Jumat, 27 November 2015

GCI : Mencumbu Kabut Lawu 3265 mdpl


Ada sepotong cerita tertinggal dari kebakaran yang melanda Gunung Lawu yang entah harus membuat saya prihatin atau bersedih atau bahkan keduanya. Di tulisan kali ini saya memang bukan akan bercerita tentang pendakian, melainkan sisi lain dari Gunung Lawu.
Seperti yang ramai diberitakan di media, baik cetak hingga elektronik, kebakaran dahsyat yang melanda tersebut tidak hanya membawa dampak kerugian materi tetapi juga korban jiwa yang cukup banyak ---Teman-teman bisa membaca detailnya di media umum.
Kembali ke pokok bahasan tentang sepotong cerita yang tertinggal dari kebakaran itu. Hari itu, dengan ditemani hujan dan kabut yang turun setiap beberapa jam, saya berkunjung ke Posko pendakian Gunung Lawu. Cemoro Kandang menjadi tujuan saya yang pertama, sekaligus tempat untuk saya bermalam.
Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, sudah di tutup untuk pendakian umum pasca kebakaran hebat tersebut, tepatnya tanggal 18 Oktober, sesuai instruksi Gubernur Jawa Tengah.
Saya tiba di posko pendakian pukul 11.00. Di sambut dengan hangat oleh para relawan Anak Gunung Lawu (AGL)---inilah alasan saya sangat menyukai Lawu, keramahan dari para AGL memang tiada duanya. Selain AGL, banyak pula relawan-relawan serta pendaki-pendaki yang datang dari berbagai daerah luar Solo dengan atribut komunitas ataupun perorangan. Ya, hari ini memang akan mulai di laksanakan kegiatan bersih jalur pendakian Cemoro Kandang. Kegiatan ini murni kegiatan mandiri yang otomatis dananya pun hasil kolektif dari relawan peserta dan kas AGL. Secara marathon tim relawan yang berjumlah lebih dari 50 orang berbagi tugas dan lokasi untuk bersih jalur. Hujan dan kabut tidak menghalangi semangat relawan untuk terus berkegiatan. 
Yang membawa keril adalah pasukan pengirim air dan logistik

Bekerja sama membersihkan jalur pendakian

Di antara hiruk pikuk kegiatan, beberapa kali saya melihat ada pendaki yang datang dengan tujuan mendaki hingga ke puncak. Dengan terpaksa para petugas yang piket melarang mereka melanjutkan perjalanan, dan dengan pendekatan yang persuasif, untuk mengobati kekecewaan mereka, para petugas menawarkan untuk membantu kegiatan bersih jalur.

Kondisi hutan di sekitar Pos I Lawu via Cemoro Kandang
Bergaya dulu ah sedikit...untuk kenang-kenangan...hehe
Petugas piket ini juga relawan AGL yg khusus menjaga agar tidak ada pendaki yg nekat muncak. Mungkin bagi sebagian orang ada yang bertanya sekaligus kesal "kenapa sih pake di larang naik? gunung kan milik umum dan sekarang musim hujan, api sudah lama padam".
Memang, gunung adl milik umum, siapapun berhak mendakinya asalkan sudah mengantongi simaksi dan berfisik bagus. TAPI, ada hal yang perlu diketahui bahwa ini bukan persoalan mempunyai fisik bagus atau mampu membayar simaksi. Saya sebagai penulis yakin, belum semua teman-teman tahu bagaimana kondisi jalur pendakian pasca terjadi kebakaran.
Sore hari selepas Ashar, saya ikut tim relawan untuk mengirim air guna kebutuhan minum dan masak tim yang sedang bekerja yg berada di atas, di Pos I, II dan III. Saya melihat dan merasakan sendiri bahwa kondisi jalur, topografi dan vegetasi nya memang di kategorikan tidak aman untuk pendakian.
Lahan-lahan bekas kebakaran di gunung, umumnya miring baik di jalur maupun di tepian jalur. Kelembaban tanah hilang sebab butiran-butiran air yang mengisi rongga tanah menguap akibat panasnya api. Pepohonan besar kering mati menghitam. Kondisi seperti itu jika terguyur air hujan adl kombinasi yang pas untuk menciptakan bencana bagi pendaki yang nekat dan tidak mengenal medan. Bisa di pastikan terjadi longsor dan tumbangnya pepohonan besar yang mati saat terguyur air hujan. Itulah alasan pertama dan utama pendakian di tutup. Agar jangan ada lagi korban yang jatuh akibat mengutamakan ego. Alasan yang kedua tentu agar ada jeda waktu bagi alam untuk me-recovery dirinya.

Blacan yang saya temukan saat itu...kasihan
Saya sempat menemukan 2 ekor anak blacan yg turun ke jalur bawah. Saya yakin, hewan itu bertingkah diluar kebiasaannya karena habitatnya rusak pasca kebakaran. Belum lagi terkadang tercium bau bangkai yang saya duga adl hewan hutan yang mati.
Saya tidak berlama-lama di atas, sebab saya tidak membawa peralatan dan memang hanya ingin membantu mengirim air untuk perbekalan tim yang di atas saja.

Bergaya lagi di Pos I
Pukul 17.15 saya kembali menuju basecamp Cemoro Kandang dan 1 jam kemudian saya sudah asyik menikmati secangkir kopi panas bersama teman-teman. Malam itu saya tidur awal dengan di temani gerimis di luar sana.
Pukul 8.00 gerimis belum juga reda, karena mulai merasa bosan, dengan di temani beberapa teman saya berjalan kaki menuju basecamp Cemoro Sewu yang terletak di sisi Jawa Timur berjarak 2 kilometer. Kabut tebal sesekali menghalangi pandangan di jalan sehingga memaksa kendaraan yang melintas untuk bergerak perlahan.
Tak lama kemudian, kami tiba di Cemoro Sewu dan nongkrong di warungnya mas Agus, di seberang pos Cemoro Sewu. Sambil menyeruput teh manis panas kami ngobrol berbagai hal, sampai akhirnya kami bicara tentang kebakaran yang terjadi beberapa waktu lalu. Menurut pengakuan mas Agus sebagai salah satu pelopor kios pertama di Cemoro Sewu, pasca kebakaran, masyarakat sekitar sangat kesulitan air bersih untuk masak. Pemerintah daerah kabupaten Magetan tidak memberikan solusi ataupun bantuan apapun. Bahkan, saat terjadi kebakaran pun dari pihak camat ataupun kepala desa tidak ada yang hadir untuk sekedar melihat kondisi. Justru bantuan datang dari masyarakat sisi Cemoro Kandang dan Karanganyar yang notabene beda provinsi. Di tambahkan mas Agus, kondisi tidak adanya perhatian dari pemerintah setempat sudah kerap kali terjadi. Sangat kontras dengan masa pemilu, dimana para calon wakil rakyat berebut mencari suara dan simpati dari warga Cemoro Sewu. Kami seperti anak tiri, tidak diperhatikan, makanya untuk beraktivitas dan berbelanja kebutuhan sehari-hari, warga Cemoro Sewu lebih suka ke Karanganyar di Jawa Tengah.
Mas Agus kembali bercerita bahwa penyebab sulitnya air bersih pasca kebakaran akibat rusaknya pipa air dari gunung yang di pasang warga secara swadaya. Pipa-pipa tersebut meleleh oleh api. Panjang pipa yang rusak tak kurang dari 2 kilometer. 

Jalan-jalan ke Cemoro Sewu
Mejeng di gerbang pendakian Cemoro Sewu

Mas Agus beserta warga sudah mencoba mengadukan hal ini pada pemerintah setempat agar diberikan bantuan, tapi nihil, tak ada respon. Akhirnya warga meminjam truk tangki air dari Karanganyar dan dengan bergotong royong iuran uang sebesar Rp.150.000,- per 2 hari untuk kebutuhan solar truk. Setiap dua hari mas Agus mengemudikan truk itu ke sumber air bersih di wilayah bawah Cemoro Kandang, mengisinya dan kembali ke Cemoro Sewu. Truk itu di parkir di pelataran pos pendakian Lawu via Cemoro Sewu. Sungguh sebuah ironi, masyarakat yang sedang terkena dampak bencana masih harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah setempat. Hal ini masih terus dilakukan setidaknya hingga saya berpamitan untuk pulang tanggal 6 Desember. Dengan demikian, perjuangan warga untuk mendapatkan air bersih secara swadaya sudah berlangsung setidaknya selama 2 bulan terakhir.
Saya hanya bisa diam dan mendengarkan. Sedih dan marah melihat pemerintah berdiam di atas penderitaan warganya.
Saya hanya bisa mendoakan semoga teman-teman yang terdampak bencana kebakaran di area Gunung Lawu diberi kekuatan untuk terus berjuang dan bertahan serta sabar dalam menghadapinya.
Semoga pemerintah setempat mau sedikit lebih peduli terhadap warganya yang sedang susah. Dan semoga tidak terjadi lagi kebakaran-kebakaran hutan yang lain di kemudian hari.
Amin YRA

GCI Trip: EKSPEDISI Gunung Buthak 2868 mdpl

Tim GCI di puncak Buthak 2868 mdpl (10/1/16)

Setelah perjalanan selama 18 jam dengan kereta api akhirnya tim kami tiba di Malang pukul 08.00. Kunjungan saya yang kesekian kalinya di kota apel. Untuk meluruskan badan yang pegal akibat perjalanan, kami beristirahat sejenak di taman kota yang terletak di sebelah barat stasiun sambil menikmati sarapan nasi pecel yang di bawa Yudex, seorang kawan yang saya kenal waktu mendaki Semeru. (Baca blog saya yang berjudul "Catatan Kecil dari 3676 mdpl").
Sambil sarapan, kami berbagi tugas, ada yang ke pasar untuk menambah stok logistik dan ada yang mengurus transportasi. Urusan nego biaya transport ini lumayan alot, karena supir meminta lebih mahal dari budget yang saya alokasikan. Sebenarnya bisa di maklumi juga kenapa mereka minta lebih mahal, karena setiap weekend jalanan menuju arah Batu bisa di pastikan macet luar biasa.
Akhirnya kami bersepakat tentang harga dan segera kami muat dan bagi keril-keril jumbo kami ke dalam dua mobil.
Sesuai rencana, di hari pertama ini kami akan menuju Batu, tepatnya desa Toyomerto untuk mendaki Gunung Panderman dan Buthak.
Saya menumpang di mobil pertama bersama Iyan, Yudex, Afri, Irfan dan Aep. Sementara Aya, Zafran, Nur, Gugum dan Wawan di mobil yang kedua. Sepanjang perjalanan, supir bercerita tentang gunung-gunung di sekitaran Malang. Saya menyimak saja dengan datar sampai ketika si supir menunjuk ke satu arah dan bilang bahwa itu adalah jalur pendakian Gunung Welirang via Cangar, seketika saya terkesiap dan antusias. Jarak antara basecamp Panderman / Buthak dengan Welirang via Cangar ternyata hanya satu jam saja dengan durasi tempuh "hanya" 6-7 jam. Demi mengetahui hal itu saya mulai terpikir untuk mengubah rencana. Bukan apa-apa, sewaktu mendaki Welirang dan Arjuno (baca blog saya yang berjudul "(Bukan)...Akhir Sebuah Perjalanan" saya memang belum berhasil mencapai puncaknya. Saat itu pendakian saya kandas 45 menit menjelang puncak karena kondisi yang tidak mendukung dan kesalahan manajemen waktu.
Jadi begitu saya mendengar Welirang ternyata dekat, terbersit keinginan untuk "membayar hutang muncak".

Persiapan sebelum mendaki di beranda Mesjid Desa Toyomerto (9/1/16)
Peta Pendakian, banyak banget percabangannya

Foto keluarga dulu di depan Pos Perijinan (9/1/16)
Saat saya coba tawarkan pada teman-teman yang lain pun mereka setuju. Jadi rencana kami pun berubah menjadi Buthak - Welirang - Penanggungan.
Pukul 12.30 kami tiba di pelataran parkir pendakian. Kami break hingga jam 13.30 untuk mempersiapkan diri sebelum mendaki. Setelah selesai mengurus ijin pendakian dan bekal untuk makan siang, tepat pukul 14.00 kami mulai bergerak menuju gunung Buthak. Cuaca panas berawan mengiringi langkah kami. Jalanan desa yang ber-paving menjadi jalur awal pendakian kami. Tidak jauh dari basecamp terdapat percabangan, ke kanan adalah jalur menuju Coban (air terjun) Rondo, lurus adalah menuju gunung Buthak.
Sebenarnya, jalur pendakian Panderman (2045 mdpl) dan Buthak (2868 mdpl) meski banyak percabangan adalah sama hingga 20 menit awal. Pun begitu dengan pos perijinannya, satu simaksi bisa untuk naik 2 gunung.
Untuk menuju ke Buthak memang agak membingungkan karena minim penunjuk jalur. Sehingga lebih baik pendaki banyak bertanya pada penduduk lokal yang di temui di jalur awal selain berpatokan pada peta yang terdapat di pos perijinan.

Break makan siang dulu coy...lapar (9/1/16)
Saya, Gugum dan Aep berjalan di depan. Sesekali kami break untuk menunggu rekan di belakang agar tidak tertinggal terlalu jauh. Setelah satu jam menyusuri jalur yang landai, saya memutuskan tim untuk break makan siang. Mendung yang menggelayut membuat cuaca menjadi sejuk. Beberapa pendaki  turun melewati saat kami sedang beristirahat. Menurut keterangan mereka, Pos I masih 1 jam lagi dari posisi kami. Sedangkan menurut penjaga pos perijinan, pendakian untuk mencapai puncak Buthak memerlukan waktu 7-9 jam.
Setelah cukup beristirahat, pukul 16.00 kami melanjutkan pendakian. Jalur masih relatif datar sehingga belum terlalu terasa mendakinya. Pukul 16.40 kami tiba di Pos I. Pos ini berupa tanah lapang yang cukup untuk 5-6 tenda dengan sumber mata air berupa pipa aliran yang sedikit berlubang di sebelah kanan jalur. Pos ini dan juga pos-pos selanjutnya tidak memiliki nama. Disini terdapat percabangan, untuk menuju puncak Buthak pendaki mengambil jalur yang rimbun di sebelah kanan. Kami tidak break di Pos I, berjalan terus dengan ritme tetap. Jalur masih saja sangat landai dan rimbun serta datar hingga kami tiba di Pos II sepuluh menit kemudian.

Vegetasi Buthak pasca kebakaran (10/1/16)
Pos II ini juga sama seperti Pos I, sebuah tanah lapang yang cukup untuk 7-8 tenda. Vegetasi disini cenderung tertutup dan lembab sehingga kurang ideal untuk membangun tenda. Kami break 5 menit disini. Persis di ujung Pos II jalur yang akan kami lalui selanjutnya berubah drastis, menanjak tajam. Mulai dari sinilah pendakian sesungguhnya di mulai. Jalur kecil, tanah licin curam yang segera berubah menjadi jalur air jika turun hujan harus kami lewati. Dan ternyata jalur model ini tidak berakhir dalam 10-15 menit melainkan terus hingga kami tiba di bidang tanah datar berikutnya yang merupakan Pos III 2020 mdpl pukul 17.50. Jadi jalur antara Pos II dan Pos III merupakan sebuah tanjakan panjang yang sangat menguras tenaga, beruntung saat kami melintasi tidak turun hujan.
Gerimis mulai turun, dan saya putuskan tim kami untuk break dan camp disini. Air hujan yang turun kami tampung untuk menambah stok air yang kami miliki. Sebelum tidur, saya minta teman-teman mempersiapkan keperluan untuk summit attack pukul 03.00 dinihari nanti. Selesai masak dan makan malam, kurang lebih pukul 22.30 kami pun tidur.

Menu makan malam, campur-campur aja lah...(9/1/16)

Its time for dinner guys (9/1/16)
Pukul 02.30 saya bangunkan semua anggota tim dan setelah bersiap dan berdoa, pukul 03.30 kami pun mulai berjalan menuju arah puncak Buthak. Saya menargetkan pukul 06.30 tim kami tiba minimal di alun-alun. Lima belas menit lepas camp, kami tiba di Pos IV dan 1 jam kemudian tiba di Pos V. Jalur menuju Pos V vegetasinya cukup rapat tetapi masih landai. Kami sempat bertemu dengan beberapa tenda pendaki yang mungkin kelelahan di jalan. Pukul 04.50 setelah melewati beberapa pohon tumbang, disebuah tempat yang cukup terbuka tim kami break untuk shalat subuh dan mengisi perut.
Pukul 05.20, semburat warna jingga mulai nampak, menandakan sunrise segera muncul. Tapi sayang awan mendung ikut bersamanya sehingga cuaca tidak terlalu bagus dan terang. 40 menit berikutnya kami menyusuri jalur menanjak yang cukup licin dan curam di selingi pohon-pohon tumbang yang melintang di jalur. Pukul 06.00 kami tiba di puncak punggungan dan terus berjalan hingga tiba di Pos VI 15 menit kemudian. Ada 3 tenda yang berdiri di Pos VI saat kami lewat. Setelah berfoto-foto sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju alun-alun. 

Jalur selepas Pos V (10/1/16)

Tinggi pohon di antara gersang pasca kebakaran (10/1/16)

Sunrise di puncak punggungan menjelang Sabana (10/1/16)

Alun-alun alias Sabana Gunung Buthak (10/1/16)
Lima menit menjelang puncak Buthak (10/1/16)
Jalur dari Pos VI menuju alun-alun kembali landai dengan sesekali sedikit menanjak. Akhirnya tepat pukul 07.05 kami berhasil tiba di alun-alun Buthak. Suasana pagi itu sepi meski ada cukup banyak tenda yang berdiri.

Sabana Buthak pagi itu (10/1/16)
Tim kami break 30 menit di alun-alun untuk mengisi air dan mengisi perut. Dan pukul 07.30 kami mulai berjalan menuju puncak Buthak yang terletak di sebelah kanan pipa sumber mata air. Setelah berjuang melewati satu tanjakan yang panjang dan curam, tepat pukul 08.15 tim kami berhasil tiba di Puncak Basundara Gunung Buthak 2868 mdpl. 

Yes we are on top!!!...(10/1/16)

Di sebelah timur nampak puncak Arjuno dan Welirang dan jajaran pegunungan Hyang. Sayang awan tebal menghalangi puncak Mahameru.
Alhamdulillah seluruh anggota tim trip GCI berhasil muncak dan sehat. Pendakian gunung Buthak ini benar-benar di luar prediksi saya, baik dari segi jarak tempuh dan kesulitan medannya. Beruntung kerja sama tim kami cukup solid hingga kami bisa kembali turun dengan selamat dan tidak mengalami kendala berarti.

Turun dari puncak, tidak semudah mendakinya ternyata (10/1/16)
**********The End************
Sedikit catatan saya, Buthak ini cenderung masih asri dan bersih dari sampah jika di banding gunung-gunung pada umumnya sekarang ini. Sumber airnya pun (di alun-alun) begitu berlimpah. Secara kontur jalur, karakter dan kerapatan vegetasi nyaris sama dengan Argopuro. Sehingga pendaki harus bisa mengatur ritme jalan sebab banyaknya bagian jalur yang landai bisa membuat bosan pendaki dan terburu-buru dalam melangkah.
Sampai jumpa di GCI Trip selanjutnya ya.
___________________________________

# Rundown :
- St. Malang - BC Buthak / Panderman 1-2 jam
- BC - Pos I 1,5 jam
- Pos I - Pos II 10-15 menit
- Pos II - Pos III 45-60 menit.
- Pos III - Pos IV 15 menit
- Pos IV - Pos V 45-60 menit
- Pos V - Pos VI 45-60 menit
- Pos VI - Alun2 30-45 menit
- Alun2 - Puncak 30-45 menit.
*Total durasi pendakian :
6 jam 10 menit s/d 7 jam 30 menit


#The Actor :


Gugum

Irfan

Nur

Aep

Iyan

Afri

Aya

Zafran


Wawan

GCI Trip --- Relaxing di Pantai Balekambang

Tim GCI di Pantai Balekambang (11/1/16)

Minggu malam, 10 Januari 2016, dengan di antar supir angkot yang baik hati dan lebih cocok berprofesi sebagai tour guide, tim GCI trip menuju penginapan untuk  bermalam dan beristirahat setelah berhasil menggapai puncak gunung Buthak. Letak penginapan kami tidak jauh dari stasiun Malang Kota Baru. Selain tempat yang sangat strategis, tarifnya pun sangatlah murah, tidak sampai seratus ribu rupiah per kamar per malam.

Satu kamar 3 ranjang, kamarnya besar tarifnya murah pake banget, cocok untuk backpacker

Setelah membayar, kami pun masuk, satu kamar terdiri atas 3 ranjang. Dalam 1 ruangan besar terdapat 4 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Meski murah tapi kondisinya baik dan bersih. Tak lama, masing-masing dari kami akhirnya tertidur pulas, faktor kelelahan dan kehujanan sewaktu turun gunung.
Pukul 04.30, hari Senin, saya bangun dan shalat subuh. Selesai shalat, saya menyeduh kopi lalu menikmati suasana pagi di teras penginapan di temani Pak Soleh yang mengurus penginapan. Rencana kami hari ini akan pergi ke pantai untuk relaksasi. Hanya saja masih bingung ke pantai mana, sebab di Malang Selatan pantainya memang indah-indah. Setelah berembuk dan mendapat masukan dari pak Soleh, akhirnya kami memutuskan untuk ke Pantai Balekambang saja. Pukul 09.30 dengan menyewa mobil kenalan dari pak Soleh kami berdelapan menuju Balekambang.
Dua jam waktu yang kami tempuh untuk bisa mencapai lokasi pantai. Searah dengan jalanan ke pantai Balekambang juga terdapat jalan menuju Pantai Ngliyep dan Kondang Merak. Setelah membayar retribusi di gerbang masuk, mobil pun meluncur menuju tempat parkir yang strategis.
Seperti umumnya pantai-pantai di selatan Pulau Jawa, ombak di Balekambang pun demikian, terlebih saat kami tiba laut sedang pasang naik. 

Ombaknya cetar membahana, tapi udah mau surut (11/1/16)

Neduh dulu sambil masak-masak nunggu cuaca adem (11/1/16)

Terdapat banyak papan larangan berenang di sepanjang garis pantai. Tak menunggu lama, kami pun berpencar dan menikmati pantai dengan cara masing-masing. Satu hal yang sudah pasti sama, kami sibuk nyari spot yang maksimal untuk ber-selfie dan foto-foto. Saya memilih mengikuti Gugum, maklum, dia bawa SLR, sudah pasti lebih maksimal hasil fotonya...hehe.
Menyusuri bagian bawah pulau Wisanggeni yang di aliri air sungai saya dan Gugum tiba di bagian utara, arah menuju pantai Kondang Merak. Kondisi pantai di sisi utara Wisanggeni sangat kontras, begitu bersih dan sepi. Berbanding terbalik dengan sisi selatannya yang kotor oleh sampah dan ramai pengunjung. Saya pun memaksimalkannya dengan berfoto-foto bergantian dengan Gugum. Selesai disitu, kami menuju pura yang terdapat di atas pulaunya. Pura kecil tempat beribadah umat Hindu di sekitar. 

Pura Ismoyo, pura yang menjadi ikon pantai Balekambang (11/1/16)

Tim Hore lagi ngerecokin umat Hindu yang mau ibadah...*maaf ya jadi foto-foto (11/1/16)

Sayang saat kami tiba, pura sedang di tutup, jadilah kami hanya berfoto di luar.
Matahari siang itu sangatlah terik, sayapun takluk dan memilih rebahan saja di bawah pohon-pohon jenis ketapang yang rindang sambil menikmati suasana sementara teman-teman yang lain masih asyik berfoto ria. 

Survival nyari bahan makanan untuk makan malam *lebay.com...but we enjoy it. (11/1/16)

Food Hunters eh....Fisher Man eh....backpackers-nya GCI ini mah (11/1/16)

Pukul 15.00 air laut surut, cukup jauh, menyisakan hamparan bebatuan dan karang. Suasana langit yang sedikit mendung mengubah udara menjadi sejuk. Akhirnya kami semua turun ke laut dan bermain air. Menyenangkan sekali, kami seperti anak kecil yang nemu mainan baru. Berenang dan mencari biota-biota laut yang terperangkap di antara karang. Cukup lama kami bermain di surutnya laut, sebelum akhirnya pukul 17.00 kami beranjak naik dengan membawa serta hasil buruan 10 lobster kecil dan seekor anak gurita hasil tangkapan Iyan. Lumayan lah untuk penambah menu makan malam kami.

Yes we are happy as a team...(11/1/16)

Berpose ala-ala apa ya? rada ga jelas juga...he (11/1/16)

Ceritanya lagi ngeliatin sunset tapi gagal gegara mendung (11/1/16)


Suasana pantai di sore yang teduh (11/1/16)

Pukul 18.00 kami kembali menuju kota Malang, menuju penginapan.
Sebelum tiba di penginapan, kami menyempatkan diri untuk mampir ke taman di depan Balai Kota Malang. Taman ikonik yang indah dan tertata dengan baik. Benar-benar menjadi tempat rileks yang terjangkau dan dekat bagi warga kota. Kami semua sangat menikmati trip ini, mengeksplorasi keindahan dan tempat wisata di Malang meski baru sebagian kecilnya saja. Semoga ada kesempatan di lain waktu untuk kami menikmati bagian yang lainnya.

************The End**************

Sampai jumpa di GCI Trip berikutnya ya...:)

Senin, 23 November 2015

Green Chapter Indonesia Online Shop

Selamat datang teman-teman di basecamp sederhana Laba-Laba. Semoga apa yg kami tawarkan disini ada yg cocok dan sesuai dg budget teman-teman.
Kami melayani : pembelian kredit, by order, jual beli alat 2nd alias bekas, pembuatan dan cetak kaos, kemeja, jaket serta topi.

Untuk tanya jawab dan fast respon silakan hubungi kami melalui :
1. WA / sms : 0811 118 1225
2. E-mail      : Cliff.klie@gmail.com

Please Enjoy Our Gallery

Futura 22L Rp.1.000.000,-

Gekkota 40L Rp.900.000,-

Kestrel 28L Rp.1.200.000,-

Bike 18SL Rp.750.000

Gaiter Rp.150.000,-

Eiger Lightspeed Rp.175.000,-

Mini Blade Eiger Rp.65.000,-

Survival Knife Rp.110.000,-

Matras Tiup GO Rp.345.000,-

Stove Spirtus / Alcohol Rp.340.000,-

Rp.295.000,-

Rp.325.000,-

Rp.150.000,-

Tenda Rp.850.000,-

SB GO Rp.450.000,-

REI Kielder Rp.550.000,-
Raincover Rp.75.000,-

SB Rp.125.000,-

Rp.200.000,-

Rp.75.000,-

Rp.75.000,-

REI Derment Rp.550.000,-

Paket Rp.1.250.000,-

Rp.550.000,-

Futura Pro 42 Rp.1.700.000,-

Rp.550.000,-

Rp.455.000,-

Act Trail Rp.1.300.000,-

Rp.1.500.000,-

Rp.1.500.000,-

Rp.1.700.000,-

Rp.1.700.000,-

Rp.1.250.000,-

Rp.1.250.000,-

REI Swamp Rp.600.000,-

SNTA Rp.280.000,-

Rp.45.000,-

Rp.50.000,-

Rp.120.000,-

Rp.125.000,-

Rp.150.000,-

Rp.125.000,-

Hydropack Velo 8L Rp.295.000,-

Rp.160.000,-

Rp.125.000,-

Sleeping Bag Liner Rp.650.000,-

Rp.60.000,-

SB Liner SeatoSummit Rp.630.000,-

Mini Kettle Rp.160.000,-

Headlamp Rp.40.000,-

Raincoat JWS Replika Rp.180.000,-

GO Thermal Bivvy Rp.150.000,-

Raincoat Edelweis Rp.245.000,-

REI Water Pack 1L Rp.125.000,-

Waist Bag Rp.90.000,-

Lampu Tenda Rp.50.000,-

Rp. 150.000,-

Rp. 250.000,-

Rp.35.000 - Rp.50.000,-

Rp.160.000,-

Rp.275.000,-

Rp.455.000,-

Rp.175.000,-
Rp.325.000,-

Rp.325.000,-

Rp.850.000

Rp.500.000,-