Rabu, 16 Juli 2014

Into Thin Air --- Bab I

Sebenarnya tulisan di bawah ini adalah 100% salinan dari buku favorit saya yang berjudul Into Thin Air. Sebuah buku karangan Jon Krakauer, seorang jurnalis sekaligus penggiat kegiatan alam bebas asal Amerika. Buku terbitan tahun 1997 milik saya ini sudah mulai lapuk, kombinasi seringnya saya baca dan usia kertasnya. Ya, saya memang sangat suka buku ini, selain karena merupakan kisah nyata tentang Tragedi pendakian Everest di tahun 1996 juga sarat dengan ilmu pengetahuan. Demi menyelamatkan buku ini, karena sudah tidak beredar lagi, saya memutuskan untuk menyalinnya di Blog saya, agar saya bisa tetap membacanya dikemudian hari dan tidak khawatir akan hilang atau rusak.


Bab I ---- Puncak Everest 10 Mei 1996, 29.028 kaki.

       Berdiri diatas puncak dunia, satu kaki di wilayah Cina dan satu lagi diwilayah Nepal, aku membersihkan butiran-butiran es dari masker oksigenku. Dengan bahu membungkuk karena terjangan angin, aku memandang tanpa sadar ke bawah, ke arah dataran Tibet yg luas. Samar-samar dan tanpa pemahaman penuh, aku menyadari bahwa bumi yg terhampar di bawah kakiku merupakan pemandangan yg sangat menakjubkan. Selama berbulan-bulan aku selalu memimpikan saat-saat seperti ini, serta luapan emosi yg menyertainya. Namun sekarang, setelah akhirnya aku tiba ditempat ini, ketika aku benar-benar berdiri di Puncak Everest, aku hampir-hampir tidak memiliki energi peduli itu semua.
      Saat itu siang hari, 10 Mei 1996. Aku belum tidur selama lima puluh tujuh jam. Satu-satunya makanan yg mampu ku telan dalam tiga hari terakhir hanyalah sup ramen dan segenggam coklat kacang M&M. Batuk hebat yg menyerangku selama dua minggu terakhir membuat dua tulang rusukku bergeser, sehingga bernapas normalpun terasa menyakitkan. Pada ketinggian troposfer 29.028 kaki, sangat sedikit oksigen yg bisa masuk kedalam otakku sehingga kapasitas mentalku sama dengan mental seorang anak yg terbelakang. Dalam kondisi seperti itu, aku hampir-hampir tidak bisa merasakan apa-apa kecuali rasa dingin dan lapar.
      Aku tiba dipuncak ini beberapa menit setelah Anatoli Boukreev, seorang pemandu gunung asal Rusia yg bekerja untuk sebuah perusahaan pendaki gunung komersial milik warga Amerika, dan hanya beberapa saat sebelum Andy Harris, seorang pemandu untuk sebuah tim yg berbasis di Selandia Baru, yaitu kelompokku sendiri. Aku kurang mengenal Boukreev, tetapi aku mulai akrab dan menyukai Harris selama enam minggu terakhir ini. Dengan cepat aku mengambil empat foto Harris dan Boukreev yg sedang berpose dipuncak gunung, berbalik dan kembali menuruni gunung. Jam tanganku menunjukkan pukul 13.17. Total aku berada diatap dunia itu hanya selama kurang dari lima menit.
      Beberapa menit kemudian, aku berhenti lagi untuk mengambil foto, kali ini kamera kuarahkan ke bawah, ke arah lereng Tenggara, rute yg kami lalui saat mendaki. Ketika aku sedang mengarahkan teropongku pada sekelompok pendaki yg sedang bergerak menuju puncak, aku menyadari sesuatu yg selama ini luput dari perhatianku. Di arah selatan,yg sejam lalu masih berlangit biru cerah, kini diselimuti awan gelap, termasuk di atas Pumori, Ama Dablam dan beberapa puncak yg lebih rendah dari Everest.
     Lama kemudian --- setelah enam tubuh tak bernyawa berhasil ditemukan, setelah upaya pencarian dua pendaki yg hilang dihentikan, setelah ahli bedah memotong kaki rekan satu timku, Beck Weathers, karena membusuk --- orang-orang mulai bertanya-tanya, jika cuaca benar-benar mulai memburuk, mengapa para pendaki yg berada dilereng yg lebih tinggi mengabaikan tanda-tanda tersebut? Mengapa para veteran pemandu gunung Himalaya terus mendaki, memandu sekelompok pendaki yg relatif belum berpengalaman --- yg masing-masing sudah mengeluarkan 65 ribu dollar agar dituntun dengan selamat sampai ke Puncak Everest --- menuju perangkap kematian yg tampak begitu jelas?
      Tidak ada yg bisa menjawab atas nama dua pemandu yg memimpin kedua tim tersebut karena keduanya sudah tewas. Namun berdasarkan pengamatanku pada siang hari, 10 Mei tersebut, aku bisa mengatakan bahwa tidak ada satu tanda pun yg menunjukkan bahwa badai mematikan sedang mengancam. Dalam otakku yg sudah kehabisan oksigen, awan yg membubung di atas lembah es yg indah yg dikenal sebagai Cwm (baca Koom) Barat* sama sekali tidak tampak berbahaya, halus dan tidak pekat. Berkilat dibawah sinar matahari siang, awan-awan itu lebih menyerupai kondensasi uap air yg naik dari lembah, seperti yg selalu terjadi hampir setiap sore hari.
      Ketika aku mulai menuruni gunung, aku benar-benar cemas, tetapi kecemasanku tidak ada kaitannya dengan cuaca: setelah memeriksa meteran pada tabung oksigenku, aku menyadari bahwa tabung itu hampir kosong. Aku harus turun kembali secepat mungkin.
      Bagia teratas dari punggung Everest yg berada di lereng Tenggara merupakan batuan ramping berbentuk sirip yg penuh dengan tonjolan dan lapisan es yg mengeras karena terjangan angin, melingkar sepanjang seperempat mil antara puncak utama dan puncak yg lebih rendah , yg dikenal dengan nama Puncak Selatan (South Summit). Menuruni lereng yg bergerigi tersebut tidak membutuhkan teknik pendakian yg tinggi, tetapi rute tersebut sangat terbuka. Setelah meninggalkan puncak, dan berjuang keras selama 15 menit diatas jurang sedalam 7000 kaki (tiga kaki sama dengan satu meter), aku tiba diatas Hillary Step yg terkenal berbahaya, sebuah takikan dalam di punggung gunung yg hanya bisa ditaklukkan dengan teknik dan manuver tingkat tinggi. Ketika aku selesai mengaitkan diri ke jalur tali yg tersedia dan bersiap untuk menuruni bibir gunung, aku disambut oleh sebuah pemandangan yg mengejutkan.
       Tiga puluh kaki dibawahku, lebih dari selusin pendaki sedang antri di kaki Hillary Step. Tiga pendaki sedang memanjat tali yg baru saja siap kuturuni. Sadar bahwa aku tidak punya pilihan, aku melepaskan diri dari jalur tali itu, menepi.
      Antrian pendaki tersebut berasal dari tiga tim pendaki: timku sendiri, sekelompok klien yg dipimpin oeh seorang pemandu komersial ternama asal Selandia Baru, Rob Hall; tim pendaki lain yg dipandu oleh Scott Fischer, seorang warga Amerika; dan sebuah tim pendaki nonkomersial yg terdiri atas beberapa pendaki asal Taiwan. Dengan gerakan seperti siput, kecepatan mendaki normal pada ketinggian diatas 26.000 kaki, antrian pendaki tersebut berjuang keras menuju puncak Hillary Step, satu demi satu, sementara aku terus menghitung waktu dengan perasaan cemas.
      Tak lama kemudian, Harris, yg meninggalkan Puncak Everest tidak lama sesudahku, sudah berdiri disampingku. Untuk menghemat oksigen, aku meminta Harris merogoh kedalam ransel punggungku dan mematikan katup oksigenku, dan dia melakukannya. Sepuluh menit berikutnya aku merasa benar-benar nyaman. Kepalaku terasa jernih. Aku bahkan merasa sepertinya perasaan lelahku berkurang dibanding  dengan saat-saat sebelum oksigenku dimatikan. Kemudian, tiba-tiba saja aku merasa seperti tercekik. Pandanganku kabur dan kepalaku mulai berputar. Aku hampir-hampir kehilangan kesadaran.
     Dalam keadaan dirinya sendiri yg kekurangan oksigen, tanpa sengaja Harris justru membuka katup tabung oksigenku lebar-lebar dan bukan menutupnya, mengosongkan oksigen dari dalam tabungku. Aku telah menyia-nyiakan persediaan terakhir oksigenku. Ada tabung lain yg menungguku di Puncak Selatan, 250 kaki dibawahku, tetapi untuk mencapainya aku harus menuruni medan paling terbuka dari seluruh rute pendakian, tanpa bantuan oksigen.
      Selain itu, aku juga harus menunggu sampai seluruh pendaki yg antri dibawahku benar-benar habis. Aku melepaskan topeng oksigenku yg sekarang sudah tidak berguna lagi, menghunjamkan kapak es ku ke badan gunung yg membeku dan menunggu dengan terbungkuk-bungkuk di lereng gunung. Aku menyalami para pendaki yg melewatiku, sementara batinku berteriak dengan kalut: "Cepatlah, ayo, cepatlah sedikit! Sementara kalian berlambat-lambat disini, aku kehilangan jutaan sel otak!".
      Hampir semua pendaki yg melewatiku berasal dari tim Fischer, tetapi diakhir antrian aku melihat dua anggota timku, Rob Hall dan Yasuko Namba. Yasuko, pendaki yg rendah hati, sederhana dan pendiam, serta berusia empat puluh tujuh tahun ini, empat puluh menit lagi akan menjadi wanita tertua yg berhasil menaklukkan Everest, dan wanita Jepang kedua yg berhasil menaklukkan puncak tertinggi di masing-masing benua, yg dikenal sebagai Tujuh Puncak (Seven Summit). Meskipun berat tubuhnya hanya empat puluh lima setengah kilogram sosoknya yg mungil seperti burung gereja menyimpan tekad yg sangat kuat; secara sangat mengagumkan, Yasuko terus bergerak menuju puncak, didukung oleh hasrat yg menggebu-gebu.
      Beberapa saat kemudian Doug Hansen tiba di puncak Hillary Step. Doug adalah salah seorang anggota timku, seorang pegawai kantor pos disebuah desa di Seattle dan selama di gunung ini dia sudah menjadi teman terdekatku. "Ada didalam ransel!" teriakku mengatasi suara angin, berusaha keras agar suaraku terdengar lebih optimis dari yg kurasakan. Sambil terengah-engah karena kelelahan, Doug menggumamkan sesuatu dari balik topeng oksigennya, sesuatu yg tidak bisa kutangkap, menjabat tanganku dengan lemah, kemudian bergerak lunglai menuju puncak.
      Diakhir antrian, aku melihat Scott Fischer yg kukenal sepintas. Kami sama-sama tinggal di Seattle. Kekuatan dan semangat Fischer sudah melegenda --- pada 1994 dia mendaki Everest tanpa bantuan oksigen --- karenanya, aku agak terkejut saat mengamati gerakannya yg sangat lambat dan melihat kelelahan yg tampak diwajahnya saat dia melepaskan topeng oksigennya untuk mengucapkan salam. "Bruuuuuce!" desisnya dengan kegembiraan yg dipaksakan, meneriakkan salam gaya anak muda yg sudah menjadi ciri khasnya. Ketika kutanyakan keadaannya, Scott menjawab bahwa dia baik-baik saja, "Aku cuma merasa sedikit lelah, tidak tahu kenapa. Tapi tidak masalah." Setelah Hillary Step benar-benar kosong, aku mengaitkan diri ke jalur tali berwarna jingga itu, meloncat memutari tubuh Fischer yg sedang roboh diatas kapak es nya dan mulai berayun menuruni tebing.
       Arlojiku menunjukkan pukul tiga lewat beberapa menit ketika aku  tiba dipuncak Selatan. Saat itu kabut tipis mulai naik  ke atas Puncak Lhotse yg berada pada ketinggian 27.923 kaki dan menyelimuti  bagian bawah puncak piramid Everest. Cuaca tidak lagi tampak ramah. Aku mengambil sebuah tabung oksigen yg baru, menghubungkannya dengan regulator oksigenku dan dengan cepat menuruni punggung gunung menembus gumpalan awan. Beberapa detik setelah aku melewati Puncak Selatan, salju tipis mulai turun dan pemandanganpun mulai mengabur.
       Empat ratus kaki diatasku, dipuncak Everest yg masih bermandi cahaya matahari, dibawah naungan langit yg biru, teman-temanku sedang berpesta merayakan keberhasilan mereka menaklukkan puncak planet ini, mengibarkan bendera dan membuat beberapa foto, menghamburkan setiap detik yg sangat berharga. Tidak seorang pun yg pernah membayangkan bahwa bencana yg menakutkan sedang mengintai. Tidak ada yg menduga bahwa dipenghujung  hari itu, setiap detik akan menjadi sangat berarti.

*Nama Cwm Barat, diucapkan kum, diberikan oleh George Leigh Mallory yg melihatnya pertama kali saat melakukan ekspedisi pertama ke Everest pada 1921 dari Lho La, sebuah jalan diatas gunung yg terletak diperbatasan antara Nepal dan Tibet. Cwm adalah istilah yg berasal dari bahasa Welsh yg berarti lembah atau cekungan yg sangat dalam. 

Bersambung.....

5 komentar:

  1. Terima kasih sudah share buku ini. Setelah menonton film Everest jd penasaran akan kisah nyata dari cerita film tersebut dan googling utk mencari referensi, finally ketemu blog ini. Salam kenal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2...hanya memang blm selesai sy salin seluruhnya sebab tebal bukunya.
      Salam kenal juga ya.

      Hapus
  2. Iya, saya jg mau cari2 di toko buku bekas Kali aja masih ada. Silahkan mampir di blog saya ya ervitanw.blogspot.co.id/2015/04

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus