Senin, 28 September 2015

Gunung Sumbing via Garung

It's about passion !!!

Gunung Sumbing, tergolong gunung "periode awal" yang membuat kecanduan saya terhadap hiking semakin akut. Masa-masa gila naek gunung, ga boleh deh ada libur atau waktu senggang yang terlewat tanpa "merimba". Dan kini 19 tahun berselang, di suatu pagi yang berkabut, pukul 6.00, setelah perjalanan selama 12 jam, saya sedang mengisi buku daftar pengunjung Pendakian Sumbing via Garung. Pagi ini dinginnya cukup lumayan, tapi tidak menyurutkan niat saya untuk memuaskan dahaga akan mendaki.
       
Basecamp Sumbing....sepi...masih kepagian

Banyak yang berubah, salah satunya lokasi basecamp . Dulu, basecamp pendakian terletak hanya 400 meter dari tepi jalan raya, sekarang lebih masuk ke dalam, sekitar 1 kilometer terletak di kiri jalan desa. Basecamp pendakian gunung yang memiliki ketinggian 3371 mdpl ini, dikelola oleh organisasi masyarakat dusun Garung di bawah bendera Stickpala. Perubahan lainnya adalah adanya jalur pendakian baru. Untuk mendapatkan surat ijin mendaki, saya harus membayar Rp.12.500,-. Dengan membayar sejumlah itu, selain mendapat ijin mendaki, saya pun memperoleh peta pendakian beserta sebuah karung kecil untuk tempat sampah.

       Untuk menghemat tenaga saya menyewa jasa ojek hingga ke Pos I dengan biaya Rp.25.000,-. Ada sedikit hal yang menurut saya lucu dan rupanya memang seperti itu. Saat saya sudah siap menaiki ojek, tukang ojek tersebut meminta keril yang saya pakai. Saya yang belum sepenuhnya paham mengikuti saja permintaan tukang ojek itu. Saya pikir dia (tukang ojek) mau meringankan beban saya sebagai bentuk servis plus nya. Tapi rupanya saya salah kira sebab selesai menyandangkan keril saya di punggungnya, ucapan dia berikutnya membuat saya kaget. "Ayo mas-nya naik di depan" katanya singkat. Sambil mengernyitkan dahi saya jawab, "saya di depan pak?! Ga salah?!". "Iya, mas-nya di depan, biar motornya ga standing pas di tanjakan". Akhirnya mau tidak mau saya mengikuti perintah tukang ojek, naik dan duduk di depan si tukang ojek. Dengan kedua kaki berpijak di blok mesin dan tangan berpegangan di bagian tengah stang, posisi saya duduk persis seperti anak kecil yang sedang naik sepeda roda tiga. Saya membatin dalam hati, "aneh banget sih cara tukang ojek disini ngangkut penumpang, gimana kalau penumpangnya cewe?...menang banyak nih...hehe".

Trail 1: Base Camp Garung - Malim.

Mejeng pagi di Pos I

Setelah sepuluh menit menyusuri jalanan desa selebar dua setengah meter yang terbuat dari batu-batu yang tersusun rapi dan membelah ladang penduduk, ojek yang saya tumpangi berhenti persis di depan Pos I Malim. Jika berjalan kaki, di perlukan waktu 75-120 menit untuk mencapai Pos I dari basecamp. Setelah saya membayar ongkos, ojek pun langsung berbalik arah dan kembali turun ke perkampungan. 

Ada dua orang pendaki asal Semarang yang sedang memasak sarapan saat saya tiba pagi itu. Dan saya pun menyempatkan diri berbincang-bincang sejenak. Setelah mengambil beberapa foto saya pun memulai pendakian tepat pukul 07.00. Berjalan santai sambil mengatur napas untuk mendapatkan ritme jalan yang nyaman. Matahari masih belum penuh menyinari jalur yang saya tapaki tetapi keringat sudah mulai bercucuran, yup, keringat ini akibat pengaruh jaket running yang saya kenakan. Jaket yang jadi andalan saya untuk mendukung Ultralight Style yang sedang saya gandrungi.
Jalur menuju Pos II ini relatif landai, dengan kontur tanah diselingi beberapa tanjakan yang cukup "lumayan".

Trail 2 : Pos I Malim - Pos 2 Genus
Dapat di capai dalam waktu lima puluh menit dengan berjalan santai. Saat saya tiba di Pos II Genus, ada 1 rombongan pendaki yang berkemah disini, mereka sedang dalam perjalanan turun. Pos II ini lokasinya cukup terlindung, dan merupakan pos yang paling rimbun vegetasinya. Pos ini cukup untuk membangun 5-6 tenda kapasitas empat.

Setelah break selama lima menit plus mengambil foto, saya pun kembali melanjutkan perjalanan. Kondisi jalur selepas pos II masih relatif landai dan semakin berdebu. Jika ada yg menyulitkan selain tidak adanya sumber air di pendakian ini ya tebalnya debu. Belum turunnya hujan selama hampir lima bulan menjadi salah satu penyebabnya. Saya pun harus menggunakan masker agar sedikit terhindar dari debu. Dua puluh menit lepas pos II, saya tiba di area kecil seperti pos bayangan. Ada papan bertuliskan "Engkol-engkolan" menempel di salah satu pohon di sebelah kiri jalur. Saya lihat ke arah depan jalurnya masih tetap sama, landai dan berdebu. Saya berusaha menangkap arti kata "Engkol-engkolan" itu, sebab agak sedikit janggal bagi saya. Dalam pemahaman saya "Engkol-engkolan" bisa di artikan "gowes-gowesan" atau "genjot terus", dalam arti yg lebih simpel ya "jalan terus walau harus digenjot paksa". Saya benar-benar penasaran, dimana korelasi antara nama "Engkol-engkolan" dengan jalur pendakiannya. 

Dua menit kemudian rasa penasaran saya terjawab. Setelah meninggalkan papan nama tadi dan berjalan 30 meter, jalur membelok ke kanan. Persis di tengah jalur ada sebuah pohon yang cukup besar, di belakang pohon itu adalah jalur berikutnya yang harus saya lewati. Jalurnya sangat lebar, perpaduan tanah dan pasir dengan debu yang tetap tebal, hanya saja di tambah tanjakan curam sejauh kurang lebih 400 meter, tanpa bonus! Tanpa vegetasi!
Well, akhirnya kecurigaan saya terhadap papan nama "Engkol-engkolan" terjawab sudah. Mau tidak mau memang pendaki harus jalan terus walau kaki digenjot paksa agar bisa melewati tanjakan ini. Menurut saya, tanjakan ini salah satu bagian tersulit dalam mendaki gunung Sumbing. Persis di ujung tanjakan adalah awal puncak punggungan yang akan menjadi jalur pendakian selanjutnya.

Trail 3: Pos 2 Genus-Pos 3 Sedelupak Roto 
Saya hanya beristirahat 10 menit saja di Pos III setelah berhasil melewati tanjakan panjang itu. Nyaris satu jam waktu yang habiskan untuk menyelesaikan trail ini. Vegetasi di pos ini tidak rimbun, tetapi merupakan pos yang paling terlindung dari angin kencang jika dibanding dengan pos-pos selanjutnya. Areanya sangat luas dengan kontur tanah bercampur pasir. Meski udara terasa semakin panas, saya terus berjalan. Saya baru berhenti lagi dua puluh menit kemudian, di sebuah area terbuka.

Trail 4 : Sedelupak Roto - Pestan.
Pos IV Pestan. Merupakan pos ke empat dalam pendakian Sumbing via Garung yang berjarak dua puluh menit dari pos Sedelupak Roto. Area ini meski ideal untuk berkemah tapi sangat tidak di rekomendasikan untuk pendaki mendirikan tenda, sebab di area Pestan inilah paling beresiko badai dengan angin kencang. 

Saya menunduk, menumpukan dahi saya ke ujung atas trekking pole yang berbantal kedua punggung tangan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Entah sudah berapa kali saya seperti ini, rasanya setiap saya berhenti melangkah saya pasti menunduk bertumpu seperti ini. Dalam mendaki, saya memang tidak akan beristirahat dalam posisi duduk jika bukan di tempat yang memang menjadi target saya untuk beristirahat agak lama---agak lama versi saya itu lima belas hingga enam puluh menit. Pola istirahat hanya membungkuk tanpa duduk memudahkan saya menjaga ritme jalan yang nyaman. Menurut saya, jika setiap kali berhenti melangkah lalu istirahat dengan cara duduk akan membuat kita malas untuk melanjutkan perjalanan dan otomatis membuang waktu.

Trail 5 : Pestan - Pasar Watu

Menjelang Pasar Watu
Mulai lelah...but still excited


Batu-batu di Pasar Watu

Selepas pos IV, jalur berubah konturnya menjadi bebatuan besar bercampur sedikit pasir di bagian kanan dan setapak tanah berpasir di sebelah kiri. Area yang terbuka membuat jalur nampak jelas lurus ke atas tanpa belokan dan menanjak tanpa bonus dengan kemiringan 45°. 

Berjalan pelan namun pasti saya bergerak melewati langkah demi langkah sambil sesekali berhenti untuk mengatur napas. Panas terasa makin menyengat, padahal belum juga tengah hari. Setelah mencoba memperhatikan keadaan sekitar, saya melihat sebuah pohon Cantigi yang cukup rindang dan teduh di sebelah kanan jalur, persis di tepi sebuah jurang. Area datar di sekitarnya cukup ideal untuk saya beristirahat. Lima menit berselang, saya sudah asyik duduk bersandar di bawah pohon itu, sambil menikmati nasi bungkus yang saya beli subuh tadi di Terminal Mendolo Wonosobo. 

G-Shock saya menunjukkan pukul 10.30. Seperti biasanya, penyakit saya selalu kambuh saat selesai makan, akhirnya tidak ada pilihan lain selain merebahkan badan, memposisikan bodypack sebagai bantal dan kemudian...tidur. Sesaat sebelum benar-benar tidur saya sempat melirik Casio saya lagi, pukul 11.00, "cukuplah tidur setengah jam" gumam saya. Ternyata saya tidur pulas sekali, mungkin efek kurang tidur semalaman di bus. Jam menunjukkan pukul 11.50 saat saya terbangun. Bangun mendadak sontak membuat kepala saya pusing. Sambil menyandangkan kembali Appalachia 35L saya ke pundak, saya pun mulai bergerak melangkahkan kaki perlahan-lahan. Setiap 20 langkah saya berhenti sebentar untuk mengatur napas, karena istirahat yang terlalu lama tadi, saya kehilangan ritme jalan yang nyaman. 

Meskipun saya berjalan dengan pelan ternyata saya bisa mencapai Pos V Pasar Watu hanya dalam waktu tiga puluh menit. Di namakan Pasar Watu sebab di lokasi ini banyak berserak batu-batu besar, di tambah persis lurus dengan jalur terdapat bukit batu yang sangat besar, seperti memutus jalur pendakian. Dan memang untuk melanjutkan pendakian, para pendaki---termasuk saya---harus berjalan turun mengikuti setapak di sebelah kiri, berjalan melipir sisi bagian timur dari bukit batu besar itu. Saat melipir sisi kiri tersebut, kita harus lebih berhati-hati sebab di sebelah kiri kita adalah jurang. Jalur di sisi kiri bukit batu besar itu relatif datar, lumayan menjadi bonus. Setelah empat puluh meter, jalur kembali menanjak curam dan berbatu-batu tanpa bonus. Beruntung cuaca berubah mendung sehingga udara menjadi lebih sejuk.

Trail 6 : Pasar Watu - Watu Kotak
 Akhirnya pukul 12.50 saya pun tiba di Pos VI Watu Kotak, pos yang menjadi target saya untuk mendirikan tenda dan bermalam. Saya memilih lokasi yang berada sepuluh meter diatas Pos Watu Kotak untuk mendirikan tenda. Pos ini bukan area yang luas, maksimal hanya bisa untuk mendirikan 4-5 tenda saja. Sesuai namanya, terdapat batu kotak berukuran raksasa yang berdiri memanjang ke arah puncak. Terdapat sedikit ceruk menyerupai gua di sisi sebelah timur. Ceruk tersebut sering digunakan pendaki untuk berteduh atau berlindung dari terpaan angin. Dari pos ini, jika cuaca cerah, Gunung Sindoro, Prau dan Slamet sangat jelas terlihat. Umumnya pos ini menjadi target camp pendaki sebelum summit.

Trek menuju Watu Kotak, 5 menit pasca Pasar Watu

Saya selesai membangun tenda kurang lebih pukul 14.00. Kemudian memasak air dan menyeduh kopi untuk menghangatkan badan yang mulai dingin. Selesai berganti pakaian dan menunaikan shalat dzuhur, saya menggunakan sendal dan beranjak keluar untuk menikmati cuaca mendung disore ini. Sambil duduk di atas susunan batu-batu besar, menghadap ke arah timur laut, ke arah Sindoro, saya mulai menghirup kopi dari cangkir stainless yang saya bawa. Duuh...sungguh nikmat rasanya. Sambil ditemani biskuit sebagai camilan, saya terhanyut dalam suasana. 

Masih nampak jelas kepulan asap sisa-sisa kebakaran di Sindoro. Lereng atas di sisi jalur Tambi dan sebagian besar jalur Kledung nampak hitam. Sedih rasanya melihat tempat bermain saya begitu rupa. Tak banyak pendaki hari ini, bahkan tenda saya hanya berdiri sendiri di pos ini. Beruntunglah saya bisa memperoleh "kesunyian" ini. Beberapa titik air terasa menempel di wajah saya, membuyarkan lamunan, dan ternyata turun hujan, hujan pertama sejak lima bulan terakhir...Alhamdulillah...saya pun beringsut turun dari batu tempat saya duduk dan segera masuk ke dalam tenda untuk beristirahat.

Trail 7 : Watu Kotak - Puncak Sumbing
Pukul 19.00, hujan sudah reda, saya pun telah selesai makan malam. Sambil menyalakan lampu tenda, saya mencari posisi yang nyaman untuk tidur berbalut sleeping bag Gorillaz andalan. Setelah menyetel alarm pukul 3.30 saya pun terlelap, maklumlah saya benar-benar kurang istirahat. 

Sempat saya terbangun beberapa kali entah pukul berapa karena suara gaduh diluar. Sepertinya beberapa rombongan pendaki yang baru tiba dan akan mendirikan tenda juga dilokasi ini.
Meskipun harus terbangun beberapa kali namun secara keseluruhan, malam ini saya bisa beristirahat dengan maksimal. Seperti hari-hari biasanya, alarm gadget saya setia berbunyi pukul 03.30, membangunkan saya dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Dengan malas saya beranjak bangun, keluar dari hangatnya kantong tidur dan membiarkan pori-pori kulit bersentuhan dengan udara yang dingin di dini hari. Setelah menyalakan kompor dan menuangkan air untuk di masak, saya mengenakan jaket, kaos kaki dan headlamp. Setelahnya, saya menyeduh sereal dan makan mie goreng sisa semalam untuk pengisi perut sebelum summit. Bodypack saya isi dengan P3K, termos, cangkir, gula, biskuit dan teh. 

Pukul 04.40, setelah shalat subuh saya pun keluar tenda, menutup resletting dan menyalakan headlamp lalu mulai berjalan menuju puncak. Jalur awal dari Watu Kotak berupa tanjakan curam dengan kemiringan rata-rata 60°. Setiap beberapa langkah saya berhenti, memberikan kesempatan tubuh untuk beradaptasi dengan udara subuh. Tiga puluh menit kemudian saya tiba di Tanah Putih. Saya pun semakin bersemangat, sebab dengan telah di capainya Tanah Putih berarti puncak sudah sangat dekat. Di sebelah timur, semburat cahaya ungu bercampur oranye semakin jelas terlihat, menandakan sebentar lagi matahari akan terbit. 

Akhirnya setelah melewati satu tanjakan terjal saya tiba di pertigaan puncak. Karena tidak ingin melewatkan momen sunrise saya pun bergegas menuju ke arah kanan, ke puncak tertinggi Gunung Sumbing. Alhamdulillah, tepat pukul 05.40 saya berhasil menjejak titik tertinggi Gunung Sumbing 3371 mdpl. Sujud syukur serta menyebut asma Allah atas kesempatan yang telah di berikan untuk saya. Pagi ini cuaca sangat cerah, anginpun bertiup dengan lembut. Saya menikmati naiknya sang surya dari horison, di temani satu kotak biskuit dan secangkir teh manis panas. Di kanan saya kawah Sumbing tampak mengepulkan asapnya. Sayang, waktunya tidak mencukupi untuk saya turun dan meng-eksplor bagian kawah Sumbing. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 06.30, saya pun segera turun kembali menuju tenda untuk berkemas dan mengejar bus untuk pulang ke Jakarta.

#the End

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya ya....:)
------------------------------------

More Info :
- BB  : 745565CE
-WA only : 08111181225
- e-mail : cliff.klie@gmail.com

#Rundown :
-Terminal Wonosobo - Pertigaan Garung 30-45 menit
-Pertigaan Garung - BC Pendakian
20 menit
-BC - Pos I Malim 75-90 menit
-Pos I Malim - Pos II Genus 45-75 menit
-Pos II Genus - Pos III Sedelupak Roto 45-80 menit
-Pos III Sedelupak Roto - Pos IV Pestan 15-30 menit
-Pos IV Pestan - Pos V Pasar Watu
30-45 menit
-Pos V Pasar Watu - Pos VI Watu Kotak 30-50 menit.
-Pos VI Watu Kotak - Puncak Sumbing 60-100 menit.
Total 5-8 jam
------------------------------------

#Biaya :
1. Bogor / Jakarta - Wonosobo Terminal Mendolo Rp.115.000 bus Sinar Jaya Eksekutif
2. Terminal Mendolo - Pertigaan Garung dg bus 3/4 tujuan Magelang Rp.10.000
3. Simaksi Rp.12.500
4. Logistik Rp.100.000
5. Lain-lain Rp.50.000
Total Rp.402.500,-
------------------------------------

And these is the pict, enjoy


It's my passion !!

Sindoro yang masih terbakar

Ngopi di bawah tebing Watu Kotak

Kawah Sumbing

Beautiful Sunrise

Pecandu ketinggian


Dipertengahan menuju Pasar Watu


Pertigaan desa Butuh dusun Garung

Baru turun dari bus Magelang-an



Kawah Sumbing

Di Puncak Sumbing

Jalur pendakian selepas Pestan

Tanjakan berbatu menuju Pasar Watu

Tanjakan menuju Pos III

Selepas Engkol-engkolan

Debunya tebal banged!

Jalur menuju puncak

Another view of  Sunrise

Nge-teh di Puncak Sumbing...nikmaaat

Berselimut kabut pagi

Menjejak titik tertinggi Sumbing

Peta pendakian

I am freeee!!!

Merbabu dan Merapi pagi itu

16 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. review nya membantu skali bang, saya rencana bulan depan mau ke sumbing via Garung ,,, :)
    can't wait to get there ...😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak nita christyanti, mau naik tgl brp bulan ini...?

      Siapa tau bareng wkt nya..

      Hapus
    2. Mbak nita christyanti, mau naik tgl brp bulan ini...?

      Siapa tau bareng wkt nya..

      Hapus
  3. Oke mbak Nita...keep safety ya. Prepare air yg cukup. N prepare u/ cuaca yg kurang ideal.

    BalasHapus
  4. Sendirian bang.. Superrr...!!

    Monggo mampir ke rumah ane juga:

    http://www.menggapaiangkasadunia.web.id/2016/03/3371-kembali-menapaki-tanjakan-tiada.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bang, kalo udah kumat n kebelet saya sering jln sendiri. :). Kapan2 bolehlah nanjak bareng.

      Hapus
  5. makasih kak, info jalur pendakian gunung sumbing via garungnya sangat membantu kami utk melakukan persiapan pra pendakian :)

    BalasHapus
  6. makasih kak, info jalur pendakian gunung sumbing via garungnya sangat membantu kami utk melakukan persiapan pra pendakian :)

    BalasHapus
  7. kalo mendaki sendiri untuk cewek gmn bang? amankah?
    saya rencana mau kesana, setiap weekend selalu ada yang mendaki?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut saya aman Mbak Erma. Jalurnya jelas. Mengenai berat atau ringan medan itu relatif. Setau saya kalo weekend sudah pasti ada yg naik, kalo cari suasana ya hindari waktu weekend.

      Hapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Mau tanya .. kalo di BC nya ada penyewa alat mendaki nggak ya ?

    BalasHapus
  10. Persiapan summit nya mancap k 😂, mau tanya k? Tempat camp ideal di gunung sumbing di pos brp yh? Insya Allah bulan ini mau ikut pendakian gunung sumbing via garung sama kakak dan temen" NY.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika bukan di musim ramai pendakian lebih baik buka tenda di Watu Kotak. Kalo pengen kebagian tempat di Watu Kotak paling ngga harus udh sampai disana sebelum jam 13.00.

      Hapus