Rabu, 07 Oktober 2015

Into Thin Air --- BAB XVI

                  INTO THIN AIR
                       BAB XVI
                JALUR SELATAN
        11 MEI 1996, PUKUL 06.00
                   26.000 KAKI

Saya tidak percaya pada ringkasan, apapun yang meluncur meloncati waktu, pernyataan berlebihan bahwa seseorang mengendalikan cerita; saya pikir, seseorang yang mengaku memahami tetapi jelas-jelas bersikap tenang, seseorang yang mengaku menulis dengan emosi yang diingatnya kembali dalam suasana tenang, adalah seorang bodoh dan pembohong. Memahami berarti merasa takut. Mengingat berarti mengalami kembali dan kembali terkoyak...Saya mengagumi keberanian seseorang untuk berlutut jika berhadapan dengan kejadian seperti itu.

Harold Brodkey
“Manipulations”

Stuart Hutchison akhirnya berhasil membangunkanku pada pukul 06.00 pagi, pada 11 Mei. “Andy tidak ada ditendanya,” katanya dengan murung, “dan dia juga tidak ada ditenda manapun. Kukira dia tidak berhasil sampai kemari.”
“Harold hilang?” tanyaku. “Tidak mungkin. Aku melihatnya berjalan ke batas perkemahan dengan mataku sendiri.” Terguncang dan bingung, aku memakai sepatuku dan bergegas keluar untuk mencari Harris. Angin masih bertiup kencang---cukup kuat untuk membuatku terjatuh beberapa kali---tetapi udara pagi cukup terang dan jernih, dan jarak pandang pun cukup baik. Aku mencari-cari disetengah wilayah Jalur Selatan selama lebih dari satu jam, mengintip ke balik setiap bongkahang batu dan memeriksa tenda-tenda yang koyak dan sudah lama ditinggalkan, tetapi aku tidak menemukan jejak Harris. Adrenalin mengalir cepat di pembuluh darahku. Air mata memenuhi kelopak mataku, yang langsung membeku dan membuat mataku tertutup. Bagaimana mungkin Andy hilang? Tidak mungkin.
Aku mendatangi kembali tempat Harris meluncur melalui lereng tepat diatas Jalur Selatan dan secara cermat  menelusuri rute yang dia tempuh saat menuju perkemahan, melalui selokan es yang lebar dan hampir datar. Dititik tempat aku melihatnya untuk terakhir kali, yaitu ketika gumpalan awan menutupi pemandanganku, sebuah belokan tajam ke arah kiri akan membawa Harris ke sebuah tonjolan batu, empat puluh atau lima puluh kaki dari perkemahan.
Tetapi aku menyadari bahwa jika dia tidak membelok kekiri melainkan berjalan lurus mengikuti selokan---sesuatu yang dengan mudah bisa terjadi ditengah hamparan  warna putih yang sangat luas ini, meskipun orang itu tidak kelelahan dan hanya setengah linglung akibat pengaruh ketinggian---dengan cepat dia akan tiba di tepi barat dari Jalur Selatan. Dibawahnya, lereng es yang curam dan berwarna kelabu dari Lhotse Face menukik tajam dan vertikal sedalam 4.000 kaki sampai ke dasar Cwm Barat. Berdiri ditempat itu, tidak berani bergerak lebih dekat ke bibir jurang, aku meihat jejak samar sebuah sepatu paku yang melewatiku menuju tepi jurang. Jejak itu, pikirku ketakutan, mungkin jejak Andy Harris.
Setibanya diperkemahan kemarin malam, aku mengatakan pada Hutchison bahwa aku melihat Harris tiba dengan selamat di perkemahan. Hutchison mengirimkan kabar itu melalui radio ke Base Camp, dan dari sana berita itu dikirimkan melalui telepon satelit kepada wanita yang hidup bersama Harris di Selandia Baru, Fiona McPherson. Fiona merasa sangat lega saat dia tahu bahwa Harris sudah selamat tiba di Camp. Tetapi, sekarang istri Hall di Christchurch harus mengabarkan kekeliruan itu---bahwa Andy ternyata hilang dan diduga tewas. Membayangkan percakapan telepon yang terjadi  dan peranku didalam peristiwa ini, membuatku terjatuh keatas lutut sambil menghela napas kering, muntah berkali-kali ditengah tiupan angin dingin yang menerpa punggungku.
Setelah sia-sia mencari Andy selama enam puluh menit, aku kembali ke kemahku dan tanpa sengaja aku mendengar percakapan radio  antara Base Camp dengan Rob Hall; ternyata Rob masih berada di lereng dekat puncak dan sedang menelepon untuk meminta bantuan. Kemudian Hutchison mengatakan padaku bahwa Beck dan Yasuko sudah tewas dan Scott Fischer hilang disatu tempat di puncak sana. Tidak lama kemudian, baterai radio kami habis sehingga kami terisolasi dari tempat-tempat lain digunung itu. Karena mereka takut kehilangan kontak dengan kami, beberapa anggota tim IMAX di Camp Dua menelepon tim Afrika Selatan, yang tendanya berada di Jalur Selatan, beberapa meter dari tempat kami. David Breashers---pemimpin IMAX dan pendaki yang sudah kukenal selama dua puluh tahun---melaporkan, “Kami tahu tim Afrika Selatan memiliki radio yang kuat dan berfungsi dengan baik, jadi kami meminta salah satu anggota tim mereka untuk menghubungi Woodall di Jalur Selatan dan mengatakan, ‘Kita sedang menghadapi keadaan darurat. Orang-orang sedang sekarat diatas sana. Kami harus bisa berkomunikasi dengan anggota tim Hall yang masih hidup untuk pembentuk tim pencari. Tolong pinjamkan radio Anda kepada Jon Krakauer.’ Tetapi, Woodall menolak permintaan kami. Dia tahu apa yang sedang dipertaruhkan, tetapi tetap menolak meminjamkan radio mereka.” Sesaat setelah ekspedisi berakhir, ketika aku sedang melakukan riset untuk artikelku untuk majalah Outside, aku mewawancarai sebanyak mungkin anggota tim Hall dan Fischer yang mendaki ke puncak ---aku bicara dengan hampir semua orang kali. Tetapi Martin Adams, yang tidak percaya pada wartawan, menolak untuk berbicara dan upayaku untuk mewawancarainya berkali-kali menemui jalan buntu sampai artikel Outside sampai ke tangan pembaca.
Ketika akhirnya aku bisa menghubungi Adams melalui telepon pada pertengahan Juli dan dia bersedia berbicara, aku memintanya menceritakan semua yang dia ingat tentang pendakian hari terakhir menuju puncak. Sebagai salah satu pendaki yang paling kuat hari itu, dia selalu berada didepan rombongan dan selama pendakian dia berada didepan atau dibelakangku. Karena dia memiliki ingatan yang tampaknya sangat tajam, aku tertarik untuk mendengarkan versinya tentang kejadian tersebut dan membandingkannya dengan versiku sendiri.
Sore itu, ketika Adams turun dari Balkon pada ketinggian 27.600 kaki, dia mengaku bahwa dia masih bisa melihatku kira-kira lima belas menit dihadapannya, tetapi gerakanku lebih cepat darinya sehingga sebentar saja aku sudah hilang dari pandangannya. “Dan, saat berikutnya aku melihatmu,” katanya, “hari sudah hampir gelap dan kamu sedang menyeberangi Jalur Selatan yang datar, kurang lebih seratus kaki dari perkemahan. Aku mengenalimu dari celana merah yang kamu kenakan.”
Tidak lama sesudah itu, Adams tiba disebuah birai datar tepat diatas lereng curam yang licin yang pernah menyulitkanku dan dia terjatuh ke dalam sebuah celah gletser yang kecil. Dia berhasil keluar  dari celah tersebut, tetapi kemudian terjatuh lagi, kali ini ke dalam sebuah celah gletser yang lebih dalam. “Saat terbaring di celah tersebut, aku berpikir, ‘barangkali inilah akhir hidupku,’” kenangnya. “Meskipun menghabiskan cukup banyak waktu, akhirnya aku mampu memanjat ke atas celah gletser tersebut. Ketika aku tiba diatas, mukaku sudah dipenuhi salju, yang dengan cepat berubah menjadi es yang membeku. Kemudian aku melihat seseorang sedang duduk diatas es disebelah kiriku, memakai lampu kepala, jadi aku berjalan ke arahnya. Saat itu hari masih belum terlalu gelap, tetapi cukup gelap sehingga aku tidak bisa lagi melihat perkemahan.”
“Jadi, aku mendekati orang itu, dan berkata, ‘Hei, kemana arah menuju perkemahan?’ dan orang itu, siapapun dia, menunjukkan arah padaku. Jadi aku berkata, ‘Ya, kupikir juga demikian.’ Kemudian orang itu mengatakan sesuatu, kalau tidak salah, ‘Hati-hati Es ditempat ini lebih licin daripada yang terlihat. Barangkali kita harus turun untuk mengambil tali dan beberapa pengait es.’ Aku berpikir, ‘persetan dengan rencanamu. Aku akan pergi dari tempat ini.’ Jadi, aku berjalan dua atau tiga langkah, tersandung dan jatuh tertelungkup, kemudian aku meluncur diatas lereng es dengan kepala didepan. Ketika sedang meluncur itulah ujung kapak esku terkait pada sesuatu sehingga tubuh aku berbalik, dan berhenti tepat didasar lereng. Aku berdiri, berjalan tertatih-tatih menuju tenda, ya, begitulah kira-kira kejadiannya.”
Ketika Adams menggambarkan pertemuannya dengan sosok yang tidak dikenalnya, dan meluncur menuruni es, mulutku terasa kering dan bulu kudukku terasa berdiri. “Martin” tanyaku saat dia selesai bicara, “mungkinkah orang yang kamu temui diatas sana adalah aku?’
“Tentu saja bukan!” katanya sambil tertawa. “Aku tidak tahu siapa dia, tapi pasti bukan kamu.” Kemudian aku ceritakan pertemuanku dengan Andy Harris dan beberapa kebetulan yang menakutkan: Pertemuanku dengan Harris  terjadi pada saat yang hampir bersamaan dengan pertemuan antara Adams dan sosok misterius tersebut dan ditempat yang hampir sama pula. Hampir semua dialog yang terjadi antara Harris dan aku secara mengerikan hampir sama dengan dialog Adams dengan sosok misterius tersebut. Dan kemudian, Adams meluncur menuruni lereng es dengan kepala dibawah, persis seperti yang kulihat terjadi pada Harris.
Setelah bicara beberapa menit, Adams mulai yakin, “Jadi kamu orang yang kuajak bicara diatas es itu,” katanya terkejut, sekarang dia mengakui bahwa mungkin dia salah saat dia melihatku melewati medan datar diatas Jalur Selatan sebelum gelap. “Berarti, akulah yang kamu ajak bicara. Artinya, orang yang kau ajak bicara sama sekali bukan Andy Harris. Wow. Teman, kupikir kamu harus membuat beberapa penjelasan.”
Aku benar-benar terkejut. Selama dua bulan aku mengatakan pada orang-orang bahwa Harris berjalan ke tepi tebing Jalur Selatan dan menemui ajalnya, padahal kejadiannya sama sekali tidak seperti itulah. Kekeliruanku secara sia-sia  menambah kesedihan Fiona McPherson; orang tua Andy, Ron dan Mary Harris; kakak Andy, Davis Harris; dan teman-temannya.
Andy bertubuh besar, tingginya lebih dari 183 cm dan beratnya mencapai seratus kilogram dan bicara dengan akses Kiwi yang tajam; Martin setidaknya lima belas sentimeter lebih pendek, beratnya hanya sekira enam puluh lima kilogram dan dia bicara dengan akses Texas yang kental. Bagaimana mungkin aku membuat kesalahan yang fatal seperti itu? Benarkah aku sudah menjadi begitu lemah sehingga wajah seseorang yang hampir-hampir asing bagiku ku anggap sebagai wajah seorang teman yang selama enam minggu terakhir selalu bersamaku? Dan jika Andy tidak pernah tiba di Camp Empat setelah tiba di puncak, demi Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?

2 komentar: