Tidak ada satupun orang yg bisa men-terjemahkan arti dari cinta apalagi bisa mem-visualisasikannya. Cinta adalah sesuatu yg selamanya akan abstrak, hanya bisa di rasakan dengan hati. Saya rasa Adam dan Hawa, sebagai manusia pertama yg menjadi pasanganpun begitu, akan kebingungan jika ditanya apa arti cinta. Dalam tulisan ini saya juga bukan hendak membahas tentang cinta Adam Hawa ataupun legenda-legenda cinta lainnya yg sudah dikenal dunia. Disini saya ingin bicara tentang mengapa seseorang melarang pasangannya mendaki gunung, "membunuh" kecintaan seseorang terhadap gunung. Permasalahan klise yg sering dihadapi seorang pendaki saat sudah berpasangan. Mendaki tidak kenal usia kapan seseorang memulainya, tapi satu hal yg bisa dipastikan, nyaris semua orang yg pernah coba mendaki gunung akan ketagihan untuk kembali mengulanginya dilain waktu. Nyaris sama bukan dengan cinta yg ada diantara 2 manusia?? tidak mengenal usia.
Bagi seseorang yg sudah memiliki pasangan (baca: suami/istri) tentunya kecintaan terhadap mendaki terkadang sering berbenturan dengan kepentingan keluarga apapun bentuknya. Hal yg juga saya alami. Kerap kali istri melarang saya untuk menyalurkan hobi mendaki, dan jika itu terjadi tak jarang memicu konflik diantara kami, sebab kedua hal tersebut (keluarga dan mendaki) adalah dua cinta yg ada dalam hati saya yg berbeda arah, seperti dua sisi mata uang. Cukup lama saya merasa "mentok" untuk mendapatkan solusinya. Kenapa saya begitu keras mencari solusi agar dua hal diatas bisa berjalan beriringan dalam kehidupan saya?? Sebab, dunia mendaki sudah ada dan hidup jauh sebelum saya mengenal istri saya. Bahkan ibu saya sendiri yg memperkenalkan saya dengan dunia petualangan sejak saya kelas 3 sekolah dasar. Jadi kalau mau egois sebagai "istri pertama" seharusnya mendaki adalah cinta yg menjadi prioritas saya, tapi kan hidup tidak bisa seperti itu.
Sering saya memperhatikan beberapa teman, yg juga hobi mendaki saat masih bujangan lalu memutuskan untuk berhenti sejak berkeluarga, karena pasangannya tidak setuju dg hobi mendakinya. TAPI berdasarkan pengamatan saya juga, setelah sekian tahun mereka-mereka itu pada akhirnya seringkali mencuri-curi untuk sekedar hang out dengan teman-temannya. Lebih parahnya lagi sering mengeluh tentang kejenuhan dalam menjalankan rutinitas sehari-hari, yg ujung-ujungnya kembali merindukan bisa bertualang dan menikmati alam. Ini bukti bahwa "membunuh total" hobi yg kita cintai tidak akan pernah bisa, yg bisa adalah meredam frekuensinya sebab layaknya logika candu, tidak akan bisa dihilangkan. Istri saya pun begitu, awalnya tidak suka dengan hobi saya mendaki. Kasus seperti yg saya alami ini tentunya tidak berlaku bagi pasangan yg sama-sama hobi mendaki, paling tidak jika terjadi masalah tentang hobinya mendaki akan lebih mudah menemukan solusi.
Dalam pandangan saya berdasarkan hasil analisa sederhana ...(hehe...bahasanya analisa)...ketidaksukaan pasangan kita terhadap dunia mendaki karena dia tidak pernah tahu apa itu mendaki dan apa efek yg di timbulkan bagi si pendaki. Jadi jika kita tidak ingin dilarang untuk tetap mendaki kita harus aktif dan berusaha memperkenalkan pasangan kita tentang mendaki. Akan ada proses untuk membuatnya mengerti, butuh waktu. Kesalahan-kesalahan yg sering di buat oleh seorang laki-laki sehingga membuatnya dilarang untuk mendaki lagi adalah :
1. Tidak terbuka terhadap pasangannya dg siapa kita pergi, berapa lama pergi dan seperti apa medan yg akan dihadapi.
2. Tidak melibatkan pasangannya untuk ikut mempersiapkan segala keperluan mendaki. Paling tidak cobalah mengajaknya untuk mengenal dunia kita.
3. Memilih waktu yg salah dan cenderung mendadak bilang akan berangkat padahal seringkali rencananya sudah di plot sejak jauh hari.
4. Menunda atau mengurangi frekuensi komunikasi dg pasangan selama pendakian dg alasan sinyal lemah dan pulsa yg habis, konyolnya sudah ada sinyal pun sering sengaja tidak menghubungi.
5. Menceritakan hanya hal-hal yg susah, berat dan sedih tentang pendakiannya terhadap pasangan. Di hajar badai lah, kelaparanlah, dll.
6. Memaksakan pergi walau kondisi finansial sedang kurang baik.
7. Tidak melihat skala prioritas.
See??...adakah salah satu dari tujuh point itu yg sering kita lakukan?? So...bagaimana seorang pasangan tidak melarang kita untuk berhenti mendaki jika cara kita menunjukkan hobi seperti itu. Remember guys, seorang istri hanya membutuhkan 2 hal dalam rumah tangganya, yaitu jaminan untuk rumah tangga dan anak-anaknya serta kepastian kasih sayang dari suaminya. Bicara tentang dua point diatas, muaranya adalah JANGAN BUAT PASANGAN ANDA RAGU DAN KHAWATIR. Caranya?? Dengan tidak melakukan tujuh point di atas tadi.
Wanita itu ketika telah mencintai seorang lelaki dan memutuskan berumah tangga (baca: menjadi istri) secara otomatis dia telah siap kehilangan kebebasannya. Ya, salah satunya hilang kebebasan untuk bermain, sebab aturan agama pun melarang seorang wanita bersuami untuk pergi meninggalkan rumah tanpa ijin suaminya. Wanita akan sepenuhnya melepaskan segala atribut kebebasannya demi menyandang gelar baru "Ibu Rumah Tangga". Hebatnya wanita bisa dengan konsisten seperti itu seumur hidupnya. Bagaimana dg lelaki??! Bullshit alias non sense-lah lelaki bisa. Lelaki akan tetap menjadi "lelaki" setelah dia menikah. Tetap bisa bermain atau melakukan hal-hal yg biasa dia lakukan saat belum menikah. Sudah kodrat nya seperti itu. Saya berani bilang, adalah suatu keputusan bodoh jika seorang lelaki "membunuh" hobi mendakinya demi menuruti larangan istri...saya jamin tidak akan bertahan seumur hidup keteguhannya menahan hasrat mendaki. Paling buruk dia akan sembunyi-sembunyi melakukannya lagi. Mendaki bukan hal yg salah, seperti yg saya bilang di atas, yg salah adalah cara lelaki menjelaskan "mendaki" kepada pasangannya.
Wanita itu ketika telah mencintai seorang lelaki dan memutuskan berumah tangga (baca: menjadi istri) secara otomatis dia telah siap kehilangan kebebasannya. Ya, salah satunya hilang kebebasan untuk bermain, sebab aturan agama pun melarang seorang wanita bersuami untuk pergi meninggalkan rumah tanpa ijin suaminya. Wanita akan sepenuhnya melepaskan segala atribut kebebasannya demi menyandang gelar baru "Ibu Rumah Tangga". Hebatnya wanita bisa dengan konsisten seperti itu seumur hidupnya. Bagaimana dg lelaki??! Bullshit alias non sense-lah lelaki bisa. Lelaki akan tetap menjadi "lelaki" setelah dia menikah. Tetap bisa bermain atau melakukan hal-hal yg biasa dia lakukan saat belum menikah. Sudah kodrat nya seperti itu. Saya berani bilang, adalah suatu keputusan bodoh jika seorang lelaki "membunuh" hobi mendakinya demi menuruti larangan istri...saya jamin tidak akan bertahan seumur hidup keteguhannya menahan hasrat mendaki. Paling buruk dia akan sembunyi-sembunyi melakukannya lagi. Mendaki bukan hal yg salah, seperti yg saya bilang di atas, yg salah adalah cara lelaki menjelaskan "mendaki" kepada pasangannya.
Wanita dg karakter sekeras apapun tidak akan mencabut kebebasan suami yg di cintainya jika suaminya memang menunjukkan tanggung jawab dan komitmen yg utuh. Termasuk dalam melakukan hobi mendakinya. Wanita itu rasional dan punya daya rekam yg baik terhadap tindak tanduk suaminya. Jadi kita sebagai lelaki seharusnya intropeksi diri kenapa kita dilarang mendaki. Mendaki adalah cinta...didasari cinta...dan cinta itu seperti dahaga, harus dipuaskan. Saat cinta tersalurkan muncullah bahagia. Dimana letak bahagia itu??....di HATI. Kita mungkin bisa berpura-pura sesaat...selama beberapa waktu / tahun. Tapi sampai kapan mau membohongi diri?? Menepikan satu sisi kebahagiaan yg lain dg tidak mendaki atau menikmati alam?? Kemana kita mau mencari kebahagiaan itu sedangkan letak kebahagiaan itu di hati.
Catat ya...mendaki bukanlah hal yg salah, justru sebaliknya merupakan hal yg positif. Jadi jangan "bunuh" hobi mendaki kita karena suatu hal yg tidak logis selama kita mampu untuk itu. Apalagi demi menuruti seorang yg belum juga resmi menjadi pasangan hidup kita hanya supaya dia senang. Masih banyak cara yg benar untuk membuat pasangan hidup kita senang.
Bercermin dari pembahasan dan permasalahan yg saya ulas di atas, saya semakin bersyukur mempunyai pasangan hidup seperti Maminya Nino. Mengerti bahwa saya mencintai mendaki gunung. Mendukung dan mau mendengar penjelasan-penjelasan saya walau saya tau dia tidak interest dengan itu. Luv u honey.
Cc: Rainity Siswoyo.
Catat ya...mendaki bukanlah hal yg salah, justru sebaliknya merupakan hal yg positif. Jadi jangan "bunuh" hobi mendaki kita karena suatu hal yg tidak logis selama kita mampu untuk itu. Apalagi demi menuruti seorang yg belum juga resmi menjadi pasangan hidup kita hanya supaya dia senang. Masih banyak cara yg benar untuk membuat pasangan hidup kita senang.
Bercermin dari pembahasan dan permasalahan yg saya ulas di atas, saya semakin bersyukur mempunyai pasangan hidup seperti Maminya Nino. Mengerti bahwa saya mencintai mendaki gunung. Mendukung dan mau mendengar penjelasan-penjelasan saya walau saya tau dia tidak interest dengan itu. Luv u honey.
Cc: Rainity Siswoyo.
Minta opini, gimana kalo istrinya pendaki, sementara suaminya bkn? :-D. Menjelaskannya itu.. susah banget ^^"
BalasHapuskalau saya di posisi itu, selama tidak ada alasan yg membuat saya khawatir saya akan ijinkan istri saya mendaki. Toh wanita jauh lbh realistis dalam mengukur diri, baik terhadap hobi atau tanggung jawabnya sbg IRT. Setiap org selalu punya alasan yg tidak logis untuk melarang pasangannya, ya itu lah cinta, tidak bisa digambarkan. Satu hal yg pasti, jgn karena ketakutan kita yg berlebih membuat pasangan kita juga harus kehilangan passionnya. Apalagi wanita, berikan sedikit ijin dan kebebasan untuknya yg telah susah payah mengurus rumah tangga, mengurus anak2 kita dan menjaga nama baik suaminya.
BalasHapussaya hobi mendaki, mengalami kecelakaan mei 2014 karena kejatuhan batu besar di mahameru membuat kaki saya bengkak. . itu hanya kaki yg tetimpa apabila kepala atau badan mungkin saya sudah tiada. . sejak saat itu pasangan tidak menyukai hobi saya lagi dan memberi pilihan antara hobi dan dia . . karena kekhawatirannya kpda saya. . padahal sebelumnya sangat support. . mohon sarannya saya masih ingin mendaki lagi
BalasHapusSy bukan ahli psikologi bang Allan, apalagi berpengalaman healing trauma. Tp sedikit saran dr pandangan sy, cpt atau lambatnya proses healing trauma tergantung dr keaktifan kita sendiri. Mulailah dr olahraga ringan bersama-sama, lanjutkan dg jln2 di taman yg asri atau mengunjungi tempat wisata yg kental suasana alamnya. Dan seterusnya, sy pikir bang Allan mengerti lah arah bicara sy kmn.
BalasHapusJgn lupa, setiap memulai suatu ajakan, lihat kondisi mood pasangan kita, jgn pas PMS ya...hehe. Kalo di tolak jgn patah arang. Jgn terburu2 "membawanya" ke arah yg kita mau. Wanita senang di manja dan di puja, jd ga ada salahnya u/ menutupi modus kita yg sebenarnya di bungkus dg cara yg romantis...just like second honeymoon...:)...sabar bang...pasti berhasil koq. Semangat ya. Salam Lestari.
Nah kalo saya sebagai istri bisa apa? Apakah harus benar2 membunuh hasrat mendaki yang tak bisa dihilangkan...
BalasHapusGa bisa dihilangkan mbak, tp pasti ada jalan keluarnya. Sy sendiri perlu waktu lebih dr 6 tahun u/ menemukan jln keluar yg baik. Jd seperti apa jalan keluar yg baik ya hanya masing2 individu yg tau.
HapusU/ awal mungkin kita hrs mengalah, meredam hasrat mendaki, lalu mengganti kemasan hobi kita. Seperti ngajak rekreasi ke air terjun atau yg bersuasana alam.
Pelan2 aja, semua ada prosesnya.
Ntar kalo udh anak, kita perkenalkan anak kita dg hobi kita, jd tinggal tunggu waktu aja.