Senin, 09 Juni 2014

(Gagalnya)...Menikmati Pagi di Lembah Surya Kencana TNGGP

        
Sy meniti Rawa Gayonggong TNGGP

 Saya lupa persisnya sudah berapa kali saya mendaki Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Yg sy ingat terakhir sy kesana tahun 2011 awal bulan Februari. Nah, pd kesempatan ini sy ingin menceritakan tentang trip sy yg terakhir itu. Di pendakian 3th silam itu sy berangkat dg 2 org rekan. Dan sayangnya pd saat itu kami tdk berhasil tembus ke puncak, pendakian kandas di atas Tanjakan Rante atau lebih populer dg nama Tanjakan Setan setelah kami di hajar hujan badai selama lebih dr 6 jam. Inilah trip pertama sy ke TNGGP dimana sy tdk berhasil summit.

Saat itu sy memang ga punya rencana matang apalagi merencanakan u/ mendaki TNGP, hanya sebatas usulan spontan saja ketika sy sedang ngobrol-ngobrol dg bbrp teman di sebuah Mall di utara Kota Bogor, sy mengajak mendaki Gunung Gede 2958 mdpl, tp rupanya celetukan sy itu di tanggapi serius oleh 2 rekan sy Wandi dan George. Wandi, laki-laki enerjik sebaya dg sy, belum menikah, berperawakan cukup atletis, kulit putih dan mata sipit khas turunan Tionghoa. Sedangkan George adl yg paling tua, usianya menjelang kepala empat. Dg tubuh tinggi kurus, kulit gelap, rambut tipis nyaris botak dan hampir selalu ceria, di antara rekan2 satu tongkrongan, kami menjulukinya cowok matic. Mungkin teman2 heran knp dia di panggil cowok matic?? Sy jg awalnya bingung kenapa panggilannya spti itu, tp setelah dijelaskan barulah sy tau alasan adanya julukan itu. Karena George ini gigi bagian depannya sudah habis sebelum tua alias ompong. Mobil / motor dg transmisi otomatis atau tanpa persneling alias gigi kan disebut matic....naaah...begitu juga dg si George ini, berhubung sudah ga punya gigi makanya di panggil cowok matic....hehe...aya-aya wae.
Dan persamaan kedua rekan sy ini adl sm sekali blm pernah masuk hutan atau punya pengalaman naik gunung.
Seperti biasanya, sy selalu me-list keperluan2 yg harus di siapkan. Standar safety first selalu sy kedepankan. Dan berhubung 2 rekan ini blm memiliki alat team jadilah sy harus rela membawa peralatan team yg kebetulan memang lengkap sy miliki---lagi2 jd porter. Karena cm bertiga sy putuskan membawa tenda Summer Time saja yg ringan, tp sy jg membawa flysheet ukuran 4x5m, sengaja sy bawa yg size besar u/ antisipasi.
Tak lupa sy kontak kenalan sy di TNGP u/ membantu pengurusan ijin booking pendakian.
Kami bersepakat akan berangkat hari Jumat sore / malam dg meeting point di rumah si George.
Berhubung letak TNGP tdk terlalu jauh dr Bogor ---hanya sekitar 2 jam--- maka kami putuskan u/ bawa kendaraan sendiri. Bergantian saja kami nyetir...menyusuri jalanan malam yg basah oleh hujan. Ya, memang saat itu sedang puncak musim hujan. Memasuki kawasan Puncak kami lbh berhati-hati sebab kabut sedang turun dan cukup tebal. Seperti biasa, Puncak dg ikon mesjid At-Ta'awun- nya selalu ramai di padati para pengunjung baik siang ataupun malam. Pemandangan Kota Bogor dr sini memang sangat indah, tak heran byk org tak pernah bosan u/ sekedar menghabiskan malam di temani segelas bandrek, kopi ataupun jagung bakar.
Kurang dr 2 jam kami tiba di basecamp pendakian Cibodas. Alhamdulillah jalanan sgt lancar. Untuk pendakian ini memang sy memilih jalur Cibodas u/ PP, karena trek nya lbh landai, ga apa lah jalurnya lbh panjang yg penting 2 rekan sy ga "kaget". Biasanya, setiap sy mendaki TNGP sy selalu melewati jalur Cibodas untuk naik dan via jalur Gunung Putri u/ turun atau sebaliknya. 
Sekedar info saja, TNGP ini terletak dlm tiga wilayah kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Untuk mencapai TNGP jika datang dr arah Jakarta dg menumpang Commuter Line maka teman2 turun di pemberhentian akhir atau stasiun kereta api Bogor. Keluar stasiun perjalanan dilanjutkan dengan naik angkutan kota (Angkot) 03 jurusan Terminal Baranang Siang dengan tarif 2500 rupiah per orang. Teman2 jika keluar stasiun berjalan ke arah Polresta Bogor saja dan jangan menyebrang jalan untuk naik Angkot 03, naiklah angkot 03 yg ngetem di depan Taman Topi seberang Polresta, sebab jika menyebrang justru menuju arah yg berlawanan.
Jika jalanan lancar perjalanan menuju Terminal Baranang Siang bisa ditempuh dalam waktu 20 menit saja, tp jika macet bisa dua kalinya. Mintalah untuk diturunkan di Damri. Setelah turun angkot berjalanlah ke arah jembatan penyeberangan. Tepat di sebelah kiri jembatan penyeberangan adl Jalan Cidangiang, disitu banyak Colt-colt Mitsubishi berwarna putih. Itulah angkutan yg akan dinaiki selanjutnya untuk menuju Cianjur, istilahnya mobil Cianjuran. Tarif untuk sampai Cibodas / Cipanas kira-kira 10.000 rupiah / org. Dari pertigaan Cibodas perjalanan menuju basecamp dilanjutkan dg angkot bertarif sekitar 5000 rupiah / org. Jika akan lewat jalur Gunung Putri maka teman2 turun di Cipanas dan melanjutkan perjalanan dg angkot yg terdapat di belakang pasar (turun mobil putih Cianjuran lalu nyebrang ke arah belakang pasar).
Seingat sy saat itu pukul 23.00...dan sy sampaikan pd 2 rekan sy bahwa pendakian akan di mulai besok pagi jam 7. Sambil menunggu pagi kami beristirahat di warung Pak Obix. Malam itu kami begadang sambil menikmati hidangan yg disuguhkan beliau.
Matahari pagi tdk terasa hangat, karena tertutup mendung. Berdasarkan pengalaman, dg melihat kondisi, sepertinya siang / sore ini hujan akan turun. Kami bersiap dan berkemas dan tepat jam 7 pagi, setelah berfoto dan berdoa kami mulai pendakian. Sambil menyalakan sebatang rokok ---saat itu sy masih perokok berat--- sy berjalan perlahan. Sy memposisikan diri sbg sweeper. Aktifitas warga disekitar basecamp Cibodas blm byk dimulai. Kios2 di kanan kiri jalan baru satu dua saja yg buka. Hanya bbrp kelompok anak2 berseragam merah putih nampak meramaikan pagi yg sepi.

Kondisi trek selepas Panyangcangan

Rute awal pendakian kami menyusuri jalanan yg disusun dr batu-batu. Jalan berbatu dg lebar sekitar 1,5m ini trs menjadi kawan kami di 1 jam awal perjalanan. Dlm perjalanan menuju pos Panyangcangan kami berhenti bbrp kali, salah satunya di shelter Telaga Biru. Telaga Biru ini adl sebuah danau yg terletak di sebelah kiri jalur pendakian. Warna telaga bisa berubah menjadi biru karena adanya reaksi plankton thd cahaya matahari. Di telaga ini jg dilengkapi dermaga kecil yg berfungsi sbg anjungan pengamatan burung.
Sy sempat duduk cukup lama di tengah trek, masih disekitar area Telaga Biru...di tepian sungai kecil yg airnya jernih dan dingin. 

Awal Jembatan Rawa Gayonggong
Air terjun yg sy temui saat menuju Pos Pemandangan

Setelah itu kami berhenti lg cukup lama di Jembatan Rawa Gayonggong u/ berfoto-foto, puncak Pangrango 3019mdpl terlihat jelas dr sini. Dulunya trek rawa ini tdk dilengkapi jembatan, sehingga pendaki harus berjalan zigzag memilih-milih batu sbg pijakan agar tdk nyemplung di genangan air. Rute ini memanjang nyaris 1,5km. TNGP ini memang di anugerahi sumber2 air yg sangat melimpah hingga menuju ke puncak. Jd para pendaki tdk perlu khawatir tentang air u/ perbekalan. Hutan yg rimbun dan di dominasi pohon2 tinggi besar menjadikan perjalanan di siang hari pun terasa nyaman dan sejuk. Vegetasi rapat ini terus ditemui hingga lepas Tanjakan Setan.
2 jam waktu yg kami butuhkan u/ mencapai Pos Panyangcangan, catatan waktu yg sangat lambat. Tp sy berusaha memaklumi, 2 rekan sy ini blm pernah mendaki. Pos ini adalah sebidang tanah yg ckp luas, cukup u/ membangun 3-4 tenda. Terdapat bangunan permanen yg cukup besar, terkadang pendaki yg egois sering membuat tenda di dlm bangunan ini. Konon dulunya pos ini adalah tempat menyimpan / mengikat (Nyangcang) kuda bagi orang yg akan naik. Berjalan turun dr pos selama 15-20 menit kita bisa menemukan air terjun yg indah. Air terjun ini lah yg dijadikan destinasi bagi pengunjung yg tdk mendaki. Setelah menghabiskan sebatang rokok kamipun melanjutkan perjalanan. Arah trek persis berada di balik bangunan pos. Kondisi trek pasca Pos Panyangcangan ini agak lebih curam di banding sebelumnya. Kombinasi tanah bertipe lempung dg bebatuan dan sedikit akar. Trek jg mengecil lebarnya menjadi sekitar 1 meter saja. Di mulailah perjalanan memutari bukit2. Tujuan berikutnya adl Pos Pemandangan. U/ efisiensi waktu, sy katakan pd Wandi dan George kita akan istirahat lama di Pos Pemandangan atau Pos Air Panas. Butuh waktu hampir 3,5jam u/ kami tiba di Pos Pemandangan. Saat sy tiba, bangunan permanen 2 lantai disebelah kiri jalur yg menjadi pos sudah hancur 80%. Sungguh sangat disayangkan. Pos ini adl area yg cukup luas ---lebih luas dr Panyangcangan--- sesuai namanya pos ini sering digunakan u/ mengamati dan menikmati pemandangan, walau posisinya terlindung oleh pohon2 besar.
Para pendaki jg umumnya beristirahat sejenak di pos ini sebelum bergerak melintasi Air Terjun Air Panas...apalagi saat kabut sedang tebal. Jarak antara Pos Pemandangan dan Pos Air Panas tidak lbh dr 400m, jarak terpendek antar pos di TNGP.

Rimbunnya hutan dilihat dr Pos Air Panas
Sy dan Wandi

Setelah sy rasa cukup waktu kami beristirahat, sy instruksikan 2 rekan sy u/ mulai melanjutkan perjalanan. George sy posisikan sbg leader, sy ditengah dan Wandi paling akhir. Trek menurun harus kami lewati selepas pos Pemandangan, daaan...nampak di hadapan kami jalur Air Terjun Air Panas berselimut uap tebal menyerupai kabut. Sy bersyukur saat melintas cuaca hanya mendung, sehingga memudahkan kami u/ melewati. Cukup sering sebelum2nya sy harus agak merangkak saat melintas trek ini karena turun kabut yg tebal. Jika turun hujan, maka bisa dipastikan setelah hujan reda trek akan tertutup kabut dan uap hasil pertemuan udara panas dan dingin.
Awal meniti Air Terjun Air Panas
Bebatuan licin yg menjadi ciri khas Air Terjun Air Panas
Kiri air panas kanan jurang...pilih mana??

Dlm catatan sy ttg pendakian TNGP, Air Terjun Air Panas ini pernah memakan korban jiwa. Rute ini walau pendek ---tdk lebih dr 300m--- tp cukup membahayakan.
Guyuran air panas di sebelah kiri trek bisa mencapai suhu 80°C, pendaki hrs berjalan berhati-hati meniti bebatuan yg berwarna hitam dan licin oleh lumut hasil reaksi belerang selama "mungkin" ribuan tahun. Di sela bebatuan itu mengalir jg air panas. Di sebelah kanan trek adl jurang yg cukup dalam dan hanya berpengaman seutas tali sling besi dg diameter 0,8-1 cm yg di pancang pd patok2 besi berjarak 2-3 meter. Pilihan yg sulit bagi pendaki pemula...rapat kekiri badan akan basah terkena air panas...rapat ke kanan, beresiko terpeleset ke jurang jika tdk hati2. Alhamdulillah, kami bisa melintasi dg aman dan selamat. Lalu kami pun beristirahat sejenak di Pos Air Panas.
Pos berikutnya yg kami tuju adl Kandang Batu. Disebut demikian karena byk sekali batu2 besar disekitarnya...terdapat pula aliran air yg jernih dan bisa di jadikan tambahan perbekalan jika persediaan air menipis. Jam sudah menunjukkan pukul 13.30. 1,5 jam kemudian ---akibat lambatnya kami berjalan--- barulah kami berhasil mencapai Pos Kandang Badak.

Sy dan Wandi istirahat di Pos Kandang Badak
Sy dan George memasak makan siang
Kondisi trek menuju Kandang Badak

Pos Kandang Badak ini merupakan areal yg sgt luas dan selalu dijadikan pilihan u/ ngecamp oleh para pendaki sebelum summit attack. Di pos ini terdapat bangunan permanen letaknya disebelah barat dekat dg sumber air. Di sekitar pos ini, dekat sumber air jg terdapat tanaman sejenis Pohpohan ckp berlimpah, yg bisa dimakan dan dijadikan tambahan lauk (u/ lalapan).
Sore itu sy memutuskan tdk buka tenda di Kandang Badak melainkan hanya istirahat makan saja. Karena kami sangat lambat ---normalnya cukup 5-6 jam saja u/ mencapai Kandang Badak--- sy putuskan kami akan ngecamp dipuncak saja.
Setelah mengisi perbekalan terutama air kami pun melanjutkan pendakian jam 16.00.
Tak lama kemudian kami tiba di pertigaan, kiri puncak Gede, kanan puncak Pangrango. Dr pertigaan ini, masih diperlukan waktu 3-3,5 jam lg u/ mencapai puncak Pangrango. Pangrango dg puncaknya yg rimbun dg vegetasi jg memiliki alun-alun yg bernama Mandalawangi, yg jg  merupakan salah satu tempat favorit mendiang Soe Hok Gie.
Dlm perhitungan sy, setelat-telatnya jam 19.00 kami sudah tiba di puncak. Tp hitungan hanya sebatas hitungan, manusia bisa berencana tp kuasa akhir Allah yg menentukan. 1 jam selepas Kandang Badak, saat kami baru saja tiba di bawah Tanjakan Setan, dimulailah "teror" alam. Gumpalan awan hitam yg terlihat sejak kami di Kandang  Batu kini bermetamorfosa menjadi hujan angin yg menurut sy luar biasa...di tambah kilatan petir sambar menyambar. Posisi kami saat itu, sy di pertengahan Tanjakan Setan dan 2 rekan sy di bawah. Demi keselamatan, sy turun kembali ke bawah tanjakan. Sy buka carriel u/ mengambil flysheet, 2 rekan sy kebingungan ---mungkin ga tau harus berbuat apa dihajar badai spti ini---. Lokasi di dasar Tanjakan Setan adl bidang sempit tidak rata dan berbatu-batu. Ditambah terbuka dan menjadi tempat aliran air. Komplit sudah u/ "menyiksa" kami.
Kondisi Wandi drop, spti org hilang orientasi. Akhirnya otomatis hanya sy dan George yg msh bisa bertindak dg "normal". Berkoordinasi dg George sy membuat bivak darurat. Badan sy sudah basah kuyup, begitupun George. Kondisi tempat yg tdk ideal itu membuat flysheet besar yg sy bawa hanya bisa menjadi bivak ukuran 1,5 x 1 meter, dg tinggi ga lebih dr 80cm bisa di bayangkan bagaimana keadaan kami saat itu. Perlahan tp pasti air mulai mengalir di sela2 kaki kami dan terpaksa dlm kondisi tersebut kami jongkok agar tdk semakin basah.  Hujan trs turun, angin yg menelusupi sela ranting pepohonan pun menimbulkan suara beralun, kami terperangkap entah sampai kapan.

Kondisi trek

Pikiran sy menerawang,  teringat 13th silam, bbrp puluh meter di bawah shelter Tanjakan Sareuni gunung Ciremai sy mengalami situasi yg nyaris sama. Saat itu sy bersama sahabat2 Amazon ---nama Pecinta Alam fakultas kami di IPB---- mendaki Ciremai via jalur Linggajati dlm rangka pelantikan Angkatan III. Hampir 20 org dr kami terperangkap hujan yg sangat besar, u/ berlindung kami hanya mengandalkan selembar flysheet. Selama kurang lebih 2 jam kami meringkuk jongkok seperti anak ayam dlm lindungan sayap induknya. Hingga saat hujan reda banyak dr kami yg tumbang, entah muntah-muntah, kaki kram atau kedinginan. 
Dan demi teringat itu, u/ kali ini sy merasa telah melakukan blunder, u/ pertama kalinya sy merasa membuat keputusan yg salah. Seharusnya tadi kami buka camp saja di Kandang Badak, tdk memaksakan diri ngejar summit. Jika itu dilakukan mungkin sekarang kami bisa berlindung dg nyaman dr badai ini. Lamunan sy terhenti saat Wandi menggigil hebat, sy curiga dia mulai kena Hypo, bahaya besar kalo kami tetap diam disini.
Sy bicara dg George, sy bilang sy akan turun bbrp meter ke bawah mencari tempat yg lbh baik u/ buka camp. Berbekal headlamp, pisau dan ponco yg sobek sy keluar dr bivak, menerobos gelap u/ mencari lokasi camp. Sempat sy berpikir u/ turun kembali ke Kandang Badak, tp selain cukup jauh jg resikonya terlalu besar dlm cuaca spti ini dan ada rekan yg sakit. Kurang lebih 20 meter turun, saat pijakan kaki sy sudah bertemu tanah sy arahkan sorotkan headlamp ke sebelah kiri, sy amati konturnya diantara deras hujan, setelah sy rasa memenuhi syarat u/ mendirikan tenda, segera sy beri tanda dg batang pohon kecil yg sy patahkan lalu sy kembali ke atas u/ mengambil carriel dan menjemput kedua rekan sy.
Sy membagi tugas dg George sambil mengemasi carriel.  Lalu kami turun dan membangun bivak lg u/ berlindung Wandi yg sudah kedinginan hebat. Sy saja yg sehat merasa menggigil. Saat itu mungkin menjelang pukul 21.00, secara tiba2 hujan mengecil. Sy pun memanfaatkan momen itu u/ mempercepat membangun tenda. Selang 15 menit tenda berdiri sy suruh Wandi masuk, lalu sy dan George membuka flysheet sesuai kapasitas maksimalnya, kami buat pula space u/ teras dan tak lupa membuat parit. Tepat saat tali pengunci flysheet yg terakhir terpasang hujan pun turun lg dg derasnya. Sy nyalakan minilamp u/ dlm tenda, sy perhatikan Wandi sudah agak biru bibirnya, badannya trs bergetar hebat. Sy suruh u/ dia ganti pakaian tp diam saja, di bantu George akhirnya bisa Wandi berganti pakaian. Sy sendiri sudah tdk memakai baju, hanya celana pendek, pakaian sy yg basah sy lemparkan begitu saja di luar tenda. Sy bongkar carriel...sy susun matras dan buka sleeping bag. Teringat materi dlm Diksar jaman ikut pecinta alam dulu, sy masuk ke dlm sleeping bag selama bbrp menit. Akhirnya ada jg hal yg bisa sy praktekkan dr Diksar tsb, justru dlm kondisi yg benar2 diluar dugaan. Tujuan sy masuk dlm sleeping bag adl u/  men-transfer panas tubuh sy agar terkungkung dlm kantong. Setelah sy rasa cukup, sy keluar dan menyuruh Wandi u/ masuk. Sy tanya George bagaimana kondisinya, dan Alhamdulillah kondisi fisik George msh "aman". Hujan msh blm berhenti, sebenarnya sy ingin membuat minuman panas dan sejenisnya u/ menghangatkan badan, tp entah hawa dingin yg menusuk dan tenaga yg terkuras membuat sy merasa enggan u/ sekedar keluar tenda. Sy tengok di sebelah sy Wandi sudah tdk terlalu menggigil, hanya sesekali meracau dan mengeluh sakit kepala. Sy menarik nafas lega, tindakan awal penanganan gejala Hypo berhasil, tinggal penanganan selanjutnya yaitu memberi asupan makanan agar panas tubuh terjaga. Di sebelah Wandi, George sudah tertidur, sesekali dia jg menggigil. Sy buka drybag, sy hidupkan HP u/ melihat jam, tertera 00.20...hujan sudah reda hanya menyisakan gerimis kecil, sudah lewat tengah malam. Sy lalu membuka logistik, sy bangunkan kedua rekan, sy paksa u/ mengisi perut walaupun sedikit. Ga lama kemudian sy pun tertidur. Kurang lebih jam 5.30 sy bangun. Sy kenakan jaket polar warna hijau lalu sy keluar u/ observasi lokasi. Saat sy sedang melihat-lihat sekeliling, George pun keluar. Kami ngobrol lalu sepakat u/ tdk summit attack mengingat kondisi kami yg berantakan pasca di hajar badai lbh dr 6jam. Hati kecil sy sebenarnya ga rela menerima kenyataan gagal muncak, apalagi tinggal 1,5 jam lg. Tp sy berusaha realistis, kalo hanya mengejar obsesi pribadi memang sy bisa, tp jika ada kawan yg di korbankan jg sy ga mau, ego sy besar tp sy lbh menghormati dan menjaga sikap dan sifat kebersamaan. Safety first tetap sy junjung. U/ menghibur diri dan menunggu mentari bersinar lbh terang, sy mengajak George mendaki Tanjakan Setan. Angin lembab bekas hujan semalam bercampur kabut pagi menyapu tubuh kami...bbrrr...dinginnya msh saja membuat tubuh menggigil.

Puncak Pangrango 3019 mdpl dr puncak Tanjakan Setan

Tiba di puncak Tanjakan Setan kami membalikkan badan dan nampaklah puncak Pangrango berdiri gagah, berselimut kabut tipis memancarkan aura beku. Sy diam menatap bbrp saat lamanya. Hari ini sy belajar lg tentang kebersamaan. Sy dipaksa menyerah oleh gunung yg notabene sudah sy hafal diluar kepala, gunung yg sudah kelewat sering sy daki. Sy kandas "dirumah sendiri", kenyataan "pahit" yg harus selalu sy ingat. Bahwa tdk ada yg pasti dlm pendakian, bahwa sesering apapun, sekuat apapun, sehebat apapun mudah saja alam menelan kita...manusia tdk bisa mendikte. Alhamdulillah sy dan rekan terutama Wandi masih diberi keselamatan u/ kembali pulang. Itu yg sangat sy syukuri hingga hari ini. Mengutip kalimat Reinhold Messner..."inti mendaki gunung adl kembali pulang dg selamat, menggapai puncak hanyalah bonus".




Taman Nasional Gunung Gede Pangrango - Februari 2011.

Kukuh - Wandi - George

1 komentar:

  1. Om, ane mau mendaki tanggal 1 Nov tapi ane dan rekan" tidak bisa berangkat untuk booking, dan pembookingan online sudah penuh ada yg bisa bantu untuk perjalanan ane dan teman", karena baru kali ini bisa kumpul juga neh.

    WA 081288697097

    BalasHapus