Kamis, 17 Juli 2014

Into Thin Air --- Bab III

DI ATAS WILAYAH INDIA UTARA --- 29 MARET 1996 --- 30.000 KAKI

Setelah dua jam berada diatas pesawat Thai Air penerbangan 311 dalam perjalanan dari Bangkok ke Kathmandu, aku meninggalkan tempat dudukku dan berjalan ke bagian belakang pesawat. Didekat kamar kecil, dilambung kanan pesawat, aku membungkuk dan mengintip melalui jendela yg letaknya kira-kira setinggi pinggangku, berharap aku bisa melihat sekilas beberapa puncak gunung. Aku tidak kecewa: jauh disana, menjulang dibatas cakrawala, aku melihat gerigi dari puncak-puncak Himalaya. Aku tetap berdiri dekat jendela sampai penerbangan berakhir, terpesona, menunduk diatas sebuah karung sampah berisi kaleng-kaleng soda yg sudah kosong dan sisa-sisa makanan yg tidak habis disantap, wajahku menempel keras pada Plexiglas yg dingin.
       Aku langsung mengenali puncak Kanchenjunga yg besar dan lebar dengan ketinggian 28.169 kaki diatas permukaan laut, puncak tertinggi ketiga di bumi. Lima belas menit kemudian, Makalu, puncak tertinggi kelima, mulai tampak --- dan akhirnya, tidak diragukan lagi, aku melihat figur Everest.
        Ujung puncak piramid yg berwarna hitam gelap itu tampak dengan jelas, menjulang tinggi ditengah-tengah punggung gunung yg mengelilinginya. Menjulang tinggi sampai ke ketinggian jet stream (angin yg bertiup diatas ketinggian 10-25km dengan kecepatan lebih dari 400km/jam, dan umumnya bertiup dari arah barat, gunung itu menghasilkan topan berkecepatan 120 knot, melepaskan butiran-butiran es yg meluncur ke timur bagaikan selendang sutra. Saat aku menatap butiran-butiran es tersebut, tiba-tiba saja aku sadar, bahwa puncak Everest berada pada ketinggian yg sama dengan ketinggian pesawat jet yg sedang membawaku menembus surga. Bahwa aku sudah menawarkan diri untuk mendaki sebuah puncak yg tingginya sama dengan lintasan sebuah pesawat Airbus 300, tiba-tiba menyadarkanku akan sebuah kegilaan, atau barangkali lebih buruk lagi. Telapak tanganku terasa berkeringat.
       Empat puluh menit kemudian aku sudah mendarat di Kathmandu. Ketika aku sedang berjalan menuju lobi setelah melewati pabean, seorang pria muda bertubuh besar dengan wajah bersih dari janggut menatap dua koper besar yg kubawa dan mendekatiku. "Apakah Anda Jon?" tanyanya dengan aksen Selandia Baru yg khas sambil menatap sekilas pada sehelai kertas fotokopi berisi foto-foto dari para klien Rob Hall. Dia menjabat tanganku dan memperkenalkan diri sebagai Andy Harris, salah satu pemandu Hall yg akan mengantarku ke hotel kami.
       Harris, tiga puluh satu tahun, berkata bahwa dia masih menunggu seorang klien lain yg tiba dengan pesawat yg sama dari Bangkok, seorang pengacara dari Bloomfield Hills, Michigan, berusia lima puluh tiga tahun, Lou Kasischke. Kami harus menunggu satu jam sebelum Kasischke menemukan tas nya dan sambil menunggu, Andy dan aku saling bertukar cerita tentang beberapa pendakian sulit yg pernah kami lakukan didaerah barat Kanada, kemudian membahas perbedaan antara ski dan selancar salju. Minatnya yg sangat besar terhadap pendakian dan antusiasmenya terhadap gunung yg menggebu-gebu, mengingatkanku pada masa-masa ketika mendaki gunung masih menjadi bagian hidupku yg terpenting, ketika semua tujuan hidupku terkait dengan gunung-gunung yg kudaki, atau yg kuharap akan kudaki suatu hari nanti.
       Sesaat sebelum Kasischke --- pria bertubuh tinggi atletis, berambut keperakan dan sikap yg keningrat-ningratan --- keluar dari antrian pabean, aku bertanya kepada Andy, sudah berapa kali dia mendaki Everest. "Sebenarnya," dia mengaku dengan suara ceria, "ini merupakan pengalaman pertamaku, sama seperti Anda. Aku ingin tahu, bagaimana penampilanku diatas sana."
       Hall sudah memesankan kamar untuk kami di Hotel Garuda, sebuah bangunan terbuka dan funky ditengah-tengah Thamel, wilayah turis yg paling sibuk di Kota Kathmandu. Hotel itu terletak disebuah jalan sempit yg dipenuhi riksha dan para pejalan kaki, dan sudah lama dikenal oleh para anggota tim ekspedisi yg akan mendaki Himalaya. Dindingnya dipenuhi foto-foto dengan tanda tangan para pendaki ternama yg pernah menginap ditempat itu: Reinhold Messner, Peter Habeler, Kitty Calhoun, John Roskelley, Jeff Lowe. Ketika aku sedang menaiki tangga menuju kamarku, aku melewati sebuah poster empat warna bertuliskan "Trilogi Himalaya", dengan gambar Puncak Everest, K2 dan Lhotse --- puncak tertinggi, kedua tertinggi dan keempat tertinggi didunia. Dilatar depan tampak seorang pria berjanggut yg sedang tersenyum lebar dengan tanda-tanda kebesaran seorang pendaki. Tulisan dibawah gambar menunjukkan bahwa pendaki itu adalah Rob Hall; poster yg sengaja dibuat untuk memasarkan bisnis pemandu gunung, Adventure Consultants, milik Rob Hall tersebut mengingatkan orang pada penaklukkan tiga puncak yg dilakukannya dalam waktu dua bulan pada 1994.
       Sejam kemudian bertemu langsung dengan Rob Hall. Tingginya kira-kira enam kaki tiga atau empat inchi, kurus seperti tiang. Mukanya kemerahan seperti anak-anak, tetapi dia tampak lebih tua dari usianya yg tiga puluh lima tahun --- barangkali karena beberapa kerutan tajam diujung matanya, atau karena penampilannya yg berwibawa. Dia memakai kemeja Hawaii dan celana Levis yg sudah pudar dengan tambalan lutut bergambar simbol Yin dan Yang. Segumpal rambut berwarna coklat menutupi dahinya. Janggutnya yg kasar bagai jarum tampaknya perlu dicukur.
       Selain pandai bergaul, Hall juga pandai melucu dengan kejenakaan yg cerdas khas orang Selandia Baru. Hall sedang menceritakan sebuah anekdot lucu tentang seorang turis Prancis dengan seorang pendeta Budha dan seekor yak berbulu tebal, mengakhiri anekdotnya dengan kerlingan nakal, berhenti sebentar menunggu reaksi kami, kemudian tertawa dengan suara keras dan menggelitik, tidak mampu menahan diri mendengar kelucuan ceritanya. Aku segera menyukainya.
       Hall dilahirkan ditengah-tengah keluarga Katolik dari kelas pekerja di Kota Christchurch, Selandia Baru, sebagai anak termuda dari sembilan bersaudara. Meskipun berotak cerdas dan ilmiah, diusianya yg kelima belas dia meninggalkan sekolah setelah bertengkar hebat dengan salah seorang guru yg sangat otoriter. Pada 1976 dia mulai bekerja untuk Alp Sports, sebuah pabrik setempat yg memproduksi alat-alat mendaki gunung. "Dia bekerja serabutan, melakukan tugas apa saja, memperbaiki mesin jahit dan pekerjaan sejenisnya," kenang Bill Atkinson, yg sekarang sudah menjadi pendaki dan pemandu kawakan dan pernah bekerja bersama-sama Hall di Alp Sports. "Karena kepandaiannya berorganisasi yg sudah tampak menonjol bahkan saat usianya baru enam belas atau tujuh belas tahun, dengan cepat Hall diberi kepercayaan untuk menangani semua aspek yg terkait dengan produksi perusahaan.
       Sejak beberapa tahun sebelumnya Hall sudah menyukai olahraga lintas alam, dan ketika dia mulai bekerja untuk Alp Sports, dia mulai menekuni panjat tebing dan mendaki gunung es. Dia belajar dengan cepat, kata Atkinson yg kerap menjadi mitra Hall dalam mendaki gunung, "dan punya kemampuan untuk menyerap semua keahlian dan sikap semua orang."
       Pada 1980, ketika Hall berusia sembilan belas tahun dia ikut dalam tim ekspedisi Ama Dablam melalui Lereng Utara yg sulit untuk dicapai. Ama Dablam adalah gunung dengan ketinggian 22.294 kaki yg keindahannya tak tertandingi dan terletak lima belas mil  diselatan Everest. Dalam pendakian tersebut yg merupakan kunjungan pertamanya ke Himalaya, Hall memutuskan untuk melakukan ekskursi hingga ke Base Camp Everest dan memutuskan bahwa suatu hari nanti dia akan mendaki puncak tertinggi didunia tersebut. Dibutuhkan sepuluh tahun dan tiga kali upaya pendakian sebelum akhirnya pada Mei 1990, Hall mencapai Puncak Everest sebagai pemimpin dari sebuah kelompok ekspedisi dengan Peter Hillary, putra Sir Edmund Hillary sebagai salah satu anggota tim. Dari Puncak Everest, Hall dan Hillary mengabarkan langsung berita tentang keberhasilan mereka melalui radio ke seluruh Selandia Baru dan dari ketinggian 29.028 kaki dia menerima ucapan  selamat dari Perdana Menteri Geoffrey Palmer.
       Saat itu Hall sudah menjadi pendaki profesional penuh waktu. Seperti rekan-rekannya sesama pendaki, dia juga mencari perusahaan-perusahaan sponsor untuk mendanai ekspedisi Himalaya yg sangat mahal. Dan dia cukup cerdik untuk memahami bahwa semakin banyak perhatian yg diberikan media pada dirinya, semakin mudah dia bisa membujuk berbagai perusahaan untuk membuka buku cek mereka. Ternyata, Hall sangat piawai dalam mencetak namanya kedalam koran dan majalah, dan menampilkan wajahnya dilayar televisi. "Ya," Atkinson mengakui, "Rob memang punya bakat khusus dalam mencari publisitas."
       Pada 1988, seorang pemandu asal Auckland bernama Gary Ball bergabung dan menjadi mitra utama Hall dalam pendakian sekaligus menjadi teman terdekatnya. Ball dan Hall mencapai Puncak Everest pada 1990 dan segera setelah keduanya tiba kembali di Selandia Baru, mereka menyusun rencana untuk mendaki puncak-puncak tertinggi di tujuh benua, seperti yg dilakukan Dick Bass --- tetapi dengan menambah tingkat kesulitan, yaitu melakukannya dalam waktu tujuh bulan*. Karena Everest puncak tersulit dari ketujuh puncak tersebut sudah mereka taklukkan, Hall dan Ball dengan mudah mendapat sponsor dari sebuah perusahaan elektronik besar, Power Build, dan mulai bergerak untuk mewujudkan misi mereka. Pada 12 Desember 1990, hanya beberapa jam sebelum batas waktu tujuh bulan yg mereka tetapkan berakhir, keduanya tiba dipuncak ketujuh --- Vinson Massif, gunung dengan ketinggian 16.067 kaki, gunung tertinggi diwilayah Antartika --- keberhasilan yg disambut hangat dinegara asal mereka.
      Dibalik kesuksesan mereka, Hall dan Ball cemas memikirkan prospek jangka panjang dari karier mereka sebagai pendaki gunung profesional. "Agar bisa terus disponsori perusahaan," kata Atkinson, "seorang pendaki harus terus meningkatkan prestasi mereka. Pendakian selanjutnya harus lebih sulit dan lebih hebat dari yg terakhir, seperti lingkaran spiral yg akan semakin mengecil; sampai akhirnya Anda tidak akan lagi mampu mengatasi tantangan. Rob Hall dan Gary Ball mengerti bahwa cepat atau lambat kejayaan mereka akan memudar atau mereka akan celaka dan tewas.
       "Akhirnya mereka memutuskan untuk beralih profesi menjadi pemandu gunung. Saat Anda menjadi pemandu, Anda tidak lagi melakukan pendakian yg Anda inginkan; tantangannya terletak pada keberhasilan Anda membawa klien Anda mendaki dan menuruni gunung, jenis kepuasan yg sangat berbeda. Namun karier seperti itu memberi jaminan jangka panjang dibanding dengan terus menerus mencari perusahaan yg bersedia mensponsori Anda. Klien yg menunggu Anda pun tidak terbatas jumlahnya, asalkan Anda memang menawarkan produk yg baik."
      Selagi Hall dan Ball melaksanakan misi spektakuler mereka "menaklukkan tujuh puncak dalam tujuh bulan",keduanya menyusun rencana untuk membuka perusahaan bersama yg akan memandu klien mendaki Tujuh Puncak yg pernah mereka taklukkan. Dengan keyakinan bahwa sejumlah pemimpi berkantong tebal dan tanpa pengalaman mendaki sedang menunggu untuk dibantu mendaki sendiri gunung tertinggi dimuka bumi, Hall dan Ball meluncurkan perusahaan baru mereka yg diberi nama Adventure Consultants.
       Sebentar saja mereka berhasil menuai rekor yg menakjubkan. Pada Mei 1992, Hall dan Ball memandu enam klien untuk mencapai Puncak Everest. Setahun kemudian mereka berhasil memandu satu tim pendaki beranggotakan tujuh orang mencapai puncak; di sore yg sama, empat puluh pendaki berhasil mencapai Puncak Everest  dalam satu hari. Namun tanpa diduga-duga, sekembalinya dari ekspedisi tersebut, mereka disambut kritikan pedas yg dilontarkan Sir Edmund Hillary, yg mencela peran Hall dalam meningkatkan komersialisasi Everest. Memandu kelompok-kelompok amatir untuk mencapai puncak hanya demi uang, kata Sir Edmund, "merupakan penghinaan pada gunung tersebut".
       Di Selandia Baru, Hillary termasuk salah seorang tokoh yg paling dihormati; raut mukanya yg sekeras batu karang bahkan diabadikan diatas lembaran uang kertas lima dollar. Hall merasa sedih dan malu dikritik oleh manusia setengah dewa, pendaki legendaris yg merupakan salah satu idola masa kecilnya. "Di Selandia Baru, Hillary dianggap sebagai pusaka nasional yg hidup," kata Atkinson. "Kata-katanya sangat berpengaruh dan pasti menyakitkan, dikritik oleh seorang tokoh besar seperti dirinya. Rob Hall ingin membuat pernyataan publik untuk mempertahankan diri, tetapi dia sadar, bahwa berhadapan dengan sosok yg dipuja media seperti Hillary sama sekali bukan situasi yg menguntungkan."
       Lima bulan setelah Hillary melontarkan kritikannya, Hall menghadapi cobaan lebih besar: pada Oktober 1993, Gary Ball meninggal karena cerebral edema --- pembengkakan otak akibat ketinggian yg ekstrem --- saat mencoba menaklukkan Puncak Dhaulagiri, gunung tertinggi keenam didunia dengan ketinggian 26.795 kaki. Ball menghembuskan napas terakhirnya dipangkuan Hall, setelah terbaring tak sadarkan diri ditenda kecil mereka jauh dipuncak gunung. Keesokan harinya, Hall menguburkan temannya didalam sebuah celah gletser.
       Dalam wawancara dengan sebuah jaringan televisi Selandia Baru saat ekspedisi berakhir, dengan wajah sedih Hall menggambarkan bagaimana dia menurunkan jenazah Ball ke tengah-tengah aliran gletser, menggunakan tali favorit yg kerap mereka gunakan untuk mendaki gunung. "Seutas tali untuk mendaki gunung dirancang untuk menyatukan Anda berdua, dan Anda tidak akan pernah melepaskannya," katanya. "Tetapi aku harus rela melepaskannya dari genggaman tanganku."
     "Rob benar-benar terpukul oleh kepergian Gary," kata Helen Wilton, manajer Hall di Base Camp dalam pendakian pada 1993, 1995 dan 1996. "Tetapi dia menghadapinya dengan tenang. Begitulah cara Rob menghadapi segala hal." Hall memutuskan untuk meneruskan usaha Adventure Consultants sendirian. Dengan caranya yg sistematis dia terus meningkatkan infrastruktur dan pelayanan perusahaan --- secara mengagumkan terus menorehkan sukses memandu para pendaki amatir mencapai puncak-puncak gunung yg tinggi dan terpencil.
      Antara 1990 dan 1995 Hall sudah berhasil memandu tiga puluh sembilan pendaki mencapai Puncak Everest --- tiga pendaki lebih banyak daripada jumlah seluruh pendaki yg pernah mencapai Puncak Everest dalam kurun waktu dua puluh tahun sejak Sir Edmund Hillary pertama kali mencapai Puncak Everest. Memang layak jika Hall kemudian menyebar luaskan selebaran yg menyatakan Adventure Consultants sebagai "paling terkemuka dalam pendakian Everest, dan paling sering mencapai puncak dibanding dengan perusahaan pendakian manapun." Brosur-brosur yg dia kirimkan kepada calon klien berbunyi :

Anda orang yg haus akan petualangan? Anda bermimpi untuk mengunjungi tujuh benua atau berdiri dipuncak sebuah gunung yg tinggi? Banyak orang yg tidak berani mewujudkan impian mereka atau bahkan mengungkapkan impian dan dambaan hati mereka yg paling dalam.  
     Adventure Consultants adalah pakar dalam mengelola dan memandu berbagai bentuk petualangan mendaki gunung. Terlatih dalam mewujudkan mimpi menjadi kenyataan, kami bekerja sama dengan Anda untuk mewujudkan impian-impian Anda. Kami tidak menarik Anda untuk mendaki gunung --- Anda sendirilah yg harus bekerja keras --- kami hanya menjamin keamanan dan sukses maksimal dari petualangan Anda.
      Bagi Anda yg berani mewujudkan impian-impian Anda, kami menawarkan pengalaman istimewa, sesuatu yg tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kami mengundang Anda untuk mendaki gunung Anda bersama kami.


Pada 1996, Hall menetapkan tarif 65.000 dollar untuk memandu seorang klien mencapai puncak dunia. Jumlah yg sangat besar untuk ukuran manapun --- setara dengan nilai hipotek rumahku di Seattle --- dan tarif tersebut tidak termasuk harga tiket pesawat ke Nepal atau perlengkapan pribadi. Tidak ada perusahaan yg menetapkan tarif yg lebih tinggi --- beberapa perusahaan pesaingnya hanya menawarkan paling tinggi sepertiga dari tarif yg ditetapkan Hall. Namun berkat suksesnya yg fenomenal, Hall tidak kesulitan mendapat klien untuk ekspedisinya kali ini, ekspedisi Everest nya yg kedelapan. Jika Anda sungguh-sungguh ingin mendaki sampai puncak, dan Anda punya cukup uang, Adventure Consultants merupakan pilihan pertama Anda.

Pagi hari pada 31 Maret, dua hari setelah tiba di Kathmandu, para anggota ekspedisi Everest 1996 dari Adventure Consultants berjalan melintasi hangar Tribhuvan International Airport dan menaiki helikopter jenis Mi-17 buatan Rusia milik Asian Airlines. Pesawat tua peninggalan Perang Afghanistan sebesar bus sekolah dan memiliki dua puluj enam tempat duduk ini sekilas tampak seperti setumpukan besi tua yg teronggok dihalaman belakang rumah seseorang. Seorang teknisi penerbangan membukakan pintu dan membagikan gumpalan-gumpalan kapas untuk menutupi telinga. Tidak lama kemudian helikopter raksasa itu mengudara dengan suara yg memekakkan telinga.
         Lantai pesawat tertutup oleh tumpukan koper, ransel dan kotak-kotak kardus. Para penumpang duduk berdesak-desakkan diatas kursi jungkit mengelilingi sisi dalam badan pesawat, menghadap kedalam dengan lutut menempel ke dada. Suara pesawat yg memekakkan telinga tidak memungkinkan mereka untuk saling berbicara. Bukan perjalanan yg menyenangkan, tetapi tidak ada satu penumpang pun yg mengeluh.
        Pada 1963, ekspedisi Tom Hornbein mengawali perjalanan panjang ke Everest dari Banepa, dua belas mil diluar Kota Kathmandu, dan menghabiskan waktu tiga puluh satu hari sebelum tiba di Base Camp. Seperti kebanyakan pendaki Everest modern, kami memutuskan untuk menghindari perjalanan darat yg panjang dan berdebu tersebut; helikopter yg kami tumpangi akan membawa kami sampai Lukla, sebuah dusun terpencil dengan ketinggian 9.200 kaki dan terletak dikaki Pegunungan Himalaya. Jika pesawat kami tidak terempas ke tanah, penerbangan ini mampu menghemat tiga minggu dari waktu yg diperlukan Hornbein untuk menempuh rute yg sama.
        Sambil mengamati bagian dalam helikopter yg cukup luas, aku berusaha menghafal nama-nama teman seperjalananku. Selain Rob Hall dan Andy Harris yg bertindak sebagai pemandu, ada Helen Wilton, ibu empat anak berusia tiga puluh sembilan tahun, yg sudah tiga kali menjadi manajer Base Camp untuk ekspedisi Hall. Caroline Mackenzie --- pendaki kawakan dan dokter, berusia menjelang tiga puluh tahun --- akan bertindak sebagai dokter tim. Seperti Helen, Caroline Mackenzie hanya akan mendaki sampai Base Camp. Lou Kasischke, pengacara ningrat yg sudah kukenal dibandara, sudah menaklukkan enam dari Tujuh Puncak dunia --- begitu pula Yasuko Namba yg pendiam, empat puluh tujuh tahun, Direktur Personalia di Bank Federal Express cabang Tokyo. Beck Weathers, empat puluh sembilan tahun, seorang patologis dari Dallas yg banyak bicara. Stuart Hutchison, tiga puluh empat tahun, mengenakan T-shirt merk Ren and Stimpy. Stuart yg tampak lemah adalah seorang ahli jantung berasal dari Kanada, yg sedang cuti dari sebuah beasiswa penelitian. John Taske, lima puluh enam tahun, anggota tim yg paling tua, seorang ahli anestesi dari Brisbane yg mulai menekuni hobi mendaki gunung setelah pensiun dari Angkatan Darat Australia. Frank Fischbeck, lima puluh tiga tahun, penerbit dari Hongkong yg selalu berpakaian rapi dan bersikap lemah lembut, sudah tiga kali mendaki Everest dipandu oleh salah satu perusahaan pesaing Hall; pada 1994, dia berhasil mencapai Puncak Selatan, hanya 330 kaki dari Puncak Everest. Doug Hansen, empat puluh enam tahun, adalah seorang pegawai kantor pos warga Amerika yg pernah mendaki Everest bersama Hall pada 1995. Seperti Fischbeck, dia hanya mencapai Puncak Selatan sebelum dipaksa turun.
       Aku tidak yakin bagaimana perasaanku tentang teman-teman seperjalananku kali ini. Dilihat dari penampilan maupun pengalaman, mereka jelas berbeda dari para pendaki yg keras hati, yg kerap menemaniku mendaki. Namun mereka kelihatan baik dan sopan; tidak ada anggota kelompok yg tampak menyebalkan dalam tim ini --- setidaknya, belum ada yg memperlihatkan sifat mereka yg sesungguhnya diawal perjalanan kami. Aku sendiri sama sekali tidak punya kesamaan dengan rekan-rekan seperjalananku, kecuali barangkali dengan Doug. Pria bertubuh tinggi kurus, pendiam, dengan wajah yg terlalu cepat keriput ini mengingatkanku pada sebuah bola sepak yg sudah usang. Dia sudah bekerja sebagai pegawai kantor pos selama dua puluh tujuh tahun. Menurut pengakuan Doug padaku, untuk mendanai perjalanan ini dia minta giliran kerja malam hari dan melakukan pekerjaan dibidang konstruksi bangunan pada siang harinya. Sebelum menekuni karier sebagai penulis, aku juga pernah bekerja sebagai tukang kayu selama delapan tahun --- artinya, secara ekonomi, kami berdua jelas berbeda dari rekan-rekan satu tim kami yg lain --- sehingga aku langsung merasa nyaman berada dekat Doug, sesuatu yg tidak kurasakan terhadap rekan-rekanku yg lain.
        Sebagian dari rasa tak nyaman yg kurasakan mungkin timbul karena aku belum pernah menjadi anggota kelompok pendaki yg berjumlah besar --- kelompok yg benar-benar asing. Kecuali perjalanan ke Alaska yg kulakukan dua puluh satu tahun lalu, semua petualanganku kulakukan bersama satu atau dua teman dekatku, atau sendirian.
       Saat mendaki gunung, memiliki kepercayaan terhadap rekan seperjalanan bukan hal yg sepele. Tindakan seorang pendaki bisa mempengaruhi keselamatan seluruh anggota tim. Tali yg tidak diikat dengan benar, kesalahan dalam melangkah, batu yg terlepas atau tindakan yg ceroboh, akan dirasakan juga akibatnya oleh rekan kita selain oleh kita sendiri. Karena itu, bisa dimengerti jika seorang pendaki enggan bergabung dengan kelompok yg belum sepenuhnya dia kenal.
       Akan tetapi, kepercayaan kepada rekan seperjalanan sama sekali tidak dibutuhkan dalam tim pendaki yg dipandu oleh seorang pemandu profesional; orang hanya perlu memercayai si pemandu. Ketika helikopter mulai mendekati Lukla, aku menduga bahwa, seperti diriku, setiap anggota tim pasti berharap, bahwa Hall sudah menyeleksi kemampuan semua kliennya dengan cermat, dan mampu melindungi kami semua dari kekurangan kami masing-masing.

*Dick Bass memerlukan waktu tujuh tahun untuk menaklukkan Tujuh Puncak tertinggi di tujuh Benua   


Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar