Sabtu, 03 Oktober 2015

Into Thin Air --- BAB XIV --- PUNCAK EVEREST --- 10 MEI 1996, PUKUL 13.12 --- 29.028 KAKI

Tidak hanya selama pendakian, tetapi saat menuruni gunung pun tekadku semakin menumpul. Semakin lama aku mendaki, semakin tidak penting sasaran itu bagiku, dan semakin aku tidak peduli pada diriku sendiri. Perhatianku memudar, ingatanku melemah. Kelelahan mentalku saat ini lebih besar daripada kelelahan fisik. Benar-benar menyenangkan untuk duduk tanpa melakukan apapun---dan karena itu, sangat berbahaya. Mati karena kelelahan---seperti juga mati karena kedinginan---merupakan kematian yang menyenangkan.

Reinhold Messner
The Crystal Horizon

Didalam ransel, aku membawa sebuah spanduk dari majalah Outside, sebuah bendera kecil bergambar cecak berbentuk aneh yang disulam oleh istriku, Linda, dan beberapa benda kenangan yang sengaja kubawa untuk membuat beberapa foto kemenangan. Sadar bahwa persediaan oksigenku semakin menipis, aku biarkan semua benda itu tidak tersentuh didalam ranselku dan aku hanya berdiam beberapa menit dipuncak, cukup lama untuk membuat empat foto Andy Harris dan Anatoli Boukreev yang berpose didepan tiang pengukuran dipuncak Everest. Kemudian aku berbalik dan turun dari puncak. Kira-kira delapan belas meter dibawah puncak, aku berpapasan dengan Neal Beidleman dan seorang klien Fischer bernama Martin Adams yang sedang mendaki menuju puncak. Setelah mengucapkan salam kemenangan dengan menepukkan telapak tanganku pada telapak tangan Neal, aku meraup segenggam serpihan batu yang terlepas karena tiupan angin dari jalan setapak, memasukkan cendera mata itu ke dalam kantong celanaku yang tertutup resletting dan dengan cepat berjalan menuruni punggung gunung.
     Beberapa saat kemudian aku mengamati bahwa sekelompok awan tipis mulai menyelimuti lembah-lembah disebelah selatan, mengaburkan pemandangan kecuali pemandangan dipuncak-puncak tertinggi. Adams---warga Texas bertubuh kecil dengan temperamen keras, yang menjadi kaya raya berkat penjualan obligasi selama masa booming pada 1980---adalah seorang pilot pesawat terbang yang berpengalaman dan sering menghabiskan waktu dengan mengamati puncak awan dari atas pesawatnya; kemudian dia mengakui bahwa awan yang sarat dengan uap air yang tampaknya tidak berbahaya itu akan berubah menjadi hulu badai yang sangat kuat segera setelah dia mencapai puncak. "Jika Anda melihat hulu badai dari sebuah pesawat," katanya, "reaksi pertama Anda adalah menjauhi tempat itu secepat mungkin. Dan, itulah yang saya lakukan."
     Namun tidak seperti Adams, aku tidak terbiasa mengamati awan badai dari ketinggian 29.000 kaki sehingga aku tidak menyadari datangnya badai yang saat itu bahkan sudah mulai bergerak ke arah bawah. Aku hanya mencemaskan botol oksigenku yang isinya semakin menipis.
     Lima belas menit setelah meninggalkan puncak, aku tiba di puncak Hillary Step. Ditempat itu aku berhadapan dengan sekelompok pendaki yang sedang bekerja keras untuk mendaki lintasan tali sehingga perjalananku menuruni gunung terpaksa ditunda. Saat aku menunggu untuk membiarkan kelompok pendaki itu melewatiku, Andy tiba disampingku dalam perjalanan menuju bawah. "Jon," pintanya, "Rasanya aku tidak bisa bernapas dengan baik. Tolong lihat, apakah katup udara yang menuju maskerku tertutup es?"
      Setelah memeriksa sebentar, aku melihat bahwa gumpalan es sebesar kepalan tangan menyumbat katup karet tersebut sehingga udara luar tidak bisa masuk ke dalamnya. Aku membuang gumpalan es itu dengan ujung kapak esku, dan meminta Andy untuk mematikan regulatorku supaya aku bisa menghemat gas saat melewati Hillary Step. Namun, rupanya Andy salah putar dan malah membuka katup itu lebar-lebar sehingga sepuluh menit kemudian botol oksigenku sudah kosong. Kemampuan berpikirku yang memang sudah sangat lamban dengan cepat menukik tajam. Aku merasa seperti orang yang kebanyakan minum obat tidur.
     Samar-samar, saat aku sedang menunggu, aku melihat Sandy Pittman melewatiku ke arah puncak, diikuti beberapa waktu kemudian oleh Charlotte Fox dan kemudian Lopsang Jangbu. Beberapa waktu kemudian, muncul Yasuko, hanya sedikit dibawah tubuhku, tampak bingung dan kesulitan saat melewati bagian terakhir dari Hillary Step yang paling curam. Tanpa daya aku mengamati Yasuko yang sedang berjuang selama lima belas menit untuk menarik tubuhnya ke puncak Hillary Step, terlalu lelah untuk bisa melakukannya. Kemudian aku melihat Tim Madsen yang menunggu dengan tidak sabar dibawahnya, meletakkan tangannya dibawah pantat Yasuko dan mendorongnya naik ke atas.
     Rob Hall muncul tidak lama sesudahnya. Sambil menutupi rasa panikku yang semakin memuncak, aku mengucapkan terima kasih kepadanya karena berhasil membawaku sampai ke puncak Everest. "Ya, ternyata ekspedisi ini cukup berhasil, " katanya, kemudian dia menambahkan bahwa Frank Fishbeck, Beck Weathers, Lou Kasischke, Stuart Hutchison dan John Taske telah turun gunung. Meskipun aku sudah setengah linglung karena kekurangan oksigen, aku bisa melihat bahwa Hall sangat kecewa karena lima dari delapan kliennya mundur---aku menduga, perasaan kecewanya ditambah oleh kenyataan bahwa seluruh anggota ekspedisi Fischer masih sedang berjuang menuju puncak. "Aku tadinya berharap bisa membawa lebih banyak klien ke puncak ini," keluh Rob sebelum meneruskan pendakian.
     Tidak lama kemudian, Adams dan Boukreev tiba dalam perjalanan menuju bawah, berhenti tepat diatasku, menunggu sampai antrean pendaki melewati kami. Semenit kemudian, kerumunan pendaki yang memenuhi puncak Hillary Step semakin bertambah ketika Makalu Gau, Ang Dorje dan beberapa Sherpa tiba pada lintasan tali, diikuti oleh Doug  Hansen dan Scott Fischer. Setelah beberapa waktu, Hillary Step akhirnya kosong---tetapi aku sudah menunggu lebih dari satu jam diketinggian 28.900 kaki tanpa oksigen tambahan.
     Saat itu, hampir seluruh sektor korteks indrawi di dalam otakku sepertinya sudah tertutup. Pusing, dan takut akan jatuh pingsan, aku bergerak cepat menuju Puncak Selatan, menuju botol oksigenku yang ketiga. Dengan lunglai aku menuruni lintasan tali, tubuhku kaku karena tegang. Tepat diatas tangga batu, Anatoli dan Martin berputar melewati tubuhku dan bergegas menuruni lereng. Dengan sangat hati-hati, aku terus menuruni punggung gunung sambil berpegang pada lintasan tali, tetapi lima puluh kaki sebelum aku mencapai botol oksigenku yang ketiga, lintasan tali itu berakhir, dan tubuhku menolak untuk bergerak lebih jauh tanpa bantuan oksigen.
     Diatas Puncak Selatan, aku bisa melihat Andy Harris sedang memilah-milah beberapa botol oksige berwarna oranye. "Hai, Harold!" Teriakku, "Bisa tolong bawakan sebotol oksigen baru?"
     "Tidak ada lagi oksigen ditempat ini!" Jawab alpemandu itu dengan suara keras. "Semua botol yang ada disini sudah kosong!" Kabar yang sangat mengejutkan. Otakku menjerit mminta oksigen. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tepat disaat kritis itu, Mike Groom tiba disampingku dalam perjalanan turun. Pada 1993, Mike pernah mendaki  Everest tanpa menggunakan gas sehingga dia tidak terlalu cemas jika harus turun tanpa oksigen. Dia memberikan botol oksigennya kepadaku, dan kami bergerak bersama-sama menuju Puncak Selatan.
     Setibanya disana, kami memeriksa semua tabung oksigen yang ada, dan menemukan  sedikitnya enam botol yang masih terisi penuh. Namun, Andy tidak percaya. Dia bersikeras bahwa semua botol itu sudah kosong; apapun yang aku dan Mike  katakan, dia tetap tidak mempercayainya.
     Satu-satunya cara untuk mengetahui isi gas dalam tabung adalah dengan  menghubungkan tabung tersebut dengan regulator dan kemudian membaca meterannya: barangkali itulah yang dilakukan Andy saat dia memeriksa  botol-botol yang ada di Puncak Selatan. Setelah ekspedisi berakhir, Neal Beidleman mngatakan, jika regulator Andy tertutup es, meteran pada sistem oksigennya tentu menunjukkan angka nol, meskipun botol-botol oksigen yang diperiksanya masih terisi penuh. Keterangan ini mungkin bisa menjelaskan sikap keras kepalanya yang aneh. Dan jika regulatornya memang tidak berfungsi dengan baik sehingga tidak mampu mengalirkan oksigen ke dalam maskernya, itu juga bisa menjelaskan mengapa Andy sepertinya tidak bisa berpikir jernih.
     Kemungkinan tersebut---yang sekarang tampaknya sangat masuk akal---saat itu sama sekali tidak terpikirkan, baik oleh Mike maupun olehku sendiri. Jika dipikirkan kembali, sikap Andy jelas tidak masuk akal dan lebih dari sekedar dampak serangan hipoksia biasa, tetapi pikiranku saat itu sama-sama sudah terganggu sehingga aku tidak memahami keadaan tersebut.
     Ketidak mampuanku untuk menyadari fakta yang seharusnya tampak jelas itu, dalam beberapa tingkatan diperburuk oleh etika hubungan pemandu-klien. Andy dan aku sebenarnya memiliki kemampuan fisik dan pengalaman teknis yang hampir setara; sekiranya kami mendaki bersama dalam sebuah pendakian biasa sebagai rekan yang setara, bukan sebagai klien dan pemandu, aku pasti akan langsung menyadari kondisinya yang buruk. Akan tetapi, dalam ekspedisi ini, Andy berperan sebagai pemandu yang kedudukannya lebih unggul, dan dia ada ditempat itu untuk menjagaku dan para klien yang lain; secara khusus kami juga sudah di indoktrinasi untuk tidak mempertanyakan penilaian para pemandu. Tidak pernah terpikir oleh otakku yang sudah lumpuh bahwa Andy sedang menghadapi kesulitan besar---bahwa pemandu itu sedang membutuhkan bantuanku.
     Ketika Andy tetap bersikeras bahwa tidak ada botol yang terisi di Puncak Selatan, Mike menatapku dengan pandangan bertanya. Aku menatap balik kemudian mengangkat bahu. Sambil berbalik ke arah Andy, aku berkata, "Tidak masalah, Harold. Tidak perlu meributkan hal kecil seperti itu." Kemudian aku menarik sebuah botol oksigen, menguncinya pada regulatorku dan turun gunung. Mengingat beberapa fakta yang baru terungkap beberapa jam kemudian, sikapku yang melepas tanggung jawab dengan sangat mudah---kegagalanku untuk menyadari bahwa Andy mungki sedang menghadapi kesulitan besar---akan menjadi sesal yang bisa menghantuiku sepanjang hidup.
     Sekitar pukul 15.30, aku meninggalkan Puncak Selatan mendahului Mike, Yasuko dan Andy dan langsung disambut oleh gumpalan-gumpalan awan yang sangat tebal. Salju yang ringan mulai jatuh. Dibawah cahaya yang datar dan mulai redup, aku hampir-hampir tidak bisa membedakan batas antara gunung dan langit; dalam kondisi seperti itu, setiap orang bisa dengan mudah melangkah ke bibir jurang, untuk kemudian namanya tidak terdengar lagi. Dan kondisi cuaca semakin buruk saat aku bergerak menjauhi puncak.
     Di bawah tangga batu di atas Lereng Tenggara, aku dan Mike berhenti untuk menunggu Yasuko yang tampaknya kesulitan menuruni lintasan tali. Mike berusaha menghubungi Rob melalui radio, tetapi transmitter nya hanya bekerja sekali-sekali sehingga dia tidak berhasil menghubungi siapapun. Setelah melihat bahwa Mike menemani Yasuko, dan Rob serta Andy menemani Doug Hansen---sementara pendaki lain  masih berada jauh diatas kami---aku beranggapan bahwa situasi sudah terkendali. Jadi, ketika Yasuko sudah berdiri disamping kami, aku minta izin kepada Mike untuk meneruskan perjalanan menuruni gunung. "Baik" jawabnya. "Tapi, hati-hati ya, jangan keluar dari tepi lereng."
     Sekitar pukul 16.45, ketika aku tiba di Balkon---birai besar diketinggian 27.600 kaki yang terletak di Lereng Tenggara, tempat aku tadi pagi duduk sambil mengamati matahari terbit bersama Ang Dorje---aku sangat terkejut melihat Beck Weathers berdiri sendirian di atas salju, dengan tubuh yang gemetar hebat. Ku pikir dia sudah kembali ke Camp Empat beberapa jam yang lalu. "Beck", teriakku, "apa yang kamu lakukan ditempat ini?"
     Beberapa tahun yang lalu, Beck menjalani radial keratotomy(*1) operasi untuk memperbaiki penglihatannya. Dampak samping operasi tersebut, yang baru diketahuinya pada awal ekspedisi Everest, adalah terganggunya  penglihatan Beck saat dia berada pada tekanan udara yang sangat rendah pada ketinggian yang ekstrem. Semakin tinggi dia mendaki dan semakin rendah tekanan udara, semakin buruk penglihatannya.
     Sore kemarin, selesai mendaki dari Camp Tiga menuju Camp Empat, Beck mengakui, "penglihatanku menjadi benar-benar buruk sehingga jarak pandangku hanya terbatas sampai beberapa kaki. Aku terpaksa mendaki dibelakang Taske dan menjejakkan kaki tepat dibekas telapak kakinya."
     Beck kerap mengatakan secara terus terang tentang masalah penglihatan yang dihadapinya, tetapi ketika puncak sudah semakin dekat, dia lalai mengatakan masalah penglihatannya yang bertambah buruk, tidak kepada Rob atau siapapun. Meskipun penglihatannya memburuk, dia bisa mendaki dengan baik dan merasa lebih kuat dibanding dengan saat-saat awal ekspedisi dan, katanya menjelaskan, "Aku tidak mau mundur terlalu cepat."
     Saat harus mendaki sepanjang malam di atas Jalur Selatan, Beck mampu mengimbangi anggota tim yang lain dengan menerapkan strategi serupa yang dia terapkan sore sebelumnya---menginjak bekas telapak kaki orang yang berada langsung di depannya. Namun, ketika dia tiba di Balkon, dan matahari mulai naik, Beck menyadari bahwa penglihatannya menjadi bertambah buruk. Selain itu, tanpa sengaja dia menggosok matanya dengan beberapa pecahan es sehingga melukai kedua kornea matanya.
     "Saat itu," Beck mengakui, "salah satu mataku sudah benar-benar kabur, aku hampir-hampir tidak bisa melihat hanya dengan satu mata, dan hampir-hampir tidak bisa berpikir secara jernih. Dengan kondisi penglihatan seperti itu, kupikir aku tidak mungkin bisa terus mendaki tanpa membahayakan keselamatanku sendiri atau tanpa menjadi beban bagi orang lain. Akhirnya aku berterus terang kepada Rob, dan mengatakan masalah yang aku hadapi.
     "Maaf teman," jawab Rob seketika, "Anda harus turun. Aku akan menugaskan salah seorang Sherpa untuk menemanimu." Namun Beck belum siap untuk menyerah dan masih bersikeras  ingin mencapai puncak, "Kukatakan kepada Rob bahwa penglihatanku mungkin akan membaik jika matahari sudah lebih tinggi dan kedua bola mataku bisa berkontraksi. Aku katakan, aku ingin menunggu sebentar dan menyusul yang lain jika aku sudah bisa melihat lebih jelas."
     Rob mempertimbangkan permohonan Beck, kemudian mengambil keputusan, "Baik, cukup adil. Aku akan memberimu setengah jam. Namun, aku tidak akan membiarkanmu turun ke Camp Empat sendirian. Jika penglihatanmu tidak membaik setelah tiga puluh menit, aku minta kamu menunggu ditempat ini supaya aku tahu dimana kamu berada sampai aku kembali dari puncak, kemudian kita akan turun bersama-sama. Aku sungguh-sungguh dalam hal ini: kamu boleh turun sekarang atau berjanji akan duduk disini sampai aku kembali."
     "Jadi aku berjanji dan berharap akan mati," tambah Beck dengan besar hati saat kami berdiri ditengah salju yang tertiup angin dibawah cahaya yang mulai meredup. "Dan aku menepati janjiku. Itulah sebabnya aku masih berdiri ditempat ini."
     Beberapa saat setelah tengah hari, Stuart Hutchison, John Taske dan Lou Kasischke melewatinya dalam perjalanan menuruni gunung ditemani Lhakpa dan Kami, tetapi Weathers memilih untuk tidak turun bersama mereka. "Cuaca masih baik," katanya menjelaskan, "dan aku tidak melihat alasan untuk melanggar janjiku kepada Rob saat itu."
      Akan tetapi, saat ini udara sudah mulai gelap dan cuaca sudah berubah buruk. "Turunlah bersamaku," bujukku. "Masih dua atau tiga jam sebelum Rob muncul. Aku akan menuntun Anda. Aku akan membantu Anda turun, tidak masalah." Beck hampir-hampir terbujuk untuk turun bersamaku, tetapi aku membuat kesalahan dengan mengatakan bahwa Mike Groom juga sedang dalam perjalanan ke bawah bersama Yasuko, hanya beberapa menit dibelakangku. Pada hari yang penuh dengan tumpukan kesalahan, yang satu ini ternyata menjadi kesalahan yang cukup besar.
     "Terima kasih atas tawaranmu," kata Beck. "Aku pikir sebaiknya aku menunggu Mike saja. Dia punya tali, dan dia bisa mengikat aku saat kami turun."
     "Baiklah Beck," kataku. "Itu pilihanmu. Aku harap kita bisa bertemu lagi diperkemahan nanti." Diam-diam aku merasa senang karena aku tidak harus membantu Beck menuruni rute yang sulit, yang hampir seluruhnya tidak diamankan oleh lintasan tali. Sinar matahari siang mulai meredup, cuaca semakin buruk, dan sisa-sisa kekuatanku sudah hampir punah. Namun, aku masih saja belum menyadari bahwa bencana sedang mendekat. Setelah berbicara dengan Beck, aku masih membuang waktu dengan memeriksa tabung oksigen kosong yang kutinggalkan diatas salju dalam perjalanan menuju puncak sepuluh jam yang lalu. Oleh karena tidak ingin meninggalkan sampahku diatas gunung ini, aku memasukkan tabunh kosong itu kedalam tasku yang sudah berisi dua botol oksigen (satu kosong dan satu setengah terisi), dan bergegas menuju Jalur Selatan 1600 kaki dibawahku. Dari Balkon aku turun beberapa ratus kaki melewati selokan salju yang lebar tanpa kesulitan yang berarti, tetapi kemudian, keadaan mulai berubah sulit. Jalur yang kulalui berubah berkelok-kelok, melewati singkapan serpih yang pecah-pecah dan tertutup es segar setebal 15,24 senti. Melewati medan yang goyah dan berlikh-liku seperti itu benar-benar membutuhkan konsentrasi penuh, upaya yang hampir-hampir tidak mungkin dalam kondisiku yang setengah linglung.
     Karena angin telah menghapus jejak para pendaki yang turun mendahuluiku, aku kesulitan menentukan rute yang benar. Pada 1993, rekan Mike Groom---Lopsang Tshering Bhutia, seorang pendaki Himalaya yang andal, sepupu Tenzing Norgay---mengambil belokan yang salah ditempat ini dan menemui ajalnya. Berjuang agar tetap sadar, aku mulai bicara sendiri, "Bertahanlah, bertahanlah, bertahanlah," aku terus berkomat kamit seperti orang sedang membaca mantra. "Kamu tidak boleh melakukan kesalahan ditempat ini. Ini sangat serius. Bertahanlah."
     Aku duduk untuk beristirahat diatas sebuah birai miring yang cukup lebar, tetapi baru beberapa menit terdengar sebuah suara BOOM! yang memekakkan telinga, yang memaksaku untuk berdiri. Beberapa salju baru mulai menumpuk sehingga aku takut longsoran salju dilereng diatasku melepaskan bongkahan es yang besar, tetapi saat aku berbalik dan melihat ke belakang, aku tidak melihat apapun. Sekali lagi aku mendengar suara BOOM! disusul oleh kilat yang menerangi langit, dan aku sadar bahwa aku sedang mendengar suara petir.
     Pagi tadi, dalam perjalanan ke atas, aku memutuskan untuk mengingat rute ditempat ini, berkali-kali aku melihat kebawah untuk menandai landmark yang bisa membantuku saat turun gunung dan dengan sengaja menghafal medan yang kulalui, "Ingat, belok kiri ditonjolan batu yang menyerupai haluan kapal. Kemudian ikuti lintasan salju tipis sampai dia membelok tiba-tiba ke arah kanan." Itulah latihan yang sudah kulakukan sejak beberapa tahun yang lalu, sebuah latihan yang selalu kulakukan setiap kali aku mendaki dan di Everest, kebiasaan itu mungkin telah menyelamatkan nyawaku. Pukul 18.00, ketika badai berubah menjadi badai salju yang sangat kuat dan bertiup dengan kecepatan lebih dari 60 knot, aku tiba pada lintasan tali yang dibuat oleh tim Montenegro, diatas lereng yang ditutupi salju, 600 kaki dari Jalur Selatan. Pikiranku mulai jernih karena kekuatan badai yang terus meningkat, aku sadar bahwa aku sudah berhasil melewati jalur tersulit, tepat pada waktunya.
     Setelah melingkarkan tanganku pada lintasan tali, aku menuruni lereng ditengah hantaman badai salju. Beberapa menit kemudian, perasaan tercekik yang kerap kurasakan muncul kembali dan aku sadar bahwa tangki oksigenku sekali lagi sudah kosong. Tiga jam yang lalu, ketika aku menghubungkan regulatorku dengan botol oksigen yang ketiga dan yang terakhir, angka penunjuk meteran menunjukkan bahwa botol tersebut hanya berisi setengahnya. Namun, kupikir jumlah itu cukup untuk membawaku sampai ke perkemahan, jadi aku tidak menggantinya dengan botol lain yang masih penuh. Sekarang, sekali lagi botol oksigenku kosong.
     Aku menarik masker dari mukaku dan membiarkannya tergantung dileherku, melanjutkan perjalanan menuruni lereng, anehnya aku tidak peduli.  Namun tanpa oksigen tambahan gerakanku menjadi lebih lambat dan aku harus lebih sering berhenti dan beristirahat.
     Tulisan-tulisan tentang Everest dipenuhi dongeng-dongeng tentang pendaki yang berhalusinasi karena sel-sel ditubuhnya kekurangan oksigen dan karena kelelahan. Pada 1993, seorang pendaki Inggris terkemuka bernama Frank Smythe, "melihat dua objek yang tampak aneh terbang di atas langit" langsung diatas kepalanya pada ketinggian 27.000 kaki: "(salah satu objek itu) memiliki bakal sayap pendek yang tampaknya belum berkembang, dan objek lain memiliki tonjolan-tonjolan menyerupai paruh. Mereka melayang-layang tanpa bergerak, tetapi seperti bergetar perlahan." Pada 1980, saat melakukan pendakian solo, Reinhold Messner membayangkan seorang teman sedang menemaninya mendaki. Sedikit demi sedikit, aku menyadari bahwa pikiranku mulai mengabur dengan cara serupa, dan aku mengamati dengan rasa takjub sekaligus takut, meluncurnya diriku keluar dari realitas.
     Kelelahan yang kurasakan lebih dari sekedar kelelahan biasa sehingga secara aneh aku melihat tubuhku seperti terlepas, aku mengawasi diriku sedang menuruni lereng yang letaknya beberapa kaki diatasku. Dalam pikiranku, aku memakai kardigan warna hijau dan sepatu berujung lancip. Selain itu, meskipun badai salju membuat temperatur turun hingga tujuh puluh derajat dibawah nol, secara aneh aku merasa bahwa tubuhku benar-benar hangat.
     Pada pukul 18.30, ketika cahaya terakhir menghilang dari langit, aku sudah turun sampai ketinggian 200 kaki di atas Camp Empat. Hanya ada satu hambatan yang berdiri di antara diriku dan keselamatan: sebuah tonjolan runcing tertutup es yang keras dan licin, yang harus kuturuni tanpa lintasan tali. Butiran-butiran es keras yang diterbangkan oleh angin berkecepatan 70 knot menghantam mukaku; setiap bagian tubuhku yang tidak tertutup segera membeku. Tenda-tenda perkemahan, yang jauhnya tidak lebih dari 650 kaki horizontal didepanku, sekali-sekali tampak ditengah hamparan warna putih yang sangat luas. Aku tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun. Karena takut membuat kesalahan yang fatal, aku duduk untuk mengumpulkan tenaga sebelum turun lebih jauh.
     Begitu aku berdiri, tubuhku seperti menolak untuk bergerak. Sepertinya beristirahat lebih mudah daripada berusaha untuk menuruni lereng es yang berbahaya ini; jadi aku memutuskan untuk tetap duduk disana, ditengah raungan suara badai yang mengelilingiku, membiarkan pikiranku melayang, tidak melakukan apapun, selama kurang lebih empat puluh lima menit
     Aku baru selesai mengencangkan tali penutup kepalaku, membiarkan sebuah celah kecil tetap terbuka disekitar mataku dan sedang menurunkan masker oksigen yang tidak berguna lagi dari bawah daguku ketika Andy Harris tiba-tiba muncul dari tengah kegelapan disampingku. Saat mengarahkan lampu kepalaku ke wajahnya, aku terkesiap melihat wajahnya yang sangat mengenaskan. Pipinya tertutup oleh lapisan salju yang membeku dan suaranya seperti orang mabuk. Dia benar-benar dalam kesulitan besar. "Mana arah menuju perkemahan?" tanya Andy dengan suara kalut, ingin secepatnya mencari perlindungan.
     Aku menunjuk ke arah Camp Empat, kemudian mengingatkan dia tentang tonjolan es yang sangat licin tepat dibawah kami. "Es itu lebih terjal dari yang terlihat," teriakku, berusaha mengalahkan suara badai. "Barangkali aku harus turun lebih dahulu dan mengambil tali dari perkemahan---". Sebelum kalimatku berakhir, Andy sudah berbalik dan bergerak mendekati mulut lereng, meninggalkanku yang tetap duduk dalam keadaan bingung.
     Sambil meluncur diatas pantatnya, dengan cepat Andy turun melewati bagian lereng es yang paling curam. "Andy," teriakku dari belakang, "kamu gila jika kamu mencoba dengan cara itu, kamu pasti gagal!" Sebagai balasan dia meneriakkan sesuatu, tetapi suaranya hilang ditelan suara gemuruh angin. Sedetik kemudian, dia kehilangan pijakan, terbalik melewati bibir es berbentuk mulut ceret, dan tiba-tiba saja meluncur cepat ke bawah es dengan kepala dibawah.
     Dua ratus kaki dibawahku, samar-samar aku bisa melihat tubuh Andy yang tidak bergerak terbujur di kaki lereng. Aku yakin, setidaknya salah satu kakinya paati patah, atau barangkali lehernya. Namun, secara mengagumkan, dia berdiri, melambaikan tangan untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja dan mulai bergerak menuju Camp Empat, yang saat itu tampak jelas, 500 kaki dibawahku.
     Aku bisa melihat bayangan tiga atau empat sosok tubuh berdiri diluar perkemahan; lampu kepala yang mereka kenakan berkelap-kelip diantara butiran salju yang diterbangkan angin. Aku mengamati Harris berjalan menuju mereka melewati medan yang datar, jarak yang bisa ditempuhnya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Ketika sekelompok awan menutupi pemandanganku beberapa waktu kemudian, Andy sudah berada kira-kira enam puluh kaki dari perkemahan, mungkin lebih dekat lagi. Aku tidak melihatnya lagi sesudahnya, tetapi aku yakin bahwa dia tiba dengan aman diperkemahan, disambut Chuldum dan Arita yang akan menghidangkan secangkir teh panas. Duduk menunggu dibawah terjangan badai, dengan lereng es yang masih berdiri memisahkanku dan perkemahan, aku merasa sedikit iri. Aku juga marah karena pemanduku tidak menungguku.
     Ransel punggungku hanya berisi tiga botol oksigen kosong dan sedikit limun yang sudah beku; beratnya pasti tidak lebih dari delapan atau sembilan kilogram. Namun aku sangat lelah, dan aku ragu-ragu akan bisa melewati lereng itu tanpa mematahkan salah satu kakiku, jadi aku melempar ranselku melalui mulut lereng dan berharap agar dia jatuh ditempat yang tepat agar aku bisa memungutnya kembali. Kemudian aku berdiri dan mulai menuruni lereng es yang licin dan keras seperti permukaan jalur bowling.
     Setelah lima belas menit yang melelahkan dan berkutat diatas cramponku, akhirnya aku tiba dikaki lereng. Dengan mudah aku menemukan ranselku dan sepuluh menit kemudian aku sudah berada di dalam perkemahan. Aku masuk ke dalam kemah tanpa melepaskan sepatu pakuku, menutup rapat resletting pintu tenda dan merangkak diatas lantai tenda yang tertutup salju, terlalu lelah untuk duduk tegak. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar lelah: perasaan lelah yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Namun aku selamat, Andy juga selamat. Yang lain akan segera tiba diperkemahan. Kami berhasil. Kami sudah mendaki Everest. Untuk beberapa waktu, keadaan diatas memang cukup sulit, tetapi akhirnya semua berakhir dengan baik.

Baru beberapa jam kemudian aku menyadari bahwa ternyata semuanya tidak berakhir baik---bahwa sembilan belas pria dan wanita terdampar di atas gunung karena badai, terperangkap dalam perjuangan berat untuk mempertahankan hidup mereka.

#Bersambung

(*1): Radial keratotomy adalah prosedur pembedahan untuk memperbaiki rabun jauh; dalam operasi ini, sejumlah sayatan tipis dilakukan dari ujung luar kornea ke arah tengahnya sehingga menjadikan kornea lebih pipih.

1 komentar: