Jumat, 27 November 2015

GCI : Mencumbu Kabut Lawu 3265 mdpl


Ada sepotong cerita tertinggal dari kebakaran yang melanda Gunung Lawu yang entah harus membuat saya prihatin atau bersedih atau bahkan keduanya. Di tulisan kali ini saya memang bukan akan bercerita tentang pendakian, melainkan sisi lain dari Gunung Lawu.
Seperti yang ramai diberitakan di media, baik cetak hingga elektronik, kebakaran dahsyat yang melanda tersebut tidak hanya membawa dampak kerugian materi tetapi juga korban jiwa yang cukup banyak ---Teman-teman bisa membaca detailnya di media umum.
Kembali ke pokok bahasan tentang sepotong cerita yang tertinggal dari kebakaran itu. Hari itu, dengan ditemani hujan dan kabut yang turun setiap beberapa jam, saya berkunjung ke Posko pendakian Gunung Lawu. Cemoro Kandang menjadi tujuan saya yang pertama, sekaligus tempat untuk saya bermalam.
Gunung Lawu yang terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, sudah di tutup untuk pendakian umum pasca kebakaran hebat tersebut, tepatnya tanggal 18 Oktober, sesuai instruksi Gubernur Jawa Tengah.
Saya tiba di posko pendakian pukul 11.00. Di sambut dengan hangat oleh para relawan Anak Gunung Lawu (AGL)---inilah alasan saya sangat menyukai Lawu, keramahan dari para AGL memang tiada duanya. Selain AGL, banyak pula relawan-relawan serta pendaki-pendaki yang datang dari berbagai daerah luar Solo dengan atribut komunitas ataupun perorangan. Ya, hari ini memang akan mulai di laksanakan kegiatan bersih jalur pendakian Cemoro Kandang. Kegiatan ini murni kegiatan mandiri yang otomatis dananya pun hasil kolektif dari relawan peserta dan kas AGL. Secara marathon tim relawan yang berjumlah lebih dari 50 orang berbagi tugas dan lokasi untuk bersih jalur. Hujan dan kabut tidak menghalangi semangat relawan untuk terus berkegiatan. 
Yang membawa keril adalah pasukan pengirim air dan logistik

Bekerja sama membersihkan jalur pendakian

Di antara hiruk pikuk kegiatan, beberapa kali saya melihat ada pendaki yang datang dengan tujuan mendaki hingga ke puncak. Dengan terpaksa para petugas yang piket melarang mereka melanjutkan perjalanan, dan dengan pendekatan yang persuasif, untuk mengobati kekecewaan mereka, para petugas menawarkan untuk membantu kegiatan bersih jalur.

Kondisi hutan di sekitar Pos I Lawu via Cemoro Kandang
Bergaya dulu ah sedikit...untuk kenang-kenangan...hehe
Petugas piket ini juga relawan AGL yg khusus menjaga agar tidak ada pendaki yg nekat muncak. Mungkin bagi sebagian orang ada yang bertanya sekaligus kesal "kenapa sih pake di larang naik? gunung kan milik umum dan sekarang musim hujan, api sudah lama padam".
Memang, gunung adl milik umum, siapapun berhak mendakinya asalkan sudah mengantongi simaksi dan berfisik bagus. TAPI, ada hal yang perlu diketahui bahwa ini bukan persoalan mempunyai fisik bagus atau mampu membayar simaksi. Saya sebagai penulis yakin, belum semua teman-teman tahu bagaimana kondisi jalur pendakian pasca terjadi kebakaran.
Sore hari selepas Ashar, saya ikut tim relawan untuk mengirim air guna kebutuhan minum dan masak tim yang sedang bekerja yg berada di atas, di Pos I, II dan III. Saya melihat dan merasakan sendiri bahwa kondisi jalur, topografi dan vegetasi nya memang di kategorikan tidak aman untuk pendakian.
Lahan-lahan bekas kebakaran di gunung, umumnya miring baik di jalur maupun di tepian jalur. Kelembaban tanah hilang sebab butiran-butiran air yang mengisi rongga tanah menguap akibat panasnya api. Pepohonan besar kering mati menghitam. Kondisi seperti itu jika terguyur air hujan adl kombinasi yang pas untuk menciptakan bencana bagi pendaki yang nekat dan tidak mengenal medan. Bisa di pastikan terjadi longsor dan tumbangnya pepohonan besar yang mati saat terguyur air hujan. Itulah alasan pertama dan utama pendakian di tutup. Agar jangan ada lagi korban yang jatuh akibat mengutamakan ego. Alasan yang kedua tentu agar ada jeda waktu bagi alam untuk me-recovery dirinya.

Blacan yang saya temukan saat itu...kasihan
Saya sempat menemukan 2 ekor anak blacan yg turun ke jalur bawah. Saya yakin, hewan itu bertingkah diluar kebiasaannya karena habitatnya rusak pasca kebakaran. Belum lagi terkadang tercium bau bangkai yang saya duga adl hewan hutan yang mati.
Saya tidak berlama-lama di atas, sebab saya tidak membawa peralatan dan memang hanya ingin membantu mengirim air untuk perbekalan tim yang di atas saja.

Bergaya lagi di Pos I
Pukul 17.15 saya kembali menuju basecamp Cemoro Kandang dan 1 jam kemudian saya sudah asyik menikmati secangkir kopi panas bersama teman-teman. Malam itu saya tidur awal dengan di temani gerimis di luar sana.
Pukul 8.00 gerimis belum juga reda, karena mulai merasa bosan, dengan di temani beberapa teman saya berjalan kaki menuju basecamp Cemoro Sewu yang terletak di sisi Jawa Timur berjarak 2 kilometer. Kabut tebal sesekali menghalangi pandangan di jalan sehingga memaksa kendaraan yang melintas untuk bergerak perlahan.
Tak lama kemudian, kami tiba di Cemoro Sewu dan nongkrong di warungnya mas Agus, di seberang pos Cemoro Sewu. Sambil menyeruput teh manis panas kami ngobrol berbagai hal, sampai akhirnya kami bicara tentang kebakaran yang terjadi beberapa waktu lalu. Menurut pengakuan mas Agus sebagai salah satu pelopor kios pertama di Cemoro Sewu, pasca kebakaran, masyarakat sekitar sangat kesulitan air bersih untuk masak. Pemerintah daerah kabupaten Magetan tidak memberikan solusi ataupun bantuan apapun. Bahkan, saat terjadi kebakaran pun dari pihak camat ataupun kepala desa tidak ada yang hadir untuk sekedar melihat kondisi. Justru bantuan datang dari masyarakat sisi Cemoro Kandang dan Karanganyar yang notabene beda provinsi. Di tambahkan mas Agus, kondisi tidak adanya perhatian dari pemerintah setempat sudah kerap kali terjadi. Sangat kontras dengan masa pemilu, dimana para calon wakil rakyat berebut mencari suara dan simpati dari warga Cemoro Sewu. Kami seperti anak tiri, tidak diperhatikan, makanya untuk beraktivitas dan berbelanja kebutuhan sehari-hari, warga Cemoro Sewu lebih suka ke Karanganyar di Jawa Tengah.
Mas Agus kembali bercerita bahwa penyebab sulitnya air bersih pasca kebakaran akibat rusaknya pipa air dari gunung yang di pasang warga secara swadaya. Pipa-pipa tersebut meleleh oleh api. Panjang pipa yang rusak tak kurang dari 2 kilometer. 

Jalan-jalan ke Cemoro Sewu
Mejeng di gerbang pendakian Cemoro Sewu

Mas Agus beserta warga sudah mencoba mengadukan hal ini pada pemerintah setempat agar diberikan bantuan, tapi nihil, tak ada respon. Akhirnya warga meminjam truk tangki air dari Karanganyar dan dengan bergotong royong iuran uang sebesar Rp.150.000,- per 2 hari untuk kebutuhan solar truk. Setiap dua hari mas Agus mengemudikan truk itu ke sumber air bersih di wilayah bawah Cemoro Kandang, mengisinya dan kembali ke Cemoro Sewu. Truk itu di parkir di pelataran pos pendakian Lawu via Cemoro Sewu. Sungguh sebuah ironi, masyarakat yang sedang terkena dampak bencana masih harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah setempat. Hal ini masih terus dilakukan setidaknya hingga saya berpamitan untuk pulang tanggal 6 Desember. Dengan demikian, perjuangan warga untuk mendapatkan air bersih secara swadaya sudah berlangsung setidaknya selama 2 bulan terakhir.
Saya hanya bisa diam dan mendengarkan. Sedih dan marah melihat pemerintah berdiam di atas penderitaan warganya.
Saya hanya bisa mendoakan semoga teman-teman yang terdampak bencana kebakaran di area Gunung Lawu diberi kekuatan untuk terus berjuang dan bertahan serta sabar dalam menghadapinya.
Semoga pemerintah setempat mau sedikit lebih peduli terhadap warganya yang sedang susah. Dan semoga tidak terjadi lagi kebakaran-kebakaran hutan yang lain di kemudian hari.
Amin YRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar