Kamis, 17 Juli 2014

Into Thin Air --- Bab IV

PHAKDING --- 31 MARET 1996 --- 9.186 KAKI

Dari Lukla , perjalanan ke Everest membawa kami ke utara melewati sebuah ngarai gelap dari Sungai Dudh Kosi, sungai es penuh bongkahan-bongkahan batu besar yg berbenturan dengan aliran air deras dan memutih. Kami menghabiskan malam pertama kami di Phakding, sebuah dusun kecil terdiri atas setengah lusin rumah dan beberapa penginapan yg didirikan diatas tanah datar pada sebuah lereng yg terletak di atas sungai. Ketika malam tiba, udara berubah menjadi sangat dingin, dan pagi hari, ketika aku sedang mendaki jalan tanah, aku melihat kilatan es terpantul dari atas daun rhododendron . Meskipun demikian, wilayah Everest sendiri terletak pada 28 derajat Lintang Utara---tepat digaris batas wilayah tropis---sehingga begitu matahari terbit dan cukup tinggi untuk bisa menembus seluruh kedalaman lembah, udara dengan cepat berubah menjadi panas. Tengah hari, setelah kami melewati sebuah jembatan gantung reyot yg melintang tinggi di atas sungai---sungai keempat yg kami lewati hari itu---butir-butir keringat mulai membasahi pipiku, memaksaku untuk melepaskan semua pakaian, kecuali celana pendek dan T-shirt.
        Setelah melewati jembatan, jalan tanah membawa kami menjauhi pinggiran Sungai Dudh Kosi, berkelok-kelok mendaki dinding ngarai yg terjal, melewati pohon-pohon pinus yg menebarkan aroma khas. Puncak-puncak Thamserku dan Kusum Kangru yg diselimuti es dan berbentuk suling tampak mencuat ke langit, hanya dua mil dihadapan kami. Negeri yg benar-benar mengagumkan ; secara topografi, keindahan wilayah ini bisa disetarakan dengan tempat manapun dimuka bumi, tetapi ia sama sekali tidak menampilkan  keliaran belantara, dan sudah sejak ratusan tahun seperti itu.
       Setiap jengkal tanah yg bisa dibudidayakan telah dipetak-petak dan ditanami dengan tanaman gandum, lobak atau kentang. Beberapa utas tali dengan beberapa bendera untuk berdoa tampak melintang diatas bukit, beberapa stupa* atau bangunan kuno agama Budha, dan tembok mani* dengan pahatan-pahatan yg sangat indah tersusun rapi, bahkan diatas jalan-jalan setapak yg paling tinggi. Saat aku berjalan mendaki menjauhi sungai, jalan tanah itu sudah dipenuhi para pelintas alam, kereta yg ditarik yak*, pendeta Budha berjubah merah, dan suku Sherpa yg bertelanjang kaki dengan membawa beban berat berupa kayu bakar, minyak tanah dan minuman ringan dipunggung mereka.
      Sembilan puluh menit setelah melewati sungai, aku tiba dibagian lereng gunung yg lebar, melewati dinding-dinding batu yg memagari padang penggembalaan yak, dan tiba-tiba saja aku menemukan diriku berdiri tepat ditengah Namche Bazaar, pusat sosial dan perdagangan suku Sherpa. Terletak 11.300 kaki diatas permukaan laut, Namche menempati wilayah berbentuk mangkuk yg miring, mirip sebuah parabola raksasa yg menempel dilereng gunung yg terjal. Lebih dari seratus bangunan menempel dramatis dilereng gunung tersebut, setiap bangunan dihubungkan dengan bangunan lain oleh jalan-jalan setapak yg sempit dan terjal. Dekat ujung kota yg letaknya lebih rendah, aku menemukan Penginapan Khumbu, melalui pintu berkelambu, dan menemukan teman-teman seperjalananku sedang minum teh lemon mengelilingi sebuah meja disudut ruangan.
        Ketika aku mendekat, Rob Hall memperkenalkan aku pada Mike Groom, pemandu ketiga dari tim ekspedisi kami. Orang Australia berambut merah berusia tiga puluh tiga tahun ini memiliki tubuh langsing seperti seorang pelari marathon. Sehari-hari, Groom yg warga Kota Brisbane ini bekerja sebagai seorang tukang kayu dan kadang-kadang dia bekerja paruh waktu sebagai pemandu. Pada 1987, setelah dipaksa melewatkan malam hari dibawah udara terbuka saat menuruni Puncak Kanchenjunga dengan ketinggian 28.169 kaki, dia harus merelakan semua jari kakinya diamputasi karena gigitan udara dingin. Namun, peristiwa itu tidak menumpulkan kariernya di Himalaya; dia terus mendaki puncak-puncak K2, Lhotse, Cho Oyu, Ama Dablam dan pada 1993, Groom mendaki Everest tanpa tabung oksigen. Pembawaannya yg tenang dan hati-hati menjadikan dia teman yg menyenangkan, tetapi dia jarang bersuara jika tidak diajak bicara, dan semua pertanyaan dijawabnya dengan kalimat-kalimat pendek yg diucapkan dengan suara yg hampir-hampir tak terdengar.
       Saat makan malam, percakapan biasanya didominasi oleh tiga anggota tim yg sama-sama berprofesi sebagai dokter---Stuart, John dan terutama Beck, pola yg terus berlanjut hampir selama ekspedisi berlangsung. John maupun Beck yg sama-sama pandai melucu membuat kelompok kami semakin akrab. Sayangnya Beck sering mengubah topik pembicaraannya menjadi diskusi yg mengarah pada debat terbuka, dan pada suatu malam, aku membuat kekeliruan karena berbeda pendapat dengannya. Sebagai seorang pakar debat dengan pengetahuan luas, Beck mengecam dengan pedas pernyataan yg kulontarkan tanpa sengaja, dan aku yg tidak mampu membalas kata-katanya hanya bisa duduk diam, membisu dan kesal.
        Ketika dia terus bicara dengan aksen Texas yg kental dan mengkritik beberapa kebijakan sosial sejumlah negara bagian, aku berdiri dan meninggalkan meja agar tdak lebih mempermalukan diriku.
Aku kembali ke ruang makan dan mendekati pemilik penginapan untuk meminta sebotol bir. Seorang gadis Sherpa bertubuh kecil tapi anggun tampak sedang mencatat pesanan beberapa pendaki Amerika. "Kami lapar," seorang pria dengan pipi kemerahan berkata kepadanya dengan suara keras dan bahasa Inggris yg terputus-putus, sambil menirukan gerakan orang makan. "Ma-u ma-kan ken-tang. Yak-burger. Co-ca Co-la. Anda punya?"
      "Anda ingin melihat daftar menu?" tanya gadis Sherpa itu dengan bahasa Inggris sempurna dan jernih dengan aksen Kanada yg halus. "Kami menyediakan banyak pilihan. Aku kira kami masih punya beberapa pie apel yg masih hangat, jika Anda menginginkan sesuatu untuk pencuci mulut."
      Pendaki dari Amerika itu, yg tidak menyadari bahwa wanita gunung berkulit coklat itu berbicara dengan bahasa Inggris sempurna, tetap menggunakan bahasa Inggris yg patah-patah dengan dialek lucu, "Me-nu. Bagus, bagus. Ya-ya, kami mau lihat me-nu."
      Suku Sherpa memang masih merupakan teka teki tersendiri bagi kebanyakan pendatang yg cenderung memandang mereka dari kacamata yg romantis. Orang-orang yg tidak mengenal demografi Himalaya kerap menganggap bahwa bangsa Nepal identik dengan suku Sherpa, padahal diseluruh wilayah Nepal jumlah suku Sherpa hanya mencapai 20.000 orang. Luas Negara Nepal sama dengan luas wilayah negara bagian North Carolina, berpenduduk dua puluh juta orang, terdiri atas lebih dari 50 kelompok etnis yg berbeda. Suku Sherpa merupakan orang gunung dan pemeluk agama Budha yg taat. Nenek moyang mereka bermigrasi ke selatan dari Tibet pada empat atau lima abad yg lalu. Kampung-kampung suku Sherpa tersebar disepanjang Himalaya, di timur Nepal, dan beberapa kelompok komunitas Sherpa yg cukup besar bisa dijumpai di Sikkim dan Darjeeling, India, tetapi pusat masyarakat Sherpa sendiri terletak di Khumbu, dilembah-lembah yg terletak di tepi lereng selatan Gunung Everest---sebuah wilayah kecil yg sangat bergelombang, yg tidak memiliki sarana jalan dan bebas dari mobil atau kendaraan beroda jenis apapun.
       Pertanian sangat sulit dilakukan dilembah yg tinggi, dingin dan curam seperti itu sehingga roda perekonomian suku Sherpa yg tradisional digerakkan oleh perdagangan dengan bangsa Tibet dan India, serta beternak Yak. Pada 1921, bangsa Inggris melakukan ekspedisi pertama mereka ke Everest, dan keputusan mereka  untuk mempekerjakan suku Sherpa sebagai pembantu mengubah budaya suku Sherpa.
       Oleh karena Pemerintah Nepal masih menutup perbatasannya sampai pada 1949, tim ekspedisi Everest yg pertama  dan delapan ekspedisi berikutnya, terpaksa mendekati gunung tersebut dari arah utara melewati wilayah Tibet, sehingga mereka belum pernah mendekati wilayah Khumbu. Tetapi kesembilan tim ekspedisi yg menuju Tibet tersebut mengawali perjalanan mereka dari Kota Darjeeling, tempat yg dihuni oleh banyak imigran suku Sherpa yg oleh para penduduk kolonial dikenal sebagai pekerja keras yg ramah dan pandai. Selain itu karena selama beberapa generasi sebagian besar warga Sherpa menetap  diwilayah yg terletak pada ketinggian antara 9.000 sampai 14.000 kaki, fisik mereka sudah beradaptasi dengan kondisi medan yg tinggi dan keras. Atas saran seorang dokter berkebangsaan Skotlandia, A.M. Kellas, yg sudah beberapa kali mendaki dan melakukan banyak perjalanan ditemani suku Sherpa, ekspedisi Everest pada 1921 mempekerjakan sekelompok besar suku Sherpa sebagai kuli angkut dan pembantu perkemahan, sebuah kebiasaan yg terus berlanjut dan diikuti oleh hampir semua tim ekspedisi dan terus berlangsung hingga kini, hampir tujuh puluh lima tahun kemudian.
       Baik atau buruk, selama lebih dari dua abad, perekonomian dan budaya Khumbu semakin dipengaruhi oleh dan bergantung pada pendatang musiman, yaitu para pelintas alam dan pendaki gunung, 15.000 diantaranya mendatangi  wilayah ini setiap tahunnya. Suku Sherpa yg berhasil menguasai keahlian teknis sebagai pendaki dan bekerja ditempat-tempat tinggi dipuncak gunung---terutama mereka yg pernah mencapai Puncak Everest---akan dihormati oleh anggota masyarakat mereka. Tetapi, mereka yg menjadi bintang pendaki juga beresiko kehilangan nyawa: sejak 1922, ketika tujuh anggota suku Sherpa tewas akibat longsoran salju dalam ekspedisi tim Inggris yg kedua, sudah banyak warga Sherpa yg tewas di Everest---menurut cerita, jumlah mereka yg tewas mencapai lima puluh tiga orang. Artinya, jumlah warga Sherpa yg tewas mencapai lebih dari sepertiga dari jumlah seluruh pendaki yg tewas di Everest.
       Meskipun demikian, warga Sherpa masih saja bersaing ketat untuk memperoleh posisi dalam setiap ekspedisi Everest, yg rata-rata membutuhkan antara dua belas sampai delapan belas pekerja per ekspedisi. Posisi yg paling banyak diminati adalah enam posisi sebagai pakar pendaki, dengan bayaran antara 1.400-2.500 dollar untuk kerja keras selama dua bulan---sebuah penghasilan yg menarik untuk penduduk negara miskin dengan penghasilan per kapita hanya sekitar 160 dollar per tahun.
       Untuk mengimbangi meningkatnya jumlah pendaki dan pelancong dari negara-negara Barat, jumlah penginapan dan kedai minuman disepanjang wilayah Khumbu ikut pula meningkat, terutama di Namche Bazaar. Disepanjang jalan tanah menuju Namche Bazaar, aku kerap berpapasan dengan kuli-kuli yg sedang berjalan mendaki dari hutan-hutan dataran rendah sambil mengangkut batang-batang kayu yg baru dipotong dan beratnya mencapai lima puluh kilogram---beban yg sangat berat, dengan bayaran hanya tiga dollar sehari.
       Para pelancong yg sering mengunjungi Khumbu pasti sedih melihat membanjirnya turis dan perubahan yg kerap terjadi pada wilayah yg oleh para pendaki Barat tempo dulu dinamai surga dunia, sebuah Shangri-La dalam kehidupan nyata. Pohon-pohon diseluruh lembah ditebangi untuk memenuhi kebutuhan akan kayu bakar. Para remaja yg berkumpul  di carrom atau kedai minum, tidak lagi mengenakan jubah tradisional mereka, tetapi celana jins dan T-shirt bergambar tim Chicago Bulls. Banyak keluarga menghabiskan sore hari mereka didepan video menyaksikan film Arnold Schwarzenegger yg paling baru.
       Tidak semua perubahan yg terjadi pada budaya Khumbu menuju arah yg paling baik, tetapi aku jarang mendengar suku Sherpa mengeluhkannya. Uang tunai yg dibawa para pelintas alam dan pendaki, serta sumbangan yg terus mengalir dari organisasi-organisasi internasional yg juga dibawa oleh para pelintas alam dan pendaki, membiayai sekolah-sekolah dan klinik-klinik, menurunkan angka kematian bayi, membangun jembatan dan membawa pembangkit listrik ke Namche dan beberapa desa lain. Sikap para pendatang Barat yg meratapi hilangnya masa kejayaan Khumbu, ketika kehidupan ditempat itu masih sangat sederhana dan indah, bisa dikatakan sebagai sikap yg cukup merendahkan. Kebanyakan penduduk asli yg hidup di wilayah bergunung-gunung ini tampaknya tidak ingin dipisahkan dari kehidupan dunia modern maupun dari kemajuan peradaban manusia yg tidak terbendung. Suku Sherpa sama sekali tidak ingin dianggap sebagai spesimen sebuah museum antropologi.
        Seorang pejalan kaki yg terbiasa dengan medan yg tinggi, bisa menempuh jarak antara landasan udara Lukla dengan Perkemahan Utara Everest dalam waktu dua atau tiga hari. Namun, karena kebanyakan anggota tim kami datang dari daerah-daerah yg terletak dekat pantai, Hall bersikap lebih hati-hati dan membiarkan kami bergerak lebih lamban agar tubuh kami bisa beradaptasi dengan kondisi udara yg kandungan oksigennya menipis. Kami jarang berjalan lebih dari tiga atau empat jam setiap harinya. Pada hari-hari tertentu, jika Hall beranggapan kami harus melakukan program aklimatisasi tambahan, dia sama sekali tidak menjadwalkan perjalanan.
        Pada 3 April, setelah menetap satu hari di Namche untuk program aklimatisasi, kami meneruskan perjalanan menuju Base Camp. Dua puluh menit setelah keluar dari perkampungan, setelah melewati sebuah tikungan, aku disambut oleh sebuah pemandangan yg sangat menakjubkan. Dua ribu kaki dibawahku, didasar sebuah celah gletser yg sangat dalam, tampak Sungai Dudh Kosi yg mengalir bagaikan untaian perak yg berkilau dan berkelok-kelok di bawah bayangan tebing yg mengelilinginya. Kurang lebih sepuluh ribu kaki diatasnya, aku melihat bagian belakang puncak Ama Dablam, menjulang tinggi di atas kepala lembah seperti sesosok hantu yg muncul tiba-tiba. Dan kira-kira tujuh ribu kaki ke atasnya lagi, tampak ujung lancip Puncak Everest yg tertutup salju, sebagian tubuhnya terhalang oleh Puncak Nuptse, membuat Puncak Ama Dablam tampak kerdil. Seperti yg kerap terjadi, kondensasi uap air yg bergerak secara horizontal naik dari puncak seperti asap yg membeku, sehingga aliran angin yg kecepatannya sama dengan kecepatan sebuah pesawat jet itu tampak seakan-akan tidak berbahaya.
        Aku menatap puncak tersebut selama kurang lebih tiga puluh menit, berusaha memahami bagaimana rasanya berdiri dipuncak runcing yg diterjang tiupan angin kencang tersebut. Meskipun aku pernah mendaki beberapa puncak gunung, Puncak Everest sama sekali berbeda dengan puncak-puncak lain yg pernah kudaki, sehingga imajinasiku gagal membayangkannya. Puncak itu tampak begitu dingin, begitu tinggi dan begitu tak terjangkau. Aku merasa seakan-akan sedang berada dalam sebuah ekspedisi menuju bulan. Ketika aku berbalik dan meneruskan langkahku mengikuti jalan tanah, perasaanku galau, berpindah-pindah antara harap-harap cemas dan perasaan takut yg hampir-hampir tak bisa ku atasi.
        Menjelang malam aku tiba di Tengboche*, kuil Budha terbesar dan terpenting diwilayah Khumbu. Chongba, seorang warga Sherpa bermuka masam dan selalu tampak serius, yg bekerja dalam tim ekspedisi kami sebagai tukang masak di Base Camp, mengatakan bahwa dia bisa mengatur pertemuan dengan rimpoche*---"Lama Kepala untuk seluruh wilayah Nepal," katanya menjelaskan, "Pria yg sangat suci. Kemarin rimpoche baru saja mengakhiri meditasi yg sangat panjang---setelah tiga bulan tidak bicara dengan siapapun. Kita akan menjadi pengunjung pertamanya. Kesempatan yg sangat bagus." Doug, Lou dan aku memberi Chongba masing-masing seratus rupee (kira-kira dua dollar) untuk membeli kata---ikat kepala untuk upacara terbuat dari sutra berwarna putih untuk dipersembahkan kepada rimpoche . Setelah melepaskan sepatu, kami mengikuti Chongba memasuki sebuah bilik kecil dan tertutup yg terletak dibelakang kuil utama.
        Seorang pria sedang duduk bersila diatas sebuah bantal dengan sarung yg terbuat dari kain brokat. Pria itu mengenakan jubah berwarna merah anggur, tubuhnya pendek dan gemuk, kepalanya botak. Pria itu tampak sangat tua dan sangat lelah. Chongba membungkuk dengan khidmat, bicara pendek dalam bahasa Sherpa dan mengisyaratkan kami agar maju kedepan. Sang rimpoche memberkati kami satu-persatu sambil meletakkan kata yg kami bawa pada leher kami masing-masing. Setelah itu, dia melemparkan senyumannya yg tampak saleh dan menawarkan secangkir teh. "Kain ini harus dipakai sampai ke Puncak Everest*," Chongba menjelaskan dengan suara khidmat. "Tuhan akan gembira dan menjauhkan Anda semua dari bahaya."
        Tidak yakin bagaimana aku harus bersikap dihadapan seorang agung, reinkarnasi hidup dari pendeta kuno yg terkenal tersebut, aku tidak berkata apa-apa, takut kata-kataku menyinggung atau keliru. Ketika aku dengan gelisah menghirup teh manis yg disuguhkannya, orang suci itu beringsut menuju lemari yg terletak disampingnya, mengeluarkan sebuah buku besar berhias, dan menyodorkan buku itu kepadaku. Aku membersihkan tangan pada kedua sisi-sisi celana penjangku. dan membuka buku itu dengan perasaan cemas. Buku itu ternyata sebuah album. Pendeta suci itu baru saja kembali dari perjalanan pertamanya ke Amerika dan album itu berisi foto-foto perjalanannya: foto sang pendeta suci saat berada di Washington, didepan Lincoln Memorial, didepan museum udara dan luar angkasa; foto-foto saat berada di California, didermaga Santa Monica. Kemudian dengan senyum lebar dan sangat antusias dia menunjukkan dua foto favoritnya: sang pendeta suci yg sedang berpose disamping Richard Gere dan sebuah foto lain bersama Steven Seagal.


*Chorten merupakan sebuah monumen keagamaan, biasanya terbuat dari batu dan biasanya berisi tulisan keramat; nama lain, stupa.
*Mani adalah batu-batu kecil dan rata berisi ukiran doa agama Budha dari warga Tibet yg ditulis dalam bahasa Sansekerta berbunyi Om mani padme hum. Batu-batu ini biasanya disusun ditengah jalan setapak dan membentuk dinding mani yg pendek. Aturan agama Budha mengharuskan para pengembara berjalan disebelah kanan mani
+Secara teknis, sebagian besar jenis "yaks" yg kerap dijumpai di Himalaya sebenarnya adalah campuran antara yaks dengan sapi; yg jantan dinamai dzopkyo sementara yg betina disebut dzom. Yaks betina yg berdarah murni biasa disebut naks. Hampir semua pendatang dari Barat kesulitan membedakan antara ketiga jenis binatang berbulu kusut ini dan menyebut semua jenis dengan kata yaks.
*Tidak seperti bahasa Tibet yg hampir serupa, Sherpa bukan bahasa tulisan sehingga orang-orang Barat dipaksa untuk menafsirkan tulisan ini menurut pendengaran mereka. Akibatnya ejaan kata-kata atau nama dalam bahasa Sherpa sering kali tidak seragam; Tengboche, misalnya, sebelumnya ditulis sebagai Tengpoche atau Thyangboche; beberapa ketidak seragaman serupa banyak dijumpai dalam hampir semua kata dalam bahasa Sherpa
*Meskipun orang Tibet menamai puncak itu Jomolungma dan orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, hampir semua warga Sherpa dalam percakapan sehari-hari menyebutnya sebagai Everest---bahkan saat mereka berbicara dengan sesama Sherpa.


Bersambung....  

  
Enam hari pertama perjalanan kami berlalu tanpa kenangan khusus. Jalan tanah yg kami lalui membawa kami melewati hutan juniper, sejenis pepohonan yg tampak kerdil, hutan pinus dan semak rhododendron, beberapa air terjun yg suaranya memekakkan telinga, taman batu yg sangat indah , dan beberapa sungai yg airnya tampak berbuih. Dikaki langit yg indah tampak beberapa puncak yg namanya kerap kubaca sejak aku masih kanak-kanak. Karena hampir semua barang bawaan kami diangkut oleh yak dan oleh para kuli, ransel punggungku hanya berisi jaket, beberapa batang permen dan sebuah kamera. Tanpa beban dan tanpa tergesa-gesa, aku berjalan sambil menikmati keindahan alam negeri ini, seperti orang yg memasuki sebuah alam gaib---sayangnya euforia seperti ini tidak berlangsung lama. Cepat atau lambat ingatanku selalu kembali ke puncak yg sedang kutuju, dan bayangan dingin Everest dengan cepat mengembalikan kesadaranku.
       Kami semua berjalan dengan santai, berhenti sekali-sekali untuk makan atau minum dikedai minum ditepi jalan, mengobrol dengan orang-orang yg lalu lalang. Aku kerap berjalan disamping Doug Hansen, si pegawai kantor pos, dan Andy Harris, pemandu junior Hall yg ramah. Andy---yg dipanggil Harold oleh Rob dan teman-temannya yg sama-sama dari Selandia Baru---memiliki tubuh besar dan kukuh seperti seorang pemain belakang tim Rugby di Amerika. Wajahnya keras tapi tampan, seperti wajah yg kerap tampil dalam iklan-iklan rokok. Selama musim dingin Andy sering diminta untuk menjadi pemandu olah raga ski-helikopter, sedangkan dalam musim-musim panas, dia bekerja sebagai ilmuwan, melakukan penelitian geologi di wilayah Antartika atau memandu para pendaki untuk mendaki gunung-gunung diselatan Selandia Baru.
      Sambil berjalan menelusuri jalan tanah, dengan nada penuh kerinduan Andy bercerita tentang wanita yg hidup bersamanya, seorang dokter bernama Fiona McPherson. Ketika kami beristirahat diatas sebuah batu, dia mengeluarkan dompet dari ranselnya dan menunjukkan foto Fiona. Gadis itu tampak tinggi, berambut pirang dengan tubuh atletis. Menurut Andy, dia dan Fiona sedang membangun sebuah rumah diwilayah perbukitan diluar Kota Queenstown. Setelah dia menceritakan kesenangan sederhana yg diperolehnya dari kegiatan menggergaji papan dan memaku itu, Andy bercerita tentang tawaran Rob untuk menjadi pemandu Everest yg semula diterimanya dengan sikap mendua, "Sebenarnya, aku merasa berat harus meninggalkan Fi dan rumah kami. Kami baru saja selesai memasang atap. Tetapi, bagaimana mungkin kamu menolak tawaran untuk mendaki Everest? Terutama jika kamu berpeluang untuk bekerja berdampingan dengan seseorang seperti Rob Hal."
       Meskipun belum pernah mengunjungi Everest, Andy bukan lagi orang asing di Himalaya. Pada 1985, dia pernah mendaki Puncak Chobutse yg sulit yg memiliki ketinggian 21.927 kaki, terletak kira-kira 30 mil di barat Everest. Musim gugur tahun 1994, dia tinggal selama empat bulan dan membantu Fiona mengelola sebuah klinik kesehatan di Pheriche, sebuah desa kecil yg suram dan berangin yg terletak pada ketinggian 14.000 kaki diatas permukaan laut, tempat kami menginap pada 4 dan 5 April.
      Klinik tersebut didanai oleh yayasan yg bernama Himalayan Rescue Association (HRA, Asosiasi Penyelamatan Himalaya), menangani terutama penyakit-penyakit akibat ketinggian (dan memberikan pengobatan cuma-cuma bagi penduduk setempat, yaitu para warga Sherpa), serta memberikan penerangan kepada para pendaki asing tentang bahayanya mendaki pada ketinggian ekstrem yg dilakukan dengan kecepatan tinggi. Ketika kami tiba diklinik yg memiliki empat ruangan itu, kami mendapati seorang dokter berkebangsaan Prancis, Cecile Bouvray, sepasang dokter warga Amerika, Larry Silver dan Jim Litch, dan seorang pengacara lingkungan hidup yg sangat energik bernama Laura Ziemer, yg sama-sama warga Amerika dan menjadi asisten Litch. Klinik tersebut didirikan pada 1973 setelah empat pendaki Jepang meninggal diwilayah tersebut. Sebelum klinik tersebut didirikan, berbagai penyakit akut akibat ketinggian telah menewaskan satu atau dua dari tiap 500 pendaki yg melewati Pheriche. Ziemer menekankan bahwa tingginya angka kematian bukan akibat kecelakaan yg terjadi saat mendaki gunung; para korban umumnya hanyalah "para pelintas alam yg tidak pernah keluar dari jalan setapak yg sudah ditetapkan."
        Sekarang berkat seminar pendidikan dan pertolongan darurat yg diberikan para staf relawan diklinik tersebut, angka kematian sudah jauh berkurang menjadi satu kematian untuk setiap 20.000 pendaki. Meskipun orang-orang Barat yg idealis seperti Ziemer tidak menerima bayaran, bahkan harus membayar sendiri biaya perjalanan dari dan ke Nepal, posisi tersebut dianggap cukup bergengsi sehingga selalu berhasil menarik pelamar dari seluruh pelosok dunia. Caroline Mackenzie, dokter dari tim ekspedisi Hall, pernah bekerja diklinik HRA bersama Fiona McPherson dan Andy pada musim semi 1994.
        Pada 1990, ketika Hall menaklukkan Everest untuk pertama kalinya, klinik tersebut dikelola oleh seorang dokter wanita asal Selandia Baru yg cakap dan penuh percaya diri bernama Jan Arnold. Dalam perjalanan menuju puncak, Hall bertemu dengannya dan langsung terpesona. "Ketika kembali dari Everest, aku mengajaknya berkencan," kenang Hall pada malam pertama setelah kami tiba didesa tersebut. "Untuk kencan pertama, aku mengajaknya ke Alaska mendaki Gunung McKinley. Ternyata dia menerima ajakanku." Mereka menikah dua tahun kemudian. Pada 1993, Arnold dan Hall menaklukkan Puncak Everest dan pada 1994 dan 1995, Arnold kembali ke Base Camp untuk bekerja sebagai dokter ekspedisi. Sebenarnya Arnold berniat untuk kembali ke Everest tahun ini, tetapi dia sedang mengandung anak pertama mereka, dan kandungannya sudah berusia tujuh bulan. Tugas sebagai dokter ekspedisi diambil oleh dr.Mackenzie.
       Seusai makan malam pada hari Selasa, yaitu malam pertama kami di Pheriche, Laura Ziemer dan Jim Litch mengundang Hall, Harris dan Hellen Wilton, manajer Base Camp kami agar datang ke klinik untuk minum-minum dan mengobrol. Malam itu, kami berbicara tentang bahaya nyata dari mendaki Everest---dan memandu---dan Litch masih ingat dengan sangat jelas percakapan kami malam itu: Hall, Harris dan Litch sama-sama sepakat bahwa cepat atau lambat, bencana besar yg menimpa sejumlah besar klien "pasti akan terjadi". Tetapi kata Litch---yg mendaki Everest dari wilayah Tibet musim semi yg lalu---"Rob yakin bahwa bencana seperti itu tidak akan menimpa dirinya; dia hanya cemas bahwa dia 'harus menyelamatkan anggota tim lain,' dan jika bencana yg tak terhindarkan itu terjadi, Rob yakin itu akan terjadi di puncak sisi utara yg lebih berbahaya"---di sisi wilayah Tibet.

Sabtu 6 April, beberapa jam setelah melewati Pheriche, kami tiba dikaki Gletser Khumbu, lidah es sepanjang 12 mil yg berawal dipunggung selatan Everest, yg akan berfungsi sebagai jalan bebas hambatan ---begitulah harapanku--- yg akan mengantar kami sampai kepuncak. Saat ini kami berada pada ketinggian 16.000 kaki, dan wilayah yg berpohon  sudah lama kami tinggalkan. Dua puluh monumen batu berjejer muram disepanjang puncak morena ujung (tumpukan batu yg terbawa gletser dan berakhir diujung aliran) gletser tersebut, menghadap ke arah lembah yg tertutup kabut. Monumen batu tersebut merupakan tugu peringatan untuk menghormati para pendaki yg tewas di Everest, yg kebanyakan merupakan warga Sherpa. Untuk selanjutnya, kami hanya akan melewati daerah yg berbatu-batu yg luas dan es yg diterbangkan angin. Meskipun kami berjalan dengan kecepatan sedang, dampak dari ketinggian mulai membuat kepalaku terasa ringan dan aku mulai kesulitan bernapas.
       Jalan ditempat ini pada beberapa tempat ditutupi oleh lapisan es setinggi kepala. Ketika salju mencair terkena matahari sore, yak-yak kami harus berjalan diatas genangan es yg merendam binatang tersebut sampai ke perut mereka. Sambil mengomel, para kusir yak melecut dan memaksa binatang-binatang tersebut agar terus berjalan, dan mereka mengancam untuk kembali. Menjelang malam kami tiba disebuah desa bernama Lobuje, dan ditempat ini kami menemukan penginapan yg bisa melindungi kami dari terjangan angin, sebuah penginapan yg sangat sempit dan kotor.
       Sebuah tempat yg terdiri atas beberapa bangunan beratap rendah dan hampir roboh yg didirikan ditepi Gletser Khumbu, Lobuje merupakan desa yg tampak suram; tempat itu dipenuhi oleh Sherpa dan para pendaki dari selusin tim ekspedisi yg berbeda, beberapa pelintas alam dari Jerman, sekawanan yak bertubuh kurus---semua sedang dalam perjalanan menuju Base Camp, yg hanya satu hari perjalanan jauhnya dari lembah tersebut. Hujan salju yg deras dan terlambat turun, kata Rob, menghambat perjalanan mereka dan hingga kemarin, tidak ada satu yak pun yg berhasil mencapai Base Camp. Setengah lusin penginapan yg ada didesa tersebut terisi penuh. Tenda-tenda berdiri dikiri dan kanan jalan-jalan setapak berlumpur yg sekarang dipenuhi salju. Sekelompok kuli angkut dari suku Rai dan Tamang yg berasal dari kaki-kaki bukit---yg berpakaian tipis compang camping dan mengenakan sandal karet dan kerap bekerja sebagai kuli angkut untuk beberapa tim ekspedisi sekaligus---berkemah dibeberapa gua dan dibawah batu besar dilereng sekitarnya.
       Tiga atau empat toilet batu yg tersedia didesa kecil tersebut sudah benar-benar dipenuhi kotoran manusia. Baunya sangat menusuk, sehingga hampir semua orang, baik warga Nepal maupun para pelancong dari negara-negara Barat terpaksa mengosongkan isi perut mereka di bawah udara terbuka setiap kali mereka membutuhkannya. Tumpukan kotoran manusia teronggok dimana-mana sehingga sulit untuk tidak menginjaknya. Sungai es yg mencair dan mengalir di tengah-tengah permukiman berubah fungsi menjadi kakus terbuka. 
       Ruang utama penginapan tempat kami bermalam memiliki beberapa tempat tidur papan untuk  kira-kira tiga puluh orang. Aku menemukan sebuah dipan kosong dilantai dua, mengibaskan puluhan kutu dan caplak dari kasurnya yg kotor, kemudian memasang kantong tidurku. Didekat dinding tampak sebuah tungku besi sebagai pemanas ruangan dengan kotoran yak yg sudah kering sebagai bahan bakarnya. Setelah matahari terbenam, temperatur diluar yg turun sampai dibawah titik beku memaksa para kuli menyerbu kedalam ruangan untuk menghindari udara malam yg sangat dingin dan menghangatkan diri mereka diseputar tungku. Dalam kondisi normal kotoran yak kering bukanlah bahan bakar yg baik, apalagi pada ketinggian 16.200 kaki yg minim oksigen, sehingga penginapan itu pun dipenuhi oleh asap yg tajam dan pekat seperti ruangan yg dihubungkan langsung dengan kanlpot bus bermesin diesel. Malam itu, sambil terbatuk-batuk keras, dua kali aku terpaksa keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Pagi harinya, kedua mataku terasa panas dan berwarna merah darah, cuping hidungku tertutup jelaga warna hitam dan aku mulai terserang batuk kering yg tidak pernah sembuh sampai ekspedisi berakhir.
        Rob berniat menetap satu hari di Lobuje untuk aklimatisasi sebelum membawa kami menempuh enam atau tujuh mil terakhir menuju Base Camp. Kuli-kuli warga Sherpa tim kami sudah tiba disana beberapa hari sebelumnya untuk menyiapkan tempat bagi kami, dan mulai membuat rute pendakian dilereng bawah Everest. Namun, pada malam hari, 7 April, seorang pelari dengan terengah-engah tiba di Lobuje dan membawa berita mengejutkan dari Base Camp: Tenzing, seorang Sherpa muda yg dipekerjakan Rob, terjatuh kedalam sebuah celah gletser sedalam 150 kaki. Empat Sherpa lain berhasil menariknya hidup-hidup, tetapi dia terluka parah, dan tulang pahanya kemungkinan patah. Dengan muram, Rob mengumumkan bahwa dia dan Mike Groom harus segera berangkat ke Base Camp untuk mengatur penyelamatan Tenzing. "Aku menyesal harus mengabarkan ini kepada Anda semua," kataya meneruskan, "tetapi, Anda semua harus menunggu di Lobuje ini bersama Harold sampai kami bisa mengendalikan situasi."
        Menurut informasi yg kami dengar kemudian, Tenzing sedang menelusuri rute diatas Base Camp, mendaki bagian lereng Gletser Khumbu yg relatif landai bersama empat Sherpa lain. Kelimanya mendaki secara berurutan, sebuah prosedur yg lazim, sayangnya mereka tidak menggunakan tali---sebuah pelanggaran serius dalam protokol pendakian. Tenzing sedang bergerak tepat dibelakang keempat pendaki lain, menginjak tempat-tempat yg dipijak empat pendaki terdahulu saat dia terjatuh kedalam celah gletser yg sempit. Sebelum mampu berteriak, tubuh Tenzing sudah terempas bagaikan sebongkah batuan, hilang ditelan kegelapan perut gletser.
       Pada ketinggian 20.500 kaki, penyelamatan dengan helikopter dianggap terlalu berbahaya---udara terlalu rapuh untuk bisa menyangga baling-baling helikopter, baik saat mendarat, tinggal landas, maupun untuk sekedar terbang berputar-putar, dan itu sangat berbahaya. Artinya, Tenzing harus ditandu turun sejauh 3000 kaki sampai Base Camp melewati Jeram Es Khumbu, sejumlah jalur yg paling curam dari seluruh wilayah pendakian. Membawa Tenzing turun dalam keadaan hidup merupakan upaya yg sangat sulit.
      Rob sangat memperhatikan keselamatan para Sherpa yg bekerja untuknya. Sebelum tim kami meninggalkan Kathmandu, dia mengumpulkan kami dan mengingatkan pentingnya menunjukkan rasa terima kasih dan menghormati para Sherpa secara selayaknya. "Orang-orang Sherpa yg kita pekerjakan merupakan orang-orang terbaik dalam bisnis ini," katanya kepada kami. "Mereka bekerja sangat keras dengan bayaran yg menurut standar Barat sangat kecil. Aku ingin Anda semua ingat bahwa kita semua tidak mungkin mencapai Puncak Everest tanpa bantuan mereka. Sekali lagi aku tekankan: Tanpa bantuan para Sherpa, tidak satu pun dari kita yg bisa mendaki gunung ini."
       Dalam sebuah pembiacaraan lain, Rob mengakui bahwa beberapa tahun belakangan ini dia sering mengecam sejumlah pemimpin ekspedisi yg kerap melalaikan orang-orang Sherpa yg mereka pekerjakan. Pada 1995, seorang Sherpa muda tewas di Everest; Hall menduga, kecelakaan itu terjadi karena Sherpa muda itu "diijinkan mendaki sampai ke atas gunung sebelum dia mendapat pelatihan yg memadai. Aku percaya bahwa para pemimpin ekspedisi bertanggung jawab untuk menghindari terjadinya peristiwa serupa."
      Tahun sebelumnya, sebuah ekspedisi Amerika yg dipandu mempekerjakan seorang koki warga Sherpa bernama Kami Rita. Pemuda bertubuh kuat dan ambisius berusia dua puluh satu atau dua puluh dua tahun itu meminta agar dia diijinkan bekerja diatas gunung sebagai pendaki. Untuk menghargai antusiasme dan dedikasinya, beberapa minggu kemudian permohonannya dikabulkan --- meskipun dia belum memiliki pengalaman mendaki dan tidak pernah mendapat pelatihan formal tentang teknik-teknik pendakian.
      Mulai ketinggian 22.000 kaki sampai 25.000 kaki, rute standar pendakian akan melewati sebuah lereng es yg sangat curam dan berbahaya yg disebut Permukaan Lhotse (Lhotse Face). Untuk keamanan, tim-tim ekspedisi akan membuat beberapa lintasan tali dari dasar sampai ke puncak lereng dan para pendaki disarankan untuk melindungi diri dengan mengaitkan diri menggunakan tali pengaman pada lintasan tersebut. Kami Rita yg masih muda, congkak dan belum berpengalaman, tidak merasa perlu mengaitkan tali pengaman pada lintasan tali yg tersedia. Suatu sore, saat mendaki Permukaan Lhotse sambil membawa sejumlah beban, dia kehilangan pijakan pada permukaan batuan yg tertutup es keras dan jatuh dari ketinggian 2.000 kaki.
      Teman sependakianku Frank Fischbeck menyaksikan sendiri seluruh kejadian tersebut. Pada !995, dia mencoba untuk ketiga kalinya mendaki Everest sebagai klien dari sebuah perusahaan pemandu Amerika yg mempekerjakan Kami Rita. Frank sedang menaiki lintasan tali di lereng atas Permukaan Lhotse, katanya dengan suara yg bergetar, "ketika aku menengadah, aku melihat tubuh seseorang terjatuh, kepalanya beberapa kali membentur dinding gunung. Orang itu berteriak saat dia melewatiku, meninggalkan jejak yg berdarah.
       Beberapa pendaki bergerak cepat menghampiri tubuh Kami Rita yg tergeletak di kaki Permukaan Lhotse, tetapi dia tewas karena luka berat yg dideritanya sebelum mencapai dasar. Tubuhnya dibawa turun ke Base Camp, dan ditempat itu, sesuai dengan tradisi agama Budha, teman-temannya membawakan makanan untuk jenazahnya selama tiga hari. Kemudian dia dibawa ke sebuah desa dekat Tengboche dan dikremasi. Saat tubuh Kami Rita ditelan lidah-lidah api, ibunya menangis tanpa bisa dihibur, kemudian membenturkan kepalanya pada sebuah batu yg runcing.
       Pikiran Rob melayang pada Kami Rita saat fajar menyingsing, pada 8 April itu, yaitu saat dia dan Mike bergegas menuju  Base Camp untuk mencoba mengeluarkan  Tenzing dari Everest dalam keadaan hidup.


Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar