Kamis, 01 Oktober 2015

Into Thin Air---BAB XIII---LERENG TENGGARA 10 MEI 1996---27.600 KAKI

Cukup jika dikatakan bahwa (Everest) memiliki lereng yang paling terjal dan tebing yang paling curam yang pernah kulihat, dan bahwa semua desas desus tentang lereng bersalju yang mudah ditaklukkan tidak lebih dari sebuah mitos...
     Sayangku, ini benar-benar bisnis yang sangat menggetarkan jiwa, aku tidak dapat menceritakan betapa dia membuatku kerasukan, betapa besar prospek yang di milikinya. Dan betapa indah semua ini!

George Leigh Mallory
dalam satu surat untuk istrinya,
28 Juni 1921

Di atas Jalur Selatan, jauh diatas di Zona Kematian, kemampuan untuk bertahan hidup sedikit banyak menyerupai perlombaan melawan waktu. Saat keluar dari Camp Empat pada 10 Mei, setiap klien membawa dua tabung oksigen masinh-masing berisi 3,3 kilogram dan di Puncak Selatan mereka bisa mengambil botol ketiga dari tempat penyimpanan yang sudah disiapkan oleh para Sherpa. Dengan kecepatan mengalir dua liter per menit, setiap botol akan bisa bertahan antara lima sampai enam jam. Sekitar pukul 16.00 atau 17.00, setiap pendaki akan kehabisan gas. Bergantung pada hasil aklimatisasi dan fisik masing-masing, semua orang masih akan bisa berfungsi diatas Jalur Selatan---tetapi tidak cukup baik, dan tidak akan bertahan lama. Dengan cepat, kami akan menjadi lebih rentan terhadap serangan  HAPE, HACE, hipotermia, kemampuan berpikir kami akan menurun dengan cepat, dan kami lebih rentan terhadap gigitan udara dingin. Resiko kematian pun akan meroket tajam.
     Hall, yang pernah empat kali mendaki Everest, begitu pula pendaki-pendaki yang lain, memahami dengan baik perlunya mendaki dan turun dengan cepat. Sadar bahwa keterampilan dasar mendaki dari beberapa kliennya sangat diragukan, Hall bermaksud memanfaatkan lintasan tali untuk mengamankan dan melancarkan pendakian tim kami  dan tim Fischer saat melewati medan yang paling sulit. Fakta bahwa belum satu ekspedisipun yang bisa mencapai puncak tahun ini cukup mencemaskannya, artinya, belum ada lintasan tali yang terpasang di sebagian besar jalur pendakian.
     Pada 3 Mei, Goran Kropp, pendaki solo dari Swedia sudah mendaki sampai kira-kira 350 kaki dari puncak, tetapi dia tidak membuat lintasan tali. Tim Montenegro yang sudah mendaki lebih tinggi memang membuat lintasan tali, tetapi karena kurang pengalaman, mereka justru membuat lintasan tali sepanjang 1.400 kaki di atas Jalur Selatan, menyia-nyiakan tali mereka di lereng yang cukup landai. Jadi, pada hari terakhir pendakian menuju puncak, satu-satunya tali yang terentang dijalur terjal di bagian atas Lereng Tenggara hanyalah beberapa potongan tali, sisa-sisa dari ekspedisi yang lalu yang secara sporadis mencuat dari permukaan es.
     Mengantisipasi kemungkinan ini, sebelum meninggalkan Base Camp, Hall dan Fischer mengumpulkan  para pemandu dari kedua tim, dan mereka sepakat untuk mengirimkan dua Sherpa---termasuk sirdar pendaki, Ang Dorje dan Lopsang---dari Camp Empat, sembilan puluh menit sebelum tim utama berangkat. Sembilan puluh menit dianggap cukup bagi kedua Sherpa itu untuk membuat lintasan tali ditempat-tempat yang paling sulit di atas gunung sebelum para klien tiba. "Rob menekankan pentingnya melakukan hal itu," kenang Beidleman. "Dia ingin mengurangi hambatan-hambatan yang menghabiskan waktu, apapun bayarannya."
     Akan tetapi, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, tidak ada Sherpa yang berangkat mendahului kami pada 9 Mei tersebut. Barangkali mereka tertahan oleh badai yang sangat hebat yang tidak berhenti sampai pukul 19.30 sehingga tidak bisa bergerak lebih awal. Setelah ekspedisi berakhir, Lopsang mengatakan bahwa pada menit terakhir, Hall dan Fischer membatalkan rencana memasang lintasan tali untuk para klien karena mereka menerima informasi yang salah, yaitu tim Montenegro sudah membuat lintasan tali sampai di Puncak Selatan.
     Anehnya, jika penjelasan Lopsang memang benar, baik Beidleman, Groom maupun Boukreev---tiga pemandu yang lolos dari maut---tidak pernah diberi tahu tentang perubahan rencana untuk membuat lintasan tali dengan sengaja dibatalkan, mengapa Lopsang dan Ang Dorje berangkat dengan membawa seutas tali masing-masing sepanjang 300 kaki saat mereka meninggalkan Camp Empat mendahului tim masing-masing.
     Yang pasti, tidak ada lintasan tali di atas ketinggian 27.400 kaki. Ketika Ang Dorje dan aku tiba di balkon sebagai pendaki pertama pada pukul 05.30 pagi, kami berdua berada kira-kira satu jam didepan anggota tim Hall yang lain. Saat itu, kami bisa dengan mudah membuat lintasan tali. Namun, Rob dengan tegas melarangku untuk terus mendaki dan Lopsang masih berada jauh dibawah kami, menarik Pittman dengan tali pendek sehingga tidak ada orang yang menemani Ang Dorje.
     Ang Dorje yang dasarnya memang pendiam dan pemurung tampak lebih murung saat kami berdua mengamati matahari yang sedang naik. Upayaku untuk mengajaknya bercakap-cakap sama sekali tidak berhasil. Aku menduga sikap diamnya disebabkan oleh giginya yang bernanah, yang membuatnya kesakitan sejak dua minggu yang lalu. Atau, barangkali dia memikirkan bayangan buruk yang dilihatnya empat hari lalu: pada malam terakhir di Base Camp, dia dan beberapa Sherpa merayakan upaya menaklukkan puncak dengan meminum sejumlah besar chhang---sejenis bir yang kental dan manis terbuat dari beras dan semacam padi-padian. Keesokan harinya, masih pusing karena belum sepenuhnya pulih dari sisa-sisa mabuk semalam, Ang Dorje benar-benar gelisah; sebelum mendaki Jeram Es, dia mengaku kepada seorang teman bahwa dia melihat hantu. Sebagai pemuda yang sangat spiritual, Ang Dorje tidak bisa mengabaikan isyarat itu begitu saja.
     Akan tetapi, mungkin juga dia hanya marah kepada Lopsang yang dianggapnya sok pamer. Pada ekspedisi 1995, Hall mempekerjakan Lopsang dan Ang Dorje, tetapi kedua Sherpa itu kurang bisa bekerja sama.
     Ketika itu, pada hari terakhir pendakian menuju puncak, tim Hall sedikit terlambat tiba di Puncak Selatan, sekitar pukul 13.30 dan mendapati salju yang tidak stabil menutupi lereng terakhir yang menuju puncak. Hall mengirimkan seorang pemandu Selandia Baru bernama Guy Cotter dan Lopsang, bukan Ang Dorje, untuk menaksir kemungkinan mereka bisa mendaki lebih tinggi---dan Ang Dorje yang saat itu berperan sebagai sirdar pendaki menganggap penugasan tersebut sebagai penghinaan. Beberapa saat kemudian ketika Lopsang tiba didasar Hillary Step, Hall memutuskan untuk membatalkan upaya mencapai puncak dan meminta Cotter dan Lopsang untuk turun kembali. Namun Lopsang mengabaikan perintah tersebut, dan karena tidak terikat pada Cotter, dia meneruskan pendakian sampai ke puncak, sendirian. Hall sangat marah melihat pembangkangan Lopsang, dan kemarahan Hall merembet kepada Ang Dorje.
     Pada 1996 ini, meskipun keduanya bekerja untuk dua tim yang berbeda, sekali lagi Ang Dorje diminta untuk bekerja bersama Lopsang pada hari pendakian terakhir menuju puncak---dan sekali lagi Lopsang bertindak aneh. Selama enam minggu, Ang Dorje sudah melakukan semua tugasnya dengan sangat baik. Sekarang, dia tidak mau lagi melakukan tugas-tugas yang bukan bagiannya. Dengan muka murung, dia duduk disampingku diatas salju, menunggu kedatangan Lopsang, sementara tali untuk para pendaki masih belum terentang.
     Akibatnya, aku harus berhadapan dengan hambatan pertama, sembilan puluh menit setelah melewati Balkon, pada ketinggian 28.000 kaki, ketika para pendaki anggota dari ketiga tim tiba dihadapan batu yang pejal, yang hanya bisa dilewati secara aman dengan bantuan lintasan tali. Para klien berdesakan didasar undakan selama hampir satu jam, sementara Beidleman---yang mengambil alih tugas Lopsang yang saat itu tidak hadir---bekerja keras untuk memasang lintasan tali.
     Ditempat ini, ketidak sabaran dan kurangnya pengalaman salah seorang klien Hall, Yasuko Namba, hampir saja menimbulkan bencana. Pebisnis andal yang bekerja untuk Federal Express di Tokyo ini memang bukan wanita penurut dan patuh, seperti umumnya wanita Jepang berusia setengah baya. Di rumah, katanya kepadaku sambil tertawa, suaminya lah yang memasak dan membersihkan rumah. Di Jepang, upayanya untuk menundukkan Everest membuatnya cukup terkenal. Di awal ekspedisi, dia merupakan pendaki yang lamban dan kurang memiliki keyakinan, tetapi hari ini, ketika puncak sudah begitu dekat, dia berubah energik, sangat berbeda dengan Yasuko yang biasa. "Sejak kami tiba di Jalur Selatan," komentar John Taske, yang tidur satu tenda dengannya di Camp Empat, " perhatian Yasuko benar-benar terfokus pada upaya untuk mencapai puncak---dia seperti orang yang kerasukan." Sejak meninggalkan Jalur Selatan, dia berusaha keras agar berada diawal antrean para pendaki.
     Sekarang, ketika Beidleman masih bergantung dalam posisi berbahaya pada permukaan batuan, 100 kaki diatas para klien, Yasuko yang tidak sabar langsung mengaitkan alat pendaki mekaniknya ke lintasan tali yang terentang sebelum Beidleman selesai mengunci dan mengamankan ujung tali tersebut. Ketika Yasuko siap untuk memindahkan berat tubuhnya pada tali tersebut---yang akan membuat Beidleman jatuh---Mike Groom turun tangan tepat pada waktunya dan dengan halus menegurnya karena bersikap tidak sabar.
     Kemacetan yang terjadi pada lintasan tali pendakian semakin parah ketika jumlah pendaki terus bertambah sehingga para pendaki yang berada di belakang antrean semakin jauh tertinggal. Menjelang tengah hari, tiga dari klien Hall---Stuart Hutchison, John Taske dan Lou Kasischke, yang berada hampir dibelakang antrean bersama Hall---merasa semakin cemas karena lambannya pendakian. Didepan mereka, beberapa pendaki tim Taiwan mendaki dengan sangat lambat. "Cara mendaki mereka pun sangat aneh, terlalu berdekatan, " kata Hutchison, "hampir seperti potongan-potongan roti tawar yang saling bertumpuk, satu dibelakang yang lain, sehingga kami hampir-hampir tidak bisa melewati mereka. Kami harus menunggu lama sampai mereka bergerak kelintasan tali yang lebih tinggi."
     Di Base Camp, sebelum hari pendakian terakhir menuju puncak, Hall sudah menentukan waktu kembali untuk kami semua---yaitu pukul 13.00 atau 14.00. Namun, dia belum pernah menentukan dengan tegas, mana diantara kedua waktu itu yang harus dipilih---cukup aneh, mengingat seringnya dia berbicara tentang pentingnya menentukan tenggat waktu dan mematuhinya, apapun yang terjadi. Kami seperti dibiarkan berpikir bahwa Hall akan menunda keputusan sampai hari terakhir, setelah menaksir cuaca dan beberapa faktor lain, dan dia sendiri akan langsung bertanggung jawab membawa  semua orang turun dari gunung tepat pada waktunya.
     Menjelang tengah hari pada 10 Mei, Hall masih belum memutuskan, pukul berapa kami harus turun kembali. Hutchison yang konservatif menduga bahwa kami harus kembali pada pukul 13.00. Sekitar pukul 11.00, mengatakan bahwa puncak Everest masih sekitar tiga jam jauhnya, dan dia berusaha mendaki lebih cepat agar bisa melewati tim Taiwan. "Semakin lama kemungkinan untuk bisa sampai ke puncak sebelum pukul 13.00 menjadi semakin kecil," kata Hutchison. Kemudian mereka melakukan pembicaraan singkat. Pada awalnya, Kasischke tidak bersedia mundur, tetapi Taske dan Hutchison membujuknya. Pada pukul 11.30, ketiga pria itu berbalik dan turun, dan Hall mengirim dua orang Sherpa, yaitu Kami dan Lhakpa Chhiri, untuk menemani mereka.
     Memutuskan untuk turun gunung pasti sangat sulit bagi ketiga klien tersebut, begitu juga bagi Frank Fishbeck, yang sudah turun sejam sebelumnya. Para pendaki, baik pria maupun wanita, adalah orang-orang yang tidak mudah menyerah dalam meraih sasaran mereka. Pada hari akhir pendakian ini, setiap anggota tim ekspedisi sudah melewati banyak penderitaan dan bencana; orang-orang yang emosinya lebih seimbang pasti sudah lama berkemas dan pergi. Untuk sampai ke titik ini, orang harus memiliki sifat keras kepala yang lebih dari biasa.
     Sayangnya, jenis individu yang diprogram untuk mengabaikan tekanan pribadi dan memaksa mendaki sampai puncak biasanya diprogram untuk juga mengabaikan tanda-tanda datangnya bencana yang sudah sangat dekat. Inilah intisari dilema yang akhirnya dihadapi para pendaki Everest: untuk meraih sukses, Anda harus punya motivasi yang sangat kuat, tetapi, jika Anda terlalu termotivasi, Anda beresiko menemui ajal. Selain itu, pada ketinggian lebih dari 26.000 kaki, sulit membedakan antara semangat yang layak dan demam puncak yang membuat seseorang berbuat nekat karena batasnya benar-benar tipis. Itu sebabnya, lereng Everest dipenuhi oleh mayat.
     Taske, Hutchison, Kasischke dan Fishbeck masing-masing sudah mengeluarkan uang sebesar 70.000 dolar dan menderita selama berminggu-minggu agar bisa mencapai puncak. Mereka adalah orang-orang yang ambisius, yang tidak biasa kalah atau menyerah. Namun sekarang, ketika mereka dihadapkan pada keputusan yang sangat sulit, mereka termasuk sedikit dari orang-orang yang pada hari itu mengambil keputusan yang benar.
      Diatas undakan batu tempat John, Stuart dan Lou memutuskan untuk mundur, lintasan tali pendakian berakhir. Mulai dari sana jalur pendakian menjadi sangat curam, melewati lereng yang anggun, tetapi sempit yang tertutup oleh lapisan es yang mengeras karena tertiup angin yang kecepatannya meningkat di Puncak Selatan. Aku tiba ditempat itu pada pukul 11.00 dan berhadapan langsung dengan hambatan kedua yang lebih sulit. Sedikit di atasku, tidak lebih dari sepelemparan batu, tampak lereng Hillary Step yang berdiri vertikal, dan sedikit lebih ke atas lagi, aku melihat Puncak Everest. Merasa bodoh karena kagum dan lelah, aku mengambil beberapa foto, kemudian duduk bersama pemandu Andy Harris, Neil Beidleman dan Anatoli Boukreev, untuk menunggu para Sherpa yang sedang membuat lintasan tali di lereng menuju puncak yang sangat menonjol.
     Aku mengamati bahwa Boukreev, begitu pula Lopsang, tidak memakai oksigen tambahan. Meskipun orang Rusia itu sudah dua kali menaklukkan Everest tanpa oksigen tambahan, dan Lopsang sudah tiga kali, aku agak terkejut karena Fischer mengizinkan mereka memandu ke puncak tanpa oksigen, seakan-akan mereka tidak mengutamakan kepentingan para klien. Aku juga terkejut karena Boukreev sama sekali tidak membawa ransel---seorang pemandu biasanya membawa ransel berisi tali, peralatan P3K, peralatan standar untuk penyelamatan jika terjadi kecelakaan dicelah gletser, pakaian ekstra dan beberapa perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk membantu klien dalam situasi darurat. Boukreev merupakan pemandu pertama yang kulihat, digunung manapun, yang mengabaikan aturan tersebut.
     Ternyata, saat dia meninggalkan Camp Empat, dia membawa ransel dan tabung oksigen; dia juga mengatakan kepadaku kemudian bahwa meskipun dia tidak berniat menggunakan oksigen, dia ingin membawa satu botol untuk berjaga-jaga kalau-kalau "kekuatannya menurun" dan dia membutuhkannya saat berada dipuncak sana. Namun, sesampainya di Balkon, dia membuang ranselnya dan memberikan botol oksigen, masker dan regulatornya kepada Beidleman dan memintanya untuk membawakan barang-barang tersebut untuknya. Karena Boukreev tidak menggunakan oksigen tambahan, dia memutuskan untuk meminimalkan bawaannya agar bisa memaksimalkan udara yang sudah sangat menipis.
     Angin dengan kecepatan 20 knot menerjang lereng, menerbangkan lembaran-lembaran salju jauh ke atas Kangshung Face, tetapi diatas sana, langit tampak biru cemerlang. Duduk tenang di bawah sinar matahari pada ketinggian 28.700 kaki dibungkus jaket yang tebal, sambil memandang ke arah puncak dunia dengan tubuh lunglai karena kekurangan oksigen, aku benar-benar kehilangan jejak atas waktu. Tidak seorang pun dari kami menyadari bahwa Ang Dorje, Ngawang Norbu dan seorang Sherpa lain dari tim Hall, ikut duduk disamping kami, berbagi teh dari sebuah termos dan tampak tidak terburu-buru untuk mendaki lebih tinggi. Sekitar pukul 11.40, Beidleman akhirnya bertanya, "Hai, Ang Dorje, bukankah kamu harus membuat lintasan tali?" Dengan cepat tetapi pasti, Ang Dorje menjawab, "Tidak"---barangkali karena tidak satupun Sherpa dari tim Fischer ada ditempat itu untuk membantunya.
     Cemas karena jumlah pendaki yang berkerumun di Puncak Selatan terus bertambah banyak, Beidleman mendatangi Harris dan Boukreev dan bersikeras bahwa mereka bertiga  memasang lintasan tali bersama-sama; mendengar itu, dengan cepat aku menawarkan diri untuk membantu. Beidleman mengeluarkan seutas tali sepanjang 150 kaki dari dalam tasnya, aku mengambil seutas tali lain dari Ang Dorje, dan dengan dibantu Boukreev dan Harris, tepat tengah hari, kami berhasil membuat lintasan tali sampai ke puncak tebing. Namun saat itu, satu jam sudah terbuang secara sia-sia.

Oksigen botol tidak membuat Puncak Everest seperti tepi laut. Mendaki lereng Puncak Selatan dengan regulator yang menyalurkan oksigen yang mengalir dengan kecepatan kurang dari dua liter per menit memaksaku untuk berhenti setiap satu langkah untuk menarik tiga atau empat kali napas panjang. Kemudian, setiap satu langkah aku harus berhenti lagi untuk menarik empat kali napas panjang---dan itu adalah kecepatan terbaikku. Karena sistem oksigen yang kami gunakan mengalirkan gas yang dimampatkan yang dicampur dengan udara disekelilingnya, bernapas pada ketinggian 29.000 kaki dengan bantuan gas hampir setara dengan bernapas pada ketinggian  26.000 kaki, tetapi tanpa gas. Namun, oksigen botol memberikan manfaat lain yang sulit diukur.
     Mendaki sepanjang lereng puncak yang runcing, mengisap gas ke dalam paru-paruku yang terasa compang-camping, aku menikmati munculnya sensasi yang tenang dan aneh. Dunia dibalik masker karetku secara aneh terlihat sangat jelas, tetapi tidak benar-benar nyata, seperti sebuah film yang diputar dengan gerakan lambat didepan kacamataku. Aku merasa terbius, terlepas dan benar-benar terisolasi dari semua rangsangan luar. Berkali-kali aku harus mengingatkan diriku bahwa di kiri kananku ada langit dengan ketinggian 7.000 kaki, bahwa disini semua dipertaruhkan, bahwa setiap kecerobohan harus aku bayar dengan nyawaku.
     Setengah jam setelah melewati Puncak Selatan, aku tiba dikaki Hillary Step. Salah satu jalur pendakian yang paling terkenal dalam dunia pendaki gunung, lereng Hillary Step yang tertutup es dengan panjang 40 kaki dan kemiringan yang hampir vertikal itu kelihatan menakutkan, tetapi---seperti semua pendaki yang sungguh-sungguh---aku sangat ingin menjadi orang yang membawa ujung tali yang runcing, dan mendaki Hillary Step sebagai pendaki terdepan. Namun Boukreev, Beidleman dan Harris pun memiliki keinginan yang sama; barangkali otakku yang kekurangan oksigen berkhayal bahwa mereka akan membiarkan  seorang klien  menyandang tugas yang sangat didambakan itu.
     Akhirnya, Boukreev---sebagai pemandu senior dan satu-satunya diantara kami yang pernah mendaki Everest---memperoleh kehormatan itu; dibantu Beidleman yang bertindak sebagai pengulur tali, Boukreev dengan sangat ahli berhasil menyelesaikan tugas itu. Akan tetapi prosesnya berjalan lambat, dan ketika dia sedang bekerja keras mendaki menuju puncak Hillary Step, berkali-kali dan dengan perasaan cemas aku menatap ke arah jam tanganku, khawatir kehabisan oksigen. Tabung pertamaku sudah kosong sejak pukul 07.00 pagi saat aku berada di Balkon, setelah digunakan selama tujuh jam. Dengan menerapkan acuan yang sama, saat di Puncak Selatan aku menghitung bahwa tabung keduaku akan kosong pada pukul 14.00, dan dengan sangat bodoh aku beranggapan bahwa aku akan punya banyak waktu untuk sampai ke puncak dan kembali ke Puncak Selatan untuk mengambil botol ketigaku. Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul satu lewat, dan aku mulai ragu-ragu.
     Di puncak Hillary Step, aku mengungkapkan kecemasanku kepada Beidleman dan bertanya, apakah dia keberatan jika aku mendaki ke puncak dengan cepat, dan tidak membantu membuat lintasan tali yang terakhir? "Pergilah," katanya dengan besar hati. "Biar aku yang mengurus tali."
     Bergerak perlahan-lahan ke arah puncak, aku merasa seakan-akan berada dibawah permukaan air, dan kehidupan bergerak dengan kecepatan lambat, seperempat tali kecepatan biasa. Sesaat kemudian, aku menemukan diriku berada diatas sebuah birai yang tertutup lapisan es tipis, diseputarku tampak tangki-tangki oksigen yang sudah ditinggalkan, sebuah tiang alumunium yang sudah lapuk dan patah-patah, dan tidak ada tempat yang lebih tinggi untuk didaki. Seuntai bendera doa agama Budha berkepak keras tertampar tiupan angin. Jauh dibawahku, dilereng gunung yang belum pernah kulihat sebelumnya, tampak dataran Tibet yang kering membentang sampai batas cakrawala, sebuah permukaan bumi yang luas tanpa batas, berwarna cokelat keabu-abuan.
     Mencapai puncak Everest seharusnya memicu munculnya kegembiraan yang meluap-luap; setelah melewati sejumlah hambatan yang sepertinya tidak terpecahkan, akhirnya aku bisa meraih sasaran yang sangat kudambakan sejak kanak-kanak. Namun, mencapai puncak barulah setengah jalan, setiap dorongan yang muncul untuk memberi selamat kepada diriku segera sirna oleh perasaan takut memikirkan perjalanan panjang yang membentang dihadapanku, perjalanan berbahaya menuruni gunung.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Bagus gan...trims sudah mau menuliskan nya buku ini di tunggu kelanjutan nya

    BalasHapus