Kamis, 08 September 2016

Tana Toraja Tanahnya Para Raja

Tanggal 4 September 2016, saya bersama tim KGI berkesempatan untuk berkunjung ke Tana Toraja seusai pendakian Gunung Latimojong. Kami start menuju Tana Toraja dari Baraka, Enrekang. Dari lokasi kami diperlukan waktu sekira tiga jam untuk mencapai Tana Toraja.

Pukul 9.30 kami memulai perjalanan dengan menumpang mobil Avanza sewaan bertarif tujuh ratus ribu rupiah.
Saya sempat bertanya pada supir, berapa lokasi yang memungkinkan untuk kami datangi dalam waktu sehari ini. Supir kami menjawab maksimal hanya 3 destinasi yang bisa kami kunjungi. Hal itu disebabkan jarak antar destinasi yang saling berjauhan.

Toraja sendiri merupakan wilayah yang terdiri dari 2 kabupaten yaitu Tana Toraja dan Toraja Utara. Letaknya bertetangga dengan kabupaten Enrekang dan masih masuk wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

Kami bersepakat bahwa destinasi pertama yang akan kami kunjungi adalah Ke'te Kesu di Rantepao, Toraja Utara.
Pukul 11.00 mulai nampak beberapa tongkonan di kiri dan kanan jalan yang kami lewati. Rupanya kami sudah mulai memasuki wilayah Tana Toraja. Hamparan sawah menghijau, kolam-kolam ikan dan tebing-tebing karst vertikal nampak mengelilingi.
Sangat terpancar dengan kuat kesan makmur wilayah ini. Beruntung maayarakatnya mempunyai kekayaan alam seperti ini.

Tana Toraja ataupun Toraja Utara merupakan kabupaten yang penduduknya mayoritas beragama Kristen. Hal tersebut diperkuat dengan banyaknya gereja. Nyaris setiap 100-200 meter terdapat gereja. Sebaliknya agak sedikit sulit menemukan masjid disana. Ternak babi adalah hal yang umum selain keberadaan kerbau atau Tedong sebagai ikon daerah.

Sekira pukul 13.00 kami tiba di Ke'te Kesu. Setelah membayar sepuluh ribu rupiah per orang kami pun bisa masuk dan melihat-lihat.
Ke'te Kesu merupakan sebuah kompleks bangunan adat Toraja dimana merupakan suatu kesatuan antara rumah adat tongkonan dan pemakaman. Ke'te mempunyai arti kurang lebih "pemangku atau pengambil keputusan" sedangkan Kesu memiliki arti "wilayah". Jika di terjemahkan artinya kurang lebih "tempat dimana tinggal para pemangku wilayah atau pengambil keputusan".

Kami sempat berfoto-foto berlatar tongkonan sebelum mulai menjelajahi area pemakaman adat Toraja.
Ada sedikit hawa aneh saat saya berjalan masuk ke area pemakaman...aah...abaikan saja lah.
Menurut keterangan yang kami dapat dari juru bicara lokasi, memakamkan orang di tebing-tebing karst seperti adat Toraja ini ada aturan-aturannya.

Setiap yang meninggal tidak akan di makamkan sebelum di adakan pesta oleh keluarga yang di tinggalkan. Jika yg meninggal orang biasa maka pestanya cukup 1 hari dengan berkorban babi yg jumlahnya menyesuaikan. Jika yang meninggal itu orang berada maka pesta bisa digelar hingga 3-4 hari dengan berkorban Tedong atau kerbau. Nah, jika yang meninggal adalah orang yang tidak punya maka keluarga yang ditinggalkanlah yang harus mengusahakan pestanya, terlepas harus mengumpulkan dana hingga beberapa minggu atau bulan.

Sedangkan penentuan ketinggian makam di tebing didasarkan pada pangkat, jabatan dan kekayaan yang meninggal. Jika orang itu hanya memiliki pangkat maka tidak cukup untuk membuatnya dimakamkan di bagian tebing yang tinggi. Tebing teratas hanya bisa ditempati oleh orang yang berpangkat jabatan serta kaya raya. Penempatan orang berpangkat dan kaya di bagian atas di maksudkan untuk menjaga keamanan makam itu sendiri, karena orang tersebut di makamkan bersama harta benda miliknya. Ya, agak sedikit mirip dengan prosesi pemakaman orang China.

Makam-makam yang seperti digantung pada peti-peti kayu di luar tebing itu karena tebing terlalu rapuh atau berpotensi runtuh jika di pahat menjadi lubang. Kami pun melihat sudah banyak tulang belulang yang berserak dipinggiran tebing karena lapuknya peti yang digunakan untuk menyimpan.

Sekira pukul 15.00 kami keluar area Ke'te Kesu dan kembali menaiki mobil untuk menuju Makale, Burake, Tana Toraja.
Lokasi yang kami tuju ini merupakan tempat wisata rohani umat Kristen. Diperlukan waktu 40 menit untuk kami tiba di Burake. Setelah membayar retribusi sepuluh ribu rupiah, mobil kami mulai menyusuri jalanan rusak menanjak yang tersusun dari batuan kapur.
Di lokasi ini terdapat patung Yesus tertinggi di dunia. Total tingginya nyaris mencapai 50 meter. Terbagi atas 2 bagian, bagian bawahnya berbentuk mangkuk setinggi 18 meter dan sisanya adalah patungnya. Konon patung ini mengalahkan patung tertinggi di dunia sebelumnya yang terletak di Brazil. Dengan demikian Indonesia memiliki 2 patung tertinggi, pertama dan ketiga di dunia. Patung tertinggi ketiga juga ada di Sulawesi tepatnya di Manado.

Posisi patung ini persis menghadap ke arah kota Makale. Jika kita berdiri di air mancur di pusat kota, kita bisa melihat dengan jelas patung ini berdiri tegak di titik tertinggi perbukitan karst.
Setelah puas berfoto-foto, kami kembali menuju parkiran dengan menuruni anak tangga. Hari menjelang petang saat mobil mulai melaju menuju Enrekang. Sayang keterbatasan waktu membuat kami tidak bisa menjelajahi setiap sudut Toraja. Namun kesan sebagai tanah yang makmur begitu kuat tertanam di pikiran saya. Tak salah di namai Tana Toraja, karena ini memang Tanahnya Para Raja.

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya ya temans.

Selasa, 06 September 2016

Latimojong si Atap Sulawesi

Berdiri di Atap Sulawesi (3/8/16)

Terkantuk-kantuk saya dan tim saat masuk ke gerbang check in Terminal 1A airport Soetta. Jadwal flight yang pukul 04.00 membuat kami harus sudah standby di airport sejak pukul 01.00. Selesai check in kami pun menunggu di Gate 5, kami manfaatkan waktu dengan tidur-tidur ayam saja.

Tepat pukul 03.40 panggilan untuk penumpang tujuan Makassar terdengar di corong pengeras suara lounge. Dan tetap dengan mata setengah terpejam kami berjalan menuju pesawat.
Hari ini, tanggal 1 September 2016, saya, Zafran, Hendrik dan Irvan hendak menuju Makassar untuk mendaki Gunung Latimojong. Kami berangkat dalam tim kecil karena beberapa rekan lainnya berhalangan untuk ikut.

Tanggal 1 September 2016
Guncangan keras pesawat saat landing di Makassar membangunkan saya dari tidur. Saya lirik jam, pukul 07.15. Perut mulai terasa lapar, ya wajar saja, sebab saya terakhir makan jam 21.00 hari yang lalu. Setelah menghidupkan ponsel, saya segera menghubungi jemputan yang akan mengantar kami menuju Baraka.

Foto didalam airport sambil nunggu bagasi 

Mejeng dulu sebelum lanjut menuju Baraka

Airport nya baguuuus

Pukul 8.15 kami berempatpun sudah duduk manis di dalam mobil Avanza carteran sambil menikmati panas yang sudah terasa menyengat meski hari belum siang. Tak lupa saya berpesan pada supir untuk singgah di rumah makan agar kami bisa sarapan, mengingat dengan perjalanan normal kami baru akan tiba di Baraka pukul 14.00 alias 6-7 jam perjalanan. Sekira pukul 9.00 supir kami, bang Addi, menepikan mobil di depan sebuah warung. Terlihat jelas tulisan di warung tersebut Coto Makassar dan Sop Konro.

Akhirnya saya berkesempatan juga mencicipi Coto Makassar yang orisinil.
30 menit kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Baraka, masih dengan panas yang menyengat. Untuk mencapai Baraka kami melintasi 6 kabupaten yaitu, Maros, Pangkep, Barru, Parepare, Pinrang dan Enrekang. Baraka sendiri merupakan nama kecamatan di Enrekang yang terletak kurang lebih 2 jam dari kaki Latimojong.

Rehat sejenak di Gunung Sinona dalam perjalanan menuju Baraka

Tebing-tebing karst / karang menjelang masuk Baraka, surga bagi para climber


Biasanya para pendaki yang akan menuju Latimojong datang bertepatan dengan hari pasar agar mudah mendapatkan akses transportasi dan murah tentunya. Terdapat dua hari pasar yaitu Senin dan Kamis. Transportasi menuju Baraka adalah jeep-jeep 4x4. Di luar hari pasar pendaki harus menumpang ojeg dengan biaya mulai dari 150 ribu rupiah atau menyewa jeep hingga satu juta rupiah sekali jalan. 

Pasar tempat kami berbelanja segala kebutuhan logistik

Kami sempat berhenti di Baraka untuk berbelanja logistik pendakian. Meski kami datang di hari pasar, karena satu dan lain hal kami tiba terlalu sore sehingga angkutan menuju Baraka sudah tidak ada.
Ada hal yang sedikit lucu saat kami berbelanja di pasar Baraka. Disana tidak ada satuan setengah, jadi misal kita mau beli gula ya harus 1 kilogram, begitupun dengan kebutuhan lainnya. 

Dan karena kami sudah tidak mendapat angkutan untuk ke Baraka, jadilah kami menginap satu malam di basecamp KPA Lembayung yang sekaligus kediaman bapak Dadang. Kami di jamu dan di layani dengan sangat baik oleh kawan-kawan dari KPA Lembayung.
Malam itu kami tidur sangat cepat, maklum kami kurang istirahat dan tidur sejak hari kemarin.

Basecamp KPA Lembayung tempat kami bermalam

Tanggal 2 September 2016, 03.30
Kami sudah bangun dan bersiap, karena sesuai rencana kami akan berangkat menuju Karangan setelah shalat subuh. Karangan merupakan dusun terakhir yang bisa di akses oleh kendaraan pendaki.
Alhamdulillah selain kami, ada 3 pendaki lain dari Makassar yang akan mendaki Latimojong juga. Setelah berembuk, akhirnya kami sepakat untuk berbagi ongkos untuk menyewa jeep. Lumayan lebih nyaman dibanding kami harus naik ojeg motor, mengingat jalur menuju Karangan offroad banget.
Pada akhirnya, karena kebiasaan jam karet, kami baru berangkat menuju Karangan pukul 7.30.

Jeep sewaan yang akan membawa kami ke Karangan

Tampak depan Jeep kami

Tak lupa kami singgah sebentar di kantor Polsek Baraka untuk mengisi buku kunjungan sekaligus ijin lapor hendak mendaki Gunung Latimojong. Pengurusan ijin ini tidak dipungut biaya apapun alias gratis.

Zafran dan Gede sedang mengisi buku lapor di Polsek

Kantor Polsek Baraka tempat kami mengurus perijinan

Ki-ka : Irvan, Hendrik dan saya



Saya mengambil posisi di depan bersama Gede, rekan dari Makassar. Meski jalannya horor dan offroad saya mencoba untuk tetap menikmati. Alhamdulillah cuaca cerah, sehingga perjalanan relatif lebih cepat, satu jam empat puluh lima menit kemudian kami pun tiba di Pos Pendakian Latimojong di Dusun Karangan. Setelah mengisi buku pengunjung dan membayar biaya pendaftaran kami pun segera memulai perjalanan mendaki Latimojong.

Nyobain jadi sopir Jeep, nampak sopir yang asli Bp. Amar

Jalanan menuju Karangan di apit rumah-rumah panggung

Dusun Karangan tampak dari jauh

Berpose sejenak sebelum mulai nanjak

Pos pendaftaran pendakian paling sederhana yang pernah saya lihat

Rumah Kepala Dusun, pendaki bisa menginap gratis disini

Trail 1
Karangan 1481 mdpl - Pos 1 Buntu Kaciling 1772 mdpl
Awal jalur pendakian adalah setapak lebar, sesekali kami melintasi setapak yang di semen. Pemandangan awal kami disuguhi sungai dan perkebunan kopi yang menghampar dan panas yang menyengat. Kami mulai mendaki pukul 9.50. Saya sedikit kesulitan mendapatkan ritme jalan yang nyaman di awal jalan hingga saya tertinggak jauh di belakang. Setelah 50 menit berjalan kami pun tiba di Pos 2. 

Kami melintasi jalur potong saat menuju Pos 1 untuk mempersingkat waktu tempuh. Tapi seperti umumnya di gunung-gunung lain, yang namanya jalur potong pasti treknya jauh lebih terjal dan menanjak, begitu pula dengan nasib kami...hehehe.

Jalur awal pendakian, perkebunan kopi penduduk

Trail 2 :
Pos 1 - Pos 2 Goa Sarung Pakpak 1820 mdpl
Hari sudah menjelang tengah hari saat kami tiba di Pos 1, sekira pukul 10.40. Ketiadaan vegetasi tinggi menambah derita kami yang di hajar panas menyengat. Karena panas yang luar biasa pula akhirnya kami hanya berhenti 10 menit saja di Pos 1. Kami masih harus berjalan 300 meter lagi untuk mencapai batas hutan yang lebih rimbun dan teduh. Dengan tergesa kami berjalan. Akhirnya kami bisa berjalan dengan lebih nyaman setelah masuk ke dalam hutan. Setidaknya terhindar dari dehidrasi. 

Setelah berjalan meniti jalur-jalur akar yang cukup terjal, pukul 11.50 saya kembali berhenti. Kali ini perut yang dangdutan membuat saya berinisiatif menghasut Zafran agar mau rehat sejenak untuk membuat teh manis dan makan cemilan. Wajar saja perut terasa lapar, sudah lewat 7 jam dari terakhir kami makan. 30 menit kami bersantai. Dan pukul 12.20 kami mulai melanjutkan perjalanan.

Istirahat makan siang di Pos 2

Air mengalir deras di Pos 2

Jalur selanjutnya menjadi datar dan terus menurun. Jalur pendakian terus menurun selama 30 menit berikutnya dengan kondisi jalur yang melipir setapak tipis dan miring. Tangan kami harus lincah mencari pegangan akar-akar yang kuat agar tidak terpeleset ke sebelah kiri yang merupakan jurang perdu. Ujung dari jalur ini adalah Pos 2, Goa Sarung Pakpak. Di tandai dengan adanya sungai yang jernih dan deras.

Sungai ini merupakan pemisah punggungan, jadi jalur menurun tadi adalah bagian dari perjalanan kami untuk berpindah punggungan gunung. Dengan menyeberangi jembatan kayu sederhana, kami pun tiba di Pos 2 untuk memasak makan siang dan shalat dzuhur. Siang itu mendung dan ada satu rombongan pendaki yang sedang dalam perjalanan turun.

Trail 3 :
Pos 2 - Pos 3 Lantang Nase 2042mdpl
Kami rehat sangat lama di Pos 2, menikmati suasana, maklum kami datang dari jauh. Baru sekira pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 3. Itu artinya kami rehat selama 1,5 jam di Pos 2.

Jalur selepas Pos 2 lah yang menjadi pendakian yang sesungguhnya. 100 meter awal adalah bidang tanjakan nyaris vertikal dan licin. Setiap pendaki harus ekstra hati-hati saat melewatinya, harus pandai memilih pijakan, pegangan dan menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh ke belakang. Di saat tidak hujan saja sudah begitu licin, jadi bisa di bayangkan jika hujan atau setelah hujan.
Panjang tanjakan ini kurang lebih 300-400 meter. Jadi, antara Pos 2 dan 3 adalah full tanjakan...tanpa bonus!!

Sengaja saya tidak tampilkan fotonya supaya teman-teman pembaca membayangkan sendiri dari cerita saya.
Setelah meniti tanjakan selama 35 menit saya pun tiba di Pos 3. Sebuah pos dengan luas 4x4 meter yang tidak rata dan dipenuhi tonjolan akar. Pos ini tidak ideal untuk mendirikan tenda selain tiada sumber air.

Saya dan Zafran kelelahan di Pos 3 setelah melewati tanjakan 

Trail 4 :
Pos 3 - Pos 4 Buntu Lebu 2282mdpl
Setelah beristirahat selama 10 menit, saya dan Zafran kembali melanjutkan perjalanan menuju Pos 4. Saya mulai merasa lelah, sepertinya tanjakan antara Pos 2 dan 3 telah menguras tenaga saya. Pola jalan saya melambat meski masih konstan. Pukul 15.05 saya catat sebagai waktu start dari Pos 3 menuju Pos 4. 

Pos 4 Buntu Lebu

Menurut keterangan, dibutuhkan waktu 1 jam untuk mencapai Pos 4, tapi ternyata saya bisa tiba lebih cepat 20 menit dari seharusnya. Tepat pukul 15.45 saya berhasil mencapai Pos 4.
Pos 4 merupakan area tertutup vegetasi yang sedikit miring dan di penuhi tonjolan akar. Bidangnya 2,5 kali lebih luas dari Pos 3, namun sama halnya dengan pos sebelumnya, di pos ini juga tidak ada air.

Trail 5 :
Pos 4 - Pos 5 Soloh Tama 2617mdpl
Meski belum senja tapi langit sudah terlihat gelap, kabut tipis juga mulai turun. Posisi jalur pendakian yang diapit banyak punggungan mengakibatkan matahari tidak penuh menyinari di saat pagi maupun sore.

Camp kami di Pos 5, foto diambil setelah summit

Kecepatan jalan saya semakin melambat, tenaga saya habis, di tambah perut terasa lapar, akhirnya setiap 10-15 menit saya pasti berhenti untuk duduk bersandar beberapa saat. Jalur cukup curam 30 menit menjelang Pos 5. Posisi Pos 5 adalah puncak punggungan. Setelah bersusah payah memaksakan diri terus berjalan, saya pun tiba di Pos 5 pukul 17.15. Pos 5 merupakan area yang sangat luas, sanggup menampung lebih dari 30 tenda. Meski agak jauh, tapi terdapat sumber air di pos ini. Jaraknya kira-kira 100 meter berjalan turun ke sebelah kiri jalur pendakian.

Tak lama saya tiba, Zafran pun menyusul datang. Segera saja saya mendirikan tenda di Pos 5. Mengenai lokasi camp, awalnya kami mentargetkan membangun tenda di Pos 7 agar lebih dekat untuk summit, tapi dorongan rasa lapar dan hari yang sudah semakin gelap membuat saya mengambil keputusan untuk nge-camp di Pos 5 saja. 

Berfoto bersama sepasang pendaki suami istri (Bu Silvia dan Pak Chien) berusia 70 tahun di Pos 5, inspiring !!

Selesai tenda di dirikan, muncullah Hendrik dan Irvan. Sementara saya memasak, rekan yang lain turun mengambil air.
Sekira pukul 19.30 prosesi masak dan makan pun selesai. Kami pun bersiap untuk beristirahat. Tak lupa kami stel alarm pukul 3.00. Rencananya kami akan mulai summit pukul 4.00. Menurut keterangan, summit dari Pos 5 memerlukan waktu 3-4 jam. Dan akhirnya saya pun tidur dengan sangat nyenyak malam itu.

Trail 6 :
Pos 5 - Pos 6 2848 mdpl
Alarm berbunyi sesuai waktu yang kami tentukan. Dengan malas kami bangun, memaksa badan kami bersentuhan dengan udara dingin yang menurut saya tidak dingin. Kami sarapan dengan bubur kacang ijo yang saya buat semalam plus roti tawar untuk energi kami summit. Setelah selesai menyiapkan peralatan untuk summit, pukul 4.20 kami mulai berjalan menuju puncak Latimojong.

Kami langsung dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan terjal selepas Pos 5. Badan yang belum nyetel dengan udara subuh dan kompetisi oksigen dengan pepohonan membuat nafas saya sangat terengah-engah. Dan saya yakin rekan yang lain pun merasakan hal yang sama. Setiap 20-30 langkah saya berhenti untuk sekedar mengatur nafas. Perlahan saya pun di serang rasa mual yang luar biasa.

Saya tahu mual ini datang dari pola jalan yang terlalu cepat serta jarak makan saya dengan waktu mulai berjalan tadi. Hampir tidak ada jeda untuk memberi waktu makanan yang saya makan agar turun dulu ke lambung.

Pos 6 saya foto dalam perjalanan turun

Foto wajib di Pos 6

Meski begitu saya bertahan agar tidak muntah, sayang lah makanan yang saya makan tadi di samping saya ga mau lambung saya kosong.
Alhamdulillah pukul 4.55 atau 35 menit kemudian kami berhasil tiba di Pos 6. Saya meminta waktu untuk break lebih lama. Sambil beristirahat, saya meminum obat mual dan shalat subuh. 30 menit kemudian kami pun mulai melanjutkan perjalanan menuju Pos 7. Pos 6 merupakan area yang cukup ideal untuk membuat tenda, hanya saja tidak ada sumber air di pos ini.

Trail 7 :
Pos 6 - Pos 7 Kolong Buntu 3210 mdpl
Setali tiga uang dengan jalur sebelumnya, jalur menuju Pos 7 pun terjal dan terus menanjak, bahkan lebih panjang dan lama waktu tempuhnya. Vegetasi yang semakin kecil dan pendek membuat sesekali kami bisa melihat pemandangan jauh di bawah sana.

Suasana Pos 7 pagi itu

Pos 7 saya foto dari atas tanjakan terakhir menuju puncak

Selepas rehat di Pos 6 kekuatan fisik saya pulih kembali dan bisa berjalan dengan kecepatan normal seperti hari sebelumnya. Berjalan sendirian di depan, saya tiba di Pos 7 satu jam kemudian atau pukul 6.15, jauh meninggalkan rekan-rekan yang lain.

Pos 7 merupakan area yang cukup untuk membangun banyak tenda, tetapi kontur lahannya tidak memungkinkan untuk membangun tenda dalam satu kumpulan besar. Sehingga tenda yang dibangun di pos 7 akan terpisah-pisah posisinya. Sumber air berlimpah di Pos 7, terdapat aliran sungai kecil di sebelah kiri jalur pendakian. Persis setelah Pos 7 adalah tanjakan nyaris vertikal setinggi 20-30 meter, dan itulah jalur pendakian selanjutnya sekaligus tanjakan terjal terakhir sebelum mencapai puncak tertinggi Latimojong.

Dari puncak tanjakan terjal itu puncak tertinggi Latimojong tinggal 45 menit lagi dengan berjalan melewati 3 bukit.
Menurut saya, jika kalian datang dalam rombongan besar dan hanya mempunyai waktu 2-3 hari, sebaiknya membuka tenda di Pos 5 saja agar lebih efisien.

Trail 8
Pos 7 - Puncak Rante Mario 3478 mdpl

Saya mulai berjalan menuju puncak pukul 6.40. Saya berhenti di Pos 7 selain menunggu rekan yang lain juga sekaligus menikmati cemilan dan teh manis panas dari termos yang saya bawa. Damai sekali meminum teh panas di ketinggian lebih dari 3200 meter hingga tak terasa saya berhenti begitu lama di Pos 7. 

Kondisi jalur menuju puncak tertinggi sangat landai meski naik turun tiga bukit. Sedikit membosankan, mungkin pengaruh tenaga yang mulai habis setelah melahap etape dari Pos 6 ke Pos 7. Dua puluh menit dari pos 7 terdapat percabangan jalur, kekanan adalah jalur menuju Puncak Nenemori. Persis di percabangan adalah kolam air tadah hujan. Sayang saat kami melintas kolam tadah hujan sedang tidak berair, pengaruh dari musim kemarau.

25 menit terakhir benar-benar terasa semakin membosankan, jalur landai yang berkelok-kelok seperti mempermainkan emosi. Emosi dari rasa tidak sabar ingin segera menjejak puncak tertinggi Latimojong. Bebatuan karst dan karang yang berformasi unik pun tak mampu menjadi penghibur.

Alhamdulillah, akhirnya pukul 7.20 berbarengan dengan Zafran saya berhasil menjejak puncak Latimojong, puncak Rante Mario 3478 mdpl. Puncak nomor 5 dari rangkaian 7 puncak tertinggi Indonesia. Sujud syukur dan segala puji saya persembahkan pada Allah Ta'ala atas kesempatan yang diberikan pada saya. Tak terasa air mata saya menetes. Euforia yang sama, emosi yang sama setiap saya berhasil mencapai puncak. Candu ini akhirnya merasuk lagi dalam jiwa saya, menuntaskan dahaga ketinggian. Cukup lama kami berada dipuncak sebelum akhirnya kembali turun ke Pos 5 pukul 9.00.

Tercapai juga berdiri disini

Pose nya ngga banget nih
Tim Formasi lengkap...Hidup KGI !!

Demikian catatan perjalanan saya dan tim saat menggapai atap Sulawesi. Semoga bisa bermanfaat bagi teman-teman yang lain.

----------------------------***--------------------------

Ringkasan Perjalanan :

1. Makassar - Baraka --> 6-8 jam
2. Baraka - Karangan --> 2 jam
3. Karangan - Pos 1 --> 1 jam
4. Pos 1 - Pos 2 --> 1 jam
5. Pos 2 - Pos 3 --> 35 menit
6. Pos 3 - Pos 4 --> 40 menit
7. Pos 4 - Pos 5 --> 1 jam 10 menit
8. Pos 5 - Pos 6 --> 40 menit
9. Pos 6 - Pos 7 --> 1 jam
10. Pos 7 - Puncak --> 45 menit

Untuk teman- teman yang memerlukan info lebih lanjut tentang pendakian ke Latimojong silakan hubungi saya di nomor di bawah ini :

1. SMS / WA 0811-118-1225
2. BBM : D0ACE655