Sabtu, 19 Juli 2014

Into Thin Air --- Bab V

LOBUJE --- 8 APRIL 1996 --- 16.200 KAKI


Setelah melewati sederetan puncak es yg menjulang tinggi bernama Phantom Alley, kami tiba didasar lembah yg berbatu-batu didasar sebuah ampiteater alam yg sangat besar....Di tempat ini (Jeram Es itu) membelok tajam ke arah selatan sebagai Gletser Khumbu. Kami mendirikan Base Camp pada ketinggian 17.800 kaki, diatas sebuah morena sisi (tumpukan batu yg terbawa aliran gletser dan mengendap di sisi aliran) yg merupakan tepi luar dari pembelokan tersebut. Batu-batu besar mengesankan bahwa tempat itu kukuh, tetapi puing-puing yg goyah dibawah kaki kami mengubah kesan yg salah tersebut. Yg bisa dilihat, dirasakan dan didengar---dari Jeram Es, morena, longsoran salju, dan udara dingin ditempat ini---hanyalah sebuah dunia yg tidak diciptakan untuk dihuni oleh manusia. Tidak ada air yg mengalir, tidak ada sesuatu yg tumbuh---hanya kehancuran dan kerusakan....Inilah rumah kami untuk beberapa bulan ke depan, sampai gunung ini berhasil didaki.

Thomas F. Hornbein
Everest: The West Ridge

Pada 8 April, sesaat setelah hari mulai gelap, radio yg dipegang Andy diluar penginapan di Lobuje tiba-tiba berbunyi. Rob menelepon dari Base Camp dan memberitakan kabar gembira. Meskipun harus mengerahkan tiga puluh lima orang Sherpa dari beberapa tim ekspedisi, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan Tenzing. Dengan mengikat tubuhnya pada sebuah tangga alumunium, Tenzing berhasil diturunkan, diangkut dan dibawa melewati Jeram Es, dan saat ini dia sedang beristirahat di Base Camp. Jika cuaca memungkinkan, setelah matahari terbit dia akan diterbangkan menggunakan helikopter ke sebuah rumah sakit di Kathmandu. Dengan suara lega, Rob mengabarkan bahwa keesokan harinya kami boleh meninggalkan Lobuje menuju Base Camp.
       Semua klien Rob ikut gembira karena Tenzing selamat. Kami juga gembira bisa meninggalkan Lobuje. John dan Lou terserang semacam virus yg menyebabkan penyakit perut akibat lingkungan yg kotor. Helen, manajer Base Camp kami, terus tersiksa oleh sakit kepala akibat ketinggian. Dan batuk yg menyerangku bertambah parah setelah dua hari bermalam di penginapan yg penuh asap.
      Karena itu, untuk malam ketiga, aku memutuskan untuk menghindari gangguan asap yg menyesakkan tersebut dan menempati  tenda yg ditinggalkan Mike dan Rob diluar penginapan sebelum mereka menuju Base Camp. Andy menawarkan diri untuk menemaniku. Sekira pukul 02.00 tengah malam, aku terbangun karena Andy tiba-tiba terduduk dan mulai mengerang . "Hoi, Harold," aku bertanya-tanya dari kantong tidurku, "kamu tidak apa-apa, kan?"
       "Aku tidak yakin. Sesuatu yg kumakan tadi malam membuat perutku sakit." Beberapa saat kemudian Andy berjuang keras membuka risleting tenda dan langsung muntah saat kepala dan sebagian tubuhnya berhasil keluar dari pintu tenda. Setelah muntahnya berhenti, untuk beberapa saat dia meringkuk tanpa bergerak, kedua lengannya memeluk lutut dan sebagian badannya masih berada diluar tenda. Tiba-tiba saja dia berdiri tegak, kemudian lari terbirit-birit beberapa meter, menurunkan celananya, kemudian buang air. Malam itu, Andy harus terpapar udara dingin untuk mengosongkan seluruh isi perutnya yg terserang diare.
        Pagi harinya Andy tampak lemah, mengalami dehidrasi dan menggigil dengan hebatnya. Helen menyarankan pada Andy untuk tetap tinggal di Lobuje sampai kekuatannya pulih, tetapi Andy menolak "Aku tidak mau tinggal lebih lama dikakus besar ini,"katanya sambil meringis, dengan kepala tetap terimpit diantara kedua lututnya. "Aku akan ikut kalian ke Base Camp. Meskipun untuk itu aku harus merangkak."
        Sekira pukul 09.00 pagi kami selesai mengepak dan memulai perjalanan kami. Ketika semua anggota tim berjalan dengan langkah cepat menyusuri jalan tanah, Helen dan aku berjalan perlahan-lahan menemani Andy yg harus mengeluarkan seluruh tenaga hanya untuk menggerakkan kakinya selangkah demi selangkah. Beberapa kali dia berhenti, bertopang sebentar pada tongkat-tongkat ski yg dibawanya untuk mengumpulkan tenaga dan bergerak lagi.
        Selama beberapa mil, kami berjalan naik kemudian turun  melewati batuan lepas dari morena sisi Gletser Khumbu, kemudian turun ke dalam gletser itu sendiri. Batu arang, kerikil kasar dan bongkahan besar batu granit menutupi hampir seluruh badan gletser---sebuah permukaan yg transparan dan beku, mengilat seperti batu akik yg dipoles. Es yg mencair meluncur cepat masuk ke dalam kanal-kanal permukaan dan bawah permukaan yg jumlahnya tak terhitung, menimbulkan bunyi gemuruh yg harmonis tapi menakutkan yg bergema di seluruh badan gletser.
      Lewat tengah hari,kami tiba pada sederetan puncak es yg tampak ganjil, puncak yg terbesar tingginya hampir 100 kaki, tempat yg dinamai Phantom Alley. Dipahat oleh sinar matahari yg memancar dengan terik, deretan menara-menara tinggi itu memancarkan sinar radioaktif berwarna hijau toska, berjejer sejauh mata memandang, seperti gigi-gigi ikan hiu yg mencuat dari tengah bahan rombakan yg mengelilinginya. Helen---yg sudah pernah melewati tempat ini beberapa kali---mengumumkan bahwa kami sudah hampir tiba ditempat yg kami tuju.
      Beberapa mil didepan, gletser itu membelok tajam ke arah timur, dengan susah payah kami berjalan diatas lereng yg panjang, sebelum kemudian kami tiba didepan sebuah tempat yg dipenuhi kubah-kubah nilon warna-warni. Lebih dari tiga ratus tenda , rumah dari ratusan pendaki dan warga Sherpa dari empat belas tim ekspedisi, berdiri diatas bongkahan-bongkahan batu besar yg tertutup es. Dibutuhkan dua puluh menit sebelum kami berhasil menemukan perkemahan tim kami ditengah ratusan kemah tersebut. Saat kami sedang berjalan melewati tanjakan terakhir, Rob turun untuk menyambut kami. "Selamat datang di Base Camp Everest," katanya sambil tersenyum lebar. Altimeter pada arlojiku menunjukkan ketinggian 17.600 kaki.

Perkampungan sementara yg akan menjadi rumah kami selama enam minggu kedepan tersebut berada di puncak sebuah ampiteater alam yg dikelilingi oleh dinding-dinding gunung yg tampak menakutkan. Dilereng-lereng gunung diatas perkemahan kami tampak gletser-gletser yg menggantung, dari tempat itu longsoran es meluncur cepat setiap saat, siang dan malam. Seperempat mil ke arah timur, diantara Dinding Nuptse dan Lereng Barat Everest, Jeram Es Khumbu muncul menerobos sebuah celah sempit mengalirkan pecahan-pecahan es yg tampak seperti porselen yg membeku. Ampiteater alam itu membuka ke arah tenggara sehingga tempat itu hangat karena sinar matahari; sore hari, jika udara baik dan tidak berangin, kami bisa duduk nyaman dengan hanya mengenakan T-shirt. Namu begitu matahari bersembunyi dibalik kerucut Puncak Pumori---puncak dengan ketinggian 23.507 kaki yg terletak disebelah barat Base Camp---temperatur bisa turun drastis sampai beberapa belas derajat. Saat aku memasuki tenda untuk beristirahat malam itu, senandung keriutan dan letupan bak perkusi berirama mengiringiku, mengingatkan bahwa aku sedang berbaring diatas sebuah sungai es yg mengalir.
       Kontras dengan lingkungan sekelilingnya yg keras, berdiri tenda-tenda yg nyaman dari tim ekspedisi Adventure Consultants, rumah bagi empat belas pendaki Barat---para Sherpa memanggil kami dengan "anggota tim" atau "sahib"---dan empat belas pekerja suku Sherpa. Tenda utama kami terbuat dari kanvas, sebuah tenda yg sangat besar dilengkapi dengan sebuah meja batu yg besar, stereo set, perpustakaan dan lampu listrik bertenaga surya; disampingnya berdiri tenda komunikasi yg lebih kecil, tempat meletakkan telepon satelit dan mesin faksimile. Kami mandi dibawah pancuran yg terbuat dari selang karet dan seember air hangat yg disiapkan oleh pegawai dapur. Roti dan buah-buahan segar dikirimkan beberapa hari sekali dengan menggunakan yak. Melanjutkan tradisi era Raj yg sudah dimulai sejak ekspedisi pertama, setiap pagi Chongba, ditemani seorang pembantu juru masak bernama Tendi, akan mendatangi satu per satu tenda kami untuk membawakan segelas teh Sherpa yg panas untuk kami nikmati sambil tetap bergelung didalam kantong tidur.
      Aku sering mendengar cerita-cerita tentang Everest yg sudah berubah menjadi tumpukan sampah karena meningkatnya jumlah pendaki, bahwa tim-tim ekspedisi komersial merupakan penyebab utama dari rusaknya lingkungan disana. Meskipun pada dekade 1970 dan 1980 Base Camp memang dipenuhi tumpukan sampah, akhir-akhir ini tempat tersebut dapat dikatakan cukup bersih---lebih bersih dari permukiman lain yg kulihat setelah meninggalkan Namche Bazaar. Bahkan tim-tim ekspedisi komersial ikut berperan dalam menciptakan lingkungan yg lebih bersih.
      Para pemandu yg setiap tahun kembali ke Everest dengan membawa sejumlah pelanggan justru memiliki rasa tanggung jawab yg lebih besar dibanding dengan pendaki yg datang sekali-sekali saja. Sebagai bagian dari ekspedisi 1990, Rob Hall dan Gary Ball memimpin upaya pembuangan lima ton sampah dari Base Camp. Selain itu, Hall dan beberapa rekannya sesama pemandu bekerja sama dengan kementrian di Kathmandu untuk merumuskan kebijakan yg mendorong para pendaki untuk ikut menjaga agar gunung itu tetap bersih. Pada 1996, selain harus membayar biaya perijinan, setiap tim ekspedisi Everest diharuskan membayar uang jaminan sebesar 4.000 dollar, uang tersebut akan dikembalikan jika tim terkait berhasil membawa turun sejumlah sampah yg beratnya sudah ditentukan ke Namche dan Kathmandu. Tong-tong besar yg menampung kotoran manusia ditoilet-toilet kami di perkemahan itupun termasuk sampah yg harus dipindahkan dan dibuang.
       Kesibukan di Base Camp menyerupai kesibukan disebuah sarang semut. Ditempat itu, perkemahan milik Adventure Consultants bertindak sebagai pemerintah, karena tidak ada orang lain digunung itu yg lebih dihormati selain Hall. Untuk mengatasi setiap permasalahan---perselisihan dengan kuli Sherpa, masalah medis, keputusan penting menyangkut strategi pendakian---orang-orang akan datang keperkemahan kami untuk meminta saran dari Hall. Dengan lapang dada, Hall akan memberikan saran kepada para pesaingnya, dan salah satu pesaingnya yg terpenting adalah Scott Fischer.
      Fischer pernah sukses memandu sejumlah klien mencapai sebuah gunung 8.000 meter*, yaitu Broad Peak yg memiliki ketinggian 26.400 kaki dan terletak di wilayah Pegunungan Karakoram Pakistan. Dia juga sudah empat kali mendaki Everest dan berhasil menaklukkannya pada 1994, tetapi bukan dalam peran sebagai pemandu. Musim semi 1996 merupakan awal kariernya sebagai pemimpin ekspedisi komersial; seperti Hall, tim ekspedisi Fischer sama-sama membawa delapan klien. Perkemahan mereka ditandai oleh spanduk promosi dari Starbucks Coffee yg digantungkan dari sebuah batu granit sebesar rumah, berjarak kurang lebih lima menit berjalan kaki ke arah gletser dari perkemahan kami.
      Pria dan wanita yg memiliki karier sebagai pemandu puncak gunung tergabung dalam sebuah klub kecil yg indipenden. Dalam bisnis, Fischer dan Hall memang merupakan pesaing, tetapi sebagai dua tokoh penting didunia pendaki gunung, mereka sering bertemu, dan pada tingkatan tertentu keduanya menganggap diri mereka sebagai teman baik. Fischer dan Hall bertemu untuk pertama kalinya di Pegunungan Pamir Rusia dan setelah itu mereka sering menghabiskan waktu bersama, yaitu selama ekspedisi Everest pada 1989 dan 1994. Mereka sepakat dan sudah menyusun rencana untuk bersama-sama menaklukkan Puncak Manaslu---sebuah gunung yg terletak ditengah-tengah wilayah Nepal dengan ketinggian 26.781 kaki---setelah ekspedisi untuk memandu klien mereka pada 1996 ini berakhir.
       Hubungan Fischer dan Hall semakin akrab sejak 1992, ketika keduanya bertemu di Puncak K2, gunung kedua tertinggi didunia. Saat itu, Hall sedang mendaki bersama teman dan rekan bisnisnya, Gary Ball, sementara Fischer sedang memandu seorang pendaki ternama dari Amerika bernama Ed Viesturs. Dalam perjalanan menuruni gunung setelah mencapai puncak, dibawah terjangan badai, Fischer, Viesturs dan rekan ketiga mereka yg juga warga Amerika, Charlie Mace, bertemu dengan Hall yg sedang berusaha menyadarkan rekannya Gary Ball, yg tidak mampu bergerak sendiri karena terserang penyakit ketinggian yg mematikan. Ditengah badai salju, Fischer, Viesturs dan Mace membantu membawa Ball menuruni lereng bawah gunung yg tersapu longsoran salju, menyelamatkan hidupnya. (Setahun kemudian Ball tewas karena penyakit yg sama dilereng Dhaulagiri).
      Fischer, empat puluh tahun, bertubuh kukuh dan pandai bergaul, menampakkan kesan yg energik. Rambut pirangnya yg panjang diikat ke belakang membentuk ekor kuda. Saat usianya baru empat belas tahun dan masih duduk dibangku sekolah, secara kebetulan dia melihat sebuah program televisi tentang mendaki gunung yg membuatnya terkagum-kagum. Musim panas berikutnya, dia berangkat ke Wyoming dan mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus pecinta alam yg dikelola oleh National Outdoor Leadership School (NOLS). Selepas SMU, Fischer pindah secara permanen ke wilayah Barat Amerika, bekerja untuk NOLS sebagai instruktur musiman. Sejak saat itu mendaki gunung menjadi pusat kehidupannya, dan dia tidak pernah lagi menoleh ke belakang.
       Saat usianya delapan belas tahun dan bekerja untuk NOLS, dia jatuh cinta kepada salah seorang murid didalam kursusnya yg bernama Jean Price. Mereka menikah tujuh tahun kemudian, menetap di Seattle dan memiliki dua orang anak, Andy dan Katie Rose (masing-masing berusia sembilan dan lima tahun ketika Scott berangkat ke Everest pada 1996). Price memperoleh ijasah sebagai pilot komersial dan menjadi salah seorang pilot Alaska Airlines---sebuah karier bergengsi dan bergaji tinggi, yg memungkinkan Fischer menekuni karier sebagai pendaki penuh waktu. Berkat penghasilan istrinya, Fischer mampu meluncurkan perusahaannya, Mountain Madness pada 1984.
       Jika nama perusahaan milik Hall, Adventure Consultants, mencerminkan pendekatan Hall yg metodis dan cermat dalam mendaki gunung, Mountain Madness mampu dengan lebih baik mencerminkan model kepribadian Scott Fischer. Diawal usia dua puluhan,Scott Fischer sudah memiliki reputasi sebagai pendaki yg berani dan nekat. Sepanjang karier pendakiannya, beberapa kali Fischer lolos dari kecelakaan yg semestinya sudah menewaskannya.
       Paling sedikit dua kali ---masing-masing di Wyoming dan di Yosemite---Scott pernah jatuh dari ketinggian lebih dari 80 kaki saat sedang mendaki gunung. Di Wind River, ketika di bekerja untuk NOLS sebagai instruktur junior dalam sebuah kursus, Fischer yg mendaki tanpa tali terjatuh dari ketinggian 70 kaki ke dasar celah gletser Dinwoody. Namun kecelakaan paling buruk barangkali terjadi saat dia masih seorang pendatang baru dalam dunia mendaki gunung es; meskipun belum berpengalaman, Fischer memutuskan untuk melakukan petualangan pertamanya, mendaki sebuah jeram es yg berbahaya bernama Bridal Veil yg terletak di Ngarai Provo, Utah. Ketika dia sedang berlomba dengan dua pendaki lain, Fischer kehilangan pijakan pada ketinggian 100 kaki, dan jatuh meluncur ke bawah.
      Orang-orang yg menyaksikan  kejadian tersebut dibuat tercengang karena Fischer langsung berdiri dan berjalan tanpa luka yg berarti. Namun ketika tubuhnya sedang meluncur ke bawah, sebuah beliung kecil untuk mencongkel es menembus salah satu sisi betisnya. Ketika beliung itu dikeluarkan, sebagian jaringan tubuhnya ikut terangkat,meninggalkan sebuah lubang sebesar pensil pada kakinya. Setelah keluar dari ruang gawat darurat rumah sakit setempat, Fischer tidak mau menyia-nyiakan sisa uangnya untuk perawatan lanjutan, dan selama enam bulan berikutnya dia tetap mendaki dengan luka yg masih terbuka dan bernanah. Lima belas tahun kemudian, dengan bangga dia menunjukkan kepadaku bekas luka permanen yg diakibatkan oleh kecelakaan tersebut; sepasang bulatan sebesar uang logam yg mengapit tumitnya.
       "Scott sering memaksakan diri melebihi batas-batas kekuatan fisiknya," kenang Don Peterson, seorang pendaki ternama dari Amerika yg bertemu Fischer sesaat setelah dia terjatuh dari Jeram Bridal Veil. Peterson menjadi semacam mentor bagi Fischer, dan selama dua dekade keduanya sering mendaki bersama-sama. "Dia memiliki tekad baja. Betapapun rasa sakit yg dia rasakan---dia akan mengabaikannya dan terus mendaki. Dia bukan pria yg mundur hanya karena kakinya sakit." 
       "Scott berambisi untuk menjadi pendaki besar, salah satu yg terbaik didunia. Aku ingat, dikantor pusat NOLS ada semacam ruang untuk latihan fisik. Scott kerap masuk kedalam ruangan tersebut dan berlatih keras sampai muntah-muntah. Dan itu dilakukannya secara rutin. Tidak banyak orang yg mempunyai tekad baja seperti itu."
       Orang-orang tertarik oleh energi dan kebaikan hati Fischer, oleh sifatnya yg sangat terbuka dan oleh semangatnya yg hampir-hampir kekanak-kanakan. Polos, emosional dan enggan mengintrospeksi diri, dan sifatnya yg sangat terbuka dan menarik membuatnya mudah mendapat sahabat, persahabatan yg terus bertahan sepanjang hidup: ratusan orang---termasuk mereka yg baru dijumpainya sekali atau dua kali saja---sering menganggap Fischer sebagai teman akrab. Selain itu, Scott juga dikaruniai wajah tampan seorang bintang film dan tubuh seorang binaragawan. Sebagian orang yg tertarik kepadanya adalah kaum hawa dan Scott benar-benar menyadari daya tariknya.
      Pria dengan nafsu makan besar ini kerap mengisap kanabis (meskipun dia tidak melakukannya saat bekerja) dan sering minum-minuman keras, melebihi batas yg baik untuk kesehatannya. Sebuah ruang dibagian belakang Mountain Madness berfungsi sebagai klub rahasia Scott: setelah menidurkan anak-anaknya, dia kerap mengundang  teman-temannya untuk merokok dan menonton slides tentang keberanian mereka saat mendaki gunung.
       Selama dekade 1980, Fsicher melakukan sejumlah pendakian spektakuler yg melejitkan namanya dikalangan para pendaki lokal, tetapi para bintang pendaki dunia masih belum mengakuinya. Betapapun keras usahanya, Fsicher belum mampu menarik spomsor dari perusahaan komersial seperti yg dinikmati rekan-rekan seprofesinya; dia cemas bahwa para pendaki kenamaan tidak menghormatinya.
      "Pengakuan merupakan hal penting bagi Scott," kata Jane Bromet manajer humas sekaligus teman kepercayaannya, yg sekali-sekali menjadi mitra Scott dalam pelatihan. Beberapa kali Jane ikut dalam ekspedisi Mountain Madness ke Base Camp untuk mengirimkan laporan melalui internet ke situs Outside Online. "Scott sangat mendambakan pengakuan. Dia memiliki sisi lemah yg tidak tampak oleh kebanyakan orang; dia benar-benar resah karena dia tidak dihormati secara luas sebagai pendaki yg berani. Dia merasa diremehkan dan itu menyakitkan."
       Ketika Fischer berangkat menuju Nepal pada musim semi 1996,dia bertekad untuk memperoleh pengakuan yg menurutnya layak dia dapatkan.Sebagian pengakuan tersebut sudah diperolehnya saat dia menaklukkan Everest pada 1994 tanpa bantuan oksigen. Melalui program Sagarmatha Environmental Expedition, tim Fischer berhasil membuang 2-5 ton sampah dari gunung tersebut---selain bermanfaat bagi lingkungan, tindakan tersebut ternyata mampu menjadi semacam publikasi yg sangat baik. Pada Januari 1996, Fischer memimpin upaya pengumpulan dana melalui ekspedisi Kilimanjaro, gunung tertinggi di Afrika, dan berhasil meraup setengah juta dollar yg kemudian disumbangkan kepada organisasi amal CARE. Berkat program lingkungan Everest 1994 dan program Kilimanjaro, saat Fischer menuju Everest  pada 1996, namanya mulai sering muncul dalam beberapa rubrik media di Seattle, dan kariernya sebagai pendaki gunung ikut melejit.
       Para wartawan kerap bertanya kepada Fischer tentang resiko kariernya sebagai pendaki terhadap perannya sebagai seorang suami dan ayah. Fischer menjawab bahwa dia bukan lagi seorang pendaki nekat seperti saat dia masih muda---bahwa sekarang dia lebih berhati-hati, layaknya pendaki yg konservatif. Menjelang keberangkatannya ke Everest pada 1996, Scott bicara dengan seorang penulis dari Seattle, Bruce Barcott, "Aku 100 persen yakin bahwa aku akan kembali....Istriku juga yakin 100 persen bahwa aku akan kembali. Dia tidak pernah cemas jika aku sedang memandu karena yakin aku akan melakukan tindakan yg tepat. Kecelakaan yg banyak terjadi sebagian besar disebabkan oleh kelalaian manusia. Kelalaian seperti itulah yg akan aku hilangkan. Aku sudah sering celaka ketika aku masih muda. Aku bisa saja berkelit dan mengajukan beberapa alasan, tetapi itu semua terjadi karena kelalaian manusia.
      Betapapun besarnya keyakinan Fischer, kariernya sebagai pendaki tetap saja membawa dampak negatif pada keluarganya. Fischer sangat mencintai anak-anaknya; ketika dia sedang berada di Seattle, dia benar-benar menjadi ayah yg telaten bagi kedua anaknya, tetapi dia juga harus sering meninggalkan rumah selama berbulan-bulan. Tujuh kali Fischer tidak hadir dalam sembilan kali peringatan ulang tahun anaknya. Dan menurut beberapa temannya, saat Fischer berangkat ke Everest pada 1996, rumah tangganya sudah mulai goyah.
      Tetapi Jean Price, istri Fischer, menyangkal dan mengatakan bahwa goyahnya perkawinan mereka sama sekali tidak terkait dengan karier Scott. Keretakan perkawinan mereka lebih banyak disebabkan oleh tuntutan hukum yg diajukan Jean Price terhadap majikannya karena pelecehan seksual. Perkara pengadilan dengan pihak Alaska Airlines berlangsung sepanjang tahun 1995. Meskipun kasus itu sudah berakhir, dampak perselisihan hukum tersebut cukup memukul mereka, karena selama hampir satu tahun Jean Price kehilangan gajinya. Keuntungan dari bisnis Fischer tidak mampu menutupi hilangny penghasilan Price sebagai penerbang. "Untuk pertama kalinya sejak pindah ke Seattle, kami menghadapi masalah keuangan," keluhnya.
       Seperti pesaingnya yg lain, Mountain Madness belum mampu meraih banyak keuntungan sejak perusahaan tersebut berdiri: pada 1995, Fischer hanya membawa pulang 12.000 dollar. Namun keadaan sekarang mulai membaik, berkat nama Fischer yg terus menanjak dan berkat mitra bisnis yg merangkap manajer administrasinya, Karen Dickinson. Sebagai seorang organisator yg baik dan hati-hati, Karen Dickinson mampu mengimbangi sifat Fischer yg terlalu intuitif dan ugal-ugalan. Setelah mengamati sukses Rob Hall menjadi pemandu di Everest---dan tingginya tarif yg ditawarkan Hall berkat sukses yg diraihnya---Fischer memutuskan untuk mulai memasuki pasar Everest. Jika dia bisa mengikuti jejak Hall, dia akan mampu mendongkrak keuntungan Mountain Madness.
       Uang sebenarnya bukan masalah penting bagi Fischer. Dia sendiri tidak terlalu peduli pada hal-hal yg bersifat materi, tetapi dia sangat mendambakan penghormatan, dan dia sadar bahwa didalam budaya masyarakatnya, uang merupakan tolok ukur kesuksesan.
       Beberapa minggu setelah Fischer sukses memimpin ekspedisi Everest pada 1994, aku bertemu dengannya di Seattle. Aku tidak mengenalnya dengan baik, tetapi kami memiliki beberapa teman yg sama dan sering bertemu saat melakukan pendakian atau pesta-pesta kelompok pendaki. Dalam pertemuan kali ini, secara khusus Fischer mengajakku bicara tentang ekspedisi Everest yg sedang dia rencanakan: aku harus ikut, katanya membujuk, dan menulis artikel tentang dunia mendaki untuk majalah Outside. "Benar-benar gila jika orang dengan pengalaman minimal sepertiku ingin mendaki Everest," jawabku, tetapi dia menjawab, "Pengalaman sebenarnya tidak terlalu penting. Bukan ketinggian yg penting, melainkan sikap. Aku yakin kamu akan baik-baik saja. Kamu pernah mendaki beberapa gunung yg cukup sulit---pendakian yg lebih sulit dari Everest. Gunung besar itu sudah kita taklukkan, kita sudah memasang tali disana. Anggap saja, kita sudah membangun jalan batu sampai ke puncaknya.
      Scott berhasil menarik perhatianku---bahkan lebih dari yg dia sadari---dan dia benar-benar gigih. Setiap kali kami berjumpa dia akan bicara tentang Everest dan berkali-kali mengulang gagasannya dihadapan Brad Wetzler, salah seorang editor majalah Outside. Pada Januari 1996, berkat upaya Fischer yg terus menerus, majalah Outside memutuskan untuk mengirimku ke Everest---mungkin sebagai anggota Ekspedisi Fischer, kata Wetzler. Scott yakin, dia sudah mengantongi satu klien.
      Namun, sebulan sebelum keberangkatan, aku menerima telpon dari Wetzler yg melaporkan tentang perubahan rencana: Rob Hall mengajukan tawaran yg lebih baik kepada majalah Outside, dan Wetzler menyarankan agar aku ikut kedalam kelompok Adventure Consultants, bukan sebagai anggota kelompok Fischer. Saat itu, aku sudah mulai mengenal dan menyukai Fischer, dan belum tahu banyak tentang Hall, sehingga awalnya aku merasa sedikit ragu. Namun setelah seorang rekan pendaki meyakinkanku bahwa reputasi Hall benar-benar prima, dengan bersemangat aku setuju untuk mendaki Everest bersama Adventure Consultants.
       Suatu malam di Base Camp, aku menanyakan kepada Hall alasannya menginginkanku ikut dalam ekspedisinya. Dengan jujur Hall mengakui bahwa dia bukan benar-benar tertarik kepada diriku atau publisitas yg dihasilkan oleh tulisanku. Yang membuatnya tertarik adalah iklan yg akan diperolehnya sesuai kesepakatan dengan pihak Outside.
      Menurut pengakuan Hall kepadaku bahwa dia hanya akan menerima uang tunai sebesar 10.000 dollar; selebihnya akan dibayar dengan sejumlah besar ruang untuk iklan di majalah Outside. Ruang iklan itulah yg akan dia gunakan untuk menarik pembaca berpenghasilan tinggi, yg suka bertualang dan aktif secara fisik---para klien inti. Dan yg terpenting, Hall menambahkan, "Semua pelanggan itu berasal dari Amerika. Delapan puluh sampai Sembilan puluh persen pasar potensial untuk ekspedisi Everest yg dipandu memang warga Amerika Serikat. Sesudah musim pendakian ini, jika rekan seprofesi saya, Scott, berhasil memantapkan diri sebagai pemandu Everest, dia akan memiliki kelebihan dari Adventure Consultants, karean perusahaannya berkantor pusat di Amerika Serikat. Supaya mampu bersaing dengannya, kami harus lebih memperluas iklan perusahaan kami di Amerika."
      Bulan Januari, ketika Fischer mengetahui bahwa Hall berhasil menarikku dari timnya, dia seperti orang yg terserang ayan. Dia menelponku dari Colorado, tidak seperti biasa suaranya terdengar kesal. Dia mengatakan bahwa dia belum benar-benar menyerah. (Seperti Hall, Fischer tidak berpura-pura tertarik pada diriku, tapi pada publisitas dan iklan yg akan diperolehnya dari Outside). Namun, ternyata dia tidak mampu menyaingi penawaran Hall pada majalah tersebut.
      Ketika aku tiba di Base Camp sebagai anggota tim ekspedisi Adventure Consultants, dan bukan anggota Mountain Madness, Scott sama sekali tidak tampak kesal. Saat aku mengunjungi dia di perkemahannya, dia menuangkan secangkir kopi, merangkul bahuku, dan kelihatannya benar-benar senang bisa melihatku.

*Ada empat belas puncak gunung yg lazim dikenal sebagai puncak 8.000 meter: gunung-gunung yg memiliki ketinggian lebih dari 8.000 meter (26.246 kaki) diatas permukaan laut. Meskipun sasaran tersebut tidak bersifat mutlak, para pendaki memiliki kebanggaan tersendiri jika mereka mampu mendaki puncak 8.000 meter. Orang pertama yg berhasil menaklukkan ke empat belas puncak tersebut adalah Reinhold Messner, pada  1986. Sampai hari ini, hanya empat pendaki lain yg berhasil menyamai prestasi Messner.

Bersambung...... 

     
Meskipun Base Camp dipenuhi jejak-jejak peradaban, kami tidak lupa bahwa saat ini kami berada kurang lebih tiga mil dari atas permukaan laut. Berjalan ke kemah utama sehabis makan siang sudah mampu membuat telingaku seperti berdengung  selama beberapa menit. Jika aku duduk terlalu cepat, kepalaku berputar dan aku merasa pusing. Batuk keras yg menyerangku sejak di Lobuje dari hari ke hari menjadi semakin parah. Aku juga kesulitan untuk tidur, gejala umum dari penyakit ketinggian yg ringan. Berhari-hari aku terbangun selama tiga atau empat jam agar bisa bernapas lebih baik, merasa seperti orang yg tercekik. Luka dan goresan kecil pada tubuh sulit untuk sembuh. Nafsu makanku hilang dan sistem pencernaanku yg membutuhkan sejumlah besar oksigen untuk metabolisme makanan, menolak menerima makanan yg dengan susah payah aku telan; padahal tubuhku menjerit untuk mendapatkan makanan. Sedikit demi sedikit, kedua lengan dan kakiku mulai mengecil menyerupai tongkat.
      Kondisi beberapa rekan satu timku bahkan lebih buruk lagi akibat kurangnya oksigen dan lingkungan yg tidak higienis. Andy, Mike, Caroline, Lou, Stuart dan John terserang sakit perut yg memaksa mereka kerap terbirit-birit ke kamar kecil. Helen dan Doug terus menerus diserang sakit kepala. Seperti yg digambarkan Doug kepadaku, "Aku merasa seperti ada sebatang paku yg ditancapkan diantara kedua mataku."
      Bagi Doug, pendakian kali ini merupakan pendakian kedua bersama Hall. Setahun yg lalu, Hall memaksa Doug dan tiga kliennya yg lain untuk turun gunung karena hari sudah mejelang senja dan lereng yg menuju puncak tertutup salju yg dalam dan tidak stabil, padahal mereka hanya tinggal 330 kaki lagi dari puncak. "Puncak itu terlihat saaaangat dekat," katanya sambil tersenyum pahit. "Percayalah, aku tidak pernah melupakannya, meskipun hanya satu hari." Hall membujuknya untuk ikut lagi tahun ini, karena dia kasihan pada Doug yg tidak berhasil mencapai puncak dan memberi potongan harga yg cukup besar agar Doug mau mencoba sekali lagi.
      Diantara rekan-rekan satu timku, Douglah satu-satunya pendaki yg paling sering mendaki tanpa dibantu pemandu profesional; meskipun dia tidak termasuk dalam kelompok pendaki elite, pengalamannya dalam mendaki selama lima belas tahun membuatnya mampu menjaga dirinya sendiri pada medan dengan ketinggian seperti ini. Jika salah seorang anggota tim ekspedisi kami bisa mencapai puncak, pasti Douglah orangnya: selain kuat dan berambisi, Doug juga pernah hampir mencapai puncak Everest.
      Dua bulan lagi, Doug akan mencapai usia empat puluh tujuh tahun. Dia bercerai tujuh belas tahun yg lalu. Kepadaku, Doug mengaku bahwa dia sering terlibat hubungan cinta dengan beberapa orang wanita, meskipun akhirnya wanita itu meninggalkannya karena tidak tahan bersaing dengan gunung-gunung yg sangat dicintainya. Beberapa minggu sebelum berangkat untuk memulai ekspedisi Everest 1996, Doug bertemu dengan seorang wanita saat dia berkunjung ke rumah seorang teman di Tucson, dan keduanya jatuh cinta. Selama beberapa waktu mereka saling berkirim faksimile, kemudian hubungan mereka terhenti, dan Doug tidak mendengar berita apapun darinya. "Aku rasa dia sedang berpikir dan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan kami," katanya dengan muram dan nada menyesal. "Wanita ini benar-benar baik. Tadinya aku mengira  hubungan kami akan mampu bertahan."
      Beberapa saat kemudian, masih pada malam yg sama, Doug mendatangi kemahku sambil melambai-lambaikan sehelai kertas faksimile ditangannya. "Karen Marie akan pindah ke Seattle!" katanya dengan suara gembira. "Wow! Sepertinya dia sungguh-sungguh. Kali ini aku harus benar-benar sampai ke puncak, kemudian melupakan Everest untuk selamanya sebelum dia berubah pikiran."
       Selain berkirim surat dengan wanita baru dalam kehidupannya itu, Doug mengisi hari-harinya di Base Camp dengan menulis puluhan kartu pos untuk murid-murid Sekolah Dasar Sunrise, sebuah sekolah negeri di Kent, Washington, anak-anak yg membantu Doug mencari dana untuk pendakian ini dengan menjual T-shirt. Dia menunjukkan sejumlah kartu pos yg ditulisnya, "Beberapa orang punya impian yg besar, beberapa yg lain punya impian yg kecil saja," tulisnya pada seorang gadis kecil bernama Vanessa. "Apapun yg kamu lakukan, kamu tidak boleh berhenti bermimpi. Itu yg terpenting."
       Tetapi, waktu terbesar Doug dihabiskan untuk menulis faksimile kepada kedua anaknya yg sudah dewasa---Angie, sembilan belas tahun, dan Jaime, dua puluh tujuh tahun---yg dia besarkan sendirian. Tenda Doug terletak tepat disamping tendaku, dan setiap kali dia menerima faksimile dari Angie, dia akan membacakannya dengan suara gembira, "Benar-benar hebat," katanya, "Bagaimana mungkin orang gagal seperti aku bisa membesarkan seorang anak yg hebat seperti dia?"
       Aku sendiri jarang menulis kartu pos atau faksimile kepada siapapun. Aku justru sering termenung memikirkan cara bertahan diatas gunung nanti, terutama diwilayah yg dikenal sebagai "zona kematian" yg terletak diatas ketinggian 25.000 kaki. Aku menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari batuan dan es, lebih dari yg dilakukan oleh rekan-rekanku maupun oleh para pemandu. Namun, keahlian teknis hampir-hampir tidak berarti di Everest ini, aku juga merupakan peserta yg paling tidak memiliki pengalaman mendaki gunung-gunung yg tinggi dibanding dengan peserta lain. Bahkan, Base Camp---yg letaknya di jari kaki Everest---sudah lebih tinggi dari tempat manapun yg pernah kudaki seumur hidupku.
       Akan tetapi, kerisauanku sepertinya tidak membuat Hall cemas. Menurutnya, setelah tujuh kali melakukan ekspedisi ke Everest, dia sudah menyusun program aklimatisasi yg sangat efektif yg membuat kliennya mampu beradaptasi dengan menipisnya kandungan oksigen didalam atmosfer. (Di Base Camp, jumlah oksigen di udara kira-kira setengah dari jumlah oksigen ditepi laut; dan dipuncak gunung jumlah itu menurun menjadi sepertiganya). Dihadapkan pada ketinggian yg terus meningkat, tubuh manusia akan menyesuaikan diri dengan berbagai cara, mulai dari meningkatkan sistem pernapasan, mengubah pH dalam darah, atau secara drastis meningkatkan jumlah sel-sel darah yg mengangkut oksigen---perubahan yg membutuhkan waktu beberapa minggu.
       Akan tetapi, Hall meyakinkan kami bahwa setelah melakukan tiga kali pendakian diatas Base Camp, dengan masing-masing pendakian mencapai lebih dari 2.000 kaki, tubuh kita akan cukup beradaptasi untuk bisa mencapai puncak Everest, yg berada pada ketinggian 29.028 kaki. "Cara itu sudah dicoba sebanyak tiga puluh sembilan kali dan sejauh ini selalu berhasil, kawan, "katanya meyakinkanku sambil tersenyum lebar untuk menepis keraguanku. "Selain itu, beberapa orang yg pernah mencapai puncak bersamaku, sama gugupnya seperti kamu." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar