Dalam dunia hiking dan petualangan alam bebas khususnya gunung dan hutan sudah tidak terhitung lagi banyaknya korban yang jatuh. Baik yg berhasil di selamatkan atau tidak. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan di gunung, beberapa di antaranya karena kekurangan perbekalan dan logistik serta manajemen pendakian yang kurang tepat. Pada intinya nyaris 90% kecelakaan di gunung adalah faktor human error, faktor kesalahan manusia sendiri.
Pada kesempatan ini saya khusus menyoroti kecelakaan yang diakibatkan oleh tersesat atau hilang orientasi arah.
Salah satu kasus terbaru tersesatnya pendaki adalah yang terjadi di Gunung Lawu pada akhir Juli 2015 ini. 7 orang yang terdiri dari 5 orang dewasa dan 2 orang anak-anak hampir 4 hari masih belum di temukan. Para pendaki ini merupakan warga Solo, dengan demikian secara kultural tentu sudah akrab dengan Gunung Lawu. Dari informasi-informasi yang saya coba kumpulkan, diketahui bahwa mereka mendaftar pendakian di Pos Cemoro Kandang pada hari sabtu tanggal 25 Juli 2015 dan akan turun tanggal 26 Juli 2015.
Pada tanggal 27 Juli, dari informasi yang di dapat dari pendaki lain, diketahui bahwa pendaki dengan ciri-ciri yang dimaksud masih terlihat di area tertentu. Gunung Lawu sendiri bukanlah gunung yang asing bagi saya. Dengan ketinggian 3265 mdpl, dan terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak kurang sudah 7 kali saya mengunjungi puncaknya. Gunung ini memiliki 3 jalur pendakian yang resmi yaitu Cemoro Kandang dan Candi Cetho yang terletak di Jawa Tengah dan Cemoro Sewu di Magetan Jawa Timur. Bagi saya tingkat kejelasan jalur pendakian Lawu, sangat baik, jelas dan banyak tanda-tanda penunjuk. Jika menilik dari tingkat kesulitan pendakian tentu sifatnya relatif. Mungkin bisa di bilang pendakian via Cetho lah jalur yang paling sulit sebab selain panjang juga tidak ada sumber air. Oleh sebab itu tanpa menganggap enteng, saya pun jadi bertanya-tanya kenapa masih bisa ada yang tersesat di Gunung seperti Lawu ini?? Sebuah pertanyaan besar yang akhirnya juga sudah terjawab oleh saya sendiri setelah melakukan pengamatan dan mencari data secara mandiri.
Jawaban yang saya peroleh tersebut saya dapatkan dari pengamatan saya secara langsung di lapangan terhadap teman-teman saya saat hiking kurun waktu Maret hingga awal Juli 2015 ini. Saya cukup terkejut melihat fakta yang saya dapatkan ini. Saat mendaki, biasanya saya selalu bersama teman-teman yang bukan orang baru, minimal mereka sudah punya pengalaman mendaki 3-4 gunung. Secara teamwork juga nyaris tidak pernah ada permasalahan. Hampir dalam setiap pendakian pun saya yang menjadi leader sekaligus manajer perjalanan. 20 tahun lebih mendaki, ternyata ada hal yang luput dari pengamatan saya dan ini menyangkut jawaban tentang kenapa orang yang sudah sering mendaki masih bisa tersesat dan hilang digunung yang secara jalur sudah sangat terbuka dan jelas.
Ketika mendaki Arjuno dan Welirang beberapa waktu lalu, salah seorang rekan yang jam terbangnya sudah tergolong tinggi membuat saya terkaget-kaget. Semua berawal ketika saya yang karena lelah memintanya untuk berposisi di depan. Tidak ada 5 menit keadaan menjadi kacau. Posisi kami saat itu menjelang Pos II turun menuju Jalur Lawang. Jalur sangat terbuka, jarak pandang mata juga leluasa, cuaca sangat cerah. Dengan kondisi seperti itu rekan saya bisa mengambil jalur yang salah dan pada akhirnya tidak sampai 5 menit dia menyerah, tidak mau jadi leader jalan. Saya sempat akan marah karena sikapnya itu tapi dengan cepat saya kuasai suasana. Dari situlah saya ketahui bahwa jam terbang yang tinggi tidak serta merta membuat seseorang jadi ahli dan pandai untuk percaya diri memimpin perjalanan. Jam terbang yang tinggi tidak menjamin kemampuan seseorang menentukan orientasi arah atau jalur dalam mendaki. Sejak kejadian di Arjuno Welirang itu bertambah satu wawasan saya tentang kunci keberhasilan suatu pendakian tidak melulu ditentukan oleh faktor teknis. Beberapa kali setelahnya saya pergi mendaki lagi, melakukan pengamatan-pengamatan yang sama untuk memastikan kesimpulan yang akan saya ambil. Dan memang lagi-lagi terbukti, jam terbang tidak menentukan kepercayaan diri, kematangan mental untuk memimpin dan kemampuan menentukan orientasi arah dalam mendaki.
Sejak itulah saya tidak lagi merasa kesal atau aneh jika mendengar ada pendaki tersesat di gunung-gunung yang sebenarnya "Menurut Saya" sudah sangat jelas jalurnya. Karena jelas atau tidak, ekstrim atau mudah, landai atau terjal itu semua sifatnya relatif dan subyektif. Mudah bagi kita belum tentu bagi orang lain, seseorang yang tidak terbiasa menjadi manajer tentu akan kelabakan saat harus memanajeri suatu pendakian. Seseorang yang tidak terbiasa jadi leader akan hilang setengah fokus dan kemampuannya saat harus menjadi leader. Faktor-faktor non teknis mutlak sangat berpengaruh.
Dan akhirnya saya mengajak teman-teman yang sudah terbiasa menjadi leader atau manajer dalam mendaki untuk lebih memperhatikan rekan-rekannya, mengukur sejauh mana kapasitasnya sehingga kita bisa lebih memahami bahwa kemampuan setiap orang berbeda. Bahwa sekali lagi, jam terbang tinggi tidak akan menjamin seseorang mampu memimpin suatu pendakian. Dan yang terakhir bahwa setiap gunung memiliki kesulitan dan keunikannya sendiri, karena jika tidak, daya tarik apalagi yang dimilikinya??
nice share...
BalasHapusSip....like this
BalasHapus