Selasa, 19 Agustus 2014

Into Thin Air --- Bab VIII

CAMP SATU --- 16 APRIL 1996 --- 19.500 KAKI

Sesaat sebelum fajar menyingsing, hari Selasa pada 16 April, setelah beristirahat dua hari di Base Camp, kami berjalan ke arah Jeram Es untuk memulai perjalanan kedua sebagai bagian dari program aklimatisasi. Saat aku berjalan dengan perasaan  cemas ke arah kekacauan yg dingin dan berdesah itu, aku menyadari bahwa sekarang pernapasanku terasa lebih ringan dibanding dengan saat pertama ketika aku mendaki gletser ini; sepertinya tubuhkuu sudah mulai beradaptasi dengan ketinggian. Namun, ketakutan untuk tertimpa serac yg jatuh, masih sama besar dengan ketakutanku tiga hari yg lalu.
      Aku cuma berharap bahwa menara raksasa yg tergantung miring di ketinggian 19.000 kaki itu---yg oleh pendaki anggota tim Fischer dinamai perangkap tikus---sekarang sudah tumbang; nyatanya dia masih tegak disana, bahkan letaknya semakin condong. Sekali lagi napasku hampir terhenti saat aku tergesa-gesa mendaki untuk menghindari bayangannya yg menakutkan, dan sekali lagi aku roboh ke atas lutut sesaat setelah aku tiba di puncak bongkahan es tersebut, berusaha keras untuk menarik napas, dan gemetar karena derasnya adrenalin yg mengalir di pembuluh darahku.
      Tidak seperti perjalanan aklimatisasi kami yg pertama, ketika kami hanya tinggal di Camp Satu kurang dari satu jam sebelum turun kembali ke Base Camp, kali ini Rob bermaksud menginap dua malam di Camp Satu, yaitu Selasa dan Rabu, sebelum meneruskan ke Camp Dua dan menginap disana selama tiga malam, baru kemudian turun kembali ke Base Camp.
      Pukul 09.00 pagi, ketika aku tiba di lokasi Camp Satu, Ang Dorje*, sirdar* pendakian kami, sedang meratakan permukaan yg akan dipakai untuk mendirikan perkemahan di lereng gunung yg tertutup es yg sudah mengeras. Pendaki yg berusia dua puluh sembilan tahun itu bertubuh kurus, wajahnya halus, sifatnya pemalu dengan temperamen yg berubah-ubah, tetapi kekuatan fisiknya  benar-benar menakjubkan. Sambil menunggu  kedatangan teman-temanku, aku memungut sebuah sekop yg tidak terpakai dan  mulai membantunya menggali. Baru beberapa menit aku sudah kelelahan dan terpaksa duduk untuk beristirahat, memaksanya mengeluarkan tawa dari perut dan bertanya dengan suara menggoda, "Anda kurang sehat Jon? Ini baru Camp Satu, enam ribu meter. Udara disini masih cukup tebal."
      Ang Dorje berasal dari Pangboche, sebuah permukiman yg terdiri atas beberapa rumah batu dan beberapa petak ladang kentang yg menempel di lereng gunung yg terjal pada ketinggian 13.000 kaki. Ayahnya seorang pendaki Sherpa yg dihormati yg mengajari Ang Dorje teknik-teknik dasar memanjat gunung ketika usianya masih sangat muda, supaya Ang Dorje bisa memiliki keahlian yg bisa dipasarkan. Ketika usianya mencapai belasan tahun, ayahnya menjadi buta karena terserang katarak dan Ang Dorje ditarik dari sekolah supaya bisa mencari nafkah untuk keluarga.
      Pada 1984, saat bekerja sebagai pembantu juru masak untuk sekelompok penjelajah Barat, Ang Dorje menarik perhatian sepasang pendaki Kanada, Marion Boyd dan Graem Nelson. Menurut cerita Boyd, "Saya merindukan anak-anak saya, dan setelah lebih mengenalnya, Ang Dorje mengingatkan saya kepada anak lelaki saya yg sulung. Dia anak yg cerdas, menarik, punya minat besar untuk belajar dan sangat teliti. Ketika itu, dia sering ditugaskan membawa beban yg berat dan ditempat-tempat yg tinggi setiap hari hidungnya selalu berdarah. Saya mulai tertarik."
       Setelah mendapatkan restu dari ibu Ang Dorje, Boyd dan Nelson membantu Sherpa muda itu agar dia bisa kembali ke bangku sekolah. "Saya tidak akan lupa saat dia mengikuti ujian sekolah (untuk masuk ke sekolah dasar di Khumjung, yg didirikan oleh Sir Edmund Hillary). Tubuhnya sangat kecil dan berkembang. Kami harus duduk berdesak-desakan disebuah ruang kecil bersama-sama dengan kepala sekolah dan empat orang guru. Ang Dorje berdiri ditengah ruangan dengan lutut gemetar saat dia harus mengingat kembali pelajaran formal yg pernah dia peroleh agar bisa lulus ujian lisan ini. Kami semua menunggu dengan perasaan cemas...ternyata dia diterima dengan syarat dia harus duduk dikelas satu bersama anak-anak lain yg lebih kecil.
       Ang Dorje ternyata murid yg pandai, dan dia menyelesaikan sekolahnya sampai setingkat dengan kelas delapan, kemudian keluar dari sekolah dan kembali ke dunia mendaki dan lintas alam. Boyd dan Nelson, yg beberapa kali kembali ke Khumbu, menyaksikan Ang Dorje kecil tumbuh dewasa. "Setelah kenal dengan makanan bergizi, tubuhnya mulai berkembang, dia menjadi tinggi dan kuat," kenang Boyd. "Dengan bersemangat Ang Dorje menceritakan kepada kami bahwa dia belajar berenang di sebuah kolam renang di Kathmandu. Ketika berusia sekitar dua puluh lima tahun, dia belajar naik sepeda, dan untuk sesaat, menyukai musik-musik Madonna. Kami sadar bahwa dia sudah dewasa ketika dia membawakan kami hadiah, sebuah karpet Tibet yg dipilihnya dengan cermat. Dia ingin menjadi pemberi, bukan penerima."
       Ketika reputasi Ang Dorje sebagai pendaki yang kuat dan andal terdengar oleh para pendaki Barat, dia di angkat menjadi sirdar, dan pada 1992, dia bekerja  untuk Rob Hall di Everest. Saat ekspedisi Hall tahun 1996 berlangsung, Ang Dorje sudah tiga kali menaklukkan puncak. Dengan nada hormat bercampur sayang, Hall selalu menyebutnya sebagai "orang andalan saya," dan berkali-kali dia mengatakan bahwa Ang Dorje sangat berperan dalam suksesnya ekspedisi kami.
     Matahari bersinar sangat cerah ketika rekanku yang terakhir tiba di Camp Satu, tetapi tepat tengah hari, sekelompok awan tipis tertiup angin dari arah selatan; dan pada pukul tiga sore, awan tebal berputar-putar di atas gletser. Tak lama kemudian, butiran-butiran salju mulai turun di atas perkemahan menimbulkan suara yang sangat bising. Badai tidak berhenti sampai malam; pagi harinya, ketika aku merangkak dari tempat perlindungan yang kutempati bersama Doug, salju yang tingginya hampir satu kaki menutupi gletser. Lusinan longsoran salju meluncur cepat dari lereng gunung yang curam di atas kami, untungnya perkemahan kami berada diluar jangkauan longsoran itu.
     Selasa pagi pada 18 April, ketika langit sudah tampak cerah kembali, kami mulai berkemas dan melanjutkan perjalanan menuju Camp Dua, empat mil dan 1.700 kaki vertikal di atas kami. Rute yang kami lalui membawa kami ke dasar Lembah Cwm Barat yang landai, ngarai tertinggi dimuka bumi, sebuah ceruk berbentuk tapal kuda yang menjorok dari jantung Everest dekat Gletser Khumbu. Gunung Nuptse dengan ketinggian 25.790 kaki merupakan batas kanan dari Lembah Cwm, punggung barat daya Everest merupakan batas kiri, sedangkan bagian muka dari Puncak Lhotse yang besar dan tertutup es berada di utaranya.
     Udara benar-benar dingin saat kami meninggalkan Camp Satu, dan kedua tanganku berubah menjadi cakar-cakar yang kaku dan terasa nyeri, tetapi, ketika sinar matahari mulai menyinari sungai es, dinding-dinding Cwm yang tertutup butiran-butiran es menangkap dan memantulkan sinar matahari bagaikan sebuah oven matahari yang besar. Dalam sekejap seluruh tubuhku sudah berkeringat, dan karena aku takut terserang migrain yang pernah menyerangku saat di Base Camp, aku langsung membuka seluruh pakaian atas termasuk baju dalamku, kemudian memasukkan sekepal salju ke bawah topi bisbolku. Selama tiga jam berikutnya, aku berjalan perlahan tetapi mantap mendaki gletser, berhenti sebentar untuk minum dari botol air yang kubawa dan menganti gumpalan salju dibawah topiku setiap kali salju tersebut mulai mencair membasahi gumpalan rambutku.
      Pada ketinggian 21.000 kaki, pusing karena panas, aku tiba didepan sebuah objek yang mengenakan selimut plastik berwarna biru ditepi jalan yang kami lalui. Perlu satu atau dua menit, sebelum sel-sel otak kelabuku yang terganggu oleh ketinggian memahami bahwa objek dihadapanku adalah sesosok mayat. Terkejut dan terguncang, aku menatap mayat itu selama beberapa menit. Malam itu, ketika aku menanyakan kepada Rob tentang mayat tersebut, jawabannya sedikit ragu-ragu. Seingatnya mayat itu adalah mayat seorang warga Sherpa yang tewas tiga tahun lalu.
      Camp Dua berdiri pada ketinggian 21.300 kaki, terdiri atas kira-kira 120 tenda yang tersebar di atas morena sisi yang memanjang di tepi gletser. Dampak dari ketinggian kurasakan dikepalaku yang langsung berputar, seperti orang yang baru bangun setelah mabuk berat karena minum anggur merah. Serangan sakit kepala membuatku kehilangan nafsu makan, tidak bisa membaca, dan selama dua hari aku lebih banyak berbaring ditendaku dengan kedua tangan memeluk kepala, berusaha membatasi gerakanku sesedikit mungkin. Sabtu pagi, setelah aku merasa lebih sehat, aku mulai mendaki beberapa ribu kaki di atas perkemahan untuk latihan dan mempercepat proses aklimatisasi, dan ditempat itu, dipuncak Cwm, lima puluh kaki diluar jalur yang kulalui, aku melihat lagi sesosok mayat yang sedang berdiri diatas salju, atau lebih tepatnya, bagian bawah dari tubuh manusia. Melihat pakaian dan model sepatu boot yang dipakainya, dia pasti orang Eropa, dan mayat itu sudah berada diatas gunung sedikitnya sepuluh atau lima belas tahun.
      Pertemuanku dengan mayat pertama membuat tubuhku gemetar selama beberapa jam; tetapi, guncangan akibat pertemuanku dengan mayat kedua ternyata lebih cepat sirna. Beberapa pendaki yang melewatiku hanya menatap sekilas pada mayat tersebut. Sepertinya, diatas gunung ini sudah ada semacam kesepakatan tidak tertulis untuk berpura-pura mengabaikan mayat yang mulai rusak itu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak nyata---tapi tidak ada satu pendaki pun yang mau mengakui, apa yang dipertaruhkan ditempat ini.

         -------------------------

Hari Senin, 22 April, sehari setelah kembali dari Camp Dua ke Base Camp, Andy Harris dan aku berkunjung ke perkemahan tim Afrika Selatan untuk bertemu dengan tim mereka dan mencari tahu, mengapa mereka mengasingkan diri. Perkemahan mereka berdiri diatas setumpukan puing es, kira-kira lima belas menit dibawah perkemahan kami. Bendera Nasional Nepal dan Afrika Selatan, spanduk iklan Kodak, komputer Apple dan spanduk dari beberapa perusahaan sponsor berkibar diatas tiang yang terbuat dari alumunium. Andy melongokkan kepalanya ke dalam tenda perkemahan, menebarkan senyumnya yangbpaling menawan, dan berteriak, "Halo, ada orang di dalam?"
     Ternyata Ian Woodall, Cathy O'Dowd dan Bruce Herrod sedang berada di Jeram Es, dalam perjalanan turun dari Camp Dua, tetapi pacar Woodall---Alexandrine Gaudine---dan saudara lelaki Woodall, yaitu Phillip, ada diperkemahan. Selain mereka, kami juga bertemu seorang wanita muda ceria yang memperkenalkan diri sebagai Deshun Deysel, yang langsung mengundang Andy dan aku untuk minum teh. Ketiga anggota tim itu sepertinya tidak terganggu oleh laporan tentang perilaku Ian yang tercela, maupun tentang pecahnya tim mereka.
      "Saya mendaki permukaan es untuk pertama kalinya kemarin," kata Deysel dengan antusias, sambil menunjuk ke sebuah bongkah es tempat beberapa pendaki dari beberapa tim ekspedisi berlatih memahat es. "Benar-benar menyenangkan. Saya harap, dalam beberapa hari ini, saya bisa naik sampai ke Jeram Es." Sebenarnya aku ingin bertanya kepadanya tentang kebohongan Ian, dan bagaimana perasaannya saat dia tahu bahwa namanya tidak tercantum dalam anggota tim yang diijinkan mendaki Everest. Namun, dia tampak gembira dan sangat polos sehingga aku tidak berani bertanya. Setelah mengobrol beberapa menit, Andy mengundang seluruh anggota tim, termasuk Ian, "untuk berkunjung ke perkemahan kami dan minim-minum" malam nanti.
      Waktu aku tiba di perkemahan kami, aku menemukan Rob, dr.Caroline Mackenzie dan Inggrid Hunt, dokter dari tim Scott Fischer, sedang terlibat dalam percakapan radio dengan seseorang yang berada jauh di atas gunung. Beberapa saat sebelumnya, dalam perjalanan dari Camp Dua menuju Base Camp, Fischer bertemu dengan salah seorang warga Sherpa yang dia pekerjakan, Ngawang Topche, yang sedang duduk diatas gletser pada ketinggian 21.000 kaki. Selama tiga hari, pendaki veteran berusia tiga puluh delapan tahun yang berasal dari Lembah Rolwaling itu, yang giginya jarang-jarang dan ramah, ditugaskan menjadi kuli angkut dan melakukan tugas-tugas lain di Base Camp, tetapi, rekan-rekannya sesama Sherpa sering mengeluh karena dia hanya duduk-duduk dan tidak melakukan tugasnya.
      Ketika ditanyai Fischer, Ngawang mengakui bahwa sejak dua hari terakhir, dia merasa tubuhnya lemah, kepalanya pening dan napasnya sesak sehingga Fischer memerintahkan agar dia segera kembali ke Base Camp. Namun, warga Sherpa terkenal dengan budaya yang sangat maskulin, akibatnya, banyak pria yang tidak mau mengakui kelemahan fisik mereka. Orang Sherpa tidak boleh rentan terhadap penyakit ketinggian, terutama mereka yang berasal dari Rolwaling, daerah yang terkenal banyak menghasilkan  pendaki andal. Orang-orang yang sakit dan mengakuinya secara terbuka sering dicoret dari daftar calon pekerja untuk tim ekspedisi selanjutnya. Karena itu, Ngawang mengabaikan perintah Scott. Dia tidak turun ke Base Camp, tetapi naik dan menginap di Camp Dua.
      Ketika tiba diperkemahan sore hari itu, Ngawang sudah mulai meracau, terhuyung-huyung seperti orang mabuk, kemudian terbatuk-batuk dan memuntahkan cairan berwarna kemerahan bercampur darah: gejala serangan High Altitude Pulmonary Edema, atau HAPE (membengkaknya paru-paru akibat ketinggian). Penyakit misterius yang mematikan ini kerap menyerang seorang pendaki yang mendaki terlalu tinggi dan terlalu cepat sehingga paru-paru si pendaki tertutup oleh cairan(*1). Satu-satunya kesempatan untuk sembuh adalah membawa korban turun gunung secepat mungkin; jika dia tetap berada ditempat yang sangat tinggi, kemungkinan besar korban tidak akan tertolong dan tewas.
      Tidak seperti Hall, yang bersikeras agar kelompok kami selalu bersama-sama saat mendaki diatas Base Camp, dan dibawah pengawasan ketat dari para pemandu, Fischer memberi kebebasan kepada para kliennya untuk naik atau turun gunung sendirian selama program aklimatisasi berlangsung. Akibatnya, ketika kabar tentang sakitnya Ngawang di Camp Dua sampai ke telinga mereka, empat klien Fischer---Dale Kruse, Pete Schoening, Klev Schoening dan Tim Madsen---sedang ada diperkemahan, tetapi tidak ada satu pemandupun yang ada disana. Tanggung jawab untuk menyelamatkan Ngawang jatuh ke pundak Klev Schoening dan Madsen---petugas pengawas ski dari Aspen, Colorado, berusia tiga puluh tiga tahun ini, belum pernah mendaki melewati ketinggian 14.000 kaki. Perjalanan Madsen kali ini pun karena dibujuk oleh teman wanitanya, Charlotte Fox, seorang veteran Himalaya.
      Ketika aku memasuki tenda utama perkemahan Hall, dr.Mackenzie sedang berbicara di radio, memerintahkan kepada seseorang yang ada di Camp Dua, untuk memberi Ngawang acetazolamide, dexamethasone dan sepuluh miligram nifedipine yang harus diletakkan dibawah lidah...Ya saya tahu resikonya. Pokoknya berikan kepadanya....Dengar, sebelum kita bisa membawanya turun, resiko kematian akibat HAPE lebih besar daripada resiko akibat turunnya tekanan darah karena dia menelan nifedipine. Percayalah kepadaku! Berikan obat-obatan itu! Secepatnya!"
      Sepertinya tidak satupun obat yang dianjurkan Hunt bisa menolong Ngawang, begitu pula ketika tubuhnya dimasukkan ke dalam kantong Gamow---ruangan plastik sebesar peti mati berisi udara yang sudah dimampatkan agar tekanannya menyamai tekanan udara pada ketinggian normal. Ketika hari bertambah gelap, Schoening dan Madsen dengan susah payah mulai membawa Ngawang menuruni gunung dengan menggunakan  kantong Gamow yang sudah di kempiskan sebagai ganti kereta luncur, sementara pemandu Neal Beidleman dan sekelompok Sherpa mendaki secepat mungkin dari Base Camp untuk menyongsong mereka.
     Kelompok Beidleman bertemu dengan kelompok Ngawang di puncak Jeram Es, tepat ketika matahari terbenam, dan mengambil alih upaya penyelamatan, membiarkan Schoening dan Madsen kembali ke Camp Dua untuk meneruskan program aklimatisasi mereka. Paru-paru Ngawang terendam air, kenang Beidleman, "sehingga setiap kali dia bernapas, suara napasnya seperti orang yang menyedot susu dari dasar gelas yang hampir kosong. Ditengah perjalanan dari Jeram Es, Ngawang melepaskan masker oksigennya dan merogohkan tangannya ke dalam untuk membersihkan sejumlah ingus yang menghalangi katup udara. Saat dia menarik lengannya, saya mengarahkan lampu kepala saya ke arah lengannya yang memakai sarung tangan. Sarung tangannya berwarna merah, penuh darah yang dia muntahkan ke dalam masker oksigennya. Kemudian saya menyorotkan lampu ke wajahnya; wajahnya pun sudah tertutup darah.
     "Mata Ngawang bertemu dengan mata saya, dan saya bisa melihat ketakutan disana," lanjut Beidleman. "Setelah berpikir sejenak, saya berbohong dan memintanya untuk tidak cemas. Saya katakan bahwa darah itu berasal dari luka dibibirnya. Kata-kata saya membuatnya sedikit tenang dan kami meneruskan perjalanan ke bawah." Untuk menjaga agar Ngawang tidak terlalu banyak bergerak, yang akan memperburuk edemanya, dibeberapa tempat selama menuruni lereng, Beidleman menggendong Sherpa yang sakit itu di punggungnya. Sesaat setelah tengah malam, mereka tiba di BaseCamp.
      Terhubung terus dengan tabung oksigen dan diawasi ketat sepanjang malam oleh dr.Hunt, keesokan paginya kondisi Ngawang mulai membaik. Fischer, Hunt dan hampir semua dokter yang terlibat merasa yakin bahwa kondisi Ngawang akan terus membaik setelah dia berada di 3.700 kaki lebih rendah dari Camp Dua; dengan membawa korban turun sedikitnya 2000 kaki biasanya mampu menyembuhkan serangan HAPE. Karena itu, Hunt menjelaskan, "kami tidak membahas tentang kemungkinan mengirim helikopter" untuk mengevakuasi Ngawang dari Base Camp ke Kathmandu, yang membutuhkan biaya sampai 5.000 dolar.
      "Sialnya," lanjut Hunt, "kondisi Ngawang tidak membaik. Menjelang tengah hari, kondisinya memburuk lagi." Saat itu, Hunt memutuskan untuk mengevakuasi Ngawang, tetapi waktu itu langit sudah berubah mendung sehingga helikopter tidak mungkin didatangkan.
     Hunt meminta kepada Ngima Kale, sirdar Fischer di Base Camp, untuk mengumpulkan sekelompok Sherpa agar Ngawang bisa dibawa turun ke lembah dengan berjalan kaki. Namun, Ngima menolak usul tersebut. Menurut Hunt, sirdar itu yakin bahwa Ngawang bukan terserang HAPE atau penyakit lain yang terkait dengan ketinggian, "melainkan terserang semacam penyakit gastric---istilah yang dipakai orang Nepal untuk penyakit perut," karena itu, dia tidak perlu diungsikan.
     Hunt membujuk Ngima untuk membiarkan dua Sherpa agar membantunya membawa Ngawang ke tempat yang lebih rendah. Namun, Ngawang hanya bisa berjalan dengan sangat perlahan dan susah payah sehingga setelah berjalan kurang lebih seperempat mil, Hunt harus mengakui bahwa Ngawang tidak bisa berjalan sendiri, dan memerlukan lebih banyak bantuan. Akhirnya dia berbalik dan membawa Ngawang kembali ke perkemahan Mountain Madness, katanya, "untuk memikirkan pilihan-pilihan lain."
     Dari waktu ke waktu, kondisi Ngawang terus memburuk. Ketika Hunt mencoba memasukkannya ke dalam kantong Gamow, Ngawang menolak. Seperti Ngima, dia juga yakin dirinya bukan terserang HAPE. Hunt berkonsultasi dengan beberapa dokter lain yang ada di Base Camp (seperti yang selalu dilakukannya selama ekspedisi berlangsung), tetapi dia tidak pernah punya kesempatan untuk berbicara dengan Fischer: Saat itu Fischer sedang menuju Camp Dua untuk membawa turun Tim Madsen, yang kelelahan setelah membawa Ngawang turun ke Cwm Barat sehingga dia sendiri terserang HAPE. Tanpa kehadiran Fischer, para Sherpa menolak mematuhi perintah Hunt. Semakin lama, situasinya menjadi semakin kritis. Beberapa rekan Inggris yang sama-sama dokter mengatakan, "Inggrid menghadapi masalah yang benar-benar diluar jangkauannya."
    Hunt yang berusia tiga puluh dua tahun baru saja menyelesaikan program sebagai dokter spesialis bulan Juli lalu. Meskipun belum punya pengalaman khusus dalam mengobati penyakit akibat ketinggian, Hunt pernah bekerja sebagai dokter relawan di kaki pegunungan di sebelah timur Nepal. Beberapa bulan sebelumnya, secara kebetulan dia bertemu Fischer yang sedang menyelesaikan perijinan untuk mendaki Everest di Kathmandu. Fischer mengundang Hunt untuk ikut dalam ekspedisi Everest berikutnya sebagai dokter tim sekaligus manajer Base Camp.
      Meskipun di dalam surat yang diterima Fischer bulan Januari Hunt masih belum menentukan sikap, akhirnya Hunt menerima tugas tanpa bayaran tersebut dan bertemu dengan anggota tim di Nepal pada akhir Maret, dan dengan antusias menunggu untuk ikut berperan dalam sukses ekspedisi. Namun, tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai manajer Base Camp sekaligus dokter tim yang beranggotakan dua puluh lima orang membuatnya sangat kewalahan. (Sebagai perbandingan, Rob Hall membayar dua staff yang berpengalaman---Caroline Mackenzie sebagai dokter tim dan Helen Wilton sebagai manajer Base Camp---untuk melaksanakan dua tanggung jawab yang dipikul Hunt sendirian, tanpa bayaran). Masalah Hunt semakin rumit karena selama berada di Base Camp, dia sendiri sulit beraklimatisasi dan terus menerus terserang sakit kepala dan sesak napas.
     Selasa malam, setelah evakuasi dibatalkan dan Ngawang kembali ke Base Camp, kondisi Ngawang bertambah buruk, sebagian karena dia dan Ngima dengan keras kepala menolak upaya-upaya Hunt untuk mengobatinya, dan tetap menganggap bahwa dia tidak menderita HAPE. Sebelumnya, masih dihari yang sama, dr.Mackenzie mengirimkan pesan radio darurat kepada seorang dokter Amerika bernama Jim Litch dan memintanya untuk datang ke Base Camp untuk membantu mengobati Ngawang. Dr. Litch---seorang pakar pengobatan penyakit ketinggian yang dihormati dan pernah mencapai puncak Everest pada 1995---tiba pada pukul 19.00 dari Pheriche, tempat dia bekerja sebagai relawan di klinik milik Himalayan Rescue Association. Dia menemukan Ngawang sedang terbaring disebuah tenda, dirawat oleh seorang Sherpa yang membiarkan Ngawang melepaskan masker oksigennya. Selain terkejut melihat kondisi Ngawang, Litch juga sangat terkejut melihat Ngawang tidak menggunakan masker oksigen. Dia juga tidak mengerti, mengapa Ngawang tidak di evakuasi dari Base Camp. Litch menemui Hunt yang sedang terbaring sakit ditendanya, dan mengutarakan kecemasannya.
     Saat itu Ngawang sudah sangat kesulitan bernapas. Dengan cepat dia diberi napas bantuan dari tabung oksigen, dan sebuah helikopter diminta datang untuk mengevakuasi Ngawang keesokan harinya pagi-pagi sekali, yaitu hari Rabu, 24 April. Awan tebal disusul dengan badai menyebabkan evakuasi dengan helikopter dibatalkan. Akhirnya Ngawang dimasukkan ke dalam sebuah keranjang, dan di bawah pengawasan Hunt, dia digendong oleh beberapa Sherpa menuruni gletser menuju Pheriche.
     Sore itu, kening Hall berkerut menandakan kecemasan. "Kondisi Ngawang sangat buruk," katanya. "Pulmonary edema yang dideritanya benar-benar buruk, kasus terburuk dari yang pernah saya lihat. Seharusnya mereka menerbangkan dia kemarin, ketika masih punya kesempatan. Seandainya salah satu klien Scott yang terserang HAPE dan bukan seorang Sherpa, kupikir penanganannya akan berbeda. Saat Ngawang tiba di Pheriche, kemungkinan semuanya sudah terlambat."
      Ketika Ngawang tiba di Pheriche hari Rabu malam, setelah menempuh perjalanan selama sembilan jam dari Base Camp, kondisinya terus memburuk, meskipun dia terus menerus tersambung dengan tabung oksigen dan sekarang dia berada pada ketinggian 14.000 kaki, ketinggian yang tidak terlalu berbeda dengan ketinggian desa tempat dia menghabiskan hampir seluruh hidupnya. Dengan kebingungan, Hunt memutuskan untuk memasukkan Ngawang ke dalam kantong Gamow, yang sudah disiapkan disebuah penginapan yang letaknya  bersebelahan dengan klinik HRA. Karena takut dan tidak memahami manfaat ruang yang dimampatkan tersebut, Ngawang meminta agar seorang lama agama Budha didatangkan. Sebelum setuju untuk dimasukkan kedalam kantong Gamow, Ngawang meminta beberapa buku doa untuk diletakkan didalam kantong itu bersamanya.
     Supaya kantog Gamow bisa berfungsi dengan benar, seorang perawat harus terus menerus menyuntikkan udara segar kedalam kantong dengan menggunakan pompa kaki. Dua orang Sherpa secara bergiliran memompa, sementara Hunt yang kelelahan memantau kondisi Ngawang melalui sebuah jendela plastik yang terletak dibagian kepala kantong. Sekira pukul 20.00, Jeta, salah seorang Sherpa yang bertugas, mengamati bahwa mulut Ngawang mengeluarkan busa dan dia berhenti bernapas; dengan cepat Hunt membuka kantong tersebut dan menyimpulkan bahwa Ngawang terkena serangan jantung mendadak, kemungkinan besar dia tersedak oleh muntahannya sendiri. Saat Hunt mencoba memberikan resusitasi jantung, dia berteriak memanggil dr.Lary Silver, salah seorang dokter relawan di klinik HRA, yang tinggal diruang sebelah.
     "Saya tiba ditempat itu beberapa detik kemudian," kenang Silver. "Kulit Ngawang tampak biru. Muntahannya tersebar dimana-mana, wajah dan dadanya tertutup cairan muntah berwarna kemerahan. Pemandangan yang benar-benar buruk. Saat si pasien termuntah-muntah, Inggrid memberinya pernapasan dari mulut ke mulut. Saya menaksir sekilas situasi yang saya hadapi, dan berpikir, "jika tidak segera di infus, orang ini akan segera mati.' Saya berlari ke klinik untuk mengambil peralatan gawat darurat,  memasukkan selang ke tenggorokan Ngawang dan dengan paksa memompa oksigen ke dalam mulutnya, pertama dengan menggunakan mulut kemudian dengan pompa manual yang disebut kantong ambu. Sebentar kemudian, denyut nadi dan tekanan darah Ngawang sudah kembali. Namun, sebelum jantungnya berdetak lagi, kurang lebih sepuluh menit, hanya sedikit oksigen yang masuk kedalam otaknya." Dan menurut Silver," Sepuluh menit tanpa bernapas atau tanpa oksigen yang cukup didalam darah sudah cukup untuk menimbulkan  kerusakan saraf yang sangat parah."
     Selama empat puluh jam berikutnya, Silver, Hunt dan Litch, bergiliran memompa oksigen kedalam paru-paru Ngawang dengan menggunakan kantong ambu, dua puluh kali per menit. Setiap kali selang yang dipasang melalui kerongkongan Ngawang tersumbat lendir, Hunt akan menyedot selang itu sampai kosong dengan mulutnya. Akhirnya, pada hari Jumat, 26 April, cuaca berubah baik sehingga Ngawang bisa di evakuasi ke rumah sakit di Kathmandu dengan menggunakan helikopter. Namun kondisinya tidak pernah membaik. Hanya dalam waktu seminggu sejak dia terbaring lemah dirumah sakit, kedua lengan Ngawang tertekuk hebat dikedua sisi tubuhnya karena otot-ototnya menciut dan berat tubuhnya menurun sampai 40 kilogram. Pada pertengahan Juni, Ngawang mengembuskan napas terakhirnya, meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan di Rolwaling.
      Anehnya tidak banyak pendaki di Everest yang tahu tentang kejadian menyedihkan yang menimpa Ngawang, dibanding dengan puluhan ribu orang yang berada jauh dari gunung. Pembelokkan informasi tersebut terjadi karena internet, sehingga bagi kami yang berada di Base Camp, kejadian itu hanya dianggap sebagai sebuah mimpi. Seorang pendaki, misalnya, menelepon ke rumahnya melalui telepon satelit, dan mendengar dari istri atau suaminya  yang berada di Selandia Baru atau Michigan, yang kebetulan menelusuri situs-situs internet dunia, tentang peristiwa yang menimpa tim Afrika Selatan di Camp Dua.
     Sedikitnya lima situs internet mengirimkan "berita (*2)" dari koresponden mereka di Base Camp Everest. Tim Afrika Selatan memiliki situs internet khusus, demikian juga International Commercial Expedition milik Mal Duff. Nova, program televisi milik Public Broadcasting Service (PBS, televisi pendidikan Amerika), memiliki situs  yang setiap hari melaporkan perkembangan terkini di Everest melalui koresponden mereka Liesl Clark dan sejarahwan Everest ternama Audrey Salked, anggota tim ekspedisi MacGillivray Freeman IMAX. (Dipimpin oleh sutradara peraih penghargaan dan pakar pendaki, David Breashers, yang memandu Dick Bass mencapai puncak Everest pada 1985. Tim IMAX ini sedang membuat film layar lebar tentang pendakian Everest dengan biaya produksi yang mencapai 5,5 juta dolar). Ekspedisi yang dipimpin Scott Fischer menempatkan dua koresponden internet yang mengirimkan  laporan pada dua situs internet yang saling bersaing.
      Jane Bromet, yang melaporkan peristiwa  sehari-hari ke situs Outside(*3) melalui telpon, adalah salah satu dari dua koresponden Fischer, tetapi dia bukan salah satu klien Fischer, dan tidak diijinkan mendaki lebih tinggi dari Base Camp. Namun, koresponden internet yang kedua dalam tim.Fischer merupakan klien yang akan mendaki sampai puncak, dan selama dalam perjalanan mengirimkan berita harian untuk NBC Interractive  Media, namanya Sandy Hill Pittman. Digunung itu, Sandy Pittman merupakan pendaki yang paling banyak membuat berita dan paling banyak digosipkan. Pittman seorang miliuner yang selalu haus akan kedudukan sosial, mencoba mendaki Everest untuk ketiga kalinya. Tahun ini, tekadnya untuk mencapai puncak Everest lebih besar daripada sebelumnya, yaitu supaya dia bisa melengkapi penaklukan Tujuh Puncak yang di publikasikan secara luas.
     Pada 1993, Pittman ikut dalam sebuah tim ekspedisi yang dipandu, yang mencoba mencapai puncak Everest melalui Rute Selatan dan Punggung Tenggara. Saat itu dia menimbulkan sedikit kegemparan karena muncul di Base Camp dengan membawa serta putranya yang baru berusia sembilan tahun, Bo, dan seorang pengasuhnya. Saat itu sejumlah masalah menghadang Pittman dan setelah mendaki sampai ketinggian 24.000 kaki dia berbalik dan turuj gunung.
     Dia kembali lagi ke Everest pada 1994 setelah berhasil mengumpulkan hampir seperempat juta dolar uang sumbangan yang berasal dari beberapa perusahaan sponsor untuk mengorbitkan empat pendaki Amerika Utara yang paling andal: Breashers (yang dikontrak oleh televisi NBC untuk memfilmkan ekspedisi), Steve Swenson, Barry Blanchard dan Alex Lowe. Lowe---yang mungkin merupakan pendaki dunia paling andal dan serba bisa---dibayar sangat mahal untuk menjadi pemandu pribadi Sandy Pittman. Mendahului Pittman, keempat pria tersebut memasang rentangan tali sampai ke Puncak Kangshung, rute yang sangat sulit dan berbahaya yang berawal di wilayah Tibet. Dibantu Lowe, Pittman mendaki melalui rentangan tali yang sudah disiapkan sampai ketinggian 22.000 kaki. Sekali lagi dia dipaksa untuk menyerah sebelum mencapai puncak; kali ini kondisi salju yang tidak stabil dan berbahaya memaksa tim tersebut meninggalkan gunung.
     Sebelum bertemu Pittman di Gorak Shep dalam perjalanan menuju Base Camp, aku belum pernah berhadapan langsung dengannya, meskipun dalam beberapa tahun terakhir aku sering mendengar namanya. Pada 1992, Men's Journal menugasiku untuk menulis artikel tentang perjalanan mengendarai motor Harley Davidson dari New York ke San Fransisco ditemani oleh Jann Wenner---jutawan pemilik majalah Rolling Stone, Men's Journal dan Us yang legendaris---dan beberapa temannya yang sama-sama jutawan, termasuk Rocky Hill, kakak lelaki Pittman dan suaminya , Bob Pitman, salah seorang pendiri MTV.
     Motor besar dengan cat krom yang mengilat dan bunyi yang memekakkan telinga yang dipinjamkan Jann kepadaku benar-benar nyaman dikendarai dan teman-teman seperjalananku pun cukup ramah. Namun, aku benar-benar tidak memiliki banyak kesamaan dengan mereka, selain itu, akun juga tidak lupa bahwa aku ikut dalam perjalanan ini sebagai pembantu bayaran Jann. Saat makan malam, Bob, Jann, dan Rocky membandingkan berbagai jenis pesawat terbang yang mereka miliki (Jann menyarankan pesawat jenis Gulf-stream IV, jika suatu saat aku berniat membeli pesawat jet pribadi), membahas tentang peternakan mereka, dan bicara tentang Sandy---yang saat itu sedang mendaki gunung McKinley. "Hai," kata Bob saat dia tahu bahwa aku juga seorang pendaki, "kamu dan Sandy harus mendaki gunung bersama-sama." Sekarang, empat tahun setelah pembicaraan itu, aku benar-benar mendaki bersamanya.
     Dengan tinggi 180 cm, Sandy Pittman 5cm lebih tinggi dariku. Rambutnya yang dipangkas sangat pendek seperti gadis tomboy tampak terawat, bahkan ditempat dengan ketinggian 17.000 kaki. Wanita yang periang dan suka bicara blak-blakan ini dibesarkan di utara California, ditempat itulah Sandy kecil diperkenalkan oleh ayahnya pada kegiatan berkemah, lintas alam dan main ski. Sandy menikmati kebebasan dan kegembiraan yang diberikan oleh udara pegunungan dan meneruskan hobi alam terbuka ini sampai dia masuk perguruan tinggi dan setelahnya, meskipun kunjungannya ke gunung-gunung menurun tajam setelah dia pindah ke New York dipertengahan dekade 1970, setelah perkawinan pertamanya gagal.
     Di Manhattan, Pittman menekuni beberapa karier sekaligus, sebagai staff pembelian untuk Bonwit Teller, editor niaga untuk majalah Mademoiselle dan editor kecantikan untuk majalah Bride dan pada 1979 menikah dengan Bob Pittman. Sebagai sosok yang selalu haus publisitas, secara teratur Sandy menyisipkan nama dan wajahnya dikelompok-kelompok sosial Kota New York. Dia bergaul rapat dengan Blaine Trump, Tom dan Meredith Brokaw, Isaac Mizrahi, Martha Stewart. Agar bisa secara efisien berpindah-pindah dari rumah mewah mereka yang terletak di Connecticut dan apartemen mereka di Central Park Barat yang penuh berisi barang-barang seni dan dilengkapi dengan pelayan berseragam, Sandy dan suaminya membeli sebuah helikopter dan belajar menerbangkannya. Pada 1990, Sandy dan Bob Pittman muncul disampul majalah New York sebagai "Pasangan Masa Kini".
     Tak lama kemudian, Sandy memulai kampanye yang mahal dan luas untuk menjadi wanita pertama yang menundukkan Tujuh Puncak. Namun, puncak yang terakhir ---Everest---ternyata sangat sulit untuk ditaklukkan, bahkan pada Maret 1994, seorang bidan dan pendaki dari Alaska bernama Dolly Lefever yang berusia empat puluh tujuh tahun, mengalahkan Sandy dengan lebih dulu menaklukkan Everest. Meskipun demikian, Sandy tidak mau melepaskan tekadnya untuk menaklukkan Everest.
     Seperti yang dikatakan Beck Weathers di Base Camp pada suatu malam, "jika Sandy mendaki gunung, dia tidak akan melakukannya tepat seperti anda atau saya." Pada 1993, Beck berada di antartika untuk mendaki Gunung Vinson Massif sebagai klien yang di pandu, dan pada saat yang sama, Pittman juga sedang mendaki sebagai anggota kelompok lain yang juga dipandu. Sambil tertawa Beck menceritakan kenangannya, "Dia membawa tas yang sangat besar berisi berbagai makanan lezat; untuk mengangkatnya saja dibutuhkan empat orang. Dia juga membawa televisi portable dan video, supaya dia bisa menonton film di tendanya. Ya, kalian harus mengakui kehebatan Sandy, tidak banyak orang yang mendaki gunung  dengan penuh gaya seperti itu." Beck juga mengaku bahwa Pittman tidak pelit membagi barang-barang yang dia bawa dengan pendaki lain, selain itu "cukup menyenangkan dan menarik untuk berada di dekatnya."
     Untuk pendakian Everest 1996, sekali lagi Pittman membawa peralatan yang jarang dijumpai di perkemahan pendaki lain. Sehari sebelum keberangkatannya ke Nepal, dalam pesan internet pertamanya yang dikirimkan ke NBC Interractive Media, dia menulis:

Semua peralatan pribadi saya sudah selesai dikemas...sepertinya, selain peralatan mendaki, saya juga harus membawa komputer dan peralatan elektronik saya...dua laptop IBM, satu kamera video, tiga kamera 35mm, satu kamera digital merk Kodak, dua tape recorder, satu CD-ROM, satu printer dan solar panel serta batu baterai yang jumlahnya (saya harap) cukup banyak untuk dipakai selama pendakian...Saya juga tidak akan meninggalkan kota tanpa kopi Dean & DeLuca dari Near East dan mesin espresso saya. Karena saat Paskah kami masih akan berada di Everest, saya membawa empat telur cokelat yang sudah dibungkus. Perburuan cokelat paskah di ketinggian 18.000 kaki? Kita lihat saja!

Malam itu, kolumnis rubrik sosial Billy Norwich mengadakan pesta perpisahan untuk Pittman di restoran Nell, dipusat Kota Manhattan. Bianca Jagger dan Calvin Klein masuk dalam daftar tamu yang diundang. Sebagai pecinta kostum, Sandy muncul dengan mengenakan jaket mendaki diatas gaun malamnya, lengkap dengan sepatu gunung, crampon, kapak es dan tas pinggang penuh berisi karabiner.
     Setibanya di Himalaya, Pittman berusaha mempertahankan gaya hidup kelas tingginya. Selama perjalanan menuju Base Camp, setiap pagi, seorang Sherpa muda bernama Pemba akan menggulung kantong tidurnya dan mengemasi ranselnya. Ketika dia tiba di kaki Everest bersama anggota kelompok Fischer yang lain awal April lalu, didalam salah satu kopernya dijumpai setumpuk kliping berisi tulisan media tentang dirinya, yang dia bagi-bagikan kepada para penghuni Base Camp. Selama beberapa hari berikutnya, sejumlah pelari Sherpa secara teratur membawakan bungkusan untuk Pittman yang dikirimkan ke Base Camp melalui DHL Worldwide Express, berisi majalah-majalah Vogue, Vanity Fair, People dan Allure edisi terakhir. Para Sherpa terpesona melihat iklan pakaian dalam dan iklan parfum berupa potongan kertas yang sudah dibubuhi parfum membuat mereka berdecak kagum.
     Tim yang dipimpin Scott Fischer merupakan tim yang menyenangkan dan kompak; hampir semua rekan satu tim nya menerima perilaku Pittman yang eksentrik dan dengan mudah menerimanya ke dalam lingkungan mereka. "Berada disekitar Sandy memang bisa melelahkan karena dia selalu ingin menjadi pusat perhatian dan terus menerus menyombongkan diri," kenang Jane Bromet. "Tetapi, dia bukan orang yang negatif. Dia tidak merusak suasana dalam tim kami. Dia selalu energik dan bersemangat, hampir setiap hari."
     Meskipun demikian, beberapa pendaki ternama yang tidak termasuk dalam tim Fischer menganggap Pittman sebagai pengamat. Setelah kegagalannya menaklukkan Kangshung Face pada 1994, sebuah iklan televisi untuk produk perawatan kulit Vaseline (sponsor utama ekspedisi tersebut) mendapat kritikan pedas dari sejumlah pendaki ternama karena menyebut Pittman sebagai "pendaki kelas dunia". Pittman sendiri tidak pernah mengaku dirinya sebagai pendaki ternama; bahkan didalam sebuah artikel untuk Men's Journal, dia menegaskan, "Saya harap Breashers, Lowe, Swenson dan Blanchard memahami bahwa saya tidak akan menyetarakan hobi berat mendaki saya dengan keahlian kelas dunia mereka."
     Rekan-rekan Pittman dalam ekspedisi 1994 tidak mengeluarkan pernyataan negatif tentang Pittman, setidaknya tidak didepan publik. Bahkan Breashers yang setelah ekspedisi tersebut menjadi salah satu teman dekatnya dan Swenson berkali-kali membela Pittman dari orang-orang yang mengkritiknya. "Mengertilah," kata Swenson kepada saya dalam suatu pertemuan sosial di Seattle sesaat setelah mereka kembali dari Everest, "Sandy mungkin bukan pendaki yang hebat, di Kangshung Face dia mengakui keterbatasannya. Memang benar, bahwa Alex, Barry, David dan saya yang memimpin ekspedisi dan menyiapkan lintasan tali untuknya, tetapi dia juga ikut berperan dengan selalu bersikap positif, dengan mengumpulkan dana dan menghadapi media."
     Namun, tidak sedikit orang yang tidak menyukai Pittman. Banyak orang merasa terganggu karena dia terlalu memamerkan kekayaannya, dan caranya mencari popularitas yang dianggap tidak tahu malu. Seperti yang ditulis Joanne Kaufman dalam Wall Street Journal,

Nyonya Pittman dikenal oleh sejumlah kalangan sebagai pendaki tangga sosial daripada pendaki gunung. Dia dan Tuan Pittman selalu hadir dalam berbagai acara pesta dan amal, dan meninggalkan jejak mereka dikolom-kolom gosip yang tepat. "Beberapa tokoh masyarakat kesal karena Sandy Pittman terus menerus menempel mereka," kata seorang bekas rekan bisnis Tuan Pittman yang tidak mau disebut namanya, "Dia benar-benar haus publisitas. Jika dia harus melakukannya dengan diam-diam, saya yakin dia tidak akan pernah mendaki semua gunung itu."

Adil atau tidak, bagi para pengkritiknya tindakan Ny.Pittman sama buruknya dengan upaya Dick Bass untuk meraih popularitas dengan menundukkan Tujuh Puncak tertinggi didunia yang di anggap merendahkan gunung tertinggi didunia tersebut. Namun, dilindungi oleh kekayaannya, dikelilingi oleh para pelayannya dan karena sifatnya yang selalu mementingkan diri sendiri, Pittman mengabaikan kekesalan dan kritikan yang dilontarkan banyak orang; dia sama sekali tidak peduli, seperti ketidak pedulian tokoh Emma dalam cerita Jane Austen.

-----------------------------------------------------------
*1: Penyebabnya diduga karena kurangnya oksigen, ditambah tingginya tekanan pada pembuluh darah jantung yang menuju paru-paru, menyebabkan pembuluh darah tersebut bocor sehingga cairan masuk ke dalam paru-paru.

*2: Meskipun hubungan langsung dan interaktif antara lereng Mount Everest dan situs-situs diseluruh dunia, banyak digembar gemborkan, keterbatasan teknologi tidak memungkinkan hubungan langsung antara Base Camp dan jaringan internet. Para wartawan mengirimkan laporan mereka melalui faksimile atau telepon satelit, dan laporan tersebut diketik menjadi file komputer dan dikirimkan melalui internet oleh para editor di New York, Boston dan Seattle. Pesan-pesan e-mail akan diterima di Kathmandu, dicetak dan hasil cetakannya dikirimkan dengan menggunakan yak ke Base Camp. Demikian pula foto-foto yang dikirimkan melalui Web pertama-tama dikirimkan oleh yak kemudian dikirimkan melalui kurir udara ke New York untuk disebar luaskan. Sesi percakapan internet dilakukan melalui telepon satelit dan seorang juru ketik di New York. 

*3: Beberapa majalah dan koran secara salah melaporkan bahwa saya adalah wartawan untuk Outside Online. Kekeliruan ini muncul karena Jane Bromet mewawancarai saya di Base Camp dan mengirimkan naskah wawancara tersebut melalui situs Outside Online. Namun, saya sendiri sama sekali tidak terkait dengan Outdside Online. Saya berangkat ke Everest atas penugasan dari majalah Outside, sebuah organisasi indipenden (berkantor pusat di Santa Fe, New Meksiko) yang menjadi mitra lepas Outside Online (berkantor pusat di Seattle) untuk memublikasikan naskah versi majalah tersebut di internet. Namun, majalah Outside dan Outside Online tidak saling mengontrol, akibatnya, saya baru tahu bahwa Outside Online telah mengirim seorang wartawan ke Everest setelah saya tiba di Base Camp.

2 komentar:

  1. Blm mas...ini baru 1/3 nya...di blog saya ini sudah 12 bab dr keseluruhan 24 bab. Silakan di lihat2.

    BalasHapus