Kamis, 24 September 2015

Into Thin Air --- BAB XI --- BASECAMP 6 MEI 1996 --- 17.600 KAKI

Seberapa besar daya tarik pendakian gunung berasal dari kemampuannya mengubah hubungan pribadi menjadi hubungan yang lebih sederhana, kemampuannya mengurangi nilai persahabatan menjadi hubungan yang biasa-biasa saja (seperti perang), kemampuannya memengaruhi yang lain (gunung, tantangan) terhadap hubungan itu sendiri? Dibalik petualangan yang penuh mistik, ketegaran, sosok pengelana yang bebas---segala bentuk penangkal yang dibutuhkan sebagai penawar atas kesenangan dan kenyamanan budaya yang sudah menjadi elemen yang permanen---mungkin ada semacam penolakan yang bersifat kekanak-kanakan, keengganan untuk secara sungguh-sungguh menerima datangnya usia tua, menerima kerapuhan orang lain, tanggung jawab antar manusia dan segala bentuk kelemahan dan keengganan untuk menerima jalan hidup yang lambat dan membosankan....
     Para pendaki ulung....bisa merasa sangat tersentuh, bahkan merasa sangat sentimental; tetapi perasaan itu hanya ditujukan pada para martir bekas rekan-rekan mereka yang layak menerimanya. Semacam sikap tidak kenal kompromi yang hampir serupa, muncul dalam tulisan-tulisan Buhl, John Harlin, Bonatti, Bonington dan Haston: sikap tidak kenal kompromi terhadap kompetensi. Barangkali itulah arti pendakian ditempat tinggi: mencapai satu titik, tempat dimana seperti kata Haston, "Jika sesuatu yang salah terjadi, kita harus berjuang sampai akhir. Jika Anda cukup terlatih, Anda akan bertahan hidup; jika tidak, alam akan meminta korban."

David Roberts
"Patey Agonistes"
Moments of Doubt

Tanggal 6 Mei---pukul 04.30 pagi, kami meninggalkan Base Camp untuk memulai perjalanan terakhir menuju puncak. Puncak Everest, yang berada dua mil vertikal diatasku, tampak sangat jauh dan tidak terjangkau sehingga aku berusaha untuk membatasi pikiranku hanya sampai Camp Dua, tujuan akhir perjalanan kami hari itu. Ketika sinar matahari pertama mengenai permukaan gletser, aku sudah berada pada ketinggian 20.000 kaki, di mulut Cwm Barat. Aku bersyukur karena Jeram Es sudah berada dibawahku dan aku hanya perlu melewatinya satu kali lagi, kelak dalam perjalanan terakhir menuruni gunung.
     Panasnya udara di Cwm selalu menggangguku setiap kali aku melewatinya, tidak terkecuali hari ini. Sambil mendaki bersama Andy Harris mendahului anggota kelompok yang lain, aku terus menerus menyisipkan segumpal salju ke bawah topiku dan bergerak secepat kaki dan paru-paruku bisa membawaku, berharap bisa tiba dibawah kenyamanan tenda sebelum sinar matahari merobohkanku. Pagi berjalan dengan sangat lambat, dan matahari yang bersinar terik membuat kepalaku berputar. Lidahku terjulur keluar sehingga aku kesulitan bernapas melalui mulut dan aku sadar diriku semakin sulit berpikir jernih.
     Andy dan aku tiba di Camp Dua pada pukul 10.30 pagi. Setelah meneguk dua liter Gatorade, keseimbanganku pulih kembali. "Menyenangkan bukan bahwa akhirnya kita berjalan menuju puncak?" Tanya Andy. Dia terus menerus terserang berbagai jenis penyakit perut hampir selama ekspedisi berlangsung, tetapi akhirnya kekuatannya bisa pulih. Sebagai guru yang sangat berbakat yang dikaruniai kesabaran yang luar biasa, Andy sering ditugasi untuk mengawasi pendaki yang lebih lamban yang mendaki di ujung antrean. Dia merasa gembira ketika pagi ini Rob memintanya untuk mendaki paling awal. Sebagai pemandu junior dalam tim ekspedisi Hall dan satu-satunya pemandu yang belum pernah mendaki Everest, Andy sangat ingin membuktikan kemampuannya kepada rekan-rekannya yang lebih berpengalaman. "Kupikir, kita akan mampu menaklukkan gunung besar ini," katanya kepadaku sambil tersenyum lebar, matanya menatap ke arah puncak.
     Beberapa saat kemudian, Goran Kropp, pendaki solo dari Swedia berusia dua puluh sembilan tahun, melewati Camp Dua dalam perjalanan turun menuju Base Camp; dia tampak letih. Pada 16 Oktober 1995, Kropp meninggalkan Stockholm dengan mengendarai sepeda yang dirancang khusus dan membawa 120 kilogram beban. Dia bermaksud untuk melakukan perjalanan pulang dan pergi dari Swedia  yang letaknya di tepi laut dan mendaki Everest dengan kekuatan sendiri, tanpa bantuan para Sherpa maupun botol oksigen. Ambisi yang sangat tinggi, tetapi Kropp percaya dia bisa memenuhinya. Kropp sudah enam kali ikut dalam ekspedisi Himalaya, melakukan pendakian solo untuk menundukkan puncak-puncak Broad Peak, Cho Oyu dan K2.
     Saat menempuh 8.000 mil perjalanan ke Kathmandu, dia dirampok oleh sekelompok anak sekolah Rumania dan diserang oleh sekelompok orang di Pakistan. Di Iran, seorang pengendara sepeda motor yang berang, memukul kepalanya (yang untungnya) tertutup helm dengan sebuah pemukul bisbol. Akhirnya, awal April lalu dia tiba juga dikaki Everest dalam keadaan sehat walafiat diikuti oleh sekelompok pekerja film dan langsung melakukan program aklimatisasi dengan mendaki dan menuruni gunung. Pada Rabu, 1 Mei, dia berangkat menuju Base Camp untuk melakukan pendakian terakhir menuju puncak.
     Kropp tiba dikemahnya yang terletak di Jalur Selatan pada ketinggian 26.000 kaki pada Selasa sore, dan berangkat menuju puncak keesokan harinya, beberapa saat lewat tengah malam. Sepanjang hari itu, semua orang yang ada di Base Camp tidak beranjak jauh dari radio mereka dan dengan cemas menunggu kabar tentang pendakiannya. Di Base Camp kami, Helen Wilton menancapkan sebuah spanduk yang berbunyi, "Ayo, Goran, Maju Terus!"
     Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, puncak Everest hampir-hampir bebas dari terjangan angin kencang, tetapi salju dibagian atas gunung ketebalannya bisa mencapai paha sehingga sangat menghambat perjalanannya. Tanpa mengenal lelah, Kropp terus mendaki ditengah timbunan salju dan pada Selasa, sekitar pukul dua tengah hari dia sudah mencapai ketinggian 28.700 kaki, sedikit di bawah Puncak Selatan. Meskipun puncak Everest hanya tinggal enam puluh menit diatasnya, Kropp memutuskan untuk kembali karena dia percaya bahwa dia akan terlalu lelah untuk bisa turun jika dia memaksa untuk naik lebih tinggi.
     "Kembali setelah begitu dekat dengan puncak..." gumam Hall sambil menggelengkan kepala saat Kropp berjalan gontai melewati Camp Dua dalam perjalanannya menuruni gunung. "Anak muda itu ternyata punya penilaian yang baik. Saya benar-benar terkesan daripada jika dia memaksa  untuk terus mendaki dan mencapai puncak." Selama satu bulan terakhir berkali-kali Rob menguliahi kami tentang pentingnya memutuskan secara dini, pukul berapa kami harus turun kembali pada hari pendakian terakhir menuju puncak---untuk tim kami, Hall memutuskan kembali sekira pukul 13.00 atau paling lambat pukul 14.00---dan kami semua harus mematuhi keputusan itu, meskipun kami sudah berada sangat dekat dengan puncak. "Dengan tekad kuat, orang bodoh pun bisa mencapai puncak," kata Hall. "Yang sulit adalah kembali dalam keadaan hidup."
      Wajah Hall yang biasanya santai menunjukkan tekad kuat untuk berhasil---yang dia jabarkan secara sederhana, membawa sebanyak mungkin klien mencapai puncak. Untuk menjamin keberhasilan tersebut, Hall sangat memehartikan perincian: kesehatan para Sherpa, efisiensi sistem listrik tenaga surya dan ketajaman crampon para kliennya. Hall mencintai perannya sebagai pemandu, dan dia merasa sedih karena beberapa pendaki ternama---termasuk Sir Edmund Hillary---tidak menyadari betapa sulit tugas memandu dan kurang menghormati profesi pemandu seperti yang seharusnya.

Rob mengumumkan bahwa pada Selasa, 7 Mei merupakan hari istirahat sehingga kami bisa bangun siang dan duduk-duduk di Camp Dua, menunggu dengan harap-harap cemas pendakian terakhir menuju puncak yang akan berlangsung tidak lama lagi. Aku memeriksa crampon dan beberapa peralatan mendakiku yang lain, kemudian mencoba membaca buku Carl Hiaasen, tetapi pikiranku selalu kembali pada pendakian sehingga aku membaca kalimat-kalimat yang sama berulang-ulang tanpa memahami artinya.
     Akhirnya, aku menutup buku yang sedang kubaca, membuat beberapa foto Doug yang sedang berpose sambil membawa bendera yang diberikan anak-anak sekolah di Kent, bendera yang harus dia bawa sampai ke puncak. Aku bertanya kepada Doug tentang kesukaran-kesukaran yang mungkin dihadapi saat berada dipuncak nanti berdasarkan pengalamannya tahun lalu. "Saat kita tiba di puncak nanti," katanya sambil mengerutkan dahi, "kujamin sekujur tubuhmu akan terasa sakit." Doug bertekad untuk ikut mendaki sampai puncak, meskipun tenggorokannya masih terasa sakit dan kekuatannya masih belum pulih. Berkali-kali dia berkata, "Terlalu banyak yang sudah kupertaruhkan untuk pendakian ini. Aku tidak bisa mundur sekarang, dan akan mempertaruhkan apa pun untuk sampai diatas."
     Sore harinya Fischer melewati perkemahan kami dengan rahang terkatup erat. Tidak seperti biasanya, kali ini dia berjalan gontai menuju perkemahannya. Biasanya Fischer selalu tampak bersemangat; dia sangat senang mengucapkan kalimat ini, "jika kamu selalu mengeluh, kamu tidak akan bisa mencapai puncak. Mumpung kita ada ditempat ini, sebaiknya kita jadikan pengalaman ini sesuatu yang menyenangkan." Namun, saat dia melewati kami sore itu, Scott sama sekali tidak tampak bersemangat; sebaliknya dia kelihatan cemas dan lelah.
     Oleh karena Scott selalu membebaskan kliennya untuk mendaki dan menuruni gunung sendiri selama periode aklimatisasi, berkali-kali dia dipaksa melakukan perjalanan cepat antar Base Camp dan dua perkemahan diatasnya untuk membantu kliennya yang menghadapi masalah dan perlu dipandu. Scott pernah membantu Tim Madsen, Pete Schoening dan Dale Kruse. Dan sekarang ini, saat kami semua sangat membutuhkan istirahat, dia dipaksa untuk bolak balik antara Camp Dua dan Base Camp untuk membantu teman baik Kruse yang diduga terserang HACE.
     Fischer tiba di Camp Dua sekira tengah hari kemarin---hanya beberapa saat setelah Andy dan aku kembali dari Base Camp---jauh mendahului semua kliennya; dia sudah meminta kepada pemandunya, Anatoli Boukreev, untuk membawa para pendaki yang tertinggal agar lebih dekat dengan pendaki lain dan mengawasi setiap orang. Namun, Boukreev mengabaikan perintah Fischer: dia tidak mendaki bersama anggota kelompoknya, tetapi tidur sampai siang, mandi dan meninggalkan Base Camp lima jam setelah klien terakhir berangkat. Jadi ketika Kruse ambruk di ketinggian 20.000 kaki karena serangan sakit kepala yang hebat, Boukreev masih berada jauh dari tempat itu. Fischer dan Beidleman terpaksa turun dari Camp Dua untuk mengatasi keadaan darurat, sesaat setelah berita tentang Kruse diterima melalui seorang pendaki yang datang dari Cwm Barat.
     Tidak lama setelah Fischer tiba ditempat Kruse dan dengan susah payah memandunya turun menuju Base Camp, di puncak Jeram Es mereka bertemu dengan Boukreev yang sedang mendaki sendirian. Dengan keras Fischer menegur pemandunya karena melalaikan kewajibannya. "Ya," kata Kruse sambil mengingat-ingat, "Scott benar-benar marah kepada Toli. Dia meminta penjelasan, mengapa Toli berada sangat jauh dibelakang pendaki lain---mengapa dia tidak mendaki bersama pendaki yang lain."
     Menurut Kruse dan beberapa klien Fischer yang lain, hubungan Fischer dan Boukreev memang tegang selama ekspedisi berlangsung. Fischer membayar Boukreev 25.000 dolar---bayaran yang sangat mahal untuk seorang pemandu Everest (pemandu lain digunung itu hanya menerima antara 10.000-15.000 dolar; sementara seorang pendaki Sherpa yang terlatih hanya menerima 1.400-2.500 dolar)---tetapi kinerja Boukreev tidak sesuai dengan harapannya. "Toli memang pendaki yang sangat kuat dan menguasai teknik-teknik pendakian dengan sangat baik, " Kruse menjelaskan, "tetapi dia tidak bisa bersosialisasi. Dia tidak mengawasi pendaki lain. Pendeknya, dia tidak bisa bermain sebagai anggota tim. Saya pernah berkata kepada Scott bahwa saya tidak mau dipandu oleh Toli saat kami berada diatas sana karena saya ragu-ragu bahwa saya bisa mengandalkannya saat bantuannya sangat dibutuhkan."
     Masalahnya, pemahaman Boukreev dan Fischer tentang arti tanggung jawab memang berbeda. Sebagai orang Rusia, Boukreev dibesarkan dalam budaya yang keras, penuh kebanggaan ditengah kehidupan yang sangat sulit, yang tidak biasa memanjakan si lemah. Di negara-negara Eropa Timur, para pemandu dilatih untuk berperan lebih kurang seperti para Sherpa---mengangkat beban, membuat lintasan tali, menetapkan rute---dan bukan sebagai pengasuh. Boukreev yang bertubuh tinggi, berambut pirang dengan wajah Slavia yang tampan, merupakan salah seorang pendaki yang paling andal didunia. Dia sudah mengantongi dua puluh tahun pengalaman sebagai pendaki Himalaya, termasuk dua kali  menaklukkan Everest yang dia lakukan tanpa bantuan oksigen. Dan, selama perjalanan kariernya yang cemerlang, dia telah merumuskan sejumlah kode etik yang meskipun kurang lazim, tetapi dipegang dengan teguh, yaitu kode etik tentang cara mendaki gunung secara layak. Boukreev percaya bahwa seorang pemandu tidak boleh terlalu memanjakan kliennya, keyakinan yang kerap dia katakan dengan terus terang. "Jika seorang klien tidak mampu mendaki Everest tanpa dukungan kuat dari seorang pemandu," katanya kepadaku, "klien tersebut tidak seharusnya berada di Everest. Jika dipaksakan, dia akan menghadapi masalah besar saat berada dipuncak sana."
    Penolakan atau ketidak mampuan Boukreev untuk menjalankan perannya sebagai pemandu konvensional sesuai dengan tradisi Barat, membuat Fischer kesal. Sikap Boukreev memaksa Fischer dan Beidleman memikul beban yang tidak seimbang karena keduanya harus lebih ketat mengawasi para pendaki yang tergabung dalam tim mereka. Memasuki bulan Mei, beban berat tersebut mulai memengaruhi kesehatan Fischer. Pada hari, 6 Mei, setibanya di Base Camp setelah mengawal Kruse  yang sedang sakit, Fischer menggunakan telepon satelit untuk menghubungi rekan bisnisnya di Seattle, Karen Dickinson dan staff humasnya, Jane Bromet(*1), untuk mengeluhkan tentang Boukreev yang terlalu teguh pada pendiriannya. Kedua wanita itu sama sekali tidak mengira bahwa itu merupakan pembicaraan terakhir mereka dengan Fischer.
    
Pada 8 Mei, tim ekspedisi Hall dan Fischer berangkat menuju Camp Dua untuk mengawali pendakian yang berat melewati lintasan tali yang terentang dipermukaan Lhotse Face. Dua ribu kaki dari kaki Cwm Barat, tepat dibawah Camp Tiga, sebongkah batu sebesar pesawat kecil meluncur dengan cepat menuruni lereng yang curam dan jatuh tepat didada Andy Harris. Batu itu membuat pijakan kakinya terlepas, kehilangan keseimbangan dan selama beberapa menit dia bergantung pada lintasan tali dalam keadaan shock. Seandainya dia tidak terikat dengan alat mendaki mekaniknya, Andy pasti sudah jatuh dan tewas.
     Ketika tiba diperkemahan, Andy masih tampak terguncang, tetapi menurutnya, dia tidak terluka. "Barangkali badan saya akan sedikit kaku esok pagi," katanya, "tetapi, saya kira batu sialan itu tidak banyak membuat kerusakan, kecuali beberapa memar." Sesaat sebelum batu itu mengenainya, Andy sedang membungkuk dengan kepala tertunduk; hanya sesaat sebelum batu itu mengenainya secara kebetulan dia mendongak sehingga batu itu hanya menggesek pipinya sebelum kemudian menimpa tulang dadanya. "Kalau batu itu menimpa kepalaku....," Andy berandai-andai dengan muka meringis sambil menurunkan ranselnya, membiarkan kalimatnya tidak selesai.
     Camp Tiga merupakan satu-satunya perkemahan diseluruh gunung yang hanya diperuntukkan bagi para pendaki, tanpa para Sherpa (birainya terlalu kecil untuk membangun tenda yang bisa menampung kami semua), sehingga ditempat itu kami harus memasak sendiri---termasuk mencairkan sejumlah besar bongkahan es untuk air minum. Oleh karena hampir semua pendaki menderita dehidrasi berat akibat sulitnya bernapas ditengah udara yang minim oksigen, setiap orang harus mengonsumsi lebih dari satu galon cairan setiap hari. Karena itu, kami harus mampu menyediakan kira-kira dua belas galon air untuk memenuhi kebutuhan delapan pendaki dan tiga pemandu. Sebagai orang pertama yang tiba diperkemahan pada 8 Mei, tugas sebagai pemotong es jatuh ke pundakku. Selama tiga jam, ketika rekan-rekanku satu persatu memasuki perkemahan dan masuk ke dalam kantong tidur mereka, aku terus menerus berada diudara terbuka, menetak tebing es dengan beliung dari kapak es ku, mengisi kantong-kantong plastik dengan potongan-potongan es beku dan membagikannya ke tenda-tenda untuk dicairkan. Pada ketinggian 24.000 kaki, tugas seperti itu ternyata sangat melelahkan. Setiap kali salah seorang rekanku berteriak, "Hai, Jon! Apa kamu masih berada diluar? Kami perlu lebih banyak es di sini!" aku semakin menyadari, betapa besar bantuan yang diberikan para Sherpa kepada kami, dan betapa kecil penghargaan kami terhadap mereka.
     Menjelang sore, matahari mulai bergerak mendekati cakrawala dan udara mulai berubah dingin. Semua orang, masuk ke dalam kemah, kecuali Lou Kasischke, Frank Fishbeck dan Rob, yang dengan sukarela memilih untuk meronda dan tiba diperkemahan sebagai yang terakhir. Sekitar pukul 16.30, pemandu Mike Groom menerima telepon dari Rob melalui walkie talkie: Lou dan Frank masih beberapa ratus meter dibawah perkemahan dan bergerak dengan sangat perlahan: bisakah Mike turun untuk membantu mereka? Dengan cepat Mike mengenakan kembali cramponnya, kemudian menghilang dibalik tebing, menuruni tali yang terentang tanpa mengeluh sedikit pun
     Kira-kira sejam kemudian dia muncul kembali didepan pendaki lain. Lou yang sangat kelelahan dan membiarkan Rob membawakan ranselnya, berjalan tertatih-tatih menuju perkemahan dengan wajah yang pucat dan putus asa, sambil bergumam, "Habis riwayatku. Habis riwayatku. Aku benar-benar kehabisan oksigen." Beberapa menit kemudian, Frank muncul dengan muka yang bahkan lebih lelah lagi, tetapi dia menolak memberikan ranselnya kepada Mike. Aku benar-benar terkejut melihat mereka dalam kondisi seperti itu, padahal keduanya mampu mendaki dengan baik belakangan ini. Menurunnya kondisi Frank yang tampak nyata merupakan pukulan keras: Sejak awal ekspedisiku selalu beranggapan bahwa seandainya beberapa anggota tim berhasil mencapai puncak, Frank---yang sudah tiga kali mendaki gunung ini---pasti termasuk satu di antara mereka.
    
Ketika kegelapan mulai menyelimuti perkemahan, para pemandu membagi-bagikan tabung oksigen, regulator dan masker untuk setiap orang: untuk pendakian selanjutnya, kami akan bernapas dengan bantuan  gas yang sudah dimampatkan.
     Digunakannya oksigen botol untuk mendukung  pendakian telah memicu perdebatan sengit sejak pertama kali orang-orang Inggris menggunakannya dalam ekspedisi Everest 1921. (Orang-orang Sherpa yang skeptis menamai tabung yang sulit dibawa itu "napas orang Inggris"). Pada mulanya orang yang paling mengkritik penggunaan oksigen botol saat mendaki adalah George Leigh Mallory, yang memprotesnya sebagai tindakan "tidak sportif, dan tidak bergaya Inggris." Namun, dengan cepat orang menyadari bahwa di Zona Kematian, yaitu wilayah yang berada pada ketinggian diatas 25.000 kaki, tanpa oksigen tambahan, tubuh manusia sangat rentan terserang High Altitude Pulmonary Edema (HAPE---Pembengkakan Paru-Paru Akibat Ketinggian), High Altitude Cerebral Edema (HACE---Pembengkakan Otak Akibat Ketinggian), hipotermia (menurunnya suhu tubuh secara drastis), gigitan udara dingin dan beberapa penyakit ketinggian  yang mematikan. Pada 1924, saat dia kembali untuk melakukan ekspedisi yang ketiga, Mallory yakin bahwa puncak Everest tidak mungkin bisa ditaklukkan tanpa bantuan oksigen, dia pun menyerah dan mulai menggunakannya.
     Sejumlah uji coba yang dilakukan diruangan yang tekanan udaranya bisa diatur menunjukkan bahwa tubuh manusia bertahan dengan baik di bawah udara laut, sebaliknya dipuncak Everest, yang kandungan oksigennya hanya sepertiga dari kandungan udara laut, hanya dalam beberapa menit, manusia akan kehilangan kesadaran, disusul dengan kematian. Namun, beberapa pendaki gunung yang idealis bersikeras bahwa seorang atlet berbakat yang dikaruniai ketahanan fisik yang benar-benar baik, setelah melalui periode aklimatisasi yang cukup, seharusnya bisa mencapai puncak tanpa bantuan oksigen botol. Berdasarkan pemikiran ekstrem tersebut, dengan tegas mereka menyatakan bahwa penggunaan oksigen saat mendaki merupakan tindakan curang.
     Pada 1970, seorang pendaki ternama dari Tyrolean, Reinhold Messner, yang menolak pemakaian tabung oksigen saat mendaki gunung, menyatakan bahwa dia akan mendaki Everest "dengan cara yang jujur", atau tidak sama sekali. Tidak lama kemudian, Messner dan seorang mitra lamanya seorang warga Austria bernama Peter Habeler, membuat dunia pendakian takjub karena berhasil membuktikan teorinya: pada 8 Mei 1978, pukul 13.00, mereka berdua mencapai puncak Everest melalui Jalur Selatan dan Lereng Tenggara tanpa bantuan oksigen botol. Peristiwa itu disambut oleh beberapa kelompok pendaki sebagai penaklukkan pertama Everest yang sesungguhnya.
     Akan tetapi, prestasi Messner dan Habeler yang bersejarah tidak disambut gembira oleh semua pendaki, terutama oleh para Sherpa. Banyak warga Sherpa yang tidak percaya ada orang Barat yang mampu meraih prestasi itu, dalam arti bahwa mereka bisa mengalahkan orang-orang Sherpa yang paling kuat. Kemudian tersebar desas desus yang menyatakan bahwa Messner dan Habeler menggunakan tabung oksigen mini yang disembunyikan dibalik pakaian mereka. Tenzing Norgay dan beberapa tokoh Sherpa menanda tangani petisi yang meminta Pemerintah Nepal untuk melakukan penelitian resmi tentang pendakian tersebut.
     Namun, bukti-bukti yang mendukung bahwa pendakian tersebut memang dilakukan tanpa oksigen sulit dipatahkan. Dua tahun kemudian, Messner membungkam semua keraguan dengan mendaki Everest dari wilayah Tibet, sekali lagi tanpa oksigen---kali ini dia melakukannya sendirian tanpa bantuan Sherpa atau siapapun. Ketika dia mencapai puncak pada 20 Agustus 1980, pukul 15.00, setelah mendaki menembus awan tebal dan hujan salju, Messner berkata, "Saya terus menerus merasa sangat tersiksa; belum pernah saya merasa lebih lelah sepanjang hidup saya." Dalam bukunya The Crystal Horizon, buku yang mengisahkan pendakian tersebut, Messner menggambarkan perjuangannya menempuh beberapa meter terakhir menuju puncak,

Ketika saya beristirahat, saya merasa benar-benar tidak bernyawa, kecuali tenggorokan saya yang seperti terbakar setiap saya menarik napas.... Saya hampir-hampir tidak mampu melanjutkan. Tidak ada rasa putus asa, tidak ada kebahagiaan, tidak ada rasa cemas. Saya kehilangan kemampuan untuk merasakan, saya tidak merasakan apa pun. Saya hanya memiliki tekad. Setelah berjalan beberapa meter, tekad itu pun mulai sirna dikalahkan oleh perasaan lelah yang seakan tidak berakhir. Kemudian, saya tidak memikirkan apa-apa. Saya membiarkan diri saya jatuh, hanya terbaring ditempat itu. Untuk waktu yang tidak terbatas, saya tidak bisa membuat keputusan apa-apa. Kemudian, saya berjalan beberapa langkah.

Setelah Messner kembali ke peradaban, pendakiannya disambut luas sebagai keberhasilan terbesar dalam dunia pendakian.
     Setelah Messner dan Habeler membuktikan bahwa Everest dapat ditaklukkan  tanpa bantuan oksigen, sejumlah kader pendaki yang ambisius sepakat bahwa gunung itu seyogianya didaki tanpa bantuan oksigen. Sejak saat itu, jika seorang pendaki ingin dikelompokkan sebagai pendaki elite Himalaya, mereka harus bisa menaklukkannya tanpa oksigen botol. Sampai 1996, enam puluh pria dan wanita berhasil mencapai puncak tanpa bantuan oksigen---tetapi lima diantaranya tewas dalam perjalanan menuruni gunung.
     Betapapun besarnya ambisi pribadi dari beberapa pendaki, tidak satupun anggota tim ekspedisi Hall yang berpikir untuk mencapai puncak tanpa bantuan oksigen. Bahkan Mike Groom, yang tiga tahun lalu mendaki Everest tanpa bantuan oksigen, menjelaskan kepadaku bahwa kali ini dia berniat menggunakannya karena dia berperan sebagai pemandu. Dari pengalaman terdahulu, dia tahu bahwa tanpa oksigen botol dia akan menjadi sangat lemah---fisik maupun mental---sehingga dia tidak akan bisa memenuhi tanggung jawab profesionalnya. Seperti para veteran Everest lain, Groom percaya bahwa meskipun mendaki gunung tanpa oksigen sudah diterima secara luas---bahkan secara estetika lebih disukai---jika seorang pendaki sedang mendaki sendirian, tetapi melakukannya saat dia berperan sebagai pemandu menunjukkan sikap yang kurang bertanggung jawab.
     Sistem oksigen mutakhir buatan Rusia yang digunakan oleh Hall terdiri atas sebuah masker oksigen plastik yang kaku, seperti yang kerap digunakan para pilot pesawat tempur MIG selama Perang Vietnam. Masker tersebut dihubungkan oleh sebuah selang karet dan sebuah regulator yang sederhana pada sebuah tabung gas baja berwarna oranye dan tabung Kevlar. (Lebih kecil dan lebih ringan daripada tangki penyelam, masing-masing seberat 3.3 kilogram jika terisi penuh). Meskipun dalam kunjungan terakhir ke Camp Tiga kami tidak menggunakan oksigen saat tidur, sekarang, karena kami akan melakukan pendakian terakhir menuju puncak, Rob menyarankan agar sepanjang malam kami menggunakannya. "Setiap detik kita berada pada ketinggian ini dan diatasnya," katanya mengingatkan, "tubuh dan otak kita akan rusak. Sel-sel otak akan mati. Darah akan mengental dan menjadi setengah padat, dan itun sangat berbahaya. Selain itu, akan terjadi pendarahan spontan pada pembuluh rambut seputar retina. Bahkan saat kita beristirahat, jantung kita akan berdetak lebih kencang. Rob berjanji bahwa "Oksigen botol akan memperlambat kerusakan dan membantu setiap orang untuk tidur."
     Aku berusaha untuk mengikuti anjuran Rob, tetapi sifat klaustrofobiaku yang tidak pernah jauh dari permukaan terus mengusikku. Setiap aku memasang masker diatas hidung dan mulutku, aku berpikir masker itu akan membuat sesak napas, jadi setelah beberapa jam yang sangat menyiksa, aku melepaskannya dan untuk selanjutnya bernapas tanpa menggunakan oksigen botol, terbaring dengan gelisah, memeriksa jam tanganku setiap dua puluh menit, untuk melihat kalau-kalau aku sudah boleh bangun. Seratus kaki dibawah perkemahan kami, diatas lereng yang juga curam, berdiri beberapa tenda dari tim ekspedisi lain---termasuk perkemahan kelompok Fischer, kelompok Afrika Selatan dan Taiwan. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, yaitu pada 9 Mei---ketika aku sedang memakai sepatu untuk mendaki ke Camp Empat, Chen Yu Nan, seorang pekerja pabrik baja dari Taipei berusia tiga puluh enam tahun, merangkak keluar dari tendanya untuk membersihkan sepatunya sambil berdiri di atas sepatu gunungnya yang licin---sebuah kesalahan yang sangat fatal.
     Saat dia jongkok, Yu Nan kehilangan keseimbangan dan terguling sepanjang Lhotse Face. Secara menakjubkan, setelah meluncur sejauh 70 kaki, dia terperosok ke dalam sebuah celah gletser dengan kepala didepan sehingga jatuhnya agak tertahan. Para Sherpa yang melihat kejadian itu menurunkan seutas tali dan dengan cepat menariknya keluar dari dalam celah gletser, kemudian membantunya kembali ke tenda. Meskipun tubuhnya terbanting-banting dan dia sangat ketakutan, tetapi lukanya tidak terlalu serius. Saat itu, tidak ada anggota kelompok Hall, termasuk aku, yang mengetahui tentang peristiwa tersebut.
     Tidak lama kemudian, Makalu Gau dan seluruh anggota kelompok Taiwan berangkat menuju Jalur Selatan meninggalkan Chen sendirian di tendanya untuk memulihkan diri. Meskipun Gau sudah berjanji kepada Rob dan Scott bahwa dia tidak akan mendaki puncak pada 10 Mei, jelas kelihatan bahwa dia sudah berubah pikiran dan sekarang dia berniat mendaki puncak pada hari yang sama dengan kami.
     Sore itu, seorang Sherpa bernama Jangbu yang turun ke Camp Dua setelah membawa beban sampai di Jalur Selatan berhenti di Camp Dua untuk memantau kondisi Chen, dan mendapati bahwa kondisi pendaki Taiwan itu memburuk dengan cepat: selain kehilangan orientasi, dia juga sangat kesakitan. Setelah memutuskan bahwa dia perlu dievakuasi, Jangbu merekrut dua warga Sherpa lain dan mulai mengawal Chen menuruni Lhotse Face. Tiga ratus kaki dari dasar lereng es, tiba-tiba Chen roboh dan pingsan. Beberapa saat kemudian, radio David Breashers, yang saat itu sedang berada di Camp Dua, berbunyi: panggilan dari Jangbu yang melaporkan dengan suara panik bahwa Chen berhenti bernapas.
     Breashers dan rekannya dari tim IMAX, Ed Viesturs, bergegas naik untuk membantunya, tetapi saat mereka tiba ditempat Chen empat puluh menit kemudian, mereka tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan. Sore itu, setelah Gau tiba di Jalur Selatan, Breashers menghubunginya melalui radio, "Makalu," kata Breashers kepada pemimpin tim Taiwan itu, "Chen meninggal."
     "Baik," Gau menjawab. "Terima kasih atas informasinya." Kemudian dia meyakinkan para anggota timnya bahwa kematian Chen tidak akan mengubah rencana mereka untuk melakukan pendakian terakhir menuju puncak, dan mereka akan berangkat sesaat setelah tengah malam. Breashers benar-benar terkejut. "Saya baru saja menutupkan mata rekannya untuk dia," katanya dengan marah. "Saya baru saja membawa tubuh Chen ke bawah. Tetapi, Makalu cuma berkata, 'Baik'. Saya tidak tahu, barangkali budaya mereka memang seperti itu. Barangkali, dia berpikir bahwa cara terbaik untuk menghormati kematian Chen adalah dengan melanjutkan pendakian sampai kepuncak."
     Selama enam minggu terakhir, beberapa kecelakaan yang cukup serius telah terjadi: Tenzing jatuh kedalam celah gletser sebelum kami tiba di Base Camp; Ngawang Topche terserang HAPE dan kondisinya terus memburuk; seorang pendaki muda warga Inggris yang bertubuh sehat dari tim ekspedisi Mal Duff bernama Ginge Fullen terkena serangan jantung yang cukup serius didekat puncak Jeram Es; seorang warga Denmark dari tim ekspedisi Mal Duff bernama Kim Sejberg tertimpa bongkahan es yang jatuh ke Jeram Es, mematahkan beberapa tulang rusuknya. Namun, sampai saat itu, belum satu orang pun yang meninggal.
     Kematian Chen seperti membawa awan gelap ke seluruh gunung, saat kabar tentang kecelakaan yang menimpanya menyebar dari satu tenda ke tenda lain. Namun, tiga puluh pendaki sedang bersiap-siap untuk mendaki puncak dalam beberapa jam sehingga awan gelap itu dengan cepat menghilang digantikan oleh perasaan was-was menunggu kejadian selanjutnya. Hampir semua pendaki sudah dicekam oleh demam puncak, dan tidak ada satu pendaki pun yang mempunyai waktu untuk sungguh-sungguh memikrkan kematian salah seorang pendaki. Masih ada waktu untuk merenung, itulah yang kami pikirkan, yaitu setelah kami tiba dipuncak dan kembali ke bawah sana.

3 komentar:

  1. Keren om...d tunggu bab2 selanjutnya :D

    BalasHapus
  2. Sudah sampe bab XII mbak...bab XIII-nya dlm tahap penyelesaian..:)

    BalasHapus