Kamis, 15 Oktober 2015

Into Thin Air --- Bab XVII

                 INTO THIN AIR
                      BAB XVII
             PUNCAK EVEREST
                  10 MEI 1996
                 PUKUL 15.40 --- 29.028 KAKI

Bencana yang menimpa kami, pasti diakibatkan oleh cuaca buruk yang datang tiba-tiba dan sepertinya tanpa sebab yang jelas. Aku pikir, tidak ada manusia lain yang pernah melewati bulan seperti bulan yang kami lalui, yang seyogianya bisa kami lalui meskipun cuaca buruk, jika bukan karena rekan kedua kami yang menyebalkan, Kapten Oates dan kurangnya bahan bakar didepot-depot, sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan, dan terakhir, karena badai yang menerjang kami kurang lebih 11 mil dari depot yang kami harapkan menjadi tempat yang bisa memenuhi semua kebutuhan terakhir kami. Pasti tidak ada kemalangan yang melebihi pukulan terakhir ini .... Kami menentang banyak resiko, dan kami sadar akan hal itu; segala sesuatu berbalik menentang kami, dan karenanya kami tidak punya alasan untuk mengeluh, tetapi apapun suratan Takdir kami, kami bertekad untuk terus berjuang sampai detik terakhir.....
Seandainya kami bisa bertahan hidup, saya akan punya kisah untuk diceritakan ; tentang keberanian, daya tahan dan semangat rekan-rekan saya yang akan menyentuh hati setiap warga Inggris. Tulisan cakar ayam ini dan tubuh-tubuh kami yang sudah mati akan bercerita. 

Robert Falcon Scott,
dalam “Pesan untuk Publik”, ditulis sesaat sebelum kematiannya di Antartika, 29 Maret 1912, dikutip dari Scott’s Last Expedition
------------------------------------
Scott Fischer tiba dipuncak sekitar pukul 15.40 tanggal 10 Mei dan mendapati teman setianya sekaligus sirdarnya , Lopsang Jangbu, sedang menunggunya. Sherpa itu mengeluarkan radio dari balik jaketnya dan menghubungi Ingrid Hunt di Base Camp, kemudian menyerahkan walkie talkie tersebut pada Fischer. “Kami berhasil” Fischer berkata kepada Hunt yang berada 11.400 kaki dibawahnya. “Ya Tuhan, saya benar-benar lelah.” Beberapa menit kemudian, Makalu Gau tiba ditemani dua orang Sherpa. Rob Hall juga sudah ada disana, menunggu kedatangan Doug Hansen dengan tidak sabar, sementara gumpalan-gumpalan awan yang tampak mengkhawatirkan mulai naik dan menutupi lereng yang menuju puncak.
Menurut Lopsang, selama lima belas atau dua puluh menit berada dipuncak, Fischer terus menerus mengeluh tidak enak badan---sesuatu yang tidak pernah dilakukan pemandu yang biasanya pandai menahan diri itu. “Scott berkata padaku, ‘Aku terlalu lelah,’” kenang Sherpa tersebut. “Saya memberinya teh, tetapi dia hanya minum sedikit, hanya setengah cangkir. Jadi saya berkata padanya, ‘Scott, mari kita turun cepat-cepat.’ Kemudian kami berdua turun.”
Fischer turun lebih dulu, sekira pukul 15.55. Lopsang melaporkan bahwa meskipun Scott hampir selalu menggunakan oksigen tambahan saat mendaki dan tabung oksigennya masih terisi tiga perempat bagian, karena alasan tertentu dia melepaskan maskernya dan tidak menggunakan oksigen.
Beberapa saat setelah Fischer meninggalkan puncak, Gau dan kedua Sherpanya turun diikuti oleh Lopsang---meninggalkan Hall sendirian dipuncak, menunggu kedatangan Hansen. Beberapa saat kemudian, setelah Lopsang turun, yaitu sekira pukul 16.00, Hansen akhirnya muncul dan dengan susah payah serta gerakan lamban dia melewati tonjolan lereng yang terakhir. Begitu melihat Hansen, dengan cepat Hall turun untuk menyongsongnya.
Waktu kembali yang ditetapkan oleh Hall sudah lewat dua jam yang lalu. Mengingat sifat Hall yang sangat konservatif dan cermat, banyak rekan-rekannya yang mempertanyakan sikap Hall yang lain dari biasanya. Mereka bertanya-tanya mengapa dia tidak menyuruh Hansen kembali lebih awal, segera setelah dia tahu bahwa pendaki Amerika itu sudah sangat terlambat?
Tepat setahun sebelumnya, Hall memerintahkan Hansen untuk kembali meskipun saat  itu mereka sudah berada di Puncak Selatan, tepat pada pukul 14.30; tidak berhasil mencapai puncak setelah berada begitu dekat membuat Hansen sangat kecewa. Berkali-kali dia mengatakan kepadaku bahwa perjalanannya ke Everest pada 1996 itu, lebih banyak mengikuti saran Hall---Doug mengatakan bahwa Rob meneleponnya dari Selandia Baru, “selusin kali,” mendesaknya untuk mencoba sekali lagi---dan kali ini Doug sudah bertekad bulat untuk menaklukkan puncak. “Aku ingin masalah ini selesai kemudian melupakannya dari hidup saya,” kata Doug padaku tiga hari sebelumnya di Camp Dua. “Aku tidak ingin kembali lagi ke tempat ini. Aku terlalu tua untuk semua kekacauan ini.”
Rasanya tidak berlebihan jika aku menduga bahwa karena Hall yang membujuk Hansen untuk kembali ke Everest, maka Hall tidak bisa melarang Hansen mendaki sampai puncak untuk kedua kalinya. “Sangat sulit untuk meminta seseorang turun kembali saat dia sudah berada jauh diatas sana,” tutur Guy Cotter, pemandu dari Selandia Baru yang bersama Hall menaklukkan Everest pada 1992, dan bekerja sebagai pemandu Hall pada ekspedisi 1995, yaitu ketika Doug Hansen pertama kali mendaki puncak Everest. “Jika seorang klien melihat bahwa puncak sudah begitu dekat dan dia sudah bertekad untuk mencapainya, dia hanya akan menertawakan Anda dan terus mendaki.” Hal serupa diucapkan oleh veteran pemandu  dari Amerika, Peter Lev kepada majalah Climbing, tidak lama setelah bencana Everest pada 1996 itu, “Kami berpikir orang-orang membayar kami untuk membuat keputusan yang tepat, padahal mereka membayar untuk mencapai puncak.”
Apapun yang terjadi, nyatanya Hall tidak meminta Hansen untuk turun sekira pukul 14.00---tidak juga pada pukul 16.00, saat dia menyongsong kliennya beberapa kaki dibawah puncak. Sebaliknya, menurut cerita Lopsang, Hall melingkarkan lengan Hansen dilehernya dan membantu klien yang sudah kelelahan itu melewati empat puluh kaki terakhir menuju puncak. Mereka hanya tinggal selama satu atau dua menit , dan kemudian berbalik untuk melakukan perjalanan panjang menuruni gunung.
Ketika Lopsang melihat bahwa Hansen terhuyung, dia menunggu cukup lama untuk memastikan bahwa Doug dan Rob sudah aman melewati tonjolan lereng yang sangat berbahaya yang berada tepat dibawah puncak. Kemudian, karena ingin segera menyusul Fischer yang saat itu sudah berada tiga puluh menit didepannya, Sherpa itu meneruskan perjalanannya menuruni tebing, meninggalkan Hansen dan Hall di puncak Hillary Step.
Sesaat setelah Lopsang menghilang dibawah Hillary Step, Hansen tampaknya kehabisan oksigen dan roboh. Dia sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk bisa mencapai puncak---dan sekarang, dia tidak punya tenaga lagi untuk turun. “Peristiwa serupa terjadi pada Doug dalam ekspedisi 1995,” kata Ed Viesturs, yang seperti Cotter, menjadi pemandu Hall pada ekspedisi tersebut. “Dia baik-baik saja selama pendakian, tetapi begitu dia mulai turun, kekuatan mental maupun fisiknya habis; dia berubah menjadi zombi, seakan-akan dia sudah menghabiskan semuanya.”
Pada pukul 16.30, dan sekali lagi pada pukul 16.41, Hall menghubungi melalui radio dan mengatakan bahwa dia dan Hansen sedang kesulitan dilereng  dekat puncak, dan sangat membutuhkan oksigen. Dua botol oksigen terisi penuh sedang menunggu mereka di Puncak Selatan; jika Hall tahu tentang ini, dia bisa mengambil gas tersebut dengan cepat dan kembali ke atas untuk memberi Hansen botol yang baru. Tetapi, Andy Harris, yang masih berada ditempat penyimpanan oksigen, dalam keadaan sekarat dan linglung karena hipoksia, tanpa sengaja mendengar pembicaraan tersebut, dia menyela dan mengatakan pada Hall---informasi yang salah, seperti yang dia katakan pada Mike Groom dan aku---bahwa semua botol oksigen di Jalur Selatan sudah kosong.
Groom mendengar percakapan antara Harris dan Hall melalui radionya saat dia sedang menuruni Punggung Tenggara bersama Yasuko Namba, tepat diatas Balkon. Dia berusaha menghubungi Hall untuk memperbaiki informasi yang keliru tadi dan memberi tahu Hall masih ada beberapa botol oksigen yang penuh menunggunya di Jalur Selatan, tetapi, Groom menjelaskan, “radioku kurang berfungsi. Aku bisa menerima hampir semua panggilan, tetapi orang luar hampir-hampir tidak bisa mendengar kata-kataku. Beberapa kali aku berhasil menghubungi Rob, dan berusaha mengatakan padanya bahwa masih ada beberapa botol oksigen yang masih penuh, tetapi kata-kataku selalu dipotong oleh Andy, yang mengatakan tidak ada lagi oksigen di Jalur Selatan.”
Karena Hall tidak yakin ada botol oksigen yang menunggunya, dia memutuskan untuk tetap menemani Hansen dan berusaha membawa klien yang hampir-hampir tidak berdaya itu menuruni puncak tanpa bantuan gas. Tetapi saat mereka tiba di puncak Hillary Step, Hall tidak bisa membantu Hansen melewati tebing vertikal setinggi 40 kaki tersebut, sehingga perjalanan mereka terhenti. “Aku sendiri bisa turun,” Hall melaporkan melalui radio, dengan suara terengah-engah berusaha mengambil napas.” Aku Cuma tidak tahu, bagaimana aku bisa membawa Hansen turun melewati Hillary Step tanpa oksigen.”
Sesaat sebelum pukul 17.00, Groom akhirnya berhasil menghubungi Hall dan mengatakan bahwa sebenarnya masih ada beberapa tabung oksigen di Jalur Selatan. Lima belas menit kemudian, Lopsang tiba di Jalur Selatan dalam perjalanan ke bawah dan berpapasan dengan Harris.(*1)  Saat itu, menurut Lopsang, Harris sudah tahu bahwa masih ada dua tabung oksigen yang masih terisi penuh, karena dia membujuk Sherpa itu untuk membantunya membawakan gas penyokong hidup itu kepada Hall dan Hansen yang sedang berada di puncak Hillary Step. “Andy mengatakan dia akan membayar saya lima ratus dolar untuk membawa oksigen itu pada Rob dan Doug,” kenang Lopsang. “Tetapi, saya hanya bertugas untuk menjaga kelompok saya saja. Saya harus menjaga Scott. Jadi saya menolak  tawaran  Andy, dan turun dengan cepat.”
Pada 17.30, ketika Lopsang meninggalkan Jalur Selatan untuk meneruskan perjalanan menuruni gunung, dia berbalik untuk melihat Harris---yang saat itu pasti sudah sangat tidak berdaya, jika ditinjau dari kondisinya saat aku melihatnya di Jalur Selatan dua jam sebelumnya---yang perlahan-lahan sedang mendaki menuju puncak untuk membantu Hall dan Hansen. Sebuah tindakan kepahlawanan yang akan dibayar Harris dengan nyawanya!
Beberapa ratus kaki dibawahnya, Scott sedang berjuang keras menuruni Lereng Tenggara, tubuhnya menjadi semakin lemah dan terus melemah. Ketika dia tiba di puncak undakan batu pada ketinggian 28.400 kaki, Scott mendapati beberapa lintasan tali yang pendek tapi sulit, yang menjulur disepanjang lereng. Terlalu lelah untuk menggunakan metode tali yang rumit itu, Fischer langsung meluncur menuruni lereng bersalju diatas pantatnya. Cara ini lebih mudah daripada mengikuti lintasan tali, tetapi saat dia tiba didasar undakan, dia harus naik kembali sejauh 330 kaki melewati jalur yang dipenuhi salju setinggi lutut.
Tim Madsen yang sedang turun gunung dengan kelompok Beidleman, kebetulan mendongak ke arah Balkon sekira pukul 17.20 dan melihat Fischer yang sedang berjalan melewati lintasan tersebut. “Dia berjalan sepuluh langkah, kemudian duduk dan beristirahat, maju lagi beberapa langkah, kemudian istirahat lagi. Gerakannya sangat lambat. Tetapi, aku bisa melihat Lopsang diatasnya, menuruni punggung gunung dan kupikir dengan dibantu Lopsang, Scott pasti akan baik-baik saja.”
Menurut Lopsang, dia berhasil menyusul Fischer sekira pukul 18.00, tepat diatas Balkon: “Scott tidak menggunakan oksigen, jadi aku memasangkan masker untuknya. Dia berkata, ‘Aku terlalu sakit, terlalu sakit untuk bisa turun. Aku akan melompat.’ Dia mengatakan ini berkali-kali, kelakuannya seperti orang gila, jadi dengan cepat aku mengikat tubuhnya dengan seutas tali, sebab jika tidak, dia pasti akan melompat ke bawah menuju Tibet.”
Setelah mengikat tubuh Fischer dengan seutas tali sepanjang 75 kaki, Lopsang membujuk temannya untuk tidak melompat dan memandunya perlahan menuju Jalur Selatan. “Saat itu, badai sedang buruk-buruknya,”kenang Lopsang. “BOOM! BOOM! Aku mendengar dua kali suara guruh yang sangat keras, seperti suara senapan, disusul dua kali sambaran halilintar sangat dekat denganku dan Scott, sangat keras, dan sangat menakutkan.”
Tiga ratus kaki di bawah Balkon, selokan es landai yang mereka turuni dengan hati-hati tiba-tiba berubah menjadi singkapan serpih yang lepas-lepas dan curam, dan dalam kondisi tubuh yang sangat lemah, Fischer tidak mampu menghadapi medan yang sangat menantang tersebut. “Saat itu Scott sudah tidak bisa berjalan, dan aku benar-benar menghadapi masalah besar,” kata Lopsang. “Aku berusaha menggendongnya, tetapi aku juga sangat lelah. Tubuh Scott sangat besar, sementara aku sangat kecil; aku tidak bisa menggendongnya. Kemudian dia berkata padaku, ‘Lopsang, kamu turun saja. Kamu turun, cepat.’ Aku katakan padanya, ‘Tidak, aku akan tetap bersamamu.’”
Sekira pukul 22.00, ketika Lopsang dan Fischer sedang terbungkuk-bungkuk diatas birai yang tertutup es, Makalu Gau dan dua Sherpanya muncul dari tengah badai salju yang dahsyat. Kondisi Gau hampir sama buruknya dengan Fischer dan dia juga tidak mampu menuruni lintasan serpih yang sulit itu. Kedua Sherpanya mendudukkan pendaki Taiwan itu disamping Lopsang dan Fischer, kemudian melanjutkan perjalanan tanpa mereka.
“Aku duduk bersama Scott dan Makalu selama satu jam, mungkin lebih,” kata Lopsang. “Aku sangat kedinginan dan sangat lelah. Kemudian Scott berkata, ‘Kamu turun saja, dan minta Anatoli untuk naik kemari’. Kemudian aku mengatur agar Scott bisa duduk lebih nyaman dan turun ke bawah.”
Lopsang meninggalkan Fischer dan Gau diatas sebuah birai 1.200 kaki di atas Jalur Selatan dan menuruni gunung ditengah badai. Karena tidak bisa melihat, dia keluar dari jalur jauh ke arah barat dan sudah tiba didasar Puncak Selatan saat dia menyadari kekeliruannya, sehingga dia terpaksa mendaki kembali ke tepi utara dari Lhotse Face(*2) untuk mencari Camp Empat. Akhirnya, sekitar tengah malam, dia tiba dengan selamat di perkemahan. “Aku pergi ke tenda Anatoli,’ lapor Lopsang. “Aku katakan kepadanya, ‘Tolong, naiklah ke atas, Scott sakit parah, dia tidak bisa berjalan.’ Kemudian aku kembali ke tendaku sendiri, dan jatuh tertidur, tidur seperti orang mati.”
Guy Cotter, seorang teman lama Hall dan Harris, kebetulan berada beberapa mil dari Base Camp Everest pada sore hari tanggal 10 Mei tersebut, sedang memandu sebuah ekspedisi di Gunung Pumori, dan dia memantau hubungan radio Hall sepanjang hari itu. Pada pukul 14.15,dia bicara dengan Hall yang sedang berada dipuncak, dan semuanya terdengar lancar. Tetapi pada pukul 16.30, Hall mengatakan bahwa Doug kehabisan oksigen dan tidak mampu bergerak. “Aku perlu satu botol oksigen,” katanya dengan suara memelas dan terengah-engah pada semua orang digunung itu yang kebetulan sedang mendengarkan. “Siapa pun yang ada disini, tolonglah! Kumohon , tolonglah!”
Cotter bertambah cemas. Pada pukul 16.53 dia berhasil menghubungi Hall melalui radio dan meminta dengan sangat agar Hall mau turun sampai ke Puncak Selatan. “Aku menghubunginya terutama untuk meyakinkan dia agar turun dan mengambil botol oksigen,” kata Cotter, “karena kami tahu, tanpa botol oksigen Hall tidak bisa melakukan apa-apa untuk Doug. Rob mengatakan bahwa dia sendiri sebenarnya bisa turun, tetapi dia tidak bisa membawa Doug.”
Tetapi empat puluh kemudian, Hall masih menemani Hansen, tidak beranjak dari puncak Hillary Step. Dalam hubungan radio dengan Hall pada pukul 17.36, dan sekali lagi pada pukul 17.57, Cotter membujuk rekannya untuk meninggalkan Hansen dan turun sendirian. “Aku tahu, kedengarannya jahat karena aku meminta Rob untuk meninggalkan kliennya,” kata Cotter,”tetapi saat itu aku bisa melihat dengan jelas, bahwa satu-satunya pilihan Hall hanyalah meninggalkan Doug. “Tetapi, Hall tidak mau turun tanpa Hansen.
Tidak ada lagi kabar dari Hall sampai tengah malam. Pukul 02.46 pagi, Cotter yang berada ditendanya di lereng Pumori terbangun karena mendengar hubungan radio yang terputus-putus yang mungkin tersambung tanpa sengaja: Hall menggunakan mikrofon jarak jauh yang terselip di ranselnya, yang kerap menyala tanpa sengaja. Saat itu, kata Cotter, “Aku kira Rob sendiri tidak tahu bahwa teleponnya tersambung. Aku bisa mendengar seseorang berteriak, tetapi aku tidak tahu pasti  karena suara angin yang sangat keras dilatar belakang. Sepertinya dia mengucapkan kata-kata ini, ‘Terus bergerak! Maju terus!’ mungkin Hall berbicara kepada Doug, memaksanya agar terus berjalan.”
Jika memang demikian, berarti lewat tengah malam hari itu, Hall dan Hansen---mungkin ditemani oleh Harris---masih berjuang menuruni Hillary Step menuju Puncak Selatan menembus badai salju. Dan jika benar demikian, berarti mereka memerlukan lebih dari sepuluh jam untuk melewati jalur pendek yang biasanya bisa dituruni pendaki dalam waktu kurang dari setengah jam saja.
Tentu saja semua ini hanya dugaan. Hanya satu hal yang pasti, Hall menelepon ke bawah pada pukul 17 .57. Saat itu dia dan Hansen masih berada diatas Hillary Step; dan pada dini hari pukul 04.43, tanggal 11 Mei, ketika dia menghubungi Base Camp, dia sudah turun sampai di Puncak Selatan. Dan saat itu, baik Hansen maupun Harris tidak lagi bersamanya.
Dalam beberapa percakapan selama dua jam berikutnya, kata-kata Rob terdengar kacau dan tidak masuk akal. Dalam percakapan pukul 04.43, dia berkata pada Caroline Mackenzie, dokter kami di Base Camp, bahwa kedua kakinya tidak bisa berfungsi lagi, dan dia “terlalu kaku untuk bisa bergerak”. Dengan suara parau yang hampir-hampir tidak terdengar, Rob berkata, “Tadi malam Harold bersamaku, tetapi sepertinya dia sudah tidak lagi bersamaku. Dia sangat lemah.” Kemudian dengan nada yang jelas kebingungan, dia bertanya, “Apakah Harold bersamaku? Bisakah kamu pastikan tentang hal itu?”(*3)
Saat itu, Hall memiliki dua botol oksigen yang masih terisi penuh, tetapi katup pada masker oksigennya tertutup es sehingga gas tidak bisa mengalir. Tetapi, sepertinya dia sedang berusaha mencairkan es yang menyumbat katup oksigennya, “dan,” tambah Cotter “kata-katanya membuat kami merasa lebih baik. Itu berita positif pertama yang kami dengar.”
Pada pukul 05.00, dengan menggunakan telepon satelit, Base Camp berhasil menghubungi Jan Arnold di Christchurch, Selandia baru. Jan pernah mendaki puncak Everest bersama Hall pada 1993, dan dia sangat memahami kesulitan yang dihadapi suaminya. “Jantung saya seperti terlepas ketika saya mendengar suaranya,” kenangnya. “Bicaranya sangat aneh. Seperti suara Mayor Tom atau sejenisnya, seakan-akan dia sedang mengambang. Saya pernah ke atas sana; saya tahu bagaimana rasanya terjebak ditengah cuaca buruk. Rob dan saya pernah bicara tentang kemungkinan diselamatkan dari lereng dekat puncak. Dia berkata, ‘Lebih baik kamu berada dibulan saja.”
Pada pagi hari pukul 05.31, Hall menelan empat miligram dexamethason dan dari kata-katanya, sepertinya dia masih berusaha untuk mencairkan es yang menyumbat maskernya. Setiap kali dia bicara dengan Base Camp, berkali-kali dia menanyakan kondisi Makalu Gau, Fischer, Beck Weathers, Yasuko Namba dan beberapa kliennya yang lain. Tetapi, orang yang paling dia cemaskan adalah Andy Harris, dan dia terus bertanya tentang keberadaannya. Cotter berkata bahwa mereka berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Harris, yang kemungkinan besar sudah tewas, “kami tidak ingin Rob punya alasan lain untuk tetap tinggal diatas sana. Sekali waktu, Ed Viesturs menyela dari radio di Base Camp dan berkata, ‘Jangan khawatir tentang Andy, dia sudah ada disini bersama kami.”
Beberapa waktu kemudian, Mackenzie bertanya kepada Rob tentang keadaan Hansen. “Doug,” kata Hall “sudah pergi.” Hanya itu yang dia katakan dan itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Hall tentang Hansen.
Pada 23 Mei, ketika David Breashers dan Ed Viesturs mendaki sampai puncak, mereka tidak menemukan tubuh Hansen, tetapi mereka menemukan sebuah kapak es tertancap kira-kira lima puluh kaki vertikal diatas Puncak Selatan, di lereng yang sangat terbuka, ditempat mana lintasan tali berakhir. Besar kemungkinan Hall dan atau Harris berhasil membawa Hansen turun melalui tali sampai ke titik ini, tetapi kemudian Hansen kehilangan pijakan dan jatuh sejauh 7.000 kaki melewati Lereng Tenggara yang sangat curam, meninggalkan kapak es nya tertancap dipunggung gunung tempat dia mulai tergelincir. Namun, ini pun hanya sekedar dugaan.
Apa yang terjadi pada Harris bahkan lebih sulit diduga. Menurut cerita Lopsang, dari beberapa pembicaraan radio dengan Hall, dan ditemukannya sebuah kapak es di Puncak Selatan yang diketahui positif sebagai milik Andy, kemungkinan besar Andy berada di Puncak Selatan bersama Hall pada malam tanggal 10 Mei tersebut(*4). Selain fakta diatas itu, hampir-hampir tidak ada informasi lain yang menjelaskan, bagaimana pemandu muda itu menemui ajalnya.
Pada pukul 06.00 pagi Cotter bertanya pada Hall apakah sinar matahari sudah sampai kepadanya diatas sana. “Hampir” jawab Hall---informasi yang sangat bagus, karena beberapa waktu sebelumnya, Hall mengaku bahwa dia gemetar kedinginan karena udara yang sangat dingin. Kabar yang disampaikan Hall sebelumnya, yang menyatakan bahwa dia tidak bisa lagi berjalan, sangat meresahkan pendengarnya yang berada dibawah. Karena itu, cukup mengagumkan bahwa Hall masih bertahan hidup setelah melewati malam tanpa perlindungan atau oksigen pada ketinggian 28.700 kaki ditengah terjangan badai dan angin dengan temperatur yang mencapai seratus derajat dibawah nol.
Dalam percakapan radio yang sama, sekali lagi Hall menanyakan Harris: “Adakah orang yang melihat Harold tadi malam, kecuali aku?” Kira-kira tiga jam kemudian, Rob masih terobsesi oleh Andy. Pukul 08.43 pagi, melalui radio dia masih memikirkan dan menanyakan Andy, “Beberapa peralatan Andy masih ada disini. Aku pikir dia sudah meninggalkan aku tadi malam. Dengar, apakah kalian bisa menjelaskan tentang keberadaannya atau tidak?” Wilton berusaha mengalihkan percakapan, tetapi Rob  tetap ngotot dengan pertanyaannya: “Ya sudah. Maksud saya, kapak es nya masih disini, begitu juga jaketnya dan beberapa barang-barangnya.”
“Rob” Viesturs berkata dari Camp Dua, “jika kamu bisa menggunakan jaket itu, pakailah. Cobalah untuk turun dan cemaskan saja dirimu. Semua orang sedang berusaha menolong yang lain. Kamu sendiri yang harus turun sekarang.”
Setelah berjuang selama empat jam untuk mencairkan es yang menyumbat maskernya , akhirnya upaya Hall membuahkan hasil, dan pada pukul 09.00 pagi, untuk pertama kalinya dia bisa bernapas dengan menggunakan oksigen tambahan; sampai saat itu, Hall sudah enam belas jam berada pada ketinggian diatas 28.700 kaki tanpa oksigen tambahan. Beberapa ribu kaki dibawahnya, teman-temannya meningkatkan upaya mereka membujuk Hall agar dia segera turun. “Rob, ini Helen dari Base Camp,” Helen Wilton membujuk dengan suara memelas dan hampir menangis. “Pikirkan saja tentang bayi kecilmu. Kamu akan melihat wajahnya dalam beberapa bulan, jadi cobalah turun.”
Beberapa kali Hall mengatakan bahwa dia sedang bersiap-siap untuk turun, bahkan pada satu saat, kami yakin bahwa dia sudah meninggalkan Puncak Selatan. Di Camp Empat, menatap sebuah titik kecil yang bergerak perlahan menuruni bagian atas Punggung Tenggara. Yakin bahwa titik kecil itu adalah Rob yang akhirnya bersedia turun, Lhakpa dan aku saling menepuk punggung dan bersorak gembira. Tetapi sejam kemudian, perasaan optimisku hancur berantakan ketika aku mengamati titik itu masih berada ditempatnya: ternyata itu bukan Rob, melainkan sepotong batu---hanya halusinasi lain akibat ketinggian. Kenyataannya, Rob tidak pernah meninggalkan Puncak Selatan.
Sekitar pukul 09.30 pagi, Ang Dorje dan Lhakpa Chhiri meninggalkan Camp Empat dan mulai mendaki ke arah Puncak Selatan membawa termos berisi teh panas dan dua botol oksigen ekstra, dengan maksud menyelamatkan Hall. Mereka menghadapi resiko yang sangat besar. Keberanian Boukreev dan upayanya yang mengagumkan untuk menyelamatkan Sandy Pittman dan Charlotte Fox semalam sebelumnya masih belum berarti jika dibandingkan dengan keberanian kedua Sherpa tersebut: Pittman dan Fox hanya berada dua puluh menit perjalanan dari perkemahan, ditempat yang relatif landai; Hall berada 3000 kaki vertikal diatas Camp Empat---yang hanya bisa dicapai setelah mendaki selama delapan atau sembilan jam yang melelahkan, itupun jika cuacanya sempurna.
Dan cuaca saat ini sangat jauh dari sempurna. Angin bertiup dengan kecepatan lebih dari 40 knot. Baik Ang Dorje maupun Lhakpa masih sama-sama kedinginan dan sangat lelah karena baru tiba dari perjalanan bolak-balik menuju puncak hanya sehari sebelumnya. Seandainya mereka bisa mencapai Hall, mereka baru akan tiba sore hari, dan hanya punya waktu satu atau dua jam untuk memulai upaya yang sulit, membawa Hall turun sebelum matahari terbenam. Tetapi kesetiaan mereka pada Hall begitu besar, sehingga mereka mengabaikan resiko yang sangat besar dan mulai bergerak ke Puncak Selatan, mendaki secepat yang mereka mampu.
Tidak lama sesudahnya, dua Sherpa dari tim Mountain Madness---Tashi Tshering dan Ngawang Sya Kya (pria kecil bertubuh ramping, yang sudah mulai beruban dipelipisnya, ayah dari Lopsang)---dan satu Sherpa dari tim Taiwan bergerak ke atas  untuk membawa turun Scott Fischer dan Makalu Gau. Dua ratus kaki diatas Jalur Selatan, ketiga Sherpa itu menemukan kedua pendaki yang kondisinya sudah sangat lemah diatas birai tempat Lopsang meninggalkan mereka. Meskipun mereka mencoba memberi oksigen pada Fischer, dia tidak bereaksi. Scott masih bernapas, meskipun napasnya sangat lemah, tetapi kedua matanya tetap menutup, dan gigiya terkatup rapat. Menyimpulkan bahwa nyawa Scott sudah tidak bisa tertolong lagi, mereka meninggalkannya diatas birai dan mulai turun gunung bersama Gau, yang setelah mendapat teh panas dan oksigen, dan dibantu oleh kedua Sherpa, berhasil berjalan sendiri ke perkemahan, meskipun tubuhnya harus diikat oleh seutas tali pendek
Pagi itu matahari bersinar cerah dan cuaca tampak jernih, meskipun angin masih bertiup dengan kencang. Tetapi, menjelang tengah hari, bagian atas gunung mulai ditutupi awan gelap. Di bawah, di Camp Dua, tim IMAX melaporkan bahwa bunyi angin diatas puncak terdengar seperti bunyi deru satu skuadron pesawat jet 747 dan terdengar sampai 7000 kaki dibawahnya. Sementara itu, jauh diatas Lereng Tenggara, Ang Dorje dan Lhakpa Chhiri terus mendaki menembus badai yang semakin dahsyat menuju ke tempat Hall. Tetapi, pada pukul 15.00, sekira 700 kaki di bawah Puncak Selatan, kedua Sherpa itu tidak lagi sanggup menghadapi terjangan angin dan udara yang dinginnya mencapai beberapa derajat dibawah no, dan mereka tidak bisa terus mendaki. Upaya yang sangat berani, tetapi tidak berhasil---dan, dengan kembalinya mereka, kesempatan Hall untuk bertahan hidup pun sirna.
Sepanjang hari pada 11 Mei, teman-teman Hall berulang kali memintanya untuk turun dengan tenaganya sendiri. Beberapa kali Hall mengatakan bahwa dia sedang bersiap-siap untuk turun, tetapi kemudian dia berubah pendirian dan tidak beranjak dari Puncak Selatan. Pada pukul 15.20, Cotter---yang saat itu sudah meninggalkan tendanya di lereng Pumori dan berada di Base Camp Everest---menghardiknya melalui radio, “Turun sekarang, Rob!”
Hall menjawab dengan suara kesal, “Dengar kawan, jika aku merasa mampu melewati lintasan tali dengan kedua tanganku yang terluka karena gigitan salju, aku sudah turun enam jam yang lalu. Kirim saja beberapa orang dengan sebuah termos besar berisi minuman panas---aku pasti akan baik-baik saja.”
“Masalahnya teman, orang-orang yang berangkat ke atas pagi ini dihadang oleh angin kencang dan terpaksa turun kembali,” Cotter menjawab, berusaha menjelaskan secara sangat hati-hati, bahwa upaya untuk menyelamatkannya terpaksa di hentikan, “Kami pikir, pilihan terbaik hanyalah turun sedikit ke tempat yang lebih rendah.”
“Aku masih bisa bertahan satu malam disini jika kamu mengirimkan beberapa orang dengan membawa teh Sherpa besok pagi-pagi sekali, asal tidak lebih lambat dari pukul sembilan tiga puluh atau pukul sepuluj,” jawab Rob.
“Kamu benar-benar kuat, Big Guy,” kata Cotter dengan suara bergetar. “Kami akan mengirimkan beberapa orang kepadamu esok pagi.”
Pada pukul 18.20, Cotter menghubungi Hall untuk mengabarkan bahwa Jan Arnold menghubunginya melalui telepon satelit dari Christchurch dan sedang menunggu untuk disambungkan. “Beri aku beberapa menit,” jawab Rob, “mulutku terasa kering. Aku akan makan sedikit salju sebelum bicara dengannya.” Beberapa saat kemudian, suaranya terdengar lagi, parau, perlahan dan sangat terganggu, “Hai, sayang. Kuharap kamu tidur nyaman ditempat tidurmu yang hangat. Apa kabar?”
“Sulit mengatakannya, betapa aku memikirkanmu!” jawab Arnold. “Suaramu terdengar lebih baik dari yang kuduga....Apakah kamu cukup hangat, sayang?”
“Mengingat tempat dan situasi saat ini, aku cukup nyaman,” jawab Hall, berupaya keras untuk tidak membuat istrinya cemas.
“Bagaimana kakimu?”
“Aku belum melepaskan sepatu untuk memeriksanya, tetapi kemungkinan aku terserang sedikit gigitan salju....”
“Aku tidak sabar ingin membuatmu benar-benar sehat kembali setelah kamu pulang ke rumah,” jawab Arnold. “Aku yakin, kamu akan selamat. Jangan merasa sendirian. Aku akan mengirimkan semua energi positifku kepadamu!”
Sebelum menutup telepon, Hall berkata pada istrinya, “Aku mencintaimu. Tidur yang nyenyak, Sayang. Tolong ya, jangan terlalu cemas.”
Itulah kata-kata terakhir Hall yang bisa didengar orang. Upaya untuk menghubungi Hall melalui radio malam hari itu dan sehari setelahnya tidak pernah dijawab. Dua belas hari kemudian, ketika Breashers dan Viesturs mendaki Puncak Selatan dalam perjalanan menuju puncak, mereka menemukan tubuh Hall terbaring miring kekanan disebuah lubang es yang dangkal, bagian atas tubuhnya tertutup oleh salju yang tertiup angin.
------------------------------------

(*1): saya baru mengetahui bahwa Lopsang melihat Harris pada malam tanggal 10 Mei tersebut setelah saya mewawancarai Lopsang di Seattle pada 25 Juli, 1996. Meskipun sebelumnya saya pernah berbicara beberapa kali dengan Lopsang, tidak pernah terpikirkan oleh saya untuk menanyakan apakah dia berpapasan dengan Harris di Puncak Selatan, karena saat itu saya masih merasa yakin bahwa saya melihat Harris di Jalur Selatan, 3.000 kaki dibawah Puncak Selatan, pada pukul 18.30. Selain itu, Guy Cotter pun pernah menanyakan kepada Lopsang kalau-kalau dia melihat Harris, dan karena alasan tertentu---barangkali karena dia keliru memahami pertanyaan Cotter---saat itu Lopsang menjawab tidak.
(*2): keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika saya sedang mencari Andy Harris di Jalur Selatan, saya melihat jejak samar dari crampon yang dipakai Lopsang dijalur es yang menuju bibir Permukaan Lhotse, saya mengira itu adalah jejak Harris yang terjun ke Permukaan Lhotse---itu sebabnya saya berpikir bahwa Harris terjatuh dari tepi Jalur Selatan
(*3): saya sudah melaporkan dengan penuh keyakinan bahwa saya melihat Harris di Jalur Selatan pada pukul 18.30, tanggal 10 Mei. Ketika Hall mengatakan bahwa Harris sedang bersamanya di Puncak Selatan---3000 kaki lebih tinggi dari tempat saya melihatnya---hampir semua orang, karena kekeliruan saya, secara keliru menganggap pernyataan  Hall sebagai kata-kata kacau dari orang yang sedang kelelahan dan menderita hipoksia berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar