Senin, 28 September 2015

Gunung Sumbing via Garung

It's about passion !!!

Gunung Sumbing, tergolong gunung "periode awal" yang membuat kecanduan saya terhadap hiking semakin akut. Masa-masa gila naek gunung, ga boleh deh ada libur atau waktu senggang yang terlewat tanpa "merimba". Dan kini 19 tahun berselang, di suatu pagi yang berkabut, pukul 6.00, setelah perjalanan selama 12 jam, saya sedang mengisi buku daftar pengunjung Pendakian Sumbing via Garung. Pagi ini dinginnya cukup lumayan, tapi tidak menyurutkan niat saya untuk memuaskan dahaga akan mendaki.
       
Basecamp Sumbing....sepi...masih kepagian

Banyak yang berubah, salah satunya lokasi basecamp . Dulu, basecamp pendakian terletak hanya 400 meter dari tepi jalan raya, sekarang lebih masuk ke dalam, sekitar 1 kilometer terletak di kiri jalan desa. Basecamp pendakian gunung yang memiliki ketinggian 3371 mdpl ini, dikelola oleh organisasi masyarakat dusun Garung di bawah bendera Stickpala. Perubahan lainnya adalah adanya jalur pendakian baru. Untuk mendapatkan surat ijin mendaki, saya harus membayar Rp.12.500,-. Dengan membayar sejumlah itu, selain mendapat ijin mendaki, saya pun memperoleh peta pendakian beserta sebuah karung kecil untuk tempat sampah.

       Untuk menghemat tenaga saya menyewa jasa ojek hingga ke Pos I dengan biaya Rp.25.000,-. Ada sedikit hal yang menurut saya lucu dan rupanya memang seperti itu. Saat saya sudah siap menaiki ojek, tukang ojek tersebut meminta keril yang saya pakai. Saya yang belum sepenuhnya paham mengikuti saja permintaan tukang ojek itu. Saya pikir dia (tukang ojek) mau meringankan beban saya sebagai bentuk servis plus nya. Tapi rupanya saya salah kira sebab selesai menyandangkan keril saya di punggungnya, ucapan dia berikutnya membuat saya kaget. "Ayo mas-nya naik di depan" katanya singkat. Sambil mengernyitkan dahi saya jawab, "saya di depan pak?! Ga salah?!". "Iya, mas-nya di depan, biar motornya ga standing pas di tanjakan". Akhirnya mau tidak mau saya mengikuti perintah tukang ojek, naik dan duduk di depan si tukang ojek. Dengan kedua kaki berpijak di blok mesin dan tangan berpegangan di bagian tengah stang, posisi saya duduk persis seperti anak kecil yang sedang naik sepeda roda tiga. Saya membatin dalam hati, "aneh banget sih cara tukang ojek disini ngangkut penumpang, gimana kalau penumpangnya cewe?...menang banyak nih...hehe".

Trail 1: Base Camp Garung - Malim.

Mejeng pagi di Pos I

Setelah sepuluh menit menyusuri jalanan desa selebar dua setengah meter yang terbuat dari batu-batu yang tersusun rapi dan membelah ladang penduduk, ojek yang saya tumpangi berhenti persis di depan Pos I Malim. Jika berjalan kaki, di perlukan waktu 75-120 menit untuk mencapai Pos I dari basecamp. Setelah saya membayar ongkos, ojek pun langsung berbalik arah dan kembali turun ke perkampungan. 

Ada dua orang pendaki asal Semarang yang sedang memasak sarapan saat saya tiba pagi itu. Dan saya pun menyempatkan diri berbincang-bincang sejenak. Setelah mengambil beberapa foto saya pun memulai pendakian tepat pukul 07.00. Berjalan santai sambil mengatur napas untuk mendapatkan ritme jalan yang nyaman. Matahari masih belum penuh menyinari jalur yang saya tapaki tetapi keringat sudah mulai bercucuran, yup, keringat ini akibat pengaruh jaket running yang saya kenakan. Jaket yang jadi andalan saya untuk mendukung Ultralight Style yang sedang saya gandrungi.
Jalur menuju Pos II ini relatif landai, dengan kontur tanah diselingi beberapa tanjakan yang cukup "lumayan".

Trail 2 : Pos I Malim - Pos 2 Genus
Dapat di capai dalam waktu lima puluh menit dengan berjalan santai. Saat saya tiba di Pos II Genus, ada 1 rombongan pendaki yang berkemah disini, mereka sedang dalam perjalanan turun. Pos II ini lokasinya cukup terlindung, dan merupakan pos yang paling rimbun vegetasinya. Pos ini cukup untuk membangun 5-6 tenda kapasitas empat.

Setelah break selama lima menit plus mengambil foto, saya pun kembali melanjutkan perjalanan. Kondisi jalur selepas pos II masih relatif landai dan semakin berdebu. Jika ada yg menyulitkan selain tidak adanya sumber air di pendakian ini ya tebalnya debu. Belum turunnya hujan selama hampir lima bulan menjadi salah satu penyebabnya. Saya pun harus menggunakan masker agar sedikit terhindar dari debu. Dua puluh menit lepas pos II, saya tiba di area kecil seperti pos bayangan. Ada papan bertuliskan "Engkol-engkolan" menempel di salah satu pohon di sebelah kiri jalur. Saya lihat ke arah depan jalurnya masih tetap sama, landai dan berdebu. Saya berusaha menangkap arti kata "Engkol-engkolan" itu, sebab agak sedikit janggal bagi saya. Dalam pemahaman saya "Engkol-engkolan" bisa di artikan "gowes-gowesan" atau "genjot terus", dalam arti yg lebih simpel ya "jalan terus walau harus digenjot paksa". Saya benar-benar penasaran, dimana korelasi antara nama "Engkol-engkolan" dengan jalur pendakiannya. 

Dua menit kemudian rasa penasaran saya terjawab. Setelah meninggalkan papan nama tadi dan berjalan 30 meter, jalur membelok ke kanan. Persis di tengah jalur ada sebuah pohon yang cukup besar, di belakang pohon itu adalah jalur berikutnya yang harus saya lewati. Jalurnya sangat lebar, perpaduan tanah dan pasir dengan debu yang tetap tebal, hanya saja di tambah tanjakan curam sejauh kurang lebih 400 meter, tanpa bonus! Tanpa vegetasi!
Well, akhirnya kecurigaan saya terhadap papan nama "Engkol-engkolan" terjawab sudah. Mau tidak mau memang pendaki harus jalan terus walau kaki digenjot paksa agar bisa melewati tanjakan ini. Menurut saya, tanjakan ini salah satu bagian tersulit dalam mendaki gunung Sumbing. Persis di ujung tanjakan adalah awal puncak punggungan yang akan menjadi jalur pendakian selanjutnya.

Trail 3: Pos 2 Genus-Pos 3 Sedelupak Roto 
Saya hanya beristirahat 10 menit saja di Pos III setelah berhasil melewati tanjakan panjang itu. Nyaris satu jam waktu yang habiskan untuk menyelesaikan trail ini. Vegetasi di pos ini tidak rimbun, tetapi merupakan pos yang paling terlindung dari angin kencang jika dibanding dengan pos-pos selanjutnya. Areanya sangat luas dengan kontur tanah bercampur pasir. Meski udara terasa semakin panas, saya terus berjalan. Saya baru berhenti lagi dua puluh menit kemudian, di sebuah area terbuka.

Trail 4 : Sedelupak Roto - Pestan.
Pos IV Pestan. Merupakan pos ke empat dalam pendakian Sumbing via Garung yang berjarak dua puluh menit dari pos Sedelupak Roto. Area ini meski ideal untuk berkemah tapi sangat tidak di rekomendasikan untuk pendaki mendirikan tenda, sebab di area Pestan inilah paling beresiko badai dengan angin kencang. 

Saya menunduk, menumpukan dahi saya ke ujung atas trekking pole yang berbantal kedua punggung tangan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Entah sudah berapa kali saya seperti ini, rasanya setiap saya berhenti melangkah saya pasti menunduk bertumpu seperti ini. Dalam mendaki, saya memang tidak akan beristirahat dalam posisi duduk jika bukan di tempat yang memang menjadi target saya untuk beristirahat agak lama---agak lama versi saya itu lima belas hingga enam puluh menit. Pola istirahat hanya membungkuk tanpa duduk memudahkan saya menjaga ritme jalan yang nyaman. Menurut saya, jika setiap kali berhenti melangkah lalu istirahat dengan cara duduk akan membuat kita malas untuk melanjutkan perjalanan dan otomatis membuang waktu.

Trail 5 : Pestan - Pasar Watu

Menjelang Pasar Watu
Mulai lelah...but still excited


Batu-batu di Pasar Watu

Selepas pos IV, jalur berubah konturnya menjadi bebatuan besar bercampur sedikit pasir di bagian kanan dan setapak tanah berpasir di sebelah kiri. Area yang terbuka membuat jalur nampak jelas lurus ke atas tanpa belokan dan menanjak tanpa bonus dengan kemiringan 45°. 

Berjalan pelan namun pasti saya bergerak melewati langkah demi langkah sambil sesekali berhenti untuk mengatur napas. Panas terasa makin menyengat, padahal belum juga tengah hari. Setelah mencoba memperhatikan keadaan sekitar, saya melihat sebuah pohon Cantigi yang cukup rindang dan teduh di sebelah kanan jalur, persis di tepi sebuah jurang. Area datar di sekitarnya cukup ideal untuk saya beristirahat. Lima menit berselang, saya sudah asyik duduk bersandar di bawah pohon itu, sambil menikmati nasi bungkus yang saya beli subuh tadi di Terminal Mendolo Wonosobo. 

G-Shock saya menunjukkan pukul 10.30. Seperti biasanya, penyakit saya selalu kambuh saat selesai makan, akhirnya tidak ada pilihan lain selain merebahkan badan, memposisikan bodypack sebagai bantal dan kemudian...tidur. Sesaat sebelum benar-benar tidur saya sempat melirik Casio saya lagi, pukul 11.00, "cukuplah tidur setengah jam" gumam saya. Ternyata saya tidur pulas sekali, mungkin efek kurang tidur semalaman di bus. Jam menunjukkan pukul 11.50 saat saya terbangun. Bangun mendadak sontak membuat kepala saya pusing. Sambil menyandangkan kembali Appalachia 35L saya ke pundak, saya pun mulai bergerak melangkahkan kaki perlahan-lahan. Setiap 20 langkah saya berhenti sebentar untuk mengatur napas, karena istirahat yang terlalu lama tadi, saya kehilangan ritme jalan yang nyaman. 

Meskipun saya berjalan dengan pelan ternyata saya bisa mencapai Pos V Pasar Watu hanya dalam waktu tiga puluh menit. Di namakan Pasar Watu sebab di lokasi ini banyak berserak batu-batu besar, di tambah persis lurus dengan jalur terdapat bukit batu yang sangat besar, seperti memutus jalur pendakian. Dan memang untuk melanjutkan pendakian, para pendaki---termasuk saya---harus berjalan turun mengikuti setapak di sebelah kiri, berjalan melipir sisi bagian timur dari bukit batu besar itu. Saat melipir sisi kiri tersebut, kita harus lebih berhati-hati sebab di sebelah kiri kita adalah jurang. Jalur di sisi kiri bukit batu besar itu relatif datar, lumayan menjadi bonus. Setelah empat puluh meter, jalur kembali menanjak curam dan berbatu-batu tanpa bonus. Beruntung cuaca berubah mendung sehingga udara menjadi lebih sejuk.

Trail 6 : Pasar Watu - Watu Kotak
 Akhirnya pukul 12.50 saya pun tiba di Pos VI Watu Kotak, pos yang menjadi target saya untuk mendirikan tenda dan bermalam. Saya memilih lokasi yang berada sepuluh meter diatas Pos Watu Kotak untuk mendirikan tenda. Pos ini bukan area yang luas, maksimal hanya bisa untuk mendirikan 4-5 tenda saja. Sesuai namanya, terdapat batu kotak berukuran raksasa yang berdiri memanjang ke arah puncak. Terdapat sedikit ceruk menyerupai gua di sisi sebelah timur. Ceruk tersebut sering digunakan pendaki untuk berteduh atau berlindung dari terpaan angin. Dari pos ini, jika cuaca cerah, Gunung Sindoro, Prau dan Slamet sangat jelas terlihat. Umumnya pos ini menjadi target camp pendaki sebelum summit.

Trek menuju Watu Kotak, 5 menit pasca Pasar Watu

Saya selesai membangun tenda kurang lebih pukul 14.00. Kemudian memasak air dan menyeduh kopi untuk menghangatkan badan yang mulai dingin. Selesai berganti pakaian dan menunaikan shalat dzuhur, saya menggunakan sendal dan beranjak keluar untuk menikmati cuaca mendung disore ini. Sambil duduk di atas susunan batu-batu besar, menghadap ke arah timur laut, ke arah Sindoro, saya mulai menghirup kopi dari cangkir stainless yang saya bawa. Duuh...sungguh nikmat rasanya. Sambil ditemani biskuit sebagai camilan, saya terhanyut dalam suasana. 

Masih nampak jelas kepulan asap sisa-sisa kebakaran di Sindoro. Lereng atas di sisi jalur Tambi dan sebagian besar jalur Kledung nampak hitam. Sedih rasanya melihat tempat bermain saya begitu rupa. Tak banyak pendaki hari ini, bahkan tenda saya hanya berdiri sendiri di pos ini. Beruntunglah saya bisa memperoleh "kesunyian" ini. Beberapa titik air terasa menempel di wajah saya, membuyarkan lamunan, dan ternyata turun hujan, hujan pertama sejak lima bulan terakhir...Alhamdulillah...saya pun beringsut turun dari batu tempat saya duduk dan segera masuk ke dalam tenda untuk beristirahat.

Trail 7 : Watu Kotak - Puncak Sumbing
Pukul 19.00, hujan sudah reda, saya pun telah selesai makan malam. Sambil menyalakan lampu tenda, saya mencari posisi yang nyaman untuk tidur berbalut sleeping bag Gorillaz andalan. Setelah menyetel alarm pukul 3.30 saya pun terlelap, maklumlah saya benar-benar kurang istirahat. 

Sempat saya terbangun beberapa kali entah pukul berapa karena suara gaduh diluar. Sepertinya beberapa rombongan pendaki yang baru tiba dan akan mendirikan tenda juga dilokasi ini.
Meskipun harus terbangun beberapa kali namun secara keseluruhan, malam ini saya bisa beristirahat dengan maksimal. Seperti hari-hari biasanya, alarm gadget saya setia berbunyi pukul 03.30, membangunkan saya dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Dengan malas saya beranjak bangun, keluar dari hangatnya kantong tidur dan membiarkan pori-pori kulit bersentuhan dengan udara yang dingin di dini hari. Setelah menyalakan kompor dan menuangkan air untuk di masak, saya mengenakan jaket, kaos kaki dan headlamp. Setelahnya, saya menyeduh sereal dan makan mie goreng sisa semalam untuk pengisi perut sebelum summit. Bodypack saya isi dengan P3K, termos, cangkir, gula, biskuit dan teh. 

Pukul 04.40, setelah shalat subuh saya pun keluar tenda, menutup resletting dan menyalakan headlamp lalu mulai berjalan menuju puncak. Jalur awal dari Watu Kotak berupa tanjakan curam dengan kemiringan rata-rata 60°. Setiap beberapa langkah saya berhenti, memberikan kesempatan tubuh untuk beradaptasi dengan udara subuh. Tiga puluh menit kemudian saya tiba di Tanah Putih. Saya pun semakin bersemangat, sebab dengan telah di capainya Tanah Putih berarti puncak sudah sangat dekat. Di sebelah timur, semburat cahaya ungu bercampur oranye semakin jelas terlihat, menandakan sebentar lagi matahari akan terbit. 

Akhirnya setelah melewati satu tanjakan terjal saya tiba di pertigaan puncak. Karena tidak ingin melewatkan momen sunrise saya pun bergegas menuju ke arah kanan, ke puncak tertinggi Gunung Sumbing. Alhamdulillah, tepat pukul 05.40 saya berhasil menjejak titik tertinggi Gunung Sumbing 3371 mdpl. Sujud syukur serta menyebut asma Allah atas kesempatan yang telah di berikan untuk saya. Pagi ini cuaca sangat cerah, anginpun bertiup dengan lembut. Saya menikmati naiknya sang surya dari horison, di temani satu kotak biskuit dan secangkir teh manis panas. Di kanan saya kawah Sumbing tampak mengepulkan asapnya. Sayang, waktunya tidak mencukupi untuk saya turun dan meng-eksplor bagian kawah Sumbing. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 06.30, saya pun segera turun kembali menuju tenda untuk berkemas dan mengejar bus untuk pulang ke Jakarta.

#the End

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya ya....:)
------------------------------------

More Info :
- BB  : 745565CE
-WA only : 08111181225
- e-mail : cliff.klie@gmail.com

#Rundown :
-Terminal Wonosobo - Pertigaan Garung 30-45 menit
-Pertigaan Garung - BC Pendakian
20 menit
-BC - Pos I Malim 75-90 menit
-Pos I Malim - Pos II Genus 45-75 menit
-Pos II Genus - Pos III Sedelupak Roto 45-80 menit
-Pos III Sedelupak Roto - Pos IV Pestan 15-30 menit
-Pos IV Pestan - Pos V Pasar Watu
30-45 menit
-Pos V Pasar Watu - Pos VI Watu Kotak 30-50 menit.
-Pos VI Watu Kotak - Puncak Sumbing 60-100 menit.
Total 5-8 jam
------------------------------------

#Biaya :
1. Bogor / Jakarta - Wonosobo Terminal Mendolo Rp.115.000 bus Sinar Jaya Eksekutif
2. Terminal Mendolo - Pertigaan Garung dg bus 3/4 tujuan Magelang Rp.10.000
3. Simaksi Rp.12.500
4. Logistik Rp.100.000
5. Lain-lain Rp.50.000
Total Rp.402.500,-
------------------------------------

And these is the pict, enjoy


It's my passion !!

Sindoro yang masih terbakar

Ngopi di bawah tebing Watu Kotak

Kawah Sumbing

Beautiful Sunrise

Pecandu ketinggian


Dipertengahan menuju Pasar Watu


Pertigaan desa Butuh dusun Garung

Baru turun dari bus Magelang-an



Kawah Sumbing

Di Puncak Sumbing

Jalur pendakian selepas Pestan

Tanjakan berbatu menuju Pasar Watu

Tanjakan menuju Pos III

Selepas Engkol-engkolan

Debunya tebal banged!

Jalur menuju puncak

Another view of  Sunrise

Nge-teh di Puncak Sumbing...nikmaaat

Berselimut kabut pagi

Menjejak titik tertinggi Sumbing

Peta pendakian

I am freeee!!!

Merbabu dan Merapi pagi itu

Jumat, 25 September 2015

Into Thin Air --- BAB XII --- CAMP TIGA 9 MEI 1996 --- 24.000 KAKI

Aku menatap ke bawah. Turun gunung sungguh mematikan selera....Terlalu banyak kerja keras, terlalu banyak malam tanpa tidur, dan terlalu banyak mimpi yang sudah ditanam yang membawa kami sampai sejauh ini. Kami juga tidak bisa kembali untuk mencoba lagi akhir minggu depan. Jika kami turun sekarang, meskipun kami bisa melakukannya, berarti kami menuruni sebuah masa depan yang berisi tanda tanya besar: apa yang mungkin terjadi?

Thomas F. Hornbein
Everest: The West Ridge

Di Camp Tiga, perasaan lesu dan pening muncul setelah semalaman aku tidak bisa tidur. Perlahan-lahan aku mengenakan pakaian, mencairkan es dan keluar dari tenda. Hari itu Selasa pagi, 9 Mei. Ketika aku sedang mengisi ransel dan memasang sepatu cramponku, hampir seluruh anggota tim ekspedisi Hall sudah mendaki lintasan tali menuju Camp Empat. Secara mengejutkan, Lou Kasischke dan Frank Fishbeck ada diantara para pendaki. Melihat kondisi mereka yang menyedihkan saat tiba diperkemahan kemarin malam, semula aku mengira keduanya pasti memutuskan untuk mundur. "Selamat untukmu, kawan-kawan," kataku menirukan logat teman-teman anggota timku yang berasal dari belahan bumi.selatan; aku terkesan karena rekan-rekanku mampu bangkit dan memutuskan untuk maju terus.
     Saat aku bergegas untuk bergabung dengan rekan-rekan satu timku, aku menoleh ke bawah dan melihat barisan panjang dari kurang lebih lima puluh pendaki anggota tim ekspedisi lain yang juga sedang bergerak menuju lintasan tali;  dan orang yang terdepan sudah berada tidak jauh di bawahku. Karena tidak ingin terjebak ditengah kemacetan  (yang memperbesar resiko tertimpa hujan batu yang meluncur dari lereng gunung diatasku, satu diantara beberapa bencana yang kerap terjadi), aku mempercepat langkah dan memutuskan untuk mendaki paling awal. Namun, karena lintasan tali yang meliuk-liuk di Lhotse Face hanya ada satu, tidak mudah bagiku untuk melewati para pendaki yang lamban.
     Peristiwa Andy tertimpa bongkahan batu masih melekat dalam ingatanku setiap aku melepaskan diri dari rentangan tali untuk melewati seorang pendaki---sebuah batu kecil sekalipun bisa mengirimku ke dasar lereng jika batu itu menimpaku ketika aku sedang tidak terkait pada lintasan tali. Selain itu, melewati beberapa pendaki bukan hanya menakutkan, melainkan juga melelahkan. Seperti sebuah mobil tua yang berusaha melewati sederetan mobil disebuah jalan mendaki, aku harus terus menerus menekan gas agar bisa melewati semua orang yang membuatku terengah-engah sehingga aku cemas akan muntah ke dalam masker oksigenku.
     Mendaki dengan menggunakan oksigen merupakan pengalaman pertama bagiku, dan perlu waktu agar aku terbiasa. Meskipun manfaat oksigen tambahan pada ketinggian ini---24.000 kaki---benar-benar nyata, pengaruhnya tidak segera terasa. Ketika aku sedang terengah-engah berusaha untuk mengembalikan napas setelah melewati tiga pendaki, masker yang kupakai justru membuatku merasa tercekik sehingga aku melepaskannya---tetapi kemudian kurasakan, bernapas tanpa masker ternyata lebih sulit lagi.
     Saat tiba dipuncak sebuah tonjolan batu gamping yang rapuh berwarna oranye yang dikenal dengan nama Yellow Band, barulah aku berhasil mendahului para pendaki lain, dan mulai mendaki dengan kecepatan yang lebih nyaman. Bergerak dengan lambat tetapi pasti, aku mendaki sambil melintas ke arah kiri melewati puncak Lhotse Face, kemudian aku turun ke haluan sebuah hamparan batu sekis hancur berwarna kehitaman yang lazim dikenal sebagai Geneva Spur. Akhirnya, aku mulai terbiasa bernapas dengan masker oksigen dan berada kurang lebih satu jam didepan pendaki terdekat. Kesendirian merupakan hal yang jarang dijumpai di Everest dan aku bersyukur karena aku bisa mendapatkannya hari ini, ditengah suasana alam yang mengagumkan seperti ini.
     Pada ketinggian 25.900 kaki, aku berhenti dipuncak the Spur untuk minum dan menikmati pemandangan. Udara tipis yang berkilat dan mengkristal membuat puncak-puncak yang letaknya jauh terasa cukup dekat untuk disentuh. Menjulang megah dibawah sinar matahari yang kemilau, tampak kerucut puncak Everest disela-sela gumpalan awan. Saat aku mengarahkan kamera jarak jauhku kebagian atas Punggung Tenggara, aku terkejut melihat empat titik kecil seperti semut yang sedang bergerak menuju Puncak Selatan. Aku menduga, mereka adalah para pendaki dari tim ekspedisi Montenegro; dan jika mereka benar-benar bisa sampai ke puncak, mereka akan menjadi tim pertama yang sukses menaklukkan puncak tahun ini. Itu berarti bahwa desas-desus yang kami dengar tentang salju yang sangat tebal ternyata tidak benar---dan jika mereka berhasil mencapai puncak, kami pun mungkin bisa mencapainya. Namun, lembaran-lembaran salju tertiup angin dari puncak lereng membawa pertanda buruk: tim Montenegro sedang berjuang keras untuk mendaki ditengah terjangan badai.
     Aku tiba di Jalur Selatan, tempat kami tinggal landas sebelum menuju puncak, pada pukul 13.00. Jalur Selatan merupakan sebuah plato terpencil tertutup es yang tebal dan bongkahan-bongkahan batu yang terus menerus diterjang angin, berada pada ketinggian 26.000 kaki diatas permukaan laut, sebuah takikan yang luas terletak antara Lhotse Face dan Puncak Everest. Bentuknya hampir empat persegi panjang, panjangnya kurang lebih empat kali panjang lapangan sepakbola dan lebarnya dua kali lebar lapangan sepak bola. Ujung timur dari Jalur Selatan melandai ke arah Tibet, kira-kira 7.000 kaki dibawah Kangshung Face; ujung yang lain menukik kurang lebih  4.000 kaki dibawah Cwm Barat. Tepat dibelakang mulut celah tersebut, diujung paling barat dari Jalur Selatan, berdiri tenda-tenda Camp Empat, diatas sebidang tanah kosong yang dikelilingi oleh lebih dari seribu botol oksigen yang sudah ditinggalkan.(*1). Seandainya diatas planet ini ada tempat yang lebih terpencil dan lebih tidak ramah dari tempat ini, kuharap aku tidak akan pernah melihatnya.
     Ketika angin kencang yang bertiup ke arah barat menerpa tubuh Everest, kemudian ditekan melewati Jalur Selatan yang berbentuk huruf V, kecepatan angin meningkat menjadi tidak terukur; tidak heran jika angin di Jalur Selatan lebih tinggi kecepatannya daripada angin yang menerjang puncak. Badai yang secara konstan melewati Jalur Selatan diawal musim semi menjelaskan mengapa batuan dan es ditempat itu tetap telanjang, meskipun salju tebal menutupi lereng gunung disekitarnya: apapun yang tidak membeku ditempat ini akan diterbangkan menuju Tibet.
     Ketika aku berjalan menuju Camp Empat, enam Sherpa sedang berjuang mendirikan tenda-tenda untuk tim ekspedisi Hall ditengah terjangan angin topan  dengan kecepatan 50-knot. Setelah membantu mereka membangun tenda perlindungan untukku, yang ku ikat pada beberapa botol oksigen bekas yang kutindih dengan batu terbesar yang bisa kuangkat, aku masuk ke dalamnya untuk menunggu kedatangan rekan-rekanku sambil menghangatkan kedua tanganku yang membeku.
     Cuaca semakin buruk seiring berjalannya hari. Lopsang Jangbu, sirdar tim Fischer, muncul dengan membawa empat puluh kilogram beban, lima belas kilogram diantaranya merupakan telepon satelit dan perlengkapannya; Sandy Pittman bermaksud mengirimkan berita melalui internet dari ketinggian  26.000 kaki. Rekan-rekan satu timku baru muncul pada pukul 16.30, dan pendaki-pendaki terakhir dari tim Fischer bahkan lebih lambat lagi, saat badai salju sedang mengamuk. Ketika hari gelap, kelompok Montenegro sudah berada kembali di Jalur Selatan dan melaporkan  bahwa mereka belum berhasil mencapai puncak: mereka dipaksa berbalik di bawah Hillary Step.
     Cuaca yang buruk dan menyerahnya tim Montenegro bukan pertanda baik bagi tim kami yang dijadwalkan akan mulai bergerak menuju puncak dalam waktu kurang dari enam jam. Semua orang mencari perlindungan di bawah tenda nilon mereka setibanya di Jalur Selatan, berusaha keras untuk tidur sejenak, tetapi suara kepakan tenda yang menyerupai suara senapan mesin, ditambah perasaan cemas memikirkan apa yang akan terjadi esok, membuat kami tidak mampu memejamkan mata.
     Stuart Hutchison---kardiolog muda dari Kanada---dan aku di tempatkan ditenda pertama; Rob, Frank, Mike Groom, John Taske dan Yasuko Namba menempati tenda kedua; Lou, Beck Weathers, Andy Harris dan Doug Hansen menempati tenda ketiga. Lou dan rekan-rekannya sudah setengah tidur ditenda mereka ketika sebuah suara asing tiba-tiba berteriak mengatasi suara badai, "Biarkan dia masuk, jika tidak, dia pasti mati diluar sana!" Lou membuka resleting tendanya, dan sesaat kemudian, seorang pria berjanggut roboh telentang dipangkuannya. Orang itu ternyata Bruce Herrod, pria ramah berusia tiga puluh tujuh tahun, wakil pemimpin tim ekspedisi Afrika Selatan, satu-satunya anggota tim Afrika Selatan yang tersisa yang memiliki pengalaman mendaki.
     "Bruce berada dalam kesulitan besar," kenang Lou, "tubuhnya gemetar tidak terkontrol, gerakannya kaku dan aneh, pokoknya dia tidak mampu melakukan apapun untuk dirinya sendiri. Dia terserang hipotermia hebat sehingga hampir-hampir tidak bisa bicara. Rekan-rekan satu timnya mungkin ada di satu tempat di Jalur Selatan, atau dalam perjalanan menuju Jalur Selatan. Namun, dia tidak tahu dimana mereka dan tidak bisa menemukan tendanya sehingga kami menyerah, memberinya sesuatu untuk diminum sambil mencoba menghangatkan tubuhnya."
     Kondisi Doug juga tampak buruk. "Sepertinya Doug kurang sehat," kenang Beck. "Beberapa hari terakhir ini dia mengeluh tidak bisa tidur dan tidak bisa makan. Namun, dia bertekad untuk mendaki jika waktunya tiba nanti. Aku sangat cemas; aku mulai memahami Doug dengan baik, dan aku sadar bahwa sepanjang tahun lalu, dia terus menerus dihantui oleh kegagalannya, padahal dia hanya tinggal tiga ratus kaki dari puncak sebelum dipaksa untuk turun kembali. Aku sungguh-sungguh waktu mengatakan bahwa Doug tidak pernah melewatkan sehari pun tanpa mengingat kegagalan itu. Tampak jelas bahwa Doug tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Doug akan terus mendaki menuju puncak, selama dia masih bisa bernapas."
     Lebih dari lima puluh pendaki berkemah di Jalur Selatan malam itu, berdesak-desakan didalam tenda-tenda yang letaknya berdampingan, tetapi perasaan terisolir yang aneh seakan-akan menggantung diudara. Deru angin tidak memungkinkan berkomunikasi dari tenda ke tenda. Ditempat yang terpencil ini, aku merasa benar-benar terpisah dari para  pendaki disekelilingku---baik secara emosional, spiritual dan secara fisik---perasaan terpisah yang belum pernah kurasakan dalam pendakian yang pernah kulakukan sebelumnya. Hanya dalam nama saja kami ini satu tim, pikirku dengan sedih. Meskipun dalam beberapa jam kami akan meninggalkan perkemahan sebagai tim, kami akan mendaki sebagai individu, tidak terikat oleh seutas tali ataupun oleh rasa setia kawan. Setiap orang melakukan pendakian ini untuk kepentingan masing-masing, termasuk aku; meskipun aku benar-benar berharap agar Doug bisa sampai ke puncak, misalnya, aku akan terus mendaki, seandainya Doug pada akhirnya memutuskan untuk kembali.
     Ditinjau dari konteks lain pemikiran seperti ini terasa menyedihkan, tetapi aku sendiri terlalu cemas memikirkan keadaan cuaca sehingga mau tidak mau memikirkan keadaan cuaca sehingga tidak mau memikirkan masalah ini lebih jauh. Jika topan ini tidak berhenti---dengan segera---kami semua tidak mungkin bisa mencapai puncak. Sepanjang minggu lalu, para Sherpa yang dipekerjakan oleh Hall telah menimbun kurang lebih 186 kilogram oksigen di Jalur Selatan---55 tabung. Meskipun kelihatannya banyak, jumlah itu hanya cukup untuk satu kali pendakian bagi tiga pemandu, delapan klien dan empat Sherpa. Selain itu, persediaan oksigen kami setiap waktu terus berkurang: bahkan pada saat kami berbaring dibawah tenda, kami terus menggunakan gas yang sangat berharga tersebut. Jika perlu, kami bisa mematikan oksigen oksigen dan tinggal dengan aman ditempat ini selama dua puluh empat jam: tetapi, sesudahnya kami akan memerlukannya, baik untuk naik maupun turun.
     Secara ajaib, pada pukul 19.30, topan mendadak reda. Herrod merangkak keluar dari tenda Lou dan berjalan terhuyung untuk mencari rekan-rekan satu timnya. Temperatur menunjukkan beberapa derajat dibawah nol, dan hampir-hampir tidak berangin: kondisi yang sempurna untuk menaklukkan puncak. Naluri Hall benar-benar hebat: sepertinya dia sudah memperhitungkan waktu pendakian secara tepat. "Hore! Stuart!" teriaknya dari tenda di sampingku. "Sepertinya kita bisa mulai bergerak, kawan. Bersiaplah, kita akan berangkat pada pukul 23.30."
     Ketika kami meneguk teh dan menyiapkan perlengkapan untuk mendaki, tidak ada seorang pun yang banyak bicara. Cukup banyak penderitaan yang sudah kami lalui sebelum kami tiba pada momentum ini. Seperti Doug, aku juga hanya bisa makan sedikit dan sama sekali tidak bisa tidur sejak meninggalkan Camp Dua, dua hari yang lalu. Setiap kali batukku kambuh, rasa sakit yang muncul akibat terkoyaknya tulang rawan dipangkal rusukku membuatku merasa seperti ada yang menusukkan sebilah pisau diantara tulang rusukku, membuatku menitikkan air mata. Namun, jika aku benar-benar ingin sampai di puncak, aku tidak punya pilihan selain mengabaikan perasaan sakitku dan terus mendaki.
     Dua puluh lima menit menjelang tengah malam, aku memasang masker oksigenku, menghidupkan lampu kepala, dan mendaki memasuki kegelapan. Ada lima belas orang didalam tim ekspedisi Hall: tiga pemandu, delapan klien dan empat Sherpa, yaitu Ang Dorje, Lhakpa Chhiri, Ngawang Norbu dan Kami. Hall meminta dua Sherpa---Arita dan Chuldum---untuk tetap tinggal di perkemahan sebagai tenaga pendukung, siap untuk membantu jika terjadi keadaan darurat.
     Tim Mountain Madness---yang terdiri atas Fischer, Beidleman dan Boukreev selaku pemandu; enam Sherpa dan enam klien, yaitu, Charlotte Fox, Tim Madsen, Klev Schoening, Sandy Pittman, Lene Gammelgaard dan Martin Adam---meninggalkan Jalur Selatan kira-kira setengah jam sesudah kami(*2). Tadinya Lopsang berniat hanya membawa lima Sherpa Mountain Madness untuk menemani para pendaki menuju puncak, meninggalkan dua orang Sherpa di Jalur Selatan sebagai cadangan. Namun kemudian dia berkata, "Scott sedang baik hati, dia mengatakan bahwa semua Sherpa boleh ikut sampai ke puncak."(*3).
Akan tetapi, pada menit-menit terakhir, Lopsang mengabaikan perintah Fischer dan meminta salah seorang Sherpa, yaitu sepupunya, "Big Pemba" untuk tetap tinggal diperkemahan. "Pemba marah kepadaku," Lopsang menjelaskan, "tetapi aku katakan kepadanya, 'Kamu harus tetap tinggal disini, jika tidak, aku tidak akan memberimu pekerjaan lagi'. Jadi, dia tetap tinggal di Camp Empat."
     Sesaat setelah tim Fischer meninggalkan perkemahan, Makalu Gau mulai mendaki ditemani dua Sherpa---secara terang-terangan melanggar janjinya sendiri untuk tidak mendaki pada hari yang sama dengan kami. Tadinya tim Afrika Selatan bermaksud untuk menuju puncak pada hari yang sama, tetapi perjuangan berat untuk mencapai Jalur Selatan dari Camp Tiga membuat mereka kelelahan, mereka bahkan tidak mampu keluar dari tenda.
     Dengan demikian, ada tiga puluh tiga pendaki yang meninggalkan perkemahan menuju puncak sekitar tengah malam hari itu. Meskipun kami meninggalkan Jalur Selatan sebagai anggota dari tiga tim ekspedisi yang berbeda, nasib kami mulai saling terikat---dan semakin erat terikat saat kami bergerak selangkah demi selangkah menuju puncak.
Suasana malam menampilkan keindahan yang dingin seperti dalam mimpi dan semakin tinggi kami mendaki, suasana menjadi bertambah indah. Bintang-bintang yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah bintang yang pernah kulihat, menghiasi langit yang membeku. Bulan yang hampir bulat merayap naik dari bahu puncak Makalu yang memiliki ketinggian 27.824 kaki, menyinari lereng gunung di bawah kakiku dengan sinarnya yang remang-remang sehingga aku tidak lagi membutuhkan lampu kepala. Jauh ke arah tenggara, sepanjang perbatasan India dengan Nepal, awan hujan yang sangat besar bergerak diatas rawa malaria, Terai, menampilkan gambar yang sangat indah, diselingi sinar kilat berwarna oranye dan biru.
     Setelah tiga jam meninggalkan Jalur Selatan, Frank merasa ada yang tidak beres dengan suasana hari ini. Dia keluar dari barisan, berbalik dan kembali ke perkemahan. Upaya keempatnya untuk mencapai puncak Everest pun berakhir.
     Tidak lama kemudian, Doug ikut menepi. "Saat itu, dia berjalan beberapa langkah didepanku," kenang Lou. "Mendadak dia keluar dari barisan, kemudian berdiri tegak ditempatnya. Ketika aku melewatinya, dia mengatakan bahwa badannya terasa dingin dan tidak nyaman dan dia memutuskan untuk kembali." Kemudian Rob yang mendaki dibelakang mereka, tiba disamping Doug, dan mereka berdua bercakap-cakap sebentar. Tidak ada yang mendengar percakapan mereka sehingga tidak ada yang tahu apa yang mereka bicarakan. Yang pasti, setelah percakapan itu, Doug kembali ke dalam barisan dan meneruskan pendakian."

Sehari sebelum meninggalkan Base Camp, Rob mengadakan pertemuan dengan seluruh anggota tim di Base Camp, mengingatkan kami tentang pentingnya mematuhi perintahnya saat kami melakukan pendakian akhir menuju puncak. "Aku tidak akan menolerir perselisihan dipuncak sana," katanya mengingatkan sambil menatap tajam ke arahku. "Kata-kataku merupakan hukum yang tidak bisa dibantah. Jika kalian tidak suka dengan salah satu keputusan yang aku tetapkan, dengan senang hati aku bersedia membahasnya kemudian, tetapi tidak saat kita berada diatas sana."
     Potensi konflik yang mungkin muncul adalah jika Rob memutuskan kami harus kembali saat kami sudah berada sangat dekat dengan puncak. Namun, ada hal lain yang dia cemaskan. Di akhir program aklimatisasi, Hall memberi kebebasan kepada kami untuk mendaki menurut kemampuan masing-masing---contohnya, Hall sering membiarkan aku mendaki dua jam atau lebih didepan anggota tim yang lain. Akan tetapi, sekali ini Hall menekankan bahwa sampai setengah perjalanan menuju puncak, semua orang harus mendaki secara berdekatan. "Sebelum kita semua berada di puncak Lereng Tenggara," katanya, seraya menyebut sebuah tonjolan besar di ketinggian 27.600 kaki yang lazim dikenal sebagai Balkon, "semua pendaki harus berada pada jarak seratus meter dari pendaki lain. Ini sangat penting. Kita akan mendaki di kegelapan, dan saya ingin para pemandu bisa mengawasi setiap pendaki dengan baik."
     Oleh karena itu, saat kami mendaki pada tengah keremangan fajar pada 10 Mei, pendaki yang berada didepan antrean terpaksa harus berhenti beberapa kali, menunggu dibawah udara dingin yang menusuk tulang sampai pendaki yang paling lambat mampu menyusul. Sekali waktu, Mike Groom, sirdar Ang Dorje dan aku harus duduk diatas birai yang tertutup es selama lebih dari empat puluh menit, menggigil kedinginan menumbuk-numbukkan kedua tangan dan kaki kami untuk mencegah gigitan salju, menunggu sampai para pendaki lain tiba. Namun, memikirkan terbuangnya waktu secara sia-sia ternyata lebih menyiksa daripada menahan siksaan akibat udara dingin.
     Pada pukul 03.45 pagi, Mike sekali lagi mengingatkan bahwa kami sudah mendaki terlalu cepat, dan sekali lagi kami harus berhenti untuk menunggu. Sambil merapatkan tubuh pada permukaan singkapan serpih, berupaya menghindari tiupan angin yang temperaturnya dibawah nol derajat yang bertiup dari arah barat, aku menatap ke bawah ke arah lereng terjal, berupaya mengenali para pendaki yang bergerak perlahan menuju ke arah kami dibawah sinar bulan. Ketika jarak mereka sudah cukup dekat, aku bisa melihat bahwa beberapa pendaki dari tim Fischer berhasil menyusul tim kami: dengan demikian, tim yang dipimpin Hall, tim Mountain Madness dan tim Taiwan berbaur secara tidak teratur, membentuk satu antrean panjang. Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang aneh.
     Enam puluh lima kaki dibawahku, sesosok tubuh tinggi terbungkus jaket dan celana berwarna kuning sedang mendaki ditarik oleh seorang Sherpa yang tubuhnya jauh lebih kecil melalui seutas tali yang panjangnya kira-kira 3 kaki; Sherpa yang tidak memakak masker oksigen itu tampak tersengal-sengal, menarik rekannya mendaki lereng seperti seekor kuda yang sedang menarik bajak. Pasangan yang aneh itu melewati beberapa pendaki lain dengan kecepatan lumayan, tetapi teknik yang digunakan---menarik pendaki yang lebih lemah atau terluka yang dikenal dengan metode tali pendek (short rope)---tampak sangat berbahaya dan tidak nyaman bagi kedua belah pihak. Setelah beberapa saat, aku mengenali Sherpa tersebut sebagai sirdar Fischer yang flamboyan, Lopsang Jangbu, sedangkan pendaki berpakaian serba kuning tersebut tak lain adalah Sandy Pittman.
     Pemandu Neal Beidleman, yang juga sempat menyaksikan Lopsang menarik Sandy Pittman, berkata, "Ketika saya melewati mereka, Lopsang sedang bersandar pada dinding lereng, berpegang erat pada dinding batu seperti seekor laba-laba, menarik Sandy melalui seutas tali yang pendek. Kelihatannya canggung dan sangat berbahaya. Saya tidak tahu harus berbuat apa."
     Sekitar pukul 04.15 pagi, Mike mengatakan bahwa kami boleh meneruskan pendakian, Ang Dorje dan aku mulai mendaki secepat mungkin untuk menghangatkan tubuh kami. Ketika sinar matahari pagi yang pertama menerangi ufuk timur, medan berbatu-batu dan bergelombang yang sedang kami lewati berubah menjadi selokan besar karena salju yang setengah mencair. Berganti-ganti Ang Dorje dan aku harus membuka jalan melewati tumpukan bubuk salju setinggi betis sampai akhirnya, pada pukul 05.30, kami tiba dipuncak Lereng Tenggara, tepat saat matahari mulai naik ke angkasa. Tiga dari lima puncak tertinggi didunia berdiri dihadapan kami, membentuk relief yang sangat terjal dengan latar belakang suasana fajar yang berwarna kekuningan. Altimeterku menunjukkan ketinggian 27.600 kaki.
     Hall sudah memperingatkan dengan tegas bahwa aku tidak boleh mendaki lebih tinggi lagi sebelum anggota tim yang lain tiba dibirai berbentuk balkon ini, jadi aku duduk diatas ranselku dan menunggu. Ketika Rob dan Beck akhirnya tiba dibelakang antrean pendaki, aku sudah duduk selama lebih dari sembilan puluh menit. Saat aku menunggu, tim Fischer dan tim Taiwan berhasil menyusul dan melewatiku. Aku merasa frustasi karena harus berada dibelakang pendaki lain. Namun, aku juga memahami jalan pikiran Hall, jadi aku berusaha mengendalikan perasaan marahku.
     Dalam kehidupanku sebagai pendaki yang sudah kujalani selama tiga puluh empat tahun, aku mendapati beberapa aspek yang sangat menguntungkan dari olahraga ini, yang sangat menekankan pada keterampilan fisik, kemampuan untuk membuat keputusan yang kritis, untuk menghadapi konsekuensi dan untuk meningkatkan tanggung jawab pribadi. Namun, jika Anda mendaftarkan diri untuk menjadi seorang klien, semua aspek positif itu tidak lagi kita dapatkan. Selain itu, demi alasan keselamatan, seorang pemandu yang bertanggung jawab akan menuntut agar dia dipatuhi---dia tidak akan bisa membiarkan kliennya membuat keputusan penting sendiri.
     Oleh karena itu, semua klien didorong untuk bersikap pasif selama ekspedisi berlangsung. Para Sherpa membuat rute, mendirikan perkemahan, memasak, mengangkat beban. Semua itu memang menghemat energi kami dan meningkatkan kemungkinan kami untuk bisa mencapai Puncak Everest, tetapi bagiku cara seperti itu tidak memberi kepuasan. Kadang-kadang aku tidak merasa seperti orang yang sedang mendaki gunung---orang-orang bayaran itulah yang melakukannya untukku. Meskipun aku dengan sukarela menerima peran ini agar bisa mendaki Puncak Everest dengan Hall, aku tidak akan pernah terbiasa dengan semua ini. Jadi, aku benar-benar gembira ketika, pada pukul 07.10, Hall tiba di balkon dan mengatakan aku boleh meneruskan pendakian.
     Orang pertama yang aku lewati saat aku mulai mendaki adalah Lopsang, yang sedang berlutut di atas salju, diatas muntahannya sendiri. Biasanya, Lopsang adalah pendaki terkuat diantara kelompok pendaki manapun yang bersamanya, meskipun dia tidak menggunakan oksigen tambahan. Seperti yang pernah dia katakan dengan bangga kepadaku saat ekspedisi berakhir, "Dalam setiap pendakian, aku selalu menjadi orang yang terdepan, aku yang menyiapkan lintasan tali. Pada ekspedisi Everest 1995, ketika aku mendaki bersama Rob Hall, akulah pendaki pertama yang berangkat dari Base Camp menuju puncak, dan menyiapkan tali." Posisinya yang hampir belakang dari kelompok pendaki Fischer pada pagi hari 10 Mei itu, kemudian dia memuntahkan seluruh isi perutnya, menunjukkan bahwa sesuatu yang salah telah terjadi.
     Sore kemarin, Lopsang sangat kelelahan karena harus mengangkut telepon satelit untuk Pittman, ditambah beban lain, dari Camp Tiga ke Camp Empat. Ketika Beidleman melihat Lopsang memanggul beban seberat empat puluh kilogram dibahunya, dia mengatakan kepada Lopsang untuk tidak membawa telepon itu ke Jalur Selatan. "Sebenarnya aku juga tidak ingin membawa telepon itu," Lopsang mengakui kemudian, juga bahwa telepon itu tidak berfungsi dengan baik saat mereka berada di Camp Tiga, dan mungkin akan lebih bermasalah jika dibawa ke lingkungan yang lebih dingin dan lebih keras seperti Camp Empat(*4). "Namun, Scott berkata kepadaku, jika kamu tidak mau membawanya, aku yang akan membawanya. Jadi kuambil telepon itu, mengikatnya diransel, dan membawanya sampai ke Camp Empat....Akibatnya, aku menjadi sangat lelah."
     Hari ini, Lopsang harus menarik Pittman dengan seutas tali pendek selama lima atau enam jam diatas Jalur Selatan, tugas yang menguras tenaganya sehingga dia tidak bisa menjalankan peran utamanya sebagai pendaki pertama yang membuat rute pendakian. Ketidak hadirannya yang tidak terduga membawa dampak pada pendakian hari itu, dan keputusannya untuk menarik Pittman memicu kritik dan menimbulkan kemarahan. "Saya tidak tahu, mengapa Lopsang harus menarik Sandy," kata Beidleman. "Dia tidak tahu lagi apa tugasnya diatas sana, apa prioritas utamanya."
     Pittman sendiri tidak pernah meminta untuk dibantu. Saat dia meninggalkan Camp Empat sebagai pendaki terdepan dari kelompok Fischer, tiba-tiba Lopsang menariknya kesamping dan mengikatkan seutas tali kebagian depan harness yang dipakainya. Kemudian, tanpa berkonsultasi, Lopsang mengikatkan tali itu ke tali pelana miliknya sendiri dan mulai menariknya. Sandy bersikeras bahwa perbuatan Lopsang diluar keinginannya. Namun, banyak orang meragukan kata-katanya: sebagai warga New York yang dikenal sangat berterus terang menyatakan kehendaknya (Sandy Pittman juga dikenal sangat keras kepala sehingga beberapa pendaki dari Selandia Baru di Base Camp menyebutnya "Sandy Pit Bull"), mengapa dia tidak melepaskan tali yang mengikat dirinya dengan Lopsang. Dia kan cuma perlu mengulurkan tangan dan melepaskan karabiner yang mengikat mereka berdua?
     Pittman berkilah bahwa dia menghormati kewenangan Lopsang sehingga dia tidak melepaskan tali itu---seperti katanya, "Saya tidak ingin menyakiti hati Lopsang." Sandy juga menambahkan bahwa meskipun dia tidak pernah melihat jam tangannya, dia ingat bahwa Lopsang hanya menariknya selama kira-kira satu jam sampai satu setengah jam(*5), dan bukan lima atau enam jam seperti yang dikatakan para pendaki, dan Lopsang mengiyakan kata-katanya.
     Lopsang sendiri, ketika ditanya mengapa dia menarik Sandy Pittman, yang jelas tidak disukainya dan kerap ditunjukkannya secara terus terang, memberikan beberapa jawaban yang berbeda. Kepada Peter Goldman, pengacara dari Seattle---yang pernah mendaki Broad Peak bersama Scott dan Lopsang pada 1995, yang juga merupakan teman lama dan teman Scott yang paling terpercaya---Lopsang mengatakan bahwa karena hari gelap, dia mengira Sandy adalah Lene Gammelgaard, salah seorang klien Fischer yang berasal dari Denmark. Dia juga langsung melepaskan tali tersebut setelah dia menyadari kekeliruannya, yaitu saat matahari mulai muncul. Namun, dalam rekaman wawancara yang lebih lengkap denganku, dengan sangat meyakinkan Lopsang mengakui bahwa dia sadar sepenuhnya sedang menarik Sandy dan sengaja melakukannya "karena Scott ingin agar semua anggota tim bisa tiba dipuncak. Aku pikir Sandy adalah anggota tim yang paling lemah, dan kecepatan mendakinya sangat lambat, jadi aku menolongnya."
     Lopsang yang sangat cerdas itu benar-benar setia kepada Fischer; Sherpa itu memahami betapa pentingnya membawa Pittman ke puncak bagi teman sekaligus majikannya itu. Bahkan saat terakhir kali Fischer berbicara dengan Jane Bromet dari Base Camp, Fischer berkata, "Jika aku berhasil membawa Sandy sampai ke puncak, dia pasti akan masuk ke dalam acara talkshow televisi. Menurutmu, apakah dia akan membawaku kedalam ketenaran dan kemeriahan?"
     Seperti yang dijelaskan oleh Goldman, "Lopsang benar-benar setia kepada Scott. Aku sendiri tidak percaya Lopsang mau menarik pendaki lain, jika dia tidak yakin bahwa Scott memang ingin dia melakukannya."
     Apapun yang memotivasinya, keputusan Lopsang untuk menarik seorang klien saat itu tidak dianggap sebagai kesalahan yang serius.  Namun, itu akan menjadi salah satu dari beberapa hal kecil---yang perlahan-lahan menumpuk, dan terus menumpuk yang tanpa terasa menjadi sangat membahayakan.

*1: Tabung-tabung oksigen kosong yang mengotori Jalur Selatan terus bertambah sejak 1950an, tetapi berkat program pembuangan sampah yang diawali pada 1994 oleh Scott Fischer melalui Sagarmatha Environmental Expedition, jumlah tabung oksigen bekas saat ini sudah jauh berkurang dari sebelumnya.
Penghargaan terbesar layak diberikan kepada salah seorang anggota ekspedisi bernama Brent Bishop (putra mendiang Barry Bishop, juru foto ternama dari majalah National Geoghrapic yang mencapai puncak Everest pada 1963), yang merumuskan sebuah kebijakan insentif yang berhasil, didanai oleh Nike, Inc. Melalui programnya, setiap Sherpa yang berhasil membawa tabung oksigen bekas dari Jalur Selatan akan menerima bonus berupa uang tunai untuk setiap tabung oksigen yang dibawanya. Beberapa perusahaan pemandu yang beroperasi diwilayah Everest, yaitu perusahaan Adventure Consultants milik Rob Hall, Mountain Madness milik Scott Fischer, dan Alpine  Ascents milik Tod Burleson menyambut dengan antusias peluncuran program Bishop dan berhasil membuang lebih dari delapan ratus botol oksigen dari bagian atas lereng gunung sejak 1994 sampai 1996.

*2: Beberapa klien dari tim ekspedisi Fischer memutuskan untuk tidak mendaki sampai puncak, diantaranya Dale Kruse, yang tinggal di Base Camp setelah sembuh dari serangan HACE, dan Pete Schoening, veteran pendaki legendaris berusia 68 tahun, yang memilih untuk tidak mendaki lebih dari Base Camp Tiga setelah pemeriksaan kardiogram yang dilakukan oleh dr.Hutchison, dr.Taske dan dr.Mackenzie menunjukkan adanya kelainan serius pada detak jantungnya.
+ Hampir semua Sherpa pendaki yang ikut dalam ekspedisi Everest 1996 berharap memperoleh kesempatan untuk mencapai puncak. Motif yang mendasari keinginan tersebut tidak jauh beda dengan motif para pendaki Barat, tetapi sebagian dari motivasi tersebut adalah kepastian pekerjaan: seperti dijelaskan oleh Lopsang, "seorang Sherpa yang sudah mendaki sampai puncak, akan mendapat pekerjaan dengan mudah. Semua orang ingin mempekerjakan Sherpa seperti itu

*3: Di Camp Empat, telepon itu sama sekali tidak berfungsi
*4: Pittman dan aku mendiskusikan semua ini dan beberapa kejadian lain dalam percakapan telepon yang berlangsung selama tujuh puluh menit, percakapan telepon yang terjadi enam bulan setelah kami kembali dari Everest. Selain penjelasan mengenai beberapa perincian tentang penarikan dirinya melalui seutas tali pendek oleh Lopsang, Pittman memintaku untuk tidak mengutip setiap bagian percakapan tersebut didalam buku ini, dan aku memenuhi permintaannya.

Kamis, 24 September 2015

Into Thin Air --- BAB XI --- BASECAMP 6 MEI 1996 --- 17.600 KAKI

Seberapa besar daya tarik pendakian gunung berasal dari kemampuannya mengubah hubungan pribadi menjadi hubungan yang lebih sederhana, kemampuannya mengurangi nilai persahabatan menjadi hubungan yang biasa-biasa saja (seperti perang), kemampuannya memengaruhi yang lain (gunung, tantangan) terhadap hubungan itu sendiri? Dibalik petualangan yang penuh mistik, ketegaran, sosok pengelana yang bebas---segala bentuk penangkal yang dibutuhkan sebagai penawar atas kesenangan dan kenyamanan budaya yang sudah menjadi elemen yang permanen---mungkin ada semacam penolakan yang bersifat kekanak-kanakan, keengganan untuk secara sungguh-sungguh menerima datangnya usia tua, menerima kerapuhan orang lain, tanggung jawab antar manusia dan segala bentuk kelemahan dan keengganan untuk menerima jalan hidup yang lambat dan membosankan....
     Para pendaki ulung....bisa merasa sangat tersentuh, bahkan merasa sangat sentimental; tetapi perasaan itu hanya ditujukan pada para martir bekas rekan-rekan mereka yang layak menerimanya. Semacam sikap tidak kenal kompromi yang hampir serupa, muncul dalam tulisan-tulisan Buhl, John Harlin, Bonatti, Bonington dan Haston: sikap tidak kenal kompromi terhadap kompetensi. Barangkali itulah arti pendakian ditempat tinggi: mencapai satu titik, tempat dimana seperti kata Haston, "Jika sesuatu yang salah terjadi, kita harus berjuang sampai akhir. Jika Anda cukup terlatih, Anda akan bertahan hidup; jika tidak, alam akan meminta korban."

David Roberts
"Patey Agonistes"
Moments of Doubt

Tanggal 6 Mei---pukul 04.30 pagi, kami meninggalkan Base Camp untuk memulai perjalanan terakhir menuju puncak. Puncak Everest, yang berada dua mil vertikal diatasku, tampak sangat jauh dan tidak terjangkau sehingga aku berusaha untuk membatasi pikiranku hanya sampai Camp Dua, tujuan akhir perjalanan kami hari itu. Ketika sinar matahari pertama mengenai permukaan gletser, aku sudah berada pada ketinggian 20.000 kaki, di mulut Cwm Barat. Aku bersyukur karena Jeram Es sudah berada dibawahku dan aku hanya perlu melewatinya satu kali lagi, kelak dalam perjalanan terakhir menuruni gunung.
     Panasnya udara di Cwm selalu menggangguku setiap kali aku melewatinya, tidak terkecuali hari ini. Sambil mendaki bersama Andy Harris mendahului anggota kelompok yang lain, aku terus menerus menyisipkan segumpal salju ke bawah topiku dan bergerak secepat kaki dan paru-paruku bisa membawaku, berharap bisa tiba dibawah kenyamanan tenda sebelum sinar matahari merobohkanku. Pagi berjalan dengan sangat lambat, dan matahari yang bersinar terik membuat kepalaku berputar. Lidahku terjulur keluar sehingga aku kesulitan bernapas melalui mulut dan aku sadar diriku semakin sulit berpikir jernih.
     Andy dan aku tiba di Camp Dua pada pukul 10.30 pagi. Setelah meneguk dua liter Gatorade, keseimbanganku pulih kembali. "Menyenangkan bukan bahwa akhirnya kita berjalan menuju puncak?" Tanya Andy. Dia terus menerus terserang berbagai jenis penyakit perut hampir selama ekspedisi berlangsung, tetapi akhirnya kekuatannya bisa pulih. Sebagai guru yang sangat berbakat yang dikaruniai kesabaran yang luar biasa, Andy sering ditugasi untuk mengawasi pendaki yang lebih lamban yang mendaki di ujung antrean. Dia merasa gembira ketika pagi ini Rob memintanya untuk mendaki paling awal. Sebagai pemandu junior dalam tim ekspedisi Hall dan satu-satunya pemandu yang belum pernah mendaki Everest, Andy sangat ingin membuktikan kemampuannya kepada rekan-rekannya yang lebih berpengalaman. "Kupikir, kita akan mampu menaklukkan gunung besar ini," katanya kepadaku sambil tersenyum lebar, matanya menatap ke arah puncak.
     Beberapa saat kemudian, Goran Kropp, pendaki solo dari Swedia berusia dua puluh sembilan tahun, melewati Camp Dua dalam perjalanan turun menuju Base Camp; dia tampak letih. Pada 16 Oktober 1995, Kropp meninggalkan Stockholm dengan mengendarai sepeda yang dirancang khusus dan membawa 120 kilogram beban. Dia bermaksud untuk melakukan perjalanan pulang dan pergi dari Swedia  yang letaknya di tepi laut dan mendaki Everest dengan kekuatan sendiri, tanpa bantuan para Sherpa maupun botol oksigen. Ambisi yang sangat tinggi, tetapi Kropp percaya dia bisa memenuhinya. Kropp sudah enam kali ikut dalam ekspedisi Himalaya, melakukan pendakian solo untuk menundukkan puncak-puncak Broad Peak, Cho Oyu dan K2.
     Saat menempuh 8.000 mil perjalanan ke Kathmandu, dia dirampok oleh sekelompok anak sekolah Rumania dan diserang oleh sekelompok orang di Pakistan. Di Iran, seorang pengendara sepeda motor yang berang, memukul kepalanya (yang untungnya) tertutup helm dengan sebuah pemukul bisbol. Akhirnya, awal April lalu dia tiba juga dikaki Everest dalam keadaan sehat walafiat diikuti oleh sekelompok pekerja film dan langsung melakukan program aklimatisasi dengan mendaki dan menuruni gunung. Pada Rabu, 1 Mei, dia berangkat menuju Base Camp untuk melakukan pendakian terakhir menuju puncak.
     Kropp tiba dikemahnya yang terletak di Jalur Selatan pada ketinggian 26.000 kaki pada Selasa sore, dan berangkat menuju puncak keesokan harinya, beberapa saat lewat tengah malam. Sepanjang hari itu, semua orang yang ada di Base Camp tidak beranjak jauh dari radio mereka dan dengan cemas menunggu kabar tentang pendakiannya. Di Base Camp kami, Helen Wilton menancapkan sebuah spanduk yang berbunyi, "Ayo, Goran, Maju Terus!"
     Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, puncak Everest hampir-hampir bebas dari terjangan angin kencang, tetapi salju dibagian atas gunung ketebalannya bisa mencapai paha sehingga sangat menghambat perjalanannya. Tanpa mengenal lelah, Kropp terus mendaki ditengah timbunan salju dan pada Selasa, sekitar pukul dua tengah hari dia sudah mencapai ketinggian 28.700 kaki, sedikit di bawah Puncak Selatan. Meskipun puncak Everest hanya tinggal enam puluh menit diatasnya, Kropp memutuskan untuk kembali karena dia percaya bahwa dia akan terlalu lelah untuk bisa turun jika dia memaksa untuk naik lebih tinggi.
     "Kembali setelah begitu dekat dengan puncak..." gumam Hall sambil menggelengkan kepala saat Kropp berjalan gontai melewati Camp Dua dalam perjalanannya menuruni gunung. "Anak muda itu ternyata punya penilaian yang baik. Saya benar-benar terkesan daripada jika dia memaksa  untuk terus mendaki dan mencapai puncak." Selama satu bulan terakhir berkali-kali Rob menguliahi kami tentang pentingnya memutuskan secara dini, pukul berapa kami harus turun kembali pada hari pendakian terakhir menuju puncak---untuk tim kami, Hall memutuskan kembali sekira pukul 13.00 atau paling lambat pukul 14.00---dan kami semua harus mematuhi keputusan itu, meskipun kami sudah berada sangat dekat dengan puncak. "Dengan tekad kuat, orang bodoh pun bisa mencapai puncak," kata Hall. "Yang sulit adalah kembali dalam keadaan hidup."
      Wajah Hall yang biasanya santai menunjukkan tekad kuat untuk berhasil---yang dia jabarkan secara sederhana, membawa sebanyak mungkin klien mencapai puncak. Untuk menjamin keberhasilan tersebut, Hall sangat memehartikan perincian: kesehatan para Sherpa, efisiensi sistem listrik tenaga surya dan ketajaman crampon para kliennya. Hall mencintai perannya sebagai pemandu, dan dia merasa sedih karena beberapa pendaki ternama---termasuk Sir Edmund Hillary---tidak menyadari betapa sulit tugas memandu dan kurang menghormati profesi pemandu seperti yang seharusnya.

Rob mengumumkan bahwa pada Selasa, 7 Mei merupakan hari istirahat sehingga kami bisa bangun siang dan duduk-duduk di Camp Dua, menunggu dengan harap-harap cemas pendakian terakhir menuju puncak yang akan berlangsung tidak lama lagi. Aku memeriksa crampon dan beberapa peralatan mendakiku yang lain, kemudian mencoba membaca buku Carl Hiaasen, tetapi pikiranku selalu kembali pada pendakian sehingga aku membaca kalimat-kalimat yang sama berulang-ulang tanpa memahami artinya.
     Akhirnya, aku menutup buku yang sedang kubaca, membuat beberapa foto Doug yang sedang berpose sambil membawa bendera yang diberikan anak-anak sekolah di Kent, bendera yang harus dia bawa sampai ke puncak. Aku bertanya kepada Doug tentang kesukaran-kesukaran yang mungkin dihadapi saat berada dipuncak nanti berdasarkan pengalamannya tahun lalu. "Saat kita tiba di puncak nanti," katanya sambil mengerutkan dahi, "kujamin sekujur tubuhmu akan terasa sakit." Doug bertekad untuk ikut mendaki sampai puncak, meskipun tenggorokannya masih terasa sakit dan kekuatannya masih belum pulih. Berkali-kali dia berkata, "Terlalu banyak yang sudah kupertaruhkan untuk pendakian ini. Aku tidak bisa mundur sekarang, dan akan mempertaruhkan apa pun untuk sampai diatas."
     Sore harinya Fischer melewati perkemahan kami dengan rahang terkatup erat. Tidak seperti biasanya, kali ini dia berjalan gontai menuju perkemahannya. Biasanya Fischer selalu tampak bersemangat; dia sangat senang mengucapkan kalimat ini, "jika kamu selalu mengeluh, kamu tidak akan bisa mencapai puncak. Mumpung kita ada ditempat ini, sebaiknya kita jadikan pengalaman ini sesuatu yang menyenangkan." Namun, saat dia melewati kami sore itu, Scott sama sekali tidak tampak bersemangat; sebaliknya dia kelihatan cemas dan lelah.
     Oleh karena Scott selalu membebaskan kliennya untuk mendaki dan menuruni gunung sendiri selama periode aklimatisasi, berkali-kali dia dipaksa melakukan perjalanan cepat antar Base Camp dan dua perkemahan diatasnya untuk membantu kliennya yang menghadapi masalah dan perlu dipandu. Scott pernah membantu Tim Madsen, Pete Schoening dan Dale Kruse. Dan sekarang ini, saat kami semua sangat membutuhkan istirahat, dia dipaksa untuk bolak balik antara Camp Dua dan Base Camp untuk membantu teman baik Kruse yang diduga terserang HACE.
     Fischer tiba di Camp Dua sekira tengah hari kemarin---hanya beberapa saat setelah Andy dan aku kembali dari Base Camp---jauh mendahului semua kliennya; dia sudah meminta kepada pemandunya, Anatoli Boukreev, untuk membawa para pendaki yang tertinggal agar lebih dekat dengan pendaki lain dan mengawasi setiap orang. Namun, Boukreev mengabaikan perintah Fischer: dia tidak mendaki bersama anggota kelompoknya, tetapi tidur sampai siang, mandi dan meninggalkan Base Camp lima jam setelah klien terakhir berangkat. Jadi ketika Kruse ambruk di ketinggian 20.000 kaki karena serangan sakit kepala yang hebat, Boukreev masih berada jauh dari tempat itu. Fischer dan Beidleman terpaksa turun dari Camp Dua untuk mengatasi keadaan darurat, sesaat setelah berita tentang Kruse diterima melalui seorang pendaki yang datang dari Cwm Barat.
     Tidak lama setelah Fischer tiba ditempat Kruse dan dengan susah payah memandunya turun menuju Base Camp, di puncak Jeram Es mereka bertemu dengan Boukreev yang sedang mendaki sendirian. Dengan keras Fischer menegur pemandunya karena melalaikan kewajibannya. "Ya," kata Kruse sambil mengingat-ingat, "Scott benar-benar marah kepada Toli. Dia meminta penjelasan, mengapa Toli berada sangat jauh dibelakang pendaki lain---mengapa dia tidak mendaki bersama pendaki yang lain."
     Menurut Kruse dan beberapa klien Fischer yang lain, hubungan Fischer dan Boukreev memang tegang selama ekspedisi berlangsung. Fischer membayar Boukreev 25.000 dolar---bayaran yang sangat mahal untuk seorang pemandu Everest (pemandu lain digunung itu hanya menerima antara 10.000-15.000 dolar; sementara seorang pendaki Sherpa yang terlatih hanya menerima 1.400-2.500 dolar)---tetapi kinerja Boukreev tidak sesuai dengan harapannya. "Toli memang pendaki yang sangat kuat dan menguasai teknik-teknik pendakian dengan sangat baik, " Kruse menjelaskan, "tetapi dia tidak bisa bersosialisasi. Dia tidak mengawasi pendaki lain. Pendeknya, dia tidak bisa bermain sebagai anggota tim. Saya pernah berkata kepada Scott bahwa saya tidak mau dipandu oleh Toli saat kami berada diatas sana karena saya ragu-ragu bahwa saya bisa mengandalkannya saat bantuannya sangat dibutuhkan."
     Masalahnya, pemahaman Boukreev dan Fischer tentang arti tanggung jawab memang berbeda. Sebagai orang Rusia, Boukreev dibesarkan dalam budaya yang keras, penuh kebanggaan ditengah kehidupan yang sangat sulit, yang tidak biasa memanjakan si lemah. Di negara-negara Eropa Timur, para pemandu dilatih untuk berperan lebih kurang seperti para Sherpa---mengangkat beban, membuat lintasan tali, menetapkan rute---dan bukan sebagai pengasuh. Boukreev yang bertubuh tinggi, berambut pirang dengan wajah Slavia yang tampan, merupakan salah seorang pendaki yang paling andal didunia. Dia sudah mengantongi dua puluh tahun pengalaman sebagai pendaki Himalaya, termasuk dua kali  menaklukkan Everest yang dia lakukan tanpa bantuan oksigen. Dan, selama perjalanan kariernya yang cemerlang, dia telah merumuskan sejumlah kode etik yang meskipun kurang lazim, tetapi dipegang dengan teguh, yaitu kode etik tentang cara mendaki gunung secara layak. Boukreev percaya bahwa seorang pemandu tidak boleh terlalu memanjakan kliennya, keyakinan yang kerap dia katakan dengan terus terang. "Jika seorang klien tidak mampu mendaki Everest tanpa dukungan kuat dari seorang pemandu," katanya kepadaku, "klien tersebut tidak seharusnya berada di Everest. Jika dipaksakan, dia akan menghadapi masalah besar saat berada dipuncak sana."
    Penolakan atau ketidak mampuan Boukreev untuk menjalankan perannya sebagai pemandu konvensional sesuai dengan tradisi Barat, membuat Fischer kesal. Sikap Boukreev memaksa Fischer dan Beidleman memikul beban yang tidak seimbang karena keduanya harus lebih ketat mengawasi para pendaki yang tergabung dalam tim mereka. Memasuki bulan Mei, beban berat tersebut mulai memengaruhi kesehatan Fischer. Pada hari, 6 Mei, setibanya di Base Camp setelah mengawal Kruse  yang sedang sakit, Fischer menggunakan telepon satelit untuk menghubungi rekan bisnisnya di Seattle, Karen Dickinson dan staff humasnya, Jane Bromet(*1), untuk mengeluhkan tentang Boukreev yang terlalu teguh pada pendiriannya. Kedua wanita itu sama sekali tidak mengira bahwa itu merupakan pembicaraan terakhir mereka dengan Fischer.
    
Pada 8 Mei, tim ekspedisi Hall dan Fischer berangkat menuju Camp Dua untuk mengawali pendakian yang berat melewati lintasan tali yang terentang dipermukaan Lhotse Face. Dua ribu kaki dari kaki Cwm Barat, tepat dibawah Camp Tiga, sebongkah batu sebesar pesawat kecil meluncur dengan cepat menuruni lereng yang curam dan jatuh tepat didada Andy Harris. Batu itu membuat pijakan kakinya terlepas, kehilangan keseimbangan dan selama beberapa menit dia bergantung pada lintasan tali dalam keadaan shock. Seandainya dia tidak terikat dengan alat mendaki mekaniknya, Andy pasti sudah jatuh dan tewas.
     Ketika tiba diperkemahan, Andy masih tampak terguncang, tetapi menurutnya, dia tidak terluka. "Barangkali badan saya akan sedikit kaku esok pagi," katanya, "tetapi, saya kira batu sialan itu tidak banyak membuat kerusakan, kecuali beberapa memar." Sesaat sebelum batu itu mengenainya, Andy sedang membungkuk dengan kepala tertunduk; hanya sesaat sebelum batu itu mengenainya secara kebetulan dia mendongak sehingga batu itu hanya menggesek pipinya sebelum kemudian menimpa tulang dadanya. "Kalau batu itu menimpa kepalaku....," Andy berandai-andai dengan muka meringis sambil menurunkan ranselnya, membiarkan kalimatnya tidak selesai.
     Camp Tiga merupakan satu-satunya perkemahan diseluruh gunung yang hanya diperuntukkan bagi para pendaki, tanpa para Sherpa (birainya terlalu kecil untuk membangun tenda yang bisa menampung kami semua), sehingga ditempat itu kami harus memasak sendiri---termasuk mencairkan sejumlah besar bongkahan es untuk air minum. Oleh karena hampir semua pendaki menderita dehidrasi berat akibat sulitnya bernapas ditengah udara yang minim oksigen, setiap orang harus mengonsumsi lebih dari satu galon cairan setiap hari. Karena itu, kami harus mampu menyediakan kira-kira dua belas galon air untuk memenuhi kebutuhan delapan pendaki dan tiga pemandu. Sebagai orang pertama yang tiba diperkemahan pada 8 Mei, tugas sebagai pemotong es jatuh ke pundakku. Selama tiga jam, ketika rekan-rekanku satu persatu memasuki perkemahan dan masuk ke dalam kantong tidur mereka, aku terus menerus berada diudara terbuka, menetak tebing es dengan beliung dari kapak es ku, mengisi kantong-kantong plastik dengan potongan-potongan es beku dan membagikannya ke tenda-tenda untuk dicairkan. Pada ketinggian 24.000 kaki, tugas seperti itu ternyata sangat melelahkan. Setiap kali salah seorang rekanku berteriak, "Hai, Jon! Apa kamu masih berada diluar? Kami perlu lebih banyak es di sini!" aku semakin menyadari, betapa besar bantuan yang diberikan para Sherpa kepada kami, dan betapa kecil penghargaan kami terhadap mereka.
     Menjelang sore, matahari mulai bergerak mendekati cakrawala dan udara mulai berubah dingin. Semua orang, masuk ke dalam kemah, kecuali Lou Kasischke, Frank Fishbeck dan Rob, yang dengan sukarela memilih untuk meronda dan tiba diperkemahan sebagai yang terakhir. Sekitar pukul 16.30, pemandu Mike Groom menerima telepon dari Rob melalui walkie talkie: Lou dan Frank masih beberapa ratus meter dibawah perkemahan dan bergerak dengan sangat perlahan: bisakah Mike turun untuk membantu mereka? Dengan cepat Mike mengenakan kembali cramponnya, kemudian menghilang dibalik tebing, menuruni tali yang terentang tanpa mengeluh sedikit pun
     Kira-kira sejam kemudian dia muncul kembali didepan pendaki lain. Lou yang sangat kelelahan dan membiarkan Rob membawakan ranselnya, berjalan tertatih-tatih menuju perkemahan dengan wajah yang pucat dan putus asa, sambil bergumam, "Habis riwayatku. Habis riwayatku. Aku benar-benar kehabisan oksigen." Beberapa menit kemudian, Frank muncul dengan muka yang bahkan lebih lelah lagi, tetapi dia menolak memberikan ranselnya kepada Mike. Aku benar-benar terkejut melihat mereka dalam kondisi seperti itu, padahal keduanya mampu mendaki dengan baik belakangan ini. Menurunnya kondisi Frank yang tampak nyata merupakan pukulan keras: Sejak awal ekspedisiku selalu beranggapan bahwa seandainya beberapa anggota tim berhasil mencapai puncak, Frank---yang sudah tiga kali mendaki gunung ini---pasti termasuk satu di antara mereka.
    
Ketika kegelapan mulai menyelimuti perkemahan, para pemandu membagi-bagikan tabung oksigen, regulator dan masker untuk setiap orang: untuk pendakian selanjutnya, kami akan bernapas dengan bantuan  gas yang sudah dimampatkan.
     Digunakannya oksigen botol untuk mendukung  pendakian telah memicu perdebatan sengit sejak pertama kali orang-orang Inggris menggunakannya dalam ekspedisi Everest 1921. (Orang-orang Sherpa yang skeptis menamai tabung yang sulit dibawa itu "napas orang Inggris"). Pada mulanya orang yang paling mengkritik penggunaan oksigen botol saat mendaki adalah George Leigh Mallory, yang memprotesnya sebagai tindakan "tidak sportif, dan tidak bergaya Inggris." Namun, dengan cepat orang menyadari bahwa di Zona Kematian, yaitu wilayah yang berada pada ketinggian diatas 25.000 kaki, tanpa oksigen tambahan, tubuh manusia sangat rentan terserang High Altitude Pulmonary Edema (HAPE---Pembengkakan Paru-Paru Akibat Ketinggian), High Altitude Cerebral Edema (HACE---Pembengkakan Otak Akibat Ketinggian), hipotermia (menurunnya suhu tubuh secara drastis), gigitan udara dingin dan beberapa penyakit ketinggian  yang mematikan. Pada 1924, saat dia kembali untuk melakukan ekspedisi yang ketiga, Mallory yakin bahwa puncak Everest tidak mungkin bisa ditaklukkan tanpa bantuan oksigen, dia pun menyerah dan mulai menggunakannya.
     Sejumlah uji coba yang dilakukan diruangan yang tekanan udaranya bisa diatur menunjukkan bahwa tubuh manusia bertahan dengan baik di bawah udara laut, sebaliknya dipuncak Everest, yang kandungan oksigennya hanya sepertiga dari kandungan udara laut, hanya dalam beberapa menit, manusia akan kehilangan kesadaran, disusul dengan kematian. Namun, beberapa pendaki gunung yang idealis bersikeras bahwa seorang atlet berbakat yang dikaruniai ketahanan fisik yang benar-benar baik, setelah melalui periode aklimatisasi yang cukup, seharusnya bisa mencapai puncak tanpa bantuan oksigen botol. Berdasarkan pemikiran ekstrem tersebut, dengan tegas mereka menyatakan bahwa penggunaan oksigen saat mendaki merupakan tindakan curang.
     Pada 1970, seorang pendaki ternama dari Tyrolean, Reinhold Messner, yang menolak pemakaian tabung oksigen saat mendaki gunung, menyatakan bahwa dia akan mendaki Everest "dengan cara yang jujur", atau tidak sama sekali. Tidak lama kemudian, Messner dan seorang mitra lamanya seorang warga Austria bernama Peter Habeler, membuat dunia pendakian takjub karena berhasil membuktikan teorinya: pada 8 Mei 1978, pukul 13.00, mereka berdua mencapai puncak Everest melalui Jalur Selatan dan Lereng Tenggara tanpa bantuan oksigen botol. Peristiwa itu disambut oleh beberapa kelompok pendaki sebagai penaklukkan pertama Everest yang sesungguhnya.
     Akan tetapi, prestasi Messner dan Habeler yang bersejarah tidak disambut gembira oleh semua pendaki, terutama oleh para Sherpa. Banyak warga Sherpa yang tidak percaya ada orang Barat yang mampu meraih prestasi itu, dalam arti bahwa mereka bisa mengalahkan orang-orang Sherpa yang paling kuat. Kemudian tersebar desas desus yang menyatakan bahwa Messner dan Habeler menggunakan tabung oksigen mini yang disembunyikan dibalik pakaian mereka. Tenzing Norgay dan beberapa tokoh Sherpa menanda tangani petisi yang meminta Pemerintah Nepal untuk melakukan penelitian resmi tentang pendakian tersebut.
     Namun, bukti-bukti yang mendukung bahwa pendakian tersebut memang dilakukan tanpa oksigen sulit dipatahkan. Dua tahun kemudian, Messner membungkam semua keraguan dengan mendaki Everest dari wilayah Tibet, sekali lagi tanpa oksigen---kali ini dia melakukannya sendirian tanpa bantuan Sherpa atau siapapun. Ketika dia mencapai puncak pada 20 Agustus 1980, pukul 15.00, setelah mendaki menembus awan tebal dan hujan salju, Messner berkata, "Saya terus menerus merasa sangat tersiksa; belum pernah saya merasa lebih lelah sepanjang hidup saya." Dalam bukunya The Crystal Horizon, buku yang mengisahkan pendakian tersebut, Messner menggambarkan perjuangannya menempuh beberapa meter terakhir menuju puncak,

Ketika saya beristirahat, saya merasa benar-benar tidak bernyawa, kecuali tenggorokan saya yang seperti terbakar setiap saya menarik napas.... Saya hampir-hampir tidak mampu melanjutkan. Tidak ada rasa putus asa, tidak ada kebahagiaan, tidak ada rasa cemas. Saya kehilangan kemampuan untuk merasakan, saya tidak merasakan apa pun. Saya hanya memiliki tekad. Setelah berjalan beberapa meter, tekad itu pun mulai sirna dikalahkan oleh perasaan lelah yang seakan tidak berakhir. Kemudian, saya tidak memikirkan apa-apa. Saya membiarkan diri saya jatuh, hanya terbaring ditempat itu. Untuk waktu yang tidak terbatas, saya tidak bisa membuat keputusan apa-apa. Kemudian, saya berjalan beberapa langkah.

Setelah Messner kembali ke peradaban, pendakiannya disambut luas sebagai keberhasilan terbesar dalam dunia pendakian.
     Setelah Messner dan Habeler membuktikan bahwa Everest dapat ditaklukkan  tanpa bantuan oksigen, sejumlah kader pendaki yang ambisius sepakat bahwa gunung itu seyogianya didaki tanpa bantuan oksigen. Sejak saat itu, jika seorang pendaki ingin dikelompokkan sebagai pendaki elite Himalaya, mereka harus bisa menaklukkannya tanpa oksigen botol. Sampai 1996, enam puluh pria dan wanita berhasil mencapai puncak tanpa bantuan oksigen---tetapi lima diantaranya tewas dalam perjalanan menuruni gunung.
     Betapapun besarnya ambisi pribadi dari beberapa pendaki, tidak satupun anggota tim ekspedisi Hall yang berpikir untuk mencapai puncak tanpa bantuan oksigen. Bahkan Mike Groom, yang tiga tahun lalu mendaki Everest tanpa bantuan oksigen, menjelaskan kepadaku bahwa kali ini dia berniat menggunakannya karena dia berperan sebagai pemandu. Dari pengalaman terdahulu, dia tahu bahwa tanpa oksigen botol dia akan menjadi sangat lemah---fisik maupun mental---sehingga dia tidak akan bisa memenuhi tanggung jawab profesionalnya. Seperti para veteran Everest lain, Groom percaya bahwa meskipun mendaki gunung tanpa oksigen sudah diterima secara luas---bahkan secara estetika lebih disukai---jika seorang pendaki sedang mendaki sendirian, tetapi melakukannya saat dia berperan sebagai pemandu menunjukkan sikap yang kurang bertanggung jawab.
     Sistem oksigen mutakhir buatan Rusia yang digunakan oleh Hall terdiri atas sebuah masker oksigen plastik yang kaku, seperti yang kerap digunakan para pilot pesawat tempur MIG selama Perang Vietnam. Masker tersebut dihubungkan oleh sebuah selang karet dan sebuah regulator yang sederhana pada sebuah tabung gas baja berwarna oranye dan tabung Kevlar. (Lebih kecil dan lebih ringan daripada tangki penyelam, masing-masing seberat 3.3 kilogram jika terisi penuh). Meskipun dalam kunjungan terakhir ke Camp Tiga kami tidak menggunakan oksigen saat tidur, sekarang, karena kami akan melakukan pendakian terakhir menuju puncak, Rob menyarankan agar sepanjang malam kami menggunakannya. "Setiap detik kita berada pada ketinggian ini dan diatasnya," katanya mengingatkan, "tubuh dan otak kita akan rusak. Sel-sel otak akan mati. Darah akan mengental dan menjadi setengah padat, dan itun sangat berbahaya. Selain itu, akan terjadi pendarahan spontan pada pembuluh rambut seputar retina. Bahkan saat kita beristirahat, jantung kita akan berdetak lebih kencang. Rob berjanji bahwa "Oksigen botol akan memperlambat kerusakan dan membantu setiap orang untuk tidur."
     Aku berusaha untuk mengikuti anjuran Rob, tetapi sifat klaustrofobiaku yang tidak pernah jauh dari permukaan terus mengusikku. Setiap aku memasang masker diatas hidung dan mulutku, aku berpikir masker itu akan membuat sesak napas, jadi setelah beberapa jam yang sangat menyiksa, aku melepaskannya dan untuk selanjutnya bernapas tanpa menggunakan oksigen botol, terbaring dengan gelisah, memeriksa jam tanganku setiap dua puluh menit, untuk melihat kalau-kalau aku sudah boleh bangun. Seratus kaki dibawah perkemahan kami, diatas lereng yang juga curam, berdiri beberapa tenda dari tim ekspedisi lain---termasuk perkemahan kelompok Fischer, kelompok Afrika Selatan dan Taiwan. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, yaitu pada 9 Mei---ketika aku sedang memakai sepatu untuk mendaki ke Camp Empat, Chen Yu Nan, seorang pekerja pabrik baja dari Taipei berusia tiga puluh enam tahun, merangkak keluar dari tendanya untuk membersihkan sepatunya sambil berdiri di atas sepatu gunungnya yang licin---sebuah kesalahan yang sangat fatal.
     Saat dia jongkok, Yu Nan kehilangan keseimbangan dan terguling sepanjang Lhotse Face. Secara menakjubkan, setelah meluncur sejauh 70 kaki, dia terperosok ke dalam sebuah celah gletser dengan kepala didepan sehingga jatuhnya agak tertahan. Para Sherpa yang melihat kejadian itu menurunkan seutas tali dan dengan cepat menariknya keluar dari dalam celah gletser, kemudian membantunya kembali ke tenda. Meskipun tubuhnya terbanting-banting dan dia sangat ketakutan, tetapi lukanya tidak terlalu serius. Saat itu, tidak ada anggota kelompok Hall, termasuk aku, yang mengetahui tentang peristiwa tersebut.
     Tidak lama kemudian, Makalu Gau dan seluruh anggota kelompok Taiwan berangkat menuju Jalur Selatan meninggalkan Chen sendirian di tendanya untuk memulihkan diri. Meskipun Gau sudah berjanji kepada Rob dan Scott bahwa dia tidak akan mendaki puncak pada 10 Mei, jelas kelihatan bahwa dia sudah berubah pikiran dan sekarang dia berniat mendaki puncak pada hari yang sama dengan kami.
     Sore itu, seorang Sherpa bernama Jangbu yang turun ke Camp Dua setelah membawa beban sampai di Jalur Selatan berhenti di Camp Dua untuk memantau kondisi Chen, dan mendapati bahwa kondisi pendaki Taiwan itu memburuk dengan cepat: selain kehilangan orientasi, dia juga sangat kesakitan. Setelah memutuskan bahwa dia perlu dievakuasi, Jangbu merekrut dua warga Sherpa lain dan mulai mengawal Chen menuruni Lhotse Face. Tiga ratus kaki dari dasar lereng es, tiba-tiba Chen roboh dan pingsan. Beberapa saat kemudian, radio David Breashers, yang saat itu sedang berada di Camp Dua, berbunyi: panggilan dari Jangbu yang melaporkan dengan suara panik bahwa Chen berhenti bernapas.
     Breashers dan rekannya dari tim IMAX, Ed Viesturs, bergegas naik untuk membantunya, tetapi saat mereka tiba ditempat Chen empat puluh menit kemudian, mereka tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan. Sore itu, setelah Gau tiba di Jalur Selatan, Breashers menghubunginya melalui radio, "Makalu," kata Breashers kepada pemimpin tim Taiwan itu, "Chen meninggal."
     "Baik," Gau menjawab. "Terima kasih atas informasinya." Kemudian dia meyakinkan para anggota timnya bahwa kematian Chen tidak akan mengubah rencana mereka untuk melakukan pendakian terakhir menuju puncak, dan mereka akan berangkat sesaat setelah tengah malam. Breashers benar-benar terkejut. "Saya baru saja menutupkan mata rekannya untuk dia," katanya dengan marah. "Saya baru saja membawa tubuh Chen ke bawah. Tetapi, Makalu cuma berkata, 'Baik'. Saya tidak tahu, barangkali budaya mereka memang seperti itu. Barangkali, dia berpikir bahwa cara terbaik untuk menghormati kematian Chen adalah dengan melanjutkan pendakian sampai kepuncak."
     Selama enam minggu terakhir, beberapa kecelakaan yang cukup serius telah terjadi: Tenzing jatuh kedalam celah gletser sebelum kami tiba di Base Camp; Ngawang Topche terserang HAPE dan kondisinya terus memburuk; seorang pendaki muda warga Inggris yang bertubuh sehat dari tim ekspedisi Mal Duff bernama Ginge Fullen terkena serangan jantung yang cukup serius didekat puncak Jeram Es; seorang warga Denmark dari tim ekspedisi Mal Duff bernama Kim Sejberg tertimpa bongkahan es yang jatuh ke Jeram Es, mematahkan beberapa tulang rusuknya. Namun, sampai saat itu, belum satu orang pun yang meninggal.
     Kematian Chen seperti membawa awan gelap ke seluruh gunung, saat kabar tentang kecelakaan yang menimpanya menyebar dari satu tenda ke tenda lain. Namun, tiga puluh pendaki sedang bersiap-siap untuk mendaki puncak dalam beberapa jam sehingga awan gelap itu dengan cepat menghilang digantikan oleh perasaan was-was menunggu kejadian selanjutnya. Hampir semua pendaki sudah dicekam oleh demam puncak, dan tidak ada satu pendaki pun yang mempunyai waktu untuk sungguh-sungguh memikrkan kematian salah seorang pendaki. Masih ada waktu untuk merenung, itulah yang kami pikirkan, yaitu setelah kami tiba dipuncak dan kembali ke bawah sana.