Senin, 05 Oktober 2015

Into Thin Air --- BAB XV --- PUNCAK EVEREST --- 10 MEI 1996 PUKUL 13.25 --- 29.028 KAKI

Ada beberapa tingkatan bahaya petualangan dan badai, tetapi hanya sekali-sekali kekejaman yang menakutkan muncul sebagai fakta---sesuatu yang tidak terlukiskan yang memaksa masuk ke dalam pikiran dan hati manusia bahwa akibat dari semua musibah atau semua kemarahan yang mendasar itu datang kepadanya dengan tujuan yang penuh dendam, dengan kekuatan yang tidak terkontrol, dengan kekejaman yang tidak terbatas, yang untuk menghancurkan harapan dan rasa takutnya, rasa sakit akibat kelelahannya, dan keinginannya untuk beristirahat: artinya, untuk menghancurkan, merusak, membinasakan semua yang dia lihat, kenal, cintai, nikmati, atau benci; semua yang tidak ternilai dan perlu---sinar matahari, kenangan, masa depan; yang dimaksudkan untuk menghempaskan dunia yang sangat berharga dari pandangannya melalui sebuah tindakan yang sederhana dan mengerikan: mengambil nyawanya.

JOSEPH CONRAD
Lord Jim

Neal Beidleman tiba dipuncak Everest pada pukul 13.25 bersama klien Martin Adams. Ketika mereka tiba, Andy Harris dan Anatoli Boukreev sudah berada di puncak; aku meninggalkan puncak delapan menit sebelumnya. Menganggap bahwa anggota tim yang lain akan segera tiba, Beidleman mengambil beberapa foto, bercakap-cakap dengan Boukreev, dan duduk untuk menunggu. Pada pukul 13.45, Klev Schoening naik melewati tonjolan terakhir dan tiba dipuncak, menarik foto istri dan anak-anaknya dan memulai perayaan yang mengharukan untuk menyambut kedatangannya dipuncak dunia.
     Dari atas puncak, pemandangan ke arah rute pendakian terhalang oleh sebuah tonjolan besar dilereng gunung, dan pada pukul 14.00---waktu yang sudah ditentukan sebagai waktu kembali---Fischer dan para kliennya masih belum tampak. Beidleman mulai cemas memikirkan hari yang semakin siang.
     Beidleman yang berusia tiga puluh enam tahun, seorang insinyur ruang angkasa, adalah pria yang pendiam, penuh pertimbangan dan pemandu yang sangat bertanggung jawab, yang disukai oleh anggota timnya maupun oleh anggota tim Hall. Beidleman juga merupakan salah seorang pendaki yang paling kuat digunung itu. Dua tahun yang lalu, dia dan Boukreev---yang dianggapnya sebagai teman baiknya---mendaki Puncak Makalu yang memiliki ketinggian 27.824 kaki dengan waktu yang hampir memecahkan rekor, tanpa oksigen tambahan dan tanpa dukungan Sherpa. Pada 1992, Beidleman bertemu Fischer dan Hall untuk pertama kali dilereng K2 dan keahlian serta sikap Beidleman yang tenang dan ramah membuat kedua pria itu terkesan. Namun, karena pengalaman Beidleman dalam mendaki gunung-gunung tinggi masih terbatas (Makalu merupakan satu-satunya puncak Himalaya yang pernah dia daki), kedudukannya sebagai pemandu di Mountain Madness masih berada dibawah Fischer dan Boukreev. Bayaran yang dia terima pun mencerminkan statusnya yang masih junior: Beidleman setuju untuk menjadi pemandu Everest dengan bayaran 10.000 dolar; bandingkan dengan Boukreev yang menerima 25.000 dolar.
     Sebagai pria yang sangat peka, Beidleman sangat menyadari posisinya sebagai pemandu junior. "Aku benar-benar dianggap pemandu ketiga," katanya setelah ekspedisi berakhir, "jadi aku berusaha untuk tidak terlalu ngotot. Akibatnya, aku tidak selalu bicara ketika aku seharusnya bicara, dan sekarang aku menyesalinya."
      Beidleman mengatakan bahwa sesuai dengan rencana Fischer yang fleksibel, pada hari terakhir pendakian menuju puncak, Lopsang Jangbu akan menjadi pendaki pertama, membawa radio dan dua utas tali yang harus direntang sebelum para klien pendaki tiba; Boukreev dan Beidleman---yang sama-sama tidak memiliki radio---akan ditempatkan "ditengah atau didepan" bergantung pada gerakan para klien; dan Scott yang membawa radio kedua, akan menjadi 'pengawas'. Sesuai dengan saran Rob, kami semua harus kembali pada pukul 14.00: setiap pendaki yang belum mendekati puncak pada pukul tersebut harus berbalik dan turun.
     "Seharusnya, Scott sendiri yang mengajak para klien kembali, " Beidleman menjelaskan. "Kami sudah mendiskusikan hal itu. Aku katakan kepadanya bahwa sebagai pemandu ketiga, aku tidak merasa nyaman jika aku meminta seorang klien yang sudah membayar enam puluh lima ribu dolar untuk kembali. Jadi, Scott setuju bahwa itu tanggung jawabnya. Namun karena alasan tertentu, kesepakatan itu tidak pernah terlaksana." Kenyataannya, hanya Boukreev, Harris, Beidleman, Adams, Schoening dan aku sendiri yang tiba dipuncak sebelum pukul 14.00; seandainya Fischer dan Hall mematuhi aturan yang sudah dibuat sebelumnya, semua pendaki lain harus kembali sebelum mereka bisa mencapai puncak.
     Meskipun kecemasan Beidleman terus bertambah karena hari bertambah siang, dia sendiri tidak memiliki radio sehingga dia tidak bisa membahas situasi yang dihadapinya dengan Fischer. Lopsang---yang memegang satu radio---sama sekali belum kelihatan. Pagi itu, ketika Beidleman berpapasan dengan Lopsang yang sedang berlutut sambil muntah ke atas salju diatas Balkon, dia mengambil dua utas tali yang dibawa Sherpa itu untuk membuat lintasan di undakan batu yang terjal diatas mereka. Namun, kenangnya, "Sama sekali tidak terpikir olehku untuk mengambil radionya."
     Akibatnya, kata Beidleman, "Aku harus duduk dan menunggu lama di atas puncak, menatap jam tanganku dan menunggu sampai Scott datang, berpikir untuk turun---tetapi, setiap kali aku berdiri untuk meninggalkan puncak, seorang klien tiba dilereng gunung, jadi aku duduk kembali untuk menunggu mereka."
     Sandy Pittman tampak dilereng terakhir sekitar pukul 14.10, sedikit didepan Charlotte Fox, Lopsang Jangbu, Tim Madsen dan Lene Gammelgaard. Namun gerakan Pittman sangat lambat dan beberapa saat sebelum tiba dipuncak mendadak dia roboh diatas lututnya diatas salju. Ketika Lopsang tiba untuk membantunya dia mendapati bahwa tabung oksigen Pittman yang ketiga sudah kosong. Pagi-pagi sekali, ketika Lopsang berhenti menarik Pittman, dia mengatur agar aliran oksigen mengalir lebih cepat---empat liter per menit---akibatnya, botol oksigen Pittman relatif lebih cepat kosong. Untungnya Lopsang---yang tidak memerlukan oksigen tambahan---membawa satu botol cadangan diranselnya. Dia menyambungkan regulator Pittman ke botol oksigen yang baru, dan bersama-sama mereka mendaki beberapa meter terakhir menuju puncak, kemudian bergabung dalam perayaan yang sedang berlangsung.
     Rob Hall, Mike Groom dan Yasuko Namba tiba dipuncak pada waktu yang hampir bersamaan dan Hall mengirim pesan radio kepada Helen Wilton di Base Camp untuk mengabarkan berita gembira tersebut. "Rob mengatakan bahwa udara diatas sana sangat dingin dan berangin," kenang Wilton, "tetapi, suaranya terdengar gembira. Rob juga mengatakan, 'Doug sudah mulai tampak dikaki horizon; dan begitu dia tiba, aku akan langsung turun...Jika kamu tidak mendengar kabar dariku lagi, artinya segala sesuatu berjalan lancar." Wilton mengirimkan kabar itu ke kantor Adventure Consultants di Selandia Baru, disusul setumpuk berita faksimile yang dikirimkan kepada teman-teman dan kerabat diseluruh dunia, memberitakan tentang keberhasilan ekspedisi itu menaklukkan puncak dunia.
     Akan tetapi, Doug Hansen sama sekali belum berada dekat puncak saat itu, tidak seperti dugaan Hall, begitu pula Fischer. Fischer baru tiba dipuncak pada pukul 15.40 dan Hansen baru tiba disana setelah pukul 16.00.
     Sore sebelumnya---Kamis, pada 9 Mei---ketika kami semua mendaki dari Camp Tiga ke Camp Empat, Fischer baru tiba diperkemahan di Jalur Selatan pada pukul 17.00, dan saat itu dia tampak sangat lelah, meskipun dia berusaha keras untuk menutupi kelelahannya dari para kliennya. "Malam itu," kenang teman satu tendanya, Charlotte Fox, "Aku tidak melihat tanda-tanda bahwa Scott sedang sakit. Dia sangat antusias menyiapkan semua orang seperti seorang pelatih sepakbola yang akan menghadapi sebuah pertandingan besar."
     Padahal, Fischer pasti sangat lelah karena tekanan fisik dan mental yang dialaminya dalam beberapa minggu terakhir. Meskipun dia memiliki cadangan energi yang besar, dia sudah sangat menghamburkannya sehingga ketika dia tiba di Camp Empat, energinya sudah hampir habis. "Scott orang yang sangat kuat," kata Boukreev setelah ekspedisi berakhir, "tetapi sebelum hari pendakian terakhir menuju puncak, dia sudah sangat kelelahan, menghadapi banyak masalah dan dia sudah menghabiskan banyak tenaga. Cemas, cemas, cemas, cemas. Scott benar-benar gelisah, tetapi dia menyimpannya untuk dirinya sendiri."
     Fischer juga menyembunyikan fakta bahwa dia sedang sakit pada hari pendakian terakhir menuju puncak. Pada 1984, saat mendaki Gunung Annapurna di Nepal, Fischer terserang semacam penyakit perut yang ditimbulkan oleh sejenis parasit bernama Entamoeba histolytica. Selama bertahun-tahun penyakit ini tidak pernah benar-benar terusir dari tubuhnya. Dari waktu ke waktu, penyakitnya akan kambuh, membuat fisiknya tertekan dan meninggalkan kista dihatinya. Fischer yang tetap yakin bahwa penyakitnya tidak perlu membuatnya khawatir kerap bercerita tentang penyakitnya kepada beberapa rekannya di Base Camp.
     Menurut Jane Bromet, jika penyakit itu sedang kambuh (seperti yang tampaknya terjadi saat pendakian musim semi 1996 berlangsung), "tubuh Fischer akan berkeringat dan gemetar. Serangan itu membuatnya tidak bisa banyak beraktivitas, tetapi biasanya hanya berlangsung selama sepuluh atau lima belas menit, dan kemudian berlalu. Di Seattle, serangan penyakitnya bisa terjadi seminggu sekali, dan bisa lebih sering jika dia sedang merasa tertekan. Di Base Camp, penyakitnya muncul lebih sering---hampir setiap dua hari sekali, bahkan kadang-kadang setiap hari."
     Seandainya penyakit Fischer memang kambuh saat dia berada di Camp Empat atau diatasnya, dia tidak pernah mengatakannya. Fox melaporkan bahwa dia langsung merangkak ke dalam tendanya pada selasa malam, "Scott langsung tumbang dan tidur nyenyak selama kurang lebih dua jam." Saat dia terbangun pada pukul 22.00 untuk bersiap-siap, gerakannya sangat lamban dan dia masih tetap berada diperkemahan lama setelah klien, pemandu, dan para Sherpa berangkat menuju puncak.
     Tidak jelas kapan Fischer benar-benar meninggalkan Camp Empat pada Jumat, 10 Mei tersebut, kemungkinan baru pukul 01.00. Dia bergerak lambat jauh dibelakang pendaki lain pada hari terakhir pendakian dan sampai sekitar pukul 13.00, dia masih belum tiba di Puncak Selatan. Aku melihatnya pertama kali sekitar pukul 14.45, ketika aku baru meninggalkan puncak, menunggu di atas Hillary Step bersama Andy Harris sampai antrean pendaki habis. Fischer adalah pendaki terakhir yang tiba dan dia tampak sangat lelah.
     Setelah kami berbasa basi, dia bicara sebentar dengan Martin Adams dan Anatoli Boukreev, yang berdiri tepat diatasku dan Harris, menunggu untuk menuruni Hillary Step. "Hei, Martin," Fischer berkata melalui masker oksigennya, berusaha menyisipkan nada lucu dalam suaranya. "Menurutmu kamu bisa menaklukkan Puncak Everest?"
     "Hei, Scott," Adams menjawab dengan nada yang terdengar kesal karena Fischer tidak mengucapkan selamat kepadanya, "Aku baru saja melakukannya."
     Kemudian Fischer bercakap-cakap dengan Boukreev. Menurut Adams, Boukreev berkata kepada Fischer, "Aku akan turun bersama Martin." Kemudian Fischer bergerak dengan lambat menuju puncak, sementara Harris, Boukreev, Adams dan aku menuruni Hillary Step, melewati lintasan tali. Tidak ada seorang pun yang membahas tentang keadaan Fischer yang tampak lelah. Tidak seorang pun dari kami yang berpikir, bahwa dia mungkin sedang menghadapi kesulitan besar.

Jumat sore, pukul 15.00, Fischer masih belum tiba dipuncak, Beidleman menambahkan, "Aku memutuskan, sudah waktunya kami pergi dari tempat itu, meskipun Fischer belum muncul." Dia mengumpulkan Pittman, Gammelgaard, Fox dan Madsen, dan mulai memandu mereka menuruni tebing menjauhi puncak. Dua puluh menit kemudian, sedikit diatas Hillary Step, mereka berpapasan dengan Fischer. "Aku tidak benar-benar berbicara dengannya," kenang Beidleman. "Dia hanya mengangkat tangan. Kelihatannya dia sangat kelelahan, tetapi, dia kan Scott Fischer, jadi aku tidak terlalu mencemaskannya. Aku pikir dia akan mendaki sampai puncak dan secepatnya turun untuk membantu kami memandu para klien turun."
     Kekhawatiran Beidleman saat itu lebih tertuju pada Pittman, "Saat itu, semua orang memang tampak lelah, tetapi Sandy benar-benar kepayahan. Aku pikir, jika aku tidak benar-benar mengawasinya, kemungkinan besar dia akan terguling melewati bibir tebing. Jadi, aku pastikan bahwa dia terkait pada lintasan tali, dan ditempat-tempat lintasan tali tidak tersedia, aku memegang tali pelananya dari belakang dan terus memegangnya sampai dia terkait dengan lintasan tali berikutnya. Dia benar-benar kelelahan, dan aku tidak yakin, dia menyadari bahwa aku berada disampingnya."
     Beberapa kaki dibawah Puncak Selatan, ketika para pendaki memasuki gumpalan awan yang tebal dibawah siraman hujan salju, sekali lagi Pittman roboh dan dia meminta kepada Fox agar diberi suntikan dexametason, sejenis steroid yang sangat keras. "Dex", nama dagang yang lazim dikenal, bisa menahan untuk sementara, dampak merusak dari ketinggian; sesuai dengan saran Dr. Inggrid Hunt, setia anggota tim Fischer diminta membawa sebuah jarum suntik berisi obat didalam kotak plastik sikat gigi yang dimasukkan ke dalam kantong jaket masing-masing, ditempat yang tidak akan membuatnya membeku, kalau-kalau terjadi keadaan darurat. "Aku menurunkan celana Sandy sedikit," kenang Fox, "dan memasukkan jarum suntik itu ke dalam pinggulnya, menembus pakaian dalam dan lainnya."
     Beidleman yang menunggu di Puncak Selatan untuk menginventarisasi oksigen, tiba ditempat itu dan melihat Fox memasukkan jarum suntik ke tubuh Pittman yang tertelungkup diatas salju dengan muka menghadap ke bawah. "Ketika aku tiba diatas tanjakan dan melihat Sandy terbaring disana dan Charlotte berdiri diatasnya sambil mengacungkan jarum suntik, aku berpikir, 'Sial, sepertinya gawat.' Aku bertanya kepada Sandy, apa yang terjadi, dan ketika dia coba menjawab, yang keluar dari mulutnya hanyalah serentetan kata yang tidak berarti." Dengan cemas, Beidleman memerintahkan Gammelgaard untuk menukar tabung oksigennya yang masih penuh dengan tabung Pittman yang hampir kosong, mengatur regulatornya agar oksigen mengalir dengan kekuatan penuh, kemudian memegang Pittman yang sudah setengah koma melalui tali pelananya, dan mulai membawanya turun melewati Lereng Tenggara yang curam dan tertutup es. "Aku mengatur agar tubuhnya bisa meluncur," katanya menerangkan, "melepaskan peganganku dan meluncur mendahului tubuhnya. Setiap lima puluh meter aku akan berhenti, berpegang pada lintasan tali dan berdiri tegak untuk menahan tubuhnya yang meluncur jatuh dengan tubuhku. Ketika aku menahan tubuh Sandy yang meluncur untuk pertama kalinya, ujung-ujung cramponku yang tajam merobek pakaianku. Bulu-bulu pelapis pakaianku beterbangan kemana-mana." Semua orang merasa lega ketika kurang lebih dua puluh menit kemudian, suntika dan oksigen ekstra yang diberikan kepada Pittman mampu memulihkannya dan dia bisa menuruni gunung dengan tenaganya sendiri.
     Sekitar pukul 17.00, ketika Beidleman memandu kliennya menuruni punggung gunung, Mike Groom dan Yasuko Namba sudah tiba diatas Balkon, kira-kira 500 kaki dibawah mereka. Mulai dari birai lebar yang berada pada ketinggian  27.600 kaki ini, rute pendakian menukik tajam ke arah selatan sampai di Camp Empat. Namun, ketika Groom melihat ke arah lain---ke bagian utara dari lereng bukit yang berada dibawahnya---melewati hamparan salju yang bergelombang dan sinar yang mulai memudar, dia melihat seorang pendaki yang bergerak sendirian, jauh menyimpang dari jalur pendakian: orang itu adalah Martin Adams yang kehilangan arah karena badai, dan mengambil jalan yang salah, menuruni Kangshung Face menuju Tibet.
     Begitu Adams melihat Groom dan Namba yang berada diatasnya dia langsung menyadari kekeliruannya dan perlahan-lahan mendaki kembali menuju Balkon. "Martin sudah sangat kepayahan ketika dia tiba di sampingku dan Yasuko," kenang Groom. "Masker oksigennya terlepas, dan wajahnya ditutupi salju yang mengeras. Dia bertanya, 'Mana arah yang menuju perkemahan?"' Groom menunjukkan arah, dan dengan cepat Adams mulai menuruni punggung gunung melalui rute yang benar, mengikuti jejak yang kutinggalkan kira-kira sepuluh menit sebelumnya.
     Saat Groom menunggu Adams untuk kembali ke punggung gunung, dia memerintahkan Namba untuk turun lebih dulu, dia sendiri kemudian sibuk mencari kotak kamera yang hilang saat dia sedang mendaki puncak. Ketika dia sedang mencari-cari disekelilingnya, untuk pertama kalinya Groom melihat seseorang lain berada diatas Balkon bersamanya. "Karena tubuhnya tertutup oleh salju, aku mengira orang itu salah seorang anggota kelompok Fischer, jadi aku tidak mengacuhkannya. Ketika orang itu sudah berdiri di hadapanku dan menyapa, "Hei, Mike, 'aku baru menyadari bahwa orang itu adalah Beck."
     Groom yang terkejut melihat Beck, seperti aku yang juga terkejut saat melihatnya, mengeluarkan seutas tali pendek dan mulai menghela warga Texas itu menuju Jalur Selatan. "Saat itu Beck sudah benar-benar buta," lapor Groom, "setiap sepuluh meter dia akan menginjak udara kosong sehingga aku harus  menariknya dengan bantuan tali. Aku cemas, beberapa kali dia menyeret tubuhku bersamanya. Benar-benar menakutkan. Aku pastikan kapak esku tertancap dengan aman dan cramponku selalu menancap pada permukaan yang kukuh.
     Satu demi satu, disepanjang rute yang baru aku lewati lima belas atau dua puluh menit sebelumnya, Beidleman dan klien Fischer yang lain terperangkap di tengah badai salju yang semakin memburuk. Adams ada di belakang saya, didepan para pendaki lain; disusul oleh Namba, Groom dan Weathers, Schoening dan Gammelgaard, Beidleman dan akhirnya Pittman, Fox dan Madsen.
     Lima ratus kaki diatas Jalur Selatan, ketika singkapan serpih yang curam berubah menjadi lereng es yang lebih landai, Namba kehabisan oksigen, kemudian wanita Jepang bertubuh kecil itu duduk, menolak untuk bergerak. "Ketika aku mencoba mencabut masker oksigennya agar dia bisa bernapas lebih mudah," kata Groom, "dia bersikeras memakai maskernya kembali. Tidak ada bujukan yang bisa meyakinkan dia, bahwa oksigennya sudah habis. Saat itu, tubuh Beck juga sudah sangat lemah sehingga dia tidak bisa berjalan sendiri, dan aku harus menopangnya dengan bahuku. Untunglah pada saat itu Neal berhasil menyusul kami." Beidleman, yang melihat bahwa Groom sudah kewalahan menangani Weathers, mulai menarik Namba menuruni punggung gunung menuju Camp Empat, meskipun Namba bukan anggota tim Fischer.
     Saat itu sudah pukul 18.45 dan cuaca sudah hampir seluruhnya gelap. Beidleman, Groom dan klien mereka, serta dua orang Sherpa dari tim Fischer yang secara terlambat muncul dari tengah embun tebal---Tashi Tschering dan Ngawang Dorje---bergabung menjadi satu kelompok. Meskipun gerakannya sangat lambat, mereka berhasil turun sampai kira-kira 200 kaki vertikal dari Camp Empat. Saat itu aku baru tiba di perkemahan---barangkali tidak lebih dari lima belas menit didepan anggota pertama dari tim Beidleman. Namun, dalam waktu yang sangat pendek itu, hujan badai sudah berubah menjadi topan yang sangat dahsyat dan daya pandang sudah sangat menurun menjadi kurang dari dua puluh kaki. Untuk menghindari lereng es yang berbahaya, Beidleman memandu kelompoknya melalui rute jauh memutar ke arah timur, tempat yang lerengnya tidak terlalu curam dan sekitar pukul 19.30 mereka tiba dengan selamat di Jalur Selatan yang landai dan luas. Namun, saat itu hanya tiga atau empat pendaki yang lampu kepalanya masih menyala, dan semua orang sudah hampir roboh karena kelelahan. Fox semakin bergantung pada Madsen. Weathers dan Namba tidak mampu berjalan tanpa di bantu oleh Groom dan Beidleman secara bergantian.
     Beidleman tahu bahwa mereka berada di lereng timur Jalur Selatan yang mengarah ke wilayah Tibet, bahwa perkemahan mereka terletak disebelah barat. Namun, berjalan ke arah itu berarti menyongsong badai. Potongan-potongan es sebesar biji yang diterbangkan angin menghantam keras wajah mereka, mengoyakkan mata dan membuat mereka tidak mampu melihat jalan yang mereka yang lalui. "Benar-benar sulit dan menyakitkan," Schoening menjelaskan, "akibatnya, kami cenderung berjalan menghindari angin, terus bergerak ke arah kiri dan itulah kesalahn kami."
     "Adakalanya, kami bahkan tidak bisa melihat kaki kami sendiri karena kerasnya tiupan angin," katanya menambahkan. "Aku khawatir seseorang akan duduk atau terpisah dari kelompok dan kami tidak pernah melihatnya lagi. Namun, begitu kami tiba di Jalur Selatan yang datar, kami mulai mengikuti para Sherpa, aku pikir mereka tahu letak perkemahan. Namun, tiba-tiba mereka berhenti dan dengan cepat kembali ke rute asal sehingga kami segera sadar bahwa mereka pun tidak tahu tempat kami berada. Tiba-tiba saja perutku terasa sakit. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa kami benar-benar berada dalam kesulitan.
     Selama dua jam berikutnya, Beidleman, Groom, dua Sherpa dan tujuh klien berjalan tertatih-tatih ditengah badai tanpa bisa melihat apapun, dengan  tubuh yang makin lelah dan makin dingin, berharap bisa tiba diperkemahan. Di satu tempat, mereka menemukan beberapa botol oksigen yang kosong, menandakan bahwa perkemahan sudah semakin dekat, tetapi para pendaki itu masih belum bisa menemukan perkemahan mereka. "Benar-benar kacau," kata Beidleman. "Semua orang berjalan kesana kemari; aku berteriak kepada semua orang, meminta mereka untuk mengikuti satu pemimpin. Akhirnya, sekitar pukul sepuluh malam, aku tiba di sebuah tanjakan kecil, sepertinya aku sedang berdiri di tepi permukaan bumi. Aku bisa merasakan kekosongan yang sangat luas dibawahku."
     Tanpa disadari kelompok itu tersesat ke tepi paling timur dari Jalur Selatan, dimulut Kangshung Face yang menukik sedalam 7000 kaki. Mereka berada pada ketinggian yang sama dengan Camp Empat, hanya 1000 kaki mendatar dari tempat aman(*1), tetapi, kata Beidleman, "aku tahu, bahwa jika kami terus berjalan ditengah badai, sebentar saja seseorang pasti akan hilang. Aku sangat lelah karena harus menyeret Yasuko. Charlotte dan Sandy hampir-hampir tidak mampu berdiri. Jadi, aku berteriak kepada semua orang agar duduk sambil membungkuk ditempat itu dan menunggu sampai badai berhenti."
     Beidleman dan Shoening berusaha mencari tempat yang terlindung dari terjangan angin, tetapi tidak berhasil. Semua orang sudah kehabisan oksigen sehingga kelompok itu semakin rentan terhadap angin yang temperaturnya mencapai seratus derajat dibawah nol. Dibalik sebongkah batu yang besarnya tidak lebih dari sebuah mesin cuci piring, para pendaki itu merunduk dan membentuk barisan yang tidak teratur diatas sepetak tanah yang bebas dari es karena tiupan badai. "Saat itu, dinginnya udara hampir-hampir membuatku mati," kata Charlotte Fox. "Mataku membeku. Aku tidak yakin kami bisa keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup. Sengatan hawa dingin benar-benar menyakitkan, kukira aku tidak bisa bertahan lebih lama. Aku hanya meringkuk dan berharap kematian menjemputku dengan cepat."
     "Kami berusaha untuk tetap hangat dengan saling meninju," kenang Weathers. "Seseorang berteriak agar kami terus menggerakkan tangan dan kaki kami. Sandy menjadi histeris, berkali-kali dia menjerit, 'Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!' Selain dia, tidak ada orang yang banyak berbicara."

Kira-kira tiga ratus kaki ke arah barat, didalam tendaku, tubuhku bergetar tidak terkendali---meskipun aku terbungkus rapat didalam kantong tidurku, dan memakai semua pakaian dan penutup tubuh yang aku miliki. Tiupan badai seakan-akan siap mengoyakkan tendaku. Setiap kali pintu tenda terbuka, butiran salju yang tertiup angin menerjang masuk sehingga semua benda didalam tenda tertutup oleh lapisan salju setebal 2,54 senti. Tidak menyadari tragedi yang sedang berlangsung diluar sana, ditengah amukan badai, aku terbaring antara sadar dan tidak sadar, mengigau karena kelelahan, dehidrasi dan karena dampak kumulatif akibat kekurangan oksigen.
     Entah pukul berapa, yang pasti malam belum larut, Stuart Hutchison, teman satu tendaku, masuk dan mengguncangkan tubuhku dengan keras. Dia memintaku untuk menemaninya keluar dari tenda untuk memukuli panci dan menyorotkan lampu ke angkasa, dengan harapan kami bisa memandu para pendaki yang tersesat, tetapi aku terlalu lemah dan terlalu bingung untuk bereaksi. Hutchison---yang sudah tiba kembali diperkemahan pada pukul 14.00 dan karenanya jauh lebih segar daripadaku---kemudian berusaha membangunkan klien lain dan para Sherpa dari tenda-tenda yang lain. Namun, semua orang terlalu kedinginan atau terlalu kelelahan. Akhirnya Hutchison keluar sendirian dan menerjang badai.
     Malam itu, dia meninggalkan kemah enam kali untuk mencari pendaki yang hilang, tetapi badai es yang turun dengan dahsyat membuatnya tidak berani berjalan lebih dari beberapa meter dari batas perkemahan. "Kecepatan angin sama dengan kecepatan peluru," katanya menekankan. "Butir-butir air yang tertiup angin terasa seperti butiran pasir atau sejenisnya. Aku hanya bisa berada diluar selama lima belas menit setiap kalinya, sebelum aku sendiri kedinginan dan terpaksa kembali ke dalam tenda."
    
Diluar sana, ditengah para pendaki yang terbungkuk-bungkuk ditepi Jalur Selatan, Beidleman memaksa diri untuk waspada, menunggu tanda-tanda berhentinya badai. Sesaat sebelum tengah malam, sikap waspadanya ternyata membuahkan hasil ketika tiba-tiba dia melihat beberapa bintang diangkasa dan berteriak kepada pendaki lain untuk ikut melihat. Dibawah dekat permukaan tanah, tiupan angin masih menimbulkan badai salju, tetapi jauh diatas sana, langit mulai tampak jernih, menampilkan bayangan hitam dari puncak Everest dan Lhotse yang menjulang. Dengan mengambil dua titik ini sebagai pedoman, Klev Schoening mengatakan bahwa dia bisa mengetahui posisi kelompok mereka  terhadap Camp Empat. Setelah bertukar pendapat dengan Beidleman, yang dilakukan dengan cara berterial, dia berhasil meyakinkan si pemandu tentang arah menuju perkemahan.
     Beidleman berusaha membujuk semua orang untuk berdiri dan bergerak sesuai arah yang ditunjukkan oleh Schoening, tetapi Pittman, Fox, Weathers, dan Namba sudah terlalu lemah untuk bisa berjalan. Saat itulah Beidleman sadar, jika salah seorang dari mereka tidak bisa mencapai perkemahan dan membentuk tim penyelamat, mereka semua akan tewas. Jadi, Beidleman mengumpulkan mereka yang masih mampu berjalan, kemudian dia sendiri, Schoening, Gammelgaard, Groom dan dua orang Sherpa berjalan tertatih-tatih menembus salju untuk mencari bantuan, meninggalkan empat klien yang tidak bisa bergerak ditemani oleh Tim Madsen. Karena enggan meninggalkan teman wanitanya, Fox, Tim Madsen menawarkan diri untuk tinggal dan menjaga mereka sampai bantuan tiba.
     Dua puluh menit kemudian, kelompok Beidleman tertatih-tatih memasuki perkemahan dan disambut haru oleh Anatoli Boukreev yang sedang menunggu mereka dengan cemas. Schoening dan Beidleman, yang hampir-hampir tidak mampu bicara, menjelaskan kepada orang rusia itu tempat dia bisa menemukan kelima klien yang masih terjebak badai, kemudian roboh didalam tendanya masing-masing karena kelelahan.
     Boukreev tiba di Jalur Selatan beberapa jam mendahului rekan-rekannya yang lain dari tim Fischer. Bahkan, pada pukul 17.00, ketika rekan-rekannya masih berjuang menembus awan pada ketinggian 28.000 kaki, Boukreev sudah berada didalam tendanya, beristirahat sambil minum teh. Kelak, beberapa pemandu berpengalaman mempertanyakan keputusannya untuk menuruni gunung jauh mendahului para kliennya---sikap yang sangat tidak lazim untuk seorang pemandu. Salah seorang klien tim Fischer hanya bisa mencaci Boukreev dan berkata, "saat tenaganya sangat dibutuhkan, pemandu itu justru 'menjauh dan lari'."
     Anatoli meninggalkan puncak sekitar pukul 14.00 dan langsung tertahan oleh antrean pendaki di Hillary Step. Setelah antrean pendaki habis, dia bergerak cepat menuruni Lereng Tenggara tanpa menunggu satu klien pun---meskipun di puncak Hillary Step, dia berjanji kepada Fischer bawa dia akan turun bersama Martin Adams. Karena itu, Boukreev tiba di Camp Empat jauh sebelum badai pecah.
     Setelah ekspedisi berakhir, ketika kutanyakan kepada Anatoli, mengapa dia turun mendahului kelompoknya, dia menyodorkan kepadaku sebuah naskah wawancara yang dia kirimkan beberapa hari lalu kepada majalah Men's Journal melalui seorang penerjemah Rusia. Menurutnya, naskah itu sudah dia baca dan pernyataan yang termuat didalamnya sudah benar. Aku membaca naskah itu ditempat itu juga, sambil mengajukan sejumlah pertanyaan tentang peristiwa yang terjadi saat kami menuruni gunung dan dia menjawab,

Aku menunggu (dipuncak) selama kurang lebih satu jam...Udara sangat dingin, dan tentu saja, itu sangat menyedot tenaga...Aku tidak bisa terus menunggu dan kedinginan. Lebih bermanfaat jika aku kembali ke Camp Empat untuk membawakan beberapa botol oksigen bagi pendaki yang turun, atau kembali ke atas untuk membantu jika beberapa pendaki kelelahan saat menuruni gunung---jika Anda berdiri diam pada ketinggian seperti itu, udara dingin akan menyedot habis tenaga Anda, sehingga Anda tidak mampu melakukan apapun.

Kerentanan Boukreev terhadap udara dingin pasti diperburuk oleh fakta bahwa dia tidak menggunakan oksigen tambahan; tanpa gas tambahan, dia tidak bisa berhenti dan menunggu klien yang lamban dilereng gunung tanpa terserang gigitan salju dan hipotermia. Apapun alasannya, dia turun cepat mendahului timnya---pola yang nyatanya dia terapkan selama ekspedisi berlangsung, seperti yang ditulis oleh Fischer didalam surat-suratnya yang terakhir dan saat dia menelepon ke Seattle dari Base Camp.
     Ketika kutanyakan tentang keputusannya untuk meninggalkan semua kliennya dipunggung gunung, Anatoli bersikeras bahwa dia melakukannya demi kebaikan tim: "Lebih baik jika aku menghangatkan diri di Jalur Selatan, dan siap untuk membantu jika salah seorang klien kehabisan oksigen." Bahkan sesaat setelah gelap, ketika kelompok Beidleman belum juga kembali ke perkemahan dan angin topan berubah menjadi badai yang dahsyat, Boukreev menyadari bahwa mereka pasti menghadapi kesulitan dan dengan berani berupaya membawakan botol oksigen kepada mereka. Sayangnya, strategi yang dia terapkan punya satu kelemahan: karena dia dan Beidleman sama-sama tidak memiliki radio, Boukreev tidak tahu masalah yang dihadapi para pendaki yang tersesat, dia bahkan tidak tahu keberadaan mereka dihamparan gunung yang luas itu. Bagaimanapun, sekitar pukul 19.30, Boukreev meninggalkan Camp Empat untuk mencari kelompok Beidleman. Dia mencoba mengingat-ingat,

Jarak pandang hanya tinggal sekira satu meter. Semuanya seolah menghilang. Aku punya sebuah lampu, dan mulai menggunakan oksigen untuk mempercepat gerak. Aku membawa tiga tabung. Aku berusaha bergerak lebih cepat, tetapi tidak bisa melihat apapun...Seperti orang buta, tidak bisa melihat, semuanya gelap. Ini berbahaya, karena aku bisa jatuh ke dalam celah gletser, atau jatuh ke jurang di selatan Lhotse yang menganga sedalam 3000 meter. Aku berusaha mendaki, tetapi suasananya benar-benar gelap, aku tidak bisa menemukan lintasan tali.

Kira-kira enam ratus kaki diatas Jalur Selatan, Boukreev menyadari bahwa upayanya akan sia-sia, dan kembali ke perkemahan. Dia mengaku bahwa dia sendiri hampir tersesat. Keputusannya untuk tidak meneruskan upayanya barangkali memang tepat, karena pada saat itu rekan-rekannya sudah tidak ada lagi berada dipuncak diatasnya, tempat yang dituju Boukreev---ketika Boukreev menghentikan upayanya, kelompok Beidleman sudah berada di Jalur Selatan, enam ratus kaki di bawah orang Rusia tersebut.
     Ketika tiba di Camp Empat sekitar pukul 21.00, Boukreev mencemaskan kesembilan pendaki yang hilang tersebut, tetapi karena dia tidak tahu dimana mereka berada, dia memutuskan untuk menunggu. Kemudian, pada pukul 00.45, lewat tengah malam, Beidleman, Groom, Schoening dan Gammelgaard tertatih-tatih masuk ke perkemahan. "Klev dan Neal sudah benar-benar kehabisan tenaga dan mereka hampir-hampir tidak bisa bicara," kenang Boukreev. "Mereka mengatakan bahwa Charlotte, Sandy dan Tim Madsen perlu bantuan dan Sandy nyaris tewas. Kemudian, mereka memberi petunjuk, dimana aku bisa menemukan mereka.
     Ketika mendengar bahwa para pendaki sudah tiba, Stuart Hutchison keluar dari tendanya untuk membantu Groom. "Aku membantu Mike masuk ke tendanya," kenang Hutchison, "aku lihat dia benar-benar kelelahan. Bicaranya cukup jelas, tetapi dia harus berjuang keras, seperti orang sekarat yang sedang mengucapkan kata-kata terakhir. 'Kamu harus membawa beberapa Sherpa,' katanya padaku, 'Bawalah mereka untuk membantu Beck dan Yasuko.' Kemudian dia menunjuk ke arah Jalur Selatan yang berada dekat Kangshung Face."
     Tetapi, upaya Hutchison untuk membentuk tim pencari ternyata tidak berhasil. Chuldum dan Arita---dua Sherpa dari tim Hall yang tidak ikut dalam pendakian menuju puncak dan menunggu sebagai tenaga cadangan di Camp Empat kalau-kalau terjadi keadaan darurat---ternyata tidak mampu bergerak karena keracunan karbonmonoksida akibat memasak ditenda yang ventilasinya buruk; Chuldum bahkan sempat muntah darah. Dan empat Sherpa dalam tim kami terlalu kedinginan dan terlalu lemah akibat perjalanan ke puncak.
     Setelah ekspedisi berakhir, aku bertanya pada Hutchison: setelah dia tahu dimana para pendaki yang hilang berada, mengapa dia tidak membangunkan Frank Fishbeck, Lou Kasischke atau John Taske---atau mencoba membangunkanku untuk kedua kalinya---dan meminta bantuan kami untuk membentuk regu pencari. "Aku bisa melihat dengan jelas bahwa kalian semua benar-benar kelelahan, jadi tidak terpikir olehku untuk minta bantuan kalian. Kamu sendiri bukan hanya lelah biasa, sehingga aku berpikir, kalau kamu berusaha untuk membantu mencari mereka, kamu hanya akan memperburuk situasi---kamu pasti roboh diatas sana dan harus diselamatkan." Akhirnya, Stuart menerjang badai sendirian, tetapi sampai dibatas perkemahan sekali lagi dia kembali karena khawatir tidak dapat menemukan jalan pulang jika dia berjalan lebih jauh.
     Pada saat yang sama, Boukreev juga sedang mencoba membentuk tim pencari, tetapi dia tidak menghubungi Hutchison atau datang ke perkemahanku, jadi upaya Hutchison dan Boukreev tidak terkoordinasi, dan aku tidak tahu tentang upaya mereka untuk membentuk tim pencari. Akhirnya, seperti juga Hutchison, Boukreev menyadari bahwa semua orang yang dia bangunkan terlalu sakit, terlalu lelah atau terlalu takut untuk membantu. Jadi, orang Rusia itu memutuskan untuk membawa pulang kelompok yang tersesat itu sendirian. Dengan berani dia menerjang topan, mencari-cari di sekitar Jalur Selatan selama hampir satu jam, tetapi tidak berhasil.
     Boukreev tidak mundur. Dia kembali ke perkemahan, meminta petunjuk yang lebih jelas dari Beidleman dan Schoening, kemudian kembali masuk ke tengah badai. Kali ini samar-samar dia melihat sinar lampu kepala Madsen yang sudah pudar dan berhasil menemukan para pendaki yang hilang. "Mereka terbaring diatas es, tanpa bergerak," kata Boukreev. "Mereka tidak bisa bicara." Madsen masih sadar dan masih bisa mengurus dirinya sendiri, tetapi Pittman, Fox dan Weathers benar-benar tidak berdaya dan Namba sepertinya sudah tewas.
     Setelah Beidleman dan rekan-rekannya meninggalkan mereka untuk mencari pertolongan, Madsen mengumpulkan para pendaki yang tersisa dan memaksa mereka untuk terus bergerak agar tetap hangat. "Aku mendudukkan Yasuko dipangkuan Beck," kenang Madsen, "tetapi, Beck sama sekali tidak bereaksi dan Yasuko sama sekali tidak bergerak. Beberapa saat kemudian, aku melihat Yasuko terbaring rata diatas punggungnya, dan salju yang tertiup angin menutupi kepalanya. Sepertinya dia kehilangan sarung tangan---karena tangan kananya telanjang, dan jari-jarinya terkepal erat dan tidak bisa diluruskan. Sepertinya, mereka semua membeku sampai ke tulang.
     "Aku mengira Yasuko sudah tewas," Madsen menambahkan. "Tetapi, beberapa saat kemudian, dia tiba-tiba bergerak, sehingga aku ketakutan: dia seperti menegangkan lehernya sedikit, seperti berusaha untuk duduk dan tangan kanannya naik, kemudian diam. Yasuko terbaring kembali dan tidak pernah bergerak lagi."
     Segera setelah Boukreev menemukan kelompok pendaki tersebut, dia melihat dengan jelas bahwa dia hanya bisa membantu satu pendaki saj dalam satu kali jalan. Dia membawa sebuah tabung oksigen, yang dia hubungkan ke masker Pittman. Kemudian Boukreev memberi isyarat pada Madsen bahwa dia akan kembali secepatnya dan mulai memandu Fox ke perkemahan. "Setelah mereka pergi," kata Madsen, "Beck terbaring dengan posisi melingkar, tidak banyak bergerak dan Sandy meringkuk dipangkuan saya, juga tidak bergerak. Aku berteriak kepadanya, 'Hei, gerakkan terus kedua lenganmu! Biarkan aku melihat tanganmu.' Ketika dia duduk dan merentangkan tangannya, aku bisa melihat bahwa sarung tangannya terlepas---tergantung dipergelangan tangannya.
     "Aku berusaha untuk memasukkan tangannya ke dalam sarung tangan itu ketika Beck tiba-tiba bergumam, "Hei, aku mengerti sekarang," Kemudian dia seperti berguling menjauh, membungkuk diatas sebongkah batu besar, dan kemudian menghadapkan wajahnya pada angin dengan kedua tangan terentang. Sedetik kemudian, embusan angin yang cukup keras menerjangnya, membuat tubuhnya terjungkal ke belakang memasuki kegelapan malam, aku tidak bisa melihatnya melalui sinar lampu dikepalaku. Itulah terakhir kalinya aku melihat Beck."
     "Toli kembali beberapa saat kemudian dan menarik Sandy, jadi aku mengumpulkan barang-barangku dan mulai berjalan mengikuti mereka, mencoba mengikuti sinar lampu dari kepala Toli dan Sandy. Waktu itu, aku menduga Yasuko sudah tewas dan Beck tidak bisa diselamatkan lagi." Mereka tiba diperkemahan pada pukul 04.30 pagi, saat matahari sudah mulai menyinari ufuk timur. Setelah mendengar dari Madsen bahwa Yasuko tewas, Beidleman roboh didalam tendanya dan menangis selama empat puluh lima menit.

Bersambung.....

(*1): Meskipun seorang pendaki yang kuat membutuhkan waktu satu jam untuk menempuh jalur vertikal sepanjang 1.000 kaki, dalam hal ini jalur yang ditempuh merupakan jalur yang landai, yang seharusnya bisa ditempuh kelompom itu dalam waktu lima belas menit, jika mereka tahu letak.perkemahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar