Jumat, 25 September 2015

Into Thin Air --- BAB XII --- CAMP TIGA 9 MEI 1996 --- 24.000 KAKI

Aku menatap ke bawah. Turun gunung sungguh mematikan selera....Terlalu banyak kerja keras, terlalu banyak malam tanpa tidur, dan terlalu banyak mimpi yang sudah ditanam yang membawa kami sampai sejauh ini. Kami juga tidak bisa kembali untuk mencoba lagi akhir minggu depan. Jika kami turun sekarang, meskipun kami bisa melakukannya, berarti kami menuruni sebuah masa depan yang berisi tanda tanya besar: apa yang mungkin terjadi?

Thomas F. Hornbein
Everest: The West Ridge

Di Camp Tiga, perasaan lesu dan pening muncul setelah semalaman aku tidak bisa tidur. Perlahan-lahan aku mengenakan pakaian, mencairkan es dan keluar dari tenda. Hari itu Selasa pagi, 9 Mei. Ketika aku sedang mengisi ransel dan memasang sepatu cramponku, hampir seluruh anggota tim ekspedisi Hall sudah mendaki lintasan tali menuju Camp Empat. Secara mengejutkan, Lou Kasischke dan Frank Fishbeck ada diantara para pendaki. Melihat kondisi mereka yang menyedihkan saat tiba diperkemahan kemarin malam, semula aku mengira keduanya pasti memutuskan untuk mundur. "Selamat untukmu, kawan-kawan," kataku menirukan logat teman-teman anggota timku yang berasal dari belahan bumi.selatan; aku terkesan karena rekan-rekanku mampu bangkit dan memutuskan untuk maju terus.
     Saat aku bergegas untuk bergabung dengan rekan-rekan satu timku, aku menoleh ke bawah dan melihat barisan panjang dari kurang lebih lima puluh pendaki anggota tim ekspedisi lain yang juga sedang bergerak menuju lintasan tali;  dan orang yang terdepan sudah berada tidak jauh di bawahku. Karena tidak ingin terjebak ditengah kemacetan  (yang memperbesar resiko tertimpa hujan batu yang meluncur dari lereng gunung diatasku, satu diantara beberapa bencana yang kerap terjadi), aku mempercepat langkah dan memutuskan untuk mendaki paling awal. Namun, karena lintasan tali yang meliuk-liuk di Lhotse Face hanya ada satu, tidak mudah bagiku untuk melewati para pendaki yang lamban.
     Peristiwa Andy tertimpa bongkahan batu masih melekat dalam ingatanku setiap aku melepaskan diri dari rentangan tali untuk melewati seorang pendaki---sebuah batu kecil sekalipun bisa mengirimku ke dasar lereng jika batu itu menimpaku ketika aku sedang tidak terkait pada lintasan tali. Selain itu, melewati beberapa pendaki bukan hanya menakutkan, melainkan juga melelahkan. Seperti sebuah mobil tua yang berusaha melewati sederetan mobil disebuah jalan mendaki, aku harus terus menerus menekan gas agar bisa melewati semua orang yang membuatku terengah-engah sehingga aku cemas akan muntah ke dalam masker oksigenku.
     Mendaki dengan menggunakan oksigen merupakan pengalaman pertama bagiku, dan perlu waktu agar aku terbiasa. Meskipun manfaat oksigen tambahan pada ketinggian ini---24.000 kaki---benar-benar nyata, pengaruhnya tidak segera terasa. Ketika aku sedang terengah-engah berusaha untuk mengembalikan napas setelah melewati tiga pendaki, masker yang kupakai justru membuatku merasa tercekik sehingga aku melepaskannya---tetapi kemudian kurasakan, bernapas tanpa masker ternyata lebih sulit lagi.
     Saat tiba dipuncak sebuah tonjolan batu gamping yang rapuh berwarna oranye yang dikenal dengan nama Yellow Band, barulah aku berhasil mendahului para pendaki lain, dan mulai mendaki dengan kecepatan yang lebih nyaman. Bergerak dengan lambat tetapi pasti, aku mendaki sambil melintas ke arah kiri melewati puncak Lhotse Face, kemudian aku turun ke haluan sebuah hamparan batu sekis hancur berwarna kehitaman yang lazim dikenal sebagai Geneva Spur. Akhirnya, aku mulai terbiasa bernapas dengan masker oksigen dan berada kurang lebih satu jam didepan pendaki terdekat. Kesendirian merupakan hal yang jarang dijumpai di Everest dan aku bersyukur karena aku bisa mendapatkannya hari ini, ditengah suasana alam yang mengagumkan seperti ini.
     Pada ketinggian 25.900 kaki, aku berhenti dipuncak the Spur untuk minum dan menikmati pemandangan. Udara tipis yang berkilat dan mengkristal membuat puncak-puncak yang letaknya jauh terasa cukup dekat untuk disentuh. Menjulang megah dibawah sinar matahari yang kemilau, tampak kerucut puncak Everest disela-sela gumpalan awan. Saat aku mengarahkan kamera jarak jauhku kebagian atas Punggung Tenggara, aku terkejut melihat empat titik kecil seperti semut yang sedang bergerak menuju Puncak Selatan. Aku menduga, mereka adalah para pendaki dari tim ekspedisi Montenegro; dan jika mereka benar-benar bisa sampai ke puncak, mereka akan menjadi tim pertama yang sukses menaklukkan puncak tahun ini. Itu berarti bahwa desas-desus yang kami dengar tentang salju yang sangat tebal ternyata tidak benar---dan jika mereka berhasil mencapai puncak, kami pun mungkin bisa mencapainya. Namun, lembaran-lembaran salju tertiup angin dari puncak lereng membawa pertanda buruk: tim Montenegro sedang berjuang keras untuk mendaki ditengah terjangan badai.
     Aku tiba di Jalur Selatan, tempat kami tinggal landas sebelum menuju puncak, pada pukul 13.00. Jalur Selatan merupakan sebuah plato terpencil tertutup es yang tebal dan bongkahan-bongkahan batu yang terus menerus diterjang angin, berada pada ketinggian 26.000 kaki diatas permukaan laut, sebuah takikan yang luas terletak antara Lhotse Face dan Puncak Everest. Bentuknya hampir empat persegi panjang, panjangnya kurang lebih empat kali panjang lapangan sepakbola dan lebarnya dua kali lebar lapangan sepak bola. Ujung timur dari Jalur Selatan melandai ke arah Tibet, kira-kira 7.000 kaki dibawah Kangshung Face; ujung yang lain menukik kurang lebih  4.000 kaki dibawah Cwm Barat. Tepat dibelakang mulut celah tersebut, diujung paling barat dari Jalur Selatan, berdiri tenda-tenda Camp Empat, diatas sebidang tanah kosong yang dikelilingi oleh lebih dari seribu botol oksigen yang sudah ditinggalkan.(*1). Seandainya diatas planet ini ada tempat yang lebih terpencil dan lebih tidak ramah dari tempat ini, kuharap aku tidak akan pernah melihatnya.
     Ketika angin kencang yang bertiup ke arah barat menerpa tubuh Everest, kemudian ditekan melewati Jalur Selatan yang berbentuk huruf V, kecepatan angin meningkat menjadi tidak terukur; tidak heran jika angin di Jalur Selatan lebih tinggi kecepatannya daripada angin yang menerjang puncak. Badai yang secara konstan melewati Jalur Selatan diawal musim semi menjelaskan mengapa batuan dan es ditempat itu tetap telanjang, meskipun salju tebal menutupi lereng gunung disekitarnya: apapun yang tidak membeku ditempat ini akan diterbangkan menuju Tibet.
     Ketika aku berjalan menuju Camp Empat, enam Sherpa sedang berjuang mendirikan tenda-tenda untuk tim ekspedisi Hall ditengah terjangan angin topan  dengan kecepatan 50-knot. Setelah membantu mereka membangun tenda perlindungan untukku, yang ku ikat pada beberapa botol oksigen bekas yang kutindih dengan batu terbesar yang bisa kuangkat, aku masuk ke dalamnya untuk menunggu kedatangan rekan-rekanku sambil menghangatkan kedua tanganku yang membeku.
     Cuaca semakin buruk seiring berjalannya hari. Lopsang Jangbu, sirdar tim Fischer, muncul dengan membawa empat puluh kilogram beban, lima belas kilogram diantaranya merupakan telepon satelit dan perlengkapannya; Sandy Pittman bermaksud mengirimkan berita melalui internet dari ketinggian  26.000 kaki. Rekan-rekan satu timku baru muncul pada pukul 16.30, dan pendaki-pendaki terakhir dari tim Fischer bahkan lebih lambat lagi, saat badai salju sedang mengamuk. Ketika hari gelap, kelompok Montenegro sudah berada kembali di Jalur Selatan dan melaporkan  bahwa mereka belum berhasil mencapai puncak: mereka dipaksa berbalik di bawah Hillary Step.
     Cuaca yang buruk dan menyerahnya tim Montenegro bukan pertanda baik bagi tim kami yang dijadwalkan akan mulai bergerak menuju puncak dalam waktu kurang dari enam jam. Semua orang mencari perlindungan di bawah tenda nilon mereka setibanya di Jalur Selatan, berusaha keras untuk tidur sejenak, tetapi suara kepakan tenda yang menyerupai suara senapan mesin, ditambah perasaan cemas memikirkan apa yang akan terjadi esok, membuat kami tidak mampu memejamkan mata.
     Stuart Hutchison---kardiolog muda dari Kanada---dan aku di tempatkan ditenda pertama; Rob, Frank, Mike Groom, John Taske dan Yasuko Namba menempati tenda kedua; Lou, Beck Weathers, Andy Harris dan Doug Hansen menempati tenda ketiga. Lou dan rekan-rekannya sudah setengah tidur ditenda mereka ketika sebuah suara asing tiba-tiba berteriak mengatasi suara badai, "Biarkan dia masuk, jika tidak, dia pasti mati diluar sana!" Lou membuka resleting tendanya, dan sesaat kemudian, seorang pria berjanggut roboh telentang dipangkuannya. Orang itu ternyata Bruce Herrod, pria ramah berusia tiga puluh tujuh tahun, wakil pemimpin tim ekspedisi Afrika Selatan, satu-satunya anggota tim Afrika Selatan yang tersisa yang memiliki pengalaman mendaki.
     "Bruce berada dalam kesulitan besar," kenang Lou, "tubuhnya gemetar tidak terkontrol, gerakannya kaku dan aneh, pokoknya dia tidak mampu melakukan apapun untuk dirinya sendiri. Dia terserang hipotermia hebat sehingga hampir-hampir tidak bisa bicara. Rekan-rekan satu timnya mungkin ada di satu tempat di Jalur Selatan, atau dalam perjalanan menuju Jalur Selatan. Namun, dia tidak tahu dimana mereka dan tidak bisa menemukan tendanya sehingga kami menyerah, memberinya sesuatu untuk diminum sambil mencoba menghangatkan tubuhnya."
     Kondisi Doug juga tampak buruk. "Sepertinya Doug kurang sehat," kenang Beck. "Beberapa hari terakhir ini dia mengeluh tidak bisa tidur dan tidak bisa makan. Namun, dia bertekad untuk mendaki jika waktunya tiba nanti. Aku sangat cemas; aku mulai memahami Doug dengan baik, dan aku sadar bahwa sepanjang tahun lalu, dia terus menerus dihantui oleh kegagalannya, padahal dia hanya tinggal tiga ratus kaki dari puncak sebelum dipaksa untuk turun kembali. Aku sungguh-sungguh waktu mengatakan bahwa Doug tidak pernah melewatkan sehari pun tanpa mengingat kegagalan itu. Tampak jelas bahwa Doug tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Doug akan terus mendaki menuju puncak, selama dia masih bisa bernapas."
     Lebih dari lima puluh pendaki berkemah di Jalur Selatan malam itu, berdesak-desakan didalam tenda-tenda yang letaknya berdampingan, tetapi perasaan terisolir yang aneh seakan-akan menggantung diudara. Deru angin tidak memungkinkan berkomunikasi dari tenda ke tenda. Ditempat yang terpencil ini, aku merasa benar-benar terpisah dari para  pendaki disekelilingku---baik secara emosional, spiritual dan secara fisik---perasaan terpisah yang belum pernah kurasakan dalam pendakian yang pernah kulakukan sebelumnya. Hanya dalam nama saja kami ini satu tim, pikirku dengan sedih. Meskipun dalam beberapa jam kami akan meninggalkan perkemahan sebagai tim, kami akan mendaki sebagai individu, tidak terikat oleh seutas tali ataupun oleh rasa setia kawan. Setiap orang melakukan pendakian ini untuk kepentingan masing-masing, termasuk aku; meskipun aku benar-benar berharap agar Doug bisa sampai ke puncak, misalnya, aku akan terus mendaki, seandainya Doug pada akhirnya memutuskan untuk kembali.
     Ditinjau dari konteks lain pemikiran seperti ini terasa menyedihkan, tetapi aku sendiri terlalu cemas memikirkan keadaan cuaca sehingga mau tidak mau memikirkan keadaan cuaca sehingga tidak mau memikirkan masalah ini lebih jauh. Jika topan ini tidak berhenti---dengan segera---kami semua tidak mungkin bisa mencapai puncak. Sepanjang minggu lalu, para Sherpa yang dipekerjakan oleh Hall telah menimbun kurang lebih 186 kilogram oksigen di Jalur Selatan---55 tabung. Meskipun kelihatannya banyak, jumlah itu hanya cukup untuk satu kali pendakian bagi tiga pemandu, delapan klien dan empat Sherpa. Selain itu, persediaan oksigen kami setiap waktu terus berkurang: bahkan pada saat kami berbaring dibawah tenda, kami terus menggunakan gas yang sangat berharga tersebut. Jika perlu, kami bisa mematikan oksigen oksigen dan tinggal dengan aman ditempat ini selama dua puluh empat jam: tetapi, sesudahnya kami akan memerlukannya, baik untuk naik maupun turun.
     Secara ajaib, pada pukul 19.30, topan mendadak reda. Herrod merangkak keluar dari tenda Lou dan berjalan terhuyung untuk mencari rekan-rekan satu timnya. Temperatur menunjukkan beberapa derajat dibawah nol, dan hampir-hampir tidak berangin: kondisi yang sempurna untuk menaklukkan puncak. Naluri Hall benar-benar hebat: sepertinya dia sudah memperhitungkan waktu pendakian secara tepat. "Hore! Stuart!" teriaknya dari tenda di sampingku. "Sepertinya kita bisa mulai bergerak, kawan. Bersiaplah, kita akan berangkat pada pukul 23.30."
     Ketika kami meneguk teh dan menyiapkan perlengkapan untuk mendaki, tidak ada seorang pun yang banyak bicara. Cukup banyak penderitaan yang sudah kami lalui sebelum kami tiba pada momentum ini. Seperti Doug, aku juga hanya bisa makan sedikit dan sama sekali tidak bisa tidur sejak meninggalkan Camp Dua, dua hari yang lalu. Setiap kali batukku kambuh, rasa sakit yang muncul akibat terkoyaknya tulang rawan dipangkal rusukku membuatku merasa seperti ada yang menusukkan sebilah pisau diantara tulang rusukku, membuatku menitikkan air mata. Namun, jika aku benar-benar ingin sampai di puncak, aku tidak punya pilihan selain mengabaikan perasaan sakitku dan terus mendaki.
     Dua puluh lima menit menjelang tengah malam, aku memasang masker oksigenku, menghidupkan lampu kepala, dan mendaki memasuki kegelapan. Ada lima belas orang didalam tim ekspedisi Hall: tiga pemandu, delapan klien dan empat Sherpa, yaitu Ang Dorje, Lhakpa Chhiri, Ngawang Norbu dan Kami. Hall meminta dua Sherpa---Arita dan Chuldum---untuk tetap tinggal di perkemahan sebagai tenaga pendukung, siap untuk membantu jika terjadi keadaan darurat.
     Tim Mountain Madness---yang terdiri atas Fischer, Beidleman dan Boukreev selaku pemandu; enam Sherpa dan enam klien, yaitu, Charlotte Fox, Tim Madsen, Klev Schoening, Sandy Pittman, Lene Gammelgaard dan Martin Adam---meninggalkan Jalur Selatan kira-kira setengah jam sesudah kami(*2). Tadinya Lopsang berniat hanya membawa lima Sherpa Mountain Madness untuk menemani para pendaki menuju puncak, meninggalkan dua orang Sherpa di Jalur Selatan sebagai cadangan. Namun kemudian dia berkata, "Scott sedang baik hati, dia mengatakan bahwa semua Sherpa boleh ikut sampai ke puncak."(*3).
Akan tetapi, pada menit-menit terakhir, Lopsang mengabaikan perintah Fischer dan meminta salah seorang Sherpa, yaitu sepupunya, "Big Pemba" untuk tetap tinggal diperkemahan. "Pemba marah kepadaku," Lopsang menjelaskan, "tetapi aku katakan kepadanya, 'Kamu harus tetap tinggal disini, jika tidak, aku tidak akan memberimu pekerjaan lagi'. Jadi, dia tetap tinggal di Camp Empat."
     Sesaat setelah tim Fischer meninggalkan perkemahan, Makalu Gau mulai mendaki ditemani dua Sherpa---secara terang-terangan melanggar janjinya sendiri untuk tidak mendaki pada hari yang sama dengan kami. Tadinya tim Afrika Selatan bermaksud untuk menuju puncak pada hari yang sama, tetapi perjuangan berat untuk mencapai Jalur Selatan dari Camp Tiga membuat mereka kelelahan, mereka bahkan tidak mampu keluar dari tenda.
     Dengan demikian, ada tiga puluh tiga pendaki yang meninggalkan perkemahan menuju puncak sekitar tengah malam hari itu. Meskipun kami meninggalkan Jalur Selatan sebagai anggota dari tiga tim ekspedisi yang berbeda, nasib kami mulai saling terikat---dan semakin erat terikat saat kami bergerak selangkah demi selangkah menuju puncak.
Suasana malam menampilkan keindahan yang dingin seperti dalam mimpi dan semakin tinggi kami mendaki, suasana menjadi bertambah indah. Bintang-bintang yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah bintang yang pernah kulihat, menghiasi langit yang membeku. Bulan yang hampir bulat merayap naik dari bahu puncak Makalu yang memiliki ketinggian 27.824 kaki, menyinari lereng gunung di bawah kakiku dengan sinarnya yang remang-remang sehingga aku tidak lagi membutuhkan lampu kepala. Jauh ke arah tenggara, sepanjang perbatasan India dengan Nepal, awan hujan yang sangat besar bergerak diatas rawa malaria, Terai, menampilkan gambar yang sangat indah, diselingi sinar kilat berwarna oranye dan biru.
     Setelah tiga jam meninggalkan Jalur Selatan, Frank merasa ada yang tidak beres dengan suasana hari ini. Dia keluar dari barisan, berbalik dan kembali ke perkemahan. Upaya keempatnya untuk mencapai puncak Everest pun berakhir.
     Tidak lama kemudian, Doug ikut menepi. "Saat itu, dia berjalan beberapa langkah didepanku," kenang Lou. "Mendadak dia keluar dari barisan, kemudian berdiri tegak ditempatnya. Ketika aku melewatinya, dia mengatakan bahwa badannya terasa dingin dan tidak nyaman dan dia memutuskan untuk kembali." Kemudian Rob yang mendaki dibelakang mereka, tiba disamping Doug, dan mereka berdua bercakap-cakap sebentar. Tidak ada yang mendengar percakapan mereka sehingga tidak ada yang tahu apa yang mereka bicarakan. Yang pasti, setelah percakapan itu, Doug kembali ke dalam barisan dan meneruskan pendakian."

Sehari sebelum meninggalkan Base Camp, Rob mengadakan pertemuan dengan seluruh anggota tim di Base Camp, mengingatkan kami tentang pentingnya mematuhi perintahnya saat kami melakukan pendakian akhir menuju puncak. "Aku tidak akan menolerir perselisihan dipuncak sana," katanya mengingatkan sambil menatap tajam ke arahku. "Kata-kataku merupakan hukum yang tidak bisa dibantah. Jika kalian tidak suka dengan salah satu keputusan yang aku tetapkan, dengan senang hati aku bersedia membahasnya kemudian, tetapi tidak saat kita berada diatas sana."
     Potensi konflik yang mungkin muncul adalah jika Rob memutuskan kami harus kembali saat kami sudah berada sangat dekat dengan puncak. Namun, ada hal lain yang dia cemaskan. Di akhir program aklimatisasi, Hall memberi kebebasan kepada kami untuk mendaki menurut kemampuan masing-masing---contohnya, Hall sering membiarkan aku mendaki dua jam atau lebih didepan anggota tim yang lain. Akan tetapi, sekali ini Hall menekankan bahwa sampai setengah perjalanan menuju puncak, semua orang harus mendaki secara berdekatan. "Sebelum kita semua berada di puncak Lereng Tenggara," katanya, seraya menyebut sebuah tonjolan besar di ketinggian 27.600 kaki yang lazim dikenal sebagai Balkon, "semua pendaki harus berada pada jarak seratus meter dari pendaki lain. Ini sangat penting. Kita akan mendaki di kegelapan, dan saya ingin para pemandu bisa mengawasi setiap pendaki dengan baik."
     Oleh karena itu, saat kami mendaki pada tengah keremangan fajar pada 10 Mei, pendaki yang berada didepan antrean terpaksa harus berhenti beberapa kali, menunggu dibawah udara dingin yang menusuk tulang sampai pendaki yang paling lambat mampu menyusul. Sekali waktu, Mike Groom, sirdar Ang Dorje dan aku harus duduk diatas birai yang tertutup es selama lebih dari empat puluh menit, menggigil kedinginan menumbuk-numbukkan kedua tangan dan kaki kami untuk mencegah gigitan salju, menunggu sampai para pendaki lain tiba. Namun, memikirkan terbuangnya waktu secara sia-sia ternyata lebih menyiksa daripada menahan siksaan akibat udara dingin.
     Pada pukul 03.45 pagi, Mike sekali lagi mengingatkan bahwa kami sudah mendaki terlalu cepat, dan sekali lagi kami harus berhenti untuk menunggu. Sambil merapatkan tubuh pada permukaan singkapan serpih, berupaya menghindari tiupan angin yang temperaturnya dibawah nol derajat yang bertiup dari arah barat, aku menatap ke bawah ke arah lereng terjal, berupaya mengenali para pendaki yang bergerak perlahan menuju ke arah kami dibawah sinar bulan. Ketika jarak mereka sudah cukup dekat, aku bisa melihat bahwa beberapa pendaki dari tim Fischer berhasil menyusul tim kami: dengan demikian, tim yang dipimpin Hall, tim Mountain Madness dan tim Taiwan berbaur secara tidak teratur, membentuk satu antrean panjang. Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang aneh.
     Enam puluh lima kaki dibawahku, sesosok tubuh tinggi terbungkus jaket dan celana berwarna kuning sedang mendaki ditarik oleh seorang Sherpa yang tubuhnya jauh lebih kecil melalui seutas tali yang panjangnya kira-kira 3 kaki; Sherpa yang tidak memakak masker oksigen itu tampak tersengal-sengal, menarik rekannya mendaki lereng seperti seekor kuda yang sedang menarik bajak. Pasangan yang aneh itu melewati beberapa pendaki lain dengan kecepatan lumayan, tetapi teknik yang digunakan---menarik pendaki yang lebih lemah atau terluka yang dikenal dengan metode tali pendek (short rope)---tampak sangat berbahaya dan tidak nyaman bagi kedua belah pihak. Setelah beberapa saat, aku mengenali Sherpa tersebut sebagai sirdar Fischer yang flamboyan, Lopsang Jangbu, sedangkan pendaki berpakaian serba kuning tersebut tak lain adalah Sandy Pittman.
     Pemandu Neal Beidleman, yang juga sempat menyaksikan Lopsang menarik Sandy Pittman, berkata, "Ketika saya melewati mereka, Lopsang sedang bersandar pada dinding lereng, berpegang erat pada dinding batu seperti seekor laba-laba, menarik Sandy melalui seutas tali yang pendek. Kelihatannya canggung dan sangat berbahaya. Saya tidak tahu harus berbuat apa."
     Sekitar pukul 04.15 pagi, Mike mengatakan bahwa kami boleh meneruskan pendakian, Ang Dorje dan aku mulai mendaki secepat mungkin untuk menghangatkan tubuh kami. Ketika sinar matahari pagi yang pertama menerangi ufuk timur, medan berbatu-batu dan bergelombang yang sedang kami lewati berubah menjadi selokan besar karena salju yang setengah mencair. Berganti-ganti Ang Dorje dan aku harus membuka jalan melewati tumpukan bubuk salju setinggi betis sampai akhirnya, pada pukul 05.30, kami tiba dipuncak Lereng Tenggara, tepat saat matahari mulai naik ke angkasa. Tiga dari lima puncak tertinggi didunia berdiri dihadapan kami, membentuk relief yang sangat terjal dengan latar belakang suasana fajar yang berwarna kekuningan. Altimeterku menunjukkan ketinggian 27.600 kaki.
     Hall sudah memperingatkan dengan tegas bahwa aku tidak boleh mendaki lebih tinggi lagi sebelum anggota tim yang lain tiba dibirai berbentuk balkon ini, jadi aku duduk diatas ranselku dan menunggu. Ketika Rob dan Beck akhirnya tiba dibelakang antrean pendaki, aku sudah duduk selama lebih dari sembilan puluh menit. Saat aku menunggu, tim Fischer dan tim Taiwan berhasil menyusul dan melewatiku. Aku merasa frustasi karena harus berada dibelakang pendaki lain. Namun, aku juga memahami jalan pikiran Hall, jadi aku berusaha mengendalikan perasaan marahku.
     Dalam kehidupanku sebagai pendaki yang sudah kujalani selama tiga puluh empat tahun, aku mendapati beberapa aspek yang sangat menguntungkan dari olahraga ini, yang sangat menekankan pada keterampilan fisik, kemampuan untuk membuat keputusan yang kritis, untuk menghadapi konsekuensi dan untuk meningkatkan tanggung jawab pribadi. Namun, jika Anda mendaftarkan diri untuk menjadi seorang klien, semua aspek positif itu tidak lagi kita dapatkan. Selain itu, demi alasan keselamatan, seorang pemandu yang bertanggung jawab akan menuntut agar dia dipatuhi---dia tidak akan bisa membiarkan kliennya membuat keputusan penting sendiri.
     Oleh karena itu, semua klien didorong untuk bersikap pasif selama ekspedisi berlangsung. Para Sherpa membuat rute, mendirikan perkemahan, memasak, mengangkat beban. Semua itu memang menghemat energi kami dan meningkatkan kemungkinan kami untuk bisa mencapai Puncak Everest, tetapi bagiku cara seperti itu tidak memberi kepuasan. Kadang-kadang aku tidak merasa seperti orang yang sedang mendaki gunung---orang-orang bayaran itulah yang melakukannya untukku. Meskipun aku dengan sukarela menerima peran ini agar bisa mendaki Puncak Everest dengan Hall, aku tidak akan pernah terbiasa dengan semua ini. Jadi, aku benar-benar gembira ketika, pada pukul 07.10, Hall tiba di balkon dan mengatakan aku boleh meneruskan pendakian.
     Orang pertama yang aku lewati saat aku mulai mendaki adalah Lopsang, yang sedang berlutut di atas salju, diatas muntahannya sendiri. Biasanya, Lopsang adalah pendaki terkuat diantara kelompok pendaki manapun yang bersamanya, meskipun dia tidak menggunakan oksigen tambahan. Seperti yang pernah dia katakan dengan bangga kepadaku saat ekspedisi berakhir, "Dalam setiap pendakian, aku selalu menjadi orang yang terdepan, aku yang menyiapkan lintasan tali. Pada ekspedisi Everest 1995, ketika aku mendaki bersama Rob Hall, akulah pendaki pertama yang berangkat dari Base Camp menuju puncak, dan menyiapkan tali." Posisinya yang hampir belakang dari kelompok pendaki Fischer pada pagi hari 10 Mei itu, kemudian dia memuntahkan seluruh isi perutnya, menunjukkan bahwa sesuatu yang salah telah terjadi.
     Sore kemarin, Lopsang sangat kelelahan karena harus mengangkut telepon satelit untuk Pittman, ditambah beban lain, dari Camp Tiga ke Camp Empat. Ketika Beidleman melihat Lopsang memanggul beban seberat empat puluh kilogram dibahunya, dia mengatakan kepada Lopsang untuk tidak membawa telepon itu ke Jalur Selatan. "Sebenarnya aku juga tidak ingin membawa telepon itu," Lopsang mengakui kemudian, juga bahwa telepon itu tidak berfungsi dengan baik saat mereka berada di Camp Tiga, dan mungkin akan lebih bermasalah jika dibawa ke lingkungan yang lebih dingin dan lebih keras seperti Camp Empat(*4). "Namun, Scott berkata kepadaku, jika kamu tidak mau membawanya, aku yang akan membawanya. Jadi kuambil telepon itu, mengikatnya diransel, dan membawanya sampai ke Camp Empat....Akibatnya, aku menjadi sangat lelah."
     Hari ini, Lopsang harus menarik Pittman dengan seutas tali pendek selama lima atau enam jam diatas Jalur Selatan, tugas yang menguras tenaganya sehingga dia tidak bisa menjalankan peran utamanya sebagai pendaki pertama yang membuat rute pendakian. Ketidak hadirannya yang tidak terduga membawa dampak pada pendakian hari itu, dan keputusannya untuk menarik Pittman memicu kritik dan menimbulkan kemarahan. "Saya tidak tahu, mengapa Lopsang harus menarik Sandy," kata Beidleman. "Dia tidak tahu lagi apa tugasnya diatas sana, apa prioritas utamanya."
     Pittman sendiri tidak pernah meminta untuk dibantu. Saat dia meninggalkan Camp Empat sebagai pendaki terdepan dari kelompok Fischer, tiba-tiba Lopsang menariknya kesamping dan mengikatkan seutas tali kebagian depan harness yang dipakainya. Kemudian, tanpa berkonsultasi, Lopsang mengikatkan tali itu ke tali pelana miliknya sendiri dan mulai menariknya. Sandy bersikeras bahwa perbuatan Lopsang diluar keinginannya. Namun, banyak orang meragukan kata-katanya: sebagai warga New York yang dikenal sangat berterus terang menyatakan kehendaknya (Sandy Pittman juga dikenal sangat keras kepala sehingga beberapa pendaki dari Selandia Baru di Base Camp menyebutnya "Sandy Pit Bull"), mengapa dia tidak melepaskan tali yang mengikat dirinya dengan Lopsang. Dia kan cuma perlu mengulurkan tangan dan melepaskan karabiner yang mengikat mereka berdua?
     Pittman berkilah bahwa dia menghormati kewenangan Lopsang sehingga dia tidak melepaskan tali itu---seperti katanya, "Saya tidak ingin menyakiti hati Lopsang." Sandy juga menambahkan bahwa meskipun dia tidak pernah melihat jam tangannya, dia ingat bahwa Lopsang hanya menariknya selama kira-kira satu jam sampai satu setengah jam(*5), dan bukan lima atau enam jam seperti yang dikatakan para pendaki, dan Lopsang mengiyakan kata-katanya.
     Lopsang sendiri, ketika ditanya mengapa dia menarik Sandy Pittman, yang jelas tidak disukainya dan kerap ditunjukkannya secara terus terang, memberikan beberapa jawaban yang berbeda. Kepada Peter Goldman, pengacara dari Seattle---yang pernah mendaki Broad Peak bersama Scott dan Lopsang pada 1995, yang juga merupakan teman lama dan teman Scott yang paling terpercaya---Lopsang mengatakan bahwa karena hari gelap, dia mengira Sandy adalah Lene Gammelgaard, salah seorang klien Fischer yang berasal dari Denmark. Dia juga langsung melepaskan tali tersebut setelah dia menyadari kekeliruannya, yaitu saat matahari mulai muncul. Namun, dalam rekaman wawancara yang lebih lengkap denganku, dengan sangat meyakinkan Lopsang mengakui bahwa dia sadar sepenuhnya sedang menarik Sandy dan sengaja melakukannya "karena Scott ingin agar semua anggota tim bisa tiba dipuncak. Aku pikir Sandy adalah anggota tim yang paling lemah, dan kecepatan mendakinya sangat lambat, jadi aku menolongnya."
     Lopsang yang sangat cerdas itu benar-benar setia kepada Fischer; Sherpa itu memahami betapa pentingnya membawa Pittman ke puncak bagi teman sekaligus majikannya itu. Bahkan saat terakhir kali Fischer berbicara dengan Jane Bromet dari Base Camp, Fischer berkata, "Jika aku berhasil membawa Sandy sampai ke puncak, dia pasti akan masuk ke dalam acara talkshow televisi. Menurutmu, apakah dia akan membawaku kedalam ketenaran dan kemeriahan?"
     Seperti yang dijelaskan oleh Goldman, "Lopsang benar-benar setia kepada Scott. Aku sendiri tidak percaya Lopsang mau menarik pendaki lain, jika dia tidak yakin bahwa Scott memang ingin dia melakukannya."
     Apapun yang memotivasinya, keputusan Lopsang untuk menarik seorang klien saat itu tidak dianggap sebagai kesalahan yang serius.  Namun, itu akan menjadi salah satu dari beberapa hal kecil---yang perlahan-lahan menumpuk, dan terus menumpuk yang tanpa terasa menjadi sangat membahayakan.

*1: Tabung-tabung oksigen kosong yang mengotori Jalur Selatan terus bertambah sejak 1950an, tetapi berkat program pembuangan sampah yang diawali pada 1994 oleh Scott Fischer melalui Sagarmatha Environmental Expedition, jumlah tabung oksigen bekas saat ini sudah jauh berkurang dari sebelumnya.
Penghargaan terbesar layak diberikan kepada salah seorang anggota ekspedisi bernama Brent Bishop (putra mendiang Barry Bishop, juru foto ternama dari majalah National Geoghrapic yang mencapai puncak Everest pada 1963), yang merumuskan sebuah kebijakan insentif yang berhasil, didanai oleh Nike, Inc. Melalui programnya, setiap Sherpa yang berhasil membawa tabung oksigen bekas dari Jalur Selatan akan menerima bonus berupa uang tunai untuk setiap tabung oksigen yang dibawanya. Beberapa perusahaan pemandu yang beroperasi diwilayah Everest, yaitu perusahaan Adventure Consultants milik Rob Hall, Mountain Madness milik Scott Fischer, dan Alpine  Ascents milik Tod Burleson menyambut dengan antusias peluncuran program Bishop dan berhasil membuang lebih dari delapan ratus botol oksigen dari bagian atas lereng gunung sejak 1994 sampai 1996.

*2: Beberapa klien dari tim ekspedisi Fischer memutuskan untuk tidak mendaki sampai puncak, diantaranya Dale Kruse, yang tinggal di Base Camp setelah sembuh dari serangan HACE, dan Pete Schoening, veteran pendaki legendaris berusia 68 tahun, yang memilih untuk tidak mendaki lebih dari Base Camp Tiga setelah pemeriksaan kardiogram yang dilakukan oleh dr.Hutchison, dr.Taske dan dr.Mackenzie menunjukkan adanya kelainan serius pada detak jantungnya.
+ Hampir semua Sherpa pendaki yang ikut dalam ekspedisi Everest 1996 berharap memperoleh kesempatan untuk mencapai puncak. Motif yang mendasari keinginan tersebut tidak jauh beda dengan motif para pendaki Barat, tetapi sebagian dari motivasi tersebut adalah kepastian pekerjaan: seperti dijelaskan oleh Lopsang, "seorang Sherpa yang sudah mendaki sampai puncak, akan mendapat pekerjaan dengan mudah. Semua orang ingin mempekerjakan Sherpa seperti itu

*3: Di Camp Empat, telepon itu sama sekali tidak berfungsi
*4: Pittman dan aku mendiskusikan semua ini dan beberapa kejadian lain dalam percakapan telepon yang berlangsung selama tujuh puluh menit, percakapan telepon yang terjadi enam bulan setelah kami kembali dari Everest. Selain penjelasan mengenai beberapa perincian tentang penarikan dirinya melalui seutas tali pendek oleh Lopsang, Pittman memintaku untuk tidak mengutip setiap bagian percakapan tersebut didalam buku ini, dan aku memenuhi permintaannya.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. terima kasih udah bersedia nulis ulang buku ini bang. luar biasa, manuscript sejarah pendakian di akhir 90-an, terlepas dari segala pertentangan dan kritikan terhadap Jon Krakauer.
    salut atas kesabaran dalam menulis ulang hingga sampe 12 bab
    saya pernah nonton film dokumenter pendakian Ed Viesturs (IMAX ducumentary team) dimana dia ada di basecamp saat peristiwa 10 mei 1996 tersebut. udah nonton into thin air juga, dan buku (tulisan ulang ini) melengkapi semuanya.
    terima kasih banyak, sambil menunggu lanjutan/bab berikutnya. salam :)

    BalasHapus
  3. Sama2 bang, ini lg nyicil2 bab XIII...:)

    BalasHapus
  4. Mantap terjemahannya bang..di tunggu bab selanjutnya

    BalasHapus