Rabu, 23 September 2015

Into Thin Air : BAB IX ~~~ CAMP DUA ~~~ 28 APRIL 1996 ~~~ 21.300 KAKI

Kita mengisahkan dongeng-dongeng untuk diri kita sendiri agar bisa bertahan hidup ... Kita mencari khotbah dalam upaya bunuh diri yang kita lakukan, untuk mencari pelajaran moral dan sosial dalam pembunuhan terhadap lima orang. Kita menafsirkan apa yang kita lihat, memilih yang paling tepat dari  pilihan yang ada. Kita hidup, terutama jika kita penulis, dengan sepenuhnya mengandalkan kalimat-kalimat narasi tentang beberapa gambaran yang berbeda, dengan "sejumlah gagasan" yang kita gunakan untuk belajar membekukan gambaran fantastik yang terus berubah, yang merupakan pengalaman nyata kita.

JOAN DIDION
THE WHITE ALBUM

Pukul 04.00 pagi, aku sudah bangun saat alarm jam tanganku berbunyi; hampir semalaman aku tidak bisa tidur, berjuang keras untuk bisa bernapas ditengah udara yang sangat tipis. Dan sekarang, tiba waktunya untuk memulai ritual yang tidak menyenangkan, keluar dari kehangatan kantong tidur dan masuk ke dalam udara dingin yang menusuk pada ketinggian 21.300 kaki. Dua hari yang lalu---Jumat, 26 April---dengan terbungkuk-bungkuk kami mendaki dari Base Camp menuju Camp Dua untuk memulai dan mengakhiri hari ketiga program aklimatisasi, sebagai persiapan untuk menuju puncak. Pagi ini, sesuai dengan rencana besar Rob, kami akan mendaki dari Camp Dua ke Camp Tiga dan menginap semalam di Camp Tiga pada ketinggian 24.000 kaki.
     Rob meminta kami untuk siap berangkat pada pukul 4.45 tepat---artinya empat puluh lima menit lagi---hampir-hampir tidak cukup untuk berpakaian, menelan sepotong cokelat dan meneguk sedikit teh, dan memasang crampon pada sepatu. Dengan mengarahkan lampu kepalaku pada termometer murah yang kubeli ditoko kelontong, termometer yang sekarang menempel di atas parka yang kugunakan sebagai bantal, aku bisa melihat bahwa temperatur didalam tenda kecil untuk dua orang ini mencapai tujuh derajat Fahrenheit dibawah nol. "Doug!" teriakku pada gundukan terbungkus kantong tidur disisiku. "Waktunya bergerak, kawan. Kamu sudah bangun, kan?"
     "Bangun?" katanya bersungut-sungut dengan suara lelah. "Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa aku bisa tidur? Aku merasa sangat payah. Pasti ada yang salah dengan tenggorokanku. Kawan, aku benar-benar terlalu tua untuk kegiatan seperti ini."
     Sepanjang malam, udara bau yang keluar melalui pernapasan kami mengembun dan membentuk lapisan tipis yang membeku dibagian dalam nilon tenda; ketika aku duduk dan mulai mencari-cari pakaianku ditengah kegelapan, mau tidak mau tubuhku akan menyentuh bagian bawah tenda, dan setiap kali itu terjadi butiran-butiran embun beku akan jatuh menutupi segala sesuatu didalam tenda dengan kristal-kristal es. Sambil gemetar kedinginan, aku memakai tiga lapis pakaian dalam yang terbuat dari bahan propylene yang hangat dan mantel anti angin terbuat dari nilon, kemudian memakai sepatu plastikku yang kaku. Aku berteriak kesakitan ketika tali sepatu ku tarik terlalu keras, selama dua minggu terakhir, keadaan ujung-ujung jari tanganku yang pecah-pecah dan berdarah semakin bertambah buruk akibat udara dingin.
     Aku berjalan keluar dari tenda tanpa melepaskan lampu kepalaku, dibelakang Rob dan Frank, mendaki diantara pilar-pilar es dan tumpukan batuan rombakan menuju badan gletser. Selama dua jam berikutnya, kami berjalan melewati lereng yang landai, seperti lereng yang kerap digunakan para pemain ski pemula untuk berlatih, sampai akhirnya kami tiba di bergschrund yang merupakan batas atas dari Gletser Khumbu. Tepat diatasnya berdiri Lhotse Face, sebuah permukaan es yang miring dan luas, mengilat seperti krom kotor ditengah keremangan sinar matahari fajar. Seutas tali dengan diameter sembilan milimeter menjulur ke bawah, seolah-olah turun dari surga, berkelok-kelok ditengah permukaan yang luas dan beku tersebut, seperti pohon kacang dalam cerita Jack dan kacang ajaib. Aku meraih ujung tali tersebut, mengaitkan alat pendaki mekanisku (jumar)*1 ke lintasan tali yang sedikit bergoyang tersebut, dan mulai memanjat.
     Tubuhku terasa dingin dan tidak nyaman sejak meninggalkan kemah, karena pakaian dalam yang kupakai tidak cukup tebal. Aku mengira udara akan panas karena dampak oven matahari yang selalu terjadi jika matahari menyinari Cwm Barat. Namun, pagi ini udara tetap dingin karena angin dingin bertiup ke bawah dari bagian atas gunung sehingga temperatur udara turun drastis sampai empat puluh derajat dibawah nol. Aku membawa beberapa mantel hangat diranselku, tetapi untuk memakainya aku harus melepaskan dulu sarung tangan, ransel dan jaket anti angin yang kupakai tanpa melepaskan peganganku pada tali yang terentang. Karena takut menjatuhkan sesuatu, aku memutuskan untuk menunggu sampai aku tiba dibagian lereng yang tidak terlalu terjal, supaya aku bisa berdiri tanpa bergantung pada tali. Jadi aku terus memanjat dan sambil memanjat, badanku menjadi kian dingin dan dingin.
     Tiupan angin menerbangkan bubuk-bubuk salju yang berputar menuruni lereng seperti ombak yang memecah pantai sehingga seluruh pakaianku tertutup butiran-butiran salju. Kerak es yang keras menutupi kacamata yang kupakai, membuatku sulit untuk melihat. Kakiku mulai terasa kebas. Jari-jari tanganku kaku seperti kayu. Terus memanjat dalam kondisi seperti ini tampaknya sangat tidak aman. Aku berada diawal antrean pendaki, pada ketinggian 23.000 kaki, lima belas menit didepan pemandu Mike Groom; aku memutuskan untuk menunggunya dan membicarakan masalah yang kuhadapi. Namun sebelum dia tiba didekatku, aku mendengar suara Rob melalui radio yang dibawa Mike didalam jaketnya, dan Mike berhenti mendaki untuk menjawab panggilannya. "Rob meminta semua orang untuk turun lagi!" Teriaknya berusaha mengatasi suara angin. "Kita harus meninggalkan tempat ini!".
      Tengah hari kami baru tiba kembali di Camp Dua, dan menaksir kerusakan yang terjadi. Aku merasa sangat lelah, tetapi diluar itu aku baik-baik saja. John Taske, dokter warga Australia itu terkena gigitan salju yang ringan diujung-ujung jari tangannya. Hanya Doug yang kondisinya mengkhawatirkan. Setelah kedua sepatunya dilepas, Doug menemukan beberapa luka gigitan salju di beberapa jari kakinya. Dalam pendakian Everest 1995, kaki Doug terkena gigitan salju yang cukup parah sehingga sebagian jempol kakinya harus dipotong. Sejak itu sirkulasinya agak terganggu sehingga tubuhnya rentan terhadap udara dingin; gigitan salju kali ini membuatnya semakin rentan terhadap kondisi udara diatas gunung yang buas ini.
     Akan tetapi, gangguan sistem pernapasan yang diderita Doug lebih buruk lagi. Kurang lebih dua minggu sebelum berangkat ke Nepal, Doug menjalani operasi kecil disekitar tenggorokannya. Akibatnya batang tenggorokan Doug masih sangat peka. Pagi ini, saat dia dipaksa menghirup udara yang dingin yang penuh butir-butir salju, pangkal tenggorokannya membeku. "Aku benar-benar bermasalah," kata Doug dengan suara yang hampir tak terdengar dan wajah yang sangat menderita. "Aku bahkan tidak bisa bicara. Bagiku pendakian ini sudah berakhir."
     "Ayolah jangan menyerah Douglas," bujuk Rob. "Tunggu dan lihat bagaimana perasaanmu dalam beberapa hari mendatang. Kamu sangat kuat. Aku pikir, kamu masih bisa mencapai puncak jika kamu berhasil pulih." Dengan ragu-ragu Doug kembali ke tenda kami lalu menarik kantong tidur, menutupi kepalanya. Aku sedih melihat Doug tampak putus asa. Dia sudah menjadi teman baikku, yang tak pernah lelah menceritakan pengalamannya selama pendakian pada 1995 yang gagal. Dileher aku mengenakan kalung dengan bandul batu Xi---jimat Budha keramat yang sudah direstui oleh lama kuil Pangboche---yang diberikan Doug kepadaku pada awal ekspedisi. Keinginanku agar Doug bisa mencapai puncak sama besarnya dengan keinginanku sendiri untuk mencapainya.
     Suasana shock dan depresi terus menyelimuti perkemahan sepanjang hari itu. Tanpa melepaskan bencana terburuk pun gunung itu sudah mampu membuat kami pontang panting mencari perlindungan. Bukan hanya tim kami yang merasa kecil hati dan ragu-ragu. Semangat anggota tim-tim ekspedisi yang saat ini berada di Camp Dua sama-sama berada pada titik yang paling rendah.
     Suasana buruk tersebut tampak nyata dari pertengkaran yang muncul antara Hall dan pemimpin tim ekspedisi Taiwan dan tim Afrika Selatan. Perselisihan itu menyangkut pembagian tanggung jawab merentang tali sepanjang lebih dari satu mil untuk mengamankan rute pendakian sampai ke Lhotse Face. Pada akhir April, lintasan tali berhasil direntangkan mulai puncak Cwm sampai ke Camp Tiga, setengah perjalanan menuju puncak. Untuk menyelesaikan lintasan tali, Hall, Fischer, Ian Woodall, Makalu Gau dan Tod Burleson (warga Amerika pemimpin tim ekspedisi Alpine Ascent yang dipandu) sudah sepakat bahwa pada 26 April, setiap tim akan mengirimkan satu atau dua anggota mereka untuk bersama-sama membentangkan tali di sepanjang sisa rute pendakian, yaitu antara Camp Tiga dan Camp Empat yang berada pada ketinggian 26.000 kaki. Ternyata, rencana itu tidak terlaksana.
     Pada 26 April, ketika Ang Dorje dan Lhakpa Chhiri dari tim Hall, pemandu Anatoli Boukreev dari tim Fischer dan seorang Sherpa dari tim Burleson berangkat menuju Camp Dua, para Sherpa dari tim Afrika Selatan dan Taiwan yang seharusnya ikut ternyata masih meringkuk didalam kantong tidur mereka dan menolak untuk berpartisipasi. Sore harinya, ketika Hall tiba di Camp Dua dan mengetahui tentang hal ini, dia segera menelepon melalui radio untuk menanyakan, mengapa rencana mereka tidak berjalan. Kami Dorje Sherpa, sirdar dari tim Taiwan, meminta maaf dan berjanji akan memperbaiki kesalahannya. Namun, ketika Hall menelepon Woodall melalui radio, warga Afrika Selatan yang keras kepala---pemimpin ekspedisi itu menanggapinya dengan kata-kata kotor dan hinaan.
     "Cobalah bersikap sopan kawan," kata Hall. "Ku pikir kita semua sudah sepakat." Woodall menjawab bahwa para Sherpanya tetap tinggal ditenda mereka karena tidak ada yang datang untuk membangunkan dan mengatakan kepada mereka bahwa bantuan mereka dibutuhkan. Dengan keras Hall menjawab bahwa Ang Dorje mencoba beberapa kali membangunkan mereka, tetapi mereka mengabaikannya.
     Ketika Hall mengatakan itu, Woodall berkata, "Kalau bukan kamu yang berbohong, pasti Sherpa kamu yang berbohong." Kemudian dia mengancam untuk mengirimkan beberapa Sherpa dari timnya untuk menghajar Ang Dorje.
     Dua hari setelah pertengkaran tersebut, suasana diantara tim kami dan tim Afrika Selatan masih tetap tegang. Suasana murung di Camp Dua diperparah oleh kabar yang kami terima tentang kondisi Ngawang Topche yang terus memburuk. Ketika kondisinya bertambah parah meskipun dia sudah dibawa ke tempat yang lebih rendah, para dokter menduga bahwa Ngawang tidak hanya terserang HAPE, kondisinya diperburuk oleh komplikasi TBC atau gejala awal dari berbagai jenis penyakit paru-paru. Sebaliknya para Sherpa memiliki diagnosa lain; mereka percaya bahwa salah seorang pendaki dari tim Fischer telah membuat Everest marah---Sagarmatha, sang dewi langit---dan para dewa, melampiaskan kemarahan mereka kepada Ngawang.
     Pendaki yang mereka maksud diketahui menjalin hubungan cinta dengan salah seorang anggota ekspedisi yang sedang berusaha mendaki Lhotse Face. Kondisi Base Camp memang tidak memberi keleluasaan pribadi kepada para pendaki wanita sehingga hubungan cinta yang terjadi ditenda wanita tersebut diketahui oleh seluruh anggota tim, terutama para Sherpa yang duduk diluar tenda sambil menunjuk dan mencibir. "X dan Y sedang membuat saus, membuat saus" kata mereka sambil tertawa, menirukan hubungan seksual dengan kedua tangan mereka.
     Mereka tidak peduli meskipun dicemooh oleh para Sherpa (ditambah kebiasaan buruk mereka yang sudah terkenal) yang pada dasarnya tidak menyetujui adanya hubungan seksual pranikah dilereng Sagarmatha yang suci tersebut. Setiap cuaca berubah buruk, satu atau dua warga Sherpa  akan menunjuk awan yang bergulung-gulung naik dan dengan suara sungguh-sungguh berkata, "Ada yang sedang membuat saus. Mereka membawa sial. Sebentar lagi badai pasti datang."
     Sandy Pittman mencatat kepercayaan berbau takhayul ini dalam buku hariannya saat ekspedisi pada 1994, dan dikirimkan sebagai berita Internet pada 1996:

29 April, 1994
Base Camp Everest (17.800 kaki)
Kangshung Face, Tibet
.....seorang kurir tiba sore itu membawa beberapa surat dari rumah untuk semua orang, dan sebuah majalah wanita yang dikirim oleh seorang rekan pendaki yang peduli sebagai lelucon.... Beberapa Sherpa membawa majalah itu ke kemah mereka untuk dilihat-lihat, sementara Sherpa lain merasa resah karena mereka yakin bahwa perbuatan teman-teman mereka bisa menimbulkan bencana. Dewi Chomolungma, protes mereka, tidak akan mentolerir apapun yang tidak layak----digunungnya yang suci ini.

Agama Budha yang dianut di Wilayah Khumbu memang mengandung elemen-elemen animisme: para Sherpa sangat memuliakan para dewa dan roh yang mereka percayai tinggal dilembah-lembah, sungai-sungai dan puncak-puncak diwilayah itu. Menghormati para dewa secara layak dianggap penting untuk menjamin keselamatan semua orang yang melewati wilayah yang sangat berbahaya tersebut.
     Untuk menenangkan Sagarmatha, tahun ini---seperti juga pada tahun-tahun sebelumnya---para Sherpa telah membangun lebih dari selusin chorten yang indah, dibangun dengan sangat cermat di Base Camp, satu chorten untuk satu tim ekspedisi. Bangunan sempurna berbentuk kubus setinggi lima kaki yang ada diperkemahan kami puncak altarnya dihiasi dengan tiga batu runcing yang sudah dipilih dengan cermat, dan diatas ketiga batu itu diletakkan  sebuah tiang kayu setinggi sepuluh kaki dan dipuncak tiang kayu itu diletakkan batang pohon juniper yang anggun. Lima untai bendera doa berwarna warni(*2) direntangkan dari puncak tiang tenda membentuk lingkaran untuk melindungi perkemahan kami dari bahaya. Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, mandor Base Camp---seorang Sherpa yang dituakan dan sangat dihormati bernama Ang Tshering---akan menyalakan beberapa tangkai dupa juniper dan membacakan doa-doa di chorten tersebut; sebelum menuju Jeram Es, semua pendaki, baik para pendaki Barat maupun warga Sherpa akan berjalan melewati altar---berjalan disamping kanan altar---ditengah-tengah kepulan asap manis untuk menerima restu dari Ang Tshering.
     Meskipun mereka melakukan berbagai jenis ritual, agama Budha yang dianut oleh para Sherpa bersifat luwes dan tidak dogmatik. Agar selalu dilindungi oleh Sagarmatha, misalnya, setiap tim yang memasuki Jeram Es untuk pertama kalinya harus melaksanakan puja, upacara keagamaan yang rumit. Namun, jika pada hari yang sudah ditentukan lama tua berwajah keriput yang seharusnya memimpin upacara puja tidak bisa melakukan perjalanan dari desanya yang jauh, Ang Tshering menganjurkan agar kami langsung mendaki Jeram Es, karena Sagarmatha mengerti bahwa kami akan melaksanakan puja segera setelah kami kembali.
     Kelonggaran dalam bersikap yang serupa teramati dilereng Everest: meskipun orang-orang Sherpa menyatakan bahwa mereka menghormati larangan untuk tidak berbuat maksiat, tidak sedikit warga Sherpa yang mengabaikan larangan tersebut---pada 1996, seorang warga Sherpa bahkan terlibat hubungan cinta dengan seorang pendaki Amerika anggota tim ekspedisi IMAX. Karena itu, cukup aneh jika orang-orang Sherpa menuduh bahwa penyakit Ngawang merupakan akibat dari hubungan gelap yang terjadi disalah satu tenda ekspedisi Mountain Madness. Namun, ketika sikap tidak konsisten tersebut kusampaikan kepada seorang Sherpa bernama Lopsang Jangbu---sirdar pendaki dari tim Fischer yang berusia dua puluh tiga tahun---dia bersikeras bahwa penyebabnya sesungguhnya bukan karena salah seorang pendaki Fischer "melakukan hubungan seksual" di Base Camp, melainkan karena dia melanjutkan hubungan tersebut setelah mereka berada jauh diatas gunung.
     "Gunung Everest merupakan Dewa---bagi saya, dan bagi semua orang," kata Lopsang sambil merenung, sepuluh minggu setelah ekspedisi berakhir. "Jika pasangan suami istri tidur bersama, itu baik. Namun jika (X) dan (Y) tidur bersama, mereka akan membawa sial bagi tim.... Jadi, aku berkata kepada Scott: 'Tolonglah Scott, Anda pemimpin ekspedisi . Katakan kepada (X) untuk menghentikan hubungan mereka setelah mereka berada di Camp Dua.' Namun, Scott hanya tertawa. Beberapa saat setelah (X) dan (Y) tidur bersama ditenda untuk pertama kali, Ngawang Topche jatuh sakit di Camp Dua. Jadi, sekarang dia mati."
     Ngawang adalah paman Lopsang; hubungan keduanya sangat dekat, dan Lopsang termasuk salah seorang anggota tim penyelamat yang menyongsong Ngawang dibawah Jeram Es pada malam 22 April. Kemudian, ketika di Pheriche pernapasan Ngawang berhenti dan dia harus dievakuasi ke Kathmandu, dengan cepat Lopsang berangkat ke Base Camp (dengan persetujuan Fischer) dan tiba pada saat yang tepat sehingga dia bisa menemani pamannya didalam helikopter. Perjalanan pendeknya ke Kathmandu dan perjalanan cepat kembali ke Base Camp membuatnya kelelahan dan tubuhnya kurang teraklimatisasi---sesuatu yang tidak diperhitungkan oleh tim Fischer: Fischer sangat bergantung pada Lopsang seperti Hall bergantung pada sirdar pendakinya, Ang Dorje.
     Ada beberapa pendaki Himalaya yang andal yang ikut mendaki Everest dari wilayah Nepal pada 1996---mereka adalah para veteran pendaki seperti Hall, Fischer, Breashers, Pete Schoening, Ang Dorje, Mike Groom dan Robert  Schauer, warga Austria anggota tim IMAX. Namun, selain orang-orang yang disebut diatas, masih ada empat pendaki yang jauh lebih andal---orang-orang dengan keahlian mendaki yang sangat prima pada ketinggian diatas 26.000 kaki sehingga mereka bisa dikelompokkan dalam kelas tersendiri. Orang-orang itu adalah Ed Viesturs, warga Amerika salah seorang bintang dalam film IMAX; Anatoli Boukreev, pemandu Kazakhstan yang bekerja untuk Fischer; Ang Babu, warga Sherpa yang dipekerjakan oleh tim Afrika Selatan; dan Lopsang.
     Lopsang yang pandai bergaul, tampan dan toleran terhadap kekurangan orang lain memang sedikit congkak, tetapi dia juga sangat menarik. Dia dibesarkan diwilayah Rolwaling sebagai anak tunggal; Lopsang juga tidak merokok atau minum minuman keras, sesuatu yang tidak lazim dikalangan warga Sherpa. Giginya sering terbalut emas dan dia sangat mudah tertawa. Meskipun tulang-tulangnya kecil dan tubuhnya kurus, sifatnya periang, rajin, dan bakat atletisnya yang luar biasa, membuatnya dijuluki Deion Sanders dari Khumbu. Fischer pernah mengatakan kepadaku bahwa Lopsang punya potensi untuk menjadi "Reinhold Messner kedua"---pendaki Himalaya dari Tyrolean, Italia, yang terkenal dan paling andal didunia pendaki gunung.
     Debut pertama Lopsang terjadi pada 1993. Saat itu usianya baru dua puluh tahun dan dia disewa untuk menjadi kuli angkut untuk tim ekspedisi Everest gabungan India-Nepal dipimpin oleh seorang wanita India bernama Bachendri Pal. Sebagian besar anggota tim tersebut terdiri atas wanita. Sebagai anggota ekspedisi yang paling muda, awalnya Lopsang hanya diberi peran sebagai pembantu, tetapi kekuatan fisiknya benar-benar menakjubkan sehingga pada menit-menit terakhir dia diikutkan dalam tim yang akan menuju puncak, dan pada 16 Mei, dia mencapai puncak tanpa bantuan oksigen.
     Lima bulan setelah menaklukkan Everest, Lopsang mencapai puncak Cho Oyu bersama sebuah tim dari Jepang. Pada musim semi 1994, dia bekerja untuk Fischer dalam ekspedisi Sagarmatha Environmental dan menaklukkan puncak Everest untuk kedua kalinya, juga tanpa bantuan oksigen. Pada September berikutnya, saat mencoba menaklukkan puncak Everest melalui Lereng Barat bersama tim dari Norwegia, dia tertimpa longsoran salju; setelah meluncur sejauh 200 kaki, Lopsang mampu menghentikan tubuhnya dengan bantuan sebuah kapak es, menyelamatkan dirinya sendiri dan dua rekannya yang sama-sama terikat pada satu tali. Sayangnya, paman Lopsang yang saat itu terikat pada pendaki lain, Mingma Norbu, terbawa longsoran salju dan tewas. Meskipun kehilangan itu membuat Lopsang terguncang, semangat mendakinya tidak pernah padam.
     Pada Mei 1995, dia menaklukkan puncak Everest untuk ketiga kalinya tanpa bantuan oksigen, kali ini sebagai pekerja dalam tim ekspedisi Hall, dan tiga bulan kemudian dia mencapai puncak Broad Peak, di Pakistan, yang memiliki ketinggian 26.400 kaki. Ketika Lopsang bergabung dengan tim ekspedisi Fischer pada 1996, dia baru tiga tahun mendaki, tetapi dalam waktu yang singkat dia sudah bekerja untuk tidak kurang dari sepuluh tim ekspedisi Himalaya dan memiliki reputasi sebagai pendaki gunung kelas atas.
     Saat mendaki Everest pada 1994, Fischer dan Lopsang saling mengagumi. Keduanya sama-sama energik, memiliki kepribadian yang menarik dan mampu membuat kaum wanita tergila-gila. Lopsang menganggap Fischer sebagai mentor dan anutannya, bahkan dia mulai mengikat rambutnya seperti Fischer. "Scott pria yang sangat kuat, begitu pula saya," kata Lopsang dengan nada congkaknya yang khas. "Kami merupakan tim yang kompak. Scott tidak membayarku sebaik Rob atau orang-orang Jepang, tetapi aku tidak membutuhkan uang; aku melihat jauh ke masa depan, dan Scott adalah masa depan saya. Scott selalu berkata, 'Lopsang, Sherpaku yang kuat! Aku akan membuatmu terkenal!'.... Aku pikir Scott punya rencana besar untukku dan untuk Mountain Madness."

------------------------------------------------------------

*1: Jumar (lazim disebut alat pendaki mekanik) adalah alat sebesar dompet yang mencengkeram tali melalui logam bulat bergerigi. Gerigi tersebut memungkinkan jumar dapat naik turun tanpa hambatan, dan jumar akan melekat lebih erat pada tali jika menahan sejumlah beban. Seorang pendaki akan memanjat tali dengan mendorong alat ini ke atas sedikit demi sedikit.

*2: Bendera doa biasanya berisi ayat-ayat doa agama Budha---umumnya berbunyi "Om mani padme hum"---yang dikirimkan kepada Tuhan melalui setiap kepakan bendera. Selain tulisan berisi doa, bendera tersebut kadang-kadang bergambar kuda terbang; kuda dianggap sebagai makhluk keramat didalam kosmologi Sherpa dan dipercaya sanggup membawa doa-doa ke surga dengan cepat. Bahasa Sherpa untuk bendera doa adalah "lung ta", yang secara bebas bisa diterjemahkan sebagai "kuda angin"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar