Kamis, 13 Februari 2014

Ketika Kelud Meletus

Setelah 1 bulan dlm pemantauan intensif oleh pihak BNPB dan PVMBG akhirnya semalam, tepatnya jam 22.50 Gn.Kelud memuntahkan isi perutnya. Tidak kurang dr 15km jarak lontaran material vulkaniknya seperti kerikil. Tinggi bubungan asap letusan mencapai maksimal 10km, awal letusan 3km. Ga usah di tanya seberapa jauh debunya terbang dan menutupi area lain. Tercatat pergerakan angin membawa debu vulkanik ke arah barat dan barat daya hingga mencapai daerah Bogor Jawa Barat, bahkan getarannya mencapai Bali.
Sejak awal mengetahui tentang naiknya status Kelud menjadi Waspada level II saya terus mengikuti perkembangannya. Saya selalu tertarik dg fenomena erupsi dr gunung2 berapi yg bertipe Strato volcano. Knp? Sebab sejarah mencatat dampak dr erupsi gunung2 bertipe Strato volcano selalu menimbulkan perubahan kondisi alam dan cuaca hingga level yg ekstrem. Tentu saja di iringi dg banyaknya kerugian material maupun jiwa dr manusia. Hanya khusus untuk tingginya kemungkinan korban jiwa yg jatuh sudah bisa lebih di minimalisir sejalan dg lebih baiknya sistem peringatan dini yg terus dikembangkan oleh BNPB.
Kita tentu tahu sedashyat apa efek erupsi Vesuvius di Italy, atau Krakatau di Selat Sunda. Knp gunung dengan tipe Strato volcano selalu luar biasa dampaknya? Sebab besarnya dapur magma tidak di imbangi dg bentuk kubah lava (kawah) yg besar pula. Umumnya bentuk kubahnya seperti corong, jd bisa di bayangkan seberapa besar kekuatan tekanannya ketika keluar, selalu menimbulkan letusan yg eksplosif dg suara yg entah berapa desibel.
Erupsi dr gunung dg tipe Strato selalu menimbulkan fenomena alam yg "indah" untuk di lihat. Kilatan2 cahaya / petir akan muncul terus menerus mengiringi letusan, kilatan tersebut muncul akibat perubahan suhu dan tekanan yg meningkat drastis akibat aktivitas erupsi. Belum lg muntahan dan pijaran merah menyala dr lava nya. Pemandangan yg indah sekaligus mematikan.
Gunung bertipe Strato biasanya tidak lama dan panjang aktivitas erupsinya. Asalkan jalur untuk keluar magma tidak terhalang, erupsi "hanya" berlangsung dlm hitungan jam atau hari saja. Tapi ya itu tadi, walau sebentar tp dampaknya sangat luar biasa dan massive.
Beruntung kawasan di sekitar lereng Kelud boleh di bilang masih cukup terjaga keadaan hutannya. Saya akui hal tersebut sangat bagus jika di bandingkan dg ketinggian gunungnya yg hanya 1800an mdpl. Kawasan hutan yg tetap terjaga itulah penyelamat manusia yg sesungguhnya, selain keberadaan tim BNPB. Kurang dr 24jam sebelum letusan pertama, hewan-hewan liar yg mendiami hutan di lereng Kelud seperti Harimau, rusa, babi hutan dan lain-lain serempak "turun gunung". Fenomena dr "turun gunung" hewan-hewan tersebut sudah menjadi sinyal mutlak gunung tersebut pasti akan meletus. Itulah kebesaran Tuhan , manusia begitu susah payah menciptakan teknologi pencegahan bencana tapi tetap masih belum bisa di pastikan keakuratannya. Tuhan melalui hewan ciptaanNya bisa menjadi "alarm" penyelamat warga yg berdiam di daerah yg tidak terjangkau teknologi.
Pelajaran yg bisa kita ambil, dampak dr letusan gunung berapi memang tidak bisa di hindari, tp kemungkinan banyaknya korban jiwa bisa kita tekan. Jagalah selalu kelestarian alam dan hutan kita demi kelangsungan hidup kita sendiri.
(#CL Jatinegara - Bogor)

Kecelakaan di Alam Bebas, Salah Siapa?



Lagi-lagi dalam tulisan ini saya membahas tentang rendahnya tingkat keselamatan para penggiat alam bebas saat di lapangan. Selalu ramai di beritakan kecelakaan atau musibah yang menimpa  penggiat alam bebas saat bulan-bulan yang di kenal sebagai puncaknya cuaca ekstrem. Akhir September hingga akhir Maret sudah umum di ketahui menjadi waktu yang tidak ideal untuk melakukan kegiatan di alam bebas. Tentu saja hal tersebut sudah menjadi hafalan di luar kepala bagi para penggiat yang jam terbangnya cukup tinggi dan berpengalaman.
Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi di alam bebas tidak selalu di sebabkan faktor alam itu sendiri. Tidak bijak jika kita harus menyalahkan alam yang "tidak ramah" yang menjadi penyebab utama tingginya kecelakaan tersebut. Jika kita perhatikan secara seksama, korban-korban yang berjatuhan itu di dominasi para penggiat yang usianya masih relatif muda, dalam bahasa saya "nubie adventurer". Bisa di katakan yang menjadi korban cenderung ABG atau penggiat yang minim ilmu dan pengalaman. Memang ada juga korban dari penggiat senior tapi bisa di hitung jari jumlahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam trend meningkatnya peminat penggiat alam bebas tidak di imbangi dengan edukasi yang memadai, baik dari pihak yang berkepentingan atau sekedar tayangan media.
Pada tulisan kali ini saya khusus ingin membahas tentang dampak dan tanggung jawab dari media. Media menurut saya memegang peranan yang sangat penting terhadap tingginya tingkat kecelakaan di alam bebas. Begitu banyak program televisi, tulisan-tulisan di koran, buku serial petualangan dan film yang menawarkan kegiatan dan petualangan alam bebas sebagai menu utamanya. Sebagai contoh, yang sangat fenomenal yaitu film "5 Cm". Film yang berlatar belakang Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa itu begitu "meracuni" anak-anak muda atau ABG yang dominan belum berpengalaman untuk mencoba mendaki.
Saya menyimak film tersebut dan dari versi saya, film tersebut tidak menunjukkan bagaimana mendaki gunung yang aman. Jadi para penontonnya yang mayoritas masih berusia muda pun akan berpikir "dengan alat dan bekal seadanya juga saya pasti bisa mencapai puncak gunung."
Oke-lah ada yang berkilah itu kan hanya film, yang mana hanya mengejar sisi komersial dan pembahasan utamanya adalah tentang persahabatan dan cinta. Tidak akan ada cukup ruang untuk menjelaskan secara detail faktor "safety" dalam pendakian. Fine, dengan berat hati saya pun coba terima alasan tersebut.
 Lalu bagaimana dengan program-program televisi yang memang sengaja di buat untuk membahas dan menjual "petualangan alam bebas"? Tidak perlu saya sebut lah nama-nama programnya toh teman-teman juga pasti tahu apa nama programnya. Pernahkah kalian perhatikan host maupun co-host nya? mendaki gunung, masuk hutan, berburu dan lain-lain hanya menyandang "daypack" alias tas kecil. Sebagai penggiat alam bebas saya marah melihatnya. Sebab utamanya yaitu TIDAK MUNGKIN melakukan kegiatan alam bebas dengan bawaan demikian simpel dan ringkas.
Saya tahu alasan host atau co-host hanya berbekal alat seadanya karena selain agar gerakannya fleksibel juga untuk menjaga penampilan dalam menyampaikan isi acara. Saya juga tahu bahwa tim atau kru pendukung program tersebut jumlahnya sangat banyak agar bisa membawa peralatan dan perbekalan yang mencukupi pula. Istilahnya, ada porter pengangkut barang yang bertugas menjamin keselamatan dan perbekalan. Sekedar informasi saja, jumlah porter yang di sewa oleh rumah produksi yang membuat film "5 Cm" saat take adegan khusus di Gunung Semeru untuk mengangkut alat dan perbekalan tidak kurang dari 220 orang. Bayangkan 220 orang porter!! Sebanyak apa yang mereka harus bawa tentu bisa kita bayangkan.

Kembali ke program televisi, saya mengerti akan sangat memakan durasi jika harus menerangkan secara detail tentang peralatan-peralatan yang di gunakan dalam melakukan kegiatan alam bebas. Tapi setidaknya jika  ada suatu scene yang secara sekilas khusus menyorot banyaknya alat dan perbekalan yang di bawa dan di gunakan untuk mendukung acara tersebut tentunya bukanlah hal yang sulit. Ingat, jam tayang program petualangan itu adalah jam dimana pemirsanya kebanyakan ABG dan usia produktif yang sangat mudah terbawa dan mengikuti ajakan dari program tersebut.
Dengan melihat scene yang saya maksud dalam saran saya tadi sedikit banyak akan menanamkan pikiran tersendiri pada diri mereka (pemirsanya) bahwa untuk berpetualang di alam bebas memerlukan alat dan perbekalan yang memadai dan mencukupi. Mereka akan berpikir, yang sudah kawakan saja peralatannya begitu lengkap. Mereka akan berpikir berpetualang di alam bebas tidak cukup hanya modal nekat dan semangat.
Saya menginginkan para pihak yang berkepentingan (televisi,film,koran dll) agar memberikan edukasi secara penuh, karena tanggung jawab kalian para pihak adalah mutlak terhadap fenomena meningkatnya kegiatan alam bebas dan rendahnya tingkat keselamatan para penggiatnya.
Semoga ke depannya setiap acara, tulisan atau tayangan yang membahas kegiatan alam bebas formatnya bisa seperti yang saya bahas di atas. Karena tingginya minat generasi muda terhadap kegiatan alam bebas adalah suatu hal yang bagus dan positif. Tinggal bagaimana cara pengemasan yang baik dan benar untuk di tiru, sebab, generasi muda itu, nubie adventurer itu, memulai dengan cara melihat dan meniru.

(#Bogor, 9 : 50 pm)

Senin, 10 Februari 2014

Duka Di Lereng Sinabung

Hari pertama di bulan Februari 2014 ini sebenarnya cukup cerah jika dibanding dengan hari-hari sebelumnya yang selalu hujan atau minimal mendung. Tapi sayang karena ulah bodoh beberapa orang, cerahnya hari ini jadi berbalut mendung akibat kabar duka. Iya, saya bilang memang karena ulah bodoh lah kabar duka ini terjadi.
Kabar duka yang saya maksud yaitu meninggalnya 14 orang di lereng Gunung Sinabung siang tadi akibat terjangan awan panas. Awalnya saya berpikir itu murni kecelakaan yang bukan di sebabkan kelalaian manusia, tapi setelah mendapat kabar dari beberapa rekan dan media akhirnya saya tahu kalau musibah ini akibat ulah bodoh para korban sendiri.
Saya bukan tidak berempati dengan para korban, sungguh saya sangat sedih mendengarnya tapi rasa sedih saya juga berbanding lurus dengan rasa kesal saya terhadap para korban. Bagaimana tidak? Selama 5 bulan terakhir Sinabung erupsi bisa di bilang segala hal yang menyangkut keselamatan para penduduk sekitar sangat terjaga dan terkendali. Hasil kerja keras yang baik dari tim BPBD-nya. Benar bahwa ada korban meninggal dunia beberapa orang tetapi bukan di akibatkan kelalaian penanganan tim BPBD atau Basarnas atau apalah namanya. Korban meninggal tersebut karena faktor usia (lansia) dan meninggalnya pun di rumah sakit.
Jadi miris rasanya sekaligus konyol setelah penanganan dan pengendalian yang begitu baik selama 5 bulan kok tiba-tiba jatuh korban jiwa dan langsung dalam jumlah yang bisa di bilang massive. Saya ga habis pikir aja dengan orang-orang yang menjadi korban itu, apa yang ada dalam benaknya kok berani-beraninya masuk ke area atau zona steril yang telah di tetapkan BPBD. Apa di pikirnya erupsi gunung itu suatu hal yang lumrah dan tidak berbahaya? apa di pikirnya yang namanya awan panas itu hanya panas sebatas nama?
Saya pendaki walau bukan profesional, dan saya juga pernah mendaki gunung berapi seperti Merapi Yogya. Orang-orang tahu seperti apa bahayanya mendaki Gunung Merapi. Tapi saya tidak pernah bermain-main dengan yang namanya awan panas. Saya tahu persis dari literatur-literatur yang saya baca bahwa sesungguhnya di setiap gunung berapi yang sekalipun sedang tidak erupsi keberadaan awan panas itu harus selalu di waspadai. Kasarnya awan panas itu seperti selimut pembunuh, tidak bersuara gaduh, datang bergumpal tidak berwarna dengan kecepatan tinggi. Setiap makhluk hidup yang di lewatinya hampir pasti 90% akan mati. Bayangkan saja suhu terendahnya 400-an derajat Celcius, coba bandingkan dengan air mendidih yang di teteskan ke tangan (gimana tuh kulit kita?) padahal itu baru 100 derajat Celsius.
Kembali ke pokok pembicaraan, intinya saat saya tahu para korban itu berada di radius 3 kilometer dari puncak (jarak aman 5 kilometer) saya langsung merasa jengkel, dengan alasan apapun bahkan karena alasan harta benda sungguh sangat tidak logis apa yang mereka lakukan disana. Ditambah saya juga dapat info yang cukup update bahwa para korban tersebut mayoritas justru bukan penduduk asli sekitar melainkan para pencari berita dan ada juga yang sekedar ingin tahu kondisi lereng Sinabung. Geleng-geleng kepala saya...apakah tayangan berita di media elektronik belum cukup untuk meyakinkan mereka bahwa kondisi Sinabung belum kondusif dan jauh dari aman?
Semoga kejadian hari ini jadi pelajaran berharga untuk kita semua. Jangan pernah abaikan peringatan-peringatan yang telah di tetapkan oleh pihak terkait seperti BPBD. Jangan karena merasa diri adalah penduduk asli atau memiliki pengetahuan yang cukup tentang sesuatu lalu jadi pembenaran untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya konyol alias bunuh diri. Walau bagaimana orang-orang BPBD adalah tim yang telah di latih dan dalam setiap kebijakan yang di ambil telah melalui pertimbangan dan perhitungan yang lebih matang demi kepentingan dan keselamatan bersama. Semoga kejadian hari ini adalah yang terakhir dan tidak ada lagi ulah bodoh segelintir orang yang "sok tau" yang akhirnya malah bikin susah pihak lain. Kita manusia terlalu kecil dan ga berdaya untuk melawan kekuatan alam.
(kamarku,9pm)

Berpetualang Dalam Cuaca Ekstrem

 

Berpetualang di alam bebas semakin hari semakin menjadi sebuah trend terutama di kalangan anak ABG. Bahasa kerennya "nubie adventurer". Saya termasuk pemerhati fenomena ini dan tanpa harus berpanjang lebar saya merasa sangat prihatin dengan fenomena tersebut. Kenapa saya sebagai salah satu penggiat malah prihatin?...logikanya saya merasa bangga dong semakin banyak kalangan muda yang menggemari alam bebas di banding mall.
.
Saya tidak menepikan, memang ada rasa bangga dalam hati saya melihat fenomena itu, apalagi saat di jalan saya berpapasan dengan serombongan anak muda yang menyandang carriel di pundaknya. Tapi dengan sejujurnya rasa prihatin saya jauh lebih besar.
Penyebabnya rendahnya tingkat keselamatan para "nubie adventurer" saat bercumbu dengan alam liar. Yup, rendahnya tingkat keselamatan itulah yang membuat saya prihatin. Boleh di bilang fenomena maraknya "nubie adventurer" ini hanya pengaruh latah, entah latah di ajak temannya (yang sangat mungkin nubie juga) atau karena emosi sesaat akibat euforia nonton film tentang kegiatan alam bebas.
.
Begitu banyak bentuk kegiatan di alam bebas dan memang sepintas penggiat-penggiatnya terlihat sangat "Keren dan macho". Mengarungi lidah-lidah air di sungai yang sedang berarus sangat besar dengan perahu karet berikut dayungnya, memanjat point demi point pijakan di wall buatan atau bahkan di tebing yang sesungguhnya atau menapaki langkah demi langkah dengan beban berat di pundak untuk mencapai puncak tertinggi dr suatu gunung memang sangat menggoda adrenalin.
.
Para "nubie" hanya melihat dari sisi kerennya saja, mereka tidak tahu dan tidak mau cari tahu bahwa dalam setiap kegiatan alam bebas itu mutlak harus di dukung pengalaman dan ilmu pengetahuan yang cukup. Faktor inilah yang menjadi penyebab utama rendahnya tingkat keselamatan bagi para "nubie". Dipikirnya alam itu bisa di atur semudah membalik telapak tangan.
.
Saya tergelitik menulis masalah ini karena rasa kecewa saya 25 nyawa harus melayang sia-sia dalam kurun 2 bulan terakhir. Semuanya secara kebetulan terjadi di gunung. 1 orang di Mahameru, 1 orang di Gunung Gede, 1 orang di Ijen, 16 orang di Sinabung, 2 orang di Welirang, 3 orang di Sindoro dan 1 orang di Merbabu. Dua bulan 25 nyawa.
.
Dalam dunia penggiat alam bebas di kenal "bulan yang tidak bersahabat". Bulan-bulan tersebut umumnya di mulai sejak awal Desember hingga akhir Maret. Pada bulan-bulan tersebut cuaca dalam keadaan yang sangat ekstrem seperti fluktuasi suhu yang tinggi, curah hujan tinggi, angin kencang, kabut tebal hingga ombak yang dahsyat.
Dalam kondisi bulan "bersahabat" saja tidak ada yang bisa menjamin kegiatan alam bebas akan berjalan mulus, jadi bisa di bayangkan bagaimana akibat dari minimnya persiapan dan pengetahuan saat berkegiatan di bulan cuaca ekstrem? Dari pengamatan, saya berkesimpulan seluruh korban (25 orang) itu adalah akibat dari minimnya persiapan dan pengetahuan di tambah sifat menyepelekan alam. Faktor-faktor tersebut jadi kombinasi yang pas untuk "bunuh diri". Semoga ga ada lagi korban2 yang harus berjatuhan hanya karena minimnya persiapan dan ilmu pengetahuan saat menggeluti kegiatan alam bebas. Menjadi penggiat alam bebas itu tidak bisa hanya dengan modal nekat. Garis bawahi itu, Tidak Modal Nekat.
(10/2/14 : Monday)