Kamis, 15 Oktober 2015

Into Thin Air --- Bab XXI

               INTO THIN AIR
                    BAB XXI
          BASECAMP EVEREST
   13 MEI 1996 --- 17.600 KAKI

Pada akhirnya saya harus memberikan pertimbangan matang tentang ekspedisi kami yang mustahil, saat kami siap untuk berangkat.... Sementara itu, Amundsen sudah langsung berangkat ke tempat itu, tiba disana, dan kembali tanpa kehilangan satu orang pun, tanpa menghadapi banyak kesulitan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orangnya, kecuali kesulitan yang umum terjadi dalam sebuah ekspedisi  menuju kutub. Sebaliknya, ekspedisi kami yang harus menghadapi resiko yang sangat mengerikan, melakukan keajaiban yang melebihi daya tahan manusia biasa, mendapat kemahsyuran yang abadi, dikenang lewat khotbah-khotbah gereja yang mulia dan dielu-elukan publik, harus tiba di Kutub hanya untuk mendapati bahwa perjalanan kami sungguh mengerikan dan sia-sia, serta meninggalkan orang-orang terbaik kami mati di atas salju. Mengabaikan kontras seperti itu benar-benar tindakan bodoh: menulis sebuah buku tanpa memperhitungkan semua itu, benar-benar membuang waktu.

Apsley Cherry-Garrard
The Worst Journey in the World
Kisah tentang Ekspedisi Falcon Scott yang gagal pada 1912 ke Kutub Selatan
-----------------------------------

Setibanya di kaki Jeram Es Khumbu, pagi hari, Senin 13 Mei, ketika sedang berjalan menuruni lereng terakhir, aku disambut oleh Ang Tshering, Guy Cotter dan Caroline Mackenzie yang sudah menungguku di tepi gletser. Guy memberiku sebotol bir, Caroline memelukku dan tanpa kusadari, aku terduduk diatas es sambil menutupi wajahku, airmata membasahi pipiku. Aku menangis, sesuatu yang tidak pernah lagi kulakukan sejak aku masih seorang anak lelaki kecil. Sekarang, setelah aku selamat, tekanan berat yang kurasakan selama beberapa hari terakhir seakan terangkat dari pundakku, aku menangis karena kehilangan rekan-rekanku dan bersyukur karena aku masih hidup, aku menangis karena aku bisa bertahan hidup sementara rekan-rekanku tewas.
Pada Selasa sore, Neal Beidleman memimpin upacara peringatan di perkemahan Mountain Madness. Ayah Lopsang Jangbu, Ngawang Sya Kya---seorang lama pentahbis---membakar dupa pohon juniper dan membacakan beberapa doa agama Budha di bawah naungan langit yang berwarna kelabu metalik. Neal mengucapkan sedikit pidato, Guy bicara sepatah dua patah kata, Anatoli Boukreev berduka cita atas tewasnya Scott Fischer. Aku berdiri dan mengucapkan kata perpisahan untuk Doug Hansen. Pete Schoening berusaha mengobarkan semangat semua orang dengan meminta kami semua untuk melihat ke depan, bukan ke belakang. Tetapi, ketika upacara selesai dan kami semua kembali ke perkemahan, suasana pemakaman yang muram menyelimuti Base Camp.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sebuah helikopter tiba untuk mengevakuasi Charlotte Fox dan Mike Groom yang terkena gigitan udara dingin yang pasti akan bertambah parah jika mereka kembali dengan berjalan kaki. John Taske yang berprofesi sebagai dokter, ikut menemani untuk merawat Charlotte dan Mike dalam perjalanan. Menjelang tengah hari, ketika Helen Wilton dan Guy Cotter sedang mengawasi pembongkaran perkemahan Adventure Consultants, Lou Kasischke, Stuart Hutchison, Frank Fischbeck, Caroline Mackenzie dan aku meninggalkan  perkemahan untuk pulang.
Pada Kamis, 16 Mei, kami semua diangkut dengan sebuah helikopter dari Pheriche ke Desa Syangboche yang berada tepat diatas Namche Bazaar. Saat kami sedang berjalan melewati landasan pesawat yang tertutup lumpur dan menunggu penerbangan kedua menuju Kathmandu, Stuart, Caroline dan aku, didatangi oleh tiga pria Jepang berwajah muram. Orang pertama mengaku bernama Muneo Nukita---seorang pendaki Himalaya yang berpengalaman dan sudah dua kali menundukkan puncak Everest---yang dengan sopan memperkenalkan diri sebagai pemandu dan penerjemah untuk dua rekannya yang lain, yaitu suami Yasuko Namba bernama Kenichi Namba dan saudara laki-laki Yasuko. Selama empat puluh lima menit berikutnya mereka  mengajukan banyak pertanyaan, beberapa diantaranya bisa kujawab.
Saat itu, kematian Yasuko telah menjadi berita utama diseluruh Jepang. Bahkan, pada 12 Mei---kurang dari dua puluh empat jam setelah Yasuko tewas di Jalur Selatan---sebuah helikopter mendarat di tengah Base Camp, dan dua wartawan Jepang yang mengenakan masker oksigen turun dari pesawat. Mereka mendatangi orang pertama yang mereka lihat---seorang pendaki Amerika bernama Scott Darsney---dan mengorek keterangan tentang kematian Yasuko. Hari ini, empat hari sesudahnya, Nukita mengingatkan kami tentang adanya sejumlah wartawan berita dan televisi yang haus berita sedang menunggu kami di Kathmandu.
Sore hari itu kami berdesak-desakkan didalam badan pesawat helikopter Mi-17 yang sangat besar yang langsung mengudara melewati sebuah celah diantara gumpalan-gumpalan awan. Sejam kemudian, helikopter tersebut mendarat di Tribhuvan International Airport, dan begitu keluar dari pesawat kami di sambut oleh ratusan mikrofon dan kamera televisi. Sebagai seorang wartawan, pengalaman di wawancarai merupakan pelajaran baru bagiku. Sekelompok wartawan, kebanyakan wartawan Jepang, meminta uraian terperinci tentang bencana yang terjadi, lengkap dengan para tokoh antagonis dan pahlawan. Tetapi kekacauan dan penderitaan yang sudah aku saksikan tidak dengan mudah terhapus hanya oleh beberapa pernyataan media. Setelah melewati dua puluh menit yang sangat menyiksa dilandasan, akhirnya aku diselamatkan oleh David Schensted, konsul Amerika yang membawaku ke Hotel Garuda.
Wawancara yang lebih sulit segera menyusul---oleh sekelompok wartawan yang berbeda, disusul oleh wawancara dengan beberapa pejabat yang memakai kaus tangan dan berwajah garang di Kementrian Turisme. Jumat malam, aku berjalan-jalan menyusuri Distrik Thamel, Kathmandu, berusaha melepaskan perasaan depresi yang semakin memuncak. Aku mengulurkan segenggam uang rupe kepada seorang anak lelaki Nepal yang bertubuh kurus kering dan sebagai imbalan, aku menerima sebuah kotak kecil terbungkus kertas bergambar harimau yang sedang menyeringai. Di hotel, aku membuka bungkusan itu dan menumpahkan isinya diatas selembar kertas rokok. Kuncup-kuncup berwarna hijau muda itu terasa lengket dan dipenuhi damar serta buah-buahan yang mulai meranum dan berbau harum. Aku mengelinting sebatang rokok ganja, mengisapnya sampai habis, mengelinting rokok kedua dan mengisap hampir setengahnya sebelum ruangan mulai berputar dan aku mematikannya.
Aku telentang tanpa pakaian diatas tempat tidur, mendengarkan suara-suara malam yang masuk melalui jendela yang terbuka. Suara dering bel rikshaw bercampur dengan suara klakson kendaraan, suara pengemis yang memelas, tawa seorang wanita dan suara musik dari sebuah bar yang berdekatan. Berbaring telentang diatas punggungku, terlalu mabuk untuk bisa bergerak, aku menutup mata dan membiarkan udara menjelang musim penghujan yang panas dan lengket menyeimutiku seperti balsem; aku merasa seolah-olah tubuhku mencair ke dalam kasur. Sebuah arak-arakan kereta kembang api dan sekelompok orang berwajah lucu dan berhidung besar bergulir dibalik kelopak mataku dengan warna warni yang cemerlang.
Ketika aku berbalik ke samping, telingaku bersentuhan dengan sesuatu yang basah, dan aku sadar, bahwa airmata sedang turun melewati wajahku dan membasahi seprai. Aku tersedu, buih-buih perasaan sedih dan malu membubung naik melewati sumsum tulang belakangku dari suatu tempat yang jauh didalam diriku. Cairan hangat keluar melalui hidung dan mulutku, diikuti oleh isak tangisku yang pertama, kemudian yang berikutnya dan yang berikutnya.

Pada 19 Mei aku terbang kembali ke Amerika, membawa dua ransel berisi barang-barang milik Doug Hansen untuk dikembalikan kepada orang-orang yang mencintainya. Di bandara Seattle, anak-anak Doug, Angie dan Jaime, teman wanitanya, Karen Marie dan beberapa teman serta kerabat sudah menungguku. Aku merasa bodoh dan tidak berdaya menghadapi airmata mereka.
Menghirup kembali udara laut yang tebal yang membawa bau gelombang yang sedang surut, aku mensyukuri udara musim semi di Seattle, menikmati daya tarik udaranya yang lembap dan berlumut. Perlahan-lahan, Linda dan aku memulai proses pengenalan kembali. Berat badanku yang susut sebanyak dua belas setengah kilogram selama berada di Nepal, pulih dengan cepat. Kegembiraan sederhana yang diberikan oleh kehidupan rumah---sarapan bersama istriku, mengamati matahari terbenam di Teluk Puget Sound, terbangun tengah malam dan berjalan tanpa alas kaki ke kamar mandi yang hangat---menimbulkan kegembiraan bercampur pesona. Tetapi, saat-saat seperti itu dengan cepat tertutup oleh kegelapan panjang yang ditimbulkan oleh bayang-bayang Everest, yang tampaknya hanya sedikit memudar seiring dengan berjalannya waktu.
Aku mengumpat sikapku yang pengecut, yang terus menunda menelepon pacar Andy Harris, Fiona McPherson dan istri Rob Hall, Jan Arnold, sampai akhirnya mereka meneleponku dari Selandia Baru. Ketika telepon tersambung, aku tidak mampu mengatakan apapun untuk mengurangi kemarahan maupun kebingungan Fiona. Saat berbicara dengan Jan, dialah yang justru menghiburku, bukan sebaliknya.
Aku selalu sadar bahwa mendaki gunung merupakan kegiatan yang sangat beresiko. Aku juga sadar bahwa bahaya merupakan komponen terpenting dalam permainan ini---tanpa itu, mendaki gunung tidak berbeda dengan rekreasi rutin yang lain. Rasanya menyenangkan bisa bersentuhan dengan sebuah keabadian yang menyimpan sejuta teka teki, melihat sekilas wilayahnya yang terlarang. Mendaki merupakan kegiatan yang mengagumkan, aku sangat yakin akan hal itu, bukan karena berbagai resiko yang terkandung didalamnya, melainkan justru karena semua resiko tersebut.
Sebelum mengunjungi Himalaya, aku belum pernah menyaksikan kematian dari jarak dekat. Sebelum ke Everest, aku bahkan belum pernah menghadiri sebuah pemakaman. Kematian merupakan sebuah konsep hipotetis, sebuah gagasan untuk direnungkan secara abstrak. Cepat atau lambat, sikap naif seperti itu pasti akan membawa dampak dan saat dampak itu muncul, perasaan shock yang ditimbulkannya diperburuk oleh sejumlah korban yang berlebihan: secara total,pendakian Everest pada musim semi 1996 itu menewaskan dua belas pria dan wanita, tingkat kematian tertinggi dalam satu musim pendakian, sejak manusia berhasil menginjakkan kaki di puncak Everest tujuh puluh lima tahun yang lalu.
Dari enam pendaki dalam tim ekspedisi Hall yang berhasil mencapai puncak, hanya Mike Groom dan aku yang berhasil selamat sampai di bawah: empat rekan satu timku, teman aku tertawa, muntah dan mengobrol panjang lebar dan akrab, telah kehilangan nyawa mereka. Tindakan-tindakanku---atau kegagalanku untuk bertindak---berdampak langsung pada kematian Andy Harris. Dan ketika Yasuko Namba sedang terbujur sekarat diatas Jalur Selatan, aku hanya terpisah sekitar 350 meter darinya, meringkuk didalam tendaku, tidak menyadari perjuangannya dan hanya peduli pada keselamatanku sendiri. Noda yang ditimbulkannya pada jiwaku, bukanlah jenis noda yang bisa terhapus oleh duka dan perasaan bersalah yang kurasakan dalam beberapa bulan ini.
Akhirnya, kuceritakan semua perasaan tertekan itu pada Klev Schoening, yang kebetulan tinggal tidak jauh dari tempatku. Menurut Klev, dia juga merasa sangat sedih karena kehilangan begitu banyak jiwa, tetapi tidak sepertiku, dia tidak merasa bersalah karena bisa bertahan hidup. Dia menjelaskan, “Terperangkap di Jalur Selatan malam itu, saya sudah melakukan semua yang bisa untuk menyelamatkan diri dan orang-orang yang bersama saya. Ketika kami kembali ke tenda, saya tidak memiliki apa-apa lagi. Salah satu kornea saya terkena gigitan salju dan saya hampir-hampir buta. Saya terserang hipotermia, meracau, dan menggigil tanpa kendali. Saya merasa sangat sedih karena kehilangan Yasuko, tetapi saya sudah berdamai dengan diri saya, karena didalam hati, saya tahu bahwa saya tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk menyelamatkannya. Kamu tidak boleh terlalu keras pada dirimu sendiri. Badai saat itu memang sangat buruk. Mengingat kondisimu saat itu, apa yang bisa kamu lakukan untuknya?”
Barangkali memang tidak ada. Begitulah kesimpulanku. Tetapi, tidak seperti Schoening, aku tidak akan pernah merasa yakin. Dan aku tidak bisa berbicara dengan perasaan damai sepertinya.

Mengingat begitu banyaknya pendaki dengan keahlian pas-pasan yang datang berbondong-bondong ke Everest akhir-akhir ini, banyak orang percaya bahwa tragedi besar seperti ini seharusnya terjadi lebih awal. Tetapi, tidak ada yang membayangkan bahwa tragedi tersebut justru menimpa sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Rob Hall. Hall menjalankan program yang paling teliti dan paling aman digunung tersebut, sama sekali tidak tertandingi. Sebagai pria yang sangat cermat, Rob Hall sudah mengembangkan berbagai sistem yang seharusnya bisa mencegah bencana seperti itu. Jadi, apa yang sebenarnya telah terjadi? Bagaimana semua itu bisa dijelaskan, bukan saja kepada orang-orang tercinta yang ditinggalkan, melainkan juga pada publik yang sangat kritis?
Kebanggaan yang berlebihan mungkin merupakan salah satu penyebabnya. Hall sudah sangat terlatih membawa pendaki dari berbagai tingkatan keahlian untuk mendaki dan menuruni Everest sehingga mungkin saja dia menjadi sedikit congkak. Hall kerap sesumbar bahwa dia bisa membawa siapapun asalkan orang tersebut cukup sehat, untuk mencapai puncak, dan catatan yang dia miliki mendukung pernyataannya. Dia juga memiliki kemampuan yang sangat mengagumkan untuk mengatasi berbagai masalah.
Pada 1995, misalnya, Hall dan para pemandunya bukan hanya mampu mengatasi masalah Hansen jauh dipuncak sana, mereka juga mampu menangani seorang klien lain yang pingsan bernama Chantal Mauduit, seorang pendaki ternama dari Prancis, yang mencoba menaklukkan Everest untuk ke tujuh kalinya tanpa dukungan oksigen. Mauduit jatuh pingsan pada ketinggian 28.700 kaki dan harus ditarik dan digotong sepanjang perjalanan dari Puncak Selatan sampai Jalur Selatan, “seperti sekarung kentang”, kenang Guy Cotter. Setelah semua anggota tim berhasil dipandu keluar dari wilayah puncak dalam keadaan hidup, mungkin Hall berpikir, tidak banyak masalah yang tidak mampu dia atasi.
Tetapi, sebelum musim pendakian pada 1996 ini, nasib baik Hall sangat ditunjang oleh kondisi cuaca, barangkali, itulah yang memengaruhi pertimbangannya. “Selama beberapa musim,” kata David Breashers, yang sudah lebih dari selusin kali ikut dalam ekspedisi Himalaya dan tiga kali mendaki Everest, “Rob selalu bernasib baik dan disambut cuaca yang bagus pada hari terakhir pendakian menuju puncak. Dia tidak pernah dihadang badai jauh diatas gunung. “Padahal, badai yang terjadi pada 10 Mei, meskipun kuat tetapi tidak luar biasa, serupa dengan badai-badai lain yang kerap terjadi di Everest. Seandainya badai tersebut pecah dua jam lebih lambat, kemungkinan besar tidak ada satu anggota tim pun yang tewas. Sebaliknya, jika badai tersebut pecah sejam lebih awal, dengan mudah dia bisa membunuh delapan belas atau dua puluh pendaki---termasuk diriku.
Jelas, waktu dan cuaca sangat memengaruhi terjadinya tragedi tersebut, dan mengabaikan waktu tidak bisa dianggap sebagai bencana alam. Dampak yang timbul karena mengabaikan beberapa batasan sebenarnya sudah bisa diduga, dan sangat mungkin dihindari. Waktu kembali yang sebelumnya sudah ditentukan secara mencolok telah diabaikan.
Keputusan mengulur waktu kembali turun gunung dalam beberapa tingkatan mungkin dipengaruhi oleh persaingan yang terjadi antara Fischer dan Hall. Sebelum tahun 1996, Fischer belum pernah memandu di Everest. Secara bisnis, Fischer menghadapi tekanan besar untuk berhasil. Dia sangat termotivasi untuk membawa klien-kliennya mencapai puncak, terutama klien selebritis seperti Sandy Hill Pittman.
Sebaliknya, karena Hall tidak berhasil membawa satu klien pun ke puncak pada ekspedisi 1995, bisnisnya pasti akan terpukul jika dia gagal lagi pada musim pendakian tahun 1996---terutama jika Fischer berhasil. Scott memiliki pribadi yang sangat karismatik, dan kharisma itu secara agresif dipasarkan oleh Jane Bromet. Fischer berusaha keras untuk mengambil alih bisnis Hall, dan Hall menyadari itu. Dalam kondisi demikian, membawa kliennya pulang sebelum mencapai puncak, sementara klien saingannya terus bergerak menuju puncak mungkin dirasa menyakitkan, sehingga memengaruhi pertimbangan Hall.
Selain itu, harus pula digaris bawahi, bahwa Hall, Fischer dan kami semua dipaksa untuk membuat keputusan-keputusan penting ketika kami sendiri hampir lumpuh karena hipoksia. Saat mempertimbangkan mengapa bencana seperti ini bisa terjadi, harus diingat bahwa pemikiran jernih tidak mungkin dilakukan pada ketinggian 29.000 kaki.
Pemikiran bijak dengan mudah mengemuka setelah bencana berakhir. Terguncang oleh banyaknya korban manusia, para kritikus dengan cepat mengusulkan sejumlah kebijakan dan prosedur yang bisa menjamin agar bencana yang terjadi pada musim ini tidak terulang lagi. Ada yang mengusulkan, misalnya, agar perbandingan satu pemandu untuk satu klien dijadikan aturan baku di Everest---artinya, setiap satu klien akan mendaki bersama satu pemandu pribadi dan terus terikat kepada pemandunya saat pendakian berlangsung.
Barangkali, melarang penggunaan tabung oksigen kecuali untuk kebutuhan medis darurat, bisa menghindari jatuhnya korban dalam jumlah besar selama pendakian. Segelintir orang yang cukup nekat mungkin masih akan tewas saat mencoba meraih puncak tanpa bantuan gas, tetapi sebagian besar pendaki yang keahliannya pas-pasan akan dipaksa turun oleh keterbatasan fisiknya sebelum mereka mendaki cukup tinggi dan tertimpa bencana. Selain itu, aturan yang melarang dipakainya gas oksigen akan memiliki dampak samping yang positif, yaitu secara otomatis mengurangi sampah dan jumlah pendaki, jumlah orang yang berupaya mendaki Everest akan jauh berkurang jika mereka tahu bahwa penggunaan oksigen dilarang.
Tetapi, memandu di Everest merupakan bisnis dengan aturan yang sangat longgar, dikelola oleh birokrasi negara Dunia Ketiga yang tidak mampu menaksir keahlian pemandu maupun klien. Selain itu, dua negara yang mengontrol akses ke puncak---Nepal dan Cina---merupakan negara-negara yang sangat miskin. Sebagai negara yang sangat membutuhkan devisa, pemerintah kedua negara tersebut memiliki kepentingan khusus untuk mengeluarkan izin pendakian sebanyak yang dibutuhkan oleh pasar, dan kecil kemungkinannya mereka akan menerapkan kebijakan yang akan sangat membatasi pemasukan devisa mereka.
Menganalisis kekeliruan yang sudah dilakukan di Everest barangkali cukup bermanfaat dan mungkin bisa mengurangi jumlah kematian. Tetapi, tidak benar jika kita berpikir bahwa mengulas secara terperinci peristiwa tragis yang terjadi pada 1996 bisa mengurangi kematian di masa depan. Mencatat kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi agar bisa “belajar dari kesalahan” sebagian besar hanya sekedar latihan untuk pengingkaran dan menipu diri sendiri. Mungkin Anda yakin bahwa Rob Hall tewas karena dia membuat serentetan kesalahan bodoh, dan Anda merasa terlalu pintar untuk mengulang kesalahan-kesalahan itu. Kalau memang demikian, akan lebih mudah bagi Anda mengambil keputusan mendaki Everest, ditengah bukti-bukti yang sulit disangkal bahwa upaya itu merupakan tindakan yang tidak bijaksana.
Kenyataannya, jumlah korban yang tewas pada 1996 dalam banyak hal hanyalah sekedar dampak dari sebuah bisnis seperti biasanya. Meskipun pendakian musim semi di Everest telah memakan sejumlah korban, dua belas korban yang tewas tersebut hanyalah 3 persen dari total 398 pendaki yang mendaki lebih tinggi dari Base Camp---artinya lebih kecil dari persentase kematian yang tercatat sepanjang sejarah, yaitu 3,3 persen. Dengan kata lain: antar tahun 1921 dan Mei 1996, jumlah pendaki yang tewas mencapai 144 orang dan puncak Everest sudah didaki sebanyak 630 kali---artinya perbandingan antara jumlah yang tewas dan yang berhasil sampai dipuncak mencapai satu berbanding empat. Musim semi lalu, 12 pendaki tewas dari 84 pendaki yang mencapai puncak---berarti satu berbanding tujuh. Dibandingkan dengan persentase rata-rata yang tercatat sejarah, pendakian pada 1996 sebenarnya lebih aman daripada angka rata-rata.
Perlu diingat, bahwa mendaki Everest merupakan kegiatan yang sangat berbahaya dan tidak diragukan akan selalu berbahaya, baik bagi para pendaki pemula yang dipandu, maupun bagi pendaki gunung kaliber dunia yang mendaki bersama rekan-rekan mereka. Perlu digaris bawahi, bahwa sebelum gunung tersebut menewaskan Hall dan Fischer, dia sudah menewaskan beberapa pendaki kelas dunia, termasuk Peter Boardman, Joe Tasker, Marty Hoey, Jake Breitenbach, Mick Burke, Michel Parmentier, Roger Marshall, Ray Genet dan George Leigh Mallory.
Dalam kasus pendaki yang dipandu, dengan cepat aku bisa mengamati selama pendakian 1996, bahwa beberapa klien yang berhasil mencapai puncak (termasuk diriku sendiri) benar-benar menyadari besarnya resiko yang dihadapi---tipisnya kemungkinan hidup manusia pada ketinggian diatas 25.000 kaki. Orang-orang awam yang terpelajar, yang bermimpi untuk mendaki Everest, harus selalu ingat bahwa jika sesuatu yang salah terjadi di Zona Kematian---dan cepat atau lambat kesalahan seperti itu akan terjadi---pemandu paling kuat didunia pun tidak akan mampu menyelamatkan nyawa kliennya; bencana 1996 bahkan menunjukkan bahwa pemandu terbaik dunia pun kadang-kadang tidak mampu menyelamatkan nyawanya sendiri. Empat dari rekan satu timku bukan tewas karena sistem yang diterapkan Rob Hall kurang aman---sesungguhnyalah, tidak ada sistem lain yang lebih baik---melainkan karena di Everest, sangat wajar sistem-sistem seperti itu diluluh lantakkan.
Ditengah ramainya perdebatan setelah bencana berakhir, orang dengan mudah melupakan fakta bahwa mendaki gunung tidak pernah menjadi sebuah kegiatan yang aman, yang bisa diduga dan berpegang pada aturan. Ini adalah aktivitas yang mendewakan resiko; sosok-sosok ternama dalam olah raga ini adalah mereka yang senang mempertaruhkan nyawa, dan mereka selamat. Para pendaki, sebagai sebuah kelompok, bukanlah orang-orang yang dikenal cermat dalam bertindak. Dan ini terutama berlaku bagi para pendaki Everest: ketika dihadapkan pada kesempatan untuk meraih puncak tertinggi didunia, sejarah menunjukkan bahwa secara sangat mengherankan, orang-orang mudah mengabaikan pertimbangan akal sehat. “Cepat atau lambat,” Tom Hornbein, seorang pendaki berusia tiga puluh tiga tahun sesaat setelah dia mendaki Lereng Barat, mengingatkan, “apa yang terjadi di Everest selama musim pendakian ini pasti akan terulang kembali.”
Pada 17 Mei, dua hari setelah tim ekspedisi Hall meninggalkan Base Camp, seorang pendaki Austria bernama Reinhard Wlasich dan rekannya seorang Hungaria, mendaki Everest melalui wilayah Tibet tanpa oksigen tambahan. Mereka sudah mendaki sampai ke perkemahan yang terletak di Lereng Tenggara pada ketinggian 27.230 kaki, dan menempati tenda-tenda yang ditinggalkan oleh pendaki Ladakh yang bernasib buruk. Keesokan harinya, Wlasich mengeluh sakit kemudian jatuh pingsan; seorang dokter Norwegia yang kebetulan ada ditempat itu menduga bahwa pendaki Austria itu menderita pembengkakan jantung dan otak. Meskipun sang dokter mencoba memberinya oksigen dan pengobatan, menjelang tengah malam Wlasich tewas.
Sementara itu, di lereng Everest yang terletak di wilayah Nepal, tim ekspedisi IMAX dipimpin David Breashers sedang berkumpul dan mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan mereka. Setelah mengeluarkan 5,5 juta dolar untuk pembuatan film, mereka memutuskan untuk tetap berada digunung dan meneruskan upaya untuk mencapai puncak. Didukung oleh Breashers, Ed Viesturs dan Robert Schauer, tim IMAX merupakan tim yang paling tangguh dan paling kompeten yang ada digunung tersebut. Dan, meskipun mereka sudah menyumbangkan setengah dari persediaan oksigen yang mereka miliki untuk membantu upaya penyelamatan dan membantu para pendaki yang membutuhkan, mereka memperoleh cukup banyak gas dari tim-tim ekspedisi yang meninggalkan gunung dan bisa mengganti sebagian besar oksigen yang telah mereka sumbangkan.
Paula Barton Viesturs, istri Ed yang bertindak sebagai Manajer Base Camp untuk tim IMAX, sedang memantau radio ketika bencana pada 10 Mei terjadi. Sebagai teman baik Hall dan Fischer, dia benar-benar sedih; Paula menduga, setelah bencana yang mengerikan tersebut, tim IMAX otomatis akan membongkar tenda mereka dan pulang. Kemudian, tanpa sengaja dia mendengar percakapan antara Breashers dengan seorang pendaki lain, dan pemimpin IMAX itu dengan santai mengatakan bahwa tim mereka akan beristirahat sebentar di Base Camp sebelum melanjutkan pendakian menuju puncak.”
“Setelah semua yang terjadi, aku benar-benar tidak percaya bahwa mereka masih berniat kembali ke atas sana,” kata Paula. “Ketika mendengar pembicaraan radio itu, aku benar-benar bingung.” Dia sangat kesal sehingga dia meninggalkan Base Camp dan turun ke Tengboche untuk menenangkan diri selama lima hari.
Pada Rabu, 22 Mei, tim IMAX tiba di Jalur Selatan, disambut oleh cuaca yang baik; kemudian, malam itu juga mereka melanjutkan perjalanan ke puncak. Ed Viesturs, pemeran utama dalam film tersebut, mencapai puncak pada Kamis, pukul 11.00, tanpa oksigen tambahan(*1). Breashers tiba dua puluh menit kemudian, diikuti oleh Araceli Segarra, Robert Schauer dan Sherpa Jamling Norgay---putra pendaki kenamaan Tenzing Norgay dan anggota keluarga Norgay yang kesembilan yang berhasil mencapai puncak. Pada hari itu, enam belas pendaki berhasil mencapai puncak, termasuk pendaki Swedia yang mengendarai sepeda dari Stockholm ke Nepal, Goran Kropp dan Sherpa Ang Rita, yang mencapai puncak Everest untuk kesepuluh kalinya.
Dalam perjalanan menuju puncak, Viesturs melewati tubuh Fischer dan Hall yang sudah membeku. “Jean (istri Fischer) dan Jan (istri Hall) memintaku untuk membawakan barang-barang pribadi suami mereka,” kata Viesturs sedikit sungkan. “Aku tahu, Scott mengalungkan cincin kawin dilehernya dan aku ingin membawakannya untuk Jeannie, tetapi aku tidak tahan menggali disekitar tubuhnya. Aku tidak sanggup melakukannya.” Viesturs tidak membawa satu benda kenangan pun, dalam perjalanan menuruni gunung dia hanya menyempatkan diri untuk duduk selama beberapa menit disamping mayat sahabatnya. “”Hei Scott, apa kabar?” kenang Ed yang dengan sedih menceritakan pengalamannya. “Apa yang terjadi, Bung?”
Pada Jumat sore tanggal 24 Mei, ketika tim IMAX sedang turun dari Camp Empat menuju Camp Dua, diatas Jalur Kuning, mereka bertemu dengan sisa-sisa tim ekspedisi Afrika Selatan---Ian Woodall, Cathy O’Dowd, Bruce Herrod dan empat orang Sherpa---yang sedang menuju Jalur Selatan sebelum menuju puncak. “Bruce kelihatan kuat, dan wajahnya pun tidak tampak letih,” kenang Breashers. “Dia menjabat erat tanganku, memberi selamat pada kami semua, dan mengatakan bahwa dia merasa sehat. Setengah jam dibelakangnya, kami melihat Ian dan Cathy yang roboh diatas kapak es mereka dan tampak mengerikan---keduanya benar-benar kepayahan.
“Aku sengaja berhenti sebentar untuk bercakap-cakap dengan mereka,” tambah Breashers. “Aku tahu mereka tidak berpengalaman, jadi aku berpesan, “Tolong, hati-hatilah. Kalian sudah melihat apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini. Ingat, bahwa mendaki sampai puncak lebih mudah ketimbang turun.”
Malam itu juga, tim Afrika Selatan bergerak menuju puncak. O’Dowd dan Woodall meninggalkan perkemahan dua puluh menit setelah tengah malam ditemani Sherpa Pemba Tendi, Ang Dorje(*2) dan Jangbu, yang membawakan oksigen untuk mereka. Sepertinya Herrod meninggalkan perkemahan beberapa menit setelah tim utama, tetapi selama pendakian berlangsung dia semakin jauh tertinggal.  Hari Sabtu, tanggal 25 Mei, pukul 09.50, Woodall menelepon Patrick Conroy, operator radio di Base Camp, melaporkan bahwa dia sudah tiba dipuncak bersama Pemba, bahwa O’Dowd akan tiba lima belas menit kemudian bersama Ang Dorje dan Jangbu. Woodall juga mengatakan bahwa Herrod, yang tidak membawa radio, masih berada di lereng bawah, disatu tempat yang tidak diketahui.
Herrod yang kujumpai beberapa kali selama berada digunung adalah pria yang sangat ramah, usianya tiga puluh tujuh tahun, dan tubuhnya kukuh seperti beruang. Meskipun tidak berpengalaman mendaki gunung-gunung tinggi, Herrod seorang pendaki yang cukup kompeten, dan pernah tinggal selama delapan belas bulan didaerah kutub Antartika saat bekerja sebagai seorang ahli geofisika---dia pendaki yang lebih baik dibandingkan pendaki lain dalam tim Afrika Selatan. Sejak 1988, dia bekerja keras untuk menjadi seorang fotografer lepas yang sukses, dan berharap bahwa mencapai puncak Everest bisa menunjang kariernya.
Ternyata, saat Woodall dan O’Dowd sudah berada dipuncak, Herrod masih jauh tertinggal, dia masih berjuang keras sendirian untuk melewati Lereng Tenggara dengan kecepatan lambat dan membahayakan. Sekitar pukul 12.30 dia berpapasan dengan Woodall, O’Dowd dan tiga Sherpa yang sedang dalam perjalanan turun. Ang Dorje memberi Herrod sebuah radio dan menjelaskan dimana dia bisa menemukan tabung oksigen, kemudian Herrod meneruskan pendakian menuju puncak sendirian. Dia baru tiba dipuncak sore hari sekitar pukul 17.00, tujuh jam lebih lambat dari yang lain, dan saat itu, Woodall dan O’Dowd sudah kembali ditenda mereka di Jalur Selatan.
Secara kebetulan, ketika Herrod menghubungi Base Camp melalui radio, teman wanitanya, Sue Thompson, sedang menelepon Conroy di Base Camp melalui telepon satelit dari rumahnya di London. “Ketika Patrick mengatakan bahwa Bruce masih berada di puncak,” kenang Thompson, “aku terkejut, ‘Ya ampun! Bagaimana mungkin dia masih berada di puncak sesore ini---sekarang sudah jam lima lewat lima belas menit! Aku tidak suka kabar ini.”
Beberapa waktu kemudian Conroy meneruskan telepon Thompson kepada Herrod dipuncak Everest. “Suara Bruce terdengar waras, “ kata Thompson. “Dia sadar bahwa dia sangat terlambat, tetapi suaranya terdengar normal untuk orang yang berada pada ketinggian tersebut. Dia membuka masker oksigennya saat bicara. Napasnya pun tidak terdengar tersengal-sengal.”
Meskipun demikian, Herrod membutuhkan tujuh belas jam untuk mencapai puncak dari Jalur Selatan. Meskipun angin hampir-hampir tidak ada, awan mulai menyelimuti puncak dan cuaca dengan cepat berubah menjadi gelap. Berada sendirian di puncak dunia, sangat kelelahan, Herrod mungkin kehabisan oksigen, atau botolnya hampir kosong. “Berada disana sendirian pada jam selarut itu, tidak ditemani siapapun, merupakan perbuatan gila,” kata bekas rekan satu timnya, Andy de Klerk. “Benar-benar menakutkan.”
Herrod sudah berada di Jalur Selatan pada 9 Mei malam sampai tanggal 12 Mei. Dia mndengar sendiri ganasnya suara badai, mendengar permintaan tolong yang memelas melalui radio, melihat bagaimana Beck Weathers lumpuh karena gigitan hawa dingin. Sebelumnya, dalam perjalanan menuju puncak pada 25 Mei itu, Herrod juga melewati mayat Scott Fischer, dan beberapa jam kemudian, di Puncak Selatan dia juga pasti menemukan mayat Rob Hall. Tampaknya kedua sosok mayat itu sama sekali tidak menggugah perasaannya karena, meskipun dia mendaki dengan kecepatan lambat dan mengingat hari yang sudah cukup sore, Herrod memaksa untuk terus bergerak menuju puncak.
Tidak ada lagi hubungan radio dari Herrod setelah hubungan radio dari puncak pada pukul 17.15. “Kami menunggu panggilannya dari Camp Empat dengan radio yang terus dinyalakan,” O’Dowd menjelaskan dalam sebuah wawancara yang diterbitkan majalah Mail & Guardian di Johannesburg. “Kami sangat kelelahan dan akhirnya tertidur. Ketika aku terbangun keesokan harinya sekitar pukul 05.00 pagi dan dia belum juga menelepon, aku menyadari bahwa kami sudah kehilangan dia.”
Bruce Herrod sekarang dianggap sudah tewas, korban kedua belas selama pendakian musim semi 1996.
------------------------------------

(*1) : Viesturs pernah mendaki Everest pada 1990 dan 1991 tanpa bantuan oksigen. Pada 1994 dia mendaki untuk ketiga kalinya, bersama Rob Hall; dalam pendakian itu dia menggunakan oksigen botol karena dia memandu ke puncak dan dia berpendapat bahwa memandu tanpa oksigen merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab.
(*2) : sebuah catatan: Sherpa bernama Ang Dorje yang bekerja untuk tim Afrika Selatan tidak sama dengan Ang Dorje yang bekerja untuk tim Rob Hall

4 komentar:

  1. Iya...tinggal epilog nya aja yg blm sy upload

    BalasHapus
  2. Ini sudah abis yah ceritanya gan ?? Kalo iya saya ucapkan banyaj terima kasih atas salinan buku ini. Setelah ini saya akan nonton lagi film everest dan mencoba untuk lebih memahami keadaan yg sebenarnya setidaknya menurut versi buku ini. Terimakasih

    BalasHapus