Sabtu, 19 Juli 2014

Into Thin Air --- Bab V

LOBUJE --- 8 APRIL 1996 --- 16.200 KAKI


Setelah melewati sederetan puncak es yg menjulang tinggi bernama Phantom Alley, kami tiba didasar lembah yg berbatu-batu didasar sebuah ampiteater alam yg sangat besar....Di tempat ini (Jeram Es itu) membelok tajam ke arah selatan sebagai Gletser Khumbu. Kami mendirikan Base Camp pada ketinggian 17.800 kaki, diatas sebuah morena sisi (tumpukan batu yg terbawa aliran gletser dan mengendap di sisi aliran) yg merupakan tepi luar dari pembelokan tersebut. Batu-batu besar mengesankan bahwa tempat itu kukuh, tetapi puing-puing yg goyah dibawah kaki kami mengubah kesan yg salah tersebut. Yg bisa dilihat, dirasakan dan didengar---dari Jeram Es, morena, longsoran salju, dan udara dingin ditempat ini---hanyalah sebuah dunia yg tidak diciptakan untuk dihuni oleh manusia. Tidak ada air yg mengalir, tidak ada sesuatu yg tumbuh---hanya kehancuran dan kerusakan....Inilah rumah kami untuk beberapa bulan ke depan, sampai gunung ini berhasil didaki.

Thomas F. Hornbein
Everest: The West Ridge

Pada 8 April, sesaat setelah hari mulai gelap, radio yg dipegang Andy diluar penginapan di Lobuje tiba-tiba berbunyi. Rob menelepon dari Base Camp dan memberitakan kabar gembira. Meskipun harus mengerahkan tiga puluh lima orang Sherpa dari beberapa tim ekspedisi, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan Tenzing. Dengan mengikat tubuhnya pada sebuah tangga alumunium, Tenzing berhasil diturunkan, diangkut dan dibawa melewati Jeram Es, dan saat ini dia sedang beristirahat di Base Camp. Jika cuaca memungkinkan, setelah matahari terbit dia akan diterbangkan menggunakan helikopter ke sebuah rumah sakit di Kathmandu. Dengan suara lega, Rob mengabarkan bahwa keesokan harinya kami boleh meninggalkan Lobuje menuju Base Camp.
       Semua klien Rob ikut gembira karena Tenzing selamat. Kami juga gembira bisa meninggalkan Lobuje. John dan Lou terserang semacam virus yg menyebabkan penyakit perut akibat lingkungan yg kotor. Helen, manajer Base Camp kami, terus tersiksa oleh sakit kepala akibat ketinggian. Dan batuk yg menyerangku bertambah parah setelah dua hari bermalam di penginapan yg penuh asap.
      Karena itu, untuk malam ketiga, aku memutuskan untuk menghindari gangguan asap yg menyesakkan tersebut dan menempati  tenda yg ditinggalkan Mike dan Rob diluar penginapan sebelum mereka menuju Base Camp. Andy menawarkan diri untuk menemaniku. Sekira pukul 02.00 tengah malam, aku terbangun karena Andy tiba-tiba terduduk dan mulai mengerang . "Hoi, Harold," aku bertanya-tanya dari kantong tidurku, "kamu tidak apa-apa, kan?"
       "Aku tidak yakin. Sesuatu yg kumakan tadi malam membuat perutku sakit." Beberapa saat kemudian Andy berjuang keras membuka risleting tenda dan langsung muntah saat kepala dan sebagian tubuhnya berhasil keluar dari pintu tenda. Setelah muntahnya berhenti, untuk beberapa saat dia meringkuk tanpa bergerak, kedua lengannya memeluk lutut dan sebagian badannya masih berada diluar tenda. Tiba-tiba saja dia berdiri tegak, kemudian lari terbirit-birit beberapa meter, menurunkan celananya, kemudian buang air. Malam itu, Andy harus terpapar udara dingin untuk mengosongkan seluruh isi perutnya yg terserang diare.
        Pagi harinya Andy tampak lemah, mengalami dehidrasi dan menggigil dengan hebatnya. Helen menyarankan pada Andy untuk tetap tinggal di Lobuje sampai kekuatannya pulih, tetapi Andy menolak "Aku tidak mau tinggal lebih lama dikakus besar ini,"katanya sambil meringis, dengan kepala tetap terimpit diantara kedua lututnya. "Aku akan ikut kalian ke Base Camp. Meskipun untuk itu aku harus merangkak."
        Sekira pukul 09.00 pagi kami selesai mengepak dan memulai perjalanan kami. Ketika semua anggota tim berjalan dengan langkah cepat menyusuri jalan tanah, Helen dan aku berjalan perlahan-lahan menemani Andy yg harus mengeluarkan seluruh tenaga hanya untuk menggerakkan kakinya selangkah demi selangkah. Beberapa kali dia berhenti, bertopang sebentar pada tongkat-tongkat ski yg dibawanya untuk mengumpulkan tenaga dan bergerak lagi.
        Selama beberapa mil, kami berjalan naik kemudian turun  melewati batuan lepas dari morena sisi Gletser Khumbu, kemudian turun ke dalam gletser itu sendiri. Batu arang, kerikil kasar dan bongkahan besar batu granit menutupi hampir seluruh badan gletser---sebuah permukaan yg transparan dan beku, mengilat seperti batu akik yg dipoles. Es yg mencair meluncur cepat masuk ke dalam kanal-kanal permukaan dan bawah permukaan yg jumlahnya tak terhitung, menimbulkan bunyi gemuruh yg harmonis tapi menakutkan yg bergema di seluruh badan gletser.
      Lewat tengah hari,kami tiba pada sederetan puncak es yg tampak ganjil, puncak yg terbesar tingginya hampir 100 kaki, tempat yg dinamai Phantom Alley. Dipahat oleh sinar matahari yg memancar dengan terik, deretan menara-menara tinggi itu memancarkan sinar radioaktif berwarna hijau toska, berjejer sejauh mata memandang, seperti gigi-gigi ikan hiu yg mencuat dari tengah bahan rombakan yg mengelilinginya. Helen---yg sudah pernah melewati tempat ini beberapa kali---mengumumkan bahwa kami sudah hampir tiba ditempat yg kami tuju.
      Beberapa mil didepan, gletser itu membelok tajam ke arah timur, dengan susah payah kami berjalan diatas lereng yg panjang, sebelum kemudian kami tiba didepan sebuah tempat yg dipenuhi kubah-kubah nilon warna-warni. Lebih dari tiga ratus tenda , rumah dari ratusan pendaki dan warga Sherpa dari empat belas tim ekspedisi, berdiri diatas bongkahan-bongkahan batu besar yg tertutup es. Dibutuhkan dua puluh menit sebelum kami berhasil menemukan perkemahan tim kami ditengah ratusan kemah tersebut. Saat kami sedang berjalan melewati tanjakan terakhir, Rob turun untuk menyambut kami. "Selamat datang di Base Camp Everest," katanya sambil tersenyum lebar. Altimeter pada arlojiku menunjukkan ketinggian 17.600 kaki.

Perkampungan sementara yg akan menjadi rumah kami selama enam minggu kedepan tersebut berada di puncak sebuah ampiteater alam yg dikelilingi oleh dinding-dinding gunung yg tampak menakutkan. Dilereng-lereng gunung diatas perkemahan kami tampak gletser-gletser yg menggantung, dari tempat itu longsoran es meluncur cepat setiap saat, siang dan malam. Seperempat mil ke arah timur, diantara Dinding Nuptse dan Lereng Barat Everest, Jeram Es Khumbu muncul menerobos sebuah celah sempit mengalirkan pecahan-pecahan es yg tampak seperti porselen yg membeku. Ampiteater alam itu membuka ke arah tenggara sehingga tempat itu hangat karena sinar matahari; sore hari, jika udara baik dan tidak berangin, kami bisa duduk nyaman dengan hanya mengenakan T-shirt. Namu begitu matahari bersembunyi dibalik kerucut Puncak Pumori---puncak dengan ketinggian 23.507 kaki yg terletak disebelah barat Base Camp---temperatur bisa turun drastis sampai beberapa belas derajat. Saat aku memasuki tenda untuk beristirahat malam itu, senandung keriutan dan letupan bak perkusi berirama mengiringiku, mengingatkan bahwa aku sedang berbaring diatas sebuah sungai es yg mengalir.
       Kontras dengan lingkungan sekelilingnya yg keras, berdiri tenda-tenda yg nyaman dari tim ekspedisi Adventure Consultants, rumah bagi empat belas pendaki Barat---para Sherpa memanggil kami dengan "anggota tim" atau "sahib"---dan empat belas pekerja suku Sherpa. Tenda utama kami terbuat dari kanvas, sebuah tenda yg sangat besar dilengkapi dengan sebuah meja batu yg besar, stereo set, perpustakaan dan lampu listrik bertenaga surya; disampingnya berdiri tenda komunikasi yg lebih kecil, tempat meletakkan telepon satelit dan mesin faksimile. Kami mandi dibawah pancuran yg terbuat dari selang karet dan seember air hangat yg disiapkan oleh pegawai dapur. Roti dan buah-buahan segar dikirimkan beberapa hari sekali dengan menggunakan yak. Melanjutkan tradisi era Raj yg sudah dimulai sejak ekspedisi pertama, setiap pagi Chongba, ditemani seorang pembantu juru masak bernama Tendi, akan mendatangi satu per satu tenda kami untuk membawakan segelas teh Sherpa yg panas untuk kami nikmati sambil tetap bergelung didalam kantong tidur.
      Aku sering mendengar cerita-cerita tentang Everest yg sudah berubah menjadi tumpukan sampah karena meningkatnya jumlah pendaki, bahwa tim-tim ekspedisi komersial merupakan penyebab utama dari rusaknya lingkungan disana. Meskipun pada dekade 1970 dan 1980 Base Camp memang dipenuhi tumpukan sampah, akhir-akhir ini tempat tersebut dapat dikatakan cukup bersih---lebih bersih dari permukiman lain yg kulihat setelah meninggalkan Namche Bazaar. Bahkan tim-tim ekspedisi komersial ikut berperan dalam menciptakan lingkungan yg lebih bersih.
      Para pemandu yg setiap tahun kembali ke Everest dengan membawa sejumlah pelanggan justru memiliki rasa tanggung jawab yg lebih besar dibanding dengan pendaki yg datang sekali-sekali saja. Sebagai bagian dari ekspedisi 1990, Rob Hall dan Gary Ball memimpin upaya pembuangan lima ton sampah dari Base Camp. Selain itu, Hall dan beberapa rekannya sesama pemandu bekerja sama dengan kementrian di Kathmandu untuk merumuskan kebijakan yg mendorong para pendaki untuk ikut menjaga agar gunung itu tetap bersih. Pada 1996, selain harus membayar biaya perijinan, setiap tim ekspedisi Everest diharuskan membayar uang jaminan sebesar 4.000 dollar, uang tersebut akan dikembalikan jika tim terkait berhasil membawa turun sejumlah sampah yg beratnya sudah ditentukan ke Namche dan Kathmandu. Tong-tong besar yg menampung kotoran manusia ditoilet-toilet kami di perkemahan itupun termasuk sampah yg harus dipindahkan dan dibuang.
       Kesibukan di Base Camp menyerupai kesibukan disebuah sarang semut. Ditempat itu, perkemahan milik Adventure Consultants bertindak sebagai pemerintah, karena tidak ada orang lain digunung itu yg lebih dihormati selain Hall. Untuk mengatasi setiap permasalahan---perselisihan dengan kuli Sherpa, masalah medis, keputusan penting menyangkut strategi pendakian---orang-orang akan datang keperkemahan kami untuk meminta saran dari Hall. Dengan lapang dada, Hall akan memberikan saran kepada para pesaingnya, dan salah satu pesaingnya yg terpenting adalah Scott Fischer.
      Fischer pernah sukses memandu sejumlah klien mencapai sebuah gunung 8.000 meter*, yaitu Broad Peak yg memiliki ketinggian 26.400 kaki dan terletak di wilayah Pegunungan Karakoram Pakistan. Dia juga sudah empat kali mendaki Everest dan berhasil menaklukkannya pada 1994, tetapi bukan dalam peran sebagai pemandu. Musim semi 1996 merupakan awal kariernya sebagai pemimpin ekspedisi komersial; seperti Hall, tim ekspedisi Fischer sama-sama membawa delapan klien. Perkemahan mereka ditandai oleh spanduk promosi dari Starbucks Coffee yg digantungkan dari sebuah batu granit sebesar rumah, berjarak kurang lebih lima menit berjalan kaki ke arah gletser dari perkemahan kami.
      Pria dan wanita yg memiliki karier sebagai pemandu puncak gunung tergabung dalam sebuah klub kecil yg indipenden. Dalam bisnis, Fischer dan Hall memang merupakan pesaing, tetapi sebagai dua tokoh penting didunia pendaki gunung, mereka sering bertemu, dan pada tingkatan tertentu keduanya menganggap diri mereka sebagai teman baik. Fischer dan Hall bertemu untuk pertama kalinya di Pegunungan Pamir Rusia dan setelah itu mereka sering menghabiskan waktu bersama, yaitu selama ekspedisi Everest pada 1989 dan 1994. Mereka sepakat dan sudah menyusun rencana untuk bersama-sama menaklukkan Puncak Manaslu---sebuah gunung yg terletak ditengah-tengah wilayah Nepal dengan ketinggian 26.781 kaki---setelah ekspedisi untuk memandu klien mereka pada 1996 ini berakhir.
       Hubungan Fischer dan Hall semakin akrab sejak 1992, ketika keduanya bertemu di Puncak K2, gunung kedua tertinggi didunia. Saat itu, Hall sedang mendaki bersama teman dan rekan bisnisnya, Gary Ball, sementara Fischer sedang memandu seorang pendaki ternama dari Amerika bernama Ed Viesturs. Dalam perjalanan menuruni gunung setelah mencapai puncak, dibawah terjangan badai, Fischer, Viesturs dan rekan ketiga mereka yg juga warga Amerika, Charlie Mace, bertemu dengan Hall yg sedang berusaha menyadarkan rekannya Gary Ball, yg tidak mampu bergerak sendiri karena terserang penyakit ketinggian yg mematikan. Ditengah badai salju, Fischer, Viesturs dan Mace membantu membawa Ball menuruni lereng bawah gunung yg tersapu longsoran salju, menyelamatkan hidupnya. (Setahun kemudian Ball tewas karena penyakit yg sama dilereng Dhaulagiri).
      Fischer, empat puluh tahun, bertubuh kukuh dan pandai bergaul, menampakkan kesan yg energik. Rambut pirangnya yg panjang diikat ke belakang membentuk ekor kuda. Saat usianya baru empat belas tahun dan masih duduk dibangku sekolah, secara kebetulan dia melihat sebuah program televisi tentang mendaki gunung yg membuatnya terkagum-kagum. Musim panas berikutnya, dia berangkat ke Wyoming dan mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus pecinta alam yg dikelola oleh National Outdoor Leadership School (NOLS). Selepas SMU, Fischer pindah secara permanen ke wilayah Barat Amerika, bekerja untuk NOLS sebagai instruktur musiman. Sejak saat itu mendaki gunung menjadi pusat kehidupannya, dan dia tidak pernah lagi menoleh ke belakang.
       Saat usianya delapan belas tahun dan bekerja untuk NOLS, dia jatuh cinta kepada salah seorang murid didalam kursusnya yg bernama Jean Price. Mereka menikah tujuh tahun kemudian, menetap di Seattle dan memiliki dua orang anak, Andy dan Katie Rose (masing-masing berusia sembilan dan lima tahun ketika Scott berangkat ke Everest pada 1996). Price memperoleh ijasah sebagai pilot komersial dan menjadi salah seorang pilot Alaska Airlines---sebuah karier bergengsi dan bergaji tinggi, yg memungkinkan Fischer menekuni karier sebagai pendaki penuh waktu. Berkat penghasilan istrinya, Fischer mampu meluncurkan perusahaannya, Mountain Madness pada 1984.
       Jika nama perusahaan milik Hall, Adventure Consultants, mencerminkan pendekatan Hall yg metodis dan cermat dalam mendaki gunung, Mountain Madness mampu dengan lebih baik mencerminkan model kepribadian Scott Fischer. Diawal usia dua puluhan,Scott Fischer sudah memiliki reputasi sebagai pendaki yg berani dan nekat. Sepanjang karier pendakiannya, beberapa kali Fischer lolos dari kecelakaan yg semestinya sudah menewaskannya.
       Paling sedikit dua kali ---masing-masing di Wyoming dan di Yosemite---Scott pernah jatuh dari ketinggian lebih dari 80 kaki saat sedang mendaki gunung. Di Wind River, ketika di bekerja untuk NOLS sebagai instruktur junior dalam sebuah kursus, Fischer yg mendaki tanpa tali terjatuh dari ketinggian 70 kaki ke dasar celah gletser Dinwoody. Namun kecelakaan paling buruk barangkali terjadi saat dia masih seorang pendatang baru dalam dunia mendaki gunung es; meskipun belum berpengalaman, Fischer memutuskan untuk melakukan petualangan pertamanya, mendaki sebuah jeram es yg berbahaya bernama Bridal Veil yg terletak di Ngarai Provo, Utah. Ketika dia sedang berlomba dengan dua pendaki lain, Fischer kehilangan pijakan pada ketinggian 100 kaki, dan jatuh meluncur ke bawah.
      Orang-orang yg menyaksikan  kejadian tersebut dibuat tercengang karena Fischer langsung berdiri dan berjalan tanpa luka yg berarti. Namun ketika tubuhnya sedang meluncur ke bawah, sebuah beliung kecil untuk mencongkel es menembus salah satu sisi betisnya. Ketika beliung itu dikeluarkan, sebagian jaringan tubuhnya ikut terangkat,meninggalkan sebuah lubang sebesar pensil pada kakinya. Setelah keluar dari ruang gawat darurat rumah sakit setempat, Fischer tidak mau menyia-nyiakan sisa uangnya untuk perawatan lanjutan, dan selama enam bulan berikutnya dia tetap mendaki dengan luka yg masih terbuka dan bernanah. Lima belas tahun kemudian, dengan bangga dia menunjukkan kepadaku bekas luka permanen yg diakibatkan oleh kecelakaan tersebut; sepasang bulatan sebesar uang logam yg mengapit tumitnya.
       "Scott sering memaksakan diri melebihi batas-batas kekuatan fisiknya," kenang Don Peterson, seorang pendaki ternama dari Amerika yg bertemu Fischer sesaat setelah dia terjatuh dari Jeram Bridal Veil. Peterson menjadi semacam mentor bagi Fischer, dan selama dua dekade keduanya sering mendaki bersama-sama. "Dia memiliki tekad baja. Betapapun rasa sakit yg dia rasakan---dia akan mengabaikannya dan terus mendaki. Dia bukan pria yg mundur hanya karena kakinya sakit." 
       "Scott berambisi untuk menjadi pendaki besar, salah satu yg terbaik didunia. Aku ingat, dikantor pusat NOLS ada semacam ruang untuk latihan fisik. Scott kerap masuk kedalam ruangan tersebut dan berlatih keras sampai muntah-muntah. Dan itu dilakukannya secara rutin. Tidak banyak orang yg mempunyai tekad baja seperti itu."
       Orang-orang tertarik oleh energi dan kebaikan hati Fischer, oleh sifatnya yg sangat terbuka dan oleh semangatnya yg hampir-hampir kekanak-kanakan. Polos, emosional dan enggan mengintrospeksi diri, dan sifatnya yg sangat terbuka dan menarik membuatnya mudah mendapat sahabat, persahabatan yg terus bertahan sepanjang hidup: ratusan orang---termasuk mereka yg baru dijumpainya sekali atau dua kali saja---sering menganggap Fischer sebagai teman akrab. Selain itu, Scott juga dikaruniai wajah tampan seorang bintang film dan tubuh seorang binaragawan. Sebagian orang yg tertarik kepadanya adalah kaum hawa dan Scott benar-benar menyadari daya tariknya.
      Pria dengan nafsu makan besar ini kerap mengisap kanabis (meskipun dia tidak melakukannya saat bekerja) dan sering minum-minuman keras, melebihi batas yg baik untuk kesehatannya. Sebuah ruang dibagian belakang Mountain Madness berfungsi sebagai klub rahasia Scott: setelah menidurkan anak-anaknya, dia kerap mengundang  teman-temannya untuk merokok dan menonton slides tentang keberanian mereka saat mendaki gunung.
       Selama dekade 1980, Fsicher melakukan sejumlah pendakian spektakuler yg melejitkan namanya dikalangan para pendaki lokal, tetapi para bintang pendaki dunia masih belum mengakuinya. Betapapun keras usahanya, Fsicher belum mampu menarik spomsor dari perusahaan komersial seperti yg dinikmati rekan-rekan seprofesinya; dia cemas bahwa para pendaki kenamaan tidak menghormatinya.
      "Pengakuan merupakan hal penting bagi Scott," kata Jane Bromet manajer humas sekaligus teman kepercayaannya, yg sekali-sekali menjadi mitra Scott dalam pelatihan. Beberapa kali Jane ikut dalam ekspedisi Mountain Madness ke Base Camp untuk mengirimkan laporan melalui internet ke situs Outside Online. "Scott sangat mendambakan pengakuan. Dia memiliki sisi lemah yg tidak tampak oleh kebanyakan orang; dia benar-benar resah karena dia tidak dihormati secara luas sebagai pendaki yg berani. Dia merasa diremehkan dan itu menyakitkan."
       Ketika Fischer berangkat menuju Nepal pada musim semi 1996,dia bertekad untuk memperoleh pengakuan yg menurutnya layak dia dapatkan.Sebagian pengakuan tersebut sudah diperolehnya saat dia menaklukkan Everest pada 1994 tanpa bantuan oksigen. Melalui program Sagarmatha Environmental Expedition, tim Fischer berhasil membuang 2-5 ton sampah dari gunung tersebut---selain bermanfaat bagi lingkungan, tindakan tersebut ternyata mampu menjadi semacam publikasi yg sangat baik. Pada Januari 1996, Fischer memimpin upaya pengumpulan dana melalui ekspedisi Kilimanjaro, gunung tertinggi di Afrika, dan berhasil meraup setengah juta dollar yg kemudian disumbangkan kepada organisasi amal CARE. Berkat program lingkungan Everest 1994 dan program Kilimanjaro, saat Fischer menuju Everest  pada 1996, namanya mulai sering muncul dalam beberapa rubrik media di Seattle, dan kariernya sebagai pendaki gunung ikut melejit.
       Para wartawan kerap bertanya kepada Fischer tentang resiko kariernya sebagai pendaki terhadap perannya sebagai seorang suami dan ayah. Fischer menjawab bahwa dia bukan lagi seorang pendaki nekat seperti saat dia masih muda---bahwa sekarang dia lebih berhati-hati, layaknya pendaki yg konservatif. Menjelang keberangkatannya ke Everest pada 1996, Scott bicara dengan seorang penulis dari Seattle, Bruce Barcott, "Aku 100 persen yakin bahwa aku akan kembali....Istriku juga yakin 100 persen bahwa aku akan kembali. Dia tidak pernah cemas jika aku sedang memandu karena yakin aku akan melakukan tindakan yg tepat. Kecelakaan yg banyak terjadi sebagian besar disebabkan oleh kelalaian manusia. Kelalaian seperti itulah yg akan aku hilangkan. Aku sudah sering celaka ketika aku masih muda. Aku bisa saja berkelit dan mengajukan beberapa alasan, tetapi itu semua terjadi karena kelalaian manusia.
      Betapapun besarnya keyakinan Fischer, kariernya sebagai pendaki tetap saja membawa dampak negatif pada keluarganya. Fischer sangat mencintai anak-anaknya; ketika dia sedang berada di Seattle, dia benar-benar menjadi ayah yg telaten bagi kedua anaknya, tetapi dia juga harus sering meninggalkan rumah selama berbulan-bulan. Tujuh kali Fischer tidak hadir dalam sembilan kali peringatan ulang tahun anaknya. Dan menurut beberapa temannya, saat Fischer berangkat ke Everest pada 1996, rumah tangganya sudah mulai goyah.
      Tetapi Jean Price, istri Fischer, menyangkal dan mengatakan bahwa goyahnya perkawinan mereka sama sekali tidak terkait dengan karier Scott. Keretakan perkawinan mereka lebih banyak disebabkan oleh tuntutan hukum yg diajukan Jean Price terhadap majikannya karena pelecehan seksual. Perkara pengadilan dengan pihak Alaska Airlines berlangsung sepanjang tahun 1995. Meskipun kasus itu sudah berakhir, dampak perselisihan hukum tersebut cukup memukul mereka, karena selama hampir satu tahun Jean Price kehilangan gajinya. Keuntungan dari bisnis Fischer tidak mampu menutupi hilangny penghasilan Price sebagai penerbang. "Untuk pertama kalinya sejak pindah ke Seattle, kami menghadapi masalah keuangan," keluhnya.
       Seperti pesaingnya yg lain, Mountain Madness belum mampu meraih banyak keuntungan sejak perusahaan tersebut berdiri: pada 1995, Fischer hanya membawa pulang 12.000 dollar. Namun keadaan sekarang mulai membaik, berkat nama Fischer yg terus menanjak dan berkat mitra bisnis yg merangkap manajer administrasinya, Karen Dickinson. Sebagai seorang organisator yg baik dan hati-hati, Karen Dickinson mampu mengimbangi sifat Fischer yg terlalu intuitif dan ugal-ugalan. Setelah mengamati sukses Rob Hall menjadi pemandu di Everest---dan tingginya tarif yg ditawarkan Hall berkat sukses yg diraihnya---Fischer memutuskan untuk mulai memasuki pasar Everest. Jika dia bisa mengikuti jejak Hall, dia akan mampu mendongkrak keuntungan Mountain Madness.
       Uang sebenarnya bukan masalah penting bagi Fischer. Dia sendiri tidak terlalu peduli pada hal-hal yg bersifat materi, tetapi dia sangat mendambakan penghormatan, dan dia sadar bahwa didalam budaya masyarakatnya, uang merupakan tolok ukur kesuksesan.
       Beberapa minggu setelah Fischer sukses memimpin ekspedisi Everest pada 1994, aku bertemu dengannya di Seattle. Aku tidak mengenalnya dengan baik, tetapi kami memiliki beberapa teman yg sama dan sering bertemu saat melakukan pendakian atau pesta-pesta kelompok pendaki. Dalam pertemuan kali ini, secara khusus Fischer mengajakku bicara tentang ekspedisi Everest yg sedang dia rencanakan: aku harus ikut, katanya membujuk, dan menulis artikel tentang dunia mendaki untuk majalah Outside. "Benar-benar gila jika orang dengan pengalaman minimal sepertiku ingin mendaki Everest," jawabku, tetapi dia menjawab, "Pengalaman sebenarnya tidak terlalu penting. Bukan ketinggian yg penting, melainkan sikap. Aku yakin kamu akan baik-baik saja. Kamu pernah mendaki beberapa gunung yg cukup sulit---pendakian yg lebih sulit dari Everest. Gunung besar itu sudah kita taklukkan, kita sudah memasang tali disana. Anggap saja, kita sudah membangun jalan batu sampai ke puncaknya.
      Scott berhasil menarik perhatianku---bahkan lebih dari yg dia sadari---dan dia benar-benar gigih. Setiap kali kami berjumpa dia akan bicara tentang Everest dan berkali-kali mengulang gagasannya dihadapan Brad Wetzler, salah seorang editor majalah Outside. Pada Januari 1996, berkat upaya Fischer yg terus menerus, majalah Outside memutuskan untuk mengirimku ke Everest---mungkin sebagai anggota Ekspedisi Fischer, kata Wetzler. Scott yakin, dia sudah mengantongi satu klien.
      Namun, sebulan sebelum keberangkatan, aku menerima telpon dari Wetzler yg melaporkan tentang perubahan rencana: Rob Hall mengajukan tawaran yg lebih baik kepada majalah Outside, dan Wetzler menyarankan agar aku ikut kedalam kelompok Adventure Consultants, bukan sebagai anggota kelompok Fischer. Saat itu, aku sudah mulai mengenal dan menyukai Fischer, dan belum tahu banyak tentang Hall, sehingga awalnya aku merasa sedikit ragu. Namun setelah seorang rekan pendaki meyakinkanku bahwa reputasi Hall benar-benar prima, dengan bersemangat aku setuju untuk mendaki Everest bersama Adventure Consultants.
       Suatu malam di Base Camp, aku menanyakan kepada Hall alasannya menginginkanku ikut dalam ekspedisinya. Dengan jujur Hall mengakui bahwa dia bukan benar-benar tertarik kepada diriku atau publisitas yg dihasilkan oleh tulisanku. Yang membuatnya tertarik adalah iklan yg akan diperolehnya sesuai kesepakatan dengan pihak Outside.
      Menurut pengakuan Hall kepadaku bahwa dia hanya akan menerima uang tunai sebesar 10.000 dollar; selebihnya akan dibayar dengan sejumlah besar ruang untuk iklan di majalah Outside. Ruang iklan itulah yg akan dia gunakan untuk menarik pembaca berpenghasilan tinggi, yg suka bertualang dan aktif secara fisik---para klien inti. Dan yg terpenting, Hall menambahkan, "Semua pelanggan itu berasal dari Amerika. Delapan puluh sampai Sembilan puluh persen pasar potensial untuk ekspedisi Everest yg dipandu memang warga Amerika Serikat. Sesudah musim pendakian ini, jika rekan seprofesi saya, Scott, berhasil memantapkan diri sebagai pemandu Everest, dia akan memiliki kelebihan dari Adventure Consultants, karean perusahaannya berkantor pusat di Amerika Serikat. Supaya mampu bersaing dengannya, kami harus lebih memperluas iklan perusahaan kami di Amerika."
      Bulan Januari, ketika Fischer mengetahui bahwa Hall berhasil menarikku dari timnya, dia seperti orang yg terserang ayan. Dia menelponku dari Colorado, tidak seperti biasa suaranya terdengar kesal. Dia mengatakan bahwa dia belum benar-benar menyerah. (Seperti Hall, Fischer tidak berpura-pura tertarik pada diriku, tapi pada publisitas dan iklan yg akan diperolehnya dari Outside). Namun, ternyata dia tidak mampu menyaingi penawaran Hall pada majalah tersebut.
      Ketika aku tiba di Base Camp sebagai anggota tim ekspedisi Adventure Consultants, dan bukan anggota Mountain Madness, Scott sama sekali tidak tampak kesal. Saat aku mengunjungi dia di perkemahannya, dia menuangkan secangkir kopi, merangkul bahuku, dan kelihatannya benar-benar senang bisa melihatku.

*Ada empat belas puncak gunung yg lazim dikenal sebagai puncak 8.000 meter: gunung-gunung yg memiliki ketinggian lebih dari 8.000 meter (26.246 kaki) diatas permukaan laut. Meskipun sasaran tersebut tidak bersifat mutlak, para pendaki memiliki kebanggaan tersendiri jika mereka mampu mendaki puncak 8.000 meter. Orang pertama yg berhasil menaklukkan ke empat belas puncak tersebut adalah Reinhold Messner, pada  1986. Sampai hari ini, hanya empat pendaki lain yg berhasil menyamai prestasi Messner.

Bersambung...... 

     
Meskipun Base Camp dipenuhi jejak-jejak peradaban, kami tidak lupa bahwa saat ini kami berada kurang lebih tiga mil dari atas permukaan laut. Berjalan ke kemah utama sehabis makan siang sudah mampu membuat telingaku seperti berdengung  selama beberapa menit. Jika aku duduk terlalu cepat, kepalaku berputar dan aku merasa pusing. Batuk keras yg menyerangku sejak di Lobuje dari hari ke hari menjadi semakin parah. Aku juga kesulitan untuk tidur, gejala umum dari penyakit ketinggian yg ringan. Berhari-hari aku terbangun selama tiga atau empat jam agar bisa bernapas lebih baik, merasa seperti orang yg tercekik. Luka dan goresan kecil pada tubuh sulit untuk sembuh. Nafsu makanku hilang dan sistem pencernaanku yg membutuhkan sejumlah besar oksigen untuk metabolisme makanan, menolak menerima makanan yg dengan susah payah aku telan; padahal tubuhku menjerit untuk mendapatkan makanan. Sedikit demi sedikit, kedua lengan dan kakiku mulai mengecil menyerupai tongkat.
      Kondisi beberapa rekan satu timku bahkan lebih buruk lagi akibat kurangnya oksigen dan lingkungan yg tidak higienis. Andy, Mike, Caroline, Lou, Stuart dan John terserang sakit perut yg memaksa mereka kerap terbirit-birit ke kamar kecil. Helen dan Doug terus menerus diserang sakit kepala. Seperti yg digambarkan Doug kepadaku, "Aku merasa seperti ada sebatang paku yg ditancapkan diantara kedua mataku."
      Bagi Doug, pendakian kali ini merupakan pendakian kedua bersama Hall. Setahun yg lalu, Hall memaksa Doug dan tiga kliennya yg lain untuk turun gunung karena hari sudah mejelang senja dan lereng yg menuju puncak tertutup salju yg dalam dan tidak stabil, padahal mereka hanya tinggal 330 kaki lagi dari puncak. "Puncak itu terlihat saaaangat dekat," katanya sambil tersenyum pahit. "Percayalah, aku tidak pernah melupakannya, meskipun hanya satu hari." Hall membujuknya untuk ikut lagi tahun ini, karena dia kasihan pada Doug yg tidak berhasil mencapai puncak dan memberi potongan harga yg cukup besar agar Doug mau mencoba sekali lagi.
      Diantara rekan-rekan satu timku, Douglah satu-satunya pendaki yg paling sering mendaki tanpa dibantu pemandu profesional; meskipun dia tidak termasuk dalam kelompok pendaki elite, pengalamannya dalam mendaki selama lima belas tahun membuatnya mampu menjaga dirinya sendiri pada medan dengan ketinggian seperti ini. Jika salah seorang anggota tim ekspedisi kami bisa mencapai puncak, pasti Douglah orangnya: selain kuat dan berambisi, Doug juga pernah hampir mencapai puncak Everest.
      Dua bulan lagi, Doug akan mencapai usia empat puluh tujuh tahun. Dia bercerai tujuh belas tahun yg lalu. Kepadaku, Doug mengaku bahwa dia sering terlibat hubungan cinta dengan beberapa orang wanita, meskipun akhirnya wanita itu meninggalkannya karena tidak tahan bersaing dengan gunung-gunung yg sangat dicintainya. Beberapa minggu sebelum berangkat untuk memulai ekspedisi Everest 1996, Doug bertemu dengan seorang wanita saat dia berkunjung ke rumah seorang teman di Tucson, dan keduanya jatuh cinta. Selama beberapa waktu mereka saling berkirim faksimile, kemudian hubungan mereka terhenti, dan Doug tidak mendengar berita apapun darinya. "Aku rasa dia sedang berpikir dan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan kami," katanya dengan muram dan nada menyesal. "Wanita ini benar-benar baik. Tadinya aku mengira  hubungan kami akan mampu bertahan."
      Beberapa saat kemudian, masih pada malam yg sama, Doug mendatangi kemahku sambil melambai-lambaikan sehelai kertas faksimile ditangannya. "Karen Marie akan pindah ke Seattle!" katanya dengan suara gembira. "Wow! Sepertinya dia sungguh-sungguh. Kali ini aku harus benar-benar sampai ke puncak, kemudian melupakan Everest untuk selamanya sebelum dia berubah pikiran."
       Selain berkirim surat dengan wanita baru dalam kehidupannya itu, Doug mengisi hari-harinya di Base Camp dengan menulis puluhan kartu pos untuk murid-murid Sekolah Dasar Sunrise, sebuah sekolah negeri di Kent, Washington, anak-anak yg membantu Doug mencari dana untuk pendakian ini dengan menjual T-shirt. Dia menunjukkan sejumlah kartu pos yg ditulisnya, "Beberapa orang punya impian yg besar, beberapa yg lain punya impian yg kecil saja," tulisnya pada seorang gadis kecil bernama Vanessa. "Apapun yg kamu lakukan, kamu tidak boleh berhenti bermimpi. Itu yg terpenting."
       Tetapi, waktu terbesar Doug dihabiskan untuk menulis faksimile kepada kedua anaknya yg sudah dewasa---Angie, sembilan belas tahun, dan Jaime, dua puluh tujuh tahun---yg dia besarkan sendirian. Tenda Doug terletak tepat disamping tendaku, dan setiap kali dia menerima faksimile dari Angie, dia akan membacakannya dengan suara gembira, "Benar-benar hebat," katanya, "Bagaimana mungkin orang gagal seperti aku bisa membesarkan seorang anak yg hebat seperti dia?"
       Aku sendiri jarang menulis kartu pos atau faksimile kepada siapapun. Aku justru sering termenung memikirkan cara bertahan diatas gunung nanti, terutama diwilayah yg dikenal sebagai "zona kematian" yg terletak diatas ketinggian 25.000 kaki. Aku menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari batuan dan es, lebih dari yg dilakukan oleh rekan-rekanku maupun oleh para pemandu. Namun, keahlian teknis hampir-hampir tidak berarti di Everest ini, aku juga merupakan peserta yg paling tidak memiliki pengalaman mendaki gunung-gunung yg tinggi dibanding dengan peserta lain. Bahkan, Base Camp---yg letaknya di jari kaki Everest---sudah lebih tinggi dari tempat manapun yg pernah kudaki seumur hidupku.
       Akan tetapi, kerisauanku sepertinya tidak membuat Hall cemas. Menurutnya, setelah tujuh kali melakukan ekspedisi ke Everest, dia sudah menyusun program aklimatisasi yg sangat efektif yg membuat kliennya mampu beradaptasi dengan menipisnya kandungan oksigen didalam atmosfer. (Di Base Camp, jumlah oksigen di udara kira-kira setengah dari jumlah oksigen ditepi laut; dan dipuncak gunung jumlah itu menurun menjadi sepertiganya). Dihadapkan pada ketinggian yg terus meningkat, tubuh manusia akan menyesuaikan diri dengan berbagai cara, mulai dari meningkatkan sistem pernapasan, mengubah pH dalam darah, atau secara drastis meningkatkan jumlah sel-sel darah yg mengangkut oksigen---perubahan yg membutuhkan waktu beberapa minggu.
       Akan tetapi, Hall meyakinkan kami bahwa setelah melakukan tiga kali pendakian diatas Base Camp, dengan masing-masing pendakian mencapai lebih dari 2.000 kaki, tubuh kita akan cukup beradaptasi untuk bisa mencapai puncak Everest, yg berada pada ketinggian 29.028 kaki. "Cara itu sudah dicoba sebanyak tiga puluh sembilan kali dan sejauh ini selalu berhasil, kawan, "katanya meyakinkanku sambil tersenyum lebar untuk menepis keraguanku. "Selain itu, beberapa orang yg pernah mencapai puncak bersamaku, sama gugupnya seperti kamu." 

Kamis, 17 Juli 2014

Into Thin Air --- Bab IV

PHAKDING --- 31 MARET 1996 --- 9.186 KAKI

Dari Lukla , perjalanan ke Everest membawa kami ke utara melewati sebuah ngarai gelap dari Sungai Dudh Kosi, sungai es penuh bongkahan-bongkahan batu besar yg berbenturan dengan aliran air deras dan memutih. Kami menghabiskan malam pertama kami di Phakding, sebuah dusun kecil terdiri atas setengah lusin rumah dan beberapa penginapan yg didirikan diatas tanah datar pada sebuah lereng yg terletak di atas sungai. Ketika malam tiba, udara berubah menjadi sangat dingin, dan pagi hari, ketika aku sedang mendaki jalan tanah, aku melihat kilatan es terpantul dari atas daun rhododendron . Meskipun demikian, wilayah Everest sendiri terletak pada 28 derajat Lintang Utara---tepat digaris batas wilayah tropis---sehingga begitu matahari terbit dan cukup tinggi untuk bisa menembus seluruh kedalaman lembah, udara dengan cepat berubah menjadi panas. Tengah hari, setelah kami melewati sebuah jembatan gantung reyot yg melintang tinggi di atas sungai---sungai keempat yg kami lewati hari itu---butir-butir keringat mulai membasahi pipiku, memaksaku untuk melepaskan semua pakaian, kecuali celana pendek dan T-shirt.
        Setelah melewati jembatan, jalan tanah membawa kami menjauhi pinggiran Sungai Dudh Kosi, berkelok-kelok mendaki dinding ngarai yg terjal, melewati pohon-pohon pinus yg menebarkan aroma khas. Puncak-puncak Thamserku dan Kusum Kangru yg diselimuti es dan berbentuk suling tampak mencuat ke langit, hanya dua mil dihadapan kami. Negeri yg benar-benar mengagumkan ; secara topografi, keindahan wilayah ini bisa disetarakan dengan tempat manapun dimuka bumi, tetapi ia sama sekali tidak menampilkan  keliaran belantara, dan sudah sejak ratusan tahun seperti itu.
       Setiap jengkal tanah yg bisa dibudidayakan telah dipetak-petak dan ditanami dengan tanaman gandum, lobak atau kentang. Beberapa utas tali dengan beberapa bendera untuk berdoa tampak melintang diatas bukit, beberapa stupa* atau bangunan kuno agama Budha, dan tembok mani* dengan pahatan-pahatan yg sangat indah tersusun rapi, bahkan diatas jalan-jalan setapak yg paling tinggi. Saat aku berjalan mendaki menjauhi sungai, jalan tanah itu sudah dipenuhi para pelintas alam, kereta yg ditarik yak*, pendeta Budha berjubah merah, dan suku Sherpa yg bertelanjang kaki dengan membawa beban berat berupa kayu bakar, minyak tanah dan minuman ringan dipunggung mereka.
      Sembilan puluh menit setelah melewati sungai, aku tiba dibagian lereng gunung yg lebar, melewati dinding-dinding batu yg memagari padang penggembalaan yak, dan tiba-tiba saja aku menemukan diriku berdiri tepat ditengah Namche Bazaar, pusat sosial dan perdagangan suku Sherpa. Terletak 11.300 kaki diatas permukaan laut, Namche menempati wilayah berbentuk mangkuk yg miring, mirip sebuah parabola raksasa yg menempel dilereng gunung yg terjal. Lebih dari seratus bangunan menempel dramatis dilereng gunung tersebut, setiap bangunan dihubungkan dengan bangunan lain oleh jalan-jalan setapak yg sempit dan terjal. Dekat ujung kota yg letaknya lebih rendah, aku menemukan Penginapan Khumbu, melalui pintu berkelambu, dan menemukan teman-teman seperjalananku sedang minum teh lemon mengelilingi sebuah meja disudut ruangan.
        Ketika aku mendekat, Rob Hall memperkenalkan aku pada Mike Groom, pemandu ketiga dari tim ekspedisi kami. Orang Australia berambut merah berusia tiga puluh tiga tahun ini memiliki tubuh langsing seperti seorang pelari marathon. Sehari-hari, Groom yg warga Kota Brisbane ini bekerja sebagai seorang tukang kayu dan kadang-kadang dia bekerja paruh waktu sebagai pemandu. Pada 1987, setelah dipaksa melewatkan malam hari dibawah udara terbuka saat menuruni Puncak Kanchenjunga dengan ketinggian 28.169 kaki, dia harus merelakan semua jari kakinya diamputasi karena gigitan udara dingin. Namun, peristiwa itu tidak menumpulkan kariernya di Himalaya; dia terus mendaki puncak-puncak K2, Lhotse, Cho Oyu, Ama Dablam dan pada 1993, Groom mendaki Everest tanpa tabung oksigen. Pembawaannya yg tenang dan hati-hati menjadikan dia teman yg menyenangkan, tetapi dia jarang bersuara jika tidak diajak bicara, dan semua pertanyaan dijawabnya dengan kalimat-kalimat pendek yg diucapkan dengan suara yg hampir-hampir tak terdengar.
       Saat makan malam, percakapan biasanya didominasi oleh tiga anggota tim yg sama-sama berprofesi sebagai dokter---Stuart, John dan terutama Beck, pola yg terus berlanjut hampir selama ekspedisi berlangsung. John maupun Beck yg sama-sama pandai melucu membuat kelompok kami semakin akrab. Sayangnya Beck sering mengubah topik pembicaraannya menjadi diskusi yg mengarah pada debat terbuka, dan pada suatu malam, aku membuat kekeliruan karena berbeda pendapat dengannya. Sebagai seorang pakar debat dengan pengetahuan luas, Beck mengecam dengan pedas pernyataan yg kulontarkan tanpa sengaja, dan aku yg tidak mampu membalas kata-katanya hanya bisa duduk diam, membisu dan kesal.
        Ketika dia terus bicara dengan aksen Texas yg kental dan mengkritik beberapa kebijakan sosial sejumlah negara bagian, aku berdiri dan meninggalkan meja agar tdak lebih mempermalukan diriku.
Aku kembali ke ruang makan dan mendekati pemilik penginapan untuk meminta sebotol bir. Seorang gadis Sherpa bertubuh kecil tapi anggun tampak sedang mencatat pesanan beberapa pendaki Amerika. "Kami lapar," seorang pria dengan pipi kemerahan berkata kepadanya dengan suara keras dan bahasa Inggris yg terputus-putus, sambil menirukan gerakan orang makan. "Ma-u ma-kan ken-tang. Yak-burger. Co-ca Co-la. Anda punya?"
      "Anda ingin melihat daftar menu?" tanya gadis Sherpa itu dengan bahasa Inggris sempurna dan jernih dengan aksen Kanada yg halus. "Kami menyediakan banyak pilihan. Aku kira kami masih punya beberapa pie apel yg masih hangat, jika Anda menginginkan sesuatu untuk pencuci mulut."
      Pendaki dari Amerika itu, yg tidak menyadari bahwa wanita gunung berkulit coklat itu berbicara dengan bahasa Inggris sempurna, tetap menggunakan bahasa Inggris yg patah-patah dengan dialek lucu, "Me-nu. Bagus, bagus. Ya-ya, kami mau lihat me-nu."
      Suku Sherpa memang masih merupakan teka teki tersendiri bagi kebanyakan pendatang yg cenderung memandang mereka dari kacamata yg romantis. Orang-orang yg tidak mengenal demografi Himalaya kerap menganggap bahwa bangsa Nepal identik dengan suku Sherpa, padahal diseluruh wilayah Nepal jumlah suku Sherpa hanya mencapai 20.000 orang. Luas Negara Nepal sama dengan luas wilayah negara bagian North Carolina, berpenduduk dua puluh juta orang, terdiri atas lebih dari 50 kelompok etnis yg berbeda. Suku Sherpa merupakan orang gunung dan pemeluk agama Budha yg taat. Nenek moyang mereka bermigrasi ke selatan dari Tibet pada empat atau lima abad yg lalu. Kampung-kampung suku Sherpa tersebar disepanjang Himalaya, di timur Nepal, dan beberapa kelompok komunitas Sherpa yg cukup besar bisa dijumpai di Sikkim dan Darjeeling, India, tetapi pusat masyarakat Sherpa sendiri terletak di Khumbu, dilembah-lembah yg terletak di tepi lereng selatan Gunung Everest---sebuah wilayah kecil yg sangat bergelombang, yg tidak memiliki sarana jalan dan bebas dari mobil atau kendaraan beroda jenis apapun.
       Pertanian sangat sulit dilakukan dilembah yg tinggi, dingin dan curam seperti itu sehingga roda perekonomian suku Sherpa yg tradisional digerakkan oleh perdagangan dengan bangsa Tibet dan India, serta beternak Yak. Pada 1921, bangsa Inggris melakukan ekspedisi pertama mereka ke Everest, dan keputusan mereka  untuk mempekerjakan suku Sherpa sebagai pembantu mengubah budaya suku Sherpa.
       Oleh karena Pemerintah Nepal masih menutup perbatasannya sampai pada 1949, tim ekspedisi Everest yg pertama  dan delapan ekspedisi berikutnya, terpaksa mendekati gunung tersebut dari arah utara melewati wilayah Tibet, sehingga mereka belum pernah mendekati wilayah Khumbu. Tetapi kesembilan tim ekspedisi yg menuju Tibet tersebut mengawali perjalanan mereka dari Kota Darjeeling, tempat yg dihuni oleh banyak imigran suku Sherpa yg oleh para penduduk kolonial dikenal sebagai pekerja keras yg ramah dan pandai. Selain itu karena selama beberapa generasi sebagian besar warga Sherpa menetap  diwilayah yg terletak pada ketinggian antara 9.000 sampai 14.000 kaki, fisik mereka sudah beradaptasi dengan kondisi medan yg tinggi dan keras. Atas saran seorang dokter berkebangsaan Skotlandia, A.M. Kellas, yg sudah beberapa kali mendaki dan melakukan banyak perjalanan ditemani suku Sherpa, ekspedisi Everest pada 1921 mempekerjakan sekelompok besar suku Sherpa sebagai kuli angkut dan pembantu perkemahan, sebuah kebiasaan yg terus berlanjut dan diikuti oleh hampir semua tim ekspedisi dan terus berlangsung hingga kini, hampir tujuh puluh lima tahun kemudian.
       Baik atau buruk, selama lebih dari dua abad, perekonomian dan budaya Khumbu semakin dipengaruhi oleh dan bergantung pada pendatang musiman, yaitu para pelintas alam dan pendaki gunung, 15.000 diantaranya mendatangi  wilayah ini setiap tahunnya. Suku Sherpa yg berhasil menguasai keahlian teknis sebagai pendaki dan bekerja ditempat-tempat tinggi dipuncak gunung---terutama mereka yg pernah mencapai Puncak Everest---akan dihormati oleh anggota masyarakat mereka. Tetapi, mereka yg menjadi bintang pendaki juga beresiko kehilangan nyawa: sejak 1922, ketika tujuh anggota suku Sherpa tewas akibat longsoran salju dalam ekspedisi tim Inggris yg kedua, sudah banyak warga Sherpa yg tewas di Everest---menurut cerita, jumlah mereka yg tewas mencapai lima puluh tiga orang. Artinya, jumlah warga Sherpa yg tewas mencapai lebih dari sepertiga dari jumlah seluruh pendaki yg tewas di Everest.
       Meskipun demikian, warga Sherpa masih saja bersaing ketat untuk memperoleh posisi dalam setiap ekspedisi Everest, yg rata-rata membutuhkan antara dua belas sampai delapan belas pekerja per ekspedisi. Posisi yg paling banyak diminati adalah enam posisi sebagai pakar pendaki, dengan bayaran antara 1.400-2.500 dollar untuk kerja keras selama dua bulan---sebuah penghasilan yg menarik untuk penduduk negara miskin dengan penghasilan per kapita hanya sekitar 160 dollar per tahun.
       Untuk mengimbangi meningkatnya jumlah pendaki dan pelancong dari negara-negara Barat, jumlah penginapan dan kedai minuman disepanjang wilayah Khumbu ikut pula meningkat, terutama di Namche Bazaar. Disepanjang jalan tanah menuju Namche Bazaar, aku kerap berpapasan dengan kuli-kuli yg sedang berjalan mendaki dari hutan-hutan dataran rendah sambil mengangkut batang-batang kayu yg baru dipotong dan beratnya mencapai lima puluh kilogram---beban yg sangat berat, dengan bayaran hanya tiga dollar sehari.
       Para pelancong yg sering mengunjungi Khumbu pasti sedih melihat membanjirnya turis dan perubahan yg kerap terjadi pada wilayah yg oleh para pendaki Barat tempo dulu dinamai surga dunia, sebuah Shangri-La dalam kehidupan nyata. Pohon-pohon diseluruh lembah ditebangi untuk memenuhi kebutuhan akan kayu bakar. Para remaja yg berkumpul  di carrom atau kedai minum, tidak lagi mengenakan jubah tradisional mereka, tetapi celana jins dan T-shirt bergambar tim Chicago Bulls. Banyak keluarga menghabiskan sore hari mereka didepan video menyaksikan film Arnold Schwarzenegger yg paling baru.
       Tidak semua perubahan yg terjadi pada budaya Khumbu menuju arah yg paling baik, tetapi aku jarang mendengar suku Sherpa mengeluhkannya. Uang tunai yg dibawa para pelintas alam dan pendaki, serta sumbangan yg terus mengalir dari organisasi-organisasi internasional yg juga dibawa oleh para pelintas alam dan pendaki, membiayai sekolah-sekolah dan klinik-klinik, menurunkan angka kematian bayi, membangun jembatan dan membawa pembangkit listrik ke Namche dan beberapa desa lain. Sikap para pendatang Barat yg meratapi hilangnya masa kejayaan Khumbu, ketika kehidupan ditempat itu masih sangat sederhana dan indah, bisa dikatakan sebagai sikap yg cukup merendahkan. Kebanyakan penduduk asli yg hidup di wilayah bergunung-gunung ini tampaknya tidak ingin dipisahkan dari kehidupan dunia modern maupun dari kemajuan peradaban manusia yg tidak terbendung. Suku Sherpa sama sekali tidak ingin dianggap sebagai spesimen sebuah museum antropologi.
        Seorang pejalan kaki yg terbiasa dengan medan yg tinggi, bisa menempuh jarak antara landasan udara Lukla dengan Perkemahan Utara Everest dalam waktu dua atau tiga hari. Namun, karena kebanyakan anggota tim kami datang dari daerah-daerah yg terletak dekat pantai, Hall bersikap lebih hati-hati dan membiarkan kami bergerak lebih lamban agar tubuh kami bisa beradaptasi dengan kondisi udara yg kandungan oksigennya menipis. Kami jarang berjalan lebih dari tiga atau empat jam setiap harinya. Pada hari-hari tertentu, jika Hall beranggapan kami harus melakukan program aklimatisasi tambahan, dia sama sekali tidak menjadwalkan perjalanan.
        Pada 3 April, setelah menetap satu hari di Namche untuk program aklimatisasi, kami meneruskan perjalanan menuju Base Camp. Dua puluh menit setelah keluar dari perkampungan, setelah melewati sebuah tikungan, aku disambut oleh sebuah pemandangan yg sangat menakjubkan. Dua ribu kaki dibawahku, didasar sebuah celah gletser yg sangat dalam, tampak Sungai Dudh Kosi yg mengalir bagaikan untaian perak yg berkilau dan berkelok-kelok di bawah bayangan tebing yg mengelilinginya. Kurang lebih sepuluh ribu kaki diatasnya, aku melihat bagian belakang puncak Ama Dablam, menjulang tinggi di atas kepala lembah seperti sesosok hantu yg muncul tiba-tiba. Dan kira-kira tujuh ribu kaki ke atasnya lagi, tampak ujung lancip Puncak Everest yg tertutup salju, sebagian tubuhnya terhalang oleh Puncak Nuptse, membuat Puncak Ama Dablam tampak kerdil. Seperti yg kerap terjadi, kondensasi uap air yg bergerak secara horizontal naik dari puncak seperti asap yg membeku, sehingga aliran angin yg kecepatannya sama dengan kecepatan sebuah pesawat jet itu tampak seakan-akan tidak berbahaya.
        Aku menatap puncak tersebut selama kurang lebih tiga puluh menit, berusaha memahami bagaimana rasanya berdiri dipuncak runcing yg diterjang tiupan angin kencang tersebut. Meskipun aku pernah mendaki beberapa puncak gunung, Puncak Everest sama sekali berbeda dengan puncak-puncak lain yg pernah kudaki, sehingga imajinasiku gagal membayangkannya. Puncak itu tampak begitu dingin, begitu tinggi dan begitu tak terjangkau. Aku merasa seakan-akan sedang berada dalam sebuah ekspedisi menuju bulan. Ketika aku berbalik dan meneruskan langkahku mengikuti jalan tanah, perasaanku galau, berpindah-pindah antara harap-harap cemas dan perasaan takut yg hampir-hampir tak bisa ku atasi.
        Menjelang malam aku tiba di Tengboche*, kuil Budha terbesar dan terpenting diwilayah Khumbu. Chongba, seorang warga Sherpa bermuka masam dan selalu tampak serius, yg bekerja dalam tim ekspedisi kami sebagai tukang masak di Base Camp, mengatakan bahwa dia bisa mengatur pertemuan dengan rimpoche*---"Lama Kepala untuk seluruh wilayah Nepal," katanya menjelaskan, "Pria yg sangat suci. Kemarin rimpoche baru saja mengakhiri meditasi yg sangat panjang---setelah tiga bulan tidak bicara dengan siapapun. Kita akan menjadi pengunjung pertamanya. Kesempatan yg sangat bagus." Doug, Lou dan aku memberi Chongba masing-masing seratus rupee (kira-kira dua dollar) untuk membeli kata---ikat kepala untuk upacara terbuat dari sutra berwarna putih untuk dipersembahkan kepada rimpoche . Setelah melepaskan sepatu, kami mengikuti Chongba memasuki sebuah bilik kecil dan tertutup yg terletak dibelakang kuil utama.
        Seorang pria sedang duduk bersila diatas sebuah bantal dengan sarung yg terbuat dari kain brokat. Pria itu mengenakan jubah berwarna merah anggur, tubuhnya pendek dan gemuk, kepalanya botak. Pria itu tampak sangat tua dan sangat lelah. Chongba membungkuk dengan khidmat, bicara pendek dalam bahasa Sherpa dan mengisyaratkan kami agar maju kedepan. Sang rimpoche memberkati kami satu-persatu sambil meletakkan kata yg kami bawa pada leher kami masing-masing. Setelah itu, dia melemparkan senyumannya yg tampak saleh dan menawarkan secangkir teh. "Kain ini harus dipakai sampai ke Puncak Everest*," Chongba menjelaskan dengan suara khidmat. "Tuhan akan gembira dan menjauhkan Anda semua dari bahaya."
        Tidak yakin bagaimana aku harus bersikap dihadapan seorang agung, reinkarnasi hidup dari pendeta kuno yg terkenal tersebut, aku tidak berkata apa-apa, takut kata-kataku menyinggung atau keliru. Ketika aku dengan gelisah menghirup teh manis yg disuguhkannya, orang suci itu beringsut menuju lemari yg terletak disampingnya, mengeluarkan sebuah buku besar berhias, dan menyodorkan buku itu kepadaku. Aku membersihkan tangan pada kedua sisi-sisi celana penjangku. dan membuka buku itu dengan perasaan cemas. Buku itu ternyata sebuah album. Pendeta suci itu baru saja kembali dari perjalanan pertamanya ke Amerika dan album itu berisi foto-foto perjalanannya: foto sang pendeta suci saat berada di Washington, didepan Lincoln Memorial, didepan museum udara dan luar angkasa; foto-foto saat berada di California, didermaga Santa Monica. Kemudian dengan senyum lebar dan sangat antusias dia menunjukkan dua foto favoritnya: sang pendeta suci yg sedang berpose disamping Richard Gere dan sebuah foto lain bersama Steven Seagal.


*Chorten merupakan sebuah monumen keagamaan, biasanya terbuat dari batu dan biasanya berisi tulisan keramat; nama lain, stupa.
*Mani adalah batu-batu kecil dan rata berisi ukiran doa agama Budha dari warga Tibet yg ditulis dalam bahasa Sansekerta berbunyi Om mani padme hum. Batu-batu ini biasanya disusun ditengah jalan setapak dan membentuk dinding mani yg pendek. Aturan agama Budha mengharuskan para pengembara berjalan disebelah kanan mani
+Secara teknis, sebagian besar jenis "yaks" yg kerap dijumpai di Himalaya sebenarnya adalah campuran antara yaks dengan sapi; yg jantan dinamai dzopkyo sementara yg betina disebut dzom. Yaks betina yg berdarah murni biasa disebut naks. Hampir semua pendatang dari Barat kesulitan membedakan antara ketiga jenis binatang berbulu kusut ini dan menyebut semua jenis dengan kata yaks.
*Tidak seperti bahasa Tibet yg hampir serupa, Sherpa bukan bahasa tulisan sehingga orang-orang Barat dipaksa untuk menafsirkan tulisan ini menurut pendengaran mereka. Akibatnya ejaan kata-kata atau nama dalam bahasa Sherpa sering kali tidak seragam; Tengboche, misalnya, sebelumnya ditulis sebagai Tengpoche atau Thyangboche; beberapa ketidak seragaman serupa banyak dijumpai dalam hampir semua kata dalam bahasa Sherpa
*Meskipun orang Tibet menamai puncak itu Jomolungma dan orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, hampir semua warga Sherpa dalam percakapan sehari-hari menyebutnya sebagai Everest---bahkan saat mereka berbicara dengan sesama Sherpa.


Bersambung....  

  
Enam hari pertama perjalanan kami berlalu tanpa kenangan khusus. Jalan tanah yg kami lalui membawa kami melewati hutan juniper, sejenis pepohonan yg tampak kerdil, hutan pinus dan semak rhododendron, beberapa air terjun yg suaranya memekakkan telinga, taman batu yg sangat indah , dan beberapa sungai yg airnya tampak berbuih. Dikaki langit yg indah tampak beberapa puncak yg namanya kerap kubaca sejak aku masih kanak-kanak. Karena hampir semua barang bawaan kami diangkut oleh yak dan oleh para kuli, ransel punggungku hanya berisi jaket, beberapa batang permen dan sebuah kamera. Tanpa beban dan tanpa tergesa-gesa, aku berjalan sambil menikmati keindahan alam negeri ini, seperti orang yg memasuki sebuah alam gaib---sayangnya euforia seperti ini tidak berlangsung lama. Cepat atau lambat ingatanku selalu kembali ke puncak yg sedang kutuju, dan bayangan dingin Everest dengan cepat mengembalikan kesadaranku.
       Kami semua berjalan dengan santai, berhenti sekali-sekali untuk makan atau minum dikedai minum ditepi jalan, mengobrol dengan orang-orang yg lalu lalang. Aku kerap berjalan disamping Doug Hansen, si pegawai kantor pos, dan Andy Harris, pemandu junior Hall yg ramah. Andy---yg dipanggil Harold oleh Rob dan teman-temannya yg sama-sama dari Selandia Baru---memiliki tubuh besar dan kukuh seperti seorang pemain belakang tim Rugby di Amerika. Wajahnya keras tapi tampan, seperti wajah yg kerap tampil dalam iklan-iklan rokok. Selama musim dingin Andy sering diminta untuk menjadi pemandu olah raga ski-helikopter, sedangkan dalam musim-musim panas, dia bekerja sebagai ilmuwan, melakukan penelitian geologi di wilayah Antartika atau memandu para pendaki untuk mendaki gunung-gunung diselatan Selandia Baru.
      Sambil berjalan menelusuri jalan tanah, dengan nada penuh kerinduan Andy bercerita tentang wanita yg hidup bersamanya, seorang dokter bernama Fiona McPherson. Ketika kami beristirahat diatas sebuah batu, dia mengeluarkan dompet dari ranselnya dan menunjukkan foto Fiona. Gadis itu tampak tinggi, berambut pirang dengan tubuh atletis. Menurut Andy, dia dan Fiona sedang membangun sebuah rumah diwilayah perbukitan diluar Kota Queenstown. Setelah dia menceritakan kesenangan sederhana yg diperolehnya dari kegiatan menggergaji papan dan memaku itu, Andy bercerita tentang tawaran Rob untuk menjadi pemandu Everest yg semula diterimanya dengan sikap mendua, "Sebenarnya, aku merasa berat harus meninggalkan Fi dan rumah kami. Kami baru saja selesai memasang atap. Tetapi, bagaimana mungkin kamu menolak tawaran untuk mendaki Everest? Terutama jika kamu berpeluang untuk bekerja berdampingan dengan seseorang seperti Rob Hal."
       Meskipun belum pernah mengunjungi Everest, Andy bukan lagi orang asing di Himalaya. Pada 1985, dia pernah mendaki Puncak Chobutse yg sulit yg memiliki ketinggian 21.927 kaki, terletak kira-kira 30 mil di barat Everest. Musim gugur tahun 1994, dia tinggal selama empat bulan dan membantu Fiona mengelola sebuah klinik kesehatan di Pheriche, sebuah desa kecil yg suram dan berangin yg terletak pada ketinggian 14.000 kaki diatas permukaan laut, tempat kami menginap pada 4 dan 5 April.
      Klinik tersebut didanai oleh yayasan yg bernama Himalayan Rescue Association (HRA, Asosiasi Penyelamatan Himalaya), menangani terutama penyakit-penyakit akibat ketinggian (dan memberikan pengobatan cuma-cuma bagi penduduk setempat, yaitu para warga Sherpa), serta memberikan penerangan kepada para pendaki asing tentang bahayanya mendaki pada ketinggian ekstrem yg dilakukan dengan kecepatan tinggi. Ketika kami tiba diklinik yg memiliki empat ruangan itu, kami mendapati seorang dokter berkebangsaan Prancis, Cecile Bouvray, sepasang dokter warga Amerika, Larry Silver dan Jim Litch, dan seorang pengacara lingkungan hidup yg sangat energik bernama Laura Ziemer, yg sama-sama warga Amerika dan menjadi asisten Litch. Klinik tersebut didirikan pada 1973 setelah empat pendaki Jepang meninggal diwilayah tersebut. Sebelum klinik tersebut didirikan, berbagai penyakit akut akibat ketinggian telah menewaskan satu atau dua dari tiap 500 pendaki yg melewati Pheriche. Ziemer menekankan bahwa tingginya angka kematian bukan akibat kecelakaan yg terjadi saat mendaki gunung; para korban umumnya hanyalah "para pelintas alam yg tidak pernah keluar dari jalan setapak yg sudah ditetapkan."
        Sekarang berkat seminar pendidikan dan pertolongan darurat yg diberikan para staf relawan diklinik tersebut, angka kematian sudah jauh berkurang menjadi satu kematian untuk setiap 20.000 pendaki. Meskipun orang-orang Barat yg idealis seperti Ziemer tidak menerima bayaran, bahkan harus membayar sendiri biaya perjalanan dari dan ke Nepal, posisi tersebut dianggap cukup bergengsi sehingga selalu berhasil menarik pelamar dari seluruh pelosok dunia. Caroline Mackenzie, dokter dari tim ekspedisi Hall, pernah bekerja diklinik HRA bersama Fiona McPherson dan Andy pada musim semi 1994.
        Pada 1990, ketika Hall menaklukkan Everest untuk pertama kalinya, klinik tersebut dikelola oleh seorang dokter wanita asal Selandia Baru yg cakap dan penuh percaya diri bernama Jan Arnold. Dalam perjalanan menuju puncak, Hall bertemu dengannya dan langsung terpesona. "Ketika kembali dari Everest, aku mengajaknya berkencan," kenang Hall pada malam pertama setelah kami tiba didesa tersebut. "Untuk kencan pertama, aku mengajaknya ke Alaska mendaki Gunung McKinley. Ternyata dia menerima ajakanku." Mereka menikah dua tahun kemudian. Pada 1993, Arnold dan Hall menaklukkan Puncak Everest dan pada 1994 dan 1995, Arnold kembali ke Base Camp untuk bekerja sebagai dokter ekspedisi. Sebenarnya Arnold berniat untuk kembali ke Everest tahun ini, tetapi dia sedang mengandung anak pertama mereka, dan kandungannya sudah berusia tujuh bulan. Tugas sebagai dokter ekspedisi diambil oleh dr.Mackenzie.
       Seusai makan malam pada hari Selasa, yaitu malam pertama kami di Pheriche, Laura Ziemer dan Jim Litch mengundang Hall, Harris dan Hellen Wilton, manajer Base Camp kami agar datang ke klinik untuk minum-minum dan mengobrol. Malam itu, kami berbicara tentang bahaya nyata dari mendaki Everest---dan memandu---dan Litch masih ingat dengan sangat jelas percakapan kami malam itu: Hall, Harris dan Litch sama-sama sepakat bahwa cepat atau lambat, bencana besar yg menimpa sejumlah besar klien "pasti akan terjadi". Tetapi kata Litch---yg mendaki Everest dari wilayah Tibet musim semi yg lalu---"Rob yakin bahwa bencana seperti itu tidak akan menimpa dirinya; dia hanya cemas bahwa dia 'harus menyelamatkan anggota tim lain,' dan jika bencana yg tak terhindarkan itu terjadi, Rob yakin itu akan terjadi di puncak sisi utara yg lebih berbahaya"---di sisi wilayah Tibet.

Sabtu 6 April, beberapa jam setelah melewati Pheriche, kami tiba dikaki Gletser Khumbu, lidah es sepanjang 12 mil yg berawal dipunggung selatan Everest, yg akan berfungsi sebagai jalan bebas hambatan ---begitulah harapanku--- yg akan mengantar kami sampai kepuncak. Saat ini kami berada pada ketinggian 16.000 kaki, dan wilayah yg berpohon  sudah lama kami tinggalkan. Dua puluh monumen batu berjejer muram disepanjang puncak morena ujung (tumpukan batu yg terbawa gletser dan berakhir diujung aliran) gletser tersebut, menghadap ke arah lembah yg tertutup kabut. Monumen batu tersebut merupakan tugu peringatan untuk menghormati para pendaki yg tewas di Everest, yg kebanyakan merupakan warga Sherpa. Untuk selanjutnya, kami hanya akan melewati daerah yg berbatu-batu yg luas dan es yg diterbangkan angin. Meskipun kami berjalan dengan kecepatan sedang, dampak dari ketinggian mulai membuat kepalaku terasa ringan dan aku mulai kesulitan bernapas.
       Jalan ditempat ini pada beberapa tempat ditutupi oleh lapisan es setinggi kepala. Ketika salju mencair terkena matahari sore, yak-yak kami harus berjalan diatas genangan es yg merendam binatang tersebut sampai ke perut mereka. Sambil mengomel, para kusir yak melecut dan memaksa binatang-binatang tersebut agar terus berjalan, dan mereka mengancam untuk kembali. Menjelang malam kami tiba disebuah desa bernama Lobuje, dan ditempat ini kami menemukan penginapan yg bisa melindungi kami dari terjangan angin, sebuah penginapan yg sangat sempit dan kotor.
       Sebuah tempat yg terdiri atas beberapa bangunan beratap rendah dan hampir roboh yg didirikan ditepi Gletser Khumbu, Lobuje merupakan desa yg tampak suram; tempat itu dipenuhi oleh Sherpa dan para pendaki dari selusin tim ekspedisi yg berbeda, beberapa pelintas alam dari Jerman, sekawanan yak bertubuh kurus---semua sedang dalam perjalanan menuju Base Camp, yg hanya satu hari perjalanan jauhnya dari lembah tersebut. Hujan salju yg deras dan terlambat turun, kata Rob, menghambat perjalanan mereka dan hingga kemarin, tidak ada satu yak pun yg berhasil mencapai Base Camp. Setengah lusin penginapan yg ada didesa tersebut terisi penuh. Tenda-tenda berdiri dikiri dan kanan jalan-jalan setapak berlumpur yg sekarang dipenuhi salju. Sekelompok kuli angkut dari suku Rai dan Tamang yg berasal dari kaki-kaki bukit---yg berpakaian tipis compang camping dan mengenakan sandal karet dan kerap bekerja sebagai kuli angkut untuk beberapa tim ekspedisi sekaligus---berkemah dibeberapa gua dan dibawah batu besar dilereng sekitarnya.
       Tiga atau empat toilet batu yg tersedia didesa kecil tersebut sudah benar-benar dipenuhi kotoran manusia. Baunya sangat menusuk, sehingga hampir semua orang, baik warga Nepal maupun para pelancong dari negara-negara Barat terpaksa mengosongkan isi perut mereka di bawah udara terbuka setiap kali mereka membutuhkannya. Tumpukan kotoran manusia teronggok dimana-mana sehingga sulit untuk tidak menginjaknya. Sungai es yg mencair dan mengalir di tengah-tengah permukiman berubah fungsi menjadi kakus terbuka. 
       Ruang utama penginapan tempat kami bermalam memiliki beberapa tempat tidur papan untuk  kira-kira tiga puluh orang. Aku menemukan sebuah dipan kosong dilantai dua, mengibaskan puluhan kutu dan caplak dari kasurnya yg kotor, kemudian memasang kantong tidurku. Didekat dinding tampak sebuah tungku besi sebagai pemanas ruangan dengan kotoran yak yg sudah kering sebagai bahan bakarnya. Setelah matahari terbenam, temperatur diluar yg turun sampai dibawah titik beku memaksa para kuli menyerbu kedalam ruangan untuk menghindari udara malam yg sangat dingin dan menghangatkan diri mereka diseputar tungku. Dalam kondisi normal kotoran yak kering bukanlah bahan bakar yg baik, apalagi pada ketinggian 16.200 kaki yg minim oksigen, sehingga penginapan itu pun dipenuhi oleh asap yg tajam dan pekat seperti ruangan yg dihubungkan langsung dengan kanlpot bus bermesin diesel. Malam itu, sambil terbatuk-batuk keras, dua kali aku terpaksa keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Pagi harinya, kedua mataku terasa panas dan berwarna merah darah, cuping hidungku tertutup jelaga warna hitam dan aku mulai terserang batuk kering yg tidak pernah sembuh sampai ekspedisi berakhir.
        Rob berniat menetap satu hari di Lobuje untuk aklimatisasi sebelum membawa kami menempuh enam atau tujuh mil terakhir menuju Base Camp. Kuli-kuli warga Sherpa tim kami sudah tiba disana beberapa hari sebelumnya untuk menyiapkan tempat bagi kami, dan mulai membuat rute pendakian dilereng bawah Everest. Namun, pada malam hari, 7 April, seorang pelari dengan terengah-engah tiba di Lobuje dan membawa berita mengejutkan dari Base Camp: Tenzing, seorang Sherpa muda yg dipekerjakan Rob, terjatuh kedalam sebuah celah gletser sedalam 150 kaki. Empat Sherpa lain berhasil menariknya hidup-hidup, tetapi dia terluka parah, dan tulang pahanya kemungkinan patah. Dengan muram, Rob mengumumkan bahwa dia dan Mike Groom harus segera berangkat ke Base Camp untuk mengatur penyelamatan Tenzing. "Aku menyesal harus mengabarkan ini kepada Anda semua," kataya meneruskan, "tetapi, Anda semua harus menunggu di Lobuje ini bersama Harold sampai kami bisa mengendalikan situasi."
        Menurut informasi yg kami dengar kemudian, Tenzing sedang menelusuri rute diatas Base Camp, mendaki bagian lereng Gletser Khumbu yg relatif landai bersama empat Sherpa lain. Kelimanya mendaki secara berurutan, sebuah prosedur yg lazim, sayangnya mereka tidak menggunakan tali---sebuah pelanggaran serius dalam protokol pendakian. Tenzing sedang bergerak tepat dibelakang keempat pendaki lain, menginjak tempat-tempat yg dipijak empat pendaki terdahulu saat dia terjatuh kedalam celah gletser yg sempit. Sebelum mampu berteriak, tubuh Tenzing sudah terempas bagaikan sebongkah batuan, hilang ditelan kegelapan perut gletser.
       Pada ketinggian 20.500 kaki, penyelamatan dengan helikopter dianggap terlalu berbahaya---udara terlalu rapuh untuk bisa menyangga baling-baling helikopter, baik saat mendarat, tinggal landas, maupun untuk sekedar terbang berputar-putar, dan itu sangat berbahaya. Artinya, Tenzing harus ditandu turun sejauh 3000 kaki sampai Base Camp melewati Jeram Es Khumbu, sejumlah jalur yg paling curam dari seluruh wilayah pendakian. Membawa Tenzing turun dalam keadaan hidup merupakan upaya yg sangat sulit.
      Rob sangat memperhatikan keselamatan para Sherpa yg bekerja untuknya. Sebelum tim kami meninggalkan Kathmandu, dia mengumpulkan kami dan mengingatkan pentingnya menunjukkan rasa terima kasih dan menghormati para Sherpa secara selayaknya. "Orang-orang Sherpa yg kita pekerjakan merupakan orang-orang terbaik dalam bisnis ini," katanya kepada kami. "Mereka bekerja sangat keras dengan bayaran yg menurut standar Barat sangat kecil. Aku ingin Anda semua ingat bahwa kita semua tidak mungkin mencapai Puncak Everest tanpa bantuan mereka. Sekali lagi aku tekankan: Tanpa bantuan para Sherpa, tidak satu pun dari kita yg bisa mendaki gunung ini."
       Dalam sebuah pembiacaraan lain, Rob mengakui bahwa beberapa tahun belakangan ini dia sering mengecam sejumlah pemimpin ekspedisi yg kerap melalaikan orang-orang Sherpa yg mereka pekerjakan. Pada 1995, seorang Sherpa muda tewas di Everest; Hall menduga, kecelakaan itu terjadi karena Sherpa muda itu "diijinkan mendaki sampai ke atas gunung sebelum dia mendapat pelatihan yg memadai. Aku percaya bahwa para pemimpin ekspedisi bertanggung jawab untuk menghindari terjadinya peristiwa serupa."
      Tahun sebelumnya, sebuah ekspedisi Amerika yg dipandu mempekerjakan seorang koki warga Sherpa bernama Kami Rita. Pemuda bertubuh kuat dan ambisius berusia dua puluh satu atau dua puluh dua tahun itu meminta agar dia diijinkan bekerja diatas gunung sebagai pendaki. Untuk menghargai antusiasme dan dedikasinya, beberapa minggu kemudian permohonannya dikabulkan --- meskipun dia belum memiliki pengalaman mendaki dan tidak pernah mendapat pelatihan formal tentang teknik-teknik pendakian.
      Mulai ketinggian 22.000 kaki sampai 25.000 kaki, rute standar pendakian akan melewati sebuah lereng es yg sangat curam dan berbahaya yg disebut Permukaan Lhotse (Lhotse Face). Untuk keamanan, tim-tim ekspedisi akan membuat beberapa lintasan tali dari dasar sampai ke puncak lereng dan para pendaki disarankan untuk melindungi diri dengan mengaitkan diri menggunakan tali pengaman pada lintasan tersebut. Kami Rita yg masih muda, congkak dan belum berpengalaman, tidak merasa perlu mengaitkan tali pengaman pada lintasan tali yg tersedia. Suatu sore, saat mendaki Permukaan Lhotse sambil membawa sejumlah beban, dia kehilangan pijakan pada permukaan batuan yg tertutup es keras dan jatuh dari ketinggian 2.000 kaki.
      Teman sependakianku Frank Fischbeck menyaksikan sendiri seluruh kejadian tersebut. Pada !995, dia mencoba untuk ketiga kalinya mendaki Everest sebagai klien dari sebuah perusahaan pemandu Amerika yg mempekerjakan Kami Rita. Frank sedang menaiki lintasan tali di lereng atas Permukaan Lhotse, katanya dengan suara yg bergetar, "ketika aku menengadah, aku melihat tubuh seseorang terjatuh, kepalanya beberapa kali membentur dinding gunung. Orang itu berteriak saat dia melewatiku, meninggalkan jejak yg berdarah.
       Beberapa pendaki bergerak cepat menghampiri tubuh Kami Rita yg tergeletak di kaki Permukaan Lhotse, tetapi dia tewas karena luka berat yg dideritanya sebelum mencapai dasar. Tubuhnya dibawa turun ke Base Camp, dan ditempat itu, sesuai dengan tradisi agama Budha, teman-temannya membawakan makanan untuk jenazahnya selama tiga hari. Kemudian dia dibawa ke sebuah desa dekat Tengboche dan dikremasi. Saat tubuh Kami Rita ditelan lidah-lidah api, ibunya menangis tanpa bisa dihibur, kemudian membenturkan kepalanya pada sebuah batu yg runcing.
       Pikiran Rob melayang pada Kami Rita saat fajar menyingsing, pada 8 April itu, yaitu saat dia dan Mike bergegas menuju  Base Camp untuk mencoba mengeluarkan  Tenzing dari Everest dalam keadaan hidup.


Bersambung.....

Into Thin Air --- Bab III

DI ATAS WILAYAH INDIA UTARA --- 29 MARET 1996 --- 30.000 KAKI

Setelah dua jam berada diatas pesawat Thai Air penerbangan 311 dalam perjalanan dari Bangkok ke Kathmandu, aku meninggalkan tempat dudukku dan berjalan ke bagian belakang pesawat. Didekat kamar kecil, dilambung kanan pesawat, aku membungkuk dan mengintip melalui jendela yg letaknya kira-kira setinggi pinggangku, berharap aku bisa melihat sekilas beberapa puncak gunung. Aku tidak kecewa: jauh disana, menjulang dibatas cakrawala, aku melihat gerigi dari puncak-puncak Himalaya. Aku tetap berdiri dekat jendela sampai penerbangan berakhir, terpesona, menunduk diatas sebuah karung sampah berisi kaleng-kaleng soda yg sudah kosong dan sisa-sisa makanan yg tidak habis disantap, wajahku menempel keras pada Plexiglas yg dingin.
       Aku langsung mengenali puncak Kanchenjunga yg besar dan lebar dengan ketinggian 28.169 kaki diatas permukaan laut, puncak tertinggi ketiga di bumi. Lima belas menit kemudian, Makalu, puncak tertinggi kelima, mulai tampak --- dan akhirnya, tidak diragukan lagi, aku melihat figur Everest.
        Ujung puncak piramid yg berwarna hitam gelap itu tampak dengan jelas, menjulang tinggi ditengah-tengah punggung gunung yg mengelilinginya. Menjulang tinggi sampai ke ketinggian jet stream (angin yg bertiup diatas ketinggian 10-25km dengan kecepatan lebih dari 400km/jam, dan umumnya bertiup dari arah barat, gunung itu menghasilkan topan berkecepatan 120 knot, melepaskan butiran-butiran es yg meluncur ke timur bagaikan selendang sutra. Saat aku menatap butiran-butiran es tersebut, tiba-tiba saja aku sadar, bahwa puncak Everest berada pada ketinggian yg sama dengan ketinggian pesawat jet yg sedang membawaku menembus surga. Bahwa aku sudah menawarkan diri untuk mendaki sebuah puncak yg tingginya sama dengan lintasan sebuah pesawat Airbus 300, tiba-tiba menyadarkanku akan sebuah kegilaan, atau barangkali lebih buruk lagi. Telapak tanganku terasa berkeringat.
       Empat puluh menit kemudian aku sudah mendarat di Kathmandu. Ketika aku sedang berjalan menuju lobi setelah melewati pabean, seorang pria muda bertubuh besar dengan wajah bersih dari janggut menatap dua koper besar yg kubawa dan mendekatiku. "Apakah Anda Jon?" tanyanya dengan aksen Selandia Baru yg khas sambil menatap sekilas pada sehelai kertas fotokopi berisi foto-foto dari para klien Rob Hall. Dia menjabat tanganku dan memperkenalkan diri sebagai Andy Harris, salah satu pemandu Hall yg akan mengantarku ke hotel kami.
       Harris, tiga puluh satu tahun, berkata bahwa dia masih menunggu seorang klien lain yg tiba dengan pesawat yg sama dari Bangkok, seorang pengacara dari Bloomfield Hills, Michigan, berusia lima puluh tiga tahun, Lou Kasischke. Kami harus menunggu satu jam sebelum Kasischke menemukan tas nya dan sambil menunggu, Andy dan aku saling bertukar cerita tentang beberapa pendakian sulit yg pernah kami lakukan didaerah barat Kanada, kemudian membahas perbedaan antara ski dan selancar salju. Minatnya yg sangat besar terhadap pendakian dan antusiasmenya terhadap gunung yg menggebu-gebu, mengingatkanku pada masa-masa ketika mendaki gunung masih menjadi bagian hidupku yg terpenting, ketika semua tujuan hidupku terkait dengan gunung-gunung yg kudaki, atau yg kuharap akan kudaki suatu hari nanti.
       Sesaat sebelum Kasischke --- pria bertubuh tinggi atletis, berambut keperakan dan sikap yg keningrat-ningratan --- keluar dari antrian pabean, aku bertanya kepada Andy, sudah berapa kali dia mendaki Everest. "Sebenarnya," dia mengaku dengan suara ceria, "ini merupakan pengalaman pertamaku, sama seperti Anda. Aku ingin tahu, bagaimana penampilanku diatas sana."
       Hall sudah memesankan kamar untuk kami di Hotel Garuda, sebuah bangunan terbuka dan funky ditengah-tengah Thamel, wilayah turis yg paling sibuk di Kota Kathmandu. Hotel itu terletak disebuah jalan sempit yg dipenuhi riksha dan para pejalan kaki, dan sudah lama dikenal oleh para anggota tim ekspedisi yg akan mendaki Himalaya. Dindingnya dipenuhi foto-foto dengan tanda tangan para pendaki ternama yg pernah menginap ditempat itu: Reinhold Messner, Peter Habeler, Kitty Calhoun, John Roskelley, Jeff Lowe. Ketika aku sedang menaiki tangga menuju kamarku, aku melewati sebuah poster empat warna bertuliskan "Trilogi Himalaya", dengan gambar Puncak Everest, K2 dan Lhotse --- puncak tertinggi, kedua tertinggi dan keempat tertinggi didunia. Dilatar depan tampak seorang pria berjanggut yg sedang tersenyum lebar dengan tanda-tanda kebesaran seorang pendaki. Tulisan dibawah gambar menunjukkan bahwa pendaki itu adalah Rob Hall; poster yg sengaja dibuat untuk memasarkan bisnis pemandu gunung, Adventure Consultants, milik Rob Hall tersebut mengingatkan orang pada penaklukkan tiga puncak yg dilakukannya dalam waktu dua bulan pada 1994.
       Sejam kemudian bertemu langsung dengan Rob Hall. Tingginya kira-kira enam kaki tiga atau empat inchi, kurus seperti tiang. Mukanya kemerahan seperti anak-anak, tetapi dia tampak lebih tua dari usianya yg tiga puluh lima tahun --- barangkali karena beberapa kerutan tajam diujung matanya, atau karena penampilannya yg berwibawa. Dia memakai kemeja Hawaii dan celana Levis yg sudah pudar dengan tambalan lutut bergambar simbol Yin dan Yang. Segumpal rambut berwarna coklat menutupi dahinya. Janggutnya yg kasar bagai jarum tampaknya perlu dicukur.
       Selain pandai bergaul, Hall juga pandai melucu dengan kejenakaan yg cerdas khas orang Selandia Baru. Hall sedang menceritakan sebuah anekdot lucu tentang seorang turis Prancis dengan seorang pendeta Budha dan seekor yak berbulu tebal, mengakhiri anekdotnya dengan kerlingan nakal, berhenti sebentar menunggu reaksi kami, kemudian tertawa dengan suara keras dan menggelitik, tidak mampu menahan diri mendengar kelucuan ceritanya. Aku segera menyukainya.
       Hall dilahirkan ditengah-tengah keluarga Katolik dari kelas pekerja di Kota Christchurch, Selandia Baru, sebagai anak termuda dari sembilan bersaudara. Meskipun berotak cerdas dan ilmiah, diusianya yg kelima belas dia meninggalkan sekolah setelah bertengkar hebat dengan salah seorang guru yg sangat otoriter. Pada 1976 dia mulai bekerja untuk Alp Sports, sebuah pabrik setempat yg memproduksi alat-alat mendaki gunung. "Dia bekerja serabutan, melakukan tugas apa saja, memperbaiki mesin jahit dan pekerjaan sejenisnya," kenang Bill Atkinson, yg sekarang sudah menjadi pendaki dan pemandu kawakan dan pernah bekerja bersama-sama Hall di Alp Sports. "Karena kepandaiannya berorganisasi yg sudah tampak menonjol bahkan saat usianya baru enam belas atau tujuh belas tahun, dengan cepat Hall diberi kepercayaan untuk menangani semua aspek yg terkait dengan produksi perusahaan.
       Sejak beberapa tahun sebelumnya Hall sudah menyukai olahraga lintas alam, dan ketika dia mulai bekerja untuk Alp Sports, dia mulai menekuni panjat tebing dan mendaki gunung es. Dia belajar dengan cepat, kata Atkinson yg kerap menjadi mitra Hall dalam mendaki gunung, "dan punya kemampuan untuk menyerap semua keahlian dan sikap semua orang."
       Pada 1980, ketika Hall berusia sembilan belas tahun dia ikut dalam tim ekspedisi Ama Dablam melalui Lereng Utara yg sulit untuk dicapai. Ama Dablam adalah gunung dengan ketinggian 22.294 kaki yg keindahannya tak tertandingi dan terletak lima belas mil  diselatan Everest. Dalam pendakian tersebut yg merupakan kunjungan pertamanya ke Himalaya, Hall memutuskan untuk melakukan ekskursi hingga ke Base Camp Everest dan memutuskan bahwa suatu hari nanti dia akan mendaki puncak tertinggi didunia tersebut. Dibutuhkan sepuluh tahun dan tiga kali upaya pendakian sebelum akhirnya pada Mei 1990, Hall mencapai Puncak Everest sebagai pemimpin dari sebuah kelompok ekspedisi dengan Peter Hillary, putra Sir Edmund Hillary sebagai salah satu anggota tim. Dari Puncak Everest, Hall dan Hillary mengabarkan langsung berita tentang keberhasilan mereka melalui radio ke seluruh Selandia Baru dan dari ketinggian 29.028 kaki dia menerima ucapan  selamat dari Perdana Menteri Geoffrey Palmer.
       Saat itu Hall sudah menjadi pendaki profesional penuh waktu. Seperti rekan-rekannya sesama pendaki, dia juga mencari perusahaan-perusahaan sponsor untuk mendanai ekspedisi Himalaya yg sangat mahal. Dan dia cukup cerdik untuk memahami bahwa semakin banyak perhatian yg diberikan media pada dirinya, semakin mudah dia bisa membujuk berbagai perusahaan untuk membuka buku cek mereka. Ternyata, Hall sangat piawai dalam mencetak namanya kedalam koran dan majalah, dan menampilkan wajahnya dilayar televisi. "Ya," Atkinson mengakui, "Rob memang punya bakat khusus dalam mencari publisitas."
       Pada 1988, seorang pemandu asal Auckland bernama Gary Ball bergabung dan menjadi mitra utama Hall dalam pendakian sekaligus menjadi teman terdekatnya. Ball dan Hall mencapai Puncak Everest pada 1990 dan segera setelah keduanya tiba kembali di Selandia Baru, mereka menyusun rencana untuk mendaki puncak-puncak tertinggi di tujuh benua, seperti yg dilakukan Dick Bass --- tetapi dengan menambah tingkat kesulitan, yaitu melakukannya dalam waktu tujuh bulan*. Karena Everest puncak tersulit dari ketujuh puncak tersebut sudah mereka taklukkan, Hall dan Ball dengan mudah mendapat sponsor dari sebuah perusahaan elektronik besar, Power Build, dan mulai bergerak untuk mewujudkan misi mereka. Pada 12 Desember 1990, hanya beberapa jam sebelum batas waktu tujuh bulan yg mereka tetapkan berakhir, keduanya tiba dipuncak ketujuh --- Vinson Massif, gunung dengan ketinggian 16.067 kaki, gunung tertinggi diwilayah Antartika --- keberhasilan yg disambut hangat dinegara asal mereka.
      Dibalik kesuksesan mereka, Hall dan Ball cemas memikirkan prospek jangka panjang dari karier mereka sebagai pendaki gunung profesional. "Agar bisa terus disponsori perusahaan," kata Atkinson, "seorang pendaki harus terus meningkatkan prestasi mereka. Pendakian selanjutnya harus lebih sulit dan lebih hebat dari yg terakhir, seperti lingkaran spiral yg akan semakin mengecil; sampai akhirnya Anda tidak akan lagi mampu mengatasi tantangan. Rob Hall dan Gary Ball mengerti bahwa cepat atau lambat kejayaan mereka akan memudar atau mereka akan celaka dan tewas.
       "Akhirnya mereka memutuskan untuk beralih profesi menjadi pemandu gunung. Saat Anda menjadi pemandu, Anda tidak lagi melakukan pendakian yg Anda inginkan; tantangannya terletak pada keberhasilan Anda membawa klien Anda mendaki dan menuruni gunung, jenis kepuasan yg sangat berbeda. Namun karier seperti itu memberi jaminan jangka panjang dibanding dengan terus menerus mencari perusahaan yg bersedia mensponsori Anda. Klien yg menunggu Anda pun tidak terbatas jumlahnya, asalkan Anda memang menawarkan produk yg baik."
      Selagi Hall dan Ball melaksanakan misi spektakuler mereka "menaklukkan tujuh puncak dalam tujuh bulan",keduanya menyusun rencana untuk membuka perusahaan bersama yg akan memandu klien mendaki Tujuh Puncak yg pernah mereka taklukkan. Dengan keyakinan bahwa sejumlah pemimpi berkantong tebal dan tanpa pengalaman mendaki sedang menunggu untuk dibantu mendaki sendiri gunung tertinggi dimuka bumi, Hall dan Ball meluncurkan perusahaan baru mereka yg diberi nama Adventure Consultants.
       Sebentar saja mereka berhasil menuai rekor yg menakjubkan. Pada Mei 1992, Hall dan Ball memandu enam klien untuk mencapai Puncak Everest. Setahun kemudian mereka berhasil memandu satu tim pendaki beranggotakan tujuh orang mencapai puncak; di sore yg sama, empat puluh pendaki berhasil mencapai Puncak Everest  dalam satu hari. Namun tanpa diduga-duga, sekembalinya dari ekspedisi tersebut, mereka disambut kritikan pedas yg dilontarkan Sir Edmund Hillary, yg mencela peran Hall dalam meningkatkan komersialisasi Everest. Memandu kelompok-kelompok amatir untuk mencapai puncak hanya demi uang, kata Sir Edmund, "merupakan penghinaan pada gunung tersebut".
       Di Selandia Baru, Hillary termasuk salah seorang tokoh yg paling dihormati; raut mukanya yg sekeras batu karang bahkan diabadikan diatas lembaran uang kertas lima dollar. Hall merasa sedih dan malu dikritik oleh manusia setengah dewa, pendaki legendaris yg merupakan salah satu idola masa kecilnya. "Di Selandia Baru, Hillary dianggap sebagai pusaka nasional yg hidup," kata Atkinson. "Kata-katanya sangat berpengaruh dan pasti menyakitkan, dikritik oleh seorang tokoh besar seperti dirinya. Rob Hall ingin membuat pernyataan publik untuk mempertahankan diri, tetapi dia sadar, bahwa berhadapan dengan sosok yg dipuja media seperti Hillary sama sekali bukan situasi yg menguntungkan."
       Lima bulan setelah Hillary melontarkan kritikannya, Hall menghadapi cobaan lebih besar: pada Oktober 1993, Gary Ball meninggal karena cerebral edema --- pembengkakan otak akibat ketinggian yg ekstrem --- saat mencoba menaklukkan Puncak Dhaulagiri, gunung tertinggi keenam didunia dengan ketinggian 26.795 kaki. Ball menghembuskan napas terakhirnya dipangkuan Hall, setelah terbaring tak sadarkan diri ditenda kecil mereka jauh dipuncak gunung. Keesokan harinya, Hall menguburkan temannya didalam sebuah celah gletser.
       Dalam wawancara dengan sebuah jaringan televisi Selandia Baru saat ekspedisi berakhir, dengan wajah sedih Hall menggambarkan bagaimana dia menurunkan jenazah Ball ke tengah-tengah aliran gletser, menggunakan tali favorit yg kerap mereka gunakan untuk mendaki gunung. "Seutas tali untuk mendaki gunung dirancang untuk menyatukan Anda berdua, dan Anda tidak akan pernah melepaskannya," katanya. "Tetapi aku harus rela melepaskannya dari genggaman tanganku."
     "Rob benar-benar terpukul oleh kepergian Gary," kata Helen Wilton, manajer Hall di Base Camp dalam pendakian pada 1993, 1995 dan 1996. "Tetapi dia menghadapinya dengan tenang. Begitulah cara Rob menghadapi segala hal." Hall memutuskan untuk meneruskan usaha Adventure Consultants sendirian. Dengan caranya yg sistematis dia terus meningkatkan infrastruktur dan pelayanan perusahaan --- secara mengagumkan terus menorehkan sukses memandu para pendaki amatir mencapai puncak-puncak gunung yg tinggi dan terpencil.
      Antara 1990 dan 1995 Hall sudah berhasil memandu tiga puluh sembilan pendaki mencapai Puncak Everest --- tiga pendaki lebih banyak daripada jumlah seluruh pendaki yg pernah mencapai Puncak Everest dalam kurun waktu dua puluh tahun sejak Sir Edmund Hillary pertama kali mencapai Puncak Everest. Memang layak jika Hall kemudian menyebar luaskan selebaran yg menyatakan Adventure Consultants sebagai "paling terkemuka dalam pendakian Everest, dan paling sering mencapai puncak dibanding dengan perusahaan pendakian manapun." Brosur-brosur yg dia kirimkan kepada calon klien berbunyi :

Anda orang yg haus akan petualangan? Anda bermimpi untuk mengunjungi tujuh benua atau berdiri dipuncak sebuah gunung yg tinggi? Banyak orang yg tidak berani mewujudkan impian mereka atau bahkan mengungkapkan impian dan dambaan hati mereka yg paling dalam.  
     Adventure Consultants adalah pakar dalam mengelola dan memandu berbagai bentuk petualangan mendaki gunung. Terlatih dalam mewujudkan mimpi menjadi kenyataan, kami bekerja sama dengan Anda untuk mewujudkan impian-impian Anda. Kami tidak menarik Anda untuk mendaki gunung --- Anda sendirilah yg harus bekerja keras --- kami hanya menjamin keamanan dan sukses maksimal dari petualangan Anda.
      Bagi Anda yg berani mewujudkan impian-impian Anda, kami menawarkan pengalaman istimewa, sesuatu yg tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kami mengundang Anda untuk mendaki gunung Anda bersama kami.


Pada 1996, Hall menetapkan tarif 65.000 dollar untuk memandu seorang klien mencapai puncak dunia. Jumlah yg sangat besar untuk ukuran manapun --- setara dengan nilai hipotek rumahku di Seattle --- dan tarif tersebut tidak termasuk harga tiket pesawat ke Nepal atau perlengkapan pribadi. Tidak ada perusahaan yg menetapkan tarif yg lebih tinggi --- beberapa perusahaan pesaingnya hanya menawarkan paling tinggi sepertiga dari tarif yg ditetapkan Hall. Namun berkat suksesnya yg fenomenal, Hall tidak kesulitan mendapat klien untuk ekspedisinya kali ini, ekspedisi Everest nya yg kedelapan. Jika Anda sungguh-sungguh ingin mendaki sampai puncak, dan Anda punya cukup uang, Adventure Consultants merupakan pilihan pertama Anda.

Pagi hari pada 31 Maret, dua hari setelah tiba di Kathmandu, para anggota ekspedisi Everest 1996 dari Adventure Consultants berjalan melintasi hangar Tribhuvan International Airport dan menaiki helikopter jenis Mi-17 buatan Rusia milik Asian Airlines. Pesawat tua peninggalan Perang Afghanistan sebesar bus sekolah dan memiliki dua puluj enam tempat duduk ini sekilas tampak seperti setumpukan besi tua yg teronggok dihalaman belakang rumah seseorang. Seorang teknisi penerbangan membukakan pintu dan membagikan gumpalan-gumpalan kapas untuk menutupi telinga. Tidak lama kemudian helikopter raksasa itu mengudara dengan suara yg memekakkan telinga.
         Lantai pesawat tertutup oleh tumpukan koper, ransel dan kotak-kotak kardus. Para penumpang duduk berdesak-desakkan diatas kursi jungkit mengelilingi sisi dalam badan pesawat, menghadap kedalam dengan lutut menempel ke dada. Suara pesawat yg memekakkan telinga tidak memungkinkan mereka untuk saling berbicara. Bukan perjalanan yg menyenangkan, tetapi tidak ada satu penumpang pun yg mengeluh.
        Pada 1963, ekspedisi Tom Hornbein mengawali perjalanan panjang ke Everest dari Banepa, dua belas mil diluar Kota Kathmandu, dan menghabiskan waktu tiga puluh satu hari sebelum tiba di Base Camp. Seperti kebanyakan pendaki Everest modern, kami memutuskan untuk menghindari perjalanan darat yg panjang dan berdebu tersebut; helikopter yg kami tumpangi akan membawa kami sampai Lukla, sebuah dusun terpencil dengan ketinggian 9.200 kaki dan terletak dikaki Pegunungan Himalaya. Jika pesawat kami tidak terempas ke tanah, penerbangan ini mampu menghemat tiga minggu dari waktu yg diperlukan Hornbein untuk menempuh rute yg sama.
        Sambil mengamati bagian dalam helikopter yg cukup luas, aku berusaha menghafal nama-nama teman seperjalananku. Selain Rob Hall dan Andy Harris yg bertindak sebagai pemandu, ada Helen Wilton, ibu empat anak berusia tiga puluh sembilan tahun, yg sudah tiga kali menjadi manajer Base Camp untuk ekspedisi Hall. Caroline Mackenzie --- pendaki kawakan dan dokter, berusia menjelang tiga puluh tahun --- akan bertindak sebagai dokter tim. Seperti Helen, Caroline Mackenzie hanya akan mendaki sampai Base Camp. Lou Kasischke, pengacara ningrat yg sudah kukenal dibandara, sudah menaklukkan enam dari Tujuh Puncak dunia --- begitu pula Yasuko Namba yg pendiam, empat puluh tujuh tahun, Direktur Personalia di Bank Federal Express cabang Tokyo. Beck Weathers, empat puluh sembilan tahun, seorang patologis dari Dallas yg banyak bicara. Stuart Hutchison, tiga puluh empat tahun, mengenakan T-shirt merk Ren and Stimpy. Stuart yg tampak lemah adalah seorang ahli jantung berasal dari Kanada, yg sedang cuti dari sebuah beasiswa penelitian. John Taske, lima puluh enam tahun, anggota tim yg paling tua, seorang ahli anestesi dari Brisbane yg mulai menekuni hobi mendaki gunung setelah pensiun dari Angkatan Darat Australia. Frank Fischbeck, lima puluh tiga tahun, penerbit dari Hongkong yg selalu berpakaian rapi dan bersikap lemah lembut, sudah tiga kali mendaki Everest dipandu oleh salah satu perusahaan pesaing Hall; pada 1994, dia berhasil mencapai Puncak Selatan, hanya 330 kaki dari Puncak Everest. Doug Hansen, empat puluh enam tahun, adalah seorang pegawai kantor pos warga Amerika yg pernah mendaki Everest bersama Hall pada 1995. Seperti Fischbeck, dia hanya mencapai Puncak Selatan sebelum dipaksa turun.
       Aku tidak yakin bagaimana perasaanku tentang teman-teman seperjalananku kali ini. Dilihat dari penampilan maupun pengalaman, mereka jelas berbeda dari para pendaki yg keras hati, yg kerap menemaniku mendaki. Namun mereka kelihatan baik dan sopan; tidak ada anggota kelompok yg tampak menyebalkan dalam tim ini --- setidaknya, belum ada yg memperlihatkan sifat mereka yg sesungguhnya diawal perjalanan kami. Aku sendiri sama sekali tidak punya kesamaan dengan rekan-rekan seperjalananku, kecuali barangkali dengan Doug. Pria bertubuh tinggi kurus, pendiam, dengan wajah yg terlalu cepat keriput ini mengingatkanku pada sebuah bola sepak yg sudah usang. Dia sudah bekerja sebagai pegawai kantor pos selama dua puluh tujuh tahun. Menurut pengakuan Doug padaku, untuk mendanai perjalanan ini dia minta giliran kerja malam hari dan melakukan pekerjaan dibidang konstruksi bangunan pada siang harinya. Sebelum menekuni karier sebagai penulis, aku juga pernah bekerja sebagai tukang kayu selama delapan tahun --- artinya, secara ekonomi, kami berdua jelas berbeda dari rekan-rekan satu tim kami yg lain --- sehingga aku langsung merasa nyaman berada dekat Doug, sesuatu yg tidak kurasakan terhadap rekan-rekanku yg lain.
        Sebagian dari rasa tak nyaman yg kurasakan mungkin timbul karena aku belum pernah menjadi anggota kelompok pendaki yg berjumlah besar --- kelompok yg benar-benar asing. Kecuali perjalanan ke Alaska yg kulakukan dua puluh satu tahun lalu, semua petualanganku kulakukan bersama satu atau dua teman dekatku, atau sendirian.
       Saat mendaki gunung, memiliki kepercayaan terhadap rekan seperjalanan bukan hal yg sepele. Tindakan seorang pendaki bisa mempengaruhi keselamatan seluruh anggota tim. Tali yg tidak diikat dengan benar, kesalahan dalam melangkah, batu yg terlepas atau tindakan yg ceroboh, akan dirasakan juga akibatnya oleh rekan kita selain oleh kita sendiri. Karena itu, bisa dimengerti jika seorang pendaki enggan bergabung dengan kelompok yg belum sepenuhnya dia kenal.
       Akan tetapi, kepercayaan kepada rekan seperjalanan sama sekali tidak dibutuhkan dalam tim pendaki yg dipandu oleh seorang pemandu profesional; orang hanya perlu memercayai si pemandu. Ketika helikopter mulai mendekati Lukla, aku menduga bahwa, seperti diriku, setiap anggota tim pasti berharap, bahwa Hall sudah menyeleksi kemampuan semua kliennya dengan cermat, dan mampu melindungi kami semua dari kekurangan kami masing-masing.

*Dick Bass memerlukan waktu tujuh tahun untuk menaklukkan Tujuh Puncak tertinggi di tujuh Benua   


Bersambung.....

Rabu, 16 Juli 2014

Into Thin Air --- Bab II

DEHRA DUN 1852 ---  2.234 Kaki
Kapan tepatnya peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun tahu pasti, semua menjadi kabur karena mitos yg terus bertambah. Yg pasti, itu terjadi pada 1852, bertempat di Kantor Pusat Trigonometri India, diwilayah perbukitan sebelah utara Stasiun Dehra Dun. Menurut cerita yg paling bisa dipercaya, seorang kerani dengan tergesa-gesa memasuki ruang kerja Sir Andrew Waugh, Gubernur Jendral Pengukuran untuk wilayah India dan melaporkan bahwa seorang ahli komputer Bengali bernama Radhanath Sikhdar, yg ditempatkan dikantor pengukuran Kalkuta, berhasil "menemukan gunung yg tertinggi didunia". (Pada masa Waugh, komputer lebih merupakan sebuah uraian tugas ketimbang sebuah mesin). Diberi nama Puncak XV oleh para juru ukur yg mengukur kemiringan sudutnya dengan menggunakan teodolit-24 inchi tiga tahun berselang, gunung yg dimaksud mencuat dari tengah rusuk Pegunungan Himalaya, dibagian wilayah Kerajaan Nepal yg tertutup bagi orang asing.
       Sebelum Sikhdar mengumpulkan data pengukuran, tidak seorang pun pernah menduga bahwa Puncak XV akan menjadi sesuatu yg penting. Keenam titik pengukuran terletak diwilayah India Utara, lebih dari 100 mil jauhnya dari gunung tersebut. Bagi para surveyor yg mengukurnya, semua puncak, kecuali ujung runcing dari Puncak XV, terlihat samar karena terhalang oleh tebing-tebing tinggi yg ada dilatar depan, beberapa tampak lebih tinggi dari Puncak XV. Namun, berdasarkan hasil perhitungan cermat Komputer Sikhdar (dengan memperhitungkan berbagai faktor termasuk lengkungan bumi, refraksi atmosfer dan pembelokan garis tegak lurus) Puncak XV ternyata berada pada ketinggian 29.002* kaki diatas permukaan laut, titik tertinggi di planet ini.
       Pada 1865, sembilan tahun setelah perhtungan oleh Komputer Sikhdar dikonfirmasikan, Waugh mengubah nama Puncak XV menjadi Puncak Everest, untuk menghormati Sir George Everest, Gubernur Jendral Pengukuran untuk wilayah India sebelum dirinya. Ternyata, orang-orang Tibet yg tinggal di utara gunung yg megah tersebut sudah memiliki nama yg lebih anggun, Jomolungma, yg berarti "sang dewi, ibu dunia", dan bangsa Nepal yg tinggal di Selatan gunung menamainya Sagarmatha atau "dewi langit". Namun, Waugh dengan sengaja mengabaikan nama yg diberikan penduduk asli (meskipun secara resmi memberi keleluasaan untuk tetap memakai nama lokal atau nama lama), sehingga Everest menjadi nama yg tetap diingat hingga kini.
       Sesaat setelah Everest dinobatkan sebagai puncak tertinggi di bumi, orang-orang memutuskan Everest layak didaki. Setelah penjelajah Amerika, Robert Peary, menaklukkan Kutub Utara pada 1909 dan Ronald Amundsen memimpin para penjelajah Norwegia menaklukkan Kutub Selatan pada 1911, Everest --- yg dinamai Kutub Ketiga --- menjadi objek paling menarik dalam dunia penjelajahan. Mencapai puncaknya, kata Gunther O. Dyrenfurth, seorang pendaki ternama dan pencatat sejarah pendakian Himalaya, "merupakan upaya manusia yg bersifat mendunia, sebuah sasaran yg layak diraih, apapun resiko dan kerugian yg harus dihadapi."
      Daftar kerugian itu, ternyata, mustahil begitu saja dilupakan. Menyusul penemuan oleh Komputer Sikhdar pada 1852, diperlukan tak kurang dari 24 korban tewas, penjelajahan 15 tim ekspedisi dan rentang waktu 101 tahun sebelum akhirnya Puncak Everest berhasil ditaklukkan. Diantara para pendaki gunung dan pakar geologi, Everest tidak dianggap sebagai gunung yg indah. Tubuhnya dianggap terlalu besar, lebar dan kasar. Namun keanggunan arsitektural yg tidak dimiliki Everest itu diimbangi oleh massanya yg besar dan menakjubkan.
       Terletak diperbatasan Nepal dan Tibet, berdiri lebih dari 12.000 kaki diatas lembah yg berada dikaki lereng, Everest menjulang bagaikan piramid tiga sisi terbentuk dari es yg mengkilat dan batu berwarna gelap yg carut marut. Delapan tim ekspedisi pertama yg mendaki Everest berasal dari Inggris dan semuanya naik dari arah utara, dari wilayah Tibet --- bukan karena sisi itu merupakan jalur pendakian yg paling mudah, melainkan karena pada 1921 Pemerintah Tibet membuka perbatasannya yg sudah lama tertutup bagi orang asing, sementara Kerajaan Nepal masih mengharamkan perbatasannya.
       Para pendaki Everest yg pertama dipaksa menempuh rute yg sangat sulit sepanjang 400 mil dari Kota Darjeeling melintasi dataran Tibet hanya untuk bisa mencapai kaki gunung. Pengetahuan mereka tentang dampak mematikan dari ketinggian yg ekstrem pun masih sangat kurang, begitu pula peralatan mereka yg sangat tidak memadai menurut standar peralatan modern. Namun pada 1924, seorang anggota tim ekspedisi ketiga dari Inggris, Edward Felix Norton, berhasil mencapai ketinggian 28.126 kaki ---hanya 900 kaki dari puncak--- sebelum akhirnya menyerah karena kelelahan dan dibutakan oleh salju. Prestasi itu benar-benar menakjubkan dan mungkin tak tertandingi hingga dua puluh sembilan tahun kemudian.
       Kukatakan "mungkin" karena adanya peristiwa lain yg tejadi empat hari setelah upaya Norton menaklukkan Puncak Everest. Pada 8 Juni 1924, sesaat setelah fajar menyingsing, dua anggota tim ekspedisi  dari Inggris, George Leigh Mallory dan Andrew Irvine, meninggalkan perkemahan terakhir menuju puncak.
       Mallory, yg namanya selalu dikaitkan dengan Everest, adalah tokoh utama dibalik tiga tim pertama yg berupaya menaklukkan Everest. Dalam sebuah perjalanan keliling untuk mengajar di Amerika Serikat, Mallory dengan sinis menjawab, "Karena gunung itu ada disana," saat seorang wartawan mendesaknya dengan pertanyaan, mengapa dia ingin menaklukkan Everest. Pada 1924, Mallory berusia tiga puluh delapan tahun, seorang kepala sekolah, menikah, dan memiliki tiga anak yg masih kecil. Anggota masyarakat Inggris kelas atas ini selain cinta keindahan juga sangat idealis dan peka terhadap hal-hal yg romantis. Tubuh atletisnya yg anggun, kepandaiannya dalam bergaul dan fisiknya yg benar-benar bagus membuat Mallory dikagumi oleh penulis biografi Lytton Strachey serta kaum intelektual Bloomsbury. Saat berada didalam kemahnya yg jauh tinggi di lereng Everest, Mallory dan teman-teman satu tim nya akan saling membacakan dengan suara keras cerita-cerita Hamlet dan King Lear.
      Ketika Mallory dan Irvine bergerak perlahan ke arah Puncak Everest pada 8 Juni 1924, kabut menyelimuti bagian atas piramid, membuat rekan-rekan mereka yg berada dibawah tidak bisa memantau kemajuan pendakian kedua orang itu. Pukul 12.50 siang, untuk sesaat awan-awan yg menyelimuti puncak gunung tersibak oleh angin dan salah satu anggota tim, Noel Odell, melihat sekilas tetapi jelas, sosok Mallory dan Irvine yg bergerak jauh di lereng sekitar puncak, kurang lebih lima jam terlambat dari jadwal, tetapi bergerak dengan lambat dan pasti menuju puncak.
       Bagaimanapun, malam itu kedua pendaki tersebut tidak kembali ke tenda mereka dan baik Mallory maupun Irvine tidak pernah terlihat lagi. Apakah salah seorang atau keduanya pernah mencapai puncak sebelum kemudian ditelan oleh gunung dan menjadi bagian dari legenda, masih diperdebatkan orang sampai sekarang. Fakta-fakta yg ada menunjukkan bahwa mereka belum mencapai puncak. Tanpa bukti nyata, bagaimanapun, mereka tidak bisa dianggap sebagai orang pertama yg menaklukkan Everest.
      Pada 1949, setelah tertutup selama berabad-abad, Nepal membuka perbatasannya bagi dunia luar, dan setahun kemudian rezim baru komunis yg menguasai Cina menutup perbatasan Tibet bagi orang-orang asing. Akibatnya, para pendaki Everest mengalihkan perhatian mereka ke sisi Selatan puncak Himalaya itu. Pada musim semi 1953, sebuah tim ekspedisi besar dari Inggris, dengan dukungan moral dan sumberdaya yg sangat lengkap, menjadi tim ekspedisi ketiga yg berusaha menaklukkan Everest dari wilayah Nepal. Pada 28 Mei, setelah perjuangan berat selama dua setengah bulan, sebuah lahan  perkemahan berhasil dibangun dengan menggali Lereng Tenggara pada ketinggian 27.900 kaki. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Edmund Hillary, seorang warga Selandia Baru bertubuh tinggi kurus, dan Tenzing Norgay, seorang pakar pendaki dari suku Sherpa, bergerak menuju puncak dan bernapas dengan bantuan oksigen botol.
      Pada pukul 09.00 pagi, keduanya sudah tiba di Puncak Selatan, memandang ke atas, ke jalur sempit dan terjal yg akan membawa mereka ke puncak. Sejam kemudian, mereka tiba dikaki sebuah tempat yg oleh Hillary digambarkan sebagai "rute pendakian yg tampaknya paling sulit --- sebuah lereng batu yg curam setinggi empat puluh kaki....Batuan itu sendiri, yg tampak halus dan hampir-hampir tanpa tonjolan untuk berpegang, oleh sekelompok pakar pendaki di Lake District mungkin dianggap sebagai objek menarik yg layak ditaklukkan dalam pendakian Minggu Sore, tetapi ditempat ini, dia merupakan hambatan yg sulit diatasi oleh tubuh kami yg sudah sangat lemah.
      Dengan  cemas, Tenzing terus mengulur tali dari bawah, sementara Hillary menempatkan tubuhnya disebuah celah sempit yg terbentuk oleh sebuah dinding batu dan salju tegak lurus berbentuk sirip, dan dengan perlahan bergerak ke atas melewati sebuah jalur pendakian yg kemudian dikenal dengan nama Hillary Step. Mendaki ditempat ini benar-benar berat dan sulit, tetapi Hillary terus bertahan sampai kemudian, seperti yg ditulisnya,

Akhirnya aku tiba dipuncak, menarik tubuhku keluar dari celah dan naik ke atas sebuah selasar yg cukup lebar. Sesaat aku berhenti untuk mengembalikan napas dan untuk pertama kalinya aku merasakan munculnya tekad yg sangat kuat bahwa tidak ada yg bisa menghentikan kami untuk mencapai puncak. Aku berdiri tegak diatas selasar itu dan memberi isyarat kepada Tenzing untuk naik. Ketika aku berjuang menarik tali, Tenzing berjuang untuk melewati celah tersebut sampai akhirnya dia jatuh tersungkur dihadapanku, seperti seekor ikan raksasa yg baru diangkat dari laut setelah perjuangan yg berat.

Berjuang mengalahkan rasa lelah, keduanya  meneruskan pendakian melewati bagian lereng yg bergelombang diatasnya. Hillary bertanya-tanya,

Masihkah kami punya kekuatan untuk mencapai puncak. Aku membuat satu torehan lagi dibalik sebuah batu yg menonjol dan mangamati bahwa punggung gunung diatasku mulai melandai sehingga kami bisa melihat jauh ke arah Negara Tibet. Aku mendongak dan diatasku tampak puncak bulat yg diselimuti salju. Beberapa torehan kapak es, beberapa langkah yg hati-hati, maka Tenzing (secara mengejutkan) dan aku akan tiba dipuncak.

Itulah yg terjadi beberapa saat menjelang sore pada 29 Mei 1953, Hillary dan Tenzing menjadi orang pertama yg berdiri dipuncak Gunung Everest.
      Tiga hari kemudian berita tentang keberhasilan mereka sampai ditelinga Ratu Elizabeth, tepat satu hari sebelum penobatan dirinya, dan koran Times di London menyiarkan berita tersebut pada 2 Juni dalam edisi awal. Berita itu dikirim secara rahasia dari Everest melalui pesan radio (agar pesaing Times tidak menyabot berita pertama mereka) oleh seorang wartawan muda bernama James Morris, dua puluh tahun kemudian, setelah menjadi penulis ternama, James Morris melakukan operasi kelamin menjadi wanita dan mengubah nama depannya menjadi Jan. Empat dekade setelah penaklukkan yg bersejarah tersebut, Morris menulis : Penobatan Everest : Penaklukkan Pertama dan Berita yg Menobatkan sang Ratu,

Sulit dibayangkan sekarang ini bagaimana dua peristiwa yg terjadi hampir secara serempak tersebut (penobatan  sang Ratu dan penaklukkan Everest) disambut dengan kegembiraan yg magis di negara Inggris. Setelah lepas dari masa-masa suram yg menyelimuti mereka sejak Perang Dunia II, surutnya kebesaran Kerajaan Inggris dan berkurangnya pengaruh mereka di muka bumi, orang-orang Inggris hampir percaya bahwa dinobatkannya sang Ratu yg muda belia merupakan isyarat bagi dimulainya era baru --- era Elizabeth, demikian koran-koran menyebutnya. Hari penobatan pada 2 Juni 1953 adalah hari yg melambangkan harapan dan kegembiraan. Pada hari itu semua patriot pendukung Inggris tiba pada satu momentum yg paling istimewa, keajaiban di atas semua yg ajaib, karena pada hari itu sebuah kabar yg datang dari jauh --- dari garis depan Kerajaan Inggris lama --- bahwa sebuah tim pendaki bangsa Inggris...berhasil menaklukkan objek penjelajahan dan petualangan tertinggi dimuka bumi, puncak dunia...
       Peristiwa tersebut memicu munculnya berbagai bentuk emosi didalam hati rakyat Inggris --- kebanggaan, patriotisme, nostalgia tentang kekalahan mereka dalam perang masa lalu, dan tentang tindakan-tindakan mereka yg gagah berani pada jaman lampau, serta harapan akan masa depan yg lebih baik.
....Sampai saat itu, orang-orang usia tertentu masih mengingat dengan jelas, ketika mereka --- sambil berdiri dibawah siraman hujan rintik-rintik untuk  menunggu iring-iringan prosesi penobatan melewati Kota London --- mendengar kabar mengejutkan bahwa puncak dunia, boleh dikatakan sudah menjadi milik mereka.

Tenzing menjadi pahlawan nasional di seluruh India, Nepal dan Tibet, masing-masing negara tersebut mengakui Tenzing sebagai warganya. Setelah mendapat gelar bangsawan dari Ratu Elizabeth, Sir Edmund Hillary menyaksikan wajahnya muncul dalam perangko, komik, buku-buku, novel dan sampul majalah --- dalam waktu semalam, pria berwajah tirus, peternak lebah dari Kota Auckland ini berubah menjadi pria paling terkenal dimuka bumi.

*penelitian modern yg menggunakan laser dan transmisi satelit Doppler, sejenis alat ukur tercanggih, mengkoreksi hasil pengukuran sebanyak 26 kaki --- menjadi ketinggian yg saat ini diakui, yaitu 29.028 kaki atau 8.848 meter.


Bersambung.....



Penaklukkan Everest oleh Hillary dan Tenzing terjadi sebulan sebelum aku dilahirkan, jadi aku tidak merasakan kebanggaan dan kekaguman  yg melanda dunia --- sebuah peristiwa yg menurut teman-temanku yg lebih tua, bisa disejajarkan dengan pendaratan pertama manusia dibulan. Namun satu dekade kemudian ditaklukkannya Everest untuk kedua kalinya, membantu memantapkan arah hidupku.
        Pada 22 Mei 1963, Tom Hornbein, tiga puluh dua tahun, seorang dokter dari Missouri dan Willi Unsoeld, tiga puluh enam tahun, seorang profesor teologi dari Oregon, tiba dipuncak Everest melalui Lereng Barat yg sulit dan belum pernah didaki. Sampai saat itu, Puncak Everest sudah empat kali ditaklukkan oleh sebelas pendaki, tetapi Lereng Barat dianggap sebagai rute yg jauh lebih sulit dibanding dua rute lain yg kerap dilalui: Jalur Selatan dan Lereng Tenggara atau Jalur Utara dan Lereng Timur Laut. Pendakian yg dilakukan Hornbein dan Unsoeld --- merupakan dan masih dianggap sebagai prestasi terbesar dalam dunia pendakian gunung.
        Menjelang sore dalam perjalanan menuju puncak, kedua warga Amerika tersebut dihadapkan pada sebuah alur batuan yg terjal dan rapuh --- Jalur Kuning (The Yellow Band) yg berbahaya. Mendaki lintasan ini membutuhkan kekuatan dan keahlian  tinggi; tidak ada jalur pendakian yg secara teknik lebih menantang dan lebih tinggi letaknya daripada jalur ini. Setibanya dipuncak Jalur Kuning, Hornbein dan Unsoeld meragukan kemampuan mereka untuk bisa turun melalui jalur yg sama. Satu-satunya harapan agar mereka bisa turun dari gunung dalam keadaan hidup, demikian keputusan mereka, adalah bergerak terus sampai puncak dan kemudian turun melalui Lereng Tenggara, rute yg kerap dilalui. Rencana yg sangat berani, mengingat hari sudah menjelang sore, medan yg belum mereka kenal dan persediaan oksigen yg menipis dengan cepat.
        Hornbein dan Unsoeld tiba di Puncak Everest pada pukul 18.15, tepat saat matahari terbenam, dan dipaksa menghabiskan malam dibawah udara terbuka pada ketinggian lebih dari 28.000 kaki --- perkemahan tertinggi sampai saat itu. Udara malam sangat dingin, untungnya tidak berangin. Meskipun jari-jari kaki Unsoeld membeku dan kemudian harus dipotong, keduanya selamat untuk menceritakan pengalaman mereka.
        Saat itu usiaku baru sembilan tahun dan tinggal di Corvallis, Oregon, kota yg sama dengan tempat Unsoeld tinggal. Dia teman baik ayahku, dan aku kerap bermain dengan anak-anak Unsoeld yg tertua --- Regon, yg usianya setahun lebih tua dariku, dan Devi, setahun lebih muda dariku. Beberapa bulan sebelum Willi Unsoeld berangkat ke Nepal, aku menaklukkan puncak gunungku yg pertama --- sebuah gunung dengan ketinggian 9.000 kaki dan terletak di Cascade Range, sebuah puncak yg saat itu bisa di capai dengan menggunakan kereta gantung --- ditemani ayah, Willi dan Regon. Tidak mengherankan jika peristiwa penaklukkan Everest 1962 bergema kuat dn lama didalam imajinasi pra remajaku. Ketika teman-temanku mengidolakan John Glenn, Sandy Koufax dan Johny Unitas, maka Hornbein dan Unsoeld merupakan pahlawan pujaanku.
        Diam-diam aku bermimpi, aku akan mendaki Everest suatu hari nanti; selama lebih dari satu dekade, impian itu menjadi ambisiku yg tidak pernah padam. Diawal usia dua puluhan mendaki sudah menjadi pusat kehidupanku sehingga aku hampir-hampir mengabaikan semua hal yg lain. Menaklukkan puncak gunung merupakan sesuatu yg nyata , permanen dan konkret. Bahaya yg menyertainya menjadikan kegiatan ini sesuatu yg sungguh-sungguh, kesungguhan yg tidak kumiliki dalam bagian kehidupanku yg lain. Aku bergairah oleh pemikiran-pemikiran baru yg muncul  setiap kali aku berhasil menaklukkan sebuah bidang yg vertikal.
       Mendaki juga mampu menciptakan perasaan memiliki. Menjadi seorang pendaki berarti bergabung dengan kelompok masyarakat mandiri yg sangat idealis, kelompok yg kerap diabaikan, tetapi secara mengejutkan tidak tercemar oleh dunia secara keseluruhan. Mendaki gunung adalah budaya yg ditandai dengan persaingan, sangat maskulin, dan yg terpenting semua pendaki berusaha untuk mengesankan pendaki lain. Mencapai puncak gunung manapun dianggap kurang penting dibanding dengan cara seseorang mencapainya: seorang pendaki akan merasa bangga jika dia berhasil mencapai puncak melewati rute yg paling sulit dengan perlengkapan minimal dan dengan keberanian yg sulit dibayangkan. Tidak ada pendaki yg lebih dikagumi selain para pendaki solo: para pemimpi yg mendaki sendirian tanpa tali atau perlengkapan.
        Pada tahun-tahun tersebut aku hidup hanya untuk mendaki, mengandalkan penghasilanku yg berkisar antara lima atau enam ribu dollar setahun dari pekerjaanku sebagai tukang kayu dan nelayan ikan salmon komersial, cukup untuk mendanai petualanganku ke Bugaboo atau Teton atau Alaska. Namun, ketika usiaku mencapai dua puluh lima tahun, aku meninggalkan impian masa kecilku untuk  mendaki Everest. Saat itu, para pakar pendaki gunung memberi julukan buruk pada Everest, yaitu "tumpukan kerak" --- sebuah puncak yg secara teknis dan artistik tidak cukup menantang bagi para "pendaki yg serius", julukan yg menjadi impianku selama ini. Aku mulai memandang rendah pada gunung tertinggi di dunia itu.
        Perasaan merendahkan tersebut muncul karena pada awal dekade 1980, rute termudah menuju Puncak Everest --- yaitu Jalur Selatan dan Lereng Tenggara --- sudah ratusan kali didaki. Teman-temanku sesama pendaki gunung menamai Lereng Tenggara sebagai "RuteYak". Pandangan merendahkan itu makin dikukuhkan oleh kejadian pada 1985, ketika Dick Bass --- seorang warga Texas yg kaya raya berusia lima puluh lima tahun dengan pengalaman mendaki yg terbatas --- dipandu menuju Puncak Everest oleh pemandu gunung yg masih sangat muda bernama David Breashears, sebuah peristiwa yg diliput secara luas oleh media.
       Sebelumnya Everest secara umum dianggap sebagai wilayah para pendaki elite. Seperti yg diucapkan oleh Michael Kennedy, editor majalah Climbing, "Diundang untuk ikut dalam ekspedisi Everest merupakan kehormatan yg hanya akan Anda peroleh setelah cukup lama dan cukup terlatih mendaki puncak-puncak yg lebih rendah. Dan, jika Anda benar-benar berhasil menaklukkannya, Anda akan dianggap sebagai bintang oleh para pendaki elite." Keberhasilan Bass mencapai puncak mengubah semua itu. Setelah berhasil menundukkan Everest, Bass menjadi orang pertama yg  berhasil menundukkan Tujuh Puncak*, membuat namanya termasyhur diseluruh penjuru dunia, memicu para pendaki gunung akhir pekan untuk mengikuti jejak petualangannya dan dengan kasar menarik Everest ke dalam era pasca modern.
       "Bagi seorang pengkhayal yg beranjak tua seperti aku, Dick Bass merupakan inspirasi," Beck Weathers, yg terlahir dikawasan pantai, berkata dengan aksen Texasnya yg kental dalam perjalanan ke perkemahan Everest pada April lalu. Patologis berusia empat puluh sembilan tahun dan penduduk Dallas ini, merupakan satu dari delapan pendaki yg dipandu Rob Hall dalam ekspedisi Everest 1996. "Bass menunjukkan bahwa Puncak Everest ternyata bisa ditaklukkan oleh orang-orang biasa asalkan orang itu memiliki fisik yg prima dan tabungan yg cukup. Bagi aku, meninggalkan pekerjaan dan keluarga selama dua bulan, merupakan hambatan yg paling besar.
       Bagi sejumlah besar pendaki --- sesuai dengan catatan yg ada --- meninggalkan rutinitas sehari-hari ternyata bukan hambatan yg sulit diatasi, begitu pula soal biaya yg besar. Selama setengah dekade terakhir, jalur-jalur yg menuju Tujuh Puncak, terutama yg menuju Puncak Everest, terus bertambah ramai. Seiring dengan meningkatnya permintaan, jumlah perusahaan komersial yg menawarkan jasa pemandu untuk mendaki Tujuh Puncak terutama Puncak Everest, ikut meningkat pula. Selama musim semi 1996 saja tiga puluh ekspedisi besar tercatat mendaki Everest, sedikitnya sepuluh tim diantaranya dikelola untuk mencari keuntungan.
        Pemerintah Nepal menyadari bahwa berbondong-bondongnya kelompok pendaki yg ingin mendaki Everest bisa menimbulkan masalah yg serius, baik ditinjau dari aspek keselamatan, estetika maupun ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan. Untuk menanggulangi masalah ini, para menteri Negara Nepal muncul dengan solusi yg diharapkan bisa memberi dua keuntungan, yaitu mengurangi jumlah pendaki dan meningkatkan devisa: mereka menaikkan tarif perijinan. Pada 1991, Kementrian Pariwisata Nepal menetapkan tarif sebesar 2.300 dollar untuk setiap tim yg ingin mendaki Everest. Pada 1992, tarif tersebut dinaikkan lagi menjadi 10.000 dollar untuk setiap tim yg maksimum beranggotakan sembilan orang, ditambah biaya tambahan sebesar 1.200 dollar untuk setiap peserta tambahan.
        Tetapi jumlah pendaki yg ingin menaklukkan Everest terus saja meningkat, meskipun tarif terus dinaikkan. Pada musim semi 1993, empat puluh tahun setelah Everest ditaklukkan untuk pertama kalinya, lima belas tim terdiri atas 294 pendaki mencoba menaklukkan Puncak Everest dari arah Nepal, sebuah rekor dalam jumlah tim. Musim semi tahun yg sama, Kementrian Pariwisata Nepal kembali menaikkan tarif perijinan menjadi 50.000 dollar untuk satu tim yg maksimal beranggotakan lima orang dan ditambah 10.000 dollar untuk setiap peserta tambahan dengan jumlah maksimum tujuh orang. Selain itu Pemerintah Nepal juga membatasi jumlah tim ekspedisi yg diijinkan mendaki Everest dari wilayah Nepal dalam satu musim  pendakian menjadi maksimal empat tim.
        Yang tidak diperhitungkan Pemerintah Nepal adalah kenyataan bahwa Pemerintah Cina hanya menetapkan tarif  15.000 dollar untuk setiap tim yg ingin mendaki dari arah Tibet tanpa membatasi jumlah anggota tim, maupun jumlah tim ekspedisi dalam satu musim pendakian. Karena itu, gelombang pendaki Everest mengalihkan  kegiatan mereka dari Nepal ke Tibet, menyebabkan ratusan suku Sherpa kehilangan pekerjaan. Protes dan jeritan Suku Sherpa membuat Pemerintah Nepal, pada musim semi 1996, secara mendadak menghapuskan aturan yg membatasi jumlah tim pendaki hingga maksimal empat tim.Pada saat yg sama, mereka menaikkan tarif perijinan menjadi 70.000 dollar untuk setiap tim yg maksimal beranggotakan tujuh orang , ditambah biaya tambahan sebesar 10.000 dollar untuk setiap peserta tambahan. Mengingat bahwa enam belas dari tiga puluh tim yg mendaki Everest musim semi lalu mendaki jalur yg berada diwilayah Nepal, menunjukkan bahwa mahalnya tarif perijinan tampaknya tidak mengurangi minat para pendaki.
       Bahkan sebelum pendakian pramusim penghujan pada 1996, yg berakhir dengan bencana itu, meningkatnya komersialisasi Everest selama satu dekade terakhir sudah sering memicu kritikan. Para pendaki tradisional berang karena puncak tertinggi dunia tersebut dijual kepada para penjelajah yg kaya raya --- beberapa dari mereka, jika tidak dibantu seorang pemandu, mungkin akan kesulitan mencapai puncak gunung dengan ketinggian menengah seperti Mount Rainier sekalipun. Puncak Everest, kecam para pendaki tradisional, sudah direndahkan derajatnya dan dicemarkan.
       Para kritikus juga menambahkan bahwa berkat komersialisasi Everest, puncak yg dulunya suci sekarang dikotori oleh campur tangan hukum Negara Amerika Serikat. Setelah membayar cukup mahal untuk dipandu mencapai Puncak Everest, sejumlah pendaki menuntut pemandu mereka karena tidak berhasil mencapai puncak. "Kadang-kadang Anda mendapat klien yg merasa bahwa mereka sudah membeli tiket yg menjamin mereka sampai ke puncak," keluh Peter Athans, seorang pemandu kawakan yg sudah sebelas kali mendaki Everest dan empat kali mencapai puncak. "Banyak yg tidak memahami, bahwa ekspedisi ke Puncak Everest, tidak selalu berjalan lancar seperti kereta api di Negara Swiss."
       Sayangnya, tidak semua tuntutan tentang Everest tidak berdasar. Beberapa perusahaan pendakian yg tidak bonafide, berkali-kali gagal menyediakan perlengkapan logistik yg sangat penting --- misalnya tabung oksigen --- sesuai dengan perjanjian. Dalam beberapa ekspedisi, hanya pemandu yg berhasil sampai ke puncak, meninggalkan semua klien yg sudah membayar mahal, membuat klien mereka kecewa dan menuduh bahwa mereka diajak untuk sekedar menutup biaya perjalanan pemandu. Pada 1995, seorang pemilik perusahaan ekspedisi komersial melarikan uang kliennya sebesar 10.000 dollar bahkan sebelum pendakian dimulai.
Maret 1995, aku dipanggil dan ditawari oleh editor majalah Outside untuk ikut dalam sebuah ekspedisi Everest yg dipandu, yg dijadwalkan akan berangkat dalam lima hari, dan aku diminta untuk menulis artikel tentang menjamurnya komersialisasi pendakian Everest  serta berbagai kontroversi seputar masalah itu. Majalah tersebut tidak memintaku untuk ikut sampai kepuncak; si editor hanya memintaku untuk ikut sampai Base Camp dan melaporkan ceritaku dari Gletser Rongbuk Timur, kaki gunung yg terletak diwilayah Tibet. Aku mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh penawaran mereka --- aku bahkan sudah memesan tempat dan melakukan beberapa imunisasi yg diperlukan --- tetapi mundur pada menit-menit terakhir.
        Karena selama beberapa tahun terakhir aku memandang rendah Puncak Everest, cukup beralasan jika orang-orang beranggapan  bahwa penolakanku dipicu oleh pandanganku tersebut. Kenyataannya, tawaran majalah Outside secara tidak terduga menghidupkan kembali keinginan besar yg sudah lama kupendam. Aku menolak penugasan tersebut karena aku yakin, aku akan frustasi jika harus tinggal selama dua bulan dibawah bayang-bayang Everest tanpa boleh mendaki lebih tinggi dari Base Camp. Jika aku memang harus melakukan perjalanan ke belahan lain dari bumi ini dan menghabiskan delapan minggu jauh dari istri dan rumahku, aku harus diberi kesempatan untuk mendaki gunung tersebut.
       Aku meminta kepada Mark Bryant, editor Outside, untuk mengundurkan penugasanku selama dua belas bulan (sehingga aku bisa melakukan latihan fisik yg dibutuhkan untuk ekspedisi seperti itu). Aku juga meminta kepada majalah Outside untuk mendaftarkan diriku sebagai klien perusahaan pendakian yg lebih bonafide --- serta membayar biaya pendakian sebesar 65.000 dollar --- untuk memberiku kesempatan benar-benar mencapai puncak. Aku tidak sungguh-sungguh berharap permintaanku dikabulkan. Selama lima belas tahun terakhir, aku sudah menulis lebih dari enam puluh artikel untuk majalah Outside, tetapi biaya perjalanan untuk masing-masing penugasan biasanya tidak lebih dari dua ribu atau tiga ribu dollar.
      Bryant menelponku sehari kemudian setelah mengadakan pertemuan dengan penerbit Outside. Menurutnya, majalah tersebut tidak bersedia menutupi biaya perijinan sebesar 65.000 dollar, tetapi dia dan beberapa editor lain percaya bahwa komersialisasi Everest merupakan topik yg penting. Jika aku sungguh-sungguh ingin mendaki gunung itu, katanya bersikeras, majalah Outside akan berusaha untuk mewujudkan keinginanku.
Selama tiga puluh tahun menyebut diriku sebagai pendaki, aku sudah mendaki beberapa puncak yg cukup sulit. Di Alaska, aku pernah mendaki sebuah jalur baru dan sempit Mooses Tooth, melakukan pendakian solo ke puncak Devils Thumb, yg memaksaku untuk tinggal sendirian selama tiga minggu diatas sebuah puncak gunung es yg terpencil. Aku juga sudah mendaki beberapa puncak gunung es yg cukup tinggi di Kanada dan Colorado. Dekat ujung selatan Benua Amerika, ditempat angin menerjang daratan seperti "sapu dewa" --- la escoba de Dios, demikian nama yg diberikan oleh penduduk setempat --- aku pernah dihadapkan pada pengalaman yg sangat menegangkan ketika dipaksa mendaki sebuah dinding granit vertikal setinggi satu mil yg dinamai Cerro Torre; dibawah terjangan angin dengan kecepatan seratus knot, dan lereng yg tertutup es, gunung itu pernah (meskipun tidak lagi) dianggap sebagai gunung tersulit didunia.
        Namun, semua petualangan itu kulakukan beberapa tahun berselang, beberapa bahkan terjadi lebih dari satu dekade lalu, ketika usiaku masih dua puluh atau tiga puluh tahunan. Sekarang usiaku sudah empat puluh satu tahun, masa jaya fisikku sebagai pendaki sudah lewat, janggutku sudah berubah kelabu, gusi-gusiku memburuk, dan perutku tujuh setengah kilogram lebih berat. Aku sudah menikah dengan seorang wanita yg sangat kucintai --- dan mencintaiku. Setelah menemukan karier yg cukup lumayan, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku bisa hidup diatas garis kemiskinan. Kerinduanku untuk mendaki sudah mulai memudar karena berbagai bentuk kepuasan yg kemudian menumpuk menjadi sesuatu yg umum disebut kebahagiaan.
        Selain itu, gunung-gunung yg pernah kutaklukkan tidak ada yg lebih tinggi dari gunung dengan ketinggian menengah. Terus terang, aku belum pernah mendaki gunung yg lebih tinggi dari 17.200 kaki --- artinya tidak lebih tinggi dari Base Camp Everest.
        Sebagai orang yg dengan rajin mengikuti sejarah dunia pendakian, aku tahu bahwa Everest telah menewaskan lebih dari 130 orang sejak tim ekspedisi Inggris yg pertama mendakinya pada 1921 --- artinya satu kematian untuk setiap empat pendaki yg berhasil mencapai puncak --- dan mereka yg tewas tersebut memiliki kekuatan fisik serta pengalaman mendaki yg jauh lebih baik daripada diriku. Namun impian masa kanak-kanak ternyata sulit dipadamkan, lagipula, persetan dengan akal sehat!
Akhir Februari 1996, Bryant menelpon dan mengatakan bahwa satu tempat kosong masih tersedia dalam tim ekspedisi Rob Hall yg berikutnya. Ketika dia bertanya apakah aku bersungguh-sungguh dengan niatku, aku menjawab ya, bahkan tanpa berhenti sekejap pun untuk menarik napas.


*Puncak-puncak tertinggi ditujuh benua adalah : Everest, 29.028 kaki (Asia); Aconcagua, 22.834 kaki (Amerika Selatan); McKinley---dikenal juga dengan nama Denali---20.320 kaki (Amerika Utara); Kilimanjaro, 19.340 kaki (Afrika); Elbrus, 18.510 kaki (Eropa); Vinson Massif, 16.067 kaki (Antartika); Kosciusko, 7.316 kaki (Australia). Setelah Dick Bass menaklukkan ketujuh puncak tersebut, seorang pendaki Kanada bernama Patrick Morrow menyanggah dengan mengatakan bahwa karena puncak tertinggi di wilayah Oceania, kelompok kepulauan termasuk Australia, bukan Kosciusko melainkan puncak lain yg lebih sulit didaki, yaitu Cartenz Pyramid (16.535 kaki) yg terletak di Provinsi Irian Barat Indonesia (sekarang Papua). Dengan demikian menurut Morrow, Bass bukanlah orang pertama yg menaklukkan Tujuh Puncak---melainkan dia, Morrow. Bukan satu dua orang saja yg mengkritik konsep Tujuh Puncak tersebut, dengan mengatakan bahwa mendaki puncak tertinggi kedua ditiap benua lebih sulit ketimbang mendaki Tujuh Puncak tertinggi didunia, beberapa diantaranya merupakan puncak yg sangat sulit didaki.


Bersambung.....