Kamis, 30 Juli 2015

Partner Mendaki = Separuh Nyawa

Bisa menemukan teman yang sehati dalam berpetualang, khususnya mendaki gunung adalah anugrah tersendiri. Selama menjalani hobi ini, tak banyak saya berkesempatan menemukan teman (baca : partner) yang benar-benar sehati.
Memiliki tubuh yang kuat secara fisik, peralatan yang lengkap, waktu luang serta finansial yang mendukung sudah merupakan satu paket komplit untuk bisa menikmati suatu perjalanan mendaki. Banyak di antara kita yang masih kedodoran di salah satu poin tersebut, sehingga sering kita harus memutar otak untuk "men-subsidi silang" agar 4 poin tersebut bisa terpenuhi. Saya pribadi pun termasuk yang sering kedodoran. Maklumlah secara fisik saya tidak terlalu bagus, peralatan dan finansial juga apa adanya.

Beruntung selama ini setiap pergi mendaki saya selalu bersama teman-teman yang tangguh dan bisa mengerti sifat dan kekurangan saya saat berpetualang. Keberadaan teman perjalanan yang seperti ini sangatlah penting bagi saya karena menentukan "kesempurnaan dan hasil akhir". Saya sangat merasa nyaman jika bepergian dengan teman yang sudah mengenal karakter saya, pun begitu sebaliknya. Rasa nyaman yang timbul berbanding lurus dengan terjaganya mental, psikologi serta fisik saya, sehingga kekosongan dari salah satu empat faktor di atas bisa ditutupi dan tidak berpengaruh secara signifikan.

Tentu saja bisa menemukan teman yg sehati tidak semudah membalikkan telapak tangan, diperlukan waktu dan kesempatan untuk bersama-sama agar "sense of belonging"-nya muncul dan terasah. Kesempatan untuk bersama-sama yang saya maksud jelas adalah saat mendaki, di hutan, di alam bebas, dimana uang tidak lagi berlaku. Kenapa saya men-syaratkan teman sehati tersebut harus sudah menghabiskan waktu di gunung atau hutan bersama saya???
Simpel saja, sebab saya sudah ratusan atau mungkin ribuan kali menemukan bahwa sifat asli seseorang akan muncul ketika dia berada di tempat yang bukan "habitatnya" serta jauh dari rasa nyaman. Dengan bahasa yang lebih tegas saya katakan bahwa seseorang yang anda anggap teman ketika di darat belum tentu tetap menjadi "teman" saat di gunung atau hutan. Karena hal tersebut, akhirnya saya sering menjadikan gunung atau hutan sebagai arena pengujian kesetiakawanan dan solidaritas teman-teman saya.

Kembali ke topik utama tulisan ini, proses pencarian teman sehati inilah yang tidak mudah. Salah satu cara pertama yang bisa dilakukan serta menjadi kunci dasar adalah mencari teman yang memiliki kesamaan minat. Setelahnya lalu memiliki kesamaan visi misi dalam berpetualang. Walau sebenarnya perbedaan visi misi bisa di atasi dengan membangun toleransi serta tenggang rasa, tapi jika bisa ditemukan persamaan maka perjalanan yang dilakukan akan menjadi lebih sempurna.
Saya bersyukur masih memiliki teman-teman sehati yang bisa saya andalkan ketika berpetualang. Teman-teman yang sudah sangat memahami karakter saya di lapangan. Bersama mereka saya merasa aman dan nyaman. Bagi saya keberadaan mereka adalah separuh nyawa saya saat berpetualang.

Salam Lestari

Note: Untuk teman-teman dan sahabat sehati saya dalam mendaki, terima kasih sudah selalu menjaga saya.

Selasa, 28 Juli 2015

Gunung Salak I 2211 mdpl via Pasir Reungit.

Tanggal 20 Juli 2015, Senin, hari ke empat pasca Idul Fitri, dengan menaiki si Jagur---motor kesayangan---saya menyusuri jalanan menuju Pasir Reungit Leuwiliang. Di punggung saya tersandang daypack Eiger 20L. Kali ini saya bergaya ala Ultralight Hiker, yang memang sedang jadi trend...*latah mode...hehe.

Rencananya hari ini saya akan menuju ke Kawah Ratu dan Puncak Salak I. Terakhir saya ke Kawah Ratu sekitar tahun 2003, dan saya yakin sekali pasti sudah banyak perubahan disana. Satu hal yang selalu saya ingat tentang jalurnya adalah "becek dan basah". Ya, jalur menuju Kawah Ratu hingga Puncak Salak I melalui Pasir Reungit memang di dominasi oleh jalur air. Kondisi terkering di musim kemarau sekalipun tetap lembab dan licin.


Kawah Ratu adalah tempat yang sangat akrab dengan memori saya sebab di tempat ini dulu saya beserta teman-teman Amazon Corps menjalani Pendidikan Dasar Alam, mulai dari Navigasi, P3K hingga Survival. Bahkan latihan fisik pun di tempa disini.


Hari ini saya kembali, dengan teman-teman dari KPK Korwil Bogor. Iyan, Ifenk, Choky, Irvan, Nur, Gery dan Nurdin. Kurang lebih jam 8.30 kami berangkat dari kota Bogor. 2 jam kemudian kami tiba di area Curug Cigamea, berhenti sejenak untuk mengisi perut. Hingga di titik ini, saya cukup heran dengan perkembangan wisata didaerah ini. 


Kawasan sekitar kaki Gn.Salak memang sangat terkenal dengan Curug nya, yang sudah dikomersialkan tak kurang dari 8 Curug, belum lagi yang masih alami dan belum terekspose. Dulunya, Curug Cigamea hanya memiliki akses masuk 1 gerbang saja, tetapi sekarang tak kurang dari 4 gerbang masuk tersedia. Begitupun tempat-tempat wisata buatan lainnya yang menjamur. Suasananya mirip di Tretes Jawa Timur.


Setelah 1 jam, kami melanjutkan perjalanan menuju pos TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak). Oh iya, digerbang bawah, kira-kira 3 kilometer sebelum Curug Cigamea, setiap kendaraan yang melintas di pungut biaya retribusi sebesar 7500/orang. Sebenarnya ini pungutan resmi, tapi sayang tidak didukung dengan berkas administrasi berupa tiket / karcis yg sesuai. Saya sudah mengetahui tentang ini sejak dulu, dan ternyata urusan administrasi ini sama sekali tidak ada perubahan menjadi lebih baik. Sebagai contoh, karcis yang saya terima tertulis tahun 2014...ckckck...belum lagi oknum petugas yang kadang nakal, membulatkan retribusi menjadi 10.000/org (ini saya alami sendiri).


Sambil berjalan pelan, selepas lokasi Curug Ngumpet saya sempat kebingungan mencari dimana letak pintu masuk Kawah Ratu. Dulu, area di sekitar pintu masuk ke Kawah Ratu sangat terbuka, terdapat warung di sebelah kiri jalan. Letak pos perijinannya ada disebelah kanan di atas bukit yg agak gundul. Setelah terlewat beberapa meter, Nurdin menghampiri motor saya, memberi tahu bahwa pintu masuk Kawah Ratu sudah terlewat. Saya lihat ke arah yang ditunjuk Nurdin, ternyata memang sudah berubah 180°. Lokasi yang dulunya bukit gundul sudah lebat tertutup pohon-pohon pinus tinggi menjulang. Warung-warung di kiri jalan juga sudah tidak ada, gantinya berjajar warung-warung di kanan jalan hingga ke arah atas menuju pos perijinan. Kalau saja tadi saya tidak diberi tahu mungkin saya bisa bablas terus menuju gerbang Gunung Bunder dan kembali turun ke kota...hehe. 


Kami menaiki motor hingga warung yang terakhir, yang letaknya paling atas, 50 meter dari pos perijinan. Setelah menitipkan motor dan helm kami berdelapan segera menuju pos perijinan untuk mengurus simaksi TNGHS. Untuk masuk kawasan lebih dari 1 hari kami harus membayar Rp.25.000/org. Cukup kaget juga dengan besaran biaya tersebut, tapi tak apalah demi memenuhi hasrat merimba. 


Setelah selesai urusan administrasi dan foto-foto kami pun memulai perjalanan menyusuri setapak berbatu yang rindang. Jam saya menunjukkan tepat pukul 12.00.

Kami berjalan dengan ritme sedang sambil menyesuaikan kondisi badan. Rimbunnya pepohonan dan gemericik suara air yang menemani sepanjang jalan membuat damai suasana. Jalur menuju Kawah Ratu dan Puncak Salak I melalui Pasir Reungit memang lebih panjang dan lebih ekstrim jika dibanding dengan jalur Cimelati ataupun Cidahu via Javanaspa. Tapi melimpahnya air  serta pemandangan yang indah membuat jalur ini cukup ramai di lintasi, utamanya saat musim pendakian. 


Dengan berjalan santai atau sedang diperlukan waktu 2-3 jam untuk mencapai Kawah Ratu. Gunung Salak memang merupakan zona penyangga kehidupan masyarakat Bogor dan Sukabumi, air yang mengalir sepanjang tahun merupakan berkah tersendiri. Terlepas banyaknya cerita-cerita tragis dan mistis tentang pendakian digunung ini tetap saja tidak mengurangi minat para pendaki untuk mengunjunginya. 


Salah satu hal yang wajib menjadi perhatian bagi para pendaki adalah persiapan matang, baik rencana perjalanan, peralatan serta perbekalan. Gunung Salak terkenal tidak bisa diprediksi cuacanya, di musim kemarau sekalipun bisa tiba-tiba terjadi hujan badai tanpa memandang waktu pagi, siang ataupun malam. Meski tidak terlalu tinggi tapi udara dingin gunung ini cukup membuat gentar para pendaki. Tidak sedikit yang sudah menjadi korbannya. Belum lagi keberadaan pacet, meski tidak "sedahsyat" di Salak II.

Waktu menunjukkan pukul 14.15 saat kami tiba di awal area Kawah Ratu. Di tandai dengan banyaknya pohon mati seperti hutan mati Papandayan dan aliran sungai berwarna putih dan berbau khas belerang. Setelah melewati setapak kecil kami tiba di area lembah Kawah Ratu yang pertama, dikenal sebagai area Kawah Mati, luasnya sekitar 2-3 hektar. Di sebelah kiri terdapat sungai kecil berbatu yang airnya tidak bisa diminum, terdapat juga memorial monumen pendaki yang tewas disana. 


Tidak berlama-lama, kami segera berjalan ke arah kanan, menyusuri jalur yang agak menanjak untuk menuju area kawah utama. Jarak antara area Kawah Mati dan area kawah utama kurang lebih 10-15 menit dengan kontur setapak berbatu berwarna putih diselingi hutan mati. Kami berhenti sejenak untuk berfoto-foto di awal area Kawah Ratu utama yang masih aktif. Siang menjelang sore, suasana ramai sekali oleh para turis lokal yang sekedar berkunjung pulang hari. Umumnya para pengunjung yang datang kesini bertujuan untuk mandi di sungai belerang yang terletak agak di tengah kawah atau melulur sekujur tubuhnya dengan belerang.


Padahal sebenarnya kegiatan semacam ini sangat riskan dan bisa mengundang musibah. Area utama Kawah Ratu ini masih aktif, dalam artian bukan riskan erupsi melainkan aktif mengeluarkan gas-gas beracun khas kawah yang tidak bisa di prediksi. Bergolaknya lumpur belerang di beberapa titik disertai suara menderu menandai bahwa papan peringatan di sekitar area bukanlah untuk menakut-nakuti pengunjung. Saya menyayangkan banyaknya pengunjung yang tidak mengindahkan larangan-larangan yang ada, bahkan ada yang nekat mendirikan tenda di area kawah.


Setelah membasahi buff dengan air, saya gunakan buff tersebut untuk menutup hidung sebelum melintasi kawah. Saya selalu melakukan cara ini ketika akan melewati jalur-jalur yang berpotensi ada gas-gas berbahaya untuk meminimalisir keracunan. Diharapkan kain basah menjadi filter pertama dari kemungkinan gas beracun. Untuk melintasi Kawah Utama diperlukan waktu sekitar 15-20 menit. Yang perlu diperhatikan adalah sebaiknya tidak melintas kawah saat kabut sedang tebal atau pasca turun hujan, selain sangat berbahaya akibat jarak pandang terbatas juga gas-gas beracun berpotensi muncul.

Alhamdulillah kami semua melintas kawah dengan selamat. Setelah Kawah Ratu kami berjalan menyusuri hutan Pandan Cangkuang, salah satu tanaman yang menjadi ikon di Gunung Salak. Target kami adalah membuka tenda di pertigaan Bajuri. Sebelumnya kami bermusyawarah di pos pertama setelah Kawah Ratu akan membuka tenda dimana. Sempat kami akan membuka tenda di area Helipad. Pertimbangannya kami khawatir karena musim kemarau ini sumber air disekitar Bajuri kotor dan tidak layak konsumsi. 


Sebelum area Helipad, atau 15 menit lepas Kawah Ratu memang terdapat sungai dengan air berlimpah. Helipad sendiri terletak 10 menit diatas sungai tersebut dan merupakan sebuah lapangan luas tempat mendarat helikopter untuk mengevakuasi jika terjadi kecelakaan di area Salak I.


Jalur menuju pertigaan Bajuri dari Helipad menurun dan berbatu. Jika cuaca cerah dan kita berdiri di tengah Helipad lalu membalikkan badan kita bisa melihat puncak Salak I di sebelah kanan. Setelah berjalan 20 menit kami pun tiba di pertigaan Bajuri. Pertigaan Bajuri merupakan titik pertemuan antara Jalur Pasir Reungit, Jalur Cidahu dan Jalur menuju Puncak Salak I. Area ini cukup luas dan terlindung, bisa untuk mendirikan 15-20 tenda. 


Dari Pasir Reungit untuk ke Puncak Salak I ambil jalur ke kiri, untuk ke Cidahu ambil ke kanan. Berjalan turun 2-4 menit ke arah Cidahu terdapat aliran air yang bisa di minum. Bajuri sendiri adalah bekas nama pemilik warung yang pernah ada di pertigaan tersebut. Namanya Bang Juri, dan disingkat menjadi Bajuri. Dari Bajuri diperlukan waktu 3-5 jam untuk mencapai Puncak Salak I. Karena saat itu sudah pukul 16.00, saya putuskan tim kami buka tenda di Bajuri.

Setelah memilih lokasi yang ideal kamipun segera mendirikan tenda. Saya memasak untuk makan malam tim. Pukul 18.00 kami semua sudah bersantai, cuaca yang cerah menemani istirahat panjang kami di Bajuri. Saya targetkan besok jam 5 pagi kami akan mulai menuju puncak. Dan untuk menjaga kondisi fisik, saya pun memilih tidur duluan.


 Tak lama setelah shalat Isya saya pun terlelap.
Pukul 4.30, 21 Juli 2015, hari Selasa, sesuai rencana kami semua sudah bangun dan bersiap untuk muncak. Pukul 5.30---meleset 30 menit dari jadwal--- Selesai shalat Subuh dan berdoa kami memulai perjalanan tanpa beban. Tenda dan peralatan lain kami tinggal di Bajuri. Kami hanya membawa 2 daypack dan 1 drybag berisi keperluan logistik dan survival kit. 


Satu jam awal jalur masih cukup "bersahabat" dan gelap. 2 kali saya terjatuh karena medan yang licin. Jalur menuju puncak Salak dalam kondisi kering sekalipun tetaplah licin dan menyulitkan. Didominasi tanah dan akar-akar. Sebelumnya dari basecamp hingga Bajuri di dominasi bebatuan dan aliran air. Oh iya Bajuri juga merupakan tempat sumber air terakhir. 


Pukul 6.30 matahari sudah bersinar terang membuat kami tidak perlu lagi menyalakan headlamp. Jalur masih banyak bonus meskipun semakin sering mempertemukan lutut dengan perut. Satu setengah jam terakhir jalur semakin ekstrim, di beberapa titik tanjakan kami harus menggunakan webbing untuk bisa melintasinya. 


Sekedar info, pada lintasan-lintasan yang sulit memang sudah terpasang webbing atau tali untuk memudahkan pendaki melewatinya. Alhamdulillah tepat pukul 10.00 kami tiba dipuncak Manik, Salak I dengan selamat. Cuaca cerah sekali, nampak di tenggara Gunung Gede Pangrango berdiri dengan gagah. Pepohonan di Puncak Salak I sekarang kondisinya sudah lebih terbuka, tidak serimbun dulu. Sekarang pendaki bisa menikmati sunrise jika cuaca cerah. Makam mbah Salak juga sudah semakin rusak dan tidak terawat.


 Di Puncak, area terbukanya cukup untuk mendirikan lebih dari 20 tenda. Meski sudah banyak sekali perubahan tetapi jalur dan area camp masih relatif bersih dari sampah. Semoga kondisi ini bisa lebih lama dipertahankan.

-------------#####---------------

Salam Lestari

Note: Untuk teman-teman yang perlu info detail atau bantuan untuk menuju ke Salak I ataupun Salak II silakan add :

- WA/SMS : 0811-118-1225

- pin BB DOACE655.


A. Akses dan transportasi:

Start dr Stasiun Bogor

1. Naik angkot 02 atau 03 jurusan Terminal Laladon / Bubulak ongkos 3-4k

2. Naik angkot 05 jurusan Tenjolaya (Cinangneng) ongkos 6-8k

3. Naik odong-odong atau ojek ke pintu gerbang Gn.Bunder atau pintu masuk Kawah Ratu, ongkos pinter-pinter nego, kisaran 25-30k

4. Retribusi gerbang lintas Gn.Bunder 10-15k 

5. Simaksi pendakian 17.500-20.000


B. Rundown

1. BC Pasir Reungit - Kawah Ratu 2-3jam

2. Kawah Ratu - Helipad 30-50 menit

3. Helipad - Simpang Bajuri 20-30 menit

4. Bajuri - Puncak Bayangan 3-4 jam

5. Puncak Bayangan - Puncak Manik 1-1,5 jam

Di puncak Salak I

Plang Helipad tersembunyi di kiri jalur dr arah Kawah Ratu

Area Camp Helipad

Kawah Ratu di lihat dari atas jalur menuju Helipad

Begonia untuk tanaman survival

Rumpun Begonia

Area camp di puncak Salak I

Petilasan 

Tim KPK Korwil Bogor

Gede Pangrango di sebelah tenggara

Salah satu dari 6 tanjakan vertikal menuju puncak

Hutan pandan cangkuang sebelum Helipad

Melintasi Kawah Ratu

Area Kawah Mati

Hutan Mati di Kawah Mati, mirip dengan Papandayan

Gerbang pendakian Pasir Reungit

Sungai terakhir yang layak minum sebelum masuk Kawah Ratu

Sumber air sangat melimpah

Jalur awal pendakian

Peta jalur pendakian

Mantap tanjakannya 

Camp kami di Bajuri

Jalur menuju Bajuri selepas Helipad

Di area Kawah Ratu Aktif

Foto Keluarga

Jalur pertengahan antara Basecamp dan Kawah Ratu

Hutan Mati

Lagi-lagi sumber air

Istirahat sejenak

Jalur lintas Kawah Ratu

Bersantai di puncak Salak I

Jam Terbang Tinggi (bukan) Jaminan Mampu Orientasi Arah

Dalam dunia hiking dan petualangan alam bebas khususnya gunung dan hutan sudah tidak terhitung lagi banyaknya korban yang jatuh. Baik yg berhasil di selamatkan atau tidak. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan di gunung, beberapa di antaranya karena kekurangan perbekalan dan logistik serta manajemen pendakian yang kurang tepat. Pada intinya nyaris 90% kecelakaan di gunung adalah faktor human error, faktor kesalahan manusia sendiri.
Pada kesempatan ini saya khusus menyoroti kecelakaan yang diakibatkan oleh tersesat atau hilang orientasi arah.

Salah satu kasus terbaru tersesatnya pendaki adalah yang terjadi di Gunung Lawu pada akhir Juli 2015 ini. 7 orang yang terdiri dari 5 orang dewasa dan 2 orang anak-anak hampir 4 hari masih belum di temukan. Para pendaki ini merupakan warga Solo, dengan demikian secara kultural tentu sudah akrab dengan Gunung Lawu. Dari informasi-informasi yang saya coba kumpulkan, diketahui bahwa mereka mendaftar pendakian di Pos Cemoro Kandang pada hari sabtu tanggal 25 Juli 2015 dan akan turun tanggal 26 Juli 2015.
Pada tanggal 27 Juli, dari informasi yang di dapat dari pendaki lain, diketahui bahwa pendaki dengan ciri-ciri yang dimaksud masih terlihat di area tertentu. Gunung Lawu sendiri bukanlah gunung yang asing bagi saya. Dengan ketinggian 3265 mdpl, dan terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak kurang sudah 7 kali saya mengunjungi puncaknya. Gunung ini memiliki 3 jalur pendakian yang resmi yaitu Cemoro Kandang dan Candi Cetho yang terletak di Jawa Tengah dan Cemoro Sewu di Magetan Jawa Timur. Bagi saya tingkat kejelasan jalur pendakian Lawu, sangat baik, jelas dan banyak tanda-tanda penunjuk. Jika menilik dari tingkat kesulitan pendakian tentu sifatnya relatif. Mungkin bisa di bilang pendakian via Cetho lah jalur yang paling sulit sebab selain panjang juga tidak ada sumber air. Oleh sebab itu tanpa menganggap enteng, saya pun jadi bertanya-tanya kenapa masih bisa ada yang tersesat di Gunung seperti Lawu ini?? Sebuah pertanyaan besar yang akhirnya juga sudah terjawab oleh saya sendiri setelah melakukan pengamatan dan mencari data secara mandiri.

Jawaban yang saya peroleh tersebut saya dapatkan dari pengamatan saya secara langsung di lapangan terhadap teman-teman saya saat hiking kurun waktu Maret hingga awal Juli 2015 ini. Saya cukup terkejut melihat fakta yang saya dapatkan ini. Saat mendaki, biasanya saya selalu bersama teman-teman yang bukan orang baru, minimal mereka sudah punya pengalaman mendaki 3-4 gunung. Secara teamwork juga nyaris tidak pernah ada permasalahan. Hampir  dalam setiap pendakian pun saya yang menjadi leader sekaligus manajer perjalanan. 20 tahun lebih mendaki, ternyata ada hal yang luput dari pengamatan saya dan ini menyangkut jawaban tentang kenapa orang yang sudah sering mendaki masih bisa tersesat dan hilang digunung yang secara jalur sudah sangat terbuka dan jelas.
Ketika mendaki Arjuno dan Welirang beberapa waktu lalu, salah seorang rekan yang jam terbangnya sudah tergolong tinggi membuat saya terkaget-kaget. Semua berawal ketika saya yang karena lelah memintanya untuk berposisi di depan. Tidak ada 5 menit keadaan menjadi kacau. Posisi kami saat itu menjelang Pos II turun menuju Jalur Lawang. Jalur sangat terbuka, jarak pandang mata juga leluasa, cuaca sangat cerah. Dengan kondisi seperti itu rekan saya bisa mengambil jalur yang salah dan pada akhirnya tidak sampai 5 menit dia menyerah, tidak mau jadi leader jalan. Saya sempat akan marah karena sikapnya itu tapi dengan cepat saya kuasai suasana. Dari situlah saya ketahui bahwa jam terbang yang tinggi tidak serta merta membuat seseorang jadi ahli dan pandai untuk percaya diri memimpin perjalanan. Jam terbang yang tinggi tidak menjamin kemampuan seseorang menentukan orientasi arah atau jalur dalam mendaki. Sejak kejadian di Arjuno Welirang itu bertambah satu wawasan saya tentang kunci keberhasilan suatu pendakian tidak melulu ditentukan oleh faktor teknis. Beberapa kali setelahnya saya pergi mendaki lagi, melakukan pengamatan-pengamatan yang sama untuk memastikan kesimpulan yang akan saya ambil. Dan memang lagi-lagi terbukti, jam terbang tidak menentukan kepercayaan diri, kematangan mental untuk memimpin dan kemampuan menentukan orientasi arah dalam mendaki.

Sejak itulah saya tidak lagi merasa kesal atau aneh jika mendengar ada pendaki tersesat di gunung-gunung yang sebenarnya "Menurut Saya" sudah sangat jelas jalurnya. Karena jelas atau tidak, ekstrim atau mudah, landai atau terjal itu semua sifatnya relatif dan subyektif. Mudah bagi kita belum tentu bagi orang lain, seseorang yang tidak terbiasa menjadi manajer tentu akan kelabakan saat harus memanajeri suatu pendakian. Seseorang yang tidak terbiasa jadi leader akan hilang setengah fokus dan kemampuannya saat harus menjadi leader. Faktor-faktor non teknis mutlak sangat berpengaruh.
Dan akhirnya saya mengajak teman-teman yang sudah terbiasa menjadi leader atau manajer dalam mendaki untuk lebih memperhatikan rekan-rekannya, mengukur sejauh mana kapasitasnya sehingga kita bisa lebih memahami bahwa kemampuan setiap orang berbeda. Bahwa sekali lagi, jam terbang tinggi tidak akan menjamin seseorang mampu memimpin suatu pendakian. Dan yang terakhir bahwa setiap gunung memiliki kesulitan dan keunikannya sendiri, karena jika tidak, daya tarik apalagi yang dimilikinya??