Rabu, 13 Agustus 2014

Into Thin Air --- Bab VI

BASE CAMP EVEREST --- 12 APRIL 1996 --- 17.600 KAKI


Mendaki Everest merupakan proses yg panjang dan berat, lebih menyerupai sebuah proyek konstruksi yg sangat besar daripada kegiatan mendaki seperti yg kukenal selama ini. Jika semua Sherpa yg bekerja sebagai pembantu dihitung, jumlah seluruh anggota tim ekspedisi Hall mencapai dua puluh enam orang; dan memberi makan,penginapan serta menjaga kesehatan orang sebanyak itu pada ketinggian 17.600 kaki, seratus mil jalan kaki dari jalan terdekat, sama sekali bukan pekerjaan mudah. Namun, Hall benar-benar seorang pemimpin ekspedisi yg tidak ada tandingannya, dan dia menikmati semua tantangan itu. Di Base Camp dia mencetak ratusan lembar daftar perincian logistik: menu, suku cadang, peralatan, obat-obatan,perangkat keras untuk komunikasi, jadwal pengiriman barang, jadwal ketersediaan yak. Sebagai teknisi dengan bakat alamiah, Hall benar-benar menyukai infrastruktur, elektronik dan berbagai jenis alat pertukangan; waktu luangnya dihabiskan untuk mengutak-atik sistem listrik tenaga surya atau membaca buku-buku Popular Science.
       Dalam tradisi George Leigh Mallory dan kebanyakan pendaki Everest lainnya, strategi Hall bisa dianggap sebagai pengepungan terhadap gunung itu. Secara bertahap, para Sherpa membangun empat perkemahan diatas Base Camp---setiap perkemahan berjarak 2.000 kaki diatas perkemahan yg lain---kemudian mengirimkan makanan, minyak goreng, dan tabung oksigen dalam jumlah besar dari perkemahan yg satu ke perkemahan yg lain sampai semua bahan yg dibutuhkan berhasil ditimbun pada ketinggian 26.000 kaki di Jalur Selatan. Jika semua rencana Hall berjalan lancar, perjalanan terakhir menuju puncak akan dilakukan dari perkemahan tertinggi---Camp Empat---sebulan kemudian.
       Meskipun kami para kliennya tidak akan diminta untuk membawa beban*, kami harus melakukan beberapa percobaan pendakian di atas Base Camp sebagai bagian dari aklimatisasi. Rob mengumumkan bahwa aklimatisasi pertama akan dilakukan pada 13 April---dengan melakukan perjalanan satu hari ke Camp Satu yg terletak di puncak teratas Jeram Es Khumbu, kurang lebih pada setengah mil vertikal di atas Base Camp.
       Malam hari pada 12 April, tepat pada hari ulang tahunku yg keempat puluh dua, kami menyiapkan semua peralatan mendaki. Perkemahan kami lebih mirip dengan tempat penyelenggaraan bazaar saat kami menebarkan peralatan diantara batu-batu besar untuk memilih pakaian, menyetel pelana tubuh harness (pelana tubuh yg biasa dikenakan para pendaki gunung, dipasang pada bagian pinggang dan panggul), tali pengaman dan menyetel crampon (rangka logam berpaku yg bisa dipasang dibawah sepatu gunung, dipakai untuk  mencengkeram permukaan es) pada sepatu kami. Aku terkejut sekaligus cemas melihat Beck, Stuart dan Lou mengeluarkan sepatu gunung yg masih benar-benar baru, yg menurut pengakuan mereka hampir-hampir tidak pernah dipakai. Aku tidak tahu apakah mereka memahami resiko yg dihadapi  pendaki yg memakai sepatu baru. Dua dekade lalu aku pernah mengalami peristiwa buruk saat mendaki dengan menggunakan sepatu baru karena sepatu mendaki gunung yg berat dan kaku bisa melukai kaki sebelum sepatu itu nyaman dipakai.
       Stuart, kardiolog muda dari Kanada,mendapati bahwa ukuran cramponnya sama sekali tidak sesuai dengan sepatunya. Untung kotak peralatan Rob cukup lengkap, dengan sedikit improvisasi, Rob berhasil membuat tali khusus sehingga crampon tersebut bisa dipakai.
       Saat mengisi ransel punggungku untuk perjalanan esok hari, aku juga mendapati bahwa, karena  tuntutan keluarga dan karier, beberapa rekan satu timku tidak mempunyai kesempatan untuk mendaki lebih dari satu atau dua kali sepanjang tahun lalu. Meskipun kondisi fisik mereka  tampak prima, keadaan memaksa mereka untuk melakukan latihan fisik dengan bantuan StairMaster atau treadmill, bukan mendaki gunung yg sesungguhnya. Aku sedikit ragu. Kondisi fisik merupakan komponen penting saat mendaki gunung, tetapi ada elemen-elemen yg lain yg juga penting yg tidak bisa dilatih didalam ruangan.
      Barangkali aku saja yg sombong,pikirku mencela diri sendiri. Bagaimanapun kondisi fisik mereka, tampak jelas bahwa mereka semua sangat bersemangat menunggu hari esok, dan menjejakkan crampon mereka diatas gunung yg sesungguhnya.
      Rute kami menuju puncak akan melewati Gletser Khumbu sampai setengah badan gunung. Mulai bergschrund* yg terletak diketinggian 23.000 kaki dan merupakan  titik awal dari Gletser Khumbu, sungai es yg besar ini mengalir sepanjang dua setengah mil melewati sebuah lembah yg relatif landai yg dinamai Lembah Cwm Barat. Ketika sungai es itu mengalir perlahan  melewati tonjolan lereng bukit dan kemudian menukik ke dalam Lembah Cwm yg berada di bawahnya, dia pecah menjadi retakan-retakan vertikal kecil---celah gletser---yg tak terhitung jumlahnya. Beberapa celah gletser itu cukup sempit untuk dilangkahi; tetapi beberapa celah gletser lebarnya bisa mencapai delapan puluh kaki dengan kedalaman lebih dari 100 kami dan panjang dari ujung ke ujung mencapai setengah mil. Celah-celah gletser yg lebar seperti ini menghambat dan menyulitkan pendakian, terutama jika celah gletser tersebut tersembunyi dibawah lapisan salju yg keras---mereka bisa menimbulkan bencana yg serius. Namun, celah-celah gletser di Cwm ini merupakan tantangan yg dari tahun ke tahun dapat diduga dan diatasi.
      Tidak demikian halnya dengan Jeram Es. Tidak ada tempat lain di Jalur Selatan yg lebih ditakuti oleh para pendaki. Pada ketinggian sekitar 20.000 kaki, gletser tersebut muncul dari ujung lembah Cwm dan tiba-tiba menukik tajam. Inilah Jeram Es Khumbu yg sangat berbahaya, jalur yg menuntut keahlian teknik mendaki yg paling tinggi diseluruh rute pendakian.
       Kecepatan aliran gletser di Jeram Khumbu berkisar antara tiga atau empat kaki perhari. Saat sungai es ini mengalir melewati lereng yg terjal dan bergelombang dengan kecepatan yg tidak teratur, massa es akan terpecah  menjadi pecahan-pecahan besar yg disebut serac, beberapa diantaranya bisa berukuran sebesar rumah. Karena rute pendakian dijalin dibawah, mengelilingi atau diantara ratusan menara yg tidak stabil ini, pendakian melalui Jeram Es ini hampir menyerupai sebuah permainan rolet Rusia: cepat atau lambat, sebuah serac bisa saja jatuh tanpa peringatan lebih dulu, dan Anda hanya bisa berharap tidak berada dibawahnya saat dia jatuh. Sejak 1963, ketika salah seorang rekan Hornbein dan Unsoeld bernama Jake Breitenbach hancur tertimpa serac yg jatuh, sudah delapan belas pendaki yg mati ditempat ini.
       Musim dingin lalu, seperti yg  selalu dilakukan pada musim-musim dingin sebelumnya, Hall berkonsultasi dengan semua pemimpin ekspedisi yg berencana mendaki Everest pada musim semi, dan mereka bersepakat untuk membangun dan merawat sebuah rute pendakian yg melewati Jeram Es tersebut. Untuk semua jerih payah itu, tim yg membangun rute pendakian akan menerima 2.200 dollar  dari setiap tim lain yg mendaki gunung dengan menggunakan fasilitas mereka. Baru beberapa tahun terakhir  ini kerja sama itu diterima dan disetujui meskipun belum mendunia.
       Tim ekspedisi pertama yg berpikir untuk meminta bayran dari tim  lain yg menggunakan jalur yg mereka buat adalah sebuah tim kaya raya dari Amerika Serikat, yaitu pada 1988 ketika mereka mengumumkan bahwa setiap tim ekspedisi yg berniat menggunakan lintasan tali yg mereka buat sampai ke Jeram Es harus membayar 2.000 dollar. Beberapa tim lain yg sama-sama mendaki pada tahun itu tidak bisa memahami bahwa Everest bukan lagi sekedar gunung melainkan sebuah komoditi, dan mereka benar-benar marah. Protes paling keras muncul dari Rob Hall yg saat itu sedang memimpin sebuah tim kecil dan miskin dari Selandia Baru.
       Hall menuduh orang Amerika "merusak semangat pendakian" dan menerapkan praktik pemerasan yg memalukan, tetapi Jim Frush, pengacara yg memimpin tim Amerika tersebut, sama sekali bergeming. Meskipun sangat marah, Hall akhirnya setuju untuk mengirimkan cek kepada Jim Frush dan dia diijinkan mendaki dengan menggunakan rute mereka sampai ke Jeram Es. (Frush melaporkan kemudian bahwa Hall tidak pernah melunasi utangnya.)
        Akan tetapi dua tahun kemudian, sikap Hall berubah 180 derajat dan memahami logika untuk memperlakukan Jeram Es sebagai sarana pendakian. Bahkan, sejak 1993 sampai 1995 dia sendiri menawarkan untuk membuat rute tersebut dan menarik biaya dari tim lain yg menggunakannya. Musim semi 1996, Hall melepaskan tanggung jawabnya untuk membuat dan memelihara rute tersebut, tetapi dia siap untuk membayar kepada pemimpin ekspedisi komersial* yg juga pesaingnya---seorang veteran pendaki Everest berkebangsaan Skotlandia bernama Mal Duff---yg mengambil alih tugas tersebut. Jauh sebelum kami tiba di Base Camp, sekelompok Sherpa yg dipekerjakan oleh Duff telah membuat jalur zigzag melewati bongkahan-bongkahan serac, memasang rentangan tali sepanjang lebih dari satu mil dan memasang enam puluh tangga alumunium diatas celah-celah gletser yg menganga. Tangga-tangga alumunium tersebut milik sekelompok warga Sherpa dari Desa Gorak Shep yg memperoleh keuntungan besar setiap musimnya hanya dari menyewakan tangga.
       Pada hari Sabtu, 13 April, pukul 04.45 pagi, aku mendapati diriku berdiri di kaki Jeram Es yg ternama itu, mencengkeramkan cramponku ditengah keremangan udara fajar yg dingin.
       Para pendaki tua yg menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mendaki akan menasehati anak didiknya untuk mendengarkan dengan cermat suara batinnya agar tetap bisa bertahan hidup. Cukup banyak cerita tentang pendaki yg memutuskan untuk tetap tinggal dikantong tidurnya setelah mendengar bisikan hati yg kurang menyenangkan, dan kemudian terhindar dari bencana yg menimpa rekan-rekan mereka yg mengabaikan isyarat tersebut.
       Aku tidak pernah meragukan pentingnya isyarat bawah sadar. Ketika aku sedang menunggu Rob Hall untuk memimpin kami, permukaan es yg kuinjak mengeluarkan suara derak yg cukup keras, seperti pohon kecil yg sedang dibelah dua, dan aku bergidik setiap kali merasakan gerakan dan getaran dari sungai es yg bergerak jauh didalam sana. Masalahnya, suara batinku selalu memberi isyarat yg bernada pesimis: yg terus menerus berteriak , bahwa aku akan segera mati, dan isyarat seperti itu selalu muncul setiap aku mengikat tali sepatu gunung dan siap untuk mendaki. Oleh karenanya, aku berjuang keras untuk mengabaikan imajinasiku yg berlebihan dan dengan muram mengikuti Rob memasuki labirin biru yg menakutkan itu.
       Meskipun aku belum pernah melihat sebuah jeram es yg lebih menakutkan dari Jeram Khumbu, aku sudah pernah mendaki beberapa jeram es yg lain. Jalur pendakian disekitar jeram-jeram seperti itu kebanyakan jalur vertikal atau jalur yg saling bertumpuk yg hanya bisa ditundukkan denga keterampilan tinggi dalam menggunakan kapak es dan crampon. Disekitar jeram Es Khumbu, jalur yg terjal dan tertutup es memang banyak dijumpai, tetapi disini tempat-tempat seperti itu sudah dipenuhi oleh puluhan tangga, tali atau kombinasi tangga dan tali sehingga peralatan dan tekhnik pendakian es yg konvensional sama sekali tidak berguna.
        Dengan cepat aku belajar bahwa di Everest, seutas tali---alat bantu yg paling umum bagi seorang pendaki---tidak digunakan sebagaimana lazimnya. Dalam pendakian tradisional , seorang pendaki akan diikat pada satu atau dua rekannya melalui seutas tali yg panjangnya kira-kira 150 kaki sehingga setiap pendaki bertanggung jawab langsung atas hidup mati rekannya yg lain; mengikatkan tali dengan cara seperti ini merupakan tindakan yg serius dan sangat intim. Akan tetapi, di Jeram Es ini, setiap pendaki diharapkan untuk mendaki secara indipenden, tanpa terikat kepada pendaki lain.
        Para Sherpa yg dipekerjakan oleh Mal Duff sudah memasang lintasan tali mulai dasar Jeram Es sampai ke puncaknya. Dipinggangku aku membawa harness sepanjang tiga kaki dengan sebuah cincin kait atau karabiner diujungnya. Untuk pengamanan, aku tidak mengaitkan diriku kepada seorang rekan pendaki tetapi pada rentangan tali yg sudah tersedia dan terus menarik diriku sampai ke ujung lintasan tali. Dengan cara ini kami bisa dengan cepat melewati  jalur yg paling berbahaya disekitar Jeram Es tersebut tanpa perlu menggantungkan keselamatan kami kepada rekan-rekan lain yg keahlian dan pengalamannya belum diketahui. Ternyata, selama pendakian di Everest tidak sekalipun aku harus mengikatkan diriku kepada pendaki yg lain.
        Meskipun jalur pendakian disekitar Jeram Es tidak banyak membutuhkan teknik-teknik mendaki tradisional, ditempat ini kami membutuhkan keahlian khusus yg lain---misalnya, berjalan jinjit dengan memakai sepatu gunung yg sudah dipasangi crampon melewati tiga buah tangga alumunium yg disambung dengan tali, tangga yg terus bergoyang-goyang saat dilewati dan dipasang diatas celah gletser yg menganga. Jembatan seperti itu ada beberapa buah, dan aku tidak pernah terbiasa melewatinya.
       Suatu hari menjelang fajar, aku sedang meniti tangga sambil berusaha menjaga keseimbangan tubuhku diatas tangga yg bergoyang-goyang, melangkah dengan hati-hati dari satu anak tangga ke anak tangga yg lain. Tiba-tiba permukaan es tempat ujung tangga itu bersandar mulai bergetar seakan-akan ada gempa bumi. Beberapa saat kemudian terdengar suara dentuman keras, sebuah serac besar yg berada tidak jauh diatasku meluncur ke bawah. Tubuhku seperti membeku, jantungku seakan-akan terlepas, tetapi longsoran es itu hanya lewat kira-kira lima puluh kaki disebelah kiriku, menghilang dari pandangan, tanpa menimbulkan kerusakan. Setelah menunggu beberapa menit untuk mengembalikan semangatku, aku meneruskan mendaki melewati lintasan tangga yg terus bergoyang-goyang itu sampai ke ujungnya.
       Sungai es yg terus mengalir yg kadang-kadang bergejolak ikut menambah elemen ketidak pastian pada setiap pendakian melewati tangga. Saat sungai es itu bergerak, celah-celah gletser yg kami lewati kadang-kadang mengecil sehingga menekan tangga-tangga yg kami lewati hingga tampak seperti tusuk gigi; pada saat lain, celah gletser itu bisa merenggang sehingga untaian tangga bergelantungan diudara tanpa penopang yg kukuh dikedua sisinya. Selain itu, permukaan tempat jangkar* yg mencengkeram tangga dan tali-tali itu sering kali merenggang jika matahari sore mencairkan es dan salju disekelilingnya. Meskipun dirawat setiap hari, setiap tali bisa saja menjadi rapuh kemudian putus saat menahan berat tubuh. Anehnya, meskipun sulit didaki dan sangat menakutkan, Jeram Es itu memiliki daya tarik tersendiri. Ketika sinar matahari fajar menghalau kegelapan dari langit, sungai es yg terpecah-pecah itu menampilkan pemandangan alam tiga dimensi yg keindahannya benar-benar memukau. Temperatur udara berkisar antara enam derajat Fahrenheit. Suara sepatu esku yg menghunjam permukaan sungai es terasa melegakan. Lintasan tali membawaku bergerak meliuk-liuk melewati barisan stalagmit vertikal berwarna biru kristal. Tonjolan-tonjolan batu yg sangat besar dan tertutup es menghiasi kedua sisi sungai es, bagaikan bahu seorang dewa yg kejam. Terpesona oleh keadaan sekelilingku dan sulitnya jalur yg kulalui, aku tenggelam ditengah kegembiraan yg bebas, dan selama satu atau dua jam, aku melupakan ketakutanku.


*Sejak upaya penaklukan Everest yg pertama, hampir semua ekspedisi---baik yg komersial maupun non komersial---selalu mengandalkan bantuan para Sherpa untuk mengangkut sebagian besar perbekalan diatas gunung. Namun, sebagai klien dari sebuah ekspedisi yg dipandu, kami sama sekali tidak membawa beban kecuali sedikit perlengkapan pribadi, dan hal ini, kami sangat berbeda dengan ekspedisi nonkomersial pada masa lampau

*Bergschrund adalah celah yg sangat dalam yg merupakan terminal atas dari sebuah es; bergschrund terbentuk ketika bongkahan es meluncur dari lereng yg lebih curam yg terletak langsung diatasnya, menimbulkan celah besar antara gletser dan batuan.

*Meskipun aku menggunakan kata "komersial" untuk setiap ekspedisi yg bertujuan mencari keuntungan, tetapi tidak semua ekspedisi komersial memiliki pemandu. Misalnya, Mal Duff---yg menetapkan tarif kurang dari 65.000 dollar untuk setiap klien, berarti lebih rendah dari tarif  yg ditawarkan oleh Hall dan Fischer---menawarkan pemimpin ekspedisi dan prasarana penting yg dibutuhkan untuk mendaki Everest (makanan, tenda, oksigen botol, rentangan tali, tenaga pendukung warga Sherpa dan sebagainya), tetapi tidak menyediakan pemandu; para pendaki yg tergabung dalam timnya dianggap memiliki keahlian cukup untuk mendaki dengan selamat sampai di Puncak Everest dan kembali lagi ke bawah.

*Jangkar: tiang alumunium sepanjang tiga kaki dan lazim disebut picket akan mengunci tali dan tangga alumunium ke lereng es; jika permukaan disekitar jangkar tertutup oleh lapisan es yg keras, digunakan "sekrup es" : sebuah pipa kosong dan tipis sepanjang sepuluh inchi yg diputar masuk kedalam permukaan gletser yg membeku.

Bersambung......


Setelah menempuh tiga perempat perjalanan menuju Camp Satu, ketika kami sedang beristirahat sejenak, Hall mengatakan bahwa kondisi Jeram Es kali ini lebih baik daripada sebelumnya, "Pada musim pendakian ini, jalur yg kita lalui benar-benar bebas hambatan." Namun hanya beberapa kaki ke atas, pada ketinggian 19.000 kaki, lintasan tali membawa kami ke bawah sebuah badan serac yg sangat besar dan sangat berbahaya. Serac yg tingginya sama dengan bangunan dua belas tingkat tersebut berada tepat diatas kepala kami, bergantung dengan kemiringan 30 derajat. Jalur pendakian di tempat itu sangat sempit dan terjal denga lapisan yg saling bertumpuk: kami harus naik melewati menara yg miring ini agar bisa terhindar dari ancaman yg beratnya puluhan ton tersebut.
        Keselamatan disini sangat bergantung pada kecepatan, pikirku. Aku bergerak dengan cepat agar bisa sampai dipuncak serac yg relatif aman, tetapi karena tubuhku belum beraklimatisasi, kecepatan gerakku tidak lebih dari kecepatan orang yg merangkak. Setiap empat atau lima langkah aku harus berhenti, bersandar pada tali, dan mencoba menghirup udara pahit, yg tipis oksigen, membuat paru-paruku seperti terbakar.
        Ketika aku tiba dipuncaknya, serac itu masih tetap berada ditempatnya. Aku tergeletak kelelahan dipuncak serac yg datar, jantungku berdetak keras seperti bunyi mesin pengeras tanah. Beberapa saat kemudian sekitar pukul 08.30 pagi aku tiba dipuncak Jeram Es Khumbu, diatas serac yg terakhir. Suasana aman Camp Satu tidak mampu menenangkanku: aku terus memikirkan serac miring yg berada tidak jauh dibawahku, memikirkan bahwa aku harus melewati serac besar yg sewaktu-waktu bisa jatuh itu sedikitnya tujuh kali lagi sebelum aku bisa mencapai puncak Everest. Pendaki yg pernah mencibir  dan merendahkan rute ini sebagai Rute Yak, pikirku, jelas belum pernah melewati Jeram Es Khumbu.
        Sebelum meninggalkan Base Camp, Rob menjelaskan kepada kami semua bahwa kami akan turun kembali tepat pada pukul 10.00 pagi meskipun  belum seluruh anggota tim tiba di Camp Satu, supaya kami bisa tiba di Base Camp sebelum matahari siang yg membuat Jeram Es makin tidak stabil. Pada waktu yg sudah ditentukan, hanya Rob, Frank Fischbeck, John Taske, Doug Hansen dan aku sendiri yg berhasil mencapai Camp Satu; Yasuko Namba, Stuart Hutchison, Beck Weathers dan Lou Kasischke yg dipandu leh Mike Groom dan Andy Harris, masih berada 200 kaki dibawah perkemahan ketika Rob menghidupkan radio dan meminta semua orang untuk turun kembali.
       Untuk pertama kalinya kami bisa mengamati dan menaksir kekuatan dan kelemahan rekan-rekan dengan siapa kami harus saling bergantung selama beberapa minggu ke depan. Doug dan John yg memasuki usia lima puluh enam---anggota tim yg paling tua--masih tampak segar. Namun penampilan Frank, penerbit dari Hongkong yg sopan dan lemah lembut, benar-benar mengesankan; pengalaman yg diperolehnya dari tiga pendakian ke Everest benar-benar tampak sejak awal pendakian. Frank bergerak lambat tetapi pasti, ketika tiba di puncak Jeram Es, diam-diam dia berhasil melewati kami semua, sama sekali tidak tampak terengah-engah.
       Sebaliknya, Stuart---anggota tim termuda dan kelihatan paling kuat--- yg keluar dari Base Camp mendahului anggota tim yg lain, dengan cepat tampak kelelahan, dan saat tiba dipuncak Jeram Es, dia berada jauh dibelakang pendaki lain. Lou, yg gerakannya terhambat karena otot kakinya terluka pada hari pertama perjalanan menuju Base Camp, mendaki dengan lambat tetapi kompeten. Sebaliknya, Beck dan terutama Yasuko, tampak kelelahan.
      Beberapa kali, Beck dan Yasuko harus menghadapi bahaya karena hampir terjatuh dari lintasan tangga dan masuk kedalam celah gletser, dan Yasuko sepertinya kurang memahami cara menggunakan crampon*. Sepanjang pagi itu, Andy yg ternyata seorang guru yg berbakat dan sabar---dalam posisinya sebagai pemandu junior ditugasi untuk membantu pendaki yg paling lamban dan paling belakang---terus mengajari Yasuko tentang beberapa teknik dasar mendaki es.
       Apa pun kekurangan masing-masing anggota tim, dipuncak Jeram Es, Rob mengumumkan bahwa dia puas melihat penampilan semua orang."Mengingat ini pendakian pertama kalian diatas Base Camp, penampilan kalian hari ini benar-benar baik," katanya seperti seorang ayah yg bangga. "Aku pikir, tim aku tahun ini cukup tanggguh."
       Dibutuhkan satu jam lebih untuk turun kembali ke Base Camp. Ketika aku selesai melepaskan cramponku dan berjalan beberapa ratus meter ke perkemahan, sinar matahari yg terik seakan-akan siap melubangi ubun-ubun kepalaku. Beberapa menit kemudian, ketika aku sedang mengobrol dengan Helen dan Chhongba diperkemahan, tiba-tiba saja aku terserang sakit kepala yg sangat hebat. Belum pernah aku merasakan sakit kepala seperti itu: rasa sakit yg meremukkan pelipis---rasa sakit yg sedemikian parah, juga mual, yg bahkan membuatku tidak mungkin berbicara dengan benar. Oleh karena takut terserang semacam penyakit tekanan darah tinggi, aku menghentikan percakapan, berdiri dan berjalan terhuyung-huyung menuju kantong tidurku, kemudian berbaring sambil menutup kedua mataku dengan topi.
       Sakit kepala yg menyerangku terasa sangat menusuk seperti migrain, dan aku tidak tahu penyebabnya. Aku ragu-ragu bahwa penyakitku merupakan dampak ketinggian karena sakit kepala seperti ini baru menyerangku setelah aku tiba di Base Camp. Kemungkinan ini merupakan reaksi dari radiasi ultraviolet yg sangat kuat yg telah membakar retinaku dan memanggang otakku. Apapun penyebabnya, rasa sakit yg ditimbulkannya benar-benar menyiksa dan tidak kenal kasihan. Selama lima jam aku terbaring ditendaku, menghindari setiap rangsangan indrawi. Jika aku membuka mata, atau bahkan membalikkan tubuh dari satu sisi ke sisi lain meskipun mataku tetap tertutup, rasa sakit yg amat sangat membuat tubuhku seperti terlonjak. Ketika matahari terbenam, karena tidak mampu lagi menahan rasa sakit, aku berjalan terhuyung-huyung ke kemah medis untuk meminta saran Caroline, dokter ekspedisi.
       Dia memberiku analgesik (pengurang rasa sakit) yg kuat dan memintaku untuk minum air, tetapi setelah beberapa teguk aku malah memuntahkan pil, air yg kuminum dan sisa-sisa makan siangku. "Hmm," gumam Caro setelah mengamati muntahanku, "sepertinya kita perlu mencoba obat yg lain." Aku diminta untuk melarutkan sebutir pil kecil dibawah lidahku, yg menahanku agar tidak muntah lagi, dan kemudian minum dua pil kodein. Sejam kemudian, rasa sakit yg kurasakan mulai sirna. Hampir menangis karena lega, aku pun mulai tertidur.
   
Aku masih setengah tertidur dalam kantong tidurku sambil mengamati sinar matahari yg memantulkan bayangan ke dinding tenda, ketika aku mendengar Helen berteriak, "Jon! Telepon dari Linda!" Aku merenggut sepasang sendal dan berlari kurang lebih lima puluh meter menuju kemah komunikasi, meraih gagang telepon sambil berusaha keras untuk menarik napas.
       Ukuran mesin faksimile dan telepon satelit kami tidak lebih besar daripada sebuah laptop. Sambungan telepon / faksimile ke tempat ini sangat mahal---kira-kira lima dollar permenit--- dan salurannya tidak selalu jernih, tetapi fakta bahwa istriku berhasil memutar tiga belas digit nomor dari Seattle dan berbicara denganku di Gunung Everest ini sungguh mengagumkan. Meskipun telepon itu sangat menghiburku, nada pasrah dalam suaranya terdengar nyata bahkan ketika kami berdua berada diujung yg berlawanan dari bola dunia."Aku baik-baik saja," katanya meyakinkanku, "tapi aku berharap kamu ada disini."
       Delapan belas hari yg lalu, saat mengantarku ke pesawat yg akan membawaku ke Nepal, Linda menangis. "Sepanjang perjalanan dari bandara ke rumah," katanya, "Aku tidak bisa berhenti menangis. Mengucapkan selamat berpisah kepadamu adalah hal paling menyedihkan yg pernah kulakukan. Kukira pada titik tertentu aku menyadari bahwa kamu mungkin tidak akan kembali, dan itu hanya untuk sesuatu yg tampaknya sia-sia. Aku merasa kamu melakukan sesuatu yg sangat bodoh dan tidak berguna.
       Kami sudah menikah selama lima belas setengah tahun. Hanya seminggu setelah berbicara tentang pernikahan, kami berdua datang kekantor catatan sipil dan langsung menikah. Waktu itu usiaku baru dua puluh enam tahun dan baru saja memutuskan untuk berhenti mendaki dan bersungguh-sungguh menjalani kehidupan.
       Waktu aku bertemu Linda untuk pertama kalinya, dia juga seorang pendaki---pendaki yg sangat berbakat---tetapi dia mengundurkan diri setelah pergelangan tangannya patah dan punggungnya terluka, dan kemudian mempertimbangkan dengan kepala dingin resiko yg terkait dengan kegiatan mendaki gunung. Linda tidak akan pernah memintaku untuk meninggalkan kegiatan ini, tetapi ketika kukatakan bahwa aku akan meninggalkan dunia petualangan ini, keyakinannya untuk menikah denganku semakin besar. Aku hanya tidak menyadari bahwa mendaki telah mencengkeram jiwaku, bahwa tanpa mendaki kehidupanku terasa seakan-akan tanpa kemudi.Aku tidak mengantisipasi kekosongan yg akan kurasakan tanpa mendaki Setahun kemudian, diam-diam aku mengeluarkan peralatan mendaki dari gudangku dan kembali ke gunung. Pada 1984, ketika aku berangkat ke Swiss untuk mendaki Eiger Nordwand, sebuah puncak gunung yg sangat berbahaya, perkawinanku dengan Linda hampir berakhir, dan mendaki gunung merupakan inti penyebabnya.
       Setelah gagal mendaki Eiger, perkawinan kami tetap goyah selama dua atau tiga tahun, tetapi kami masih mampu bertahan. Akhirnya, Linda bisa menerima kegiatanku mendaki: mendaki merupakan satu bagian penting (meskipun membingungkan) dari diriku. Mendaki, demikian pemahaman Linda, merupakan ungkapan penting dari aspek yg aneh tetapi melekat  pada kepribadianku, yg tidak bisa ku ubah, seperti aku tidak bisa mengubah warna mataku. Lalu, ditengah-tengah penyesuaian itulah, majalah Outside memutuskan untuk mengirimku ke Everest.
        Awalnya aku berpura-pura bahwa peranku sebagai wartawan lebih penting daripada peranku sebagai pendaki---bahwa aku menerima penugasan ini karena komersialisasi Everest  merupakan topik yg sangat menarik, dan uang yg kuperoleh pun cukup lumayan. Aku jelaskan kepada Linda dan orang-orang yg meragukan kemampuanku mendaki Himalaya. "Barangkali aku hanya akan mendaki sedikit lebih tinggi daripada Base Camp," kataku ngotot. ""Hanya untuk mengalami sendiri, bagaimana rasanya berada ditempat yg sangat tinggi."
        Tentu saja semua itu cuma omong kosong. Mengingat lamanya perjalanan ini dan waktu yg sudah kuhabiskan untuk pelatihan, dengan tinggal dirumah dan menerima penugasan lain aku bisa memperoleh lebih banyak uang. Aku menerima penugasan ini karena aku sudah berada dalam genggaman mistis Everest. Kenyataannya, aku ingin mendaki gunung itu lebih dari apapun yg pernah kuinginkan dalam hidupku. Sejak pertama aku setuju untuk pergi ke Nepal, aku berniat untuk mendaki sejauh kaki dan paru-paruku bisa membawaku.
        Saat Linda mengantarku ke bandara, dia sudah memahami kepura-puraanku. Dia memahami keinginanku yg sesungguhnya, dan itu membuatnya takut. "Jika kamu mati," katanya dengan marah bercampur putus asa, "bukan cuma kamu yg harus menanggungnya. Aku juga harus menanggungnya seumur hidupku, dan kamu tahu itu. Apakah itu sama sekali tidak berarti bagimu?"
        "Aku tidak akan mati," jawabku." Jangan berlebihan."
 

*Meskipun Yasuko pernah menggunakan sepatu paku (crampon) saat dia mendaki Aconcagua, McKinley, Elbrus dan Vinson Masif, pendakian ditempat-tempat tersebut tidak bisa sepenuhnya disebut pendakian gunung es. Medan pendakian di keempat gunung tersebut umumnya merupakan lereng es yg landai dan atau batuan reruntuhan yg lepas seperti batu kerikil


Bersambung......

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar