Kamis, 15 Oktober 2015

Into Thin Air --- Bab XIX

                INTO THIN AIR
                     BAB XIX
                JALUR SELATAN
                    11 MEI 1996,
       PUKUL 07.30, 26.000 KAKI

Berputar dan berputar diatas puncak yang melebar Sang elang tidak bisa mendengar sang pemburu elang; semua hancur berantakan; sang pusat tidak bisa lag bertahan; Anarki belaka yang dilepaskan ke dalam dunia Gelombang berdarah yang suram sudah terlepas, dan dimana-mana Upacara pemurnian sudah tenggelam

William Butler Yeats
“The Second Coming”
------------------------------------

Ketika aku sedang berjalan tertatih-tatih kembali ke Camp Empat sekitar pukul 07.30, Sabtu 11 Mei, realitas dari peristiwa yang telah terjadi---dan yang sedang terjadi---mulai menghantamku dengan kekuatan yang melumpuhkan. Secara fisik dan emosional tubuhku telah hancur setelah aku, selama hampir satu jam, menjelajahi Jalur Selatan untuk mencari Andy Harris; pencarian yang membuatku yakin bahwa dia sudah tewas. Hubungan radio antara rekan satu timku Stuart Hutchison yang memonitor Rob Hall di Puncak Selatan jelas menunjukkan bahwa pemimpin ekspedisi kami sedang dalam kesulitan besar, dan Doug Hanse sudah tewas. Anggota tim ekspedisi Scott Fischer yang hampir sepanjang malam tersesat di Jalur Selatan melaporkan bahwa Yasuko Namba dan Beck Weathers sudah tewas. Scott Fischer dan Makalu Gau pun dipercaya sudah tewas atau hampir tewas, 1.200 kaki diatas perkemahan.
Dihadapkan pada gambaran ini, otakku berontak dan mundur ke dalam kondisi yang aneh, keterlepasan yang menyerupai robot. Secara emosional aku merasa terbius tetapi kesadaranku sangat tinggi, seakan-akan aku melarikan diri ke dalam sebuah lubang perlindungan yang berada jauh didalam otakku dan sedang mengintip keluar pada kekacauan diseputarku melalui sebuah celah yang sempit dan terlindung. Saat aku menatap dengan kebas ke atas, langit seakan-akan berubah menjadi bayangan biru muda yang aneh dan kosong, kecuali sedikit sisa-sisa warna. Horison yang datar dihiasi oleh sinar  yang menyerupai sinar korona, berkelip-kelip dan berdenyut di hadapan mataku. Aku bertanya-tanya, mungkinkah aku sedang terbenam melewati sebuah spiral memasuki wilayah kegilaan yang menakutkan.
Setelah menetap satu malam diketinggian 26.000 kaki tanpa oksigen tambahan, tubuhku terasa lebih lemah dan lebih lelah dari malam sebelumnya, yaitu ketika aku baru kembali dari puncak. Jika kami tidak mendapatkan gas tambahan atau turun ke perkemahan yang lebih rendah, keadaanku dan keadaan rekan-rekan satu timku dengan cepat akan menjadi makin buruk.
Program aklimatisasi cepat yang diterapkan Hall dan hampir semua pendaki Everest modern memang sangat efisien: memungkinkan para pendaki untuk bergerak ke puncak setelah melewati periode empat minggu yang relatif pendek di ketinggian diatas 17.000 kaki---termasuk menginap satu malam di ketinggian 24.000 kaki(*1). Tetapi, strategi ini diterapkan dengan anggapan bahwa diatas ketinggian  24.000 kaki setiap pendaki akan terus menerus mendapat oksigen tambahan. Jika persyaratan itu tidak terpenuhi, tidak ada jaminan lagi bagi kondisi yang memenuhi syarat secara keseluruhan.
Setelah memeriksa keadaan rekan-rekan satu timku, aku mendapati Frank Fischbeck dan Lou Kasischke terbaring di tenda yang dekat dengan tendaku. Lou mengigau, matanya hampir buta karena pantulan sinar matahari dari atas salju, dia tidak mampu melakukan apapun untuk dirinya sendiri dan terus meracau. Frank seperti orang yang sedang terserang shock berat, tetapi dia berusaha keras untuk merawat Lou. John Taske berada ditenda lain bersama Mike Groom; keduanya tampak tertidur atau tidak sadar. Meskipun aku sendiri merasa sangat lemah, aku bisa melihat dengan jelas bahwa kondisi rekan-rekanku lebih buruk dari kondisiku, kecuali Stuart Hutchison.
Aku berjalan dari satu tenda ke tenda lain, berusaha mencari persediaan oksigen, tetapi semua botol yang ketemui sudah kosong. Hipoksia yang menyerangku ditambah perasaan lelah yang amat sangat, memperburuk perasaan kacau dan putus asa yang kurasakan. Untungnya, keributan yang disebabkan oleh suara kepakan nilon tenda yang tertiup angin menghambat komunikasi dari tenda ke tenda. Baterai-baterai dari satu-satunya radio kami yang masih berfungsi sudah hampir kosong. Suasana kehancuran menyelimuti perkemahan, yang diperburuk oleh kenyataan bahwa tim kami---yang selama enam minggu didorong untuk sepenuhnya bergantung pada para pemandu kami---sekarang, secara mendadak, kehilangan pemimpin: Rob dan Andy Harris sudah tewas, dan meskipun Groom masih ada diantara kami, cobaan berat yang dilaluinya semalam sangat menguras tenaganya. Groom yang terserang gigitan salju yang cukup parah, terbaring tidak bergerak didalam tendanya, dan setidaknya untuk saat ini, dia tidak mampu berbicara.
Setelah semua pemimpin kami tidak berdaya, Hutchison mengambil alih posisi pemimpin yang saat ini kosong. Pria muda yang selalu tampak cemas dan serius ini, adalah warga Inggris kelas at yang berasal dari Montreal, seorang dokter dan ilmuwan yang sangat cerdas, yang ikut dalam ekspedisi mendaki gunung setiap dua atau tiga tahun sekali, tetapi diluar itu dia hampir-hampir tidak punya waktu untuk kegiatan mendaki. Ketika terjadi krisis di Camp Empat, dia berupaya sebaik-baiknya untuk mengatasi situasi tersebut.
Sementara aku berusaha untuk memulihkan diri setelah sia-sia mencari Harris, Hutchison mengorganisir sebuah tim pencari beranggotakan empat warga Sherpa untuk mencari tubuh Weathers dan Namba yang ditinggalkan di tepi Jalur Selatan, ketika Anatoli Boukreev membawa pulang Charlotte Fox, Sandy Pittman dan Tim Madsen. Tim pencari yang di ketuai oleh Lhakpa Chhiri, berangkat mendahului Hutchison yang sangat kelelahan dan kebingungan sehingga dia lupa memakai sepatunya dan meninggalkan perkemahan  dengan hanya memakai alas sepatu salju yang bersol halus. Setelah diingatkan oleh Lhakpa, Hutchison segera menyadari kekeliruannya dan kembali ke perkemahan untuk memakai sepatu. Berkat petunjuk yang diberikan Boukreev, para Sherpa dengan cepat menemukan kedua tubuh pendaki tersebut diatas lereng berwarna kelabu yang tertutup es bercampur batu, terbujur dimulut Kangshung Face. Sebagai orang-orang yang sangat percaya pada takhayul seputar orang mati seperti umumnya warga Sherpa, mereka berhenti 60-70 kaki dari mayat tersebut dan menunggu kedatangan Hutchison.
“Kedua tubuh itu sudah setengah terkubur,” kenang Hutchison. “Ransel mereka tergeletak kurang lebih seratus kaki dari tubuh mereka, diatas lereng. Muka dan tubuh mereka ditutupi salju; hanya tangan dan kaki mereka yang mencuat keluar. Jeritan angin terdengar di sepanjang Jalur Selatan.” Tubuh pertama ditemukan Hutchison adalah tubuh Yasuko Namba, tetapi Hutchison tidak mengenalinya sebelum dia berlutut ditengah badai dan mengetuk lepas lapisan es setebal delapan senti dari wajahnya. Hutchison sangat terkejut saat mendapati bahwa Yasuko masih bernapas. Kedua kaus tangannya sudah hilang dan tangannya yang telanjang tampak seperti bongkah es yang membeku. Kedua matanya membelalak. Kulit wajahnya putih seperti porselen. “Benar-benar menyedihkan,” kenang Hutchison. “Aku merasa terguncang. Dia hampir mati. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.”
Hutchison mengalihkan perhatiannya pada Beck, yang terbaring dua puluh kaki dari Yasuko. Kepala Beck juga dipenuhi kerak es yang membeku. Butiran-butiran es sebesar anggur memenuhi rambut dan kelopak matanya. Setelah membersihkan butiran-butiran beku dari wajah Beck, Hutchison mendapati bahwa orang Texas itu ternyata masih hidup: “Kupikir Beck menggumamkan sesuatu, tetapi aku tidak bisa mengerti kata-katanya. Kaus tangannya yang sebelah kanan hilang dan dia menderita gigitan salju yang sangat parah. Aku membantunya untuk duduk, tetapi Beck tidak mampu duduk. Dia sudah sekarat, meskipun masih bernapas.”
Dengan perasaan terguncang Hutchison mendekati para Sherpa dan meminta saran dari Lhakpa, veteran Everest yang sangat paham tentang dunia pendakian dan dihormati baik oleh para Sherpa maupun majikannya, menyarankan agar Beck dan Yasuko ditinggalkan ditempat mereka terbaring. Meskipun mampu bertahan sampai ke Camp Empat, mereka pasti tewas sebelum bisa tiba di Base Camp, dan upaya menyelamatkan mereka hanyalah upaya sia-sia yang akan membahayakan hidup pendaki lain yang ada di Jalur Selatan, pendaki yang hampir semuanya akan kesulitan untuk bisa turun dengan selamat.
Hutchison memutuskan bahwa saran Lhakpa memang benar---dia hanya punya satu pilihan, meskipun pilihan tersebut sangat sulit: membiarkan alam menentukan nasib Beck dan Yasuko dan menyelamatkan anggota tim yang masih bisa diselamatkan. Sebuah pilihan klasik yang sangat sulit. Ketika Hutchison kembali ke perkemahan, dia hampir-hampir tidak mampu menahan tangis dan wajahnya tampak seperti hantu. Atas permintaannya, kami membangunkan Taske dan Groom, dan kemudian berkumpul ditenda mereka untuk membahas, apa yang harus dilakukan terhadap Beck dan Yasuko. Pembicaraan yang terjadi kemudian sangat menyedihkan, dilakukan dengan suara terputus-putus. Semua orang enggan untuk saling menatap. Setelah lima menit, kami semua sepakat: keputusan Hutchison untuk meninggalkan Beck dan Yasuko ditempatnya merupakan keputusan yang tepat.
Kami juga berdebat tentang kemungkinan kembali ke Camp Dua sore itu juga, tetapi Taske menolak untuk turun dari Jalur Selatan jika Hall masih terdampar di Puncak Selatan. “Aku tidak akan meninggalkan tempat ini tanpanya,” katanya. Bagaimanapun keputusannya memang sulit diperdebatkan: Kondisi Kasischke dan Groom sangat buruk sehingga untuk sementara mereka tidak bisa pergi kemanapun.
“Saat itu, aku benar-benar cemas. Aku pikir peristiwa yang pernah terjadi di K2 pada 1986 akan terulang pada kami,” kata Hutchison. Pada 4 Juli tahun itu, tujuh veteran Himalaya---termasuk pendaki legendaris dari Austria, Kurt Diemberger---berangkat menuju puncak tertinggi kedua didunia tersebut. Enam dari tujuh pendaki bisa mencapai puncak, tetapi, ketika sedang turun gunung mereka dihadang oleh badai yang sangat buruk di lereng atas K2, yang memaksa para pendaki untuk berlindung didalam kemah mereka pada ketinggian 26.250 kaki. Karena badai terus menerus mengamuk selama lima hari tanpa pernah berhenti, tubuh mereka menjadi semakin lemah. Ketika badai akhirnya reda, hanya Diemberger dan satu pendaki lain yang mampu turun gunung dalam keadaan hidup.

Sabtu pagi, saat kami sedang membahas tentang apa yang harus dilakukan terhadap Namba dan Weathers, dan membahas kemungkinan untuk turun gunung, Neal Beidleman sedang mengumpulkan sisa-sisa tim Fischer dari tenda-tenda mereka dan memaksa mereka untuk turun dari Jalur Selatan. “Semua orang sangat kelelahan karena peristiwa kemarin malam sehingga sangat sulit untuk membangunkan tim dan membawa mereka keluar dari tenda---aku terpaksa harus memukul beberapa orang agar mereka mau memakai sepatu,” katanya. “Tetapi aku bersikeras membawa mereka keluar dari tempat itu secepatnya. Aku pikir, tinggal lebih lama diketinggian dua puluh enam ribu kaki akan sangat berbahaya. Aku tahu bahwa upaya untuk menyelamatkan Scott dan Rob  sedang berlangsung, jadi aku memusatkan perhatian pada upaya untuk membawa klien kami turun dari Jalur Selatan menuju perkemahan yang lebih rendah.”
Dengan meninggalkan Boukreev yang tetap tinggal di Camp Empat untuk menunggu Fischer, Beidleman memimpin kelompoknya turun dari Jalur Selatan. Pada ketinggian 25.000 kaki, dia berhenti untuk memberi Pittman suntikan dexmethason, kemudian semua orang berhenti cukup lama di Camp Tiga untuk beristirahat dan minum. “Aku sungguh-sungguh terkejut melihat mereka,” kata David Breasher, yang sudah berada di Camp Tiga ketika tim Beidleman tiba. “Mereka kelihatan seperti orang-orang yang baru kembali dari perang lima bulan. Sandy mulai histeris---dan menjerit-jerit, ‘Benar-benar menakutkan! Aku sudah menyerah dan berbaring menunggu kematian!’ Mereka semua seperti orang yang terserang  shock hebat.”
Sesaat sebelum hari gelap, ketika anggota terakhir dari tim Beidleman sedang menuruni lereng bawah Lhotse Face yang tertutup es, kira-kira 500 kaki setelah melewati lintasan tali, mereka bertemu dengan beberapa Sherpa anggota kelompok kebersihan lingkungan dari kerajaan Nepal yang sengaja naik untuk membantu. Ketika tim tersebut mulai bergerak untuk menuruni lereng, beberapa butir batu sebesar buah tiba-tiba meluncur cepat dari lereng diatas gunung. Salah satu batu tersebut mengenai bagian belakang kepala salah seorang Sherpa. “Batu itu membuatnya roboh,” kata Beidleman, yang melihat kejadian tersebut dari dekat tepat diatasnya,
“Benar-benar mengerikan,” kenang Klev Schoening, “Sherpa itu seperti orang yang dipukul dengan tongkat pemukul bisbol.” Kuatnya hantaman batu meninggalkan lubang sebesar uang logam dikepala si Sherpa, membuatnya tidak sadar dan dia pun terserang cardiopulmonary arrest (kerja jantung dan paru-paru terhenti). Ketika orang itu terjungkal dan meluncur sepanjang lintasan tali, Schoening melompat kehadapannya dan berhasil menahan jatuhnya. Tetapi beberapa saat kemudian, ketika Schoening masih memeluk Sherpa itu dengan kedua lengannya, batu kedua meluncur dan menimpa Sherpa yang sama, tepat dibelakang kepalanya.
Meskipun dua kali dihantam batu, setelah beberapa menit orang yang terluka itu tampak megap-megap dengan keras dan mulai bernapas kembali. Beidleman mampu membawanya ke dasar Lhotse Face, ditempat itu, selusin warga Sherpa menyongsong rekannya dan membawa pria malang itu ke Camp Dua. Saat itulah, kata Beidleman, “Aku dan Kelv saling menatap dengan perasaan tidak percaya. Kami berdua seperti saling bertanya, ‘Apa yang sedang terjadi disini? Apa yang sudah kami lakukan sehingga gunung ini menjadi sangat marah?”

Sepanjang bulan April dan awal Mei, beberapa kali Rob Hall mengungkapkan perasaan cemasnya tentang kemungkinan satu atau lebih tim yang kurang kompeten terjebak dalam antrean pendaki sehingga tim kami terpaksa harus menyelamatkan mereka, dan menghambat upaya kami untuk mencapai puncak. Ironisnya, justru tim Hall yang sekarang menghadapi masalah besar dan tim yang lain datang untuk membantu kami. Tanpa mengeluh, tiga tim ekspedisi---Alpine Ascents International pimpinan Todd Burleson, IMAX Expedition pimpinan David Breashers dan tim ekspedisi komersial pimpinan Mal Duff---segera mengubah rencana untuk menaklukkan puncak agar mereka bisa membantu para pendaki yang sedang tertimpa bencana.
Sehari sebelumnya---Jumat, tanggal 10 Mei---ketika para pendaki dari tim Hall dan Fischer sedang mendaki dari Camp Empat menuju puncak, tim ekspedisi Alpine Ascents International yang dipimpin Burleson dan Pete Athans baru saja tiba di Camp Tiga. Sabtu pagi, begitu mereka mendengar tentang bencana yang sedang terjadi diatas, Burleson dan Athans meninggalkan klien mereka di ketinggian 24.000 kaki diawasi oleh pemandu ketiga mereka, Jim Williams, dan dengan cepat mendaki ke Jalur Selatan untuk memberikan pertolongan.
Saat itu, Breashers, Ed Viesturs dan anggota tim IMAX lain kebetulan sedang berada di Camp Dua; Breashers segera menghentikan pembuatan film dan mengerahkan sumber daya yang mereka miliki untuk upaya penyelamatan. Pertama-tama dia mengirimkan pesan padaku bahwa beberapa baterai cadangan tersimpan disalah satu tenda tim IMAX di Jalur Selatan; lewat tengah hari, aku berhasil menemukan baterai-baterai tersebut, sehingga tim Hall bisa meneruskan kontak radio dengan perkemahan-perkemahan dibawahnya. Kemudian, Breashers menawarkan persediaan oksigen mereka---lima puluh botol oksigen yang dibawa dengan susah payah ke atas ketinggian 26.000 kaki---untuk para pendaki yang sedang menderita dan untuk para anggota tim penyelamat di Jalur Selatan. Meskipun tindakan Breashers bisa mengacaukan proses pembuatan filmnya yang bernilai 5,5 juta dolar, dia tidak ragu-ragu mengirimkan gas yang sangat dibutuhkan tersebut.
Athans dan Burleson tiba di Camp Empat menjelang tengah hari, dan langsung membagi-bagikan botol-botol oksigen sumbangan tim IMAX kepada kami yang sedang lapar oksigen, kemudian menunggu hasil kerja para Sherpa dalam menyelamatkan Hall, Fischer dan Gau. Pada pukul 16.35, Burleson sedang berdiri di luar perkemahan ketika dia melihat sosok tubuh berjalan tertatih-tatih ke arah perkemahan dengan langkah kaku. “Hei, Pete,” teriaknya memanggil Athans. “Coba lihat kemari. Seseorang sedang berjalan menuju perkemahan.” Tangan kanan orang itu, yang tidak terlindung dari tiupan angin dingin penuh dengan luka gigitan salju dan terangkat aneh, seperti patung yang sedang berdiri menghormat. Siapa pun dia, sosok itu mengingatkan Athans pada sesosok mumi dalam film horor murahan. Ketika mumi itu bergerak memasuki perkemahan, Burleson baru sadar bahwa orang itu tidak lain dari Beck Weathers yang entah bagaimana, bangun dari kematian.
Malam sebelumnya, terbungkuk-bungkuk bersama Groom, Beidleman, Namba dan beberapa anggota tim tersebut, Weathers merasakan tubuhnya menjadi “dingin dan terus bertambah dingin. Sarung tangan kananku hilang. Wajahku membeku. Kedua tanganku membeku. Aku merasa makin kebas dan tidak bisa terfokus, sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.”
Sepanjang malam dan hampir sepanjang hari berikutnya, Beck terbaring diatas es, dibawah terjangan angin yang tidak mengenal belas kasihan, dalam keadaan cataleptic (tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan luar, ditandai oleh tubuh yang kejang) dan sekarat. Dia tidak ingat ketika Boukreev  datang untuk menolong Pittman, Fox dan Madsen. Dia juga tidak ingat ketika Hutchison menemukan dia esok paginya, dan melepaskan kerak es dari wajahnya. Dia berada dalam keadaan setengah koma selama lebih dari dua belas jam. Kemudian menjelang sore, karena alasan tertentu, secercah sinar menyala dipusat otak reptil Beck yang sudah mati dan mengembalikan kesadarannya.
“Semula, aku pikir aku sedang bermimpi,” kenang Weathers. “Waktu baru sadar, kurasa aku sedang terbaring diatas tempat tidur. Aku tidak merasa dingin atau tak nyaman. Aku hanya berbalik, membuka mata, kemudian melihat ke arah tangan kananku, tangan itu sudah membeku dan itu menyadarkanku. Akhirnya, aku cukup sadar untuk memahami bahwa aku sedang menghadapi kesulitan besar dan regu penolong tidak datang, jadi sebaiknya aku lakukan sesuatu untuk diriku sendiri.”
Meskipun mata kanan Beck buta, dan jarak pandang mata kirinya turun hanya sampai tiga atau empat kaki, dia mulai berjalan melewati tiupan angin, dan secara tepat menduga bahwa perkemahan berada diarah tersebut. Seandainya dia salah mengambil arah, dengan cepat dia akan tiba di Kangshung Face, yang tepinya hanya berjarak tiga puluh kaki pada arah yang berlawanan. Sekitar sembilan puluh menit kemudian, dia melihat “sekelompok batuan halus berwarna kebiru-biruan dan tampak aneh,” yang ternyata adalah tenda-tenda Camp Empat.
Hutchison dan aku sedang berada di dalam tenda kami, memantau hubungan radio dari Rob Hall di Puncak Selatan, ketika Burleson dengan tergesa-gesa masuk ke dalam tenda. “Dokter! Kami sangat membutuhkan Anda!” teriaknya pada Stuart dari pintu tenda. “Ambil peralatan Anda. Beck baru saja berjalan masuk, dan kondisinya sangat buruk!” Terkejut mendengar kebangkita Beck yang ajaib, Hutchison yang masih kelelahan merangkak keluar untuk menjawab panggilan tersebut.
Hutchison, Athans dan Burleson membawa Beck ke sebuah tenda yang tidak digunakan, membungkusnya dengan dua kantong tidur dan beberapa botol air panas dan memasangkan masker oksigen diwajahnya. “Saat itu,” Hutchison mengaku, “ Kami semua berpikir bahwa Beck tidak akan mampu melewati malam itu. Aku hampir-hampir tidak bisa mendengar detak di urat nadi utamanya, urat nadi yang terakhir berdetak sebelum seseorang meninggal. Dia berada dalam kondisi kritis. Dan, meskipun dia bisa bertahan sampai besok pagi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kami bisa membawanya turun.”
Saat itu, ketiga Sherpa yang di tugaskan untuk menyelamatkan Scott Fischer dan Makalu Gau sudah kembali ke perkemahan dengan hanya membawa Gau: mereka membiarkan Fischer terbaring diatas birai pada ketinggian 27.200 kaki dan menyimpulkan bahwa Fischer sudah tewas. Tetapi, setelah melihat Beck memasuki perkemahan, Anatoli Boukreev belum mau menerima dugaan bahwa Fischer sudah tewas. Pada pukul 17.00, ketika badai semakin menguat, orang Rusia itu berangkat sendirian untuk mencoba menyelamatkan Fischer.
“Aku menemukan Scott sekitar pukul 19.00, mungkin pukul 19.30 atau pukul 20.00,” kata Boukreev. “Saat itu cuaca sudah gelap. Badai sangat dahsyat. Fischer masih mengenakan masker oksigen, tetapi botolnya sudah kosong. Dia juga tidak mengenakan sarung tangan; kedua tangannya telanjang. Ritsletting bawah bajunya terbuka, ditarik melewati bahu, dan salah satu lengannya keluar dari lengan bajunya. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Scott sudah tewas.” Dengan berat hati, Boukreev menutupi wajah Fischer dengan ranselnya  seperti kain kafan dan meninggalkannya diatas birai tempatnya berbaring. Kemudian dia mengumpulkan kamera milik Scott, kapak es dan pisau kantong kesayangannya---yang kemudian diserahkan oleh Beidleman kepada putra Scott yang berusia sembilan tahun di Seattle---dan turun kembali menembus badai.
Badai salju yang mengamuk pada hari Sabtu malam bahkan lebih kuat daripada badai yang menerjang Jalur Selatan malam sebelumnya. Ketika Boukreev tiba di Camp Empat, jarak pandangnya sudah sangat berkurang menjadi beberapa kaki saja, dan dia hampir-hampir gagal menemukan perkemahan.
Setelah bernapas dengan oksigen tambahan (terima kasih pada tim IMAX) untuk pertama kalinya setelah tiga puluh jam, berkali-kali aku tidur lelap kemudian terbangun ditengah riuhnya suara kepakan tenda yang tertiup angin. Sesaat setelah tengah malam, aku sedang bermimpi tentang Andy---Andy yang sedang meluncur di Permukaan Lhotse sepanjang rentangan tali dan berteriak mengapa aku tidak memegangi ujung tali yang lain---ketika aku dibangunkan oleh Hutchison. “Jon”, teriaknya mengatasi suara badai, “Aku mencemaskan tenda kita. Apa menurutmu tenda kita bisa bertahan?”
Aku berusaha bangun dari mimpi yang menakutkan dengan kepala yang masih berputar, seperti orang tenggelam yang muncul ke permukaan laut. Perlu beberapa menit sebelum aku memahami kecemasan Stuart: terjangan angin yang terus menerus telah merobohkan  sebagian badan tenda kami. Beberapa tiangnya sudah bengkok, dan dengan bantuan sinar lampu kepalaku, aku melihat bahwa beberapa jahitan kain tenda sudah hampir terkoyak. Partikel-partikel salju memenuhi tenda kami, menutupi segala sesuatu dengan lapisan es. Tiupan angin ditempat ini lebih kencang daripada  angin di tempat manapun yang pernah aku rasakan, bahkan lebih kencang dari angin di puncak Gunung Es Patagonia, tempat yang dikenal paling berangin di planet ini. Kalau perkemahan kami hancur sebelum pagi tiba, kami semua akan berada dalam bahaya besar.
Stuart dan aku mengumpulkan sepatu dan semua pakaian kami, kemudian duduk di bagian tenda yang sudah roboh tertiup angin. Sambil menghadapkan punggung dan bahu kami ke tiang tenda yang koyak, selama tiga jam berikutnya kami terus bersandar melawan angin, dengan tubuh yang sudah sangat kelelahan, memegang erat-erat penutup nilon yang terkoyak seakan-akan hidup kami bergantung padanya. Aku terus membayangkan Rob yang berada di Puncak Selatan pada ketinggian 28.700 kaki, tanpa oksigen, tanpa perlindungan apapun ditengah amukan badai---tetapi pikiran itu terasa sangat menakutkan sehingga aku berusaha untuk tidak memikirkannya.
Sesaat sebelum fajar, pada Senin 12 Mei, Stuart kehabisan oksigen. “Tanpa oksigen, aku merasa tubuhku menjadi sangat dingin dan aku terkena hipotermia,” katanya. “Tangan dan kakiku mulai kebas. Aku khawatir sedang tergelincir menuju alam tak sadar, dan aku tidak akan mampu lagi untuk turun dari Jalur Selatan. Aku juga cemas, seandainya tidak bisa turun pagi ini, aku tidak akan pernah bisa turun sama sekali.” Aku memberikan tabung oksigenku pada Stuart, dan mulai mencari-cari tabung oksigen sampai aku menemukan tabung yang masih sedikit terisi, kemudian kami mulai berkemas untuk turun gunung.
Waktu sedang berjalan ke luar tenda, aku melihat setidaknya satu tenda yang tidak dihuni telah diterbangkan angin keluar dari Jalur Selatan. Kemudian aku melihat Ang Dorje, berdiri sendirian ditengah terjangan angin, menangisi kepergian Rob tanpa bisa dibujuk. Setelah ekspedisi berakhir, ketika aku ceritakan kepada Marion Boyd tentang kesedihan Ang Dorje, warga Kanada teman Ang Dorje tersebut berkata: “Ang Dorje menganggap dirinya sebagai penjaga keselamatan manusia---dia sering membicarakan hal itu denganku. Menurut agama yang dia anut, peran itu sangat penting baginya sebagai persiapan untuk menghadapi kehidupan selanjutnya(*2). Meskipun Rob merupakan pemimpin ekspedisi, Ang Dorje merasa sudah menjadi tugasnya untuk menjamin keamanan Rob dan Doug Hansen dan anggota tim yang lain. Jadi, ketika mereka tewas, mau tidak mau dia menyalahkan dirinya sendiri.”
Hutchison yang cemas melihat kesedihan Ang Dorje dan takut Ang Dorje menolak untuk turun, membujuknya untuk segera turun dari Jalur Selatan. Kemudian, pada pukul 08.30---yakin bahwa saat  itu Rob, Andy, Doug, Scott, Yasuko dan Beck sudah tewas---Mike Groom yang terkena gigitan salju sangat parah memaksakan diri untuk keluar dari tendanya, mengumpulkan Hutchison, Taske, Fischbeck dan Kasischke dan mulai memandu mereka menuruni gunung.
Dengan tidak adanya pemandu yang lain, aku menawarkan diri untuk menjadi pemandu dan berjalan dibelakang. Ketika kelompok yang dirundung kemalangan ini mulai bergerak perlahan menjauhi Camp Empat menuju Geneva Spur, aku memberanikan diri untuk menjenguk Beck untuk terakhir kali; aku menganggap Beck sudah tewas tadi malam. Aku menemukan tendanya sudah roboh dihantam badai dan kedua pintu tenda terbuka lebar. Tetapi, waktu aku mengintip ke dalam, aku sangat terkejut mendapati bahwa Beck ternyata masih hidup.
Dia berbaring terlentang di lantai tenda yang sudah roboh, tubuhnya bergetar keras. Mukanya sembam; bercak-bercak hitam dan dalam bekas gigitan salju memenuhi hidung dan pipinya. Kedua kantung tidur yang dipakainya hampir terlepas karena tiupan badai, membuat tubuhnya terbuka terhadap terpaan angin yang temperaturnya mencapai beberapa derajat dibawah nol. Dengan kedua tangannya yang membeku, Beck tidak mampu menarik kantung tidur itu ke atas atau menarik ritsletting penutup tenda. “Ya, ampun, Tuhan!” tangisnya saat melihatku, wajahnya berkerut karena kesakitan dan putus asa. “Apa yang harus dilakukan seseorang ditempat ini agar dia mendapat pertolongan!” Dia sudah berteriak minta tolong selama dua atau tiga jam, tetapi suara badai menenggelamkan teriakannya.
Beck terbangun tengah malam dan mendapati bahwa “badai telah merobohkan dan mengoyakkan tenda. Tiupan angin yang menekan dinding tenda mengenai wajahku sehingga aku hampir-hampir tidak bisa bernapas. Untuk sesaat angin berhenti, tetapi kemudian angin kembali menghantam dinding tenda mengenai wajah dan dadaku sehingga aku terjatuh. Diatas semua kekacauan itu, tangan kananku mulai membengkak padahal aku masih memakai jam tangan sialan ini sehingga ketika tanganku semakin membesar dan membesar, jam ini semakin menjepit dan terus menjepit sehingga memutuskan aliran darah ke arah lengan. Karena kedua tanganku terluka berat, aku tidak bisa melepaskan jam sialan ini. Aku berteriak minta tolong, tapi tidak ada orang yang datang. Benar-benar malam yang panjang dan menyiksa. Aku benar-benar senang ketika melihat wajahmu melongok melalui pintu tenda.”
Ketika aku menemukan Beck didalam tendanya aku sangat terkejut melihat kondisinya yang sangat menyedihkan---dan memikirkan betapa kami telah mengabaikannya, perbuatan yang tidak termaafkan---sehingga aku hampir tidak bisa menahan tangis. “Sudahlah, semua akan beres,” kataku berbohong sambil menahan tangis, kemudian memasangkan kembali kantong tidur ditubuhnya, menutup pintu tenda dan berusaha menegakkan kembali tenda yang sudah roboh tersebut. “Jangan khawatir teman. Semua sudah terkendali sekarang.”
Setelah berhasil membuat Beck nyaman, dengan bantuan radio aku segera menghubungi dr. Mackenzie di Base Camp. “Caroline!” kataku memohon dengan suara histeris. “Apa yang harus kulakukan dengan Beck? Dia masih hidup, tetapi aku yakin, dia tidak akan bisa bertahan lama. Kondisinya benar-benar buruk!”
“Cobalah untuk tetap tenang Jon,” jawabnya. “Kamu harus turun bersama Mike dan anggota tim yang tersisa. Dimana Pete dan Todd? Mintalah mereka untuk menjaga Beck, kemudian mulailah menuruni gunung.” Dengan tergesa-gesa aku membangunkan Athans dan Burleson, yang dengan cepat bergerak menuju tenda Beck sambil membawa setermos teh panas. Saat aku bergegas menjauhi perkemahan untuk bergabung dengan rekan-rekan satu timku, Athans sedang bersiap-siap untuk menyuntikkan empat miligram dexametason ke tubuh warga Texas yang sedang sekarat itu. Tindakan yang sangat terpuji, tetapi sulit membayangkan, bahwa itu itu akan membantu Beck.
------------------------------------

(*1) : pada 1996, tim Rob Hall hanya menetap selama delapan hari di Perkemahan Kedua (21.300 kaki) atau perkemahan yang lebih tinggi sebelum menuju puncak dari Perkemahan Utama,  program aklimatisasi yang umum diterapkan saat ini. Sebelum 1990, para pendaki tinggal lebih lama di Perkemahan Kedua atau lebih tinggi---termasuk,setidaknya satu kali perjalanan ke tempat dengan ketinggian 26.000 kaki---sebelum melakukan pendakian terakhir menuju puncak. Meskipun manfaat dari program aklimatisasi ke tempat-tempat dengan ketinggian 26.000 kaki bisa diperdebatkan (dampak negatif dari ketinggian ekstrem seperti itu bisa lebih besar dampak positifnya), tidak diragukan bahwa memperpanjang periode aklimatisasi yang diterapkan saat ini, yaitu menetap selama delapan atau sembilan hari pada ketinggian antara 21.000 sampai 24.000 kaki akan lebih meningkatkan keselamatan.
(*2) : para penganut Budha yang taat mempercayai sonam---perhitungan amal baik yang, jika amal baik yang dilakukan sangat besar, mampu membawa pelakunya menghindari siklus reinkarnasi yang berulang-ulang, untuk kemudian langsung melompat meninggalkan penderitaan dan rasa sakit didunia ini, selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar