Kamis, 15 Oktober 2015

Into Thin Air --- Bab XX

                INTO THIN AIR
                      BAB XX
                GENEVA SPUR
                  12 MEI 1996,
    PUKUL 09.45 --- 25.900 KAKI

Satu manfaat besar yang dimiliki para pendaki yang tidak berpengalaman adalah dia tidak dihambat oleh tradisi atau oleh preseden. Baginya, semua hal tampak sederhana, dan dia memilih solusi langsung untuk semua permasalahan yang dihadapi. Kadang-kadang, tentu saja hal itu bisa menjauhkan sukses yang sedang dia cari, dan kadang-kadang berakibat sangat tragis, tetapi dia tidak menyadarinya saat memulai petualangannya. Maurice Wilson, Earl Denman, Klav Becker-Larsen---sama-sama tidak tahu banyak tentang mendaki gunung; seandainya mereka tahu, mereka tidak akan memulai upaya yang sia-sia tersebut, tetapi, meskipun kemampuan teknis mereka sangat terbatas, tekad yang kuat membawa mereka menempuh perjalanan yang jauh.

Walt Unsworth
Everest
------------------------------------

Minggu pagi 12 Mei, lima belas menit setelah meninggalkan Jalur Selatan, aku berhasil menyusul rekan satu timku yang sedang menuruni lereng Geneva Spur. Pemandangan yang menyedihkan: semua orang sudah sangat lemah, dan dibutuhkan waktu lama sebelum tim kami bisa melewati beberapa ratus kaki dan tiba dilereng tertutup es dibawah kami. Tetapi, yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa jumlah anggota tim kami telah berkurang: tiga hari sebelumnya saat kami melewati lereng ini, jumlah kami sebelas orang, namun sekarang kami hanya tinggal berenam.
Stuart Hutchison yang berjalan paling belakang masih berdiri diatas Geneva Spur saat aku berhasil menyusulnya, sedang bersiap-siap untuk turun melewati lintasan tali. Kulihat dia tidak memakai kacamata. Meskipun cuaca berawan, radiasi kuat ultraviolet yang dipantulkan oleh salju pada ketinggian ini bisa membutakan matanya. “Stuart!” teriakku mengatasi suara angin, sambil menunjuk pada kedua mataku. “Kacamatamu!”
“Oh ya,” katanya dengan suara lemah. “Terima kasih sudah diingatkan. Hei, karena kamu kebetulan ada disini, bisa tolong periksa tali harnessku? Aku sangat lelah sehingga tidak bisa lagi berpikir jernih. Aku akan sangat berterima kasih jika kamu bisa mengawasiku.” Ketika aku memeriksa tali harnessnya, aku melihat bahwa gesper pelana itu tidak terkunci dengan baik. Kalau dia mengaitkannya pada lintasan tali dengan menggunakan tali pengaman, pelana itu akan terlepas karena harus menahan berat tubuhnya, dan dia akan jatuh melewati Lhotse Face. Ketika hal itu kusampaikan kepadanya dia berkata, “Ya, aku pikir juga begitu, tetapi kedua tanganku terlalu kaku untuk bisa melakukannya.” Setelah melepaskan sarung tanganku ditengah cuaca yang sangat dingin, dengan cepat aku mengunci harness yang melingkar diseputar pinggangnya dan memintanya untuk segera menuruni Geneva Spur menyusul yang lain.
Pada saat mengaitkan tali pengaman ke jalur tali yang tersedia, Stuart melemparkan kapak esnya ke bawah, dan membiarkan kapak itu tergeletak diatas salju, kemudian mulai menuruni tali, “Stuart!” teriakku. “Kapak esmu!”
“Aku terlalu lelah untuk membawanya,” katanya berteriak. “Biarkan saja dia disana.” Aku sendiri sudah terlalu lemah sehingga aku tidak mau berdebat dengannya. Kubiarkan kapak itu tergeletak  disana, mengaitkan tubuhku pada lintasan tali dan kemudian mengikuti Stuart menuruni lereng Geneva Spur yang curam.
Satu jam kemudian kami tiba di puncak Jalur Kuning, sebuah hambatan yang sangat sulit, sehingga setiap pendaki harus ekstra hati-hati saat melewati tebing tertutup singkapan gamping dengan kemiringan yang hampir vertikal itu. Ketika aku sedang menunggu giliran dibelakang antrean, beberapa Sherpa dari kelompok Fischer berhasil menyusul kami. Lopsang Jangbu, yang sudah setengah gila karena sedih dan lelah, ada diantara mereka. Sambil meletakkan tanganku diatas bahunya, aku menyampaikan rasa bela sungkawa atas kepergian Scott. Lopsang memukuli dadanya dan sambil terisak dia berkata, “Aku memang sial, sangat sial. Scott mati, itu salahku. Aku pembawa sial. Itu salahku. Aku sangat sial.”

Aku berjalan lunglai memasuki Camp Dua pada pukul 13.30. Meskipun secara rasional tempat ini masih sangat tinggi---21.300 kaki---tetapi keadaan disini berbeda dengan di Jalur Selatan. Angin pembawa bencana sudah sepenuhnya reda. Aku tidak lagi menggigil dan mencemaskan gigitan salju, sebaliknya tubuhku basah karena keringat akibat matahari yang bersinar terik. Sepertinya, aku tidak lagi harus berjuang mempertahankan hidup dengan bergantung pada sehelai benang yang rapuh.
Tenda utama kami sudah diubah menjadi semacam rumah sakit darurat yang ditangani oleh Henrik Jessen Hansen, seorang dokter warga Denmark dari tim Mal Duff, dan Ken Kamler, seorang klien sekaligus dokter warga Amerika dari tim Burleson, yang bertindak sebagai staf. Pukul 15.00, ketika aku sedang minum secangkir teh, enam Sherpa tiba dengan membawa Makalu Gau yang tampak linglung ke dalam tenda, yang langsung ditangani oleh kedua dokter tersebut.
Dengan cepat mereka membaringkan Gau, melepaskan pakaiannya, dan memasukkan infus melalui lengannya. Saat mengamati tangan dan kakinya yang membeku dan berwarna putih gelap seperti bak cuci kamar mandi yang kotor, Kamler berkata dengan suara murung, “Gigitan salju yang paling buruk yang pernah aku lihat.” Ketika Kamler meminta ijin pada Gau untuk memotret lengan dan kakinya untuk catatan medis, pendaki Taiwan itu mengangguk sambil tersenyum lebar; seperti serdadu yang menunjukkan luka bekas pertempuran, dia tampak bangga dengan luka mengerikan yang dideritanya.
Sembilan puluh menit kemudian, kedua dokter tadi masih menangani Makalu ketika suara David Breashers terdengar melalui radio: “Kami sedang dalam perjalanan turun bersama Beck. Kami akan tiba di Camp Dua malam ini juga.”
Beberapa detik berlalu sebelum aku sadar bahwa Breashers tidak membawa sesosok mayat; dia dan rekan-rekannya sedang membawa Beck yang masih hidup. Aku tidak percaya. Ketika aku meninggalkan Beck di Jalur Selatan tujuh jam yang lalu, aku takut dia tidak bisa bertahan hidup sampai esok hari.
Meskipun dianggap sudah mati, sekali lagi Beck tidak mau menyerah. Belakangan aku mendapat penjelasan dari Pete Athans bahwa sesaat setelah mendapat suntikan dexametason, warga Texas itu secara mengagumkan pulih dengan cepat. “Sekitar pukul sepuluh malam kami membantunya mengenakan pakaian, memasang tali pelana, dan mendapati bahwa dia masih mampu berdiri dan berjalan. Kami semua benar-benar kagum.”
Mereka memutuskan untuk turun dari Jalur Selatan, membiarkan Athans berjalan langsung didepan Beck, dan menunjukkan dimana dia harus meletakkan kakinya. Beck meletakkan tangannya dibahu Athans, sementara Burleson memegang kuat-kuat tali pelananya dari belakang. Perlahan-lahan dan hati-hati mereka menuruni lereng. “Beberapa kali kami harus menggendongnya,” kata Athans, “tetapi selebihnya dia mampu bergerak dengan baik.”
Pada ketinggian 25.000 kaki, dipuncak lereng Jalur Kuning yang tertutup singkapan lempung, mereka disambut oleh Ed Viesturs dan Robert Schauer yang secara efisien membantu membawa Beck melewati lereng yang curam tersebut. Di Camp Tiga mereka dibantu oleh Breashers, Jim William, Veikka Gustaffson dan Araceli Segarra; kedelapan pendaki yang masih sehat itu mengusung Beck yang sudah setengah lumpuh menuruni Lhotse Face, relatif lebih cepat dari waktu yang kami butuhkan saat menuruni lereng yang sama tadi pagi.
Waktu aku mendengar bahwa Beck sedang dalam perjalanan turun, aku berjalan ke tendaku, dengan letih mulai memakai sepatuku, dan berjalan mendaki untuk menyongsong regu penyelamat, berharap bisa bertemu mereka dikaki Lhotse Face. Dua puluh menit diatas Camp Dua, aku sangat terkejut ketika bertemu mereka. Meskipun tubuhnya diikatkan pada pendaki lain melalui seutas tali pendek, Beck masih bisa berjalan sendiri. Breashers dan rekan-rekannya membawa Beck menuruni gletser dengan kecepatan tinggi, sehingga dalam kondisiku yang masih  sangat lemah, aku hampir-hampir tidak mampu mengikuti mereka.
Beck dibaringkan disamping Gau ditenda rumah sakit, dan para dokter mulai melepaskan pakaiannya. “Ya Tuhan!” dr.Kamler berseru setelah mengamati tangan kanan Beck. “Gigitan salju yang dideritanya lebih parah dari Makalu.” Tiga jam kemudian, ketika aku merangkak ke dalam kantong tidurku, para dokter dengan sangat hati-hati masih merendam lengan dan kaki Beck didalam belanga berisi air hangat, bekerja dibawah sorotan sinar lampu kepala mereka.
Keesokan harinya---Senin, pada 13 Mei---sesaat setelah matahari terbit, aku meninggalkan perkemahan, berjalan sejauh dua setengah mil melewati celah Cwm Barat yang dalam menuju mulut Jeram Es. Ditempat itu, sesuai instruksi radio dari Guy Cotter yang berada di Base Camp, aku mencari wilayah datar yang bisa menjadi tempat pendaratan helikopter.
Beberapa hari sebelumnya, dengan menggunakan telepon satelit, Cotter bekerja keras mengatur evakuasi helikopter dari kaki Cwm, agar Beck tidak perlu melewati lintasan tali dan tangga-tangga alumunium di sekitar Jeram Es yang sangat berbahaya dan pasti menyulitkan bagi tangannya yang terluka hebat. Mendaratkan helikopter di Cwm pernah dilakukan dua kali, yaitu pada 1973, ketika sebuah tim ekspedisi Italia menggunakan dua helikopter untuk membawa perbekalan dari Base Camp. Meskipun demikian, evakuasi seperti itu memang sangat berbahaya, tepat di ambang batas kemampuan pesawat, dan salah satu dari dua helikopter milik tim Italia tersebut kemudian jatuh diatas gletser. Dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun setelah kejadian itu, pendaratan diatas jeram es tidak pernah lagi dilakukan.
Tetapi Cotter cukup gigih, dan Kedutaan Amerika ikut membujuk angkatan bersenjata Nepal untuk mencoba melakukan upaya penyelamatan dengan helikopter diatas Cwm. Sekitar pukul 08.00, sebelum aku berhasil menemukan landasan helikopter ditengah bongkahan serac yang memenuhi mulut Jeram Es, suara Cotter tiba-tiba terdengar melalui radioku: “Helikopter sedang dalam perjalanan Jon, dan sewaktu-waktu akan tiba ditempatmu. Kamu harus secepatnya menemukan tempat untuk mendarat.” Berharap bisa menemukan medan yang cukup datar diatas gletser, dengan cepat aku berlari menyongsong Beck yang sedang menuruni Cwm, tubuhnya terikat tali di bantu oleh Athans, Burleson, Gustaffson, Breashers, Viesturs dan anggota tim IMAX yang lain.
Breashers yang kerap bekerja menggunakan helikopter sepanjang masa kariernya yang panjang dan gemilang didunia film, dengan cepat menemukan sebuah tempat pendaratan yang diapit oleh dua celah besar pada ketinggian 19.860 kaki. Aku mengikat sehelai kain kata terbuat dari sutra pada sepotong bambu untuk menunjukkan arah angin, sementara Breashers---menggunakan sebotol Kool-Aid warna merah---membuat huruf X besar diatas salju ditengah lokasi pendaratan. Beberapa menit kemudian, Makalu Gau mulai tampak, tubuhnya diikat tali plastik, ditarik oleh setengah lusin Sherpa menuruni gletser. Beberapa saat kemudian, kami mendengar suara baling-baling helikopter yang berputar cepat ditengah udara yang tipis.
Pesawat helikopter jenis Tupai-B2 warna hijau militer yang dikemudikan oleh Letkol. Madan Khatri Chhetri dari angkatan bersenjata Nepal---dengan bahan bakar dan peralatan yang minimal---mencoba melakukan dua kali pendaratan, tetapi pada detik terakhir selalu gagal. Pada percobaan ketiga, dengan disertai goncangan keras, Madan berhasil mendaratkan badan pesawat diatas gletser dengan ekor helikopter tergantung diatas celah gletser yang sangat dalam. Membiarkan baling-baling helikopternya berputar dengan kekuatan penuh dan mata yang tidak pernah lepas dari panel pengendali, Madan menaikkan salah satu jarinya, artinya, dia hanya bisa membawa satu penumpang; pada ketinggian seperti ini, setiap kilogram berat tambahan bisa membuat pesawat jatuh saat mengudara.
Karena kedua kaki Gau yang terkena gigitan salju sudah dihangatkan di Camp Dua, dia sama sekali tidak bisa berjalan atau berdiri, sehingga Breashers, Athans dan aku setuju untuk mendahulukan evakuasi pendaki Taiwan tersebut. “Maaf,” teriakku pada Beck mengatasi jerit suara mesin helikopter. “Mudah-mudahan nanti dia bisa melakukan pendaratan yang kedua.” Beck mengangguk penuh pengertian.
Kami mengangkat Gau ke samping helikopter, perlahan-lahan helikopter itu naik ke udara. Begitu Madan berhasil mengangkat tubuh pesawat dari atas permukaan gletser, dengan cepat dia mendorong badan pesawatnyake depan, dan terjun seperti batu melewati bibir Jeram Es, lalu menghilang ke dalam kegelapan lembah. Sebuah keheningan yang berat menyelimuti Cwm.
Tiga puluh menit kemudian kami masih berdiri diseputar zona pendaratan, membahas bagaimana menurunkan Beck, ketika kami mendengar suara samar desing baling-baling helikopter yang datang dari lembah dibawah kami. Perlahan-lahan suara itu bertambah keras dan terus bertambah keras, dan akhirnya helikopter kecil berwarna hijau itu mulai tampak. Madan menerbangkan pesawatnya sedikit melewati jalur Cwm kemudian berbalik sehingga moncong pesawat mengarah ke lereng yang menukik curam. Kemudian, tanpa ragu-ragu, dia mendaratkan kembali pesawatnya diatas tempat pendaratan. Dengan cepat, Breashers dan Athans mengangkat Beck ke dalam badan pesawat. Beberapa detik kemudian helikopter itu mengudara, terbang melintasi Bahu Barat Everest seperti capung metal yang ajaib. Sejam kemudian, Beck dan Makalu Gau tiba di Rumah Sakit Kathmandu.
Setelah tim penyelamat bubar, aku duduk beberapa saat diatas salju, menatap sepatuku, mencoba memahami apa yang telah terjadi selama tujuh puluh dua jam terakhir. Bagaimana mungkin semuanya bisa berubah menjadi kacau? Bagaimana mungkin Andy, Rob, Scott, Doug dan Yasuko bisa benar-benar tewas? Tetapi, betapapun kerasnya aku berpikir, jawabannya tidak pernah kutemukan. Dahsyatnya bencana ini melebihi apapun yang pernah kubayangkan, sehingga otakku menolak untuk bekerja dan menjadi gelap. Aku melepaskan harapan untuk bisa memahami rentetan peristiwa yang telah terjadi, mengambil ranselku dan berjalan menuruni Jeram Es yang dinginnya mampu menyihirku, perasaanku cemas seperti seekor kucing, dan untuk terakhir kalinya melewati jalan berliku yang di penuhi serac es yang sedang hancur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar