Kamis, 24 September 2015

Into Thin Air --- BAB X --- LHOTSE FACE, 29 APRIL 1996 --- 23.400 KAKI

Publik Amerika pada dasarnya tidak memiliki rasa simpati terhadap para pendaki gunung, tidak seperti orang-orang di negara-negara bergunung di Eropa atau Inggris yang menciptakan olahraga ini. Disana, banyak yang memiliki semacam pengertian dan meskipun orang biasa mungkin menganggap kegiatan itu sebagai tindakan nekat yang mengancam nyawa, mereka bisa menerima bahwa itu adalah sesuatu yang harus dilakukan. Di Amerika, penerimaan semacam itu tidak ada.

Walt Unsworth
Everest

Sehari setelah upaya pertama kami mencapai Camp Tiga digagalkan oleh angin dan udara yang sangat dingin, semua anggota tim Hall kecuali Doug (yang tetap tinggal di Camp Dua untuk memulihkan batang tenggorokannya yang terluka) mencoba mendaki untuk kedua kalinya. Seribu kaki diatas Camp Dua, dilereng Lhotse Face yang terjal, aku mendaki sambil berpegang pada tali nilon yang sudah tampak usang, pendakian yang seakan-akan tidak pernah berakhir; semakin tinggi aku mendaki, semakin lambat pula gerakanku. Dengan tangan yang terbungkus sarung tangan, aku mendorong alat pendaki mekanikku ke atas, kemudian membiarkan alat kecil tersebut menopang berat tubuhku supaya aku bisa menarik napas panjang; kemudian aku menggerakkan kaki kiri, menancapkan sepatu cramponku ke permukaan es, dengan susah payah mengisi paru-paruku dengan dua tarikan napas; menancapkan kaki kananku sejajar dengan kaki kiri, menarik dan mengeluarkan napas melalui dada bawah, menarik dan mengeluarkan napas sekali lagi; kemudian mendorong alat pendaki mekanikku ke atas sekali lagi. Aku sudah menguras tenaga selama tiga jam penuh, dan berpikir bahwa aku masih harus melakukannya selama satu jam sebelum aku bisa beristirahat. Dalam kondisi yang sulit seperti itulah aku mendaki ke arah sekumpulan tenda yang menurut kabar, menempel dilereng yang sangat terjal diatasku, dengan gerakan sangat perlahan, seinci demi seinci.
     Orang-orang yang tidak pernah mendaki gunung---artinya, sebagian besar manusia---cenderung beranggapan bahwa olahraga ini merupakan olahraga nekat, sebuah kegiatan yang tidak masuk akal untuk meningkatkan gairah hidup. Akan tetapi, anggapan bahwa para pendaki hanyalah orang-orang yang kecanduan adrenalin, yang selalu mengejar kepuasan moral, tidak sepenuhnya benar, setidaknya dalam kasus Everest. Yang kulakukan ditempat yang tinggi saat ini, sama sekali berbeda dengan bungee jumping atau sky diving atau mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 120 mil per jam.
     Selain kenyamanan yang diberikan selama berada di Base Camp, ekspedisi ini nyatanya sedang melaksanakan kegiatan yang hampir-hampir bersifat religius. Rasio kesulitan ditempat ini jauh lebih besar  dibanding kesenangannya, sesuatu yang tidak kujumpai digunung-gunung lain yang pernah kudaki; dengan cepat aku menyadari bahwa mendaki Everest identik dengan penderitaan. Dan tiba-tiba saja aku sadar bahwa dengan membiarkan diri mereka selama berminggu-minggu bekerja keras, didera oleh rasa jemu dan penderitaan, sebagian besar para pendaki mungkin sedang mencari sebuah bentuk kemurnian.
     Tentu saja ada sekelompok pendaki yang memiliki motif berbeda dan kurang bermakna: ketenaran, menunjang karir, meningkatkan ego, kebanggaan diri dan uang. Namun, faktor-faktor yang sifatnya dangkal seperti itu tidak sepenting seperti yang diperkirakan para kritikus. Bahkan setelah mengamati rekan-rekanku satu tim selama beberapa minggu, aku harus mengubah pendapat awalku tentang mereka.
     Contohnya Beck Weathers, yang saat ini tampak seperti sebuah bintik merah kecil diatas permukaan es, 500 kaki dibawahku, hampir diujung barisan pendaki yang panjang. Kesan pertamaku tentang Beck jauh dari menyenangkan: patologis dari Dallas yang semula ku anggap terlalu ramah dengan kemampuan mendaki pas-pasan, sepintas memang tampak seperti seorang pendukung fanatik Partai Republik yang kaya raya, yang ingin membeli puncak Everest untuk melengkapi koleksi pialanya. Namun, setelah aku lebih mengenalnya, rasa hormatku mulai tumbuh. Meskipun sepatu gunungnya yang baru dan kaku hampir-hampir meremukkan kedua kakinya menjadi hamburger, dari hari ke hari Beck terus mendaki, hampir-hampir tidak pernah mengeluh, padahal aku yakin, dia pasti sangat kesakitan. Beck benar-benar tangguh, dengan kemauan baja dan pandai menahan diri. Sikap yang semula kuanggap congkak semakin lama semakin tampak seperti semangat yang menggebu-gebu. Dia juga tidak pernah berpikiran buruk tentang orang lain (termasuk kepada Hillary Clinton). Sifat Beck yang periang dan rasa optimisme yang tidak terbatas benar-benar mampu mencairkan hati orang, sehingga mau tidak mau, aku mulai menyukainya.
     Sebagai anak seorang penerbang Angkatan Udara, Beck menghabiskan masa kecilnya dengan berpindah-pindah dari satu komplek militer ke komplek militer lain, sebelum akhirnya dia masuk universitas di Wichita Falls. Setelah lulus dari fakultas kedokteran, Beck menikah dan memiliki dua anak, hidup nyaman dan berkecukupan sebagai dokter praktik di Dallas. Pada 1986, saat usianya mendekati empat puluh tahun, dia berlibur ke Colorado dan mulai tertarik pada olahraga mendaki gunung, sehingga dia mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus dasar mendaki gunung di Rocky Mountain National Park.
     Para dokter memang lazim dikenal sebagai orang-orang yang ingin meraih prestasi tinggi; Beck bukan satu-satunya dokter yang tergila-gila pada hobi baru. Namun, mendaki tidak sama dengan olahraga golf atau tenis atau beberapa kegiatan pengisi waktu luang yang banyak di geluti rekan-rekannya. Ketahanan fisik dan perjuangan emosional yang dituntut oleh kegiatan mendaki gunung dan bencana nyata yang dihadapi---menjadikan olahraga ini bukan sekedar permainan. Mendaki lebih mirip dengan kehidupan nyata, dengan kondisi yang lebih sulit, dan tantangan seperti itu belum pernah dia hadapi. Istrinya, Peach, semakin cemas melihat suaminya yang seakan-akan tenggelam dalam hobi barunya, merampas sang suami dari kebersamaan keluarga mereka. Dia tidak senang ketika Beck, beberapa saat setelah dia mulai menekuni hobi barunya, mengumumkan bahwa dia bermaksud menaklukkan Tujuh Puncak.
     Meskipun obsesi Beck membuatnya sangat egois dan berlebihan, itu bukan sebuah tindakan sembrono. Kesungguhan yang sama dalam meraih sasaran kuamati pula pada diri Lou Kasischke, pengacara dari Bloomfield Hills; pada Yasuko Namba, wanita Jepang yang pendiam yang selalu melahap mie untuk sarapan pagi; dan pada diri John Taske, ahli anestesi dari Brisbane berusia lima puluh enam tahun, yang mulai menekuni hobi mendaki setelah pensiun dari angkatan darat.
     "Ketika aku meninggalkan kehidupan militer, aku seperti orang yang kehilangan arah," keluh Taske dengan aksen Australianya yang kental. Dia mantan orang penting di Angkatan Darat---seorang kolonel di Special Air Service, satuan Baret Hijau nya Australia. Taske yang dua kali ditugaskan di Vietnam saat perang sedang berkecamuk, benar-benar tidak siap menghadapi kehidupan datar paska militer. "Aku baru sadar bahwa aku tidak bisa bergaul dengan orang-orang sipil," tambahnya. "Perkawinanku hancur. Aku melihat sebuah terowongan panjang dan gelap yang perlahan-lahan menutup, berujung pada kerentaan, usia tua dan kematian. Kemudian aku mulai mendaki gunung, dan olahraga ini memberi aku banyak hal yang tidak aku temukan dalam kehidupan sebagai orang sipil---tantangan, persahabatan dan perasaan memiliki misi."
      Ketika rasa simpatiku terhadap Taske, Weathers dan beberapa rekanku semakin menguat, aku semakin tidak nyaman dengan peranku sebagai wartawan. Aku tidak akan ragu-ragu jika aku harus menulis dengan jujur tentang Hall, Fischer atau Sandy Pittman, orang-orang yang selama bertahun-tahun dan secara agresif  selalu mencari perhatian media. Tidak demikian halnya dengan beberapa rekan sependakianku yang lain. Saat mereka mendaftarkan diri untuk bergabung dengan tim ekspedisi Hall, tidak satupun dari mereka yang tahu bahwa seorang wartawan akan hadir ditengah kelompok mereka---seseorang yang terus menerus menulis, mencatat diam-diam semua kata-kata dan tindakan mereka, agar semua kekurangan dan kelemahan mereka  bisa diungkapkan kepada publik yang mungkin tidak simpatik.
     Setelah ekspedisi berakhir, Weathers diwawancarai oleh sebuah stasiun televisi untuk sebuah program yang dinamai Turning Point. Dalam salah satu segmen wawancara yang belum disunting dan disiarkan, seorang pembicara ABC News bernama Forrest Sawyer bertanya kepada Beck, "Bagaimana perasaan Anda tentang hadirnya seorang wartawan ditengah tim ekspedisi?" Beck menjawab,

Kehadiran seorang wartawan jelas sangat meningkatkan stress. Aku sendiri kurang setuju dengan gagasan tersebut---Anda tahu bukan, orang ini akan menulis cerita yang kemudian dibaca oleh jutaan orang. Artinya, aku sudah merasa cukup buruk karena berada disana dan melakukan tindakan bodoh bersama para pendaki lain. Namun, kehadiran seseorang yang mungkin akan menulis berlembar-lembar cerita dihalaman majalah tentang Anda sebagai pelawak atau badut, pasti akan membuat Anda tertekan dan salah tingkah, sehingga Anda harus bekerja lebih keras. Dan aku khawatir, kehadiran seorang wartawan membuat orang-orang berupaya lebih keras dari yang seharusnya. Hal serupa bisa terjadi pada para pemandu. Artinya, mereka akan berusaha keras  membawa klien yang dibawanya mencapai puncak karena, sekali lagi, seseorang akan menulis tentang itu, dan karena mereka akan dinilai.

Selanjutnya Sawyer bertanya, "Apakah Anda merasa, bahwa kehadiran seorang wartawan memberi tekanan ekstra kepada Rob Hall?" Beck menjawab,

Ya, aku yakin demikian. Pekerjaan ini merupakan mata pencaharian Rob, dan jika salah seorang kliennya terluka, seorang pemandu akan merasa sangat buruk.... Dia memang meraih sukses besar dalam pendakian dua tahun sebelumnya, ketika dia berhasil membawa seluruh kliennya ke puncak, sesuatu yang sungguh luar biasa. Dan, aku benar-benar percaya bahwa Rob berpikir, tim kami merupakan tim yang kuat sehingga kami bisa mengulang sukses tersebut....Jadi, aku yakin tekanan itu memang ada, yaitu agar ketika semua ini dituangkan menjadi berita, ke dalam majalah, laporannya akan bersifat menguntungkan.

Hari sudah menjelang siang ketika akhirnya aku, dengan terbungkuk-bungkuk berjalan menuju Camp Tiga: tiga buah tenda kecil berwarna kuning, ditengah-tengah Lhotse Face yang miring dan luas. Kemah-kemah itu berada disebuah paparan yang sudah lebih dahulu diratakan oleh para Sherpa sehingga tidak lagi berada diatas lereng yang licin. Ketika aku tiba, Lhakpa Chhiri dan Arita sedang bekerja keras untuk membuat sebuah paparan untuk tenda keempat, jadi aku melepaskan ranselku dan membantu mereka meratakan permukaan. Pada ketinggian 24.000 kaki, aku hanya bisa melakukan tujuh atau delapan ayunan kapak es, kemudian berhenti untuk menarik napas selama lebih dari satu menit. Bantuanku jelas  tidak ada artinya, dan perlu lebih dari satu jam sebelum mereka menyelesaikan seluruh pekerjaan.
     Perkemahan kami yang kecil, seratus kaki diatas perkemahan milik tim ekspedisi yang lain, benar-benar berada ditempat yang terbuka. Selama berminggu-minggu kami mendaki dan menguras  tenaga  ditempat yang bisa dikatakan ngarai; sekarang, untuk pertama kalinya selama ekspedisi berlangsung, kami berhadapan langsung dengan langit, bukan dengan bumi. Sekelompok awan tebal berwarna putih berkejar-kejaran dibawah sinar matahari, membentuk gambar pemandangan dengan bayangan yang terus berubah dan sinar yang menyilaukan mata. Sambil menunggu kedatangan rekan-rekanku, aku duduk dengan kedua kakiku menjulur diatas ngarai, mataku menatap ke arah gerombolan awan, kemudian turun mengamati beberapa puncak gunung yang berada pada ketinggian 22.000 kaki. Sebulan yang lalu, puncak-puncak itu masih  berada jauh diatas kepalaku. Setelah melalui waktu yang cukup panjang, aku akhirnya benar-benar berada didekat puncak dunia.
     Namun, puncak itu sendiri masih berada satu mil vertikal diatasku, dilingkari oleh kondensasi awan hujan yang bisa menjadi bibit sebuah badai. Meskipun puncak itu berada ditengah terjangan angin dengan kecepatan seratus mil per jam, udara di Camp Tiga hampir-hampir tidak berangin, dan ketika siang perlahan lahan berlalu, kepalaku mulai terasa pusing karena sinar matahari yang bersinar terik---setidaknya, aku berharap panas mataharilah yang membuat ku merasa seperti orang bodoh, bukan tanda-tanda awal dari serangan HACE.
     High Altitude Cerebral Edema atau HACE (pembengkakan otak akibat ketinggian) lebih jarang terjadi dibandingkan High Altitude Pulmonary Edema (Pembengkakan paru-paru karena ketinggian), tetapi lebih mematikan. HACE merupakan sejenis penyakit membingungkan dan terjadi jika ada kebocoran pada pembuluh darah otak yang kekurangan oksigen, menyebabkan otak membengkak cepat, dengan hanya sedikit atau bahkan tanpa peringatan sama sekali. Ketika tekanan didalam rongga otak meningkat, kemampuan motorik dan mental penderita akan menurun dengan drastis---biasanya hanya dalam waktu beberapa jam atau kurang---dan biasanya, si korban tidak sadar akan perubahan yang terjadi. Tahap selanjutnya adalah koma, jika si pasien tidak segera dievakuasi ke ketinggian yang lebih rendah, lalu disusul dengan kematian.
     Sore itu aku berpikir tentang HACE karena dua hari yang lalu, tepat di Camp Tiga ini, salah seorang pendaki dari kelompok Fischer bernama Dale Kruse, seorang dokter gigi berusia empat puluh empat tahun dari Colorado, terserang HACE yang cukup parah. Kruse yang merupakan teman lama Fischer adalah pendaki yang tangguh dan berpengalaman. Pada 26 April, dia mendaki dari Camp Dua ke Camp Tiga , membuat teh untuk dirinya sendiri dan teman-temannya, kemudian berbaring ditendanya untuk tidur siang. "Aku langsung tertidur" kenang Kruse, "dan terus tertidur selama dua puluh empat jam, sampai kira-kira pukul 14.00 siang keesokan harinya. Ketika seseorang membangunkan aku, orang-orang langsung menyadari bahwa pikiranku tidak bekerja, meskipun aku sendiri tidak menyadarinya. Kemudian Scott berkata kepadaku, 'Kami harus membawamu keluar dari tempat ini secepatnya."
     Kruse bahkan kesulitan untuk memakai pakaian sendiri. Harness nya dikenakan secara terbalik, dan diikat diluar jaket anti anginnya. Dia juga tidak mampu mengikatkan tali harness nya dengan benar. Untunglah, Fischer dan Neal Beidleman melihatnya sebelum Kruse mulai menuruni gunung. "Jika dia turun gunung dengan tali seperti itu," kata Beidleman, 'dia pasti terlepas dari harness nya dan jatuh ke dasar Lhotse Face."
     "Aku seperti orang yang mabuk berat," kenang Kruse. "Aku tidak bisa berjalan tanpa tersandung, dan aku benar-benar tidak bisa berpikir atau berbicara. Aku merasa benar-benar aneh. Otakku memikirkan sejumlah perkataan, tetapi aku tidak bisa mengeluarkannya melalui mulut. Jadi Scott dan Neal harus membantu aku berpakaian dan memastikan harness ku terpasang dengan benar, kemudian Scott menurunkan aku melalui jalur tali yang sudah terpasang." Ketika tiba di Base Camp, kata Kruse, "aku membutuhkan tiga atau empat hari sebelum bisa berjalan ke tendaku atau tenda utama tanpa tersandung.
    
Saat matahari sore turun kebalik Puncak Pumori, temperatur di Camp Tiga turun sampai lebih dari lima puluh derajat, dan ketika udara menjadi lebih dingin, kepalaku mulai terasa jernih: kecemasan bahwa aku terserang HACE ternyata tidak berdasar, setidaknya untuk sementara waktu. Keesokan harinya, setelah aku melewatkan malam yang melelahkan karena tidak bisa tidur, pada ketinggian 24.000 kaki, kami turun kembali ke Camp Dua, dan sehari kemudian pada 1 Mei, aku turun ke Base Camp untuk mengembalikan kekuatan yang dibutuhkan untuk mendaki puncak.
     Proses aklimatisasi kami secara resmi sudah berakhir---dan aku terkejut bercampur gembira karena strategi Hall ternyata berhasil: Setelah tiga minggu berada di atas gunung, aku menemukan bahwa udara di Base Camp terasa tebal, kaya dan penuh oksigen dibanding dengan buruknya atmosfer di dua perkemahan di atasku yang kandungan oksigennya sangat tipis.
     Meskipun begitu, bukan berarti bahwa tubuhku baik-baik saja. Aku kehilangan berat badan hampir sepuluh kilogram, terutama dibagian bahu, punggung dan kaki. Hampir semua lemak yang berada dibawah kulitku telah habis terbakar, membuatku sangat rentan terhadap udara dingin. Namun masalah yang paling menggangguku adalah dadaku: batuk kering yang menyerangku sejak beberapa minggu yang lalu, yaitu saat aku sedang berada di Lobuje, semakin hari semakin bertambah parah, dan mengoyakkan beberapa tulang rawan rusukku ketika aku terbatuk keras saat berada di Camp Tiga. Batuk yang kuderita tidak juga mereda, dan setiap kali aku terbatuk, aku merasa seakan-akan seseorang menendangku diantara tulang rusukku.
     Hampir semua pendaki di Base Camp berada dalam kondisi yang juga buruk---ini sekadar kenyataan hidup dipunggung Everest. Dan dalam waktu lima hari, para anggota tim ekspedisi Hall dan Fischer akan meninggalkan Base Camp untuk menuju puncak. Berharap bisa memulihkan kondisiku, aku memutuskan untuk beristirahat, menelan ibuprofen (semacam obat anti inflamasi nonsteroid) dan menelan sebanyak mungkin makanan yang bisa kutelan saat itu.
     Sejak awal ekspedisi, Hall berencana untuk mencapai puncak pada 10 Mei. "Dari empat kali penaklukan puncak,' katanya "dua kali aku lakukan pada 10 Mei. Seperti kata para Sherpa, tanggal sepuluh merupakan tanggal 'keberuntunganku." Namun, sebenarnya ada alasan lain yang lebih masuk akal, yang terkait dengan pemilihan tanggal tersebut: angin muson yang terus berfluktuasi sepanjang tahun membuat tanggal 10 Mei atau tanggal-tanggal di seputarnya menjadi tanggal yang paling baik.
     Sepanjang bulan April, angin kencang yang bertiup ke arah barat menerjang puncak Everest layaknya sebuah selang api. Bahkan ketika cuaca di Base Camp terasa tenang dan disinari matahari, spanduk-spanduk es raksasa yang tertiup angin melesat turun dari arah puncak. Namun, pada awal bulan Mei, kami berharap angin muson yang bertiup dari Teluk Bengali akan memaksa angin yang bertiup ke barat tadi membelok ke utara menuju Tibet. Jika cuaca tahun ini serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, celah diantara perginya angin tadi dan tibanya badai muson bisa memberi kami cuaca yang jernih dan tenang sehingga kami bisa menaklukkan puncak.
     Sayangnya, pola tahunan cuaca ditempat ini bukan lagi merupakan rahasia, dan semua tim ekspedisi sama-sama menantikan datangnya udara tenang tersebut. Untuk menghindari terjadinya kemacetan yang sangat berbahaya akibat banyaknya jumlah pendaki, Hall mengadakan pertemuan dengan para pemimpin ekspedisi di Base Camp. Dan kami semua sudah sepakat, bahwa Goran Kropp, seorang pemuda Swedia yang mengendarai sepeda dari Stockholm ke Nepal akan menjadi pendaki pertama yang mendaki sendirian pada 3 Mei, disusul oleh tim Montenegro. Kemudian pada 8 atau 9 Mei, tim ekspedisi IMAX mendapat giliran.
     Tim ekspedisi Hall dan Fischer akan sama-sama mendaki pada 10 Mei. Setelah hampir terbunuh oleh sebuah batu yang jatuh di Punggung Tenggara, Petter Neby, pendaki solo warga Norwegia akhirnya pergi: suatu pagi, diam-diam dia meninggalkan Base Camp dan kembali ke Skandinavia. Sebuah tim yang dipandu oleh dua warga Amerika, Todd Burleson dan Pete Athans, juga tim komersial pimpinan Mal Duff dan satu tim komersial dari Inggris, berjanji bahwa mereka tidak akan mendaki tanggal 10 Mei, juga tim dari Taiwan. Hanya Ian Woodall yang menolak membuat kesepakatan dan menyatakan bahwa tim  Afrika Selatan akan mendaki kapan saja dan sesuai dengan keinginan mereka, mungkin juga pada 10 Mei. Tim lain yang tidak suka dipersilakan mundur.
     Hall yang biasanya tidak mudah marah, benar-benar geram mendengar penolakan Woodall untuk bekerja sama. "Aku tidak ingin berada disekitar puncak saat penjudi itu berada disana," katanya dengan marah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar