Rabu, 16 Juli 2014

Into Thin Air --- Bab II

DEHRA DUN 1852 ---  2.234 Kaki
Kapan tepatnya peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun tahu pasti, semua menjadi kabur karena mitos yg terus bertambah. Yg pasti, itu terjadi pada 1852, bertempat di Kantor Pusat Trigonometri India, diwilayah perbukitan sebelah utara Stasiun Dehra Dun. Menurut cerita yg paling bisa dipercaya, seorang kerani dengan tergesa-gesa memasuki ruang kerja Sir Andrew Waugh, Gubernur Jendral Pengukuran untuk wilayah India dan melaporkan bahwa seorang ahli komputer Bengali bernama Radhanath Sikhdar, yg ditempatkan dikantor pengukuran Kalkuta, berhasil "menemukan gunung yg tertinggi didunia". (Pada masa Waugh, komputer lebih merupakan sebuah uraian tugas ketimbang sebuah mesin). Diberi nama Puncak XV oleh para juru ukur yg mengukur kemiringan sudutnya dengan menggunakan teodolit-24 inchi tiga tahun berselang, gunung yg dimaksud mencuat dari tengah rusuk Pegunungan Himalaya, dibagian wilayah Kerajaan Nepal yg tertutup bagi orang asing.
       Sebelum Sikhdar mengumpulkan data pengukuran, tidak seorang pun pernah menduga bahwa Puncak XV akan menjadi sesuatu yg penting. Keenam titik pengukuran terletak diwilayah India Utara, lebih dari 100 mil jauhnya dari gunung tersebut. Bagi para surveyor yg mengukurnya, semua puncak, kecuali ujung runcing dari Puncak XV, terlihat samar karena terhalang oleh tebing-tebing tinggi yg ada dilatar depan, beberapa tampak lebih tinggi dari Puncak XV. Namun, berdasarkan hasil perhitungan cermat Komputer Sikhdar (dengan memperhitungkan berbagai faktor termasuk lengkungan bumi, refraksi atmosfer dan pembelokan garis tegak lurus) Puncak XV ternyata berada pada ketinggian 29.002* kaki diatas permukaan laut, titik tertinggi di planet ini.
       Pada 1865, sembilan tahun setelah perhtungan oleh Komputer Sikhdar dikonfirmasikan, Waugh mengubah nama Puncak XV menjadi Puncak Everest, untuk menghormati Sir George Everest, Gubernur Jendral Pengukuran untuk wilayah India sebelum dirinya. Ternyata, orang-orang Tibet yg tinggal di utara gunung yg megah tersebut sudah memiliki nama yg lebih anggun, Jomolungma, yg berarti "sang dewi, ibu dunia", dan bangsa Nepal yg tinggal di Selatan gunung menamainya Sagarmatha atau "dewi langit". Namun, Waugh dengan sengaja mengabaikan nama yg diberikan penduduk asli (meskipun secara resmi memberi keleluasaan untuk tetap memakai nama lokal atau nama lama), sehingga Everest menjadi nama yg tetap diingat hingga kini.
       Sesaat setelah Everest dinobatkan sebagai puncak tertinggi di bumi, orang-orang memutuskan Everest layak didaki. Setelah penjelajah Amerika, Robert Peary, menaklukkan Kutub Utara pada 1909 dan Ronald Amundsen memimpin para penjelajah Norwegia menaklukkan Kutub Selatan pada 1911, Everest --- yg dinamai Kutub Ketiga --- menjadi objek paling menarik dalam dunia penjelajahan. Mencapai puncaknya, kata Gunther O. Dyrenfurth, seorang pendaki ternama dan pencatat sejarah pendakian Himalaya, "merupakan upaya manusia yg bersifat mendunia, sebuah sasaran yg layak diraih, apapun resiko dan kerugian yg harus dihadapi."
      Daftar kerugian itu, ternyata, mustahil begitu saja dilupakan. Menyusul penemuan oleh Komputer Sikhdar pada 1852, diperlukan tak kurang dari 24 korban tewas, penjelajahan 15 tim ekspedisi dan rentang waktu 101 tahun sebelum akhirnya Puncak Everest berhasil ditaklukkan. Diantara para pendaki gunung dan pakar geologi, Everest tidak dianggap sebagai gunung yg indah. Tubuhnya dianggap terlalu besar, lebar dan kasar. Namun keanggunan arsitektural yg tidak dimiliki Everest itu diimbangi oleh massanya yg besar dan menakjubkan.
       Terletak diperbatasan Nepal dan Tibet, berdiri lebih dari 12.000 kaki diatas lembah yg berada dikaki lereng, Everest menjulang bagaikan piramid tiga sisi terbentuk dari es yg mengkilat dan batu berwarna gelap yg carut marut. Delapan tim ekspedisi pertama yg mendaki Everest berasal dari Inggris dan semuanya naik dari arah utara, dari wilayah Tibet --- bukan karena sisi itu merupakan jalur pendakian yg paling mudah, melainkan karena pada 1921 Pemerintah Tibet membuka perbatasannya yg sudah lama tertutup bagi orang asing, sementara Kerajaan Nepal masih mengharamkan perbatasannya.
       Para pendaki Everest yg pertama dipaksa menempuh rute yg sangat sulit sepanjang 400 mil dari Kota Darjeeling melintasi dataran Tibet hanya untuk bisa mencapai kaki gunung. Pengetahuan mereka tentang dampak mematikan dari ketinggian yg ekstrem pun masih sangat kurang, begitu pula peralatan mereka yg sangat tidak memadai menurut standar peralatan modern. Namun pada 1924, seorang anggota tim ekspedisi ketiga dari Inggris, Edward Felix Norton, berhasil mencapai ketinggian 28.126 kaki ---hanya 900 kaki dari puncak--- sebelum akhirnya menyerah karena kelelahan dan dibutakan oleh salju. Prestasi itu benar-benar menakjubkan dan mungkin tak tertandingi hingga dua puluh sembilan tahun kemudian.
       Kukatakan "mungkin" karena adanya peristiwa lain yg tejadi empat hari setelah upaya Norton menaklukkan Puncak Everest. Pada 8 Juni 1924, sesaat setelah fajar menyingsing, dua anggota tim ekspedisi  dari Inggris, George Leigh Mallory dan Andrew Irvine, meninggalkan perkemahan terakhir menuju puncak.
       Mallory, yg namanya selalu dikaitkan dengan Everest, adalah tokoh utama dibalik tiga tim pertama yg berupaya menaklukkan Everest. Dalam sebuah perjalanan keliling untuk mengajar di Amerika Serikat, Mallory dengan sinis menjawab, "Karena gunung itu ada disana," saat seorang wartawan mendesaknya dengan pertanyaan, mengapa dia ingin menaklukkan Everest. Pada 1924, Mallory berusia tiga puluh delapan tahun, seorang kepala sekolah, menikah, dan memiliki tiga anak yg masih kecil. Anggota masyarakat Inggris kelas atas ini selain cinta keindahan juga sangat idealis dan peka terhadap hal-hal yg romantis. Tubuh atletisnya yg anggun, kepandaiannya dalam bergaul dan fisiknya yg benar-benar bagus membuat Mallory dikagumi oleh penulis biografi Lytton Strachey serta kaum intelektual Bloomsbury. Saat berada didalam kemahnya yg jauh tinggi di lereng Everest, Mallory dan teman-teman satu tim nya akan saling membacakan dengan suara keras cerita-cerita Hamlet dan King Lear.
      Ketika Mallory dan Irvine bergerak perlahan ke arah Puncak Everest pada 8 Juni 1924, kabut menyelimuti bagian atas piramid, membuat rekan-rekan mereka yg berada dibawah tidak bisa memantau kemajuan pendakian kedua orang itu. Pukul 12.50 siang, untuk sesaat awan-awan yg menyelimuti puncak gunung tersibak oleh angin dan salah satu anggota tim, Noel Odell, melihat sekilas tetapi jelas, sosok Mallory dan Irvine yg bergerak jauh di lereng sekitar puncak, kurang lebih lima jam terlambat dari jadwal, tetapi bergerak dengan lambat dan pasti menuju puncak.
       Bagaimanapun, malam itu kedua pendaki tersebut tidak kembali ke tenda mereka dan baik Mallory maupun Irvine tidak pernah terlihat lagi. Apakah salah seorang atau keduanya pernah mencapai puncak sebelum kemudian ditelan oleh gunung dan menjadi bagian dari legenda, masih diperdebatkan orang sampai sekarang. Fakta-fakta yg ada menunjukkan bahwa mereka belum mencapai puncak. Tanpa bukti nyata, bagaimanapun, mereka tidak bisa dianggap sebagai orang pertama yg menaklukkan Everest.
      Pada 1949, setelah tertutup selama berabad-abad, Nepal membuka perbatasannya bagi dunia luar, dan setahun kemudian rezim baru komunis yg menguasai Cina menutup perbatasan Tibet bagi orang-orang asing. Akibatnya, para pendaki Everest mengalihkan perhatian mereka ke sisi Selatan puncak Himalaya itu. Pada musim semi 1953, sebuah tim ekspedisi besar dari Inggris, dengan dukungan moral dan sumberdaya yg sangat lengkap, menjadi tim ekspedisi ketiga yg berusaha menaklukkan Everest dari wilayah Nepal. Pada 28 Mei, setelah perjuangan berat selama dua setengah bulan, sebuah lahan  perkemahan berhasil dibangun dengan menggali Lereng Tenggara pada ketinggian 27.900 kaki. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Edmund Hillary, seorang warga Selandia Baru bertubuh tinggi kurus, dan Tenzing Norgay, seorang pakar pendaki dari suku Sherpa, bergerak menuju puncak dan bernapas dengan bantuan oksigen botol.
      Pada pukul 09.00 pagi, keduanya sudah tiba di Puncak Selatan, memandang ke atas, ke jalur sempit dan terjal yg akan membawa mereka ke puncak. Sejam kemudian, mereka tiba dikaki sebuah tempat yg oleh Hillary digambarkan sebagai "rute pendakian yg tampaknya paling sulit --- sebuah lereng batu yg curam setinggi empat puluh kaki....Batuan itu sendiri, yg tampak halus dan hampir-hampir tanpa tonjolan untuk berpegang, oleh sekelompok pakar pendaki di Lake District mungkin dianggap sebagai objek menarik yg layak ditaklukkan dalam pendakian Minggu Sore, tetapi ditempat ini, dia merupakan hambatan yg sulit diatasi oleh tubuh kami yg sudah sangat lemah.
      Dengan  cemas, Tenzing terus mengulur tali dari bawah, sementara Hillary menempatkan tubuhnya disebuah celah sempit yg terbentuk oleh sebuah dinding batu dan salju tegak lurus berbentuk sirip, dan dengan perlahan bergerak ke atas melewati sebuah jalur pendakian yg kemudian dikenal dengan nama Hillary Step. Mendaki ditempat ini benar-benar berat dan sulit, tetapi Hillary terus bertahan sampai kemudian, seperti yg ditulisnya,

Akhirnya aku tiba dipuncak, menarik tubuhku keluar dari celah dan naik ke atas sebuah selasar yg cukup lebar. Sesaat aku berhenti untuk mengembalikan napas dan untuk pertama kalinya aku merasakan munculnya tekad yg sangat kuat bahwa tidak ada yg bisa menghentikan kami untuk mencapai puncak. Aku berdiri tegak diatas selasar itu dan memberi isyarat kepada Tenzing untuk naik. Ketika aku berjuang menarik tali, Tenzing berjuang untuk melewati celah tersebut sampai akhirnya dia jatuh tersungkur dihadapanku, seperti seekor ikan raksasa yg baru diangkat dari laut setelah perjuangan yg berat.

Berjuang mengalahkan rasa lelah, keduanya  meneruskan pendakian melewati bagian lereng yg bergelombang diatasnya. Hillary bertanya-tanya,

Masihkah kami punya kekuatan untuk mencapai puncak. Aku membuat satu torehan lagi dibalik sebuah batu yg menonjol dan mangamati bahwa punggung gunung diatasku mulai melandai sehingga kami bisa melihat jauh ke arah Negara Tibet. Aku mendongak dan diatasku tampak puncak bulat yg diselimuti salju. Beberapa torehan kapak es, beberapa langkah yg hati-hati, maka Tenzing (secara mengejutkan) dan aku akan tiba dipuncak.

Itulah yg terjadi beberapa saat menjelang sore pada 29 Mei 1953, Hillary dan Tenzing menjadi orang pertama yg berdiri dipuncak Gunung Everest.
      Tiga hari kemudian berita tentang keberhasilan mereka sampai ditelinga Ratu Elizabeth, tepat satu hari sebelum penobatan dirinya, dan koran Times di London menyiarkan berita tersebut pada 2 Juni dalam edisi awal. Berita itu dikirim secara rahasia dari Everest melalui pesan radio (agar pesaing Times tidak menyabot berita pertama mereka) oleh seorang wartawan muda bernama James Morris, dua puluh tahun kemudian, setelah menjadi penulis ternama, James Morris melakukan operasi kelamin menjadi wanita dan mengubah nama depannya menjadi Jan. Empat dekade setelah penaklukkan yg bersejarah tersebut, Morris menulis : Penobatan Everest : Penaklukkan Pertama dan Berita yg Menobatkan sang Ratu,

Sulit dibayangkan sekarang ini bagaimana dua peristiwa yg terjadi hampir secara serempak tersebut (penobatan  sang Ratu dan penaklukkan Everest) disambut dengan kegembiraan yg magis di negara Inggris. Setelah lepas dari masa-masa suram yg menyelimuti mereka sejak Perang Dunia II, surutnya kebesaran Kerajaan Inggris dan berkurangnya pengaruh mereka di muka bumi, orang-orang Inggris hampir percaya bahwa dinobatkannya sang Ratu yg muda belia merupakan isyarat bagi dimulainya era baru --- era Elizabeth, demikian koran-koran menyebutnya. Hari penobatan pada 2 Juni 1953 adalah hari yg melambangkan harapan dan kegembiraan. Pada hari itu semua patriot pendukung Inggris tiba pada satu momentum yg paling istimewa, keajaiban di atas semua yg ajaib, karena pada hari itu sebuah kabar yg datang dari jauh --- dari garis depan Kerajaan Inggris lama --- bahwa sebuah tim pendaki bangsa Inggris...berhasil menaklukkan objek penjelajahan dan petualangan tertinggi dimuka bumi, puncak dunia...
       Peristiwa tersebut memicu munculnya berbagai bentuk emosi didalam hati rakyat Inggris --- kebanggaan, patriotisme, nostalgia tentang kekalahan mereka dalam perang masa lalu, dan tentang tindakan-tindakan mereka yg gagah berani pada jaman lampau, serta harapan akan masa depan yg lebih baik.
....Sampai saat itu, orang-orang usia tertentu masih mengingat dengan jelas, ketika mereka --- sambil berdiri dibawah siraman hujan rintik-rintik untuk  menunggu iring-iringan prosesi penobatan melewati Kota London --- mendengar kabar mengejutkan bahwa puncak dunia, boleh dikatakan sudah menjadi milik mereka.

Tenzing menjadi pahlawan nasional di seluruh India, Nepal dan Tibet, masing-masing negara tersebut mengakui Tenzing sebagai warganya. Setelah mendapat gelar bangsawan dari Ratu Elizabeth, Sir Edmund Hillary menyaksikan wajahnya muncul dalam perangko, komik, buku-buku, novel dan sampul majalah --- dalam waktu semalam, pria berwajah tirus, peternak lebah dari Kota Auckland ini berubah menjadi pria paling terkenal dimuka bumi.

*penelitian modern yg menggunakan laser dan transmisi satelit Doppler, sejenis alat ukur tercanggih, mengkoreksi hasil pengukuran sebanyak 26 kaki --- menjadi ketinggian yg saat ini diakui, yaitu 29.028 kaki atau 8.848 meter.


Bersambung.....



Penaklukkan Everest oleh Hillary dan Tenzing terjadi sebulan sebelum aku dilahirkan, jadi aku tidak merasakan kebanggaan dan kekaguman  yg melanda dunia --- sebuah peristiwa yg menurut teman-temanku yg lebih tua, bisa disejajarkan dengan pendaratan pertama manusia dibulan. Namun satu dekade kemudian ditaklukkannya Everest untuk kedua kalinya, membantu memantapkan arah hidupku.
        Pada 22 Mei 1963, Tom Hornbein, tiga puluh dua tahun, seorang dokter dari Missouri dan Willi Unsoeld, tiga puluh enam tahun, seorang profesor teologi dari Oregon, tiba dipuncak Everest melalui Lereng Barat yg sulit dan belum pernah didaki. Sampai saat itu, Puncak Everest sudah empat kali ditaklukkan oleh sebelas pendaki, tetapi Lereng Barat dianggap sebagai rute yg jauh lebih sulit dibanding dua rute lain yg kerap dilalui: Jalur Selatan dan Lereng Tenggara atau Jalur Utara dan Lereng Timur Laut. Pendakian yg dilakukan Hornbein dan Unsoeld --- merupakan dan masih dianggap sebagai prestasi terbesar dalam dunia pendakian gunung.
        Menjelang sore dalam perjalanan menuju puncak, kedua warga Amerika tersebut dihadapkan pada sebuah alur batuan yg terjal dan rapuh --- Jalur Kuning (The Yellow Band) yg berbahaya. Mendaki lintasan ini membutuhkan kekuatan dan keahlian  tinggi; tidak ada jalur pendakian yg secara teknik lebih menantang dan lebih tinggi letaknya daripada jalur ini. Setibanya dipuncak Jalur Kuning, Hornbein dan Unsoeld meragukan kemampuan mereka untuk bisa turun melalui jalur yg sama. Satu-satunya harapan agar mereka bisa turun dari gunung dalam keadaan hidup, demikian keputusan mereka, adalah bergerak terus sampai puncak dan kemudian turun melalui Lereng Tenggara, rute yg kerap dilalui. Rencana yg sangat berani, mengingat hari sudah menjelang sore, medan yg belum mereka kenal dan persediaan oksigen yg menipis dengan cepat.
        Hornbein dan Unsoeld tiba di Puncak Everest pada pukul 18.15, tepat saat matahari terbenam, dan dipaksa menghabiskan malam dibawah udara terbuka pada ketinggian lebih dari 28.000 kaki --- perkemahan tertinggi sampai saat itu. Udara malam sangat dingin, untungnya tidak berangin. Meskipun jari-jari kaki Unsoeld membeku dan kemudian harus dipotong, keduanya selamat untuk menceritakan pengalaman mereka.
        Saat itu usiaku baru sembilan tahun dan tinggal di Corvallis, Oregon, kota yg sama dengan tempat Unsoeld tinggal. Dia teman baik ayahku, dan aku kerap bermain dengan anak-anak Unsoeld yg tertua --- Regon, yg usianya setahun lebih tua dariku, dan Devi, setahun lebih muda dariku. Beberapa bulan sebelum Willi Unsoeld berangkat ke Nepal, aku menaklukkan puncak gunungku yg pertama --- sebuah gunung dengan ketinggian 9.000 kaki dan terletak di Cascade Range, sebuah puncak yg saat itu bisa di capai dengan menggunakan kereta gantung --- ditemani ayah, Willi dan Regon. Tidak mengherankan jika peristiwa penaklukkan Everest 1962 bergema kuat dn lama didalam imajinasi pra remajaku. Ketika teman-temanku mengidolakan John Glenn, Sandy Koufax dan Johny Unitas, maka Hornbein dan Unsoeld merupakan pahlawan pujaanku.
        Diam-diam aku bermimpi, aku akan mendaki Everest suatu hari nanti; selama lebih dari satu dekade, impian itu menjadi ambisiku yg tidak pernah padam. Diawal usia dua puluhan mendaki sudah menjadi pusat kehidupanku sehingga aku hampir-hampir mengabaikan semua hal yg lain. Menaklukkan puncak gunung merupakan sesuatu yg nyata , permanen dan konkret. Bahaya yg menyertainya menjadikan kegiatan ini sesuatu yg sungguh-sungguh, kesungguhan yg tidak kumiliki dalam bagian kehidupanku yg lain. Aku bergairah oleh pemikiran-pemikiran baru yg muncul  setiap kali aku berhasil menaklukkan sebuah bidang yg vertikal.
       Mendaki juga mampu menciptakan perasaan memiliki. Menjadi seorang pendaki berarti bergabung dengan kelompok masyarakat mandiri yg sangat idealis, kelompok yg kerap diabaikan, tetapi secara mengejutkan tidak tercemar oleh dunia secara keseluruhan. Mendaki gunung adalah budaya yg ditandai dengan persaingan, sangat maskulin, dan yg terpenting semua pendaki berusaha untuk mengesankan pendaki lain. Mencapai puncak gunung manapun dianggap kurang penting dibanding dengan cara seseorang mencapainya: seorang pendaki akan merasa bangga jika dia berhasil mencapai puncak melewati rute yg paling sulit dengan perlengkapan minimal dan dengan keberanian yg sulit dibayangkan. Tidak ada pendaki yg lebih dikagumi selain para pendaki solo: para pemimpi yg mendaki sendirian tanpa tali atau perlengkapan.
        Pada tahun-tahun tersebut aku hidup hanya untuk mendaki, mengandalkan penghasilanku yg berkisar antara lima atau enam ribu dollar setahun dari pekerjaanku sebagai tukang kayu dan nelayan ikan salmon komersial, cukup untuk mendanai petualanganku ke Bugaboo atau Teton atau Alaska. Namun, ketika usiaku mencapai dua puluh lima tahun, aku meninggalkan impian masa kecilku untuk  mendaki Everest. Saat itu, para pakar pendaki gunung memberi julukan buruk pada Everest, yaitu "tumpukan kerak" --- sebuah puncak yg secara teknis dan artistik tidak cukup menantang bagi para "pendaki yg serius", julukan yg menjadi impianku selama ini. Aku mulai memandang rendah pada gunung tertinggi di dunia itu.
        Perasaan merendahkan tersebut muncul karena pada awal dekade 1980, rute termudah menuju Puncak Everest --- yaitu Jalur Selatan dan Lereng Tenggara --- sudah ratusan kali didaki. Teman-temanku sesama pendaki gunung menamai Lereng Tenggara sebagai "RuteYak". Pandangan merendahkan itu makin dikukuhkan oleh kejadian pada 1985, ketika Dick Bass --- seorang warga Texas yg kaya raya berusia lima puluh lima tahun dengan pengalaman mendaki yg terbatas --- dipandu menuju Puncak Everest oleh pemandu gunung yg masih sangat muda bernama David Breashears, sebuah peristiwa yg diliput secara luas oleh media.
       Sebelumnya Everest secara umum dianggap sebagai wilayah para pendaki elite. Seperti yg diucapkan oleh Michael Kennedy, editor majalah Climbing, "Diundang untuk ikut dalam ekspedisi Everest merupakan kehormatan yg hanya akan Anda peroleh setelah cukup lama dan cukup terlatih mendaki puncak-puncak yg lebih rendah. Dan, jika Anda benar-benar berhasil menaklukkannya, Anda akan dianggap sebagai bintang oleh para pendaki elite." Keberhasilan Bass mencapai puncak mengubah semua itu. Setelah berhasil menundukkan Everest, Bass menjadi orang pertama yg  berhasil menundukkan Tujuh Puncak*, membuat namanya termasyhur diseluruh penjuru dunia, memicu para pendaki gunung akhir pekan untuk mengikuti jejak petualangannya dan dengan kasar menarik Everest ke dalam era pasca modern.
       "Bagi seorang pengkhayal yg beranjak tua seperti aku, Dick Bass merupakan inspirasi," Beck Weathers, yg terlahir dikawasan pantai, berkata dengan aksen Texasnya yg kental dalam perjalanan ke perkemahan Everest pada April lalu. Patologis berusia empat puluh sembilan tahun dan penduduk Dallas ini, merupakan satu dari delapan pendaki yg dipandu Rob Hall dalam ekspedisi Everest 1996. "Bass menunjukkan bahwa Puncak Everest ternyata bisa ditaklukkan oleh orang-orang biasa asalkan orang itu memiliki fisik yg prima dan tabungan yg cukup. Bagi aku, meninggalkan pekerjaan dan keluarga selama dua bulan, merupakan hambatan yg paling besar.
       Bagi sejumlah besar pendaki --- sesuai dengan catatan yg ada --- meninggalkan rutinitas sehari-hari ternyata bukan hambatan yg sulit diatasi, begitu pula soal biaya yg besar. Selama setengah dekade terakhir, jalur-jalur yg menuju Tujuh Puncak, terutama yg menuju Puncak Everest, terus bertambah ramai. Seiring dengan meningkatnya permintaan, jumlah perusahaan komersial yg menawarkan jasa pemandu untuk mendaki Tujuh Puncak terutama Puncak Everest, ikut meningkat pula. Selama musim semi 1996 saja tiga puluh ekspedisi besar tercatat mendaki Everest, sedikitnya sepuluh tim diantaranya dikelola untuk mencari keuntungan.
        Pemerintah Nepal menyadari bahwa berbondong-bondongnya kelompok pendaki yg ingin mendaki Everest bisa menimbulkan masalah yg serius, baik ditinjau dari aspek keselamatan, estetika maupun ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan. Untuk menanggulangi masalah ini, para menteri Negara Nepal muncul dengan solusi yg diharapkan bisa memberi dua keuntungan, yaitu mengurangi jumlah pendaki dan meningkatkan devisa: mereka menaikkan tarif perijinan. Pada 1991, Kementrian Pariwisata Nepal menetapkan tarif sebesar 2.300 dollar untuk setiap tim yg ingin mendaki Everest. Pada 1992, tarif tersebut dinaikkan lagi menjadi 10.000 dollar untuk setiap tim yg maksimum beranggotakan sembilan orang, ditambah biaya tambahan sebesar 1.200 dollar untuk setiap peserta tambahan.
        Tetapi jumlah pendaki yg ingin menaklukkan Everest terus saja meningkat, meskipun tarif terus dinaikkan. Pada musim semi 1993, empat puluh tahun setelah Everest ditaklukkan untuk pertama kalinya, lima belas tim terdiri atas 294 pendaki mencoba menaklukkan Puncak Everest dari arah Nepal, sebuah rekor dalam jumlah tim. Musim semi tahun yg sama, Kementrian Pariwisata Nepal kembali menaikkan tarif perijinan menjadi 50.000 dollar untuk satu tim yg maksimal beranggotakan lima orang dan ditambah 10.000 dollar untuk setiap peserta tambahan dengan jumlah maksimum tujuh orang. Selain itu Pemerintah Nepal juga membatasi jumlah tim ekspedisi yg diijinkan mendaki Everest dari wilayah Nepal dalam satu musim  pendakian menjadi maksimal empat tim.
        Yang tidak diperhitungkan Pemerintah Nepal adalah kenyataan bahwa Pemerintah Cina hanya menetapkan tarif  15.000 dollar untuk setiap tim yg ingin mendaki dari arah Tibet tanpa membatasi jumlah anggota tim, maupun jumlah tim ekspedisi dalam satu musim pendakian. Karena itu, gelombang pendaki Everest mengalihkan  kegiatan mereka dari Nepal ke Tibet, menyebabkan ratusan suku Sherpa kehilangan pekerjaan. Protes dan jeritan Suku Sherpa membuat Pemerintah Nepal, pada musim semi 1996, secara mendadak menghapuskan aturan yg membatasi jumlah tim pendaki hingga maksimal empat tim.Pada saat yg sama, mereka menaikkan tarif perijinan menjadi 70.000 dollar untuk setiap tim yg maksimal beranggotakan tujuh orang , ditambah biaya tambahan sebesar 10.000 dollar untuk setiap peserta tambahan. Mengingat bahwa enam belas dari tiga puluh tim yg mendaki Everest musim semi lalu mendaki jalur yg berada diwilayah Nepal, menunjukkan bahwa mahalnya tarif perijinan tampaknya tidak mengurangi minat para pendaki.
       Bahkan sebelum pendakian pramusim penghujan pada 1996, yg berakhir dengan bencana itu, meningkatnya komersialisasi Everest selama satu dekade terakhir sudah sering memicu kritikan. Para pendaki tradisional berang karena puncak tertinggi dunia tersebut dijual kepada para penjelajah yg kaya raya --- beberapa dari mereka, jika tidak dibantu seorang pemandu, mungkin akan kesulitan mencapai puncak gunung dengan ketinggian menengah seperti Mount Rainier sekalipun. Puncak Everest, kecam para pendaki tradisional, sudah direndahkan derajatnya dan dicemarkan.
       Para kritikus juga menambahkan bahwa berkat komersialisasi Everest, puncak yg dulunya suci sekarang dikotori oleh campur tangan hukum Negara Amerika Serikat. Setelah membayar cukup mahal untuk dipandu mencapai Puncak Everest, sejumlah pendaki menuntut pemandu mereka karena tidak berhasil mencapai puncak. "Kadang-kadang Anda mendapat klien yg merasa bahwa mereka sudah membeli tiket yg menjamin mereka sampai ke puncak," keluh Peter Athans, seorang pemandu kawakan yg sudah sebelas kali mendaki Everest dan empat kali mencapai puncak. "Banyak yg tidak memahami, bahwa ekspedisi ke Puncak Everest, tidak selalu berjalan lancar seperti kereta api di Negara Swiss."
       Sayangnya, tidak semua tuntutan tentang Everest tidak berdasar. Beberapa perusahaan pendakian yg tidak bonafide, berkali-kali gagal menyediakan perlengkapan logistik yg sangat penting --- misalnya tabung oksigen --- sesuai dengan perjanjian. Dalam beberapa ekspedisi, hanya pemandu yg berhasil sampai ke puncak, meninggalkan semua klien yg sudah membayar mahal, membuat klien mereka kecewa dan menuduh bahwa mereka diajak untuk sekedar menutup biaya perjalanan pemandu. Pada 1995, seorang pemilik perusahaan ekspedisi komersial melarikan uang kliennya sebesar 10.000 dollar bahkan sebelum pendakian dimulai.
Maret 1995, aku dipanggil dan ditawari oleh editor majalah Outside untuk ikut dalam sebuah ekspedisi Everest yg dipandu, yg dijadwalkan akan berangkat dalam lima hari, dan aku diminta untuk menulis artikel tentang menjamurnya komersialisasi pendakian Everest  serta berbagai kontroversi seputar masalah itu. Majalah tersebut tidak memintaku untuk ikut sampai kepuncak; si editor hanya memintaku untuk ikut sampai Base Camp dan melaporkan ceritaku dari Gletser Rongbuk Timur, kaki gunung yg terletak diwilayah Tibet. Aku mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh penawaran mereka --- aku bahkan sudah memesan tempat dan melakukan beberapa imunisasi yg diperlukan --- tetapi mundur pada menit-menit terakhir.
        Karena selama beberapa tahun terakhir aku memandang rendah Puncak Everest, cukup beralasan jika orang-orang beranggapan  bahwa penolakanku dipicu oleh pandanganku tersebut. Kenyataannya, tawaran majalah Outside secara tidak terduga menghidupkan kembali keinginan besar yg sudah lama kupendam. Aku menolak penugasan tersebut karena aku yakin, aku akan frustasi jika harus tinggal selama dua bulan dibawah bayang-bayang Everest tanpa boleh mendaki lebih tinggi dari Base Camp. Jika aku memang harus melakukan perjalanan ke belahan lain dari bumi ini dan menghabiskan delapan minggu jauh dari istri dan rumahku, aku harus diberi kesempatan untuk mendaki gunung tersebut.
       Aku meminta kepada Mark Bryant, editor Outside, untuk mengundurkan penugasanku selama dua belas bulan (sehingga aku bisa melakukan latihan fisik yg dibutuhkan untuk ekspedisi seperti itu). Aku juga meminta kepada majalah Outside untuk mendaftarkan diriku sebagai klien perusahaan pendakian yg lebih bonafide --- serta membayar biaya pendakian sebesar 65.000 dollar --- untuk memberiku kesempatan benar-benar mencapai puncak. Aku tidak sungguh-sungguh berharap permintaanku dikabulkan. Selama lima belas tahun terakhir, aku sudah menulis lebih dari enam puluh artikel untuk majalah Outside, tetapi biaya perjalanan untuk masing-masing penugasan biasanya tidak lebih dari dua ribu atau tiga ribu dollar.
      Bryant menelponku sehari kemudian setelah mengadakan pertemuan dengan penerbit Outside. Menurutnya, majalah tersebut tidak bersedia menutupi biaya perijinan sebesar 65.000 dollar, tetapi dia dan beberapa editor lain percaya bahwa komersialisasi Everest merupakan topik yg penting. Jika aku sungguh-sungguh ingin mendaki gunung itu, katanya bersikeras, majalah Outside akan berusaha untuk mewujudkan keinginanku.
Selama tiga puluh tahun menyebut diriku sebagai pendaki, aku sudah mendaki beberapa puncak yg cukup sulit. Di Alaska, aku pernah mendaki sebuah jalur baru dan sempit Mooses Tooth, melakukan pendakian solo ke puncak Devils Thumb, yg memaksaku untuk tinggal sendirian selama tiga minggu diatas sebuah puncak gunung es yg terpencil. Aku juga sudah mendaki beberapa puncak gunung es yg cukup tinggi di Kanada dan Colorado. Dekat ujung selatan Benua Amerika, ditempat angin menerjang daratan seperti "sapu dewa" --- la escoba de Dios, demikian nama yg diberikan oleh penduduk setempat --- aku pernah dihadapkan pada pengalaman yg sangat menegangkan ketika dipaksa mendaki sebuah dinding granit vertikal setinggi satu mil yg dinamai Cerro Torre; dibawah terjangan angin dengan kecepatan seratus knot, dan lereng yg tertutup es, gunung itu pernah (meskipun tidak lagi) dianggap sebagai gunung tersulit didunia.
        Namun, semua petualangan itu kulakukan beberapa tahun berselang, beberapa bahkan terjadi lebih dari satu dekade lalu, ketika usiaku masih dua puluh atau tiga puluh tahunan. Sekarang usiaku sudah empat puluh satu tahun, masa jaya fisikku sebagai pendaki sudah lewat, janggutku sudah berubah kelabu, gusi-gusiku memburuk, dan perutku tujuh setengah kilogram lebih berat. Aku sudah menikah dengan seorang wanita yg sangat kucintai --- dan mencintaiku. Setelah menemukan karier yg cukup lumayan, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku bisa hidup diatas garis kemiskinan. Kerinduanku untuk mendaki sudah mulai memudar karena berbagai bentuk kepuasan yg kemudian menumpuk menjadi sesuatu yg umum disebut kebahagiaan.
        Selain itu, gunung-gunung yg pernah kutaklukkan tidak ada yg lebih tinggi dari gunung dengan ketinggian menengah. Terus terang, aku belum pernah mendaki gunung yg lebih tinggi dari 17.200 kaki --- artinya tidak lebih tinggi dari Base Camp Everest.
        Sebagai orang yg dengan rajin mengikuti sejarah dunia pendakian, aku tahu bahwa Everest telah menewaskan lebih dari 130 orang sejak tim ekspedisi Inggris yg pertama mendakinya pada 1921 --- artinya satu kematian untuk setiap empat pendaki yg berhasil mencapai puncak --- dan mereka yg tewas tersebut memiliki kekuatan fisik serta pengalaman mendaki yg jauh lebih baik daripada diriku. Namun impian masa kanak-kanak ternyata sulit dipadamkan, lagipula, persetan dengan akal sehat!
Akhir Februari 1996, Bryant menelpon dan mengatakan bahwa satu tempat kosong masih tersedia dalam tim ekspedisi Rob Hall yg berikutnya. Ketika dia bertanya apakah aku bersungguh-sungguh dengan niatku, aku menjawab ya, bahkan tanpa berhenti sekejap pun untuk menarik napas.


*Puncak-puncak tertinggi ditujuh benua adalah : Everest, 29.028 kaki (Asia); Aconcagua, 22.834 kaki (Amerika Selatan); McKinley---dikenal juga dengan nama Denali---20.320 kaki (Amerika Utara); Kilimanjaro, 19.340 kaki (Afrika); Elbrus, 18.510 kaki (Eropa); Vinson Massif, 16.067 kaki (Antartika); Kosciusko, 7.316 kaki (Australia). Setelah Dick Bass menaklukkan ketujuh puncak tersebut, seorang pendaki Kanada bernama Patrick Morrow menyanggah dengan mengatakan bahwa karena puncak tertinggi di wilayah Oceania, kelompok kepulauan termasuk Australia, bukan Kosciusko melainkan puncak lain yg lebih sulit didaki, yaitu Cartenz Pyramid (16.535 kaki) yg terletak di Provinsi Irian Barat Indonesia (sekarang Papua). Dengan demikian menurut Morrow, Bass bukanlah orang pertama yg menaklukkan Tujuh Puncak---melainkan dia, Morrow. Bukan satu dua orang saja yg mengkritik konsep Tujuh Puncak tersebut, dengan mengatakan bahwa mendaki puncak tertinggi kedua ditiap benua lebih sulit ketimbang mendaki Tujuh Puncak tertinggi didunia, beberapa diantaranya merupakan puncak yg sangat sulit didaki.


Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar