, kami pun tiba di Pos 2 untuk memasak makan siang dan shalat dzuhur. Siang itu mendung dan ada satu rombongan pendaki yang sedang dalam perjalanan turun.

Trail 3 :
Pos 2 - Pos 3 Lantang Nase 2042mdpl
Kami rehat sangat lama di Pos 2, menikmati suasana, maklum kami datang dari jauh. Baru sekira pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Itu artinya kami rehat selama 1,5 jam di Pos 2.

Jalur selepas Pos 2 lah yang menjadi pendakian yang sesungguhnya. 100 meter awal adalah bidang tanjakan nyaris vertikal dan licin. Setiap pendaki harus ekstra hati-hati saat melewatinya, harus pandai memilih pijakan, pegangan dan menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh ke belakang. Di saat tidak hujan saja sudah begitu licin, jadi bisa di bayangkan jika hujan atau setelah hujan.
Panjang tanjakan ini kurang lebih 300-400 meter. Jadi, antara Pos 2 dan 3 adalah full tanjakan...tanpa bonus!!

Sengaja saya tidak tampilkan fotonya supaya teman-teman pembaca membayangkan sendiri dari cerita saya.
Setelah meniti tanjakan selama 35 menit saya pun tiba di Pos 3. Sebuah pos dengan luas 4x4 meter yang tidak rata dan dipenuhi tonjolan akar. Pos ini tidak ideal untuk mendirikan tenda selain tiada sumber air.

Saya dan Zafran kelelahan di Pos 3 setelah melewati tanjakan 

Trail 4 :
Pos 3 - Pos 4 Buntu Lebu 2282mdpl
Setelah beristirahat selama 10 menit, saya dan Zafran kembali melanjutkan perjalanan menuju Pos 4. Saya mulai merasa lelah, sepertinya tanjakan antara Pos 2 dan 3 telah menguras tenaga saya. Pola jalan saya melambat meski masih konstan. Pukul 15.05 saya catat sebagai waktu start dari Pos 3 menuju Pos 4. 

Pos 4 Buntu Lebu

Menurut keterangan, dibutuhkan waktu 1 jam untuk mencapai Pos 4, tapi ternyata saya bisa tiba lebih cepat 20 menit dari seharusnya. Tepat pukul 15.45 saya berhasil mencapai Pos 4.
Pos 4 merupakan area tertutup vegetasi yang sedikit miring dan di penuhi tonjolan akar. Bidangnya 2,5 kali lebih luas dari Pos 3, namun sama halnya dengan pos sebelumnya, di pos ini juga tidak ada air.

Trail 5 :
Pos 4 - Pos 5 Soloh Tama 2617mdpl
Meski belum senja tapi langit sudah terlihat gelap, kabut tipis juga mulai turun. Posisi jalur pendakian yang diapit banyak punggungan mengakibatkan matahari tidak penuh menyinari di saat pagi maupun sore.

Camp kami di Pos 5, foto diambil setelah summit

Kecepatan jalan saya semakin melambat, tenaga saya habis, di tambah perut terasa lapar, akhirnya setiap 10-15 menit saya pasti berhenti untuk duduk bersandar beberapa saat. Jalur cukup curam 30 menit menjelang Pos 5. Posisi Pos 5 adalah puncak punggungan. Setelah bersusah payah memaksakan diri terus berjalan, saya pun tiba di Pos 5 pukul 17.15. Pos 5 merupakan area yang sangat luas, sanggup menampung lebih dari 30 tenda. Meski agak jauh, tapi terdapat sumber air di pos ini. Jaraknya kira-kira 100 meter berjalan turun ke sebelah kiri jalur pendakian.

Tak lama saya tiba, Zafran pun menyusul datang. Segera saja saya mendirikan tenda di Pos 5. Mengenai lokasi camp, awalnya kami mentargetkan membangun tenda di Pos 7 agar lebih dekat untuk summit, tapi dorongan rasa lapar dan hari yang sudah semakin gelap membuat saya mengambil keputusan untuk nge-camp di Pos 5 saja. 

Berfoto bersama sepasang pendaki suami istri (Bu Silvia dan Pak Chien) berusia 70 tahun di Pos 5, inspiring !!

Selesai tenda di dirikan, muncullah Hendrik dan Irvan. Sementara saya memasak, rekan yang lain turun mengambil air.
Sekira pukul 19.30 prosesi masak dan makan pun selesai. Kami pun bersiap untuk beristirahat. Tak lupa kami stel alarm pukul 3.00. Rencananya kami akan mulai summit pukul 4.00. Menurut keterangan, summit dari Pos 5 memerlukan waktu 3-4 jam. Dan akhirnya saya pun tidur dengan sangat nyenyak malam itu.

Trail 6 :
Pos 5 - Pos 6 2848 mdpl
Alarm berbunyi sesuai waktu yang kami tentukan. Dengan malas kami bangun, memaksa badan kami bersentuhan dengan udara dingin yang menurut saya tidak dingin. Kami sarapan dengan bubur kacang ijo yang saya buat semalam plus roti tawar untuk energi kami summit. Setelah selesai menyiapkan peralatan untuk summit, pukul 4.20 kami mulai berjalan menuju puncak Latimojong.

Kami langsung dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan terjal selepas Pos 5. Badan yang belum nyetel dengan udara subuh dan kompetisi oksigen dengan pepohonan membuat nafas saya sangat terengah-engah. Dan saya yakin rekan yang lain pun merasakan hal yang sama. Setiap 20-30 langkah saya berhenti untuk sekedar mengatur nafas. Perlahan saya pun di serang rasa mual yang luar biasa.

Saya tahu mual ini datang dari pola jalan yang terlalu cepat serta jarak makan saya dengan waktu mulai berjalan tadi. Hampir tidak ada jeda untuk memberi waktu makanan yang saya makan agar turun dulu ke lambung.

Pos 6 saya foto dalam perjalanan turun

Foto wajib di Pos 6

Meski begitu saya bertahan agar tidak muntah, sayang lah makanan yang saya makan tadi di samping saya ga mau lambung saya kosong.
Alhamdulillah pukul 4.55 atau 35 menit kemudian kami berhasil tiba di Pos 6. Saya meminta waktu untuk break lebih lama. Sambil beristirahat, saya meminum obat mual dan shalat subuh. 30 menit kemudian kami pun mulai melanjutkan perjalanan menuju Pos 7. Pos 6 merupakan area yang cukup ideal untuk membuat tenda, hanya saja tidak ada sumber air di pos ini.

Trail 7 :
Pos 6 - Pos 7 Kolong Buntu 3210 mdpl
Setali tiga uang dengan jalur sebelumnya, jalur menuju Pos 7 pun terjal dan terus menanjak, bahkan lebih panjang dan lama waktu tempuhnya. Vegetasi yang semakin kecil dan pendek membuat sesekali kami bisa melihat pemandangan jauh di bawah sana.

Suasana Pos 7 pagi itu

Pos 7 saya foto dari atas tanjakan terakhir menuju puncak

Selepas rehat di Pos 6 kekuatan fisik saya pulih kembali dan bisa berjalan dengan kecepatan normal seperti hari sebelumnya. Berjalan sendirian di depan, saya tiba di Pos 7 satu jam kemudian atau pukul 6.15, jauh meninggalkan rekan-rekan yang lain.

Pos 7 merupakan area yang cukup untuk membangun banyak tenda, tetapi kontur lahannya tidak memungkinkan untuk membangun tenda dalam satu kumpulan besar. Sehingga tenda yang dibangun di pos 7 akan terpisah-pisah posisinya. Sumber air berlimpah di Pos 7, terdapat aliran sungai kecil di sebelah kiri jalur pendakian. Persis setelah Pos 7 adalah tanjakan nyaris vertikal setinggi 20-30 meter, dan itulah jalur pendakian selanjutnya sekaligus tanjakan terjal terakhir sebelum mencapai puncak tertinggi Latimojong.

Dari puncak tanjakan terjal itu puncak tertinggi Latimojong tinggal 45 menit lagi dengan berjalan melewati 3 bukit.
Menurut saya, jika kalian datang dalam rombongan besar dan hanya mempunyai waktu 2-3 hari, sebaiknya membuka tenda di Pos 5 saja agar lebih efisien.

Trail 8
Pos 7 - Puncak Rante Mario 3478 mdpl

Saya mulai berjalan menuju puncak pukul 6.40. Saya berhenti di Pos 7 selain menunggu rekan yang lain juga sekaligus menikmati cemilan dan teh manis panas dari termos yang saya bawa. Damai sekali meminum teh panas di ketinggian lebih dari 3200 meter hingga tak terasa saya berhenti begitu lama di Pos 7. 

Kondisi jalur menuju puncak tertinggi sangat landai meski naik turun tiga bukit. Sedikit membosankan, mungkin pengaruh tenaga yang mulai habis setelah melahap etape dari Pos 6 ke Pos 7. Dua puluh menit dari pos 7 terdapat percabangan jalur, kekanan adalah jalur menuju Puncak Nenemori. Persis di percabangan adalah kolam air tadah hujan. Sayang saat kami melintas kolam tadah hujan sedang tidak berair, pengaruh dari musim kemarau.

25 menit terakhir benar-benar terasa semakin membosankan, jalur landai yang berkelok-kelok seperti mempermainkan emosi. Emosi dari rasa tidak sabar ingin segera menjejak puncak tertinggi Latimojong. Bebatuan karst dan karang yang berformasi unik pun tak mampu menjadi penghibur.

Alhamdulillah, akhirnya pukul 7.20 berbarengan dengan Zafran saya berhasil menjejak puncak Latimojong, puncak Rante Mario 3478 mdpl. Puncak nomor 5 dari rangkaian 7 puncak tertinggi Indonesia. Sujud syukur dan segala puji saya persembahkan pada Allah Ta'ala atas kesempatan yang diberikan pada saya. Tak terasa air mata saya menetes. Euforia yang sama, emosi yang sama setiap saya berhasil mencapai puncak. Candu ini akhirnya merasuk lagi dalam jiwa saya, menuntaskan dahaga ketinggian. Cukup lama kami berada dipuncak sebelum akhirnya kembali turun ke Pos 5 pukul 9.00.

Tercapai juga berdiri disini

Pose nya ngga banget nih
Tim Formasi lengkap...Hidup KGI !!

Demikian catatan perjalanan saya dan tim saat menggapai atap Sulawesi. Semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman yang lain.

----------------------------***--------------------------

Ringkasan Perjalanan :

1. Makassar - Baraka --> 6-8 jam
2. Baraka - Karangan --> 2 jam
3. Karangan - Pos 1 --> 1 jam
4. Pos 1 - Pos 2 --> 1 jam
5. Pos 2 - Pos 3 --> 35 menit
6. Pos 3 - Pos 4 --> 40 menit
7. Pos 4 - Pos 5 --> 1 jam 10 menit
8. Pos 5 - Pos 6 --> 40 menit
9. Pos 6 - Pos 7 --> 1 jam
10. Pos 7 - Puncak --> 45 menit

Untuk teman- teman yang memerlukan info lebih lanjut tentang pendakian ke Latimojong silakan hubungi saya di nomor di bawah ini :

1. SMS / WA 0811-118-1225
2. BBM : D0ACE655