CAMP SATU --- 13 April 1996 --- 19.500 KAKI
Lereng Everest tidak pernah kekurangan pemimpin pada musim semi 1996; kemampuan sebagian besar pendaki yg datang untuk menaklukkan gunung ini sama buruknya, atau bahkan lebih buruk dari kemampuanku. Ketika tiba saat nya kami harus menaksir kemampuan masing-masing dalam mengatasi tantangan berat digunung tertinggi ini, setengah penghuni Base Camp secara klinis seperti orang yg terserang delusi. Barangkali ini tidak terlalu mengejutkan. Everest sudah lama menjadi semacam magnet bagi orang-orang eksentrik, pencari publisitas, orang-orang yg kurang berpegang pada realitas.
Pada Maret 1947, seorang insinyur miskin berkebangsaan Kanada bernama Earl Denman tiba di Darjeeling dan menyatakan niatnya untuk mendaki Everest meskipun dia tidak memiliki banyak pengalaman dalam mendaki dan tidak memiliki ijin resmi untuk memasuki Tibet. Dengan berbagai cara, dia berhasil meyakinkan dua warga Sherpa untuk menemaninya, Ang Dawa dan Tenzing Norgay.
Tenzing---orang yg kemudian menemani Hillary dalam pendakian Everestnya yg pertama---bermigrasi ke Darjeeling dari Nepal pada 1933. Saat itu usianya baru tujuh belas tahun dan berharap dia bisa dipekerjakan oleh sebuah ekspedisi yg sedang bersiap-siap untuk mendaki Puncak Everest dibawah pimpinan seorang pendaki Inggris kenamaan, Eric Shipton. Tahun itu, pemuda Sherpa dengan keinginan menggebu-gebu tersebut tidak terpilih, tetapi dia tetap tinggal di India dan dipakai oleh Shipton untuk Ekspedisi Inggris ke Everest pada 1935. Ketika dia setuju untuk menemani Denman pada 1947, Tenzing sudah tiga kali mendaki Everest. Tenzing mengakui kemudian bahwa rencana Denman sangat buruk, tetapi orang itu benar-benar tidak mampu menolak daya tarik Everest.
Tidak ada yg masuk akal tentang pendakian itu. Pertama, kami mungkin tidak diijinkan memasuki wilayah Tibet. Kedua, kalaupun kami berhasil masuk, kami semua mungkin akan ditangkap, dan sebagai pemandunya, kami, demikian juga Denman, sama-sama akan menghadapi masalah yg serius. Ketiga, tidak sedetik pun aku percaya bahwa seandainya kami bisa sampai ke gunung itu, kelompok kami akan bisa mendakinya. Keempat, upaya pendakian akan sangat berbahaya. Kelima, Denman tidak punya cukup uang untuk membayar kami dengan baik, atau untuk menjamin kami jika sesuatu terjadi kepada kami. Ada banyak hambatan lain. Setiap orang yg berpikiran waras, pasti akan menolak tawaran itu. Namun, aku tidak bisa menolaknya. Hatiku mendorong untuk pergi dan daya tarik Everest bagiku lebih besar daripada daya tarik apapun dimuka bumi ini. Ang Dawa dan aku berbicara selama beberapa menit, kemudian kami membuat keputusan. "Baiklah," kataku kepada Denman, "kami akan mencobanya."
Ketika ekspedisi kecil itu berjalan melintasi Tibet menuju Everest, kedua warga Sherpa itu mulai menyukai dan menghormati orang Kanada tersebut. Meskipun Denman belum berpengalaman, mereka mengagumi keberanian dan kekuatan fisiknya. Denman juga layak menerima pujian karena dia mau mengakui kekurangannya sendiri saat mereka tiba dilereng gunung dan melihat kenyataan di hadapan mereka. Dibawah terjangan badai salju pada ketinggian 22.000 kaki, akhirnya Denman menyerah, dan ketiga pria itu turun gunung. Mereka tiba dengan selamat di Darjeeling hanya lima minggu setelah berangkat.
Seorang pria Inggris yg idealis dan melankolis bernama Maurice Wilson tidak seberuntung Denman. Terdorong oleh hasrat yg salah untuk membantu salah seorang rekannya, Wilson menyimpulkan bahwa mendaki Everest merupakan cara sempurna untuk memublikasikan keyakinannya bahwa berbagai jenis penyakit manusia dapat disembuhkan dengan berpuasa dan melalui keyakinan yg kuat pada kekuatan Tuhan. Dia menyusun rencana untuk menerbangkan sebuah pesawat kecil ke Tibet, tinggal landas di punggung Everest, dan meneruskan pendakian dari tempatnya mendarat. Pengetahuannya yg nihil tentang pendakian maupun penerbangan sama sekali tidak merisaukannya.
Wilson membeli sebuah pesawat jenis Gypsy Moth yg sayapnya terbuat dari bahan fiber, menamai pesawat itu Ever Wrest, dan belajar sedikit tentang dasar-dasar penerbangan. Kemudian selama lima minggu dia menjelajahi pegunungan Snowdonia yg cukup terjal dan wilayah Lake District, Inggris, untuk mempelajari hal-hal yg menurutnya terkait dengan pendakian. Kemudian,pada Mei 1933, dia menerbangkan pesawat kecilnya menuju Everest melalui Kairo, Teheran dan India.
Sampai saat itu, kegiatan Wilson mulai banyak diliput media. Dia terbang ke Purtabpore, India, tetapi karena tidak memperoleh ijin dari Pemerintah Nepal untuk terbang diatas wilayah Nepal, Wilson menjual pesawatnya seharga lima ratus poundsterling, dan berangkat ke Darjeeling melalui jalan darat. Ditempat itu dia baru tahu bahwa dia tidak diijinkan memasuki Tibet. Penolakan itu tidak membuatnya mundur: pada Maret 1934, dia mempekerjakan tiga warga Sherpa, menyamar sebagai pendeta Buddha, mengabaikan perintah raja, dan dengan sembunyi-sembunyi berjalan sejauh 300 mil menembus hutan Sikkim dan daratan Tibet yg kering. Pada 14 April dia tiba dikaki Everest.
Kemajuannya diawal pendakian, saat melewati Gletser Rongbuk Timur yg berbatu-batu dan tertutup es, cukup baik, tetapi pengetahuannya yg sangat minim tentang perjalanan menempuh Gletser menghambatnya. Akibatnya dia sering tersesat, dan ini membuatnya frustasi dan kelelahan. Namun dia belum mau menyerah.
Pertengahan Mei, Wilson tiba dipuncak Gletser Rongbuk Timur pada ketinggian 21.000 kaki, dan menjarah persediaan makanan dan perlengkapan yg disembunyikan Eric Shipton dari ekspedisi 1933-nya yg gagal. Dari tempat itu Wilson mulai mendaki lereng yg menuju Jalur Utara (North Col), dan berhenti pada ketinggian 22.700 kaki ketika dia berhadapan dengan sebuah lereng es yg vertikal, yg memaksanya mundur kembali ke tempat Shipton menyembunyikan perbekalannya. Meskipun demikian, Wilson belum juga mau menyerah. Pada 28 Mei, dia menulis didalam buku hariannya, "Ini merupakan upayaku yg terakhir dan aku yakin akan berhasil." Kemudian dia pun berjalan kearah gunung sekali lagi.
Setahun kemudian ketika Shipton kembali ke Everest, tim ekspedisinya menemukan tubuh Wilson yg membujur kaku diatas salju dikaki Jalur Utara. "Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk menguburkannya disebuah celah gletser," tulis Charles Warren, salah seorang pendaki yg menemukan jenazah Wilson. "Kami semua mengangkat topi saat itu, dan aku percaya semua orang merasa sedikit terganggu oleh peristiwa ini. Aku pikir, aku sudah kebal melihat mayat; tetapi karena alasan tertentu dan karena Wilson sedikit banyak melakukan hal yg sama dengan kami, tragedi yg menimpanya seperti memberi peringatan kepada kami semua.
Akhir-akhir ini orang-orang seperti Wilson dan Denman banyak dijumpai di lereng Everest---para pemimpi yg tidak punya cukup pengalaman, seperti juga beberapa rekan satu timku---merupakan fenomena yg memicu kritikan yg cukup pedas. Akan tetapi, pertanyaan tentang siapa yg layak mendaki Everest dan siapa yg tidak, ternyata lebih rumit daripada yg diperkirakan orang. Sejumlah pendaki yg sudah mengeluarkan sejumlah besar uang untuk menjadi anggota tim ekspedisi yg dipandu, tidak bisa secara otomatis dianggap tidak layak berada diatas gunung. Nyatanya, setidaknya dua dari anggota tim ekspedisi komersial Everest pada musim semi 1996 adalah veteran pendaki gunung yg mampu mendaki puncak-puncak yg paling sulit sekalipun.
Ketika aku sedang menunggu kedatangan rekan-rekanku di puncak Jeram Es di Camp Satu pada 13 April, dua pendaki anggota tim Mountain Madness yg dipandu Scott Fischer melewati kami dengan gerakan yg sangat lincah. Salah satunya adalah Klev Schoening, seorang kontraktor bangunan dari Seattle berusia tiga puluh delapan tahun, mantan pemain ski nasional Amerika Serikat. Meskipun tubuhnya kuat, tetapi pengalamannya dalam mendaki belum memadai. Dia ditemani pamannya, Pete Schoening, salah seorang pendaki Himalaya legendaris yg masih hidup.
Mengenakan pakaian anti air GoreTex yg tipis dan tampak usang, pada usianya yg hampir mencapai enam puluh sembilan tahun, Pete yg bertubuh kurus dan agak bungkuk itu kembali ke Himalaya setelah absen untuk waktu yg cukup panjang. Pada 1958, dia menorehkan catatan dalam sejarah pendakian ketika menjadi tokoh penggerak dalam ekspedisi pertama ke Hidden Peak, sebuah gunung dengan ketinggian 26.470 kaki yg terletak di wilayah Pegunungan Karakoram, Pakistan---gunung tertinggi pertama yg pernah ditaklukkan oleh para pendaki Amerika. Nama Pete semakin terkenal saat dia menjadi pahlawan dalam sebuah ekspedisi untuk menaklukkan Puncak K2 yg gagal pada 1953, tahun yg sama ketika Hillary dan Tenzing mencapai puncak Everest.
Ekspedisi yg beranggotakan delapan pendaki itu terpaksa berhenti karena diserang badai salju jauh diatas lereng K2, menunggu untuk meneruskan pendakian, ketika salah seorang anggota tim bernama Art Gilkey terkena thrombophlebitis, sejenis penyakit yg disebabkan oleh penggumpalan sel-sel darah merah akibat ketinggian. Sadar bahwa untuk menyelamatkan hidupnya mereka harus segera membawa Gilkey turun, ditengah badai salju Schoening dan rekan-rekannya mulai membawa Gilkey menuruni Lereng Abruzzi yg sangat curam. Pada ketinggian 25.000 kaki, seorang pendaki bernama George Bell tergelincir, menyerempet empat pendaki bersamanya. Schoening yg secara refleks mengikatkan tali di seputar bahunya dan pada sebuah kapak es, berhasil menahan Gilkey dan lima pendaki yg sedang meluncur ke bawah tanpa dia sendiri terseret ke bawah gunung. Peristiwa yg dianggap sebagai salah satu prestasi tertinggi dalam dunia pendakian tersebut kemudian dikenal dengan istilah The Belay*.
Dan sekarang, Pete Schoening sedang dipandu menuju puncak Everest oleh Fischer dan dua pemandunya, Neal Beidleman dan Anatoli Boukreev. Ketika aku bertanya kepada Beidleman, seorang pendaki tangguh asal Colorado, bagaimana rasanya memandu seorang klien sekaliber Schoening, dia langsung mengoreksi kata-kataku dan dengan tawa yg merendah dia berkata, "Orang sepertiku tidak memandu Pete Schoening kemana pun, aku hanya merasa sangat terhormat bisa berada satu tim dengannya." Schoening bergabung dengan kelompok Mountain Madness yg dipimpin Fischer bukan karena dia membutuhkan pemandu yg akan membawanya ke puncak, dia hanya tidak suka mengurus masalah perijinan, oksigen, perkemahan, perbekalan, kuli Sherpa dan masalah logistik.
Beberapa menit setelah Pete dan Klev Schoening melewati kami dalam perjalanan menuju lokasi Camp Satu mereka, rekan satu tim mereka, Charlotte Fox, menyusul. Fox yg dinamis dan bertubuh kukuh seperti patung dan berusia tiga puluh delapan tahun adalah seorang pengawas olahraga ski dari Aspen, Colorado. Dia juga pernah menaklukkan dua puncak 8.000 meter: Gasherbaum II di Pakistan yg memiliki ketinggian 26.361 kaki dan tetangga Everest yg memiliki ketinggian 26.748 kaki, yaitu Puncak Cho Oyu: Beberapa saat kemudian, aku juga berpapasan dengan salah satu anggota tim ekspedisi komersial pimpinan Mal Duff yaitu Veikka Gustafson, seorang pendaki berusia dua puluh delapan tahun berasal dari Finlandia, yg juga pernah mendaki Himalaya dan menaklukkan Everest, Dhaulagiri, Makalu dan Lhotse.
Sebaliknya tidak ada satupun dari kelompok ekspedisi Hall yg pernah mencapai puncak 8.000 meter. Jika seorang seperti Pete Schoening bisa disamakan dengan mahabintang dari sebuah klub bisbol kelas liga utama, rekan-rekan satu timku dan aku sendiri ibarat pemain klub bisbol kelas menengah dari sebuah kota kecil yg harus menyogok untuk bisa masuk ke dalam liga dunia. Benar, dipuncak Jeram Es, Hall mengatakan bahwa kami semua merupakan "kelompok yg cukup tangguh". Barangkali kami memang tangguh jika dibanding dengan klien-klien lain yg pernah dipandu Hall ke puncak Everest pada tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, aku sendiri bisa melihat dengan jelas bahwa tidak satupun dari anggota tim kami akan bisa mencapai puncak Everest tanpa dukungan kuat dari Hall, pemandunya dan para Sherpanya.
Di pihak lain,kelompok kami lebih kompeten dibanding dengan beberapa tim lain yg sama-sama berada digunung itu. Ada beberapa pendaki yg kemampuannya sangat diragukan dan tergabung dalam tim ekspedisi komersial dipimpin seorang pendaki Inggris dengan pengalaman Himalaya yg masih diragukan. Akan tetapi, orang-orang yg tampaknya paling tidak kompeten di Everest ini bukanlah mereka yg tergabung dalam tim ekspedisi yg dipandu, melainkan para pendaki tradisional dari tim ekspedisi non komersial.
Ketika aku sedang bergerak menuju Base Camp dan melewati bagian bawah Jeram Es, aku berpapasan dengan dua pendaki yg mengenakan pakaian dan peralatan yg tampak aneh. Sekilas saja aku sudah bisa menaksir bahwa keduanya kurang memahami peralatan maupun teknik-teknik standar yg terkait dengan pendakian dipermukaan yg tertutup es. Berkali-kali sepatu paku dari pendaki yg berada dibelakang terkait dan membuatnya terhuyung-huyung. Menunggu mereka melewati dua buah tangga yg terikat dan bergoyang-goyang diatas celah gletser, aku juga terkejut melihat mereka menyeberang celah itu secara beriringan dan hampir tanpa jarak---tindakan yg sangat berbahaya dan tidak perlu. Dari percakapan yg dilakukan secara canggung saat kami tiba disisi lain dari celah gletser tersebut, aku kemudian tahu, bahwa keduanya adalah anggota tim ekspedisi Taiwan.
Reputasi para pendaki Taiwan sudah mendahului mereka ke Everest. Pada musim semi 1995 tim yg sama mendaki Gunung McKinley di Alaska, untuk menaksir kemampuan mereka sebelum mereka mendaki Everest pada 1996. Sembilan pendaki mencapai puncak McKinley, tetapi tujuh diantaranya terperangkap badai salju ketika sedang menuruni gunung, teresat, dan dipaksa bermalam dibawah udara terbuka pada ketinggian 19.400 kaki dan memaksa dilakukannya upaya penyelamatan yg sangat mahal dan berbahaya oleh kelompok National Park Service.
Atas permintaan kesatuan polisi hutan, Alex Lowe dan Conrad Anker, dua pakar pendaki paling andal di Amerika, terpaksa menghentikan pendakian mereka dan dengan cepat dibawa ke ketinggian 14.400 kaki untuk membantu para pendaki Taiwan yg saat itu sudah hampir tewas. Dengan susah payah dan dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri, Lowe dan Anker menyeret masing-masing seorang pendaki Taiwan yg sudah tidak berdaya dari ketinggian 19.400 kaki sampai ke ketinggian 17.400 kaki; ditempat itu sebuah helikopter membawa mereka keluar dari gunung. Menurut cerita, lima anggota tim Taiwan---dua dengan luka gigitan salju (frostbite) yg sangat parah dan satu tewas---berhasil diungsikan dari puncak McKinley dengan menggunakan helikopter. "Hanya satu pendaki yg tewas," kata Anker. "Tetapi kalau Alex dan aku tidak tiba pada saat itu, dua pendaki lain pasti akan tewas pula. Kami sudah mengamati tim Taiwan ini sebelumnya karena mereka tampak sangat tidak kompeten. Kami tidak terkejut waktu mereka menghadapi kesulitan."
Pemimpin ekspedisi Taiwan, Gau Ming Ho---seorang kamerawan freelance yg periang yg menyebut dirinya "Makalu" setelah dia berhasil menaklukkan salah satu puncak Himalaya bernama Makalu---ditemukan dalam keadaan kelelahan dan terserang gigitan salju dan harus dipandu ke bawah gunung oleh sepasang pemandu gunung dari Alaska. "Ketika para petugas Alaska membawanya turun gunung, "lapor Anker, "Makalu berteriak-teriak, "Berhasil! Berhasil! Kami berhasil sampai ke puncak' kepada setiap orang yg mereka jumpai, seakan-akan bencana yg baru saja terjadi sama sekali tidak berarti. Menurut saya Makalu benar-benar aneh. "Ketika tim McKinley yg gagal itu muncul dipunggung selatan Everest pada 1996, sekali lagi Makalu Gau bertindak sebagai pemimpin ekspedisi.
Kehadiran para pendaki Taiwan di Everest sangat mencemaskan para pendaki lain. Kami cemas mereka akan menghadapi bencana yg benar-benar dahsyat yg memaksa tim lain menyelamatkan mereka dengan membahayakan hidup mereka sendiri, dan merusak kesempatan pendaki lain untuk mencapai puncak. Akan tetapi, bukan hanya tim Taiwan yg tampaknya tidak berpengalaman. Di Base Camp, disamping perkemahan kami ada seorang pendaki dari Norwegia berusia dua puluh lima tahun bernama Petter Neby, yg menyatakan niatnya untuk mendaki sendirian melalui Lereng Tenggara*, salah satu rute menuju puncak yg paling berbahaya dan paling menuntut keahlian tinggi---padahal pengalamannya mendaki Himalaya sangat terbatas. Neby pernah mendaki Puncak Island, salah satu puncak dari Gunung Lhotse dengan ketinggian 20.274 kaki yg bisa didaki tanpa membutuhkan keahlian tinggi, tidak lebih dari sebuah lintas alam yg melelahkan.
Selain itu, ada lagi kelompok pendaki yg berasal dari Afrika Selatan yg disponsori oleh sebuah harian terbesar di Johannesburg, Sunday Times. Tim tersebut merupakan tim kebanggaan Negara Afrika Selatan, dan menerima restu langsung dari Presiden Nelson Mandela menjelang keberangkatannya. Mereka merupakan tim ekspedisi Afrika Selatan pertama yg diijinkan mendaki Everest, sebuah tim campuran yg bertekad membawa orang kulit hitam pertama ke atas puncak. Tim ini dipimpin oleh Ian Woodall, tiga puluh sembilan tahun, seorang pria yg senang bicara dan berwajah seperti tikus. Dia senang menceritakan berbagai anekdot tentang keberaniannya sewaktu masih menjadi anggota pasukan komando militer yg ditempatkan di belakang garis demarkasi musuh saat terjadi konflik brutal dengan Angola pada 1980.
Woodall merekrut tiga pendaki terkuat Afrika Selata untuk menjadi anggota tim inti. Andy de Klerk, Andy Hackland dan Edmund February. Tim yg anggotanya terdiri atas warga kulit putih dan kulit hitam tersebut memberikan kebanggaan tersendiri bagi Fevruary, empat puluh tahun, seorang ilmuwan paleoekologi kulit hitam sekaligus pendaki yg memiliki reputasi internasional. "Orang tuaku menamaiku sesuai dengan nama Sir Edmund Hillary," katanya menjelaskan. "Mendaki Everest merupakan impian aku sejak kanak-kanak. Namun, ada hal yg jauh lebih penting; ekspedisi ini aku anggap sebagai simbol dari sebuah negara baru yg ingin bersatu untuk meraih demokrasi, mencoba pulih dari kepahitan masa lalu. Aku dibesarkan ditengah-tengah penindasan rasial, dan aku memiliki kenangan yg sangat pahit tentang itu. Akan tetapi, negara kami sekarang adalah sebuah negara yg baru. Aku benar-benar memercayai arah yg dipilih negara kami saat ini. Menunjukkan kepada dunia bahwa kami, warga kulit putih dan kulit hitam Afrika Selatan bisa mendaki puncak Everest bersama-sama---akan menjadi sebuah keberhasilan yg sangat besar."
Seluruh warga Afrika Selatan mendukung ekspedisi ini. "Woodall mengusulkan proyek ini pada saat yg tepat," kata de Klerk. "Dengan berakhirnya sistem apartheid, penduduk asli Afrika Selatan akhirnya diijikan bepergian ke tempat manapun yg mereka inginkan, dan tim olahraga kami bisa bertanding diseluruh dunia. Tim Afrika Selatan baru saja memenangkan piala internasional untuk kejuaraan rugby. Euforia sedang menyelimuti negeri kami, perasaan bangga yg sangat besar. Jadi ketika Woodall muncul dengan usul untuk membentuk tim ekspedisi Afrika Selatan, semua orang langsung setuju, dan dia mampu mengumpulkan banyak uang---jumlahnya setara dengan beberapa ratus ribu dollar Amerika---dan tidak ada seorang pun yg banyak mengajukan pertanyaan.
Selain dia sendiri, lalu tiga pendaki pria yg sudah disebutkan diatas, dan seorang pendaki Inggris merangkap juru potret bernama Bruce Herrod, Woodall ingin mengikutkan pendaki wanita ke dalam tim ekspedisinya. Jadi, sebelum meninggalkan Afrika Selatan, dia mengundang enam calon peserta wanita untuk mendaki Gunung Kilimanjaro dengan ketinggian 19.340 kaki, sebuah pendakian yg membutuhkan kekuatan fisik, tetapi secara teknik tidak terlalu sulit. Diakhir uji coba yg berlangsung selama dua minggu, Woodall mengumumkan bahwa dia memilih dua finalis: Cathy O'Dowd, dua puluh enam tahun, seorang instruktur jurnalisme berkulit putih dengan pengalaman mendaki gunung yg sangat terbatas, putri seorang direktur sebuah perusahaan Inggris -Amerika,perusahaan terbesar di Afrika Selatan; dan Deshun Deysel, dua puluh lima tahun, seorang guru pendidika jasmani yg sama sekali belum memiliki pengalaman mendaki, dan dibesarkan disebuah kota terpencil. Kedua wanita tersebut, kata Woodall, akan ikut bersama tim sampai ke Base Camp Everest, dan ditempat itu Woodalll akan memilih siapa dari kedua calon tersebut yg akan ikut sampai ke puncak setelah dia mengevaluasi kinerja mereka selama perjalanan menuju Base Camp.
Pada 1 April, hari kedua perjalanan kami ke Base Camp, secara tidak terduga aku bertemu dengan February, Hackland dan de Klerk, tidak jauh dari Namche Bazaar. Mereka sedang berjalan keluar dari gunugn menuju Kathmandu. De Klerk yg kebetulan ku kenal, mengatakan bahwa tiga pendaki dari Afrika Selatan dan Charlotte Noble, dokter tim mereka, bahkan sudah lebih dulu mengundurkan diri sebagai anggota tim ekspedisi, yaitu sebelum tim mereka mencapai kaki gunung. "Woodall, pemimpin kami, ternyata seorang bajingan tulen," kata de Klerk. "Dia benar-benar sinting. Kamu tidak bisa memercayai kata-katanya---kami tidak pernah tahu, kapan dia bicara benar dan kapan dia berbohong. Kami tidak mau menyerahkan hidup kami ditangan orang seperti itu. Itu sebabnya kami pergi."
Kepada de Klerk dan anggota timnya yg lain, Woodall sering mengatakan bahwa dia sudah beberapa kali mendaki Himalaya, dan mencapai ketinggian lebih dari 26.000 kaki. Ternyata Woodall baru dua kali datang ke Himalaya, sebagai klien yg membayar dari ekspedisi gagal yg dipandu oleh Mal Duff: pada 1989, Woodall gagal mencapai Puncak Island yg memiliki ketinggian menengah kemudian pada 1990 saat mendaki Puncak Annapurna dia menyerah pada ketinggian 21.300 kaki, sekitar satu mil vertikal dari puncak.
Selain itu, sebelum meninggalkan Afrika Selatan menuju Everest, melalui situs internet milik ekspedisi, Woodall sering membual tentang karier militernya yg mengagumkan sebagai anggota kelompok militer Inggris dan dipercaya untuk menjadi "komandan pasukan elite bernama Long Range Mountain Reconnaissance Unit yg banyak melakukan pelatihan di Himalaya." Dia bercerita pada harian Sunday Times bahwa dia juga pernah menjadi instruktur militer pada The Royal Military Academy di Sandhurst, Inggris. Ternyata, tidak ada kesatuan elite yg bernama Long Range Mountain Reconnaissance Unit di jajaran Angkatan Darat Inggris; Woodall juga tidak pernah menjadi instruktur di Sandhurst. Dia juga tidak pernah ditugaskan di belakang garis demarkasi musuh di Angola. Menurut juru bicara Angkatan Darat Inggris, Woodall memang pernah bekerja sebagai juru tulis paruh waktu.
Woodall juga berbohong tentang nama-nama yg tercantum dalam ijin mendaki* yg dikeluarkan oleh Kementrian Pariwisata Nepal. Sejak awal dia mengatakan bahwa nama Cathy O'Dowd dan Deshun Deysel sudah tercantum didalam daftar perijinan, bahwa keputusan tentang siapa diantara keduanya yg akan ikut sampai ke puncak akan ditentukan di Base Camp. Setelah meninggalkan ekspedisi, de Klerk menemukan bahwa nama O'Dowd memang tercantum dalam daftar, begitu juga nama ayah Woodall yg berumur enam puluh sembilan tahun, dan seorang Prancis bernama Tierry Renard (yg sudah membayar Woodall sebanyak 35.000 dollar untuk diikutkan dalam tim Afrika Selatan), tetapi nama Deshun Deysel---satu-satunya anggota tim berkulit hitam setelah February mengundurkan diri---ternyata tidak ada. De Klerk menduga bahwa Woodaal tidak pernah berniat membawa Deysel mendaki sampai ke puncak Everest.
Selain itu, sebelum meninggalkan Afrika Selatan, Woodall memperingatkan de Klerk---yg menikah dengan seorang wanita Amerika, dan memiliki dua kewarganegaraan---bahwa dia tidak akan diijinkan menjadi anggota tim ekspedisi jika dia tidak bersedia menggunakan paspor Afrika Selatan saat memasuki Nepal." Dia sangat membesar-besarkan masalah itu," kenang de Klerk, "mengatakan bahwa tim kami merupakan ekspedisi Afrika Selatan pertama yg akan mendaki Everest, hal-hal semacam itulah. Ternyata Woodall sendiri tidak memiliki paspor Afrika Selatan. Dia bahkan bukan warga negara Afrika Selatan---dia orang Inggris, dan masuk ke Nepal dengan menggunakan paspor Inggris."
Semua kebohongan Woodall menjadi skandal internasional, diulas di halaman depan koran-koran negara persemakmuran. Ketika laporan media yg negatif itu didengar olehnya, pemimpin yg menganggap dirinya orang besar itu sama sekali tidak menghiraukan kritikan tersebut dan berusaha menjauhkan timnya dari anggota tim-tim ekspedisi yg lain. Dia juga mengeluarkan wartawan Sunday Times, Ken Vernon, dan juru foto, Richard Shorey, dari timnya. Padahal, Woodall sudah menanda tangani kontrak yg menyatakan bahwa dia akan mengijinkan kedua wartawan itu "mnjadi bagian dari tim sampai ekspedisi berakhir" sebagai imbalan atas dukungan finansial yg diterimanya dari harian tersebut; seandainya Woodall tidak mampu memenuhi kesepakatan, maka "kontrak tersebut dinyatakan batal."
Pada saat itu, editor Sunday Times, Ken Owen dan istrinya sedang dalam perjalanan menuju Base Camp, ditengah liburan lintas alam yg sengaja diatur agar waktunya bertepatan dengan ekspedisi Afrika Selatan tersebut. Keduanya ditemani oleh teman wanita Woodall, seorang gadis Prancis bernama Alexandrine Gaudin. Di Pheriche, Owen mendengar bahwa Woodall mengeluarkan wartawan dan juru potretnya. Dengan terkejut, dia mengirim pesan kepada sang pemimpin ekspedisi bahwa harian mereka tidak berniat menarik Vernon dan Shorey dari tim tersebut, bahwa keduanya diperintahkan untuk bergabung kembali dengan tim ekspedisi. Woodall benar-benar marah saat menerima pesan tersebut dan turun dari Base Camp ke Pheriche untuk mengadakan perhitungan dengan Owen.
Menurut Owen, dalam konfrontasi yg terjadi kemudian, dia menanyakan terus terang kepada Woodall tentang nama Deysel yg tidak tercantum dalam perijinan. Woodall menjawab, "Itu sama sekali bukan urusanmu."
Ketikak Owen menuduh bahwa penunjukkan Deysel sebagai anggota tim "hanya untuk memberikan kesan palsu, agar tim tersebut terkesan memiliki semangat baru Afrika Selatan," Woodall mengancam untuk membunuh Owen dan istrinya. Ketika pertengkaran memuncak, pemimpin ekspedisi yg sedang kalap itu berkata, "Aku akan mematahkan kepala kalian dan menjejalkannya ke dalam pantat kalian."
Tidak lama kemudian, wartawan Ken Vernon tiba di Base Camp tim Afrika Selatan. Berita pertama yg dia laporkan melalui mesin faksimile milik Rob Hall adalah , "Aku langsung disambut oleh wajah masam Nona O'Dowd yg mengatakan bahwa kedatanganku di perkemahan ini tidak diharapkan." Kemudian, pada harian Sunday Times, Vernon menulis:
Aku mengatakan kepadaNona O'Dowd bahwa dia tidak berhak menghalangiku memasuki perkemahan yg didanai oleh harian tempat aku bekerja. Ketika didesak lebih jauh, O'Dowd mengatakan bahwa dia hanya bertindak sesuai dengan perintah Woodall. O'Dowd juga menambahkan bahwa Shorey sudah diusir dari perkemahan dan aku harus mengikutinya karena ditempat ini, aku tidak akan diberi makanan maupun perlindungan. Kedua kakiku masih gemetar karena perjalanan panjang, jadi sebelum aku memutuskan untuk berjuang atau pergi, aku meminta segelas teh. "Tidak bisa," katanya. Kemudian, Nona O'Dowd berjalan menghampiri pemimpin orang-orang Sherpa, Ang Dorje, dan dengan suara keras dia berkata, "Orang ini bernama Ken Vernon, salah seorang dari orang-orang yg sudah kami ceritakan kepada kalian. Dia tidak boleh diberi bantuan apapun." Ang Dorje, pria keras bertubuh kukuh seperti batu gunung, dan aku sudah sering minum Chang (sejenis minuman keras buatan penduduk lokal) bersama-sama. Aku menatap matanya dan berkata, "Tidak secangkir teh pun?" Keputusan Ang Dorje layak dipuji, dan sangat sesuai dengan sopan santun warga Sherpa. Dia menatap mata Nona O'Dowd dan berkata, "Persetan." Dia menarik lengan saya, membawa aku kedalam perkemahan dan menghidangkan secangkir teh panas dan sepiring biskuit.
Setelah peristiwa yg oleh Owen disebut sebagai "pertemuan yg sangat menegangkan" dengan Woodall di Pheriche, sang editor "dibujuk....bahwa ekspedisi telah berubah kacau, bahwa nyawa kedua staff Sunday Times, Ken Vernon dan Richard Shorey, mungkin berada dalam bahaya." Karena itu, Owen memerintahkan Vernon dan Shorey untuk kembali ke Afrika Selatan, dan harian mereka melansir pernyataan yg menarik dukungan terhadap ekspedisi tersebut
Oleh karena Woodall sudah menerima uang yg disumbangkan harian tersebut, pernyataan tersebut sebenarnya hanya bersifat simbolis dan tidak memiliki dampak apapun terhadap kegiatannya diatas gunung. Woodall bahkan menolak untuk menyerahkan perannya sebagai pemimpin tim meskipu dia menerima pesan dari Presiden Mandela yg memintanya untuk mempertimbangkan keputusannya demi kepentingan nasional. Dengan keras kepala Woodall menyatakan bahwa pendakian Everest akan berlanjut sesuai rencana dan dia akan tetap memimpin.
Sekembalinya di Cape Town, setelah ekspedisi tersebut terpecah-pecah, February mengungkapkan kekecewaannya, "Barangkali aku terlalu naif," katanya dengan suara terputus-putus karean emosi. "Tetapi, aku benci dibesarkan ditengah suasana Apartheid. Mendaki Everest, bersama Andrew dan anggota tim yg lain bisa menjadi simbol penting untuk menunjukkan bahwa cara-cara lama telah hancur. Woodall sama sekali tidak tertarik pada Negara Afrika Selatan yg baru. Dia menghancurkan impian seluruh bangsa dan memanfaatkannya untuk kepentingan diri sendiri. Meninggalkan tim merupakan keputusan terberat yg pernah aku lakukan dalam hidup ini."
Setelah kepergian February, Hackland dan de Klerk, tidak satu pun anggota tim Afrika Selatan yg memiliki pengalaman mendaki bahkan pada tingkat minimal (kecuali orang Prancis, Renard, yg bergabung dengan tim tersebut sekedar untuk memperoleh ijin, yg mendaki secara mandiri, terpisah dari anggota lain, dan dengan orang-orang Sherpa yg dipilihnya sendiri); setidaknya dua dari mereka, kata de Klerk, "tidak tahu, bagaimana cara memasang crampon."
Pendaki solo dari Norwegia, tim Taiwan dan terutama tim Afrika Selatan, merupakan topik yg paling sering dibicarakan diperkemahan Hall. "Dengan begitu banyak orang yg tidak berkompeten digunung ini," kata Hall dengan kening berkerut suatu malam pada bulan April, "Rasanya sulit melewati musim ini tanpa ada kejadian buruk diatas sana."
*Belay merupakan istilah dalam dunia pendakian, yaitu metode penggunaan tali untuk mengamankan seorang rekan saat dia mendaki.
*Meskipun ekspedisi Neby hanya diikuti satu peserta, dia mempekerjakan delapan belas Sherpa untuk mengangkut beban, membuat rentangan tali, membangun perkemahan, dan memandunya sampai kepuncak.
*Hanya para pendaki yg terdaftar dalam ijin resmi---setelah membayar tarif 10.000 dollar per orang---diperbolehkan untuk mendaki lebih tinggi dari Base Camp. Aturan ini diterapkan dengan ketat dan pelanggar akan dipaksa untuk membayar denda dan diusir dari Nepal.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar