Senin, 09 Juni 2014

(Gagalnya)...Menikmati Pagi di Lembah Surya Kencana TNGGP

        
Sy meniti Rawa Gayonggong TNGGP

 Saya lupa persisnya sudah berapa kali saya mendaki Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Yg sy ingat terakhir sy kesana tahun 2011 awal bulan Februari. Nah, pd kesempatan ini sy ingin menceritakan tentang trip sy yg terakhir itu. Di pendakian 3th silam itu sy berangkat dg 2 org rekan. Dan sayangnya pd saat itu kami tdk berhasil tembus ke puncak, pendakian kandas di atas Tanjakan Rante atau lebih populer dg nama Tanjakan Setan setelah kami di hajar hujan badai selama lebih dr 6 jam. Inilah trip pertama sy ke TNGGP dimana sy tdk berhasil summit.

Saat itu sy memang ga punya rencana matang apalagi merencanakan u/ mendaki TNGP, hanya sebatas usulan spontan saja ketika sy sedang ngobrol-ngobrol dg bbrp teman di sebuah Mall di utara Kota Bogor, sy mengajak mendaki Gunung Gede 2958 mdpl, tp rupanya celetukan sy itu di tanggapi serius oleh 2 rekan sy Wandi dan George. Wandi, laki-laki enerjik sebaya dg sy, belum menikah, berperawakan cukup atletis, kulit putih dan mata sipit khas turunan Tionghoa. Sedangkan George adl yg paling tua, usianya menjelang kepala empat. Dg tubuh tinggi kurus, kulit gelap, rambut tipis nyaris botak dan hampir selalu ceria, di antara rekan2 satu tongkrongan, kami menjulukinya cowok matic. Mungkin teman2 heran knp dia di panggil cowok matic?? Sy jg awalnya bingung kenapa panggilannya spti itu, tp setelah dijelaskan barulah sy tau alasan adanya julukan itu. Karena George ini gigi bagian depannya sudah habis sebelum tua alias ompong. Mobil / motor dg transmisi otomatis atau tanpa persneling alias gigi kan disebut matic....naaah...begitu juga dg si George ini, berhubung sudah ga punya gigi makanya di panggil cowok matic....hehe...aya-aya wae.
Dan persamaan kedua rekan sy ini adl sm sekali blm pernah masuk hutan atau punya pengalaman naik gunung.
Seperti biasanya, sy selalu me-list keperluan2 yg harus di siapkan. Standar safety first selalu sy kedepankan. Dan berhubung 2 rekan ini blm memiliki alat team jadilah sy harus rela membawa peralatan team yg kebetulan memang lengkap sy miliki---lagi2 jd porter. Karena cm bertiga sy putuskan membawa tenda Summer Time saja yg ringan, tp sy jg membawa flysheet ukuran 4x5m, sengaja sy bawa yg size besar u/ antisipasi.
Tak lupa sy kontak kenalan sy di TNGP u/ membantu pengurusan ijin booking pendakian.
Kami bersepakat akan berangkat hari Jumat sore / malam dg meeting point di rumah si George.
Berhubung letak TNGP tdk terlalu jauh dr Bogor ---hanya sekitar 2 jam--- maka kami putuskan u/ bawa kendaraan sendiri. Bergantian saja kami nyetir...menyusuri jalanan malam yg basah oleh hujan. Ya, memang saat itu sedang puncak musim hujan. Memasuki kawasan Puncak kami lbh berhati-hati sebab kabut sedang turun dan cukup tebal. Seperti biasa, Puncak dg ikon mesjid At-Ta'awun- nya selalu ramai di padati para pengunjung baik siang ataupun malam. Pemandangan Kota Bogor dr sini memang sangat indah, tak heran byk org tak pernah bosan u/ sekedar menghabiskan malam di temani segelas bandrek, kopi ataupun jagung bakar.
Kurang dr 2 jam kami tiba di basecamp pendakian Cibodas. Alhamdulillah jalanan sgt lancar. Untuk pendakian ini memang sy memilih jalur Cibodas u/ PP, karena trek nya lbh landai, ga apa lah jalurnya lbh panjang yg penting 2 rekan sy ga "kaget". Biasanya, setiap sy mendaki TNGP sy selalu melewati jalur Cibodas untuk naik dan via jalur Gunung Putri u/ turun atau sebaliknya. 
Sekedar info saja, TNGP ini terletak dlm tiga wilayah kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Untuk mencapai TNGP jika datang dr arah Jakarta dg menumpang Commuter Line maka teman2 turun di pemberhentian akhir atau stasiun kereta api Bogor. Keluar stasiun perjalanan dilanjutkan dengan naik angkutan kota (Angkot) 03 jurusan Terminal Baranang Siang dengan tarif 2500 rupiah per orang. Teman2 jika keluar stasiun berjalan ke arah Polresta Bogor saja dan jangan menyebrang jalan untuk naik Angkot 03, naiklah angkot 03 yg ngetem di depan Taman Topi seberang Polresta, sebab jika menyebrang justru menuju arah yg berlawanan.
Jika jalanan lancar perjalanan menuju Terminal Baranang Siang bisa ditempuh dalam waktu 20 menit saja, tp jika macet bisa dua kalinya. Mintalah untuk diturunkan di Damri. Setelah turun angkot berjalanlah ke arah jembatan penyeberangan. Tepat di sebelah kiri jembatan penyeberangan adl Jalan Cidangiang, disitu banyak Colt-colt Mitsubishi berwarna putih. Itulah angkutan yg akan dinaiki selanjutnya untuk menuju Cianjur, istilahnya mobil Cianjuran. Tarif untuk sampai Cibodas / Cipanas kira-kira 10.000 rupiah / org. Dari pertigaan Cibodas perjalanan menuju basecamp dilanjutkan dg angkot bertarif sekitar 5000 rupiah / org. Jika akan lewat jalur Gunung Putri maka teman2 turun di Cipanas dan melanjutkan perjalanan dg angkot yg terdapat di belakang pasar (turun mobil putih Cianjuran lalu nyebrang ke arah belakang pasar).
Seingat sy saat itu pukul 23.00...dan sy sampaikan pd 2 rekan sy bahwa pendakian akan di mulai besok pagi jam 7. Sambil menunggu pagi kami beristirahat di warung Pak Obix. Malam itu kami begadang sambil menikmati hidangan yg disuguhkan beliau.
Matahari pagi tdk terasa hangat, karena tertutup mendung. Berdasarkan pengalaman, dg melihat kondisi, sepertinya siang / sore ini hujan akan turun. Kami bersiap dan berkemas dan tepat jam 7 pagi, setelah berfoto dan berdoa kami mulai pendakian. Sambil menyalakan sebatang rokok ---saat itu sy masih perokok berat--- sy berjalan perlahan. Sy memposisikan diri sbg sweeper. Aktifitas warga disekitar basecamp Cibodas blm byk dimulai. Kios2 di kanan kiri jalan baru satu dua saja yg buka. Hanya bbrp kelompok anak2 berseragam merah putih nampak meramaikan pagi yg sepi.

Kondisi trek selepas Panyangcangan

Rute awal pendakian kami menyusuri jalanan yg disusun dr batu-batu. Jalan berbatu dg lebar sekitar 1,5m ini trs menjadi kawan kami di 1 jam awal perjalanan. Dlm perjalanan menuju pos Panyangcangan kami berhenti bbrp kali, salah satunya di shelter Telaga Biru. Telaga Biru ini adl sebuah danau yg terletak di sebelah kiri jalur pendakian. Warna telaga bisa berubah menjadi biru karena adanya reaksi plankton thd cahaya matahari. Di telaga ini jg dilengkapi dermaga kecil yg berfungsi sbg anjungan pengamatan burung.
Sy sempat duduk cukup lama di tengah trek, masih disekitar area Telaga Biru...di tepian sungai kecil yg airnya jernih dan dingin. 

Awal Jembatan Rawa Gayonggong
Air terjun yg sy temui saat menuju Pos Pemandangan

Setelah itu kami berhenti lg cukup lama di Jembatan Rawa Gayonggong u/ berfoto-foto, puncak Pangrango 3019mdpl terlihat jelas dr sini. Dulunya trek rawa ini tdk dilengkapi jembatan, sehingga pendaki harus berjalan zigzag memilih-milih batu sbg pijakan agar tdk nyemplung di genangan air. Rute ini memanjang nyaris 1,5km. TNGP ini memang di anugerahi sumber2 air yg sangat melimpah hingga menuju ke puncak. Jd para pendaki tdk perlu khawatir tentang air u/ perbekalan. Hutan yg rimbun dan di dominasi pohon2 tinggi besar menjadikan perjalanan di siang hari pun terasa nyaman dan sejuk. Vegetasi rapat ini terus ditemui hingga lepas Tanjakan Setan.
2 jam waktu yg kami butuhkan u/ mencapai Pos Panyangcangan, catatan waktu yg sangat lambat. Tp sy berusaha memaklumi, 2 rekan sy ini blm pernah mendaki. Pos ini adalah sebidang tanah yg ckp luas, cukup u/ membangun 3-4 tenda. Terdapat bangunan permanen yg cukup besar, terkadang pendaki yg egois sering membuat tenda di dlm bangunan ini. Konon dulunya pos ini adalah tempat menyimpan / mengikat (Nyangcang) kuda bagi orang yg akan naik. Berjalan turun dr pos selama 15-20 menit kita bisa menemukan air terjun yg indah. Air terjun ini lah yg dijadikan destinasi bagi pengunjung yg tdk mendaki. Setelah menghabiskan sebatang rokok kamipun melanjutkan perjalanan. Arah trek persis berada di balik bangunan pos. Kondisi trek pasca Pos Panyangcangan ini agak lebih curam di banding sebelumnya. Kombinasi tanah bertipe lempung dg bebatuan dan sedikit akar. Trek jg mengecil lebarnya menjadi sekitar 1 meter saja. Di mulailah perjalanan memutari bukit2. Tujuan berikutnya adl Pos Pemandangan. U/ efisiensi waktu, sy katakan pd Wandi dan George kita akan istirahat lama di Pos Pemandangan atau Pos Air Panas. Butuh waktu hampir 3,5jam u/ kami tiba di Pos Pemandangan. Saat sy tiba, bangunan permanen 2 lantai disebelah kiri jalur yg menjadi pos sudah hancur 80%. Sungguh sangat disayangkan. Pos ini adl area yg cukup luas ---lebih luas dr Panyangcangan--- sesuai namanya pos ini sering digunakan u/ mengamati dan menikmati pemandangan, walau posisinya terlindung oleh pohon2 besar.
Para pendaki jg umumnya beristirahat sejenak di pos ini sebelum bergerak melintasi Air Terjun Air Panas...apalagi saat kabut sedang tebal. Jarak antara Pos Pemandangan dan Pos Air Panas tidak lbh dr 400m, jarak terpendek antar pos di TNGP.

Rimbunnya hutan dilihat dr Pos Air Panas
Sy dan Wandi

Setelah sy rasa cukup waktu kami beristirahat, sy instruksikan 2 rekan sy u/ mulai melanjutkan perjalanan. George sy posisikan sbg leader, sy ditengah dan Wandi paling akhir. Trek menurun harus kami lewati selepas pos Pemandangan, daaan...nampak di hadapan kami jalur Air Terjun Air Panas berselimut uap tebal menyerupai kabut. Sy bersyukur saat melintas cuaca hanya mendung, sehingga memudahkan kami u/ melewati. Cukup sering sebelum2nya sy harus agak merangkak saat melintas trek ini karena turun kabut yg tebal. Jika turun hujan, maka bisa dipastikan setelah hujan reda trek akan tertutup kabut dan uap hasil pertemuan udara panas dan dingin.
Awal meniti Air Terjun Air Panas
Bebatuan licin yg menjadi ciri khas Air Terjun Air Panas
Kiri air panas kanan jurang...pilih mana??

Dlm catatan sy ttg pendakian TNGP, Air Terjun Air Panas ini pernah memakan korban jiwa. Rute ini walau pendek ---tdk lebih dr 300m--- tp cukup membahayakan.
Guyuran air panas di sebelah kiri trek bisa mencapai suhu 80°C, pendaki hrs berjalan berhati-hati meniti bebatuan yg berwarna hitam dan licin oleh lumut hasil reaksi belerang selama "mungkin" ribuan tahun. Di sela bebatuan itu mengalir jg air panas. Di sebelah kanan trek adl jurang yg cukup dalam dan hanya berpengaman seutas tali sling besi dg diameter 0,8-1 cm yg di pancang pd patok2 besi berjarak 2-3 meter. Pilihan yg sulit bagi pendaki pemula...rapat kekiri badan akan basah terkena air panas...rapat ke kanan, beresiko terpeleset ke jurang jika tdk hati2. Alhamdulillah, kami bisa melintasi dg aman dan selamat. Lalu kami pun beristirahat sejenak di Pos Air Panas.
Pos berikutnya yg kami tuju adl Kandang Batu. Disebut demikian karena byk sekali batu2 besar disekitarnya...terdapat pula aliran air yg jernih dan bisa di jadikan tambahan perbekalan jika persediaan air menipis. Jam sudah menunjukkan pukul 13.30. 1,5 jam kemudian ---akibat lambatnya kami berjalan--- barulah kami berhasil mencapai Pos Kandang Badak.

Sy dan Wandi istirahat di Pos Kandang Badak
Sy dan George memasak makan siang
Kondisi trek menuju Kandang Badak

Pos Kandang Badak ini merupakan areal yg sgt luas dan selalu dijadikan pilihan u/ ngecamp oleh para pendaki sebelum summit attack. Di pos ini terdapat bangunan permanen letaknya disebelah barat dekat dg sumber air. Di sekitar pos ini, dekat sumber air jg terdapat tanaman sejenis Pohpohan ckp berlimpah, yg bisa dimakan dan dijadikan tambahan lauk (u/ lalapan).
Sore itu sy memutuskan tdk buka tenda di Kandang Badak melainkan hanya istirahat makan saja. Karena kami sangat lambat ---normalnya cukup 5-6 jam saja u/ mencapai Kandang Badak--- sy putuskan kami akan ngecamp dipuncak saja.
Setelah mengisi perbekalan terutama air kami pun melanjutkan pendakian jam 16.00.
Tak lama kemudian kami tiba di pertigaan, kiri puncak Gede, kanan puncak Pangrango. Dr pertigaan ini, masih diperlukan waktu 3-3,5 jam lg u/ mencapai puncak Pangrango. Pangrango dg puncaknya yg rimbun dg vegetasi jg memiliki alun-alun yg bernama Mandalawangi, yg jg  merupakan salah satu tempat favorit mendiang Soe Hok Gie.
Dlm perhitungan sy, setelat-telatnya jam 19.00 kami sudah tiba di puncak. Tp hitungan hanya sebatas hitungan, manusia bisa berencana tp kuasa akhir Allah yg menentukan. 1 jam selepas Kandang Badak, saat kami baru saja tiba di bawah Tanjakan Setan, dimulailah "teror" alam. Gumpalan awan hitam yg terlihat sejak kami di Kandang  Batu kini bermetamorfosa menjadi hujan angin yg menurut sy luar biasa...di tambah kilatan petir sambar menyambar. Posisi kami saat itu, sy di pertengahan Tanjakan Setan dan 2 rekan sy di bawah. Demi keselamatan, sy turun kembali ke bawah tanjakan. Sy buka carriel u/ mengambil flysheet, 2 rekan sy kebingungan ---mungkin ga tau harus berbuat apa dihajar badai spti ini---. Lokasi di dasar Tanjakan Setan adl bidang sempit tidak rata dan berbatu-batu. Ditambah terbuka dan menjadi tempat aliran air. Komplit sudah u/ "menyiksa" kami.
Kondisi Wandi drop, spti org hilang orientasi. Akhirnya otomatis hanya sy dan George yg msh bisa bertindak dg "normal". Berkoordinasi dg George sy membuat bivak darurat. Badan sy sudah basah kuyup, begitupun George. Kondisi tempat yg tdk ideal itu membuat flysheet besar yg sy bawa hanya bisa menjadi bivak ukuran 1,5 x 1 meter, dg tinggi ga lebih dr 80cm bisa di bayangkan bagaimana keadaan kami saat itu. Perlahan tp pasti air mulai mengalir di sela2 kaki kami dan terpaksa dlm kondisi tersebut kami jongkok agar tdk semakin basah.  Hujan trs turun, angin yg menelusupi sela ranting pepohonan pun menimbulkan suara beralun, kami terperangkap entah sampai kapan.

Kondisi trek

Pikiran sy menerawang,  teringat 13th silam, bbrp puluh meter di bawah shelter Tanjakan Sareuni gunung Ciremai sy mengalami situasi yg nyaris sama. Saat itu sy bersama sahabat2 Amazon ---nama Pecinta Alam fakultas kami di IPB---- mendaki Ciremai via jalur Linggajati dlm rangka pelantikan Angkatan III. Hampir 20 org dr kami terperangkap hujan yg sangat besar, u/ berlindung kami hanya mengandalkan selembar flysheet. Selama kurang lebih 2 jam kami meringkuk jongkok seperti anak ayam dlm lindungan sayap induknya. Hingga saat hujan reda banyak dr kami yg tumbang, entah muntah-muntah, kaki kram atau kedinginan. 
Dan demi teringat itu, u/ kali ini sy merasa telah melakukan blunder, u/ pertama kalinya sy merasa membuat keputusan yg salah. Seharusnya tadi kami buka camp saja di Kandang Badak, tdk memaksakan diri ngejar summit. Jika itu dilakukan mungkin sekarang kami bisa berlindung dg nyaman dr badai ini. Lamunan sy terhenti saat Wandi menggigil hebat, sy curiga dia mulai kena Hypo, bahaya besar kalo kami tetap diam disini.
Sy bicara dg George, sy bilang sy akan turun bbrp meter ke bawah mencari tempat yg lbh baik u/ buka camp. Berbekal headlamp, pisau dan ponco yg sobek sy keluar dr bivak, menerobos gelap u/ mencari lokasi camp. Sempat sy berpikir u/ turun kembali ke Kandang Badak, tp selain cukup jauh jg resikonya terlalu besar dlm cuaca spti ini dan ada rekan yg sakit. Kurang lebih 20 meter turun, saat pijakan kaki sy sudah bertemu tanah sy arahkan sorotkan headlamp ke sebelah kiri, sy amati konturnya diantara deras hujan, setelah sy rasa memenuhi syarat u/ mendirikan tenda, segera sy beri tanda dg batang pohon kecil yg sy patahkan lalu sy kembali ke atas u/ mengambil carriel dan menjemput kedua rekan sy.
Sy membagi tugas dg George sambil mengemasi carriel.  Lalu kami turun dan membangun bivak lg u/ berlindung Wandi yg sudah kedinginan hebat. Sy saja yg sehat merasa menggigil. Saat itu mungkin menjelang pukul 21.00, secara tiba2 hujan mengecil. Sy pun memanfaatkan momen itu u/ mempercepat membangun tenda. Selang 15 menit tenda berdiri sy suruh Wandi masuk, lalu sy dan George membuka flysheet sesuai kapasitas maksimalnya, kami buat pula space u/ teras dan tak lupa membuat parit. Tepat saat tali pengunci flysheet yg terakhir terpasang hujan pun turun lg dg derasnya. Sy nyalakan minilamp u/ dlm tenda, sy perhatikan Wandi sudah agak biru bibirnya, badannya trs bergetar hebat. Sy suruh u/ dia ganti pakaian tp diam saja, di bantu George akhirnya bisa Wandi berganti pakaian. Sy sendiri sudah tdk memakai baju, hanya celana pendek, pakaian sy yg basah sy lemparkan begitu saja di luar tenda. Sy bongkar carriel...sy susun matras dan buka sleeping bag. Teringat materi dlm Diksar jaman ikut pecinta alam dulu, sy masuk ke dlm sleeping bag selama bbrp menit. Akhirnya ada jg hal yg bisa sy praktekkan dr Diksar tsb, justru dlm kondisi yg benar2 diluar dugaan. Tujuan sy masuk dlm sleeping bag adl u/  men-transfer panas tubuh sy agar terkungkung dlm kantong. Setelah sy rasa cukup, sy keluar dan menyuruh Wandi u/ masuk. Sy tanya George bagaimana kondisinya, dan Alhamdulillah kondisi fisik George msh "aman". Hujan msh blm berhenti, sebenarnya sy ingin membuat minuman panas dan sejenisnya u/ menghangatkan badan, tp entah hawa dingin yg menusuk dan tenaga yg terkuras membuat sy merasa enggan u/ sekedar keluar tenda. Sy tengok di sebelah sy Wandi sudah tdk terlalu menggigil, hanya sesekali meracau dan mengeluh sakit kepala. Sy menarik nafas lega, tindakan awal penanganan gejala Hypo berhasil, tinggal penanganan selanjutnya yaitu memberi asupan makanan agar panas tubuh terjaga. Di sebelah Wandi, George sudah tertidur, sesekali dia jg menggigil. Sy buka drybag, sy hidupkan HP u/ melihat jam, tertera 00.20...hujan sudah reda hanya menyisakan gerimis kecil, sudah lewat tengah malam. Sy lalu membuka logistik, sy bangunkan kedua rekan, sy paksa u/ mengisi perut walaupun sedikit. Ga lama kemudian sy pun tertidur. Kurang lebih jam 5.30 sy bangun. Sy kenakan jaket polar warna hijau lalu sy keluar u/ observasi lokasi. Saat sy sedang melihat-lihat sekeliling, George pun keluar. Kami ngobrol lalu sepakat u/ tdk summit attack mengingat kondisi kami yg berantakan pasca di hajar badai lbh dr 6jam. Hati kecil sy sebenarnya ga rela menerima kenyataan gagal muncak, apalagi tinggal 1,5 jam lg. Tp sy berusaha realistis, kalo hanya mengejar obsesi pribadi memang sy bisa, tp jika ada kawan yg di korbankan jg sy ga mau, ego sy besar tp sy lbh menghormati dan menjaga sikap dan sifat kebersamaan. Safety first tetap sy junjung. U/ menghibur diri dan menunggu mentari bersinar lbh terang, sy mengajak George mendaki Tanjakan Setan. Angin lembab bekas hujan semalam bercampur kabut pagi menyapu tubuh kami...bbrrr...dinginnya msh saja membuat tubuh menggigil.

Puncak Pangrango 3019 mdpl dr puncak Tanjakan Setan

Tiba di puncak Tanjakan Setan kami membalikkan badan dan nampaklah puncak Pangrango berdiri gagah, berselimut kabut tipis memancarkan aura beku. Sy diam menatap bbrp saat lamanya. Hari ini sy belajar lg tentang kebersamaan. Sy dipaksa menyerah oleh gunung yg notabene sudah sy hafal diluar kepala, gunung yg sudah kelewat sering sy daki. Sy kandas "dirumah sendiri", kenyataan "pahit" yg harus selalu sy ingat. Bahwa tdk ada yg pasti dlm pendakian, bahwa sesering apapun, sekuat apapun, sehebat apapun mudah saja alam menelan kita...manusia tdk bisa mendikte. Alhamdulillah sy dan rekan terutama Wandi masih diberi keselamatan u/ kembali pulang. Itu yg sangat sy syukuri hingga hari ini. Mengutip kalimat Reinhold Messner..."inti mendaki gunung adl kembali pulang dg selamat, menggapai puncak hanyalah bonus".




Taman Nasional Gunung Gede Pangrango - Februari 2011.

Kukuh - Wandi - George

Kamis, 05 Juni 2014

Surga Eksotis di Selatan Malang


Segara Anak, tempat eksotis dalam area Pulau Sempu

Sebenarnya saya merasa sedikit ragu untuk mulai menulis trip ke Sempu ini. Sebab sebagaimana kita ketahui pulau Sempu bukanlah lokasi yang di peruntukkan untuk wisata mengingat statusnya yang cagar alam. Saya khawatir---walau sudah banyak orang yang mem-publish tentang Sempu---akan menjadi trigger bagi yang masih penasaran dan belum berkunjung.
Saya mohon maaf sebelumnya jika ada pihak-pihak yang mungkin akan dirugikan pasca terpublikasi nya tulisan ini. Saya merasa "gatal" jika belum menuangkan hasil trip saya dalam bentuk tertulis. Ya semoga saja tidak banyak yang membaca hasil tulisan saya ini.
Trip ini adalah sekuel dari perjalanan kami (saya, Jokaw, Yudex, Risky, Iwan, Bisri, Taufiq dan Reza).
Tanggal 28 Mei...selepas adzan Isya kami masih berada di pondokan Mak Yem di Ranupani. Jam di dinding menunjukkan pukul 20.00 dan kami masih menunggu makanan yang kami pesan. Sambil menunggu makanan matang, saya meminta tolong pada Jokaw dan Iwan untuk mem-booking kendaraan untuk turun. Belum juga kedua rekan saya bergerak ke lapangan parkir di bawah, Mak Yem menjelaskan bahwa sejak pendakian mulai di buka tahun ini (5 Mei 2014) tidak ada lagi sistem booking kendaraan sebab sistem yang berlaku adalah nomer antrian kendaraan saat kami akan turun. Jadi, kami tidak bisa lagi memilih akan naik kendaraan milik siapa, tetapi misal saat kami mau pulang dan yang ready antrian adalah Jeep A maka kami harus naik Jeep A. Poin plusnya kendaraan dari Ranupani ke Tumpang sekarang standby 24 jam.
Selesai menghabiskan Mie sayur pesanan, kamipun berpamitan pada Mak Yem dan keluarga untuk kembali ke Tumpang ke rumah pak Mun.
Ketika kami tiba di parkiran, yang ready to go ke Ranupani adalah Colt bak terbuka Mitsubishi L300.,...hmmm...we've no choice...
Segera kami susun keril-keril di bagian pojok mobil daaan....hehe...saya ambil posisi aman saja duduk depan samping pak kusir...eh pak supir. Maklumlah...sangar-sangar gini saya gampang mabokkan...hihi.
Dalam perjalanan pulang ini kami bertambah rekan, 4 orang pendaki asal Bekasi yang kebingungan sebab tidak punya tempat untuk bermalam. Akhirnya kami ajak mereka untuk ikut menginap di rumah pak Mun. Yang saya kenal dari ke empat rekan itu hanya 1 orang, leader nya yang bernama Misbah.
Singkat cerita kami tiba di rumah pak Mun jam 23.05. Untung Gofur belum tidur. Saat kami datang, mbak Prita dan keluarganya yang berjumlah 4 orang sudah lebih dulu ada.
Nama yang saya sebut terakhir itu adalah keponakan dari rekan kerja saya di Bappenas, bersama suami, anak dan saudaranya, dia ingin berlibur ke Bromo dan Sempu. Selain mereka ada lagi satu orang kenalan saya yang kebetulan juga sedang berada di Tumpang yaitu Riko, dia baru saja menjadi guide untuk tamu-tamu dari Jakarta. Jadi totalnya ada 20 org di dalam rumah pak Mun yang bertipe 45 ini...bisa di bayangkan kan sesaknya.
Saat itu pak Mun sedang tidur, beristirahat karena jam 2.00 akan mengantar mbak Prita dan keluarga ke Bromo. Ga lama sejak kami masuk, satu persatu dari kami tidur. Ya, kami semua memang kelelahan sampai-sampai posisi dan lokasi tidur kami dalam rumah tidak beraturan. Hanya saya, Jokaw, Yudex dan Gofur yang ga tidur. Kami ngobrol ngalor ngidul sampai menjelang subuh, padahal dari tanggal 27 kami baru tidur 1,5jam saja.
Hari ini sudah tanggal 29 Mei, kantuk saya sudah tak tertahan dan akhirnya saya pun tidur di sofa ruang tamu sekitar jam 3.15. Jam 6.00...saya bangun kesiangan dan langsung shalat subuh. Rekan yang lain masih juga belum ada yang bangun. Saya biarkan saja.
Jam 7 pagi istri pak Mun menyiapkan sarapan pagi untuk kami semua...pecel telor plus peyek kacang...yuummii banget deh. Ga pake lama licin tandas semua yang dihidangkan...(keliatan banget kelaparannya...hehe).
Jam 10, Misbah dan ketiga temannya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Sempat saya menawarkan mereka ikut ke Sempu tapi ditolak. Tak lama Misbah cs keluar, Risky, Taufiq dan Bisri juga ijin ke saya untuk main ke pasar Tumpang. Saya "iyakan" dengan syarat sebelum jam 13.00 sudah kembali sebab jam 14.00 kami akan melanjutkan trip ke Sempu. Rombongan mbak Prita juga rencananya baru akan kembali jam 13.00 dari Bromo. Saya, Jokaw dan Iwan kemudian membuat list logistik yang harus kami beli untuk perbekalan camping di Sempu. Selesai membuat list, Jokaw dan Iwan berangkat ke pasar Tumpang untuk belanja.
Jam 14.00 Yudex datang dengan mobil sewaan yang akan membawa kami ke Sendang Biru. Ikut pula seorang rekan baru bernama Hamid bersama Yudex. Penampilan Hamid kalem, tapi saya yakin dia ini 11-12 dengan Yudex..(keyakinan saya terbukti kemudian saat di Pulau Hamid ga ada hentinya ngelawak). Supir kami namanya Pak Kucing, pria usia akhir 60an kira-kira, yang juga adalah Pakde dari Yudex.
Mobil jenis Hiace Toyota tahun 81, sudah terlihat reyot dan full dempulan. Kapasitas normalnya 12 orang, tapi demi bisa membawa kami "sekeluarga" Pak Kucing harus rela mobilnya di isi 15 orang, itupun belum termasuk carriel dan belanjaan kami lho.
Saya, Jokaw dan Yudex duduk di depan, kaki kami di alasi carriel saya yang memang paling besar. Sisanya pinter-pinter ngatur posisi deh di belakang...hehe. Saya sendiri ga bisa bayangin seperti apa rasanya 12 orang uyel-uyelan di belakang.
Mobil bergerak pelan menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai menuju selatan Malang.
Jam 16.30 kami tiba di pelelangan ikan pelabuhan Sendang Biru dan turun untuk membeli beberapa jenis ikan untuk kami bakar nanti malam. Setelah ikan-ikan yang kami beli di rasa cukup, kami pun kembali ke mobil dan bergerak menuju pos pendaftaran di sebelah utara pelelangan ikan. Kami tiba di pos pendaftaran kurang lebih jam 17.15. Sementara pak Kucing memarkir mobil, saya, Yudex, Jokaw dan Hamid mendatangi pos.
Terpajang tulisan Closed alias Tutup di kaca sebelah pintu pos.
Kami sempat speechless untuk beberapa saat...masa sih udah belanja ini itu, udah borong ikan untuk di bakar dan yang terutama udah jauh-jauh datang dari Jakarta koq gagal??!!
Memang banyak alternatif tempat lain untuk di kunjungi seperti Goa Cina, pantai Kondang Merak dll...TAPI kami datang untuk menjelajahi pulau Sempu.
Sekali Sempu ya Sempu.
Saat kami kebingungan, seorang petugas yang bernama "mr.X" datang menghampiri menawarkan "bantuan".(demi privasi saya tidak sebut nama). Setelah negosiasi yang cukup alot selama beberapa saat saya pun menyelesaikan kelengkapan "administrasi" yang diminta. Lucunya, walau "jalan belakang" saya tetap mengantongi Simaksi yang sah. Intinya sore menjelang maghrib itu, rombongan kami yang di wakili saya harus membayar jauh lebih mahal--- baik untuk perijinan, tarif guide hingga ongkos kapal yang antar jemput--- dibanding tarif normal agar bisa masuk ke Sempu. Ya sudahlah...aku rapopo...yang penting kami bisa masuk dan menjelajah Sempu. 5 menit menjelang jam 18.00 kapal bergerak membawa kami ke pulau Sempu. 

Semeru terlihat dari Sempu saat kami perjalanan pulang (30/5/14)

Waktu untuk menyeberang dari Pantai Sendang Biru ke Pulau Sempu ga lebih dari 10 menit saja. Hari sudah benar-benar gelap saat kami turun di bibir pantai. Saat itu sedang surut dan kami harus rela sedikit berjalan melintasi bagian pantai yang dangkal untuk mencapai pos jaga yang tak berpenghuni.
Sesaat sebelum memasuki hutan, kami di briefing oleh guide kami "mr. Z". Tentang aturan main dan sebagainya. Lalu tepat jam 18.30 kami mulai berjalan beriringan menapaki hutan Sempu.

Yudex, Gofur dan Saya sesaat sebelum pulang (30/5/14)

Dengan mengandalkan cahaya senter dan headlamp kami bergerak perlahan. Hutan Sempu ini rapat sekali (menurut saya)...bagi yang baru pertama datang dan tanpa guide atau teman yang sudah mengenal trek amat sangat mungkin akan tersesat. 

Hutan Sempu yg rimbun dan teduh

 Karakter trek awal di pulau Sempu ini adalah kombinasi akar bakau, akar pohon biasa dan tanah yang akan menjadi semi lumpur dan sangat licin jika turun hujan. Akar-akar yang menyilang tidak beraturan saling berkelindan dan tonjolannya sangat menyulitkan langkah kaki apalagi untuk perjalanan malam hari. Belum lagi ranting dan dahan yang melintang seperti tidak terlihat. Beberapa dari kami harus rela kepala terbentur dahan sebab pandangan mata lebih fokus ke arah bawah. Dalam kondisi trek kering perjalanan menuju Segara Anak bisa ditempuh dalam waktu 45-60 menit saja. Sedangkan dalam kondisi basah bisa dua kalinya.
Jarak bibir pantai tempat kami turun dari kapal dengan Segara Anak kurang lebih 2,5km.
1,5Km kami berjalan bertambah lagi kombinasi trek yang kami pijak. Kali ini kami harus lebih berhati-hati sebab banyak batu alam atau batu karang yang tajam disepanjang sisa rute.

Ceruk dan Gua menjelang Segara Anak (30/5/14)

Jernihnya air pantai Segara Anak (30/5/14)

Saya mencatat rombongan kami hanya 3 kali berhenti untuk beristirahat dan masing-masing tidak lebih dari 10 menit. Tangguh juga rupanya tim kami kali ini...Alhamdulillah. 200 meter menjelang Segara Anak trek kami berganti kesulitannya. Harus lebih ekstra hati-hati sebab selain batuan karangnya semakin tajam, trek juga menjadi sempit hanya bisa di lalui 1 orang saja, selain itu di sebelah kanan kami adalah air. Ketinggian antara jarak trek yang kami lintasi dengan permukaan air memang hanya sekitar 2-3 meter saja...tapi...tepiannya penuh dengan akar dan karang tajam. So??...itulah kenapa saya bilang kami harus ekstra hati-hati.
Syukur Alhamdulillah jam 19.35 kami berhasil tiba di Segara Anak, segera saja kami mencari lokasi untuk buka tenda. Saat itu, tempat-tempat yang ideal untuk buka tenda sudah "dikuasai" orang lain yang lebih dulu datang. Akhirnya kami terpaksa membuat Tenda di bagian yang dekat dengan tepian pantai. 1,5 jam kemudian kami sudah mulai beristirahat dan bersantai. Menikmati kopi, teh dan aneka camilan bekal.

Camp kami di tepian Segara Anak (30/5/14)

Tukang lawak kami : Hamid, Gofur n Yudex (30/5/14)

Segara Anak dg pasirnya yg lembut dan bersih (30/5/14)

Lubang di dinding karang tempat air laut masuk mengisi Segara Anak (30/5/14)

 Di komandoi oleh Yudex dan Hamid acara bakar ikan pun di mulai. Angin malam itu sangat bersahabat, cuaca cerah bertabur milyaran bintang. Damai dan tenang rasanya. Sesekali kami tertawa terbahak saat salah seorang dari kami melontarkan guyonan. Ya Allah...sudah lama saya ga merasakan suasana pantai setenang ini. Kami terus bercengkrama, bersantai hingga satu persatu tumbang ke alam mimpi. Saya sendiri tidur di luar beralas matras di temani Jokaw, Yudex, Hamid, Taufiq dan Bisri. Saya sempat melihat jam di tangan, jarum pendek menunjuk angka 3.

Foto diri di pagi hari...hehehe...(30/5/14)

Jam 5.30 saya bangun dan shalat. Selesai shalat bersama dengan rekan yang lain, saya duduk-duduk beralas pasir menikmati pagi yang damai. Sebagian dari kami naik ke bukit karang dan berfoto-foto. Pak Kucing dan mas Andi (suami mbak Prita) memancing di tepi tebing karang. Keindahan Segara Anak ini memang luar biasa, ga salah begitu banyak orang yang ingin mendatangi walau terkadang harus melanggar aturan seperti kami...(jangan ditiru ya!). Pasirnya begitu lembut...bersih...nyaris tanpa sampah. Hutannya asri...riak airnya tenang dan sangat sangat jernih...kontras dengan gelombang besar yang beradu dengan benteng karang di bagian sebelah luar, yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia.
Sebelum berkemas dan pulang kami puas-puaskan diri berenang di Segara Anak.


Foto bersama sebelum pulang (30/5/14)


 Alhamdulillah trip kami berakhir manis...Indonesia memang surganya petualang. Ga perlu kita jauh-jauh melancong keluar negeri sebab jutaan tempat eksotis di negeri kita masih belum tereksplor dengan maksimal.
Semoga saya dan rekan-rekan petualang bisa mempertahankan anugerah dari Allah yang luar biasa ini. Semoga anak cucu kita masih bisa ikut menikmati. Amin YRA. Salam Lestari. 

---The End of Journey---

More Info :
- BB : 745565CE
- WA only : 08111181225
- e-mail : cliff.klie@gmail.com

Trip to Mahameru n Sempu
24 Mei - 31 Mei 2014
Thanks to all :
Kukuh, Jokaw, Yudex, Risky, Bisri, Taufiq, Iwan, Hamid, Gofur, Reza, Andi, Adam, Prita, Ayu, Pak Kucing.

Selasa, 03 Juni 2014

Catatan Kecil dari 3676 mdpl



Mahameru 3676 mdpl
 
Minggu terakhir di bulan Mei, Sabtu siang itu gerbong 6 KA Gaya Baru Malam Selatan dipenuhi ratusan pendaki lengkap dengan "senjata" wajibnya yaitu keril-keril besar beraneka tipe dan merk. Hiruk pikuk di dalam gerbong membuat udara terasa panas, sampai-sampai hembusan udara dari AC yang di stel pada suhu 17°C tidak mampu menghilangkan butiran peluh yang membasahi sebagian pakaian. Duduk di jejeran bangku tengah rombongan kami yang terdiri dari saya Kukuh, Jokaw, Risky, Taufiq, Bisri, Iwan, dan Reza. 

KA yang kami tumpangi ini tujuan akhirnya adalah Stasiun Surabaya Gubeng. Dengan harga tiket Rp.55.000,- / orang, tertera jadwal tiba di tujuan pukul 1.50 dini hari. Bagi saya pribadi dan Jokaw bepergian dengan KA jarak jauh bukanlah hal baru, tetapi tidak bagi 5 rekan kami yang lain.
Satu jam sebelum KA yang kami tumpangi ini tertahan di Stasiun Tambun, dari kami bertujuh hanya saya dan Jokaw yang sudah saling kenal. Reza dan Taufiq berasal dari Kalimantan, Risky dari Jakarta sedangkan Iwan dan Bisri dari Pekalongan. Awalnya memang agak kaku untuk saling mendekatkan diri, tapi kesamaan tujuan mencairkan suasana.

Kami bertujuh memang punya satu tujuan yang sama yaitu berpetualang ala backpacker untuk mendaki gunung Semeru dan menyusuri eksotisme hutan dan pantai di Pulau Sempu. Rencana ini sudah saya susun sejak 3 bulan sebelumnya. Awalnya, meeting point yang di sepakati adalah Stasiun Pasar Senen tanggal 24 Mei 2014, tapi berhubung kami kehabisan tiket KA Matarmaja tujuan akhir Malang akhirnya kami berubah haluan berkumpul di Stasiun Jakarta Kota dengan tanggal yang sama. 

Cukup lama KA yang kami tumpangi ini tertahan di StasiunTambun, nyaris 1 jam dan imbasnya jelas, kami terlambat tiba dari jadwal yang seharusnya. Saat kami turun di peron Stasiun Surabaya Gubeng, jam yang tergantung di sudut stasiun menunjukkan pukul 3.45, kereta telat lebih dari 1,5 jam!!. Kami bergegas menuju pintu keluar lalu kembali masuk ke dalam stasiun untuk membeli tiket KA tujuan Malang.

Saya mengantri tiket sementara yang lain beristirahat. Alangkah kecewanya saya saat mengetahui tiket KA Penataran dengan jadwal keberangkatan pukul 5.00 sudah sold out. Dan dengan berat hati saya terpaksa membeli tiket untuk keberangkatan pukul 7.20 dengan harga tiket 25rb/orang, masih dengan nama kereta yang sama, hanya saja di tambah label Ekspress. Dalam pikiran saya saat itu yang penting kami tetap bisa tiba di Malang. Jadwal-jadwal yang sudah saya buatpun jadi agak berantakan dan mau tidak mau harus dibuat plan B sebagai alternatif. 

Sambil menunggu kereta kami pun meluruskan badan yang pegal, beralaskan lantai stasiun tidak mengurangi kenyamanan kami untuk tidur-tidur ayam. Udara subuh di Surabaya hari ini sama sekali tidak dingin bahkan cenderung membuat gerah...entah dengan hari yang lain atau bagi rekan yang lain, yang jelas saya merasa sedikit kepanasan.
Tepat jam 7.20 KA Penataran Ekspress yang kami tumpangi mulai bergerak menuju Malang. Di gerbong tempat kami duduk bergabung pula sekitar seratusan pendaki lain yang senasib seperti kami, harus memutar via Surabaya untuk menuju Malang. Saya mencoba untuk tidur tapi sepertinya mata enggan melewatkan pemandangan indah di luar sana. Hamparan sawah dan pepohonan seakan menjadi alas kaki bagi si kembar Arjuno Welirang ataupun Penanggungan. Nun jauh nampak pula pucuk Semeru mengeluarkan asap wedhus gembel.

Reza, Saya, Bisri, Taufiq dan Iwan (25/5/14)

Setelah 2,5 jam perjalanan akhirnya kami tiba di Stasiun Malang, tak lupa kami menyempatkan diri berfoto-foto sejenak. Kemudian saya menelpon Yudex, yang bernama asli Yudha, seorang rekan yang asli warga Malang dan akan ikut bergabung bersama kami berpetualang. Sambil menunggu Yudex saya mengambil form isian untuk memesan tiket kereta jurusan Malang - Surabaya. Karena KA Kertajaya yang akan kami tumpangi untuk pulang berangkat dari Stasiun Surabaya Pasar Turi. Ya, belajar dari pengalaman subuh tadi saat kehabisan tiket untuk jam keberangkatan yang di inginkan, saya bergegas memesan tiket untuk kami pulang tanggal 31 Mei. Tapi lagi-lagi saya kehabisan tiket untuk keberangkatan jam 9 pagi, ada opsi keberangkatan lebih pagi, pukul 7, tapi non seat dan akhirnya agar mendapat tempat duduk saya putuskan membeli tiket KA Tumapel dari Blitar dengan jam keberangkatan pukul 4.20, harga tiket tertera empat ribu rupiah...well...murah ternyata.

Jam di tangan saya menunjukkan pukul 10.30 saat Yudex datang menemui kami di stasiun. Saya pun mengenalkan dia dengan rekan-rekan yang lain. Yudex masih berpenampilan sama seperti awal saya kenal, kurus dengan janggut model kambing jawa...hehe..piss bro. Yup, Saya pertama kenal Yudex saat mendaki Semeru juga bulan Desember 2013, lelaki yang ramah dan humoris, menyenangkan-lah pokoknya. Setelah berbicara sejenak, kami sepakat bertemu di Tumpang pukul 13.00 karena Yudex masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya.

Untuk efisiensi tenaga, setelah melengkapi berkas-berkas yang di perlukan untuk pendaftaran masuk TNBTS seperti Surat Keterangan Sehat, fotokopi KTP dan materai kami mencarter angkot. Ongkosnya deal Rp.120.000,- untuk kami bertujuh. Jika tidak men-carter, untuk menuju Tumpang kami harus 2 kali berganti angkot dengan biaya yang kurang lebih sama saja.
Akhirnya pukul 12.00 kami tiba di Tumpang, tepatnya di rumah Pak Mun kenalan saya. Kami di sambut oleh Gofur putra pak Mun. Kebetulan Pak Mun sedang narik saat kami datang. Pak Mun ini memang supir Jeep angkutan bagi para pendaki atau pengunjung TNBTS. Rumah beliau yang terletak di Jalan Raya Tulus Ayu masih sama dari waktu terakhir saya dan Jokaw kunjungi, sederhana namun penuh kehangatan. Karena rencana awal menuju Ranupani sudah jauh terlambat akhirnya saya mem-briefing rekan-rekan untuk prepare pendakian malam hari. 

Saya jadwalkan kami meluncur ke Ranupani pukul 15.00 dari Tumpang.
Masih ada waktu 3 jam, kamipun membagi tugas, saya, Iwan dan Taufiq berbelanja logistik ke Pasar Tumpang sedangkan rekan yang lain mempersiapkan dan mengecek peralatan. 
Tumpang adalah kota kecil terakhir yang akan ditemui para calon pendaki atau pengunjung TNBTS, bisa dibilang Tumpang ini adalah kota transit. Para pendaki biasanya melengkapi segala keperluan sebelum mendaki disini, karena ada pasar yang cukup lengkap. Bahkan ada pula gerai peralatan outdoor. Saat kami berbelanja keperluan pendakian suasana di Tumpang nampak ramai sekali oleh lalu lalang pendaki yang sedang mempersiapkan diri. Selang 1,5 jam kemudian team pasar selesai menunaikan tugas belanja dan kembali ke rumah pak Mun dengan menumpang delman.
 Yudex masih belum muncul padahal sudah pukul 14.00 lebih. Bahkan hingga Jeep pak Mun datang, Yudex masih belum muncul. Saya pun agak merasa waswas. 

Akhirnya Yudex datang pukul 15.00. Segera kami kemas keril-keril dan susun di atas Jeep. Kami titipkan beberapa peralatan yang belum akan kami pakai di kamar Gofur. Tepat pukul 15.30 kami berangkat menuju Ranupani.
Cuaca yang cukup bersahabat menemani kami dalam perjalanan. Yudex dan Jokaw duduk di depan, sisanya di belakang, terbuka dan berdiri. 30 menit Jeep berjalan kami disuguhi pemandangan khas pegunungan...lintasan jalan yang hanya pas untuk 2 lajur mengharuskan sopir selalu berhati-hati. Kanan kiri jalan sebelum pertigaan Njemplang masih di dominasi rumah-rumah penduduk dan kebun-kebun apel khas Malang. Kabut lumayan tebal tapi belum mengganggu perjalanan. Tepat beberapa meter sebelum pertigaan Njemplang Pak Mun menepikan Jeep, memberikan kami kesempatan untuk berfoto-foto dengan background bukit teletubbies. Segera saja kami semua turun dan berfoto ria. Setelah 15 menit kami pun melanjutkan perjalanan. 

Jalanan pasca Njemplang agak rusak dan konturnya semakin curam. Agak ngeri juga kami di buatnya. Untuk saya pribadi walau sudah beberapa kali ke Semeru (ini kedatangan saya yang kelima) dan melewati jalur ini tetap saja ga mengurangi rasa khawatir akan keselamatan diri. Selama perjalanan kami melewati 2 buah air terjun, yaitu Coban Pelangi dan Coban Trisula dan 1 desa wisata yaitu Ngadas. 

Matahari sudah hilang dari pandangan saat kami tiba di pos Ranupani, jam di tangan menunjukkan pukul 17.15. Saya amati ada yang sedikit berubah dengan pos Ranupani, yaitu angkutan bagi para pendaki tidak lagi diperbolehkan masuk ke area pos dan kantor pendaftaran. Para pendaki harus turun di lapangan kecil yang bersebelahan dengan Ranu (danau) Pani, yang sekaligus area parkir bagi angkutan. Nampak beberapa Tenda berdiri disekitar tepian danau. Lumayan, jarak 300 meter berjalan dari lapangan ke pos pendaftaran kami anggap sebagai pemanasan saja.

Tiba di area pos Ranupani kami segera menuju pondokan Mak Yem untuk makan. Sampai saat itu kami masih berpikir akan mendaki malam hari. Saya memang sudah mem-booking untuk ijin mendaki tanggal 25 Mei sejak 1 minggu yang lalu. Peraturan booking ijin ini diberlakukan sejak tanggal 5 Mei 2014. Tujuannya untuk membatasi quota pendaki yang mengunjungi Semeru, sebab sebelumnya, tidak adanya kontrol jumlah pendaki harian telah menyebabkan kerusakan yang signifikan pada kondisi alam Semeru dan sekitarnya. Sambil menunggu makanan siap saya dan Bisri menuju pos pendaftaran. Hari sudah gelap dan petugas jaga di pos meminta kami untuk tidak mendaki malam ini. Saya sempat berdebat dengan petugas, berusaha memaksakan untuk tetap mendaki. Akhirnya petugas pos menyuruh kami menemui Pak Tuangkat, petugas pos sekaligus warga lokal. Melalui pak Tuangkat inilah saya memperoleh ijin quota mendaki. Tapi lagi-lagi upaya saya untuk meyakinkan beliau agar bisa mendaki malam ditolak dengan alasan keamanan. Punah sudah kengototan saya untuk mendaki malam ini. 

Gagal rencana mendaki tanggal 25 Mei. Walau kecewa dan gondok saya tidak mau nekat menerobos tanpa surat ijin yang sah. Sebagai leader saya tetap mengutamakan safety dan logika. Saya harus memberi contoh untuk rekan-rekan yang lain.
Dengan langkah gontai saya dan Bisri kembali ke pondokan Mak Yem, rekan-rekan yang lain sedang menikmati teh manis hangat yang disuguhkan beliau sambil menanti hidangan utama siap. 

Mak Yem, wanita paruh baya yang enerjik. Ramah terhadap siapa saja sekaligus tegas. Berkulit gelap, guratan kerut di wajahnya menunjukkan tempaan kerasnya kehidupan. Pondokan beliau di peruntukkan bagi pendaki yang ingin beristirahat dan menginap baik bagi yang baru akan mendaki atau kemalaman turun. Dengan membayar 10 ribu rupiah kita bisa menumpang tidur beralas karpet di aula pondokan beliau yang berukuran 8 x 5 meter. Tersedia pula kamar-kamar yang dilengkapi ranjang bagi yang mempunyai uang lebih. Tarifnya mulai 100ribu - 200ribu per malam. 

Mak Yem tidak menjual makanan atau melayani pendaki yang ingin makan kecuali sudah memesan 1 minggu sebelumnya. Kami bisa makan di pondokan beliau karena saya sudah memesan sejak seminggu sebelumnya. Tapi jangan khawatir bagi teman-teman pendaki yang belum pesan makanan, di area sekitar pos Ranupani banyak penjual makanan yang bisa dijadikan opsi lain.

Saya mengumpulkan rekan-rekan dan mengadakan briefing darurat tentang perubahan rencana pendakian. Rencana awal, kami akan mulai mendaki tanggal 25 Mei dan buka camp di Ranu Kumbolo di hari yang sama. Tanggal 26-nya kami lanjut ke Kalimati untuk camp kedua. Summit attack akan kami lakukan pada tanggal 27 dinihari lalu berlanjut turun dan buka camp kembali di Ranu Kumbolo. Esoknya tanggal 28 Mei barulah kami turun ke Ranupani. 

Saya jelaskan dan utarakan apa yang saya dapat dari petugas tadi. Saya pun coba berikan beberapa opsi alternatif. Opsi pertama, besok pagi-pagi tanggal 26 Mei kami start mendaki, nge-camp di Ranu Kumbolo lanjut ke Kalimati tanggal 27 untuk camp kedua dan summit attack tanggal 28 dinihari. Selesai summit kami langsung turun ke Ranupani di tanggal yang sama. Opsi yang kedua, bsk pagi kami start mendaki langsung menuju Kalimati, nge-camp lalu summit attack tanggal 27 dinihari. Selesai summit turun ke Ranu Kumbolo, buka camp kedua dan turun Ranupani tanggal 28 siang.

Dengan mempertimbangkan banyak hal akhirnya kami sepakat memilih opsi yang pertama...briefing pun selesai. Dan kami segera menggelar lapak untuk tidur di pondokan Mak Yem. Sambil makan dan beristirahat kami berbincang santai. Dan saya mulai kebiasaan saya yaitu mengukur dan menilai anggota tim ini. Hal seperti ini selalu saya lakukan untuk mengantisipasi dan mengetahui harus mengambil langkah seperti apa saat terjadi hal yang "mungkin" di luar rencana dalam hal teknis. Kesimpulan saya, Risky dan Bisri cukup tahan dingin, seperti halnya Jokaw, Taufiq mungkin akan sedikit bermasalah dengan bobot tubuhnya, Reza dan Iwan bermasalah dengan dingin dan yang lainnya standar saja.

Kurang lebih jam 21.00 kami mulai berjatuhan ke alam mimpi. Rasanya semua tertidur dengan pulas. Sempat saya dan Yudex bangun untuk membuka sleeping bag untuk Risky dan rekan yang lain yang terbangun karena kedinginan pada dinihari. Selebihnya kami kembali pulas dengan mimpi masing-masing. Sangat pulas sampai-sampai masing-masing dari kami tidak ada yang menyadari bahwa sempat turun hujan cukup deras malam tadi. Jam 5 subuh kami semua sudah terbangun...atau dibangunkan udara dingin...hehe...

Saya dan Jokaw beranjak ke Mushala untuk shalat. Jam 6 pagi kami mengisi perut dengan memasak mie instant. Selesai sarapan saya dan Bisri menuju pos jaga untuk mengurus pendaftaran. Cukup lama saya mengurus perijinan, dari jam 8 pagi sampai jam 10. Banyak pendaki yang mengeluh dengan sistem layanan yang acak-acakan bahkan berantakan. Saya sih maklum saja, namanya juga proses peralihan ke sistem yang lebih baik. Dulu juga Taman Nasional Gede Pangrango juga kacau di awal-awal menerapkan sistem online dan quota. Kalaupun ada yang agak saya protes adalah mahalnya biaya yang harus di bayar pendaki untuk masuk TNBTS. Bayangkan saja tarif hari normal di patok Rp.17.500/hari, sedangkan hari libur atau tanggal merah Rp.22.500/hari. Ambil standar waktu pendakian Semeru 4 hari untuk PP dengan rombongan berjumlah 5 orang saja sudah terlihat nominal yang harus di bayar. Misal hari kerja : 4 hari x Rp.17.500 x 5 org = Rp.350.000. Sedangkan jika hari libur maka hitungannya : 4 hari x Rp.22.500 x 5 org = Rp.450.000. Sebuah nominal yang sangat besar. 

Memang mendaki gunung bukanlah hobi yang murah tapi tidak juga mutlak di bilang mahal. Masih banyak cara lain untuk meningkatkan mutu layanan tanpa harus membebankan biaya pada pendaki. Ga salah jika akhirnya saya menganggap TNBTS adalah lokasi pendakian dengan biaya termahal saat ini dari segi perijinannya.


Bergaya di gerbang pendakian (26/5/14)


Sebelum mendaki kami semua di briefing oleh para volunteer di aula yang terletak di bawah pos pendaftaran sekaligus di cek kelengkapan peralatan terutama sleeping bag dan perbekalan. Briefing ini sifatnya wajib di ikuti, merupakan bagian dari sistem yang baru diterapkan. 

Setelah selesai segala sesuatunya kami pun mulai berjalan ke arah gerbang pendakian yang berjarak 400 meter dari pos. Rupanya di gerbang pendakian pun telah berdiri pos baru yang bertugas men-check ulang kelengkapan syarat administrasi para pendaki. Hmmm...lumayan ketat saya membatin. Seluruh pendakian ke Semeru dikonsentrasikan melalui gerbang ini sebab mulai tahun ini jalur pendakian via Ayek-ayek resmi ditutup dengan alasan keamanan.

Selesai di periksa untuk yang kali kedua saya mem-briefing rekan-rekan untuk posisi dalam mendaki. Reza saya tempatkan sebagai leader, berturut-turut di belakangnya Risky, Taufiq, Bisri, Jokaw, Yudex, saya dan Iwan sebagai sweeper. Saya tekankan pada rekan-rekan yang berjalan di depan agar memperhatikan posisi rekan yang dibelakangnya dan setiap bertemu pos harus berhenti dan berkumpul. Setelah berdoa kami pun memulai perjalanan. Cuaca cerah walaupun berkabut. Pos I kami capai setelah berjalan 1 jam 15 menit, 20 menit kami istirahat di pos I. Perjalanan menuju pos I ini adalah yang terpanjang, pendaki akan melewati shelter bayangan Landengan Dowo, vegetasinya cukup rapat dan rimbun.

Istirahat di Pos I (26/5/14)

 Memasuki area pos II pepohonan lebih terbuka walau masih tetap rimbun. Lewat tengah hari, tim sweeper yang juga tim porter beristirahat di shelter Watu Rejeng...sambil foto-foto tentunya...hehe.

Para Porter lg "ngaso" di Watu Rejeng (26/5/14)

 Alhamdulillah perjalanan kami cukup lancar dan jam 13.30 kami sudah tiba di pos III. Persis disebelah pos III trek berubah curam dengan kemiringan 70°-75°. Dalam kondisi lelah sekedar melihatnya saja sudah bikin males. Dalam perjalanan dari Ranupani menuju Ranu Kumbolo trek selepas pos III inilah yang paling berat. Walau tidak panjang tapi cukup menguras tenaga yang memang sudah terkuras apalagi bagi para porter seperti saya, Iwan dan Yudex. Setelah 15 menit istirahat di pos III kami melanjutkan pendakian. Debu-debu beterbangan setiap langkah kaki para pendaki menjejak trek. Debu yang sangat tebal dari tanah kering sehingga memaksa kami memakai masker. Terakhir saya mendaki dengan debu setebal ini saat di Lawu bulan Agustus 2006...efeknya batuk-batuk dan upil segede-gede gajah. 

1 jam lepas pos III akhirnya kamipun tiba di Ranu Kumbolo...danau suci suku Tengger, danau legenda yang luar biasa indah. Ga berlama-lama diam terpukau, saya instruksikan rekan-rekan yang lain untuk segera membuka tenda dan memasak. Posisi tenda kami berada tepat vertikal di bawah pos IV...cukup sepi dan ideal untuk beristirahat. Saya selalu memilih lokasi ini untuk camp saat mendaki Semeru dibandingkan camp di pos V Ranu Kumbolo.
Buka tenda di Ranu Kumbolo (26/5/14)



Camp kami di Ranu Kumbolo (26/5/14)
Ranu Kumbolo yg melegenda (27/5/14)
Sebelum ke Kalimati (27/5/14)


 Menu makan kami malam ini adalah sayur sop, nugget dan sosis goreng, nasi dan tak lupa teh manis hangat serta susu jahe...mantap...ekstra gizi. Selesai makan kami benahi peralatan ke dalam tenda barang---kami memang membawa 1 tenda yg dikhususkan untuk menyimpan barang dan logistik---lalu bersantai sambil membahas rencana perjalanan ke Kalimati esok hari. Diseberang danau ---pos V--- di bawah Tanjakan Cinta tak putus-putus iring-iringan cahaya headlamp pendaki yang turun dan buka camp.

Jam 5 pagi tanggal 27 Mei, hampir dari kami semua sudah terbangun. Seperti biasa saya shalat subuh terlebih dulu. Risky, Reza, Taufiq dan Bisri sibuk berfoto-foto dan mengejar sunrise. Sementara saya dan yang lain mulai "masuk dapur" untuk menyiapkan sarapan sebelum kami melanjutkan pendakian. Saya menjadwalkan jam 9 pagi kami sudah selesai sarapan dan berkemas. Entah badan saya yang error atau memang benar Ranu Kumbolo tidak lagi terasa dingin seperti yang sudah saya alami sebelum-sebelumnya. Bahkan minyak goreng saja tidak membeku. 

Sepertinya perubahan iklim sangat signifikan berpengaruh terhadap alam Semeru. Apa yang akan terjadi 5-10 tahun ke depan??  Saya ga berani membayangkan...saya hanya berharap dan berdoa anak cucu saya masih memperoleh kesempatan untuk menikmati keindahan alam ini.
Nasi, mie goreng, sosis, nugget, kerupuk ikan dan omelet telur jadi pengisi perut kami pagi ini. Ditutup dengan teh tubruk manis dan hangat. Selesai sarapan kami berbagi tugas, Taufiq, Iwan dan Bisri mencuci  peralatan masak, saya, Jokaw, Risky dan Yudex membongkar tenda.

Tanjakan Cinta (27/5/14)


Tepat jam 9 pagi kami melanjutkan perjalanan menuju Kalimati. Saya mewajibkan masing-masing membawa air sebagai bekal. Target saya dengan berjalan santai jam 14.00-15.00 kami sudah sampai di Kalimati.
 Rintangan pertama tentunya Tanjakan Cinta...trek menanjak dengan kontur tanah bercampur pasir ini memanjang sejauh 150 meter. Melewati trek ini pada siang hari rasanya "sesuatu banget" alias nguras tabungan tenaga. Belum lagi debu yang tebal. Tapi Alhamdulillah seluruh anggota tim relatif tidak menemui kendala atau lama tertahan di Tanjakan Cinta. Tiba di puncak tanjakan kami beristirahat sebelum menyusuri Oro-oro Ombo. Vegetasi di puncak tanjakan ini satu-satunya tempat berteduh sebab selepas ini hingga awal pos Cemoro Kandang adalah padang rumput terbuka tanpa peneduh. Untuk meminimalisir dehidrasi kami beristirahat cukup lama. 20 menit waktu yang kami perlukan untuk melewati Oro-oro Ombo...dari atas bukit sebelum turun ke Oro-oro Ombo saya sempat mem-foto puncak Semeru yang mengintip di balik gunung Kepolo.
Masuk Oro-oro Ombo, puncak Mahameru di balik Gn. Kepolo


Jam 10.30 kami sampai di pinggiran Cemoro Kandang. Cuaca siang ini panas dan berdebu...menyulitkan kami untuk bernafas. Perjalanan menuju pos VII Jembangan sebenarnya relatif ringan dan landai, tapi ya itu tadi, faktor panas dan debu yang menyulitkan langkah-langkah kami. Jam 12.00 kami tiba di punggungan bukit yang terakhir, tinggal berjalan turun lalu kembali naik kami pun  akan tiba di Jembangan. Cukup lama kami istirahat di punggungan bukit ini...pake acara tidur-tiduran segala. Kurang lebih jam 12.30 kami tiba di pos Jembangan.

Saya, Jokaw dan Yudex di Jembangan

Puncak Mahameru dr Jembangan (27/5/14)

 Ada hal lucu yang saya ingat, mungkin juga cuma saya yang ngeuh...waktu Jokaw tiba di Jembangan spontan dia melakukan sujud syukur, saya pikir itu dilakukan tanpa tujuan apa-apa. Lalu saya bertanya "ngapain lu sujud syukur?", dia jawab "lah, kita udah sampe kan?". Saya pun tertawa terbahak sambil menjelaskan bahwa ini baru Jembangan, kita akan buka camp di Kalimati yang jaraknya sekitar 30 menit lagi dari Jembangan. Setelah mendengar penjelasan saya mimik wajah Jokaw berubah lemas...hehe.

Saya semangati saja bahwa Kalimati benar-benar sudah dekat dan trek nya menurun.
Di Jembangan ini jika cerah puncak Mahameru terlihat sangat jelas, salah satu spot wajib untuk foto-foto dan kami beruntung sebab siang hari ini cuaca cerah. Kami pun bergantian untuk mengabadikan momen dan pemandangan yang indah dengan background puncak Mahameru. Sesekali terlihat wedus gembel keluar dari puncaknya.
Puas berfoto-foto, jam 13.00 kami menyusuri trek menurun menuju Kalimati. Daaaan...30 menit berselang nampaklah di hadapan kami pos Kalimati...sebuah lapangan yang sangat luas penuh sesak dengan warna warni tenda pendaki. Entah ada berapa tenda yang berdiri disana saat kami tiba siang itu, yang jelas kami sempat kesulitan mencari tempat untuk membuka camp.

Pos Kalimati siang tanggal 27 Mei 2014

Camp Ground kami di Kalimati (28/5/14)

Alhamdulillah saat kami agak kebingungan tempat ada rombongan pendaki yang sedang berkemas, sepertinya mereka sudah mau pulang. Lokasinya sangat ideal untuk camp. Benar saja, rejeki kami, mereka memang mau pulang dan dengan "senang hati" kami menerima "warisan" lokasi tersebut untuk camp kami. Segera kami dirikan tenda dan memasak. Jokaw dan Iwan berangkat mengambil air ke Sumber Mani. Sumber Mani adalah satu-satunya sumber air yg ada di Kalimati. Posisinya ke arah selatan, jika menghadap ke arah puncak maka kita berjalan ke kanan. 

Kurang lebih 45-60 menit waktu yang di perlukan untuk pergi pulang ke Sumber Mani. Trek menuju Sumber Mani cukup curam dan melelahkan, oleh sebab itu pendaki harus tetap berhati-hati. Saya memasak nasi dan makanan lainnya. Selang 1 jam Jokaw dan Iwan kembali. Kami mengira-ngira kebutuhan air hingga besok, akhirnya saya putuskan untuk mengambil air lagi ke Sumber Mani. Kali ini yang berangkat saya, Bisri dan Taufiq. Kira-kira jam 16.30 kami semua sudah kembali berkumpul di camp. Beristirahat, mempersiapkan segala keperluan untuk summit sambil menunggu masakan matang. 

Berdasarkan keterangan-keterangan yang kami dapatkan, kami sepakati untuk mulai summit attack jam 22.00. Trek menuju puncak memang trek baru, tidak melewati Arcopodo melainkan langsung melalui belakang pos Kalimati ke arah kanan kemudian tembak lurus vertikal hingga ke puncak. Beberapa kawan pendaki yang ngobrol dengan kami bercerita perjalanan menuju puncak menjadi sangat-sangat lambat karena banyak nya antrian pendaki...terkadang menumpuk di beberapa spot karena kelelahan sehingga menghambat pendaki yang di belakangnya selain karena sempitnya trek hingga lepas batas vegetasi. Tak ingin mengalami hal yang sama maka kami putuskan untuk summit mulai jam 22.00.
Menjelang maghrib kami mengerubungi hidangan  yang sudah siap santap. Sop, bakwan, nugget dan sosis , kali ini dilengkapi puding campur biskuit sebagai pencuci mulut. Kami berlomba memenuhi ruang yang kosong dalam lambung masing-masing. 

Jam 19.00 kami istirahat...saya berusaha tidur tapi ga bisa, entah kenapa mata ini ga ngantuk. Selain itu Yudex memulai teror nya "spreading gas" alias kentut tiada henti...terpancing Yudex saya pun ikut meramaikan pesta kentut malam itu...efeknya rekan-rekan kami di tenda sebelah dengan rela ikut menikmati aromanya....hmmm...sedapnya..secara sejak hari minggu kami tidak pup...hahaha.

Lelah tertawa saya pun tertidur dan baru terbangun jam 21.30. Segera saya bangunkan Iwan dan yang lain. Saya kenakan jaket dan gaither, mengisi daypack dengan air, P3K serta roti dan biskuit. Dari kami ber-8 Jokaw dan Yudex tidak ikut summit karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Setelah berdoa dan saya beri pengarahan, kami pun memulai pendakian yang sesungguhnya.

Rupanya bukan hanya kami yang memutuskan lebih awal u/ summit...puluhan bahkan ratusan pendaki lain juga melakukan hal yang sama. Dan bisa dipastikan malam ini akan terjadi lagi antrian panjang pendaki menuju puncak Mahameru.
Perjuangan ke puncak Mahameru (28/5/14)

Nampak Pos Kalimati jauh di bawah (28/5/14)

20 menit awal semua rencana berjalan lancar walau Taufiq setiap beberapa langkah berhenti, di luar itu tidak ada hambatan berarti selain trek pasir yang berulang kali longsor. Memasuki jam 23.45 langkah pendaki semakin tersendat-sendat. Hanya bisa berjalan 2-3 langkah lalu berhenti 1-2 menit...begitu terus seperti berpola. Cara jalan yang seperti ini membuat tubuh kehilangan panas, akibatnya dingin semakin menusuk dan menguras cadangan energi dari tubuh. Belum lagi debu tebal yang terkungkung dalam trek yang sempit. Kombinasi yang pas untuk memicu stress. 

Mau marah juga percuma...jadi saya lebih memilih sabar saja, gunung ini kan milik bersama, mendaki adalah perjuangan bersama walau tidak saling kenal. Dalam kondisi tidak mengantri dan normal diperlukan waktu sekitar 2 jam untuk melewati batas vegetasi (Cemoro Tunggal)... kali ini saya menghabiskan waktu nyaris 4 jam. Lepas dari batas vegetasi saya lirik Casio ditangan saya...tertera pukul 2.15...wew...campur aduk pikiran saya saat itu. Formasi kami pada saat itu Reza yang terdepan, di ikuti Bisri, saya , Iwan, Risky dan Taufiq. Semakin ke atas nafas terasa semakin berat dan kering.

 Selain karena faktor debu yang luar biasa juga karena langkah kaki kami yang seakan sia-sia dan tak pernah maju. Melangkah di trek pasir yang dalamnya lebih dari mata kaki memang memerlukan kesabaran dan kekuatan ekstra. Maju 2 langkah...merosot 1-2 langkah...kadang 3 langkah. Begitu terus selama 4 jam terakhir. Seperti jalan ditempat.
Saat sunrise muncul, saya masih jauh dari puncak. Taufiq dan Risky sudah tidak terlihat lagi...saya dalam posisi yang sulit, antara mencari Taufiq dan Risky atau menyusul Reza dan Bisri. Ke empat rekan ini memang belum pernah dan mengenal trek Semeru dengan baik. Setelah menimbang-nimbang saya putuskan menyusul Reza dan Bisri. Sementara Iwan terus berjalan di samping saya.
Kondisi saya sempat drop jam 4 subuh...saya rebahkan badan saya sembarangan saja di jalur pendakian hingga tanpa sadar saya tertidur beralaskan pasir dan batu yang dingin. Saya sudah tidak lagi berpikir apa-apa saking lelahnya. Ternyata Iwan pun sama...tertidur di sebelah saya...kami tidur tanpa pelindung dari angin dan debu. Mungkin ada 15-20 menit kami berdua tertidur sebelum terbangun dan melanjutkan mendaki.

Sunrise tanggal 28/5/14

Kurang lebih pukul 5.30 saya temui Bisri sedang duduk sendiri di atas batu. Saya suruh dia untuk membuka perbekalan yang ada di dalam daypack nya. Saya suruh dia untuk makan, saya khawatir dalam kondisi dingin dan perut kosong akan menimbulkan masalah baru nantinya. 30 menit kemudian giliran Reza yang saya temui sedang duduk sendiri juga. Saat itu puncak tinggal 30 menit lagi, dengan sisa-sisa tenaga yang ada saya paksakan untuk terus summit. Di antara kami berempat, saya lah yang kondisinya paling drop...faktor "U" sepertinya...hehe. Alhamdulillah tepat jam 6.35 langkah kaki saya menjejak tanah datar...tidak lagi saya temukan bagian yang lebih tinggi untuk didaki.

Saya di atap tanah Jawa 3676 mdpl (28/5/14)

Inilah puncak Mahameru... puncak idaman setiap pendaki. Atapnya pulau Jawa...3676 mdpl. Tanggal 28 Mei 2014.
Akhirnya saya berhasil mencium batuan puncaknya lagi untuk kali yang ketiga...tak tertahan air mata saya...(tapi tetap saya tidak mengijinkan rekan yang lain melihat air mata saya).  Alhamdulillah...Subhanallah...terima kasih Ya Allah. Terima kasih...
Sementara saya larut dengan pikiran saya...Iwan, Bisri dan Reza berfoto-foto. Dan tepat jam 7.00 saya instruksikan kami semua untuk turun ke camp Kalimati.

Bisri, Iwan, Saya dan Reza di puncak Mahameru
 
Saya dan yang lain turun setengah berlari di sebelah kanan jalur. Di bagian sebelah kiri yang merupakan punggungan masih berduyun-duyun pendaki yang akan menuju puncak, entah jam berapa mereka akan mencapai puncak. 

Ada semacam tatapan iri mungkin saat melihat kami turun seolah tanpa beban. Semangat kawan!! raih puncakmu...terus berjuang seperti kami berjuang dinihari tadi. 
Hanya butuh 1 jam untuk kembali mencapai batas vegetasi sebelum kami turun melalui jalur lama, Arcopodo. Saya masih memikirkan bagaimana kondisi Risky dan Taufiq. 

Syukur Alhamdulillah jam 8.30 saat saya tiba di pos Kalimati saya melihat mereka berdua sedang sarapan di antara penjual makanan. Saya bergabung, pun begitu dengan Iwan dan Bisri. Saya meminta maaf pada keduanya tidak mengawal mereka dalam perjalanan summit.
Jam 9 kami tiba di camp, disambut Jokaw dan Yudex yang sedang memasak sarapan. Sementara Reza sudah berselimut sleeping bag di dalam tenda. Jadwal kami turun adalah jam 11.00. Masih ada waktu 2 jam untuk makan dan berkemas.

Saat summit pagi tadi rupanya memakan korban pendaki dari Jakarta. Kakinya cedera parah...luka terbuka hingga tulangnya terlihat akibat tertimpa longsoran batu besar. Pendaki tersebut akhirnya di evakuasi dengan bantuan 3 orang porter warga lokal. Alhamdulillah tim kami semua tidak mengalami cidera apapun...saya memang cidera di bagian paha kiri tertimpa batu tapi tidak serius.
Sejauh ini apa yang kami rencanakan dan jadwalkan masih berjalan dengan baik. 

Tepat jam 11 kami beranjak meninggalkan Kalimati menuju pos Ranupani. Perjalanan menuju Ranupani pun sangat lancar walau kami tiba dibawah selepas waktu maghrib saat hari sudah malam. Di Ranupani, dipondokan Mak Yem kami kembali mengisi perut sekaligus berpamitan sebelum melanjutkan perjalanan kembali pulang ke Tumpang.

Bersambung...petualangan berikutnya kami ke Sempu...don't miss it...night adventure.