Kamis, 28 Agustus 2014

Jangan Larang Saya Naik Gunung!!


Tidak ada satupun orang yg bisa men-terjemahkan arti dari cinta apalagi bisa mem-visualisasikannya. Cinta adalah sesuatu yg selamanya akan abstrak, hanya bisa di rasakan dengan hati. Saya rasa Adam dan Hawa, sebagai manusia pertama yg menjadi pasanganpun begitu, akan kebingungan jika ditanya apa arti cinta. Dalam tulisan ini saya juga bukan hendak membahas tentang cinta Adam Hawa ataupun legenda-legenda cinta lainnya yg sudah dikenal dunia. Disini saya ingin bicara tentang mengapa seseorang melarang pasangannya mendaki gunung, "membunuh" kecintaan seseorang terhadap gunung. Permasalahan klise yg sering dihadapi seorang pendaki saat sudah berpasangan. Mendaki tidak kenal usia kapan seseorang memulainya, tapi satu hal yg bisa dipastikan, nyaris semua orang yg pernah coba mendaki gunung akan ketagihan untuk kembali mengulanginya dilain waktu. Nyaris sama bukan dengan cinta yg ada diantara 2 manusia?? tidak mengenal usia.
Bagi seseorang yg sudah memiliki pasangan (baca: suami/istri) tentunya kecintaan terhadap mendaki terkadang sering berbenturan dengan kepentingan keluarga apapun bentuknya. Hal yg juga saya alami. Kerap kali istri melarang saya untuk menyalurkan hobi mendaki, dan jika itu terjadi tak jarang memicu konflik diantara kami, sebab kedua hal tersebut (keluarga dan mendaki) adalah dua cinta yg ada dalam hati saya yg berbeda arah, seperti dua sisi mata uang. Cukup lama saya merasa "mentok" untuk mendapatkan solusinya. Kenapa saya begitu keras mencari solusi agar dua hal diatas bisa berjalan beriringan dalam kehidupan saya?? Sebab, dunia mendaki sudah ada dan hidup jauh sebelum saya mengenal istri saya. Bahkan ibu saya sendiri yg memperkenalkan saya dengan dunia petualangan sejak saya kelas 3 sekolah dasar. Jadi kalau mau egois sebagai "istri pertama" seharusnya mendaki adalah cinta yg menjadi prioritas saya, tapi kan hidup tidak bisa seperti itu.
Sering saya memperhatikan beberapa teman, yg juga hobi mendaki saat masih bujangan lalu memutuskan untuk berhenti sejak berkeluarga, karena pasangannya tidak setuju dg hobi mendakinya. TAPI berdasarkan pengamatan saya juga, setelah sekian tahun mereka-mereka itu pada akhirnya seringkali mencuri-curi untuk sekedar hang out dengan teman-temannya. Lebih parahnya lagi sering mengeluh tentang kejenuhan dalam menjalankan rutinitas sehari-hari, yg ujung-ujungnya kembali merindukan bisa bertualang dan menikmati alam. Ini bukti bahwa "membunuh total" hobi yg kita cintai tidak akan pernah bisa, yg bisa adalah meredam frekuensinya sebab layaknya logika candu, tidak akan bisa dihilangkan. Istri saya pun begitu, awalnya tidak suka dengan hobi saya mendaki. Kasus seperti yg saya alami ini tentunya tidak berlaku bagi pasangan yg sama-sama hobi mendaki, paling tidak jika terjadi masalah tentang hobinya mendaki akan lebih mudah menemukan solusi.
Dalam pandangan saya berdasarkan hasil analisa sederhana ...(hehe...bahasanya analisa)...ketidaksukaan pasangan kita terhadap dunia mendaki karena dia tidak pernah tahu apa itu mendaki dan apa efek yg di timbulkan bagi si pendaki. Jadi jika kita tidak ingin dilarang untuk tetap mendaki kita harus aktif dan berusaha memperkenalkan pasangan kita tentang mendaki. Akan ada proses untuk membuatnya mengerti, butuh waktu. Kesalahan-kesalahan yg sering di buat oleh seorang laki-laki sehingga membuatnya dilarang untuk mendaki lagi adalah :
1. Tidak terbuka terhadap pasangannya dg siapa kita pergi, berapa lama pergi dan seperti apa medan yg akan dihadapi.
2. Tidak melibatkan pasangannya untuk ikut mempersiapkan segala keperluan mendaki. Paling tidak cobalah mengajaknya untuk mengenal dunia kita.
3. Memilih waktu yg salah dan cenderung mendadak bilang akan berangkat padahal seringkali rencananya sudah di plot sejak jauh hari.
4. Menunda atau mengurangi frekuensi komunikasi dg pasangan selama pendakian dg alasan sinyal lemah dan pulsa yg habis, konyolnya sudah ada sinyal pun sering sengaja tidak menghubungi.
5. Menceritakan hanya hal-hal yg susah, berat dan sedih tentang pendakiannya terhadap pasangan. Di hajar badai lah, kelaparanlah, dll.
6. Memaksakan pergi walau kondisi finansial sedang kurang baik.
7. Tidak melihat skala prioritas.
See??...adakah salah satu dari tujuh point itu yg sering kita lakukan?? So...bagaimana seorang pasangan tidak melarang kita untuk berhenti mendaki jika cara kita menunjukkan hobi seperti itu. Remember guys, seorang istri hanya membutuhkan 2 hal dalam rumah tangganya, yaitu jaminan untuk rumah tangga dan anak-anaknya serta kepastian kasih sayang dari suaminya. Bicara tentang dua point diatas, muaranya adalah JANGAN BUAT PASANGAN ANDA RAGU DAN KHAWATIR. Caranya?? Dengan tidak melakukan tujuh point di atas tadi.
Wanita itu ketika telah mencintai seorang lelaki dan memutuskan berumah tangga (baca: menjadi istri) secara otomatis dia telah siap kehilangan kebebasannya. Ya, salah satunya hilang kebebasan untuk bermain, sebab aturan agama pun melarang seorang wanita bersuami untuk pergi meninggalkan rumah tanpa ijin suaminya. Wanita akan sepenuhnya melepaskan segala atribut kebebasannya demi menyandang gelar baru "Ibu Rumah Tangga". Hebatnya wanita bisa dengan konsisten seperti itu seumur hidupnya. Bagaimana dg lelaki??! Bullshit alias non sense-lah lelaki bisa. Lelaki akan tetap menjadi "lelaki" setelah dia menikah. Tetap bisa bermain atau melakukan hal-hal yg biasa dia lakukan saat belum menikah. Sudah kodrat nya seperti itu. Saya berani bilang, adalah suatu keputusan bodoh jika seorang lelaki "membunuh" hobi mendakinya demi menuruti larangan istri...saya jamin tidak akan bertahan seumur hidup keteguhannya menahan hasrat mendaki. Paling buruk dia akan sembunyi-sembunyi melakukannya lagi. Mendaki bukan hal yg salah, seperti yg saya bilang di atas, yg salah adalah cara lelaki menjelaskan "mendaki" kepada pasangannya.
Wanita dg karakter sekeras apapun tidak akan mencabut kebebasan suami yg di cintainya jika suaminya memang menunjukkan tanggung jawab dan komitmen yg utuh. Termasuk dalam melakukan hobi mendakinya. Wanita itu rasional dan punya daya rekam yg baik terhadap tindak tanduk suaminya. Jadi kita sebagai lelaki seharusnya intropeksi diri kenapa kita dilarang mendaki. Mendaki adalah cinta...didasari cinta...dan cinta itu seperti dahaga, harus dipuaskan. Saat cinta tersalurkan muncullah bahagia. Dimana letak bahagia itu??....di HATI. Kita mungkin bisa berpura-pura sesaat...selama beberapa waktu / tahun. Tapi sampai kapan mau membohongi diri?? Menepikan satu sisi kebahagiaan yg lain dg tidak mendaki atau menikmati alam?? Kemana kita mau mencari kebahagiaan itu sedangkan letak kebahagiaan itu di hati.
Catat ya...mendaki bukanlah hal yg salah, justru sebaliknya merupakan hal yg positif. Jadi jangan "bunuh" hobi mendaki kita karena suatu hal yg tidak logis selama kita mampu untuk itu. Apalagi demi menuruti seorang yg belum juga resmi menjadi pasangan hidup kita hanya supaya dia senang. Masih banyak cara yg benar untuk membuat pasangan hidup kita senang.
Bercermin dari pembahasan dan permasalahan yg saya ulas di atas, saya semakin bersyukur mempunyai pasangan hidup seperti Maminya Nino. Mengerti bahwa saya mencintai mendaki gunung. Mendukung dan mau mendengar penjelasan-penjelasan saya walau saya tau dia tidak interest dengan itu. Luv u honey.
Cc: Rainity Siswoyo.

Senin, 25 Agustus 2014

Menggapai Atap Sumatra --- Kerinci 3805 mdpl

Gunung Kerinci 3805 mdpl


Pagi tanggal 20 Agustus 2014, matahari belum juga terbit, saya, Iyan dan Husna sudah berkumpul di terminal Damri Baranangsiang. Kami bertiga mewakili KPK Korwil Bogor akan berangkat menuju Gunung Kerinci di Jambi. Agak lama kami menunggu bus yg akan mengantar ke airport. Tepat jam 6.45 bus meluncur menuju bandara Soetta, tiket kami tertera 45rb rupiah. Tak banyak yg kami bicarakan di dalam bus, mata yg mengantuk membuat kami lebih memilih untuk tidur saja. Antara tidur dan tidak saya terbayang tentang pendakian Kerinci yg akan saya lakukan bersama teman-teman KPK ini. Sudah sejak lama saya terobsesi untuk bisa menjejakkan kaki di puncak tertinggi Sumatra itu. Seringnya saya mendengar cerita dan membaca tulisan teman membuat saya semakin penasaran untuk mengunjungi gunung yg terkenal sebagai gunung yg memiliki perpaduan karakter seluruh gunung yg ada di pulau Jawa. Desember silam saya sudah membuat rencana untuk datang ke Kerinci pada bulan Februari atau Maret, bahkan saya sudah membuat janji dengan Catur---kakak kelas saya---untuk mendaki bersama. Tapi rencana saya saat itu belum terlaksana. Saya coba mengatur pada bulan April 2014, tapi lagi-lagi harus kandas. Hingga akhirnya hari ini, tiket sudah ditangan, nyaris tidak mungkin tidak terlaksana impian saya ini. Masih diantara lamunan di sela kantuk, saya menatap keluar kaca bus, disela pepohonan peneduh jalan seperti tergambar proses pendakian yg akan saya lakukan. Saya terlalu excited , euforia berlebih bahkan saat saya belum juga tiba di Jambi.

Menanti jam keberangkatan di bandara Soetta

Antri Bagasi dan Boarding di bandara Soetta

Jam 9.00 kami tiba di Terminal I C bandara Soetta dan segera bergabung dengan rekan-rekan kami yg lain yg sudah lebih dulu tiba. Tim kami dari Jakarta seluruhnya berjumlah 12 orang. Kami bertiga dr KPK Bogor ditambah rekan KPK lain yaitu Coro, Nandar, Ipul, Adin, Afri, Deni, Budi, Ivan, Fitri dan Desi. Nama yg terakhir disebut karena satu dan lain hal tidak ikut bergabung dalam tim.  Menurut jadwal yg sudah kami susun, kami akan terbang dengan maskapai Citilink jam 11.00. Tapi karena terjadi sedikit persoalan diluar kendali kami akhirnya hanya Husna yg berangkat sesuai jadwal, sedangkan anggota tim yg lain termasuk saya baru terbang dengan pesawat yg sama dengan jam keberangkatan pukul 16.10. Jam 12.35 Husna menghubungi saya bahwa dia telah landing di bandara Sultan Thaha Jambi dan langsung ber-koordinasi dg Catur---kakak kelas saya di kampus dulu sekaligus tuan rumah bagi tim kami---untuk mengurusi keperluan perbekalan, logistik serta travel yg akan membawa kami menuju basecamp (BC) Kerinci di Kayu Aro. Kami ber-sebelas yg masih di Soetta baru boarding jam 15.10. Agak tergesa kami menyelesaikan urusan boarding ini karena sudah mepet dengan jadwal take off pesawat. Ada beberapa barang bawaan kami yg di sita petugas bandara karena dianggap membahayakan penerbangan. Cuaca cerah berawan mengiringi penerbangan kami menuju Jambi. Tepat pukul 17.15, setelah satu jam, pesawat landing di bandara Sultan Thaha, guncangan saat pesawat landing membangunkan saya dari tidur-tidur ayam.


Saya, Ivan dan Budi di Bandara Jambi (24/8/2014)
Hujan gerimis menyambut kami saat menuruni tangga pesawat menuju ruang bagasi pengambilan barang. Sempat beberapa dari kami berfoto dibandara. Sempat juga kami bertemu dengan rombongan pendaki lain yg juga akan menuju Kerinci. Setelah seluruh barang-barang kami ambil dari bagasi kami keluar menuju pelataran bandara. Segera saya hubungi Catur dan Husna, mengabari kami sudah landing. Sambil menunggu travel jemputan, kami shalat dan membereskan peralatan. Pukul 18.35 jemputan kami datang, sebuah minibus tipe elf berkapasitas 10 orang. Kami muat seluruh carrier dibagian belakang lalu meluncur menuju kantor travel jemputan kami dimana Catur dan Husna sudah menunggu. Pukul 19.30 setelah briefing singkat kami melanjutkan perjalanan menuju Sungai Penuh. Bergabung pula dua rekan Catur yaitu Handoko dan Mul dalam tim pendakian kami. Tim kami sekarang berjumlah 15 orang dan terbagi di 2 minibus. Ongkos yg harus kami bayar untuk menuju Sungai Penuh sebesar 120rb per orang. Kami sempat singgah di sebuah rumah makan pukul 22.00. Ini merupakan makan kami yg kedua sejak pagi tadi---karena mengejar waktu kami benar-benar tidak sempat untuk makan. 30 menit kemudian perjalanan kami lanjutkan. Jalanan berkelok-kelok dalam gelap malam yg minim penerangan membuat perjalanan sangat membosankan, akhirnya saya telan sebutir antimo, efeknya saya pun tertidur pulas, tak peduli seperti apa guncangan kendaraan.
Kurang lebih pukul 4.30 kami tiba di Sungai Penuh. Dengan mata yg masih mengantuk kami bongkar dan pindahkan barang bawaan menjadi satu kendaraan saja dan jelas membuat kami terpaksa berhimpit-himpitan, berbagi tempat dengan carrier-carrier. Kami putuskan menggunakan satu kendaraan saja untuk menuju Kayu Aro / Kersik Tuo untuk menghemat pengeluaran---normalnya kendaraan untuk menuju Kayu Aro / Kersik Tuo baru ada pukul 7.00 pagi, karena kami tiba terlalu dini, daripada menunggu terlalu lama kami bernegosiasi dengan minibus travel yg kami tumpangi agar mengantar kami langsung ke Kayu Aro dengan charge tambahan---akhirnya di sepakati tarif tambahan sebesar 30.000 rupiah per orang.

Di Tugu Macan --- Ikon Kersik Tuo

 Cuaca pagi tanggal 21 Agustus mendung berkabut. Perkebunan teh yg menjadi ciri khas daerah Kayu Aro terhampar luas sejauh mata memandang. Nampak pula walau sesekali tertutup kabut, tujuan kami, Gunung Kerinci, berdiri kokoh menjulang sendirian seperti penjaga dalam beku udara pagi yg saat itu bersuhu 10°C, saya benar-benar terhipnotis melihatnya. Secara spontan saya keluarkan Canon 60D dalam tas, men-setting-nya, lalu mulai mengambil gambar-gambar. Pukul 6.30 setelah 12 jam yg melelahkan kami tiba di Simpang Tugu Macan yg menjadi ikon Kersik Tuo---sebenarnya akan lebih mudah dan singkat perjalanan yg kami tempuh jika kami lewat Padang, lebih singkat 6 jam, hanya saja harga tiket pesawatnya jauh lebih mahal (bisa dua kali lipat harga tiket ke Jambi). Gunung Kerinci ini walau masuk wilayah provinsi Jambi namun lebih mudah dan dekat di akses via Padang. Gunung berapi aktif tertinggi di Indonesia ini masuk wilayah Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh, Kecamatan Kayu Aro dan termasuk dalam area Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seperti halnya Danau Gunung Tujuh dan Danau Kaca, sayang saya tidak kunjungi dua tempat yg disebut terakhir karena kelelahan.
 Kami turunkan semua barang bawaan kami lalu kami berfoto-foto di tugu tersebut dengan tubuh menggigil karena dingin yg menggigit. Kurang lebih pukul 7.30 kami melanjutkan perjalanan ke pos pendakian, untuk menghemat tenaga kami menumpang angkot menuju jalanan terakhir tempat start pendakian. Angkot disini berupa mobil-mobil Mitsubishi L300 warna putih atau colt bak L300. Setelah bernegosiasi disepakati ongkosnya 120rb untuk kami ber-lima belas. Ada bagusnya kami naik angkot sebab jika memutuskan jalan kaki kami harus menempuh jarak 5-6 kilometer di bawah udara dingin yg tentunya akan menguras tenaga. Kami turun dr angkot setelah aspal jalan habis dan jalanan menjadi buntu. Di ujung jalan terdapat sebuah bedengan dr bambu.
Bongkar, susun dan masak di jalan  menuju Pintu Rimba (21/8/2014)



Berpose sebelum memulai pendakian (21/8/2014)

Kami manfaatkan bedengan itu untuk mem-packing ulang sekaligus mendistribusi barang bawaan kami dan memasak sarapan sebelum kami mulai mendaki. Husna di daulat jadi chef master kami selama pendakian berlangsung, dengan di bantu Afri, Fitri dan Iyan. Saat kami sedang memasak datanglah seorang laki-laki berjaket parka orange menanyakan tujuan kami. Rupanya laki-laki tersebut---belakangan kami ketahui bernama Levi---adalah petugas TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat). Dia menanyakan Simaksi (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) kami. Karena kami belum mengantongi Simaksi dia meminta kami melengkapi dulu persyaratan pendakian. Kami membayar Rp.2.500,-/orang untuk mendapatkan Simaksi TNKS. Levi menjelaskan bahwa seharusnya kami mendaftar dulu ke basecamp---letak basecamp Kerinci itu memang tidak persis berada di simpang Tugu Macan melainkan 400-500 meter ke arah timur disebelah kanan jalan arah Padang, sehingga banyak calon pendaki yg sering kali tidak mendaftar---dia juga menawarkan agar barang-barang yg belum akan kami gunakan agar dititipkan di BC. Kami menerima tawarannya, lumayan untuk mengurangi beban bawaan dalam carrier---dalam perjalanan pulang kami menyempatkan mampir dan bermalam di BC. Luar biasa suasana hangat di BC Kerinci, para volunteer dan petugasnya begitu ramah dan bersahabat---welcome deh pokoknya. Kami bebas masak, menyeduh kopi dan teh khas Kayu Aro, mandi, men-charge HP, menggunakan sarana yg ada dan tersedia di BC. Kami pun tidak dipatok  tarif tertentu sebagai pengganti fasilitas yg kami dapat itu, cukup seikhlasnya saja sesuai kemampuan kami.

Base Camp Gunung Kerinci di Kayu Aro (24/8/2014)
Di Depan Basecamp Kerinci Kayu Aro (24/8/2014)
Saya di Gerbang Selamat Datang (21/8/2014)
Setelah kami selesai makan dan menyelesaikan urusan administrasi, kami mulai mendaki. Saat itu pukul 10.30, lebih awal 2 jam dari jadwal awal kami untuk mulai mendaki. Cuaca cukup cerah. 10 menit awal jalur pendakian adalah ladang penduduk lalu kami menemui gerbang selamat datang. 5 menit dari gerbang, disebelah kanan jalur akan ditemui plang bertuliskan Pintu Rimba 1800 mdpl, disebelah kiri terdapat bangunan permanen yg sudah rusak dan tidak terawat, sepertinya bekas kamar mandi. Pintu Rimba adalah awal pergantian jalur dari ladang menjadi hutan belantara tropis yg lembab. Benar-benar seperti gerbang dunia lain, terangnya ladang secara drastis berganti gelap hutan, tinggi dan rimbunnya hutan menambah dingin udara. Belum lagi kontur trek yg berupa tanah lembab yg akan langsung berubah menjadi trek lumpur jika terguyur hujan.


Pos I Bangku Panjang (21/8/2014)

Ada beberapa rintangan pohon tumbang yg harus kami lewati. Kondisi trek saat kami lintasi siang itu becek. 30 menit lepas Pintu Rimba kami tiba di Pos I Bangku Panjang 1885 mdpl pukul 11.20.  Terdapat bedengan yg masih cukup baik untuk berteduh berukuran 4x4 meter serta pelataran menyerupai bangku. Tim melakukan break selama 15 menit sebelum melanjutkan pendakian. Jalur menuju Pos II sedikit lebih curam dan tetap becek berlumpur. Pos II bernama Batu Lumut, berada di ketinggian 2.020 mdpl.

Break di Pos II Batu Lumut (21/8/2014)

Pos ini kami capai pukul 12.10. Di pos ini kami break 20 menit, tidak ada bangunan untuk berteduh, hanya tanah lapang yg cukup untuk membangun 4-5 tenda saja. Pukul 12.35 kami lanjutkan pendakian. Trek selepas Pos II bertambah curam, tanah berlumpur membuat perjalanan menjadi berat. Dan pukul 13.00 hujan turun dengan derasnya, tiba-tiba, membuat tim agak kelabakan sebab posisi kami yg sangat tidak ideal untuk membuka camp. Untuk mencegah kami lebih basah, kami membuka flysheet yg saya bawa dan membuat bivak darurat untuk berteduh. 1 jam kami menunggu namun hujan tak kunjung reda sementara dingin semakin menusuk akhirnya kami memutuskan untuk terus lanjut menuju Pos III. Setelah kami bereskan peralatan dan bivak, pukul 14.10 kami mulai berjalan menembus hujan. Trek curam, licin dan berlumpur dengan aliran air yg cukup deras kami terjang. Persis trek pendakian Gunung Salak. Saya, Iyan dan Ipul sempat melihat hewan sejenis pacet berukuran super besar, tak kurang panjangnya 20cm, berwarna merah darah, merayap seperti ulat jengkal persis di antara lumut dan batu di sebelah kanan jalur. Agak takut kami dibuatnya, maklum, pacet terbesar yg pernah saya lihat hanya berukuran tak lebih dari 5cm.

Break makan siang di Pos III (21/8/2014)

 Beberapa menit menjelang Pos III trek yg kami lalui mirip sekali dengan kontur Tanjakan Seruni di Gunung Ciremai di Jawa Barat, hanya ditambah kesulitannya dengan aliran air dan lumpur licin. Pukul 14.40 kami tiba di Pos III Pondok Panorama 2.225 mdpl. Di Pos III selain terdapat bedengan berukuran 2x3 meter juga terdapat sumber air 200 meter turun di sebelah kiri jalur. Disini kami masak untuk asupan energi setelah di hajar hujan. Perkiraan suhu sekitar 12-15°C, matahari sempat muncul sebentar memberi kehangatan untuk tubuh kami yg basah. Selesai makan kami berembuk untuk menentukan langkah selanjutnya. Kami bersepakat untuk terus melanjutkan pendakian dan akan membangun camp di Shelter I.

Kondisi trek yg becek dan berlumpur nyaris sepanjang perjalanan (21/8/2014)
Perjuangan yg berat menuju atap Sumatra (22/8/2014)


Kami terbagi atas dua tim. Tim pertama / advance berangkat lebih dulu untuk membuka camp dan menyiapkan tempat istirahat. Tim kedua membereskan peralatan bekas masak dan jalan belakangan. Saya ikut di tim advance. Pukul 16.10 kami mulai melanjutkan pendakian dengan masih dibawah guyuran hujan. Kondisi jalur selepas Pos III "juara" deh tingkat kesulitannya. Berjalan diatas kubangan lumpur dengan variasi tanjakan-tanjakan dimana lutut bertemu dengan dagu mejadi hal yg harus "diterima dengan ikhlas" oleh kami. Belum lagi tangan kami harus terampil memilih pegangan agar tak jatuh. Benar-benar menguras tenaga, seluruh rain coat kami kotor, carrier menjadi bertambah berat karena basah dan sepatu saya yg waterproof-pun akhirnya tembus padahal sudah dilapis gaiter juga. Dan ternyata teman-teman yg lain pun bernasib sama sepatunya seperti saya. Maklum kubangan lumpur di trek dalamnya mencapai 5-10cm. Setelah nyaris 2 jam "bertempur" dengan trek yg aduhai itu kami tiba di Shelter I di ketinggian 2500 mdpl tepat pukul 18.10. Segera kami buka tenda dan masak besar. Hujan pun turun lagi menemani istirahat kami malam ini. Nyaris setara dengan ketinggian Gunung Prau di Wonosobo lokasi camp kami malam ini.

Camp kami di Shelter I (22/8/2014)
Menjemur alat dan pakaian yg basah di Shelter I (22/8/2014)
Dapur kami di Shelter I (22/8/2014)
Tanggal 22 Agustus, pagi yg dingin dan cloudy, udara dingin dan lembab bekas hujan semalam masih terasa....tapi kami paksakan keluar tenda untuk menjemur peralatan yg basah bekas hujan semalam. Sesekali matahari muncul dan menghilang tertutup kabut. Shelter I ini merupakan bidang tanah yg sangat luas, cukup untuk membangun 20-30 tenda, namun kondisi tanahnya sangat mudah berubah menjadi lumpur jika turun hujan. Pukul 11.00 setelah kami selesai sarapan dan packing  kami melanjutkan pendakian menuju Shelter II, ini merupakan perjalanan terpanjang dari seluruh trek yg ada di Kerinci. Selain trek terpanjang, perjalanan menuju Shelter II juga merupakan trek "tersadis", lumpur yg dalam, licin dan menyerupai kubangan-kubangan badak harus kami lewati selama 1 jam awal. Belum lagi tanjakan-tanjakan putus yg sangat banyak kami temui, membuat saya semakin stress---tanjakan putus adalah istilah yg saya buat jika bertemu dengan trek yg tiba-tiba terputus karena tinggi bidang undakan mencapai 80cm lebih vertikal.
Rintangan awal selepas Shelter I (22/8/2014)


Beban berat vs Medan berat --- menuju Shelter II (22/8/2014)

Salah satu "tanjakan putus" saat tim menuju Shelter II (22/8/2014)
Kubangan lumpur yg menanjak (22/8/2014)
Bertemu dengan trek seperti ini keterampilan dan kekuatan tangan menjadi kunci agar kami bisa melewatinya. Kurang lebih pukul 15.00 kami tiba di Shelter II, 3100 mdpl, sebidang tanah yg hanya cukup untuk membangun 2 tenda. Ada juga bidang-bidang lain yg berada di sekitarnya yg bisa digunakan untuk membuka tenda. Terdapat sumber air di sebelah kiri turun dr jalur sejauh 30 menit PP.

Break sejenak dalam perjalanan menuju Shelter II (22/8/2014)

Break untuk makan siang di Shelter II (22/8/2014)

 Sesuai kesepakatan kami sejak di Shelter I, di Shelter II ini kami hanya akan break untuk masak dan makan saja. Pukul 16.30 tim advance berangkat menuju Shelter III untuk menyiapkan tempat beristirahat dan camp. Ternyata trek selepas Shelter II jauh lebih parah lagi...istilahnya kali ini "dengkul ketemu jidat". Kekuatan tangan untuk membantu menopang dan menarik tubuh kami yg berat oleh carrier murni dibutuhkan. Nyaris semua bagian tubuh kami harus "bekerja sama" agar bisa melewati rute ini. Fokus dan tetap hati-hati walau dalam kondisi lelah juga harus terus di jaga, mengingat salah langkah apalagi terpeleset jatuh akan sangat fatal akibatnya. Pada beberapa titik kami menggunakan alat bantu berupa webbing dan tali Kernmantel. Setelah 1 jam yg "menakutkan" kami tiba di Shelter III, sebuah bidang lapang di ketinggian 3351 mdpl.

Camp kami di Shelter III (23/8/2014)

Jam G-Shock saya menunjukkan pukul 17.45. Suhu udara terukur 8°C. Angin kencang berkabut menyambut kedatangan kami di Pos III ini yg juga merupakan batas vegetasi sebelum puncak. Tak berlama-lama kami segera membuka tenda dengan di koordinir oleh Nandar dan Dani. Kami bergerak cepat membangun camp sebab selain angin yg kencang juga mengingat ketinggian lokasi camp kami yg setara dengan Puncak Gunung Sumbing pastinya akan menjadi sangat dingin. Dan ini merupakan lokasi camp tertinggi yg pernah saya bangun. Puncak Kerinci yg merupakan atap Pulau Sumatra tampak jelas dari sini. Berbalik ke belakang nampak indah pemandangan perkotaan dengan kerlap kerlip cahaya lampu. Di Shelter III ini juga terdapat sumber air yg terletak ke sebelah kiri jalur, kurang lebih 15 menit PP. Semakin malam suhu terus menurun, jam 23.00 saja sudah di angka 2-3°C. Menjelang tengah malam kami beristirahat.

Tanggal 23 Agustus, saya bangunkan teman-teman yg lain pukul 3.00 dini hari untuk bersiap-siap summit. Husna memasak bubur kacang hijau dan roti untuk energi kami nanti. Suhu udara di dinihari ini terukur -3 (minus tiga) dari termometer digital yg dipakai Budi. Angin kencang masih saja menemani kami, bahkan lebih kencang dari kemarin sore. Tepat pukul 5.15 kami mulai berjalan untuk summit. Trek awal berupa pasir dan kerikil kecil. Kami berjalan agak menunduk untuk mengurangi terjangan angin sebab posisi kami terbuka tanpa perlindungan. Kami berjalan rapat beriringan.

Sunrise saat kami menuju Tugu Yuda (23/8/2014)
Berdoa sejenak di Tugu Yuda (23/8/2014)

Pukul 6.00 sunrise pun muncul, kami berhenti sejenak untuk mengabadikan momen. 1,5 jam kemudian sejak kami meninggalkan Shelter III kami tiba di Tugu Yuda, memorial monumen untuk pendaki yg hilang dan tak pernah ditemukan lagi yg bernama Yuda Sentika. Kami sempat berfoto dan berdoa untuk beliau. Dari Tugu Yuda ini Puncak Kerinci tinggal membutuhkan waktu 30 menit lagi.


Berjuang bersama menuju Puncak Kerinci selepas Shelter III (23/8/2014)

 Dengan sisa-sisa tenaga dan napas yg sudah berat dan terengah-engah kami paksakan kaki-kaki kami yg lelah untuk terus bergerak menuju puncak. Oksigen yg semakin tipis membuat kami berhenti melangkah setiap 5-10 langkah. Berhenti untuk sekedar menarik napas dan menghimpun tenaga yg masih ada. Saya semangati diri sendiri---berbicara dengan diri bahwa saya sudah tiba di Kerinci, mendaki hingga dititik ini, jangan menyerah, kamu bisa, ayo kamu bisa, ingat perjuangan dan upaya yg sudah saya lakukan, masa iya mau menyerah, tanggung!--- Alhamdulillah tepat pukul 7.15 tanggal 23 Agustus 2014 kami berhasil menjejak puncak Kerinci, titik tertinggi Pulau Sumatra. Seluruh anggota tim berhasil summit. Kami semua saling memberi selamat, termasuk kepada pendaki-pendaki lain yg mendaki berbarengan dengan kami. Sujud syukur lalu air mata saya tak terbendung, cukup lama saya menangis karena haru. Hampir tak percaya tubuh lemah saya bisa berdiri di ketinggian 3805 mdpl. Sebuah perjalanan yg panjang dan berat. Kerinci....Gunung Berapi Aktif tertinggi di Indonesia....titik tertinggi yg sulit untuk digapai jika hanya bermodal nekat. Diperlukan kekompakan tim, perbekalan dan peralatan yg memadai, kesungguhan mental dan fisik yg benar-benar prima untuk menggapainya.

Di Puncak Kerinci 3805 mdpl

Kami berdiri di atap Sumatra

Saya, Husna dan Iyan di atap Pulau Sumatra (23/8/2014)

Alhamdulillah bisa berdiri di titik tertinggi  Sumatra (23/8/2014)

Saya dan rekan-rekan beruntung bisa berdiri disini. Terima kasih Ya Rabb...sungguh tiada banding ciptaanMu...semakin membuka jendela pikiran saya bahwa kami benar-benar kecil dan tak berdaya untuk menggapainya jika tak ada kemurahan dan ijinMu. 40 menit kami menikmati suasana puncak dan berfoto-foto sebelum kembali turun menuju BC.
Pemandangan di puncak sebelum badai kabut (23/8/2014)

Turun dari Puncak---mulai datang badai kabut dan angin (23/8/2014)

Walau kami dihajar badai angin dan kabut yg luar biasa dingin dalam perjalanan turun sehingga banyak dari kami yg drop namun keseluruhan kami berhasil turun dengan selamat tanpa kurang suatu apapun hingga tiba di BC pukul 19.30.
-----End of Journey-----
----20-25 Agustus 2014----
Saya ucapkan terima kasih yg sebesar-besarnya untuk rekan-rekan sependakian ini :
Husna, Iyan, Nandar , Catur, Adin, Ivan, Budi, Coro, Handoko, Ipul, Mul, Dani, Afri dan Fitri.
Tanpa kalian dan kerjasama yg solid mungkin saya tidak akan bisa menjejak Puncak Kerinci 3805 mdpl.
Semoga Allah berkenan memberi kita kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat indah ciptaanNya yg lainnya. Amin YRA.

Terima kasih juga untuk para Volunteer BC Kerinci yg sudah menerima kami dengan sangat baik : Bang Sutriandi Katoh, Bang Levi dan kawan-kawan.



Self Pose di Tugu Macan


Becek lumpur yg harus kami lewati...dalam dan berat
Korban "ganasnya" trek pendakian
Tercapainya sebuah mimpi

Selasa, 19 Agustus 2014

Into Thin Air --- Bab VIII

CAMP SATU --- 16 APRIL 1996 --- 19.500 KAKI

Sesaat sebelum fajar menyingsing, hari Selasa pada 16 April, setelah beristirahat dua hari di Base Camp, kami berjalan ke arah Jeram Es untuk memulai perjalanan kedua sebagai bagian dari program aklimatisasi. Saat aku berjalan dengan perasaan  cemas ke arah kekacauan yg dingin dan berdesah itu, aku menyadari bahwa sekarang pernapasanku terasa lebih ringan dibanding dengan saat pertama ketika aku mendaki gletser ini; sepertinya tubuhkuu sudah mulai beradaptasi dengan ketinggian. Namun, ketakutan untuk tertimpa serac yg jatuh, masih sama besar dengan ketakutanku tiga hari yg lalu.
      Aku cuma berharap bahwa menara raksasa yg tergantung miring di ketinggian 19.000 kaki itu---yg oleh pendaki anggota tim Fischer dinamai perangkap tikus---sekarang sudah tumbang; nyatanya dia masih tegak disana, bahkan letaknya semakin condong. Sekali lagi napasku hampir terhenti saat aku tergesa-gesa mendaki untuk menghindari bayangannya yg menakutkan, dan sekali lagi aku roboh ke atas lutut sesaat setelah aku tiba di puncak bongkahan es tersebut, berusaha keras untuk menarik napas, dan gemetar karena derasnya adrenalin yg mengalir di pembuluh darahku.
      Tidak seperti perjalanan aklimatisasi kami yg pertama, ketika kami hanya tinggal di Camp Satu kurang dari satu jam sebelum turun kembali ke Base Camp, kali ini Rob bermaksud menginap dua malam di Camp Satu, yaitu Selasa dan Rabu, sebelum meneruskan ke Camp Dua dan menginap disana selama tiga malam, baru kemudian turun kembali ke Base Camp.
      Pukul 09.00 pagi, ketika aku tiba di lokasi Camp Satu, Ang Dorje*, sirdar* pendakian kami, sedang meratakan permukaan yg akan dipakai untuk mendirikan perkemahan di lereng gunung yg tertutup es yg sudah mengeras. Pendaki yg berusia dua puluh sembilan tahun itu bertubuh kurus, wajahnya halus, sifatnya pemalu dengan temperamen yg berubah-ubah, tetapi kekuatan fisiknya  benar-benar menakjubkan. Sambil menunggu  kedatangan teman-temanku, aku memungut sebuah sekop yg tidak terpakai dan  mulai membantunya menggali. Baru beberapa menit aku sudah kelelahan dan terpaksa duduk untuk beristirahat, memaksanya mengeluarkan tawa dari perut dan bertanya dengan suara menggoda, "Anda kurang sehat Jon? Ini baru Camp Satu, enam ribu meter. Udara disini masih cukup tebal."
      Ang Dorje berasal dari Pangboche, sebuah permukiman yg terdiri atas beberapa rumah batu dan beberapa petak ladang kentang yg menempel di lereng gunung yg terjal pada ketinggian 13.000 kaki. Ayahnya seorang pendaki Sherpa yg dihormati yg mengajari Ang Dorje teknik-teknik dasar memanjat gunung ketika usianya masih sangat muda, supaya Ang Dorje bisa memiliki keahlian yg bisa dipasarkan. Ketika usianya mencapai belasan tahun, ayahnya menjadi buta karena terserang katarak dan Ang Dorje ditarik dari sekolah supaya bisa mencari nafkah untuk keluarga.
      Pada 1984, saat bekerja sebagai pembantu juru masak untuk sekelompok penjelajah Barat, Ang Dorje menarik perhatian sepasang pendaki Kanada, Marion Boyd dan Graem Nelson. Menurut cerita Boyd, "Saya merindukan anak-anak saya, dan setelah lebih mengenalnya, Ang Dorje mengingatkan saya kepada anak lelaki saya yg sulung. Dia anak yg cerdas, menarik, punya minat besar untuk belajar dan sangat teliti. Ketika itu, dia sering ditugaskan membawa beban yg berat dan ditempat-tempat yg tinggi setiap hari hidungnya selalu berdarah. Saya mulai tertarik."
       Setelah mendapatkan restu dari ibu Ang Dorje, Boyd dan Nelson membantu Sherpa muda itu agar dia bisa kembali ke bangku sekolah. "Saya tidak akan lupa saat dia mengikuti ujian sekolah (untuk masuk ke sekolah dasar di Khumjung, yg didirikan oleh Sir Edmund Hillary). Tubuhnya sangat kecil dan berkembang. Kami harus duduk berdesak-desakan disebuah ruang kecil bersama-sama dengan kepala sekolah dan empat orang guru. Ang Dorje berdiri ditengah ruangan dengan lutut gemetar saat dia harus mengingat kembali pelajaran formal yg pernah dia peroleh agar bisa lulus ujian lisan ini. Kami semua menunggu dengan perasaan cemas...ternyata dia diterima dengan syarat dia harus duduk dikelas satu bersama anak-anak lain yg lebih kecil.
       Ang Dorje ternyata murid yg pandai, dan dia menyelesaikan sekolahnya sampai setingkat dengan kelas delapan, kemudian keluar dari sekolah dan kembali ke dunia mendaki dan lintas alam. Boyd dan Nelson, yg beberapa kali kembali ke Khumbu, menyaksikan Ang Dorje kecil tumbuh dewasa. "Setelah kenal dengan makanan bergizi, tubuhnya mulai berkembang, dia menjadi tinggi dan kuat," kenang Boyd. "Dengan bersemangat Ang Dorje menceritakan kepada kami bahwa dia belajar berenang di sebuah kolam renang di Kathmandu. Ketika berusia sekitar dua puluh lima tahun, dia belajar naik sepeda, dan untuk sesaat, menyukai musik-musik Madonna. Kami sadar bahwa dia sudah dewasa ketika dia membawakan kami hadiah, sebuah karpet Tibet yg dipilihnya dengan cermat. Dia ingin menjadi pemberi, bukan penerima."
       Ketika reputasi Ang Dorje sebagai pendaki yang kuat dan andal terdengar oleh para pendaki Barat, dia di angkat menjadi sirdar, dan pada 1992, dia bekerja  untuk Rob Hall di Everest. Saat ekspedisi Hall tahun 1996 berlangsung, Ang Dorje sudah tiga kali menaklukkan puncak. Dengan nada hormat bercampur sayang, Hall selalu menyebutnya sebagai "orang andalan saya," dan berkali-kali dia mengatakan bahwa Ang Dorje sangat berperan dalam suksesnya ekspedisi kami.
     Matahari bersinar sangat cerah ketika rekanku yang terakhir tiba di Camp Satu, tetapi tepat tengah hari, sekelompok awan tipis tertiup angin dari arah selatan; dan pada pukul tiga sore, awan tebal berputar-putar di atas gletser. Tak lama kemudian, butiran-butiran salju mulai turun di atas perkemahan menimbulkan suara yang sangat bising. Badai tidak berhenti sampai malam; pagi harinya, ketika aku merangkak dari tempat perlindungan yang kutempati bersama Doug, salju yang tingginya hampir satu kaki menutupi gletser. Lusinan longsoran salju meluncur cepat dari lereng gunung yang curam di atas kami, untungnya perkemahan kami berada diluar jangkauan longsoran itu.
     Selasa pagi pada 18 April, ketika langit sudah tampak cerah kembali, kami mulai berkemas dan melanjutkan perjalanan menuju Camp Dua, empat mil dan 1.700 kaki vertikal di atas kami. Rute yang kami lalui membawa kami ke dasar Lembah Cwm Barat yang landai, ngarai tertinggi dimuka bumi, sebuah ceruk berbentuk tapal kuda yang menjorok dari jantung Everest dekat Gletser Khumbu. Gunung Nuptse dengan ketinggian 25.790 kaki merupakan batas kanan dari Lembah Cwm, punggung barat daya Everest merupakan batas kiri, sedangkan bagian muka dari Puncak Lhotse yang besar dan tertutup es berada di utaranya.
     Udara benar-benar dingin saat kami meninggalkan Camp Satu, dan kedua tanganku berubah menjadi cakar-cakar yang kaku dan terasa nyeri, tetapi, ketika sinar matahari mulai menyinari sungai es, dinding-dinding Cwm yang tertutup butiran-butiran es menangkap dan memantulkan sinar matahari bagaikan sebuah oven matahari yang besar. Dalam sekejap seluruh tubuhku sudah berkeringat, dan karena aku takut terserang migrain yang pernah menyerangku saat di Base Camp, aku langsung membuka seluruh pakaian atas termasuk baju dalamku, kemudian memasukkan sekepal salju ke bawah topi bisbolku. Selama tiga jam berikutnya, aku berjalan perlahan tetapi mantap mendaki gletser, berhenti sebentar untuk minum dari botol air yang kubawa dan menganti gumpalan salju dibawah topiku setiap kali salju tersebut mulai mencair membasahi gumpalan rambutku.
      Pada ketinggian 21.000 kaki, pusing karena panas, aku tiba didepan sebuah objek yang mengenakan selimut plastik berwarna biru ditepi jalan yang kami lalui. Perlu satu atau dua menit, sebelum sel-sel otak kelabuku yang terganggu oleh ketinggian memahami bahwa objek dihadapanku adalah sesosok mayat. Terkejut dan terguncang, aku menatap mayat itu selama beberapa menit. Malam itu, ketika aku menanyakan kepada Rob tentang mayat tersebut, jawabannya sedikit ragu-ragu. Seingatnya mayat itu adalah mayat seorang warga Sherpa yang tewas tiga tahun lalu.
      Camp Dua berdiri pada ketinggian 21.300 kaki, terdiri atas kira-kira 120 tenda yang tersebar di atas morena sisi yang memanjang di tepi gletser. Dampak dari ketinggian kurasakan dikepalaku yang langsung berputar, seperti orang yang baru bangun setelah mabuk berat karena minum anggur merah. Serangan sakit kepala membuatku kehilangan nafsu makan, tidak bisa membaca, dan selama dua hari aku lebih banyak berbaring ditendaku dengan kedua tangan memeluk kepala, berusaha membatasi gerakanku sesedikit mungkin. Sabtu pagi, setelah aku merasa lebih sehat, aku mulai mendaki beberapa ribu kaki di atas perkemahan untuk latihan dan mempercepat proses aklimatisasi, dan ditempat itu, dipuncak Cwm, lima puluh kaki diluar jalur yang kulalui, aku melihat lagi sesosok mayat yang sedang berdiri diatas salju, atau lebih tepatnya, bagian bawah dari tubuh manusia. Melihat pakaian dan model sepatu boot yang dipakainya, dia pasti orang Eropa, dan mayat itu sudah berada diatas gunung sedikitnya sepuluh atau lima belas tahun.
      Pertemuanku dengan mayat pertama membuat tubuhku gemetar selama beberapa jam; tetapi, guncangan akibat pertemuanku dengan mayat kedua ternyata lebih cepat sirna. Beberapa pendaki yang melewatiku hanya menatap sekilas pada mayat tersebut. Sepertinya, diatas gunung ini sudah ada semacam kesepakatan tidak tertulis untuk berpura-pura mengabaikan mayat yang mulai rusak itu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak nyata---tapi tidak ada satu pendaki pun yang mau mengakui, apa yang dipertaruhkan ditempat ini.

         -------------------------

Hari Senin, 22 April, sehari setelah kembali dari Camp Dua ke Base Camp, Andy Harris dan aku berkunjung ke perkemahan tim Afrika Selatan untuk bertemu dengan tim mereka dan mencari tahu, mengapa mereka mengasingkan diri. Perkemahan mereka berdiri diatas setumpukan puing es, kira-kira lima belas menit dibawah perkemahan kami. Bendera Nasional Nepal dan Afrika Selatan, spanduk iklan Kodak, komputer Apple dan spanduk dari beberapa perusahaan sponsor berkibar diatas tiang yang terbuat dari alumunium. Andy melongokkan kepalanya ke dalam tenda perkemahan, menebarkan senyumnya yangbpaling menawan, dan berteriak, "Halo, ada orang di dalam?"
     Ternyata Ian Woodall, Cathy O'Dowd dan Bruce Herrod sedang berada di Jeram Es, dalam perjalanan turun dari Camp Dua, tetapi pacar Woodall---Alexandrine Gaudine---dan saudara lelaki Woodall, yaitu Phillip, ada diperkemahan. Selain mereka, kami juga bertemu seorang wanita muda ceria yang memperkenalkan diri sebagai Deshun Deysel, yang langsung mengundang Andy dan aku untuk minum teh. Ketiga anggota tim itu sepertinya tidak terganggu oleh laporan tentang perilaku Ian yang tercela, maupun tentang pecahnya tim mereka.
      "Saya mendaki permukaan es untuk pertama kalinya kemarin," kata Deysel dengan antusias, sambil menunjuk ke sebuah bongkah es tempat beberapa pendaki dari beberapa tim ekspedisi berlatih memahat es. "Benar-benar menyenangkan. Saya harap, dalam beberapa hari ini, saya bisa naik sampai ke Jeram Es." Sebenarnya aku ingin bertanya kepadanya tentang kebohongan Ian, dan bagaimana perasaannya saat dia tahu bahwa namanya tidak tercantum dalam anggota tim yang diijinkan mendaki Everest. Namun, dia tampak gembira dan sangat polos sehingga aku tidak berani bertanya. Setelah mengobrol beberapa menit, Andy mengundang seluruh anggota tim, termasuk Ian, "untuk berkunjung ke perkemahan kami dan minim-minum" malam nanti.
      Waktu aku tiba di perkemahan kami, aku menemukan Rob, dr.Caroline Mackenzie dan Inggrid Hunt, dokter dari tim Scott Fischer, sedang terlibat dalam percakapan radio dengan seseorang yang berada jauh di atas gunung. Beberapa saat sebelumnya, dalam perjalanan dari Camp Dua menuju Base Camp, Fischer bertemu dengan salah seorang warga Sherpa yang dia pekerjakan, Ngawang Topche, yang sedang duduk diatas gletser pada ketinggian 21.000 kaki. Selama tiga hari, pendaki veteran berusia tiga puluh delapan tahun yang berasal dari Lembah Rolwaling itu, yang giginya jarang-jarang dan ramah, ditugaskan menjadi kuli angkut dan melakukan tugas-tugas lain di Base Camp, tetapi, rekan-rekannya sesama Sherpa sering mengeluh karena dia hanya duduk-duduk dan tidak melakukan tugasnya.
      Ketika ditanyai Fischer, Ngawang mengakui bahwa sejak dua hari terakhir, dia merasa tubuhnya lemah, kepalanya pening dan napasnya sesak sehingga Fischer memerintahkan agar dia segera kembali ke Base Camp. Namun, warga Sherpa terkenal dengan budaya yang sangat maskulin, akibatnya, banyak pria yang tidak mau mengakui kelemahan fisik mereka. Orang Sherpa tidak boleh rentan terhadap penyakit ketinggian, terutama mereka yang berasal dari Rolwaling, daerah yang terkenal banyak menghasilkan  pendaki andal. Orang-orang yang sakit dan mengakuinya secara terbuka sering dicoret dari daftar calon pekerja untuk tim ekspedisi selanjutnya. Karena itu, Ngawang mengabaikan perintah Scott. Dia tidak turun ke Base Camp, tetapi naik dan menginap di Camp Dua.
      Ketika tiba diperkemahan sore hari itu, Ngawang sudah mulai meracau, terhuyung-huyung seperti orang mabuk, kemudian terbatuk-batuk dan memuntahkan cairan berwarna kemerahan bercampur darah: gejala serangan High Altitude Pulmonary Edema, atau HAPE (membengkaknya paru-paru akibat ketinggian). Penyakit misterius yang mematikan ini kerap menyerang seorang pendaki yang mendaki terlalu tinggi dan terlalu cepat sehingga paru-paru si pendaki tertutup oleh cairan(*1). Satu-satunya kesempatan untuk sembuh adalah membawa korban turun gunung secepat mungkin; jika dia tetap berada ditempat yang sangat tinggi, kemungkinan besar korban tidak akan tertolong dan tewas.
      Tidak seperti Hall, yang bersikeras agar kelompok kami selalu bersama-sama saat mendaki diatas Base Camp, dan dibawah pengawasan ketat dari para pemandu, Fischer memberi kebebasan kepada para kliennya untuk naik atau turun gunung sendirian selama program aklimatisasi berlangsung. Akibatnya, ketika kabar tentang sakitnya Ngawang di Camp Dua sampai ke telinga mereka, empat klien Fischer---Dale Kruse, Pete Schoening, Klev Schoening dan Tim Madsen---sedang ada diperkemahan, tetapi tidak ada satu pemandupun yang ada disana. Tanggung jawab untuk menyelamatkan Ngawang jatuh ke pundak Klev Schoening dan Madsen---petugas pengawas ski dari Aspen, Colorado, berusia tiga puluh tiga tahun ini, belum pernah mendaki melewati ketinggian 14.000 kaki. Perjalanan Madsen kali ini pun karena dibujuk oleh teman wanitanya, Charlotte Fox, seorang veteran Himalaya.
      Ketika aku memasuki tenda utama perkemahan Hall, dr.Mackenzie sedang berbicara di radio, memerintahkan kepada seseorang yang ada di Camp Dua, untuk memberi Ngawang acetazolamide, dexamethasone dan sepuluh miligram nifedipine yang harus diletakkan dibawah lidah...Ya saya tahu resikonya. Pokoknya berikan kepadanya....Dengar, sebelum kita bisa membawanya turun, resiko kematian akibat HAPE lebih besar daripada resiko akibat turunnya tekanan darah karena dia menelan nifedipine. Percayalah kepadaku! Berikan obat-obatan itu! Secepatnya!"
      Sepertinya tidak satupun obat yang dianjurkan Hunt bisa menolong Ngawang, begitu pula ketika tubuhnya dimasukkan ke dalam kantong Gamow---ruangan plastik sebesar peti mati berisi udara yang sudah dimampatkan agar tekanannya menyamai tekanan udara pada ketinggian normal. Ketika hari bertambah gelap, Schoening dan Madsen dengan susah payah mulai membawa Ngawang menuruni gunung dengan menggunakan  kantong Gamow yang sudah di kempiskan sebagai ganti kereta luncur, sementara pemandu Neal Beidleman dan sekelompok Sherpa mendaki secepat mungkin dari Base Camp untuk menyongsong mereka.
     Kelompok Beidleman bertemu dengan kelompok Ngawang di puncak Jeram Es, tepat ketika matahari terbenam, dan mengambil alih upaya penyelamatan, membiarkan Schoening dan Madsen kembali ke Camp Dua untuk meneruskan program aklimatisasi mereka. Paru-paru Ngawang terendam air, kenang Beidleman, "sehingga setiap kali dia bernapas, suara napasnya seperti orang yang menyedot susu dari dasar gelas yang hampir kosong. Ditengah perjalanan dari Jeram Es, Ngawang melepaskan masker oksigennya dan merogohkan tangannya ke dalam untuk membersihkan sejumlah ingus yang menghalangi katup udara. Saat dia menarik lengannya, saya mengarahkan lampu kepala saya ke arah lengannya yang memakai sarung tangan. Sarung tangannya berwarna merah, penuh darah yang dia muntahkan ke dalam masker oksigennya. Kemudian saya menyorotkan lampu ke wajahnya; wajahnya pun sudah tertutup darah.
     "Mata Ngawang bertemu dengan mata saya, dan saya bisa melihat ketakutan disana," lanjut Beidleman. "Setelah berpikir sejenak, saya berbohong dan memintanya untuk tidak cemas. Saya katakan bahwa darah itu berasal dari luka dibibirnya. Kata-kata saya membuatnya sedikit tenang dan kami meneruskan perjalanan ke bawah." Untuk menjaga agar Ngawang tidak terlalu banyak bergerak, yang akan memperburuk edemanya, dibeberapa tempat selama menuruni lereng, Beidleman menggendong Sherpa yang sakit itu di punggungnya. Sesaat setelah tengah malam, mereka tiba di BaseCamp.
      Terhubung terus dengan tabung oksigen dan diawasi ketat sepanjang malam oleh dr.Hunt, keesokan paginya kondisi Ngawang mulai membaik. Fischer, Hunt dan hampir semua dokter yang terlibat merasa yakin bahwa kondisi Ngawang akan terus membaik setelah dia berada di 3.700 kaki lebih rendah dari Camp Dua; dengan membawa korban turun sedikitnya 2000 kaki biasanya mampu menyembuhkan serangan HAPE. Karena itu, Hunt menjelaskan, "kami tidak membahas tentang kemungkinan mengirim helikopter" untuk mengevakuasi Ngawang dari Base Camp ke Kathmandu, yang membutuhkan biaya sampai 5.000 dolar.
      "Sialnya," lanjut Hunt, "kondisi Ngawang tidak membaik. Menjelang tengah hari, kondisinya memburuk lagi." Saat itu, Hunt memutuskan untuk mengevakuasi Ngawang, tetapi waktu itu langit sudah berubah mendung sehingga helikopter tidak mungkin didatangkan.
     Hunt meminta kepada Ngima Kale, sirdar Fischer di Base Camp, untuk mengumpulkan sekelompok Sherpa agar Ngawang bisa dibawa turun ke lembah dengan berjalan kaki. Namun, Ngima menolak usul tersebut. Menurut Hunt, sirdar itu yakin bahwa Ngawang bukan terserang HAPE atau penyakit lain yang terkait dengan ketinggian, "melainkan terserang semacam penyakit gastric---istilah yang dipakai orang Nepal untuk penyakit perut," karena itu, dia tidak perlu diungsikan.
     Hunt membujuk Ngima untuk membiarkan dua Sherpa agar membantunya membawa Ngawang ke tempat yang lebih rendah. Namun, Ngawang hanya bisa berjalan dengan sangat perlahan dan susah payah sehingga setelah berjalan kurang lebih seperempat mil, Hunt harus mengakui bahwa Ngawang tidak bisa berjalan sendiri, dan memerlukan lebih banyak bantuan. Akhirnya dia berbalik dan membawa Ngawang kembali ke perkemahan Mountain Madness, katanya, "untuk memikirkan pilihan-pilihan lain."
     Dari waktu ke waktu, kondisi Ngawang terus memburuk. Ketika Hunt mencoba memasukkannya ke dalam kantong Gamow, Ngawang menolak. Seperti Ngima, dia juga yakin dirinya bukan terserang HAPE. Hunt berkonsultasi dengan beberapa dokter lain yang ada di Base Camp (seperti yang selalu dilakukannya selama ekspedisi berlangsung), tetapi dia tidak pernah punya kesempatan untuk berbicara dengan Fischer: Saat itu Fischer sedang menuju Camp Dua untuk membawa turun Tim Madsen, yang kelelahan setelah membawa Ngawang turun ke Cwm Barat sehingga dia sendiri terserang HAPE. Tanpa kehadiran Fischer, para Sherpa menolak mematuhi perintah Hunt. Semakin lama, situasinya menjadi semakin kritis. Beberapa rekan Inggris yang sama-sama dokter mengatakan, "Inggrid menghadapi masalah yang benar-benar diluar jangkauannya."
    Hunt yang berusia tiga puluh dua tahun baru saja menyelesaikan program sebagai dokter spesialis bulan Juli lalu. Meskipun belum punya pengalaman khusus dalam mengobati penyakit akibat ketinggian, Hunt pernah bekerja sebagai dokter relawan di kaki pegunungan di sebelah timur Nepal. Beberapa bulan sebelumnya, secara kebetulan dia bertemu Fischer yang sedang menyelesaikan perijinan untuk mendaki Everest di Kathmandu. Fischer mengundang Hunt untuk ikut dalam ekspedisi Everest berikutnya sebagai dokter tim sekaligus manajer Base Camp.
      Meskipun di dalam surat yang diterima Fischer bulan Januari Hunt masih belum menentukan sikap, akhirnya Hunt menerima tugas tanpa bayaran tersebut dan bertemu dengan anggota tim di Nepal pada akhir Maret, dan dengan antusias menunggu untuk ikut berperan dalam sukses ekspedisi. Namun, tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai manajer Base Camp sekaligus dokter tim yang beranggotakan dua puluh lima orang membuatnya sangat kewalahan. (Sebagai perbandingan, Rob Hall membayar dua staff yang berpengalaman---Caroline Mackenzie sebagai dokter tim dan Helen Wilton sebagai manajer Base Camp---untuk melaksanakan dua tanggung jawab yang dipikul Hunt sendirian, tanpa bayaran). Masalah Hunt semakin rumit karena selama berada di Base Camp, dia sendiri sulit beraklimatisasi dan terus menerus terserang sakit kepala dan sesak napas.
     Selasa malam, setelah evakuasi dibatalkan dan Ngawang kembali ke Base Camp, kondisi Ngawang bertambah buruk, sebagian karena dia dan Ngima dengan keras kepala menolak upaya-upaya Hunt untuk mengobatinya, dan tetap menganggap bahwa dia tidak menderita HAPE. Sebelumnya, masih dihari yang sama, dr.Mackenzie mengirimkan pesan radio darurat kepada seorang dokter Amerika bernama Jim Litch dan memintanya untuk datang ke Base Camp untuk membantu mengobati Ngawang. Dr. Litch---seorang pakar pengobatan penyakit ketinggian yang dihormati dan pernah mencapai puncak Everest pada 1995---tiba pada pukul 19.00 dari Pheriche, tempat dia bekerja sebagai relawan di klinik milik Himalayan Rescue Association. Dia menemukan Ngawang sedang terbaring disebuah tenda, dirawat oleh seorang Sherpa yang membiarkan Ngawang melepaskan masker oksigennya. Selain terkejut melihat kondisi Ngawang, Litch juga sangat terkejut melihat Ngawang tidak menggunakan masker oksigen. Dia juga tidak mengerti, mengapa Ngawang tidak di evakuasi dari Base Camp. Litch menemui Hunt yang sedang terbaring sakit ditendanya, dan mengutarakan kecemasannya.
     Saat itu Ngawang sudah sangat kesulitan bernapas. Dengan cepat dia diberi napas bantuan dari tabung oksigen, dan sebuah helikopter diminta datang untuk mengevakuasi Ngawang keesokan harinya pagi-pagi sekali, yaitu hari Rabu, 24 April. Awan tebal disusul dengan badai menyebabkan evakuasi dengan helikopter dibatalkan. Akhirnya Ngawang dimasukkan ke dalam sebuah keranjang, dan di bawah pengawasan Hunt, dia digendong oleh beberapa Sherpa menuruni gletser menuju Pheriche.
     Sore itu, kening Hall berkerut menandakan kecemasan. "Kondisi Ngawang sangat buruk," katanya. "Pulmonary edema yang dideritanya benar-benar buruk, kasus terburuk dari yang pernah saya lihat. Seharusnya mereka menerbangkan dia kemarin, ketika masih punya kesempatan. Seandainya salah satu klien Scott yang terserang HAPE dan bukan seorang Sherpa, kupikir penanganannya akan berbeda. Saat Ngawang tiba di Pheriche, kemungkinan semuanya sudah terlambat."
      Ketika Ngawang tiba di Pheriche hari Rabu malam, setelah menempuh perjalanan selama sembilan jam dari Base Camp, kondisinya terus memburuk, meskipun dia terus menerus tersambung dengan tabung oksigen dan sekarang dia berada pada ketinggian 14.000 kaki, ketinggian yang tidak terlalu berbeda dengan ketinggian desa tempat dia menghabiskan hampir seluruh hidupnya. Dengan kebingungan, Hunt memutuskan untuk memasukkan Ngawang ke dalam kantong Gamow, yang sudah disiapkan disebuah penginapan yang letaknya  bersebelahan dengan klinik HRA. Karena takut dan tidak memahami manfaat ruang yang dimampatkan tersebut, Ngawang meminta agar seorang lama agama Budha didatangkan. Sebelum setuju untuk dimasukkan kedalam kantong Gamow, Ngawang meminta beberapa buku doa untuk diletakkan didalam kantong itu bersamanya.
     Supaya kantog Gamow bisa berfungsi dengan benar, seorang perawat harus terus menerus menyuntikkan udara segar kedalam kantong dengan menggunakan pompa kaki. Dua orang Sherpa secara bergiliran memompa, sementara Hunt yang kelelahan memantau kondisi Ngawang melalui sebuah jendela plastik yang terletak dibagian kepala kantong. Sekira pukul 20.00, Jeta, salah seorang Sherpa yang bertugas, mengamati bahwa mulut Ngawang mengeluarkan busa dan dia berhenti bernapas; dengan cepat Hunt membuka kantong tersebut dan menyimpulkan bahwa Ngawang terkena serangan jantung mendadak, kemungkinan besar dia tersedak oleh muntahannya sendiri. Saat Hunt mencoba memberikan resusitasi jantung, dia berteriak memanggil dr.Lary Silver, salah seorang dokter relawan di klinik HRA, yang tinggal diruang sebelah.
     "Saya tiba ditempat itu beberapa detik kemudian," kenang Silver. "Kulit Ngawang tampak biru. Muntahannya tersebar dimana-mana, wajah dan dadanya tertutup cairan muntah berwarna kemerahan. Pemandangan yang benar-benar buruk. Saat si pasien termuntah-muntah, Inggrid memberinya pernapasan dari mulut ke mulut. Saya menaksir sekilas situasi yang saya hadapi, dan berpikir, "jika tidak segera di infus, orang ini akan segera mati.' Saya berlari ke klinik untuk mengambil peralatan gawat darurat,  memasukkan selang ke tenggorokan Ngawang dan dengan paksa memompa oksigen ke dalam mulutnya, pertama dengan menggunakan mulut kemudian dengan pompa manual yang disebut kantong ambu. Sebentar kemudian, denyut nadi dan tekanan darah Ngawang sudah kembali. Namun, sebelum jantungnya berdetak lagi, kurang lebih sepuluh menit, hanya sedikit oksigen yang masuk kedalam otaknya." Dan menurut Silver," Sepuluh menit tanpa bernapas atau tanpa oksigen yang cukup didalam darah sudah cukup untuk menimbulkan  kerusakan saraf yang sangat parah."
     Selama empat puluh jam berikutnya, Silver, Hunt dan Litch, bergiliran memompa oksigen kedalam paru-paru Ngawang dengan menggunakan kantong ambu, dua puluh kali per menit. Setiap kali selang yang dipasang melalui kerongkongan Ngawang tersumbat lendir, Hunt akan menyedot selang itu sampai kosong dengan mulutnya. Akhirnya, pada hari Jumat, 26 April, cuaca berubah baik sehingga Ngawang bisa di evakuasi ke rumah sakit di Kathmandu dengan menggunakan helikopter. Namun kondisinya tidak pernah membaik. Hanya dalam waktu seminggu sejak dia terbaring lemah dirumah sakit, kedua lengan Ngawang tertekuk hebat dikedua sisi tubuhnya karena otot-ototnya menciut dan berat tubuhnya menurun sampai 40 kilogram. Pada pertengahan Juni, Ngawang mengembuskan napas terakhirnya, meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan di Rolwaling.
      Anehnya tidak banyak pendaki di Everest yang tahu tentang kejadian menyedihkan yang menimpa Ngawang, dibanding dengan puluhan ribu orang yang berada jauh dari gunung. Pembelokkan informasi tersebut terjadi karena internet, sehingga bagi kami yang berada di Base Camp, kejadian itu hanya dianggap sebagai sebuah mimpi. Seorang pendaki, misalnya, menelepon ke rumahnya melalui telepon satelit, dan mendengar dari istri atau suaminya  yang berada di Selandia Baru atau Michigan, yang kebetulan menelusuri situs-situs internet dunia, tentang peristiwa yang menimpa tim Afrika Selatan di Camp Dua.
     Sedikitnya lima situs internet mengirimkan "berita (*2)" dari koresponden mereka di Base Camp Everest. Tim Afrika Selatan memiliki situs internet khusus, demikian juga International Commercial Expedition milik Mal Duff. Nova, program televisi milik Public Broadcasting Service (PBS, televisi pendidikan Amerika), memiliki situs  yang setiap hari melaporkan perkembangan terkini di Everest melalui koresponden mereka Liesl Clark dan sejarahwan Everest ternama Audrey Salked, anggota tim ekspedisi MacGillivray Freeman IMAX. (Dipimpin oleh sutradara peraih penghargaan dan pakar pendaki, David Breashers, yang memandu Dick Bass mencapai puncak Everest pada 1985. Tim IMAX ini sedang membuat film layar lebar tentang pendakian Everest dengan biaya produksi yang mencapai 5,5 juta dolar). Ekspedisi yang dipimpin Scott Fischer menempatkan dua koresponden internet yang mengirimkan  laporan pada dua situs internet yang saling bersaing.
      Jane Bromet, yang melaporkan peristiwa  sehari-hari ke situs Outside(*3) melalui telpon, adalah salah satu dari dua koresponden Fischer, tetapi dia bukan salah satu klien Fischer, dan tidak diijinkan mendaki lebih tinggi dari Base Camp. Namun, koresponden internet yang kedua dalam tim.Fischer merupakan klien yang akan mendaki sampai puncak, dan selama dalam perjalanan mengirimkan berita harian untuk NBC Interractive  Media, namanya Sandy Hill Pittman. Digunung itu, Sandy Pittman merupakan pendaki yang paling banyak membuat berita dan paling banyak digosipkan. Pittman seorang miliuner yang selalu haus akan kedudukan sosial, mencoba mendaki Everest untuk ketiga kalinya. Tahun ini, tekadnya untuk mencapai puncak Everest lebih besar daripada sebelumnya, yaitu supaya dia bisa melengkapi penaklukan Tujuh Puncak yang di publikasikan secara luas.
     Pada 1993, Pittman ikut dalam sebuah tim ekspedisi yang dipandu, yang mencoba mencapai puncak Everest melalui Rute Selatan dan Punggung Tenggara. Saat itu dia menimbulkan sedikit kegemparan karena muncul di Base Camp dengan membawa serta putranya yang baru berusia sembilan tahun, Bo, dan seorang pengasuhnya. Saat itu sejumlah masalah menghadang Pittman dan setelah mendaki sampai ketinggian 24.000 kaki dia berbalik dan turuj gunung.
     Dia kembali lagi ke Everest pada 1994 setelah berhasil mengumpulkan hampir seperempat juta dolar uang sumbangan yang berasal dari beberapa perusahaan sponsor untuk mengorbitkan empat pendaki Amerika Utara yang paling andal: Breashers (yang dikontrak oleh televisi NBC untuk memfilmkan ekspedisi), Steve Swenson, Barry Blanchard dan Alex Lowe. Lowe---yang mungkin merupakan pendaki dunia paling andal dan serba bisa---dibayar sangat mahal untuk menjadi pemandu pribadi Sandy Pittman. Mendahului Pittman, keempat pria tersebut memasang rentangan tali sampai ke Puncak Kangshung, rute yang sangat sulit dan berbahaya yang berawal di wilayah Tibet. Dibantu Lowe, Pittman mendaki melalui rentangan tali yang sudah disiapkan sampai ketinggian 22.000 kaki. Sekali lagi dia dipaksa untuk menyerah sebelum mencapai puncak; kali ini kondisi salju yang tidak stabil dan berbahaya memaksa tim tersebut meninggalkan gunung.
     Sebelum bertemu Pittman di Gorak Shep dalam perjalanan menuju Base Camp, aku belum pernah berhadapan langsung dengannya, meskipun dalam beberapa tahun terakhir aku sering mendengar namanya. Pada 1992, Men's Journal menugasiku untuk menulis artikel tentang perjalanan mengendarai motor Harley Davidson dari New York ke San Fransisco ditemani oleh Jann Wenner---jutawan pemilik majalah Rolling Stone, Men's Journal dan Us yang legendaris---dan beberapa temannya yang sama-sama jutawan, termasuk Rocky Hill, kakak lelaki Pittman dan suaminya , Bob Pitman, salah seorang pendiri MTV.
     Motor besar dengan cat krom yang mengilat dan bunyi yang memekakkan telinga yang dipinjamkan Jann kepadaku benar-benar nyaman dikendarai dan teman-teman seperjalananku pun cukup ramah. Namun, aku benar-benar tidak memiliki banyak kesamaan dengan mereka, selain itu, akun juga tidak lupa bahwa aku ikut dalam perjalanan ini sebagai pembantu bayaran Jann. Saat makan malam, Bob, Jann, dan Rocky membandingkan berbagai jenis pesawat terbang yang mereka miliki (Jann menyarankan pesawat jenis Gulf-stream IV, jika suatu saat aku berniat membeli pesawat jet pribadi), membahas tentang peternakan mereka, dan bicara tentang Sandy---yang saat itu sedang mendaki gunung McKinley. "Hai," kata Bob saat dia tahu bahwa aku juga seorang pendaki, "kamu dan Sandy harus mendaki gunung bersama-sama." Sekarang, empat tahun setelah pembicaraan itu, aku benar-benar mendaki bersamanya.
     Dengan tinggi 180 cm, Sandy Pittman 5cm lebih tinggi dariku. Rambutnya yang dipangkas sangat pendek seperti gadis tomboy tampak terawat, bahkan ditempat dengan ketinggian 17.000 kaki. Wanita yang periang dan suka bicara blak-blakan ini dibesarkan di utara California, ditempat itulah Sandy kecil diperkenalkan oleh ayahnya pada kegiatan berkemah, lintas alam dan main ski. Sandy menikmati kebebasan dan kegembiraan yang diberikan oleh udara pegunungan dan meneruskan hobi alam terbuka ini sampai dia masuk perguruan tinggi dan setelahnya, meskipun kunjungannya ke gunung-gunung menurun tajam setelah dia pindah ke New York dipertengahan dekade 1970, setelah perkawinan pertamanya gagal.
     Di Manhattan, Pittman menekuni beberapa karier sekaligus, sebagai staff pembelian untuk Bonwit Teller, editor niaga untuk majalah Mademoiselle dan editor kecantikan untuk majalah Bride dan pada 1979 menikah dengan Bob Pittman. Sebagai sosok yang selalu haus publisitas, secara teratur Sandy menyisipkan nama dan wajahnya dikelompok-kelompok sosial Kota New York. Dia bergaul rapat dengan Blaine Trump, Tom dan Meredith Brokaw, Isaac Mizrahi, Martha Stewart. Agar bisa secara efisien berpindah-pindah dari rumah mewah mereka yang terletak di Connecticut dan apartemen mereka di Central Park Barat yang penuh berisi barang-barang seni dan dilengkapi dengan pelayan berseragam, Sandy dan suaminya membeli sebuah helikopter dan belajar menerbangkannya. Pada 1990, Sandy dan Bob Pittman muncul disampul majalah New York sebagai "Pasangan Masa Kini".
     Tak lama kemudian, Sandy memulai kampanye yang mahal dan luas untuk menjadi wanita pertama yang menundukkan Tujuh Puncak. Namun, puncak yang terakhir ---Everest---ternyata sangat sulit untuk ditaklukkan, bahkan pada Maret 1994, seorang bidan dan pendaki dari Alaska bernama Dolly Lefever yang berusia empat puluh tujuh tahun, mengalahkan Sandy dengan lebih dulu menaklukkan Everest. Meskipun demikian, Sandy tidak mau melepaskan tekadnya untuk menaklukkan Everest.
     Seperti yang dikatakan Beck Weathers di Base Camp pada suatu malam, "jika Sandy mendaki gunung, dia tidak akan melakukannya tepat seperti anda atau saya." Pada 1993, Beck berada di antartika untuk mendaki Gunung Vinson Massif sebagai klien yang di pandu, dan pada saat yang sama, Pittman juga sedang mendaki sebagai anggota kelompok lain yang juga dipandu. Sambil tertawa Beck menceritakan kenangannya, "Dia membawa tas yang sangat besar berisi berbagai makanan lezat; untuk mengangkatnya saja dibutuhkan empat orang. Dia juga membawa televisi portable dan video, supaya dia bisa menonton film di tendanya. Ya, kalian harus mengakui kehebatan Sandy, tidak banyak orang yang mendaki gunung  dengan penuh gaya seperti itu." Beck juga mengaku bahwa Pittman tidak pelit membagi barang-barang yang dia bawa dengan pendaki lain, selain itu "cukup menyenangkan dan menarik untuk berada di dekatnya."
     Untuk pendakian Everest 1996, sekali lagi Pittman membawa peralatan yang jarang dijumpai di perkemahan pendaki lain. Sehari sebelum keberangkatannya ke Nepal, dalam pesan internet pertamanya yang dikirimkan ke NBC Interractive Media, dia menulis:

Semua peralatan pribadi saya sudah selesai dikemas...sepertinya, selain peralatan mendaki, saya juga harus membawa komputer dan peralatan elektronik saya...dua laptop IBM, satu kamera video, tiga kamera 35mm, satu kamera digital merk Kodak, dua tape recorder, satu CD-ROM, satu printer dan solar panel serta batu baterai yang jumlahnya (saya harap) cukup banyak untuk dipakai selama pendakian...Saya juga tidak akan meninggalkan kota tanpa kopi Dean & DeLuca dari Near East dan mesin espresso saya. Karena saat Paskah kami masih akan berada di Everest, saya membawa empat telur cokelat yang sudah dibungkus. Perburuan cokelat paskah di ketinggian 18.000 kaki? Kita lihat saja!

Malam itu, kolumnis rubrik sosial Billy Norwich mengadakan pesta perpisahan untuk Pittman di restoran Nell, dipusat Kota Manhattan. Bianca Jagger dan Calvin Klein masuk dalam daftar tamu yang diundang. Sebagai pecinta kostum, Sandy muncul dengan mengenakan jaket mendaki diatas gaun malamnya, lengkap dengan sepatu gunung, crampon, kapak es dan tas pinggang penuh berisi karabiner.
     Setibanya di Himalaya, Pittman berusaha mempertahankan gaya hidup kelas tingginya. Selama perjalanan menuju Base Camp, setiap pagi, seorang Sherpa muda bernama Pemba akan menggulung kantong tidurnya dan mengemasi ranselnya. Ketika dia tiba di kaki Everest bersama anggota kelompok Fischer yang lain awal April lalu, didalam salah satu kopernya dijumpai setumpuk kliping berisi tulisan media tentang dirinya, yang dia bagi-bagikan kepada para penghuni Base Camp. Selama beberapa hari berikutnya, sejumlah pelari Sherpa secara teratur membawakan bungkusan untuk Pittman yang dikirimkan ke Base Camp melalui DHL Worldwide Express, berisi majalah-majalah Vogue, Vanity Fair, People dan Allure edisi terakhir. Para Sherpa terpesona melihat iklan pakaian dalam dan iklan parfum berupa potongan kertas yang sudah dibubuhi parfum membuat mereka berdecak kagum.
     Tim yang dipimpin Scott Fischer merupakan tim yang menyenangkan dan kompak; hampir semua rekan satu tim nya menerima perilaku Pittman yang eksentrik dan dengan mudah menerimanya ke dalam lingkungan mereka. "Berada disekitar Sandy memang bisa melelahkan karena dia selalu ingin menjadi pusat perhatian dan terus menerus menyombongkan diri," kenang Jane Bromet. "Tetapi, dia bukan orang yang negatif. Dia tidak merusak suasana dalam tim kami. Dia selalu energik dan bersemangat, hampir setiap hari."
     Meskipun demikian, beberapa pendaki ternama yang tidak termasuk dalam tim Fischer menganggap Pittman sebagai pengamat. Setelah kegagalannya menaklukkan Kangshung Face pada 1994, sebuah iklan televisi untuk produk perawatan kulit Vaseline (sponsor utama ekspedisi tersebut) mendapat kritikan pedas dari sejumlah pendaki ternama karena menyebut Pittman sebagai "pendaki kelas dunia". Pittman sendiri tidak pernah mengaku dirinya sebagai pendaki ternama; bahkan didalam sebuah artikel untuk Men's Journal, dia menegaskan, "Saya harap Breashers, Lowe, Swenson dan Blanchard memahami bahwa saya tidak akan menyetarakan hobi berat mendaki saya dengan keahlian kelas dunia mereka."
     Rekan-rekan Pittman dalam ekspedisi 1994 tidak mengeluarkan pernyataan negatif tentang Pittman, setidaknya tidak didepan publik. Bahkan Breashers yang setelah ekspedisi tersebut menjadi salah satu teman dekatnya dan Swenson berkali-kali membela Pittman dari orang-orang yang mengkritiknya. "Mengertilah," kata Swenson kepada saya dalam suatu pertemuan sosial di Seattle sesaat setelah mereka kembali dari Everest, "Sandy mungkin bukan pendaki yang hebat, di Kangshung Face dia mengakui keterbatasannya. Memang benar, bahwa Alex, Barry, David dan saya yang memimpin ekspedisi dan menyiapkan lintasan tali untuknya, tetapi dia juga ikut berperan dengan selalu bersikap positif, dengan mengumpulkan dana dan menghadapi media."
     Namun, tidak sedikit orang yang tidak menyukai Pittman. Banyak orang merasa terganggu karena dia terlalu memamerkan kekayaannya, dan caranya mencari popularitas yang dianggap tidak tahu malu. Seperti yang ditulis Joanne Kaufman dalam Wall Street Journal,

Nyonya Pittman dikenal oleh sejumlah kalangan sebagai pendaki tangga sosial daripada pendaki gunung. Dia dan Tuan Pittman selalu hadir dalam berbagai acara pesta dan amal, dan meninggalkan jejak mereka dikolom-kolom gosip yang tepat. "Beberapa tokoh masyarakat kesal karena Sandy Pittman terus menerus menempel mereka," kata seorang bekas rekan bisnis Tuan Pittman yang tidak mau disebut namanya, "Dia benar-benar haus publisitas. Jika dia harus melakukannya dengan diam-diam, saya yakin dia tidak akan pernah mendaki semua gunung itu."

Adil atau tidak, bagi para pengkritiknya tindakan Ny.Pittman sama buruknya dengan upaya Dick Bass untuk meraih popularitas dengan menundukkan Tujuh Puncak tertinggi didunia yang di anggap merendahkan gunung tertinggi didunia tersebut. Namun, dilindungi oleh kekayaannya, dikelilingi oleh para pelayannya dan karena sifatnya yang selalu mementingkan diri sendiri, Pittman mengabaikan kekesalan dan kritikan yang dilontarkan banyak orang; dia sama sekali tidak peduli, seperti ketidak pedulian tokoh Emma dalam cerita Jane Austen.

-----------------------------------------------------------
*1: Penyebabnya diduga karena kurangnya oksigen, ditambah tingginya tekanan pada pembuluh darah jantung yang menuju paru-paru, menyebabkan pembuluh darah tersebut bocor sehingga cairan masuk ke dalam paru-paru.

*2: Meskipun hubungan langsung dan interaktif antara lereng Mount Everest dan situs-situs diseluruh dunia, banyak digembar gemborkan, keterbatasan teknologi tidak memungkinkan hubungan langsung antara Base Camp dan jaringan internet. Para wartawan mengirimkan laporan mereka melalui faksimile atau telepon satelit, dan laporan tersebut diketik menjadi file komputer dan dikirimkan melalui internet oleh para editor di New York, Boston dan Seattle. Pesan-pesan e-mail akan diterima di Kathmandu, dicetak dan hasil cetakannya dikirimkan dengan menggunakan yak ke Base Camp. Demikian pula foto-foto yang dikirimkan melalui Web pertama-tama dikirimkan oleh yak kemudian dikirimkan melalui kurir udara ke New York untuk disebar luaskan. Sesi percakapan internet dilakukan melalui telepon satelit dan seorang juru ketik di New York. 

*3: Beberapa majalah dan koran secara salah melaporkan bahwa saya adalah wartawan untuk Outside Online. Kekeliruan ini muncul karena Jane Bromet mewawancarai saya di Base Camp dan mengirimkan naskah wawancara tersebut melalui situs Outside Online. Namun, saya sendiri sama sekali tidak terkait dengan Outdside Online. Saya berangkat ke Everest atas penugasan dari majalah Outside, sebuah organisasi indipenden (berkantor pusat di Santa Fe, New Meksiko) yang menjadi mitra lepas Outside Online (berkantor pusat di Seattle) untuk memublikasikan naskah versi majalah tersebut di internet. Namun, majalah Outside dan Outside Online tidak saling mengontrol, akibatnya, saya baru tahu bahwa Outside Online telah mengirim seorang wartawan ke Everest setelah saya tiba di Base Camp.