Sabtu, 24 Oktober 2015

Green Canyon...Sebuah Maha Karya

Green Canyon, entah siapa dulu yang pertama kali menjuluki dengan sebutan itu, merupakan salah satu lokasi wisata yang sangat saya rekomendasikan. Terletak hampir di ujung selatan provinsi Jawa Barat, Green Canyon masuk ke dalam wilayah kabupaten Pangandaran. Tepatnya di desa Kertayasa, 30 menit ke arah barat dari pantai Pangandaran. Dari sini ke Cilacap Jawa Tengah tinggal 2,5 jam lagi.

Perjalanan saya mulai dari Bogor, hari Jumat 13 Maret 2015. Pukul 22.15 saya sudah standby di meeting point, di depan Gramedia Pajajaran. Waktu saya tiba, disana sudah menunggu Liza dan Bengbeng, 2 rekan yang akan ikut dalam perjalanan ini. Sambil menunggu Risky, Coro dan Sena (adik Risky), kami pun bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing dalam berpetualang. Cukup lama kami menunggu sebelum akhirnya Risky datang pukul 22.50. Sesuai perjanjian sebelumnya, mulai dari Bogor saya lah yang harus mengemudikan mobil yang di bawa Risky. Maklum, walau si empunya, Risky belum berpengalaman dan berani membawa mobil untuk perjalanan jarak jauh. Singkat cerita, saya langsung tancap gas. Saya putuskan untuk melewati jalur konvensional saja menuju Bandung via puncak. Kami sempat berhenti di Ciawi untuk menjemput Dinari, anggota tim yang ke tujuh. Perjalanan kami relatif lancar, di tambah Doyok---nama mobil nya Risky---juga nyaman dikendarai. Doyok, mobil kijang kotak tipe lama, tapi performance dan powernya masih oke banget. Salut nih sama yang punya dalam hal perawatannya.

Berhubung belum pada makan, dan sesuai request dari Coro, kami berhenti makan di warung sate H.Kadir, di Cisarua. 2 porsi sate dan 1 mangkuk sop kambing kami makan beramai-ramai. Tak butuh waktu lama bagi kami, dalam sekejap makanan di atas meja habis kami santap. Sambil nunggu nasi turun, kami membahas strategi anggaran trip---bahasanya...hehe. Di luar biaya paket body rafting, kami sepakat urunan Rp.100.000/orang sebagai kas awal perjalanan. Uang kas ini yang akan kami pakai untuk makan, bensin dan kebutuhan lain. Liza kami tunjuk sebagai bendaharanya. Total terkumpul 700 ribu. Setelah membayar makan malam kami yang bernilai 140 ribu rupiah, pukul 24.00 kami pun melanjutkan perjalanan.

Kurang lebih pukul 2.15 saya memutuskan untuk mengisi bensin di daerah pinggiran Bandung. Bensin saya isi 150 ribu. Untuk menyingkat waktu menuju Cileunyi saya pun masuk tol Purbaleunyi. 8 ribu rupiah tarif tol dari Cimahi ke Cileunyi. Pukul 2.50 selepas keluar tol Cileunyi, mobil kembali saya tepikan di awal ruas jalan menuju Nagreg. Risky turun untuk membeli tahu Sumedang. Pukul 3.00 kami melanjutkan perjalanan. Jalanan relatif lancar, hanya sesekali tersendat oleh truk-truk besar yang berjalan lambat meniti tanjakan jalur Nagreg. Cileunyi-Nagreg-Malangbong-Ciawi Tasikmalaya-Gentong-Ciamis...kurang lebih itu jalur yang saya ingat sebelum mobil saya tepikan lagi pukul 4.30 di sebuah mesjid besar di awal kota Ciamis. Kami turun untuk melaksanakan shalat subuh. Sambil beristirahat, saya bertanya kepada tukang parkir tentang masih berapa jauh lokasi Green Canyon. Bapak itu bilang sekitar 3,5 jam lagi. Terus terang saya tidak begitu saja percaya, masa iya masih sejauh itu, dalam perkiraan saya paling-paling tinggal 2 jam lagi. Pukul 5.30 kami lanjutkan perjalanan menuju Ciamis lalu Banjar Patroman. Kami sempat sedikit berputar-putar bingung arah menuju Pangandaran di kota Banjar. Akhirnya pukul 7.00 kami tiba di daerah Tanjung Sukur, Banjar. Kembali kami bertanya arah untuk menuju Pangandaran pada penduduk setempat. Menurut penduduk yang kami tanya masih jauh, masih 2,5 jam lagi. Waduh!...masih jauh rupanya, sedangkan mata saya sudah mulai lelah dan ngantuk. Untuk meyakinkan diri, saya telpon kenalan saya di Green Canyon untuk mendapatkan keterangan lain. Ternyata jawaban kenalan saya 11-12 dengan keterangan penduduk tersebut. Kami masih harus menempuh jarak 80-an kilometer untuk sampai Pangandaran.

Pukul 8.10 saya kembali mengisi bensin sebanyak 100 ribu rupiah di daerah Banjarsari. Dari sini jalanan mulai banyak berlubang dan makin parah kondisinya. Jalanan yang rusak berat memaksa saya untuk ekstra hati2.  Sementara teman-teman yang lain masih enak tidur. Sampai satu jam ke depan jalanan rusak jadi menu yang harus saya hadapi sebagai driver. Pukul 9.10 saya menepikan mobil di sebuah warung kecil. It's time to breakfast, perut sudah dangdutan. Telor ceplok setengah mateng, sayur asam dan segelas kopi liong jadi pengisi perut saya pagi itu. Pemilik warung bilang, Pangandaran tinggal 15 menit lagi, tetapi Green Canyon masih 45-60 menit lagi. Saya hanya bisa menghela nafas panjang demi mendengar keterangan itu. Setelah membayar 135 ribu (mahal banget boo!) Untuk sarapan yang menurut saya seharusnya hanya sekitar 70 ribuan saja untuk kami bertujuh. Tapi tak apalah, rejeki nya si pemilik warung. Pukul 9.55 kami lanjutkan perjalanan. Dan sesuai keterangan dari pemilik warung tadi, Alhamdulillah pukul 10.15 kami tiba di Pangandaran. Dari situ saya belok ke arah barat menuju arah bandara Nusawiru. Jalanan yang mulus membuat saya tergoda untuk memacu mobil dengan cepat alias ngebut. Alhamdulillah 30 menit dari Pangandaran, atau pukul 10.45 kami tiba di tujuan, obyek wisata Green Canyon.

Parkiran utama Green Canyon terletak di kiri dan kanan jalan utama Desa Kertayasa. Sebelah kiri umumnya di gunakan untuk parkiran motor, di sebelah kanan untuk mobil dan bus. Kantor-kantor jasa Body Rafting dll terletak di sebelah kanan. Begitu masuk parkiran, mobil kami di hampiri calo-calo jasa rafting. Tapi sesuai pesan dari kenalan saya, suruh menyebutkan saja bahwa kami sudah booking melalui dia, dan benar saja, calo tersebut justru malah berbalik menunjukkan kantor tempat kenalan saya itu. Sekedar info saja, disini walau tampangnya sangar tapi calonya ramah-ramah banget, friendly dan tutur bahasa Sundanya bagus (halus). First impress yang bikin saya jadi nyaman di bawah terik matahari. Ternyata bukan cuma calo yang ramah, tukang parkir dan petugas-petugas Dishub yang mengelola parkir juga sama. Pantas saja Green Canyon ramai pengunjung. Saya pikir keramahan level dulur hanya bisa saya dapatkan di hotel atau daerah-daerah pelosok Jateng / Jatim. Setelah mobil saya parkir, kami beranjak menuju sekretariat body rafting Guha Bau, menemui kang Ridwan / kang Jo kenalan saya. Saya sempat mikir panjang, kenapa namanya Guha Bau ya? Apa ga ada nama lain? Jauh banget dari kesan sebagai travelling organizer. Selain itu, secara umum artinya kan "Gua yg bau". Dan nanti pertanyaan saya itu akan terjawab.
Kang Jo mempersilakan kami istirahat di belakang sebuah warung makan di samping kantornya. Segera saja saya rebahkan badan di bangunan panggung itu, maklum saya belum tidur dari kemarin. Karena kami tiba sudah terlalu siang, akhirnya saya berinisiatif minta kang Jo untuk menyiapkan keperluan body rafting kami untuk berangkat jam 11.00. Kami diberi waktu 30 menit untuk bersiap dan berganti pakaian. Sambil bersiap kami juga di beri form isian data untuk administrasi. Setelah membayar biaya untuk paket body rafting kami di briefing oleh kang Jo tentang tata cara dan kondisi alam Green Canyon. Setelah briefing selesai kami di persilakan memilih Life jacket, sepatu, helm dan pelindung tubuh untuk kami gunakan. Dan lagi-lagi saya kagum dengan cara pelayanan para guide nya. Untuk memakai life jacket yang mudah saja mereka yg bantu mengikat dan memasang, high service deh. Biasanya hari gini banyak guide yang ramah cuma ke cewe aja, tapi ini ga di beda-bedakan. Selesai memakai seluruh peralatan, kami di persilakan naik ke mobil bak terbuka untuk menuju spot awal yang letaknya kurang lebih 30 menit perjalanan. Sebelum berangkat kami dipersilakan untuk membawa kamera ataupun HP berkamera untuk mengambil gambar-gambar. Pihak EO menyediakan drybag untuk safety gadget-gadget yang kita bawa. Tapi saya sarankan agar gadget-gadget kita di lapisi lagi dengan plastik tipe HDPE. Lebih bagus lagi bawa pocket kamera yang waterproof, dan jangan membawa kamera DSLR kecuali siap dengan resiko rusak, sebab selain 90% kegiatannya dalam air juga di beberapa spot kita harus melompat dari tebing-tebing.

Cuaca Sabtu itu panas menyengat, untung saya prepare menggunakan baselayer tangan panjang, aman deh. Lintasan jalan menuju spot awal berupa jalan desa yang kecil dari pecahan-pecahan batu karst / kapur, menanjak terus. Kiri kanan jalan adalah hutan rakyat (produktif) dan juga liar---disini masih ramai kegiatan masyarakat berburu babi hutan dengan anjing-anjing pemburu. Kami bertujuh didampingi 2 orang guide dan 1 orang supir. Dari mereka kami memperoleh keterangan bahwa obyek wisata Green Canyon mulai di populerkan sejak tahun 2011. Di temukan dan mulai di kelola sejak tahun 2009. Para guide body rafting ini adalah warga desa Kertayasa yang sudah di latih oleh para ahli dan instruktur kegiatan rafting, renang dan SAR air. Setiap guide betul-betul mengenal setiap detail lintasan body rafting di lokasi Green Canyon---salut, high safety. Sampai saat ini terdapat 5 EO selain Guha Bau yang aktif disana. Seluruhnya berada di bawah manajemen BUMDES Kertayasa (Badan Usaha Milik Desa) yang di support oleh PNPM mandiri. Kegiatan body rafting ini libur setiap hari Jumat. Hari libur tersebut di pergunakan para guide dan pemilik EO untuk merawat dan membersihkan lintasan body rafting. Karena asyik ngobrol tak terasa mobil telah sampai di spot awal kami. Info lagi nih, setiap EO memiliki spot awal yang berbeda dan masing-masing. Turun dari mobil, kami di beri minum air mineral oleh guide, lalu kami mulai berjalan turun, menelusuri lintasan tangga yang cukup curam dan panjang---serasa turun gunung, dengkul leklok. Terdengar teriakan-teriakan di bawah lembah dari para peserta yang sudah mulai lebih dulu. 15-20 menit kemudian kami tiba di spot awal, sebuah dataran sempit di pinggir sungai dengan batuan agak tajam dan licin, harap berhati-hati ya. Berjalan ke arah kiri mulai tercium bau yang sangat tidak sedap, asli bikin pengen jackpot, amoniak yang menusuk. Ternyata bau itu datang dari sebuah gua yang di penuhi kotoran kelelawar. Mulut gua nya sendiri menghadap ke arah sungai. Lebarnya sekitar 20-25 meter, tingginya kira-kira 20 meter, dalamnya saya ga tau...yang jelas dari penglihatan, gua itu sangat luas di bagian dalam. Itulah jawaban dari pertanyaan saya kenapa EO kami namanya Guha Bau, ternyata memang benar berasal dari arti gua yang bau. Walaupun baunya setengah hidup, tetap tidak mengurangi sifat gila foto kami...hehe. Ketinggian dataran tempat kami berdiri dengan permukaan sungai kira2 3 meter. Dan rupanya dataran ini jadi tempat start, yap, kami harus memulai kegiatan dengan melompat ke dalam sungai dari ketinggian 3 meter....seruuu...tidak bisa tidak, HARUS lompat. 15 menit selanjutnya kami menelusuri pinggiran sungai dengan berpegangan pada batu-batu. Terkadang kami harus naik semi climbing ke dinding-dinding tebing untuk menghindari jeram yang berbahaya. Dinding tebing karst di kiri dan kanan menjulang 30-50 meter mengapit sungai selebar 5-10 meter. Setelah 30-40 menit kami tiba di area lompat yang kedua, tebing setinggi 7 meter, untuk yang kurang berani maju sedikit turun ke tebing yang tingginya 5 meter, hehe (saya pikir ada opsi ga lompat, maklum rada jiper juga ngeliat tinggi lompatannya, di tambah saya nyetir dan belum tidur lho dari kemarin) ...intinya tetep harus lompat...tinggal pilih aja. Dan dengan berat hati, setelah menjepit hidung dengan jari saya pun melompat....yiihhaaa....byyuur....mantab. Kami lanjutkan berenang dengan terus memperhatikan instruksi dan perintah para guide. Sebenarnya banyak sekali model lintasan dan jeram yang kami lewati, tapi di tulisan ini saya hanya akan bahas jeram dan lintasan yg bikin adrenalin naik. 1 jam kemudian kami tiba di jeram ganas yang pertama, menurut guide, jika di buat level, maka jeram di hadapan kami ini level 3 rafting. Panjang lintasannya kira-kira 8-10 meter. Air nya bergolak, tapi saya yakin dengan guide bahwa ini aman. Setelah guide pertama terjun lebih dulu dan memasang webbing sebagai pengaman di sebrang, saya pun melompat---cara melompat ataupun meluncur di jeram-jeram Green Canyon adalah dengan posisi semi jongkok, kaki agak ke depan seperti posisi nyetir mobil dan punggung agak mundur ke belakang, setelah badan masuk ke air maka posisikan badan lurus telentang dengan kaki di angkat lurus ke depan. Agak horor sih, tapi gaya seperti itu yang paling aman, paling cuma kesedak air sungai aja resikonya.---badan saya timbul tenggelam di lintasan jeram itu. Air sungai mah bonus deh yang ke minum. Setelah saya, teman-teman yang lain satu persatu nyusul.

30 menit kemudian kami tiba di rest area, sebuah delta batu yang luas. Disana beristirahat pula rombongan-rombongan yang lain. Ternyata ada penjual kopi dan mie di situ...geleng-geleng kepala saya, gimana caranya ini pedagang bisa sampai disini, sebab melihat sekeliling, bisa dibilang ga ada akses jalan. Terus terang, kami semua lapar dan kedinginan, tapi tidak ada di antara kami yang mengantongi uang. Sebab kami pikir untuk apa bawa uang, kan mau basah-basahan. Saat kami bingung dan menelan ludah, guide kami bilang, pedagang disitu memang bertransaksi dengan model invoice alias pembeli bisa bayar belakangan nanti di basecamp---weh...canggih juga nih...hahaha...inovatif banget cara dagangnya. Akhirnya kami beli pop mie dan kopi untuk menghibur cacing di perut. Oh iya, jangan takut di getok harga disini, walau sistemnya invoice tapi harga-harganya boleh di bilang normal lah. Contoh untuk 1 gelas popmie di bandrol 10ribu rupiah saja dan kopi sekitar 3-4ribu sebambu, iya sebab gelasnya dari bambu, natural banget ya.

Selesai ngisi perut, guide kami bicara, siapa yang takut melintas jeram lagi dipersilakan melipir pinggiran sungai sebelah kanan, bagi yang berani silakan menyeberang ke bagian kiri untuk berhadapan dengan Jeram Setan. Jeram Setan ini jeram yang lintasannya terpanjang di Green Canyon, kira-kira 25-30 meter. Menurut guide, tingkat kesulitannya dua kali lebih berat dari jeram ganas yang pertama. Untuk meyakinkan diri, saya hanya bertanya "Aman kan?"...guide menjawab "Aman!". Setelah dapat jawaban saya menawarkan diri untuk jadi pelintas Jeram Setan yang pertama---sok berani...hihi...padahal dalam hati mah jangan di tanya tegangnya kaya apa. Saya melompat dan berenang menyebrang lalu melipir tebing sebelah kiri, di depan Jeram Setan, guide menyuruh saya memposisikan diri berdiri di depannya. Lalu saya di suruh meluruskan kaki ke depan, rebah. Guide memegang life jacket saya di bagian pundak kanan dan kiri, setelah itu guide bertanya "Siap?"..."Siap" jawab saya, berusaha mengalahkan rasa takut. Bersamaan dengan jawaban saya guide melepaskan pegangannya di pundak saya, membiarkan tubuh saya masuk ke dalam pusaran arus yang ga bisa saya bilang kaya apa rasanya, yang jelas antara cemas, panik, tegang, takut dan penasaran campur aduk jadi satu. Sensasinya luar biasa, dan jangan tanya berapa banyak air sungai yang tertelan...blup..blurp...blurp...nikmat. Begitu tiba di spot ujung Jeram Setan spontan saya teriak untuk melepaskan tekanan yang saya rasakan sebelumnya.

Lepas dari Jeram Setan barulah kami masuk ke area yang dinamakan Green Canyon, rupanya area yang kami lintasi sebelumnya itu namanya Guha Bau. Disini barulah saya mengerti kenapa area ini di beri nama Green Canyon, ternyata bukan gaya-gayaan aja, kontur dan view nya benar-benar luar biasa indah dan menakjubkan. Tak henti saya memuji keagungan Allah dengan ciptaanNya ini. Indah sekali.
Di area Green Canyon kami tidak banyak berenang atau melintas jeram lagi, hanya sesekali kami turun melipir dinding tebing. Kami lebih banyak meniti tebing, semi climbing dan melompat dari batu yg satu ke batu lain dengan gemuruh suara jeram di bawah kami. Kami juga melewati Jeram Blender, salah satu spot "death zone" Green Canyon. Berdiri di atas Jeram Blender, saya merinding membayangkan bagaimana seandainya ada yang jatuh kesitu....mungkin tipis harapan untuk selamat. Kami juga melipir melewati pemandian putri yang katanya bikin awet muda sebelum masuk area Jeram Blender. Saat saya asyik dengan lamunan tentang Jeram Blender, guide menyuruh kami bergegas turun ke sisi yang berlawanan, kami pun mengikuti. Turun perlahan-lahan meniti tebing batu kami pun berendam lagi di air...di hadapan kami adalah lintasan yang lagi-lagi bikin jiper, sebuah ceruk nyaris seperti terowongan sepanjang 5-6 meter. Jarak permukaan air dengan atap terowongan hanya 60cm. 8 meter berseberangan dari situ Jeram Blender bergemuruh. Saya ngelus dada, ga ada jalur lain apa ya? Dan akhirnya saya pun memasrahkan diri pada guide, melintas terowongan horor itu. Bagusnya bagian dasar terowongan itu dalam sekali airnya...fiiuuh lega saya. Dari Jeram terowongan perjalanan selanjutnya relatif "ringan", saya lihat Casio saya sudah menunjukkan pukul 15.00. Saat sedang beristirahat, guide kami menunjuk ke arah barat, dia bilang itulah garis  finish body rafting ini. Dia melanjutkan, bagi yg berani, dipersilakan melipir ke kiri sungai untuk naik ke atas tebing untuk mencapai spot lompat terakhir setinggi 8-9 meter, yg ga berani silakan berenang ke arah kanan. Saya angkat bendera putih, badan saya kelewat lelah, daripada harus menguras tenaga lagi lebih baik saya gabung dengan golongan yang "ga berani" seperti Risky dan Sena. Walaupun saya sudah ambil jalur yang aman, tetap saja saya sempat hanyut beberapa meter, beruntung saya di tarik guide kami, sampe-sampe celana quickdry saya melorot...haaddeeuh. Saya dan yang lain istirahat di atas batu sambil menonton teman-teman yang "berani" melompat dari tebing terakhir. Selesai semua lompat kami pun menuju spot parkir perahu yang akan membawa kami kembali ke Basecamp. 10 menit kami naik perahu menuju darmaga parkir untuk berganti perahu yang mesinnya lebih kecil. Di perahu yang lebih kecil ini hanya bisa di isi 5 orang penumpang. Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit kami pun tiba di Basecamp untuk mandi, berganti pakaian dan menyantap makanan yg telah di siapkan pihak EO. Alhamdulillah, body rafting kami berjalan dengan aman dan lancar, walau beberapa dari kami ada yang cedera tapi kondisi terkendali dengan baik. Tepat pukul 17.30 kami pun berpamitan dan memulai perjalanan pulang. Yang lain tidur saya mah tetep aja nyetir.
Green Canyon...salah satu "must visit place" untuk yang hobi petualangan, at least bagi saya. Oh iya, jika menuju kesana di musim kemarau agak kurang seru sebab debit air nya berkurang. Idealnya Maret sampai awal Mei.

Sampai jumpa di petualangan berikutnya....

Rangkuman: 
1. Bensin untuk perjalanan Bogor-Green Canyon PP rp.620.000,-
2. Makan dll rp.50.000,-/org
3. Paket Body Rafting rp.200.000,-/org. Harga paket dihitung minimal 5 orang. Kurang dari 5 orang tetap di hitung paket rp.1000.000,-/paket. Lebih dari 5 orang dihitung per orang rp.200.000,-.
4. Rute menuju kesana dari Bogor :
Bogor-Puncak-Cianjur-Padalarang-Bandung-Cileunyi-Ranca Ekek-Nagreg-Tasikmalaya Ciawi-Malangbong-Gentong-Ciamis-Banjar Patroman-Banjarsari-Pangandaran-Green Canyon.
5. Total waktu tempuh dari Bogor 7-8 jam exclude istirahat.
6. Hari Jumat libur
7. Hari lain buka dari jam 8.00-14.00.


Kamis, 15 Oktober 2015

Into Thin Air --- Bab XVII

                 INTO THIN AIR
                      BAB XVII
             PUNCAK EVEREST
                  10 MEI 1996
                 PUKUL 15.40 --- 29.028 KAKI

Bencana yang menimpa kami, pasti diakibatkan oleh cuaca buruk yang datang tiba-tiba dan sepertinya tanpa sebab yang jelas. Aku pikir, tidak ada manusia lain yang pernah melewati bulan seperti bulan yang kami lalui, yang seyogianya bisa kami lalui meskipun cuaca buruk, jika bukan karena rekan kedua kami yang menyebalkan, Kapten Oates dan kurangnya bahan bakar didepot-depot, sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan, dan terakhir, karena badai yang menerjang kami kurang lebih 11 mil dari depot yang kami harapkan menjadi tempat yang bisa memenuhi semua kebutuhan terakhir kami. Pasti tidak ada kemalangan yang melebihi pukulan terakhir ini .... Kami menentang banyak resiko, dan kami sadar akan hal itu; segala sesuatu berbalik menentang kami, dan karenanya kami tidak punya alasan untuk mengeluh, tetapi apapun suratan Takdir kami, kami bertekad untuk terus berjuang sampai detik terakhir.....
Seandainya kami bisa bertahan hidup, saya akan punya kisah untuk diceritakan ; tentang keberanian, daya tahan dan semangat rekan-rekan saya yang akan menyentuh hati setiap warga Inggris. Tulisan cakar ayam ini dan tubuh-tubuh kami yang sudah mati akan bercerita. 

Robert Falcon Scott,
dalam “Pesan untuk Publik”, ditulis sesaat sebelum kematiannya di Antartika, 29 Maret 1912, dikutip dari Scott’s Last Expedition
------------------------------------
Scott Fischer tiba dipuncak sekitar pukul 15.40 tanggal 10 Mei dan mendapati teman setianya sekaligus sirdarnya , Lopsang Jangbu, sedang menunggunya. Sherpa itu mengeluarkan radio dari balik jaketnya dan menghubungi Ingrid Hunt di Base Camp, kemudian menyerahkan walkie talkie tersebut pada Fischer. “Kami berhasil” Fischer berkata kepada Hunt yang berada 11.400 kaki dibawahnya. “Ya Tuhan, saya benar-benar lelah.” Beberapa menit kemudian, Makalu Gau tiba ditemani dua orang Sherpa. Rob Hall juga sudah ada disana, menunggu kedatangan Doug Hansen dengan tidak sabar, sementara gumpalan-gumpalan awan yang tampak mengkhawatirkan mulai naik dan menutupi lereng yang menuju puncak.
Menurut Lopsang, selama lima belas atau dua puluh menit berada dipuncak, Fischer terus menerus mengeluh tidak enak badan---sesuatu yang tidak pernah dilakukan pemandu yang biasanya pandai menahan diri itu. “Scott berkata padaku, ‘Aku terlalu lelah,’” kenang Sherpa tersebut. “Saya memberinya teh, tetapi dia hanya minum sedikit, hanya setengah cangkir. Jadi saya berkata padanya, ‘Scott, mari kita turun cepat-cepat.’ Kemudian kami berdua turun.”
Fischer turun lebih dulu, sekira pukul 15.55. Lopsang melaporkan bahwa meskipun Scott hampir selalu menggunakan oksigen tambahan saat mendaki dan tabung oksigennya masih terisi tiga perempat bagian, karena alasan tertentu dia melepaskan maskernya dan tidak menggunakan oksigen.
Beberapa saat setelah Fischer meninggalkan puncak, Gau dan kedua Sherpanya turun diikuti oleh Lopsang---meninggalkan Hall sendirian dipuncak, menunggu kedatangan Hansen. Beberapa saat kemudian, setelah Lopsang turun, yaitu sekira pukul 16.00, Hansen akhirnya muncul dan dengan susah payah serta gerakan lamban dia melewati tonjolan lereng yang terakhir. Begitu melihat Hansen, dengan cepat Hall turun untuk menyongsongnya.
Waktu kembali yang ditetapkan oleh Hall sudah lewat dua jam yang lalu. Mengingat sifat Hall yang sangat konservatif dan cermat, banyak rekan-rekannya yang mempertanyakan sikap Hall yang lain dari biasanya. Mereka bertanya-tanya mengapa dia tidak menyuruh Hansen kembali lebih awal, segera setelah dia tahu bahwa pendaki Amerika itu sudah sangat terlambat?
Tepat setahun sebelumnya, Hall memerintahkan Hansen untuk kembali meskipun saat  itu mereka sudah berada di Puncak Selatan, tepat pada pukul 14.30; tidak berhasil mencapai puncak setelah berada begitu dekat membuat Hansen sangat kecewa. Berkali-kali dia mengatakan kepadaku bahwa perjalanannya ke Everest pada 1996 itu, lebih banyak mengikuti saran Hall---Doug mengatakan bahwa Rob meneleponnya dari Selandia Baru, “selusin kali,” mendesaknya untuk mencoba sekali lagi---dan kali ini Doug sudah bertekad bulat untuk menaklukkan puncak. “Aku ingin masalah ini selesai kemudian melupakannya dari hidup saya,” kata Doug padaku tiga hari sebelumnya di Camp Dua. “Aku tidak ingin kembali lagi ke tempat ini. Aku terlalu tua untuk semua kekacauan ini.”
Rasanya tidak berlebihan jika aku menduga bahwa karena Hall yang membujuk Hansen untuk kembali ke Everest, maka Hall tidak bisa melarang Hansen mendaki sampai puncak untuk kedua kalinya. “Sangat sulit untuk meminta seseorang turun kembali saat dia sudah berada jauh diatas sana,” tutur Guy Cotter, pemandu dari Selandia Baru yang bersama Hall menaklukkan Everest pada 1992, dan bekerja sebagai pemandu Hall pada ekspedisi 1995, yaitu ketika Doug Hansen pertama kali mendaki puncak Everest. “Jika seorang klien melihat bahwa puncak sudah begitu dekat dan dia sudah bertekad untuk mencapainya, dia hanya akan menertawakan Anda dan terus mendaki.” Hal serupa diucapkan oleh veteran pemandu  dari Amerika, Peter Lev kepada majalah Climbing, tidak lama setelah bencana Everest pada 1996 itu, “Kami berpikir orang-orang membayar kami untuk membuat keputusan yang tepat, padahal mereka membayar untuk mencapai puncak.”
Apapun yang terjadi, nyatanya Hall tidak meminta Hansen untuk turun sekira pukul 14.00---tidak juga pada pukul 16.00, saat dia menyongsong kliennya beberapa kaki dibawah puncak. Sebaliknya, menurut cerita Lopsang, Hall melingkarkan lengan Hansen dilehernya dan membantu klien yang sudah kelelahan itu melewati empat puluh kaki terakhir menuju puncak. Mereka hanya tinggal selama satu atau dua menit , dan kemudian berbalik untuk melakukan perjalanan panjang menuruni gunung.
Ketika Lopsang melihat bahwa Hansen terhuyung, dia menunggu cukup lama untuk memastikan bahwa Doug dan Rob sudah aman melewati tonjolan lereng yang sangat berbahaya yang berada tepat dibawah puncak. Kemudian, karena ingin segera menyusul Fischer yang saat itu sudah berada tiga puluh menit didepannya, Sherpa itu meneruskan perjalanannya menuruni tebing, meninggalkan Hansen dan Hall di puncak Hillary Step.
Sesaat setelah Lopsang menghilang dibawah Hillary Step, Hansen tampaknya kehabisan oksigen dan roboh. Dia sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk bisa mencapai puncak---dan sekarang, dia tidak punya tenaga lagi untuk turun. “Peristiwa serupa terjadi pada Doug dalam ekspedisi 1995,” kata Ed Viesturs, yang seperti Cotter, menjadi pemandu Hall pada ekspedisi tersebut. “Dia baik-baik saja selama pendakian, tetapi begitu dia mulai turun, kekuatan mental maupun fisiknya habis; dia berubah menjadi zombi, seakan-akan dia sudah menghabiskan semuanya.”
Pada pukul 16.30, dan sekali lagi pada pukul 16.41, Hall menghubungi melalui radio dan mengatakan bahwa dia dan Hansen sedang kesulitan dilereng  dekat puncak, dan sangat membutuhkan oksigen. Dua botol oksigen terisi penuh sedang menunggu mereka di Puncak Selatan; jika Hall tahu tentang ini, dia bisa mengambil gas tersebut dengan cepat dan kembali ke atas untuk memberi Hansen botol yang baru. Tetapi, Andy Harris, yang masih berada ditempat penyimpanan oksigen, dalam keadaan sekarat dan linglung karena hipoksia, tanpa sengaja mendengar pembicaraan tersebut, dia menyela dan mengatakan pada Hall---informasi yang salah, seperti yang dia katakan pada Mike Groom dan aku---bahwa semua botol oksigen di Jalur Selatan sudah kosong.
Groom mendengar percakapan antara Harris dan Hall melalui radionya saat dia sedang menuruni Punggung Tenggara bersama Yasuko Namba, tepat diatas Balkon. Dia berusaha menghubungi Hall untuk memperbaiki informasi yang keliru tadi dan memberi tahu Hall masih ada beberapa botol oksigen yang penuh menunggunya di Jalur Selatan, tetapi, Groom menjelaskan, “radioku kurang berfungsi. Aku bisa menerima hampir semua panggilan, tetapi orang luar hampir-hampir tidak bisa mendengar kata-kataku. Beberapa kali aku berhasil menghubungi Rob, dan berusaha mengatakan padanya bahwa masih ada beberapa botol oksigen yang masih penuh, tetapi kata-kataku selalu dipotong oleh Andy, yang mengatakan tidak ada lagi oksigen di Jalur Selatan.”
Karena Hall tidak yakin ada botol oksigen yang menunggunya, dia memutuskan untuk tetap menemani Hansen dan berusaha membawa klien yang hampir-hampir tidak berdaya itu menuruni puncak tanpa bantuan gas. Tetapi saat mereka tiba di puncak Hillary Step, Hall tidak bisa membantu Hansen melewati tebing vertikal setinggi 40 kaki tersebut, sehingga perjalanan mereka terhenti. “Aku sendiri bisa turun,” Hall melaporkan melalui radio, dengan suara terengah-engah berusaha mengambil napas.” Aku Cuma tidak tahu, bagaimana aku bisa membawa Hansen turun melewati Hillary Step tanpa oksigen.”
Sesaat sebelum pukul 17.00, Groom akhirnya berhasil menghubungi Hall dan mengatakan bahwa sebenarnya masih ada beberapa tabung oksigen di Jalur Selatan. Lima belas menit kemudian, Lopsang tiba di Jalur Selatan dalam perjalanan ke bawah dan berpapasan dengan Harris.(*1)  Saat itu, menurut Lopsang, Harris sudah tahu bahwa masih ada dua tabung oksigen yang masih terisi penuh, karena dia membujuk Sherpa itu untuk membantunya membawakan gas penyokong hidup itu kepada Hall dan Hansen yang sedang berada di puncak Hillary Step. “Andy mengatakan dia akan membayar saya lima ratus dolar untuk membawa oksigen itu pada Rob dan Doug,” kenang Lopsang. “Tetapi, saya hanya bertugas untuk menjaga kelompok saya saja. Saya harus menjaga Scott. Jadi saya menolak  tawaran  Andy, dan turun dengan cepat.”
Pada 17.30, ketika Lopsang meninggalkan Jalur Selatan untuk meneruskan perjalanan menuruni gunung, dia berbalik untuk melihat Harris---yang saat itu pasti sudah sangat tidak berdaya, jika ditinjau dari kondisinya saat aku melihatnya di Jalur Selatan dua jam sebelumnya---yang perlahan-lahan sedang mendaki menuju puncak untuk membantu Hall dan Hansen. Sebuah tindakan kepahlawanan yang akan dibayar Harris dengan nyawanya!
Beberapa ratus kaki dibawahnya, Scott sedang berjuang keras menuruni Lereng Tenggara, tubuhnya menjadi semakin lemah dan terus melemah. Ketika dia tiba di puncak undakan batu pada ketinggian 28.400 kaki, Scott mendapati beberapa lintasan tali yang pendek tapi sulit, yang menjulur disepanjang lereng. Terlalu lelah untuk menggunakan metode tali yang rumit itu, Fischer langsung meluncur menuruni lereng bersalju diatas pantatnya. Cara ini lebih mudah daripada mengikuti lintasan tali, tetapi saat dia tiba didasar undakan, dia harus naik kembali sejauh 330 kaki melewati jalur yang dipenuhi salju setinggi lutut.
Tim Madsen yang sedang turun gunung dengan kelompok Beidleman, kebetulan mendongak ke arah Balkon sekira pukul 17.20 dan melihat Fischer yang sedang berjalan melewati lintasan tersebut. “Dia berjalan sepuluh langkah, kemudian duduk dan beristirahat, maju lagi beberapa langkah, kemudian istirahat lagi. Gerakannya sangat lambat. Tetapi, aku bisa melihat Lopsang diatasnya, menuruni punggung gunung dan kupikir dengan dibantu Lopsang, Scott pasti akan baik-baik saja.”
Menurut Lopsang, dia berhasil menyusul Fischer sekira pukul 18.00, tepat diatas Balkon: “Scott tidak menggunakan oksigen, jadi aku memasangkan masker untuknya. Dia berkata, ‘Aku terlalu sakit, terlalu sakit untuk bisa turun. Aku akan melompat.’ Dia mengatakan ini berkali-kali, kelakuannya seperti orang gila, jadi dengan cepat aku mengikat tubuhnya dengan seutas tali, sebab jika tidak, dia pasti akan melompat ke bawah menuju Tibet.”
Setelah mengikat tubuh Fischer dengan seutas tali sepanjang 75 kaki, Lopsang membujuk temannya untuk tidak melompat dan memandunya perlahan menuju Jalur Selatan. “Saat itu, badai sedang buruk-buruknya,”kenang Lopsang. “BOOM! BOOM! Aku mendengar dua kali suara guruh yang sangat keras, seperti suara senapan, disusul dua kali sambaran halilintar sangat dekat denganku dan Scott, sangat keras, dan sangat menakutkan.”
Tiga ratus kaki di bawah Balkon, selokan es landai yang mereka turuni dengan hati-hati tiba-tiba berubah menjadi singkapan serpih yang lepas-lepas dan curam, dan dalam kondisi tubuh yang sangat lemah, Fischer tidak mampu menghadapi medan yang sangat menantang tersebut. “Saat itu Scott sudah tidak bisa berjalan, dan aku benar-benar menghadapi masalah besar,” kata Lopsang. “Aku berusaha menggendongnya, tetapi aku juga sangat lelah. Tubuh Scott sangat besar, sementara aku sangat kecil; aku tidak bisa menggendongnya. Kemudian dia berkata padaku, ‘Lopsang, kamu turun saja. Kamu turun, cepat.’ Aku katakan padanya, ‘Tidak, aku akan tetap bersamamu.’”
Sekira pukul 22.00, ketika Lopsang dan Fischer sedang terbungkuk-bungkuk diatas birai yang tertutup es, Makalu Gau dan dua Sherpanya muncul dari tengah badai salju yang dahsyat. Kondisi Gau hampir sama buruknya dengan Fischer dan dia juga tidak mampu menuruni lintasan serpih yang sulit itu. Kedua Sherpanya mendudukkan pendaki Taiwan itu disamping Lopsang dan Fischer, kemudian melanjutkan perjalanan tanpa mereka.
“Aku duduk bersama Scott dan Makalu selama satu jam, mungkin lebih,” kata Lopsang. “Aku sangat kedinginan dan sangat lelah. Kemudian Scott berkata, ‘Kamu turun saja, dan minta Anatoli untuk naik kemari’. Kemudian aku mengatur agar Scott bisa duduk lebih nyaman dan turun ke bawah.”
Lopsang meninggalkan Fischer dan Gau diatas sebuah birai 1.200 kaki di atas Jalur Selatan dan menuruni gunung ditengah badai. Karena tidak bisa melihat, dia keluar dari jalur jauh ke arah barat dan sudah tiba didasar Puncak Selatan saat dia menyadari kekeliruannya, sehingga dia terpaksa mendaki kembali ke tepi utara dari Lhotse Face(*2) untuk mencari Camp Empat. Akhirnya, sekitar tengah malam, dia tiba dengan selamat di perkemahan. “Aku pergi ke tenda Anatoli,’ lapor Lopsang. “Aku katakan kepadanya, ‘Tolong, naiklah ke atas, Scott sakit parah, dia tidak bisa berjalan.’ Kemudian aku kembali ke tendaku sendiri, dan jatuh tertidur, tidur seperti orang mati.”
Guy Cotter, seorang teman lama Hall dan Harris, kebetulan berada beberapa mil dari Base Camp Everest pada sore hari tanggal 10 Mei tersebut, sedang memandu sebuah ekspedisi di Gunung Pumori, dan dia memantau hubungan radio Hall sepanjang hari itu. Pada pukul 14.15,dia bicara dengan Hall yang sedang berada dipuncak, dan semuanya terdengar lancar. Tetapi pada pukul 16.30, Hall mengatakan bahwa Doug kehabisan oksigen dan tidak mampu bergerak. “Aku perlu satu botol oksigen,” katanya dengan suara memelas dan terengah-engah pada semua orang digunung itu yang kebetulan sedang mendengarkan. “Siapa pun yang ada disini, tolonglah! Kumohon , tolonglah!”
Cotter bertambah cemas. Pada pukul 16.53 dia berhasil menghubungi Hall melalui radio dan meminta dengan sangat agar Hall mau turun sampai ke Puncak Selatan. “Aku menghubunginya terutama untuk meyakinkan dia agar turun dan mengambil botol oksigen,” kata Cotter, “karena kami tahu, tanpa botol oksigen Hall tidak bisa melakukan apa-apa untuk Doug. Rob mengatakan bahwa dia sendiri sebenarnya bisa turun, tetapi dia tidak bisa membawa Doug.”
Tetapi empat puluh kemudian, Hall masih menemani Hansen, tidak beranjak dari puncak Hillary Step. Dalam hubungan radio dengan Hall pada pukul 17.36, dan sekali lagi pada pukul 17.57, Cotter membujuk rekannya untuk meninggalkan Hansen dan turun sendirian. “Aku tahu, kedengarannya jahat karena aku meminta Rob untuk meninggalkan kliennya,” kata Cotter,”tetapi saat itu aku bisa melihat dengan jelas, bahwa satu-satunya pilihan Hall hanyalah meninggalkan Doug. “Tetapi, Hall tidak mau turun tanpa Hansen.
Tidak ada lagi kabar dari Hall sampai tengah malam. Pukul 02.46 pagi, Cotter yang berada ditendanya di lereng Pumori terbangun karena mendengar hubungan radio yang terputus-putus yang mungkin tersambung tanpa sengaja: Hall menggunakan mikrofon jarak jauh yang terselip di ranselnya, yang kerap menyala tanpa sengaja. Saat itu, kata Cotter, “Aku kira Rob sendiri tidak tahu bahwa teleponnya tersambung. Aku bisa mendengar seseorang berteriak, tetapi aku tidak tahu pasti  karena suara angin yang sangat keras dilatar belakang. Sepertinya dia mengucapkan kata-kata ini, ‘Terus bergerak! Maju terus!’ mungkin Hall berbicara kepada Doug, memaksanya agar terus berjalan.”
Jika memang demikian, berarti lewat tengah malam hari itu, Hall dan Hansen---mungkin ditemani oleh Harris---masih berjuang menuruni Hillary Step menuju Puncak Selatan menembus badai salju. Dan jika benar demikian, berarti mereka memerlukan lebih dari sepuluh jam untuk melewati jalur pendek yang biasanya bisa dituruni pendaki dalam waktu kurang dari setengah jam saja.
Tentu saja semua ini hanya dugaan. Hanya satu hal yang pasti, Hall menelepon ke bawah pada pukul 17 .57. Saat itu dia dan Hansen masih berada diatas Hillary Step; dan pada dini hari pukul 04.43, tanggal 11 Mei, ketika dia menghubungi Base Camp, dia sudah turun sampai di Puncak Selatan. Dan saat itu, baik Hansen maupun Harris tidak lagi bersamanya.
Dalam beberapa percakapan selama dua jam berikutnya, kata-kata Rob terdengar kacau dan tidak masuk akal. Dalam percakapan pukul 04.43, dia berkata pada Caroline Mackenzie, dokter kami di Base Camp, bahwa kedua kakinya tidak bisa berfungsi lagi, dan dia “terlalu kaku untuk bisa bergerak”. Dengan suara parau yang hampir-hampir tidak terdengar, Rob berkata, “Tadi malam Harold bersamaku, tetapi sepertinya dia sudah tidak lagi bersamaku. Dia sangat lemah.” Kemudian dengan nada yang jelas kebingungan, dia bertanya, “Apakah Harold bersamaku? Bisakah kamu pastikan tentang hal itu?”(*3)
Saat itu, Hall memiliki dua botol oksigen yang masih terisi penuh, tetapi katup pada masker oksigennya tertutup es sehingga gas tidak bisa mengalir. Tetapi, sepertinya dia sedang berusaha mencairkan es yang menyumbat katup oksigennya, “dan,” tambah Cotter “kata-katanya membuat kami merasa lebih baik. Itu berita positif pertama yang kami dengar.”
Pada pukul 05.00, dengan menggunakan telepon satelit, Base Camp berhasil menghubungi Jan Arnold di Christchurch, Selandia baru. Jan pernah mendaki puncak Everest bersama Hall pada 1993, dan dia sangat memahami kesulitan yang dihadapi suaminya. “Jantung saya seperti terlepas ketika saya mendengar suaranya,” kenangnya. “Bicaranya sangat aneh. Seperti suara Mayor Tom atau sejenisnya, seakan-akan dia sedang mengambang. Saya pernah ke atas sana; saya tahu bagaimana rasanya terjebak ditengah cuaca buruk. Rob dan saya pernah bicara tentang kemungkinan diselamatkan dari lereng dekat puncak. Dia berkata, ‘Lebih baik kamu berada dibulan saja.”
Pada pagi hari pukul 05.31, Hall menelan empat miligram dexamethason dan dari kata-katanya, sepertinya dia masih berusaha untuk mencairkan es yang menyumbat maskernya. Setiap kali dia bicara dengan Base Camp, berkali-kali dia menanyakan kondisi Makalu Gau, Fischer, Beck Weathers, Yasuko Namba dan beberapa kliennya yang lain. Tetapi, orang yang paling dia cemaskan adalah Andy Harris, dan dia terus bertanya tentang keberadaannya. Cotter berkata bahwa mereka berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Harris, yang kemungkinan besar sudah tewas, “kami tidak ingin Rob punya alasan lain untuk tetap tinggal diatas sana. Sekali waktu, Ed Viesturs menyela dari radio di Base Camp dan berkata, ‘Jangan khawatir tentang Andy, dia sudah ada disini bersama kami.”
Beberapa waktu kemudian, Mackenzie bertanya kepada Rob tentang keadaan Hansen. “Doug,” kata Hall “sudah pergi.” Hanya itu yang dia katakan dan itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Hall tentang Hansen.
Pada 23 Mei, ketika David Breashers dan Ed Viesturs mendaki sampai puncak, mereka tidak menemukan tubuh Hansen, tetapi mereka menemukan sebuah kapak es tertancap kira-kira lima puluh kaki vertikal diatas Puncak Selatan, di lereng yang sangat terbuka, ditempat mana lintasan tali berakhir. Besar kemungkinan Hall dan atau Harris berhasil membawa Hansen turun melalui tali sampai ke titik ini, tetapi kemudian Hansen kehilangan pijakan dan jatuh sejauh 7.000 kaki melewati Lereng Tenggara yang sangat curam, meninggalkan kapak es nya tertancap dipunggung gunung tempat dia mulai tergelincir. Namun, ini pun hanya sekedar dugaan.
Apa yang terjadi pada Harris bahkan lebih sulit diduga. Menurut cerita Lopsang, dari beberapa pembicaraan radio dengan Hall, dan ditemukannya sebuah kapak es di Puncak Selatan yang diketahui positif sebagai milik Andy, kemungkinan besar Andy berada di Puncak Selatan bersama Hall pada malam tanggal 10 Mei tersebut(*4). Selain fakta diatas itu, hampir-hampir tidak ada informasi lain yang menjelaskan, bagaimana pemandu muda itu menemui ajalnya.
Pada pukul 06.00 pagi Cotter bertanya pada Hall apakah sinar matahari sudah sampai kepadanya diatas sana. “Hampir” jawab Hall---informasi yang sangat bagus, karena beberapa waktu sebelumnya, Hall mengaku bahwa dia gemetar kedinginan karena udara yang sangat dingin. Kabar yang disampaikan Hall sebelumnya, yang menyatakan bahwa dia tidak bisa lagi berjalan, sangat meresahkan pendengarnya yang berada dibawah. Karena itu, cukup mengagumkan bahwa Hall masih bertahan hidup setelah melewati malam tanpa perlindungan atau oksigen pada ketinggian 28.700 kaki ditengah terjangan badai dan angin dengan temperatur yang mencapai seratus derajat dibawah nol.
Dalam percakapan radio yang sama, sekali lagi Hall menanyakan Harris: “Adakah orang yang melihat Harold tadi malam, kecuali aku?” Kira-kira tiga jam kemudian, Rob masih terobsesi oleh Andy. Pukul 08.43 pagi, melalui radio dia masih memikirkan dan menanyakan Andy, “Beberapa peralatan Andy masih ada disini. Aku pikir dia sudah meninggalkan aku tadi malam. Dengar, apakah kalian bisa menjelaskan tentang keberadaannya atau tidak?” Wilton berusaha mengalihkan percakapan, tetapi Rob  tetap ngotot dengan pertanyaannya: “Ya sudah. Maksud saya, kapak es nya masih disini, begitu juga jaketnya dan beberapa barang-barangnya.”
“Rob” Viesturs berkata dari Camp Dua, “jika kamu bisa menggunakan jaket itu, pakailah. Cobalah untuk turun dan cemaskan saja dirimu. Semua orang sedang berusaha menolong yang lain. Kamu sendiri yang harus turun sekarang.”
Setelah berjuang selama empat jam untuk mencairkan es yang menyumbat maskernya , akhirnya upaya Hall membuahkan hasil, dan pada pukul 09.00 pagi, untuk pertama kalinya dia bisa bernapas dengan menggunakan oksigen tambahan; sampai saat itu, Hall sudah enam belas jam berada pada ketinggian diatas 28.700 kaki tanpa oksigen tambahan. Beberapa ribu kaki dibawahnya, teman-temannya meningkatkan upaya mereka membujuk Hall agar dia segera turun. “Rob, ini Helen dari Base Camp,” Helen Wilton membujuk dengan suara memelas dan hampir menangis. “Pikirkan saja tentang bayi kecilmu. Kamu akan melihat wajahnya dalam beberapa bulan, jadi cobalah turun.”
Beberapa kali Hall mengatakan bahwa dia sedang bersiap-siap untuk turun, bahkan pada satu saat, kami yakin bahwa dia sudah meninggalkan Puncak Selatan. Di Camp Empat, menatap sebuah titik kecil yang bergerak perlahan menuruni bagian atas Punggung Tenggara. Yakin bahwa titik kecil itu adalah Rob yang akhirnya bersedia turun, Lhakpa dan aku saling menepuk punggung dan bersorak gembira. Tetapi sejam kemudian, perasaan optimisku hancur berantakan ketika aku mengamati titik itu masih berada ditempatnya: ternyata itu bukan Rob, melainkan sepotong batu---hanya halusinasi lain akibat ketinggian. Kenyataannya, Rob tidak pernah meninggalkan Puncak Selatan.
Sekitar pukul 09.30 pagi, Ang Dorje dan Lhakpa Chhiri meninggalkan Camp Empat dan mulai mendaki ke arah Puncak Selatan membawa termos berisi teh panas dan dua botol oksigen ekstra, dengan maksud menyelamatkan Hall. Mereka menghadapi resiko yang sangat besar. Keberanian Boukreev dan upayanya yang mengagumkan untuk menyelamatkan Sandy Pittman dan Charlotte Fox semalam sebelumnya masih belum berarti jika dibandingkan dengan keberanian kedua Sherpa tersebut: Pittman dan Fox hanya berada dua puluh menit perjalanan dari perkemahan, ditempat yang relatif landai; Hall berada 3000 kaki vertikal diatas Camp Empat---yang hanya bisa dicapai setelah mendaki selama delapan atau sembilan jam yang melelahkan, itupun jika cuacanya sempurna.
Dan cuaca saat ini sangat jauh dari sempurna. Angin bertiup dengan kecepatan lebih dari 40 knot. Baik Ang Dorje maupun Lhakpa masih sama-sama kedinginan dan sangat lelah karena baru tiba dari perjalanan bolak-balik menuju puncak hanya sehari sebelumnya. Seandainya mereka bisa mencapai Hall, mereka baru akan tiba sore hari, dan hanya punya waktu satu atau dua jam untuk memulai upaya yang sulit, membawa Hall turun sebelum matahari terbenam. Tetapi kesetiaan mereka pada Hall begitu besar, sehingga mereka mengabaikan resiko yang sangat besar dan mulai bergerak ke Puncak Selatan, mendaki secepat yang mereka mampu.
Tidak lama sesudahnya, dua Sherpa dari tim Mountain Madness---Tashi Tshering dan Ngawang Sya Kya (pria kecil bertubuh ramping, yang sudah mulai beruban dipelipisnya, ayah dari Lopsang)---dan satu Sherpa dari tim Taiwan bergerak ke atas  untuk membawa turun Scott Fischer dan Makalu Gau. Dua ratus kaki diatas Jalur Selatan, ketiga Sherpa itu menemukan kedua pendaki yang kondisinya sudah sangat lemah diatas birai tempat Lopsang meninggalkan mereka. Meskipun mereka mencoba memberi oksigen pada Fischer, dia tidak bereaksi. Scott masih bernapas, meskipun napasnya sangat lemah, tetapi kedua matanya tetap menutup, dan gigiya terkatup rapat. Menyimpulkan bahwa nyawa Scott sudah tidak bisa tertolong lagi, mereka meninggalkannya diatas birai dan mulai turun gunung bersama Gau, yang setelah mendapat teh panas dan oksigen, dan dibantu oleh kedua Sherpa, berhasil berjalan sendiri ke perkemahan, meskipun tubuhnya harus diikat oleh seutas tali pendek
Pagi itu matahari bersinar cerah dan cuaca tampak jernih, meskipun angin masih bertiup dengan kencang. Tetapi, menjelang tengah hari, bagian atas gunung mulai ditutupi awan gelap. Di bawah, di Camp Dua, tim IMAX melaporkan bahwa bunyi angin diatas puncak terdengar seperti bunyi deru satu skuadron pesawat jet 747 dan terdengar sampai 7000 kaki dibawahnya. Sementara itu, jauh diatas Lereng Tenggara, Ang Dorje dan Lhakpa Chhiri terus mendaki menembus badai yang semakin dahsyat menuju ke tempat Hall. Tetapi, pada pukul 15.00, sekira 700 kaki di bawah Puncak Selatan, kedua Sherpa itu tidak lagi sanggup menghadapi terjangan angin dan udara yang dinginnya mencapai beberapa derajat dibawah no, dan mereka tidak bisa terus mendaki. Upaya yang sangat berani, tetapi tidak berhasil---dan, dengan kembalinya mereka, kesempatan Hall untuk bertahan hidup pun sirna.
Sepanjang hari pada 11 Mei, teman-teman Hall berulang kali memintanya untuk turun dengan tenaganya sendiri. Beberapa kali Hall mengatakan bahwa dia sedang bersiap-siap untuk turun, tetapi kemudian dia berubah pendirian dan tidak beranjak dari Puncak Selatan. Pada pukul 15.20, Cotter---yang saat itu sudah meninggalkan tendanya di lereng Pumori dan berada di Base Camp Everest---menghardiknya melalui radio, “Turun sekarang, Rob!”
Hall menjawab dengan suara kesal, “Dengar kawan, jika aku merasa mampu melewati lintasan tali dengan kedua tanganku yang terluka karena gigitan salju, aku sudah turun enam jam yang lalu. Kirim saja beberapa orang dengan sebuah termos besar berisi minuman panas---aku pasti akan baik-baik saja.”
“Masalahnya teman, orang-orang yang berangkat ke atas pagi ini dihadang oleh angin kencang dan terpaksa turun kembali,” Cotter menjawab, berusaha menjelaskan secara sangat hati-hati, bahwa upaya untuk menyelamatkannya terpaksa di hentikan, “Kami pikir, pilihan terbaik hanyalah turun sedikit ke tempat yang lebih rendah.”
“Aku masih bisa bertahan satu malam disini jika kamu mengirimkan beberapa orang dengan membawa teh Sherpa besok pagi-pagi sekali, asal tidak lebih lambat dari pukul sembilan tiga puluh atau pukul sepuluj,” jawab Rob.
“Kamu benar-benar kuat, Big Guy,” kata Cotter dengan suara bergetar. “Kami akan mengirimkan beberapa orang kepadamu esok pagi.”
Pada pukul 18.20, Cotter menghubungi Hall untuk mengabarkan bahwa Jan Arnold menghubunginya melalui telepon satelit dari Christchurch dan sedang menunggu untuk disambungkan. “Beri aku beberapa menit,” jawab Rob, “mulutku terasa kering. Aku akan makan sedikit salju sebelum bicara dengannya.” Beberapa saat kemudian, suaranya terdengar lagi, parau, perlahan dan sangat terganggu, “Hai, sayang. Kuharap kamu tidur nyaman ditempat tidurmu yang hangat. Apa kabar?”
“Sulit mengatakannya, betapa aku memikirkanmu!” jawab Arnold. “Suaramu terdengar lebih baik dari yang kuduga....Apakah kamu cukup hangat, sayang?”
“Mengingat tempat dan situasi saat ini, aku cukup nyaman,” jawab Hall, berupaya keras untuk tidak membuat istrinya cemas.
“Bagaimana kakimu?”
“Aku belum melepaskan sepatu untuk memeriksanya, tetapi kemungkinan aku terserang sedikit gigitan salju....”
“Aku tidak sabar ingin membuatmu benar-benar sehat kembali setelah kamu pulang ke rumah,” jawab Arnold. “Aku yakin, kamu akan selamat. Jangan merasa sendirian. Aku akan mengirimkan semua energi positifku kepadamu!”
Sebelum menutup telepon, Hall berkata pada istrinya, “Aku mencintaimu. Tidur yang nyenyak, Sayang. Tolong ya, jangan terlalu cemas.”
Itulah kata-kata terakhir Hall yang bisa didengar orang. Upaya untuk menghubungi Hall melalui radio malam hari itu dan sehari setelahnya tidak pernah dijawab. Dua belas hari kemudian, ketika Breashers dan Viesturs mendaki Puncak Selatan dalam perjalanan menuju puncak, mereka menemukan tubuh Hall terbaring miring kekanan disebuah lubang es yang dangkal, bagian atas tubuhnya tertutup oleh salju yang tertiup angin.
------------------------------------

(*1): saya baru mengetahui bahwa Lopsang melihat Harris pada malam tanggal 10 Mei tersebut setelah saya mewawancarai Lopsang di Seattle pada 25 Juli, 1996. Meskipun sebelumnya saya pernah berbicara beberapa kali dengan Lopsang, tidak pernah terpikirkan oleh saya untuk menanyakan apakah dia berpapasan dengan Harris di Puncak Selatan, karena saat itu saya masih merasa yakin bahwa saya melihat Harris di Jalur Selatan, 3.000 kaki dibawah Puncak Selatan, pada pukul 18.30. Selain itu, Guy Cotter pun pernah menanyakan kepada Lopsang kalau-kalau dia melihat Harris, dan karena alasan tertentu---barangkali karena dia keliru memahami pertanyaan Cotter---saat itu Lopsang menjawab tidak.
(*2): keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika saya sedang mencari Andy Harris di Jalur Selatan, saya melihat jejak samar dari crampon yang dipakai Lopsang dijalur es yang menuju bibir Permukaan Lhotse, saya mengira itu adalah jejak Harris yang terjun ke Permukaan Lhotse---itu sebabnya saya berpikir bahwa Harris terjatuh dari tepi Jalur Selatan
(*3): saya sudah melaporkan dengan penuh keyakinan bahwa saya melihat Harris di Jalur Selatan pada pukul 18.30, tanggal 10 Mei. Ketika Hall mengatakan bahwa Harris sedang bersamanya di Puncak Selatan---3000 kaki lebih tinggi dari tempat saya melihatnya---hampir semua orang, karena kekeliruan saya, secara keliru menganggap pernyataan  Hall sebagai kata-kata kacau dari orang yang sedang kelelahan dan menderita hipoksia berat.

Into Thin Air --- Bab XXI

               INTO THIN AIR
                    BAB XXI
          BASECAMP EVEREST
   13 MEI 1996 --- 17.600 KAKI

Pada akhirnya saya harus memberikan pertimbangan matang tentang ekspedisi kami yang mustahil, saat kami siap untuk berangkat.... Sementara itu, Amundsen sudah langsung berangkat ke tempat itu, tiba disana, dan kembali tanpa kehilangan satu orang pun, tanpa menghadapi banyak kesulitan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orangnya, kecuali kesulitan yang umum terjadi dalam sebuah ekspedisi  menuju kutub. Sebaliknya, ekspedisi kami yang harus menghadapi resiko yang sangat mengerikan, melakukan keajaiban yang melebihi daya tahan manusia biasa, mendapat kemahsyuran yang abadi, dikenang lewat khotbah-khotbah gereja yang mulia dan dielu-elukan publik, harus tiba di Kutub hanya untuk mendapati bahwa perjalanan kami sungguh mengerikan dan sia-sia, serta meninggalkan orang-orang terbaik kami mati di atas salju. Mengabaikan kontras seperti itu benar-benar tindakan bodoh: menulis sebuah buku tanpa memperhitungkan semua itu, benar-benar membuang waktu.

Apsley Cherry-Garrard
The Worst Journey in the World
Kisah tentang Ekspedisi Falcon Scott yang gagal pada 1912 ke Kutub Selatan
-----------------------------------

Setibanya di kaki Jeram Es Khumbu, pagi hari, Senin 13 Mei, ketika sedang berjalan menuruni lereng terakhir, aku disambut oleh Ang Tshering, Guy Cotter dan Caroline Mackenzie yang sudah menungguku di tepi gletser. Guy memberiku sebotol bir, Caroline memelukku dan tanpa kusadari, aku terduduk diatas es sambil menutupi wajahku, airmata membasahi pipiku. Aku menangis, sesuatu yang tidak pernah lagi kulakukan sejak aku masih seorang anak lelaki kecil. Sekarang, setelah aku selamat, tekanan berat yang kurasakan selama beberapa hari terakhir seakan terangkat dari pundakku, aku menangis karena kehilangan rekan-rekanku dan bersyukur karena aku masih hidup, aku menangis karena aku bisa bertahan hidup sementara rekan-rekanku tewas.
Pada Selasa sore, Neal Beidleman memimpin upacara peringatan di perkemahan Mountain Madness. Ayah Lopsang Jangbu, Ngawang Sya Kya---seorang lama pentahbis---membakar dupa pohon juniper dan membacakan beberapa doa agama Budha di bawah naungan langit yang berwarna kelabu metalik. Neal mengucapkan sedikit pidato, Guy bicara sepatah dua patah kata, Anatoli Boukreev berduka cita atas tewasnya Scott Fischer. Aku berdiri dan mengucapkan kata perpisahan untuk Doug Hansen. Pete Schoening berusaha mengobarkan semangat semua orang dengan meminta kami semua untuk melihat ke depan, bukan ke belakang. Tetapi, ketika upacara selesai dan kami semua kembali ke perkemahan, suasana pemakaman yang muram menyelimuti Base Camp.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, sebuah helikopter tiba untuk mengevakuasi Charlotte Fox dan Mike Groom yang terkena gigitan udara dingin yang pasti akan bertambah parah jika mereka kembali dengan berjalan kaki. John Taske yang berprofesi sebagai dokter, ikut menemani untuk merawat Charlotte dan Mike dalam perjalanan. Menjelang tengah hari, ketika Helen Wilton dan Guy Cotter sedang mengawasi pembongkaran perkemahan Adventure Consultants, Lou Kasischke, Stuart Hutchison, Frank Fischbeck, Caroline Mackenzie dan aku meninggalkan  perkemahan untuk pulang.
Pada Kamis, 16 Mei, kami semua diangkut dengan sebuah helikopter dari Pheriche ke Desa Syangboche yang berada tepat diatas Namche Bazaar. Saat kami sedang berjalan melewati landasan pesawat yang tertutup lumpur dan menunggu penerbangan kedua menuju Kathmandu, Stuart, Caroline dan aku, didatangi oleh tiga pria Jepang berwajah muram. Orang pertama mengaku bernama Muneo Nukita---seorang pendaki Himalaya yang berpengalaman dan sudah dua kali menundukkan puncak Everest---yang dengan sopan memperkenalkan diri sebagai pemandu dan penerjemah untuk dua rekannya yang lain, yaitu suami Yasuko Namba bernama Kenichi Namba dan saudara laki-laki Yasuko. Selama empat puluh lima menit berikutnya mereka  mengajukan banyak pertanyaan, beberapa diantaranya bisa kujawab.
Saat itu, kematian Yasuko telah menjadi berita utama diseluruh Jepang. Bahkan, pada 12 Mei---kurang dari dua puluh empat jam setelah Yasuko tewas di Jalur Selatan---sebuah helikopter mendarat di tengah Base Camp, dan dua wartawan Jepang yang mengenakan masker oksigen turun dari pesawat. Mereka mendatangi orang pertama yang mereka lihat---seorang pendaki Amerika bernama Scott Darsney---dan mengorek keterangan tentang kematian Yasuko. Hari ini, empat hari sesudahnya, Nukita mengingatkan kami tentang adanya sejumlah wartawan berita dan televisi yang haus berita sedang menunggu kami di Kathmandu.
Sore hari itu kami berdesak-desakkan didalam badan pesawat helikopter Mi-17 yang sangat besar yang langsung mengudara melewati sebuah celah diantara gumpalan-gumpalan awan. Sejam kemudian, helikopter tersebut mendarat di Tribhuvan International Airport, dan begitu keluar dari pesawat kami di sambut oleh ratusan mikrofon dan kamera televisi. Sebagai seorang wartawan, pengalaman di wawancarai merupakan pelajaran baru bagiku. Sekelompok wartawan, kebanyakan wartawan Jepang, meminta uraian terperinci tentang bencana yang terjadi, lengkap dengan para tokoh antagonis dan pahlawan. Tetapi kekacauan dan penderitaan yang sudah aku saksikan tidak dengan mudah terhapus hanya oleh beberapa pernyataan media. Setelah melewati dua puluh menit yang sangat menyiksa dilandasan, akhirnya aku diselamatkan oleh David Schensted, konsul Amerika yang membawaku ke Hotel Garuda.
Wawancara yang lebih sulit segera menyusul---oleh sekelompok wartawan yang berbeda, disusul oleh wawancara dengan beberapa pejabat yang memakai kaus tangan dan berwajah garang di Kementrian Turisme. Jumat malam, aku berjalan-jalan menyusuri Distrik Thamel, Kathmandu, berusaha melepaskan perasaan depresi yang semakin memuncak. Aku mengulurkan segenggam uang rupe kepada seorang anak lelaki Nepal yang bertubuh kurus kering dan sebagai imbalan, aku menerima sebuah kotak kecil terbungkus kertas bergambar harimau yang sedang menyeringai. Di hotel, aku membuka bungkusan itu dan menumpahkan isinya diatas selembar kertas rokok. Kuncup-kuncup berwarna hijau muda itu terasa lengket dan dipenuhi damar serta buah-buahan yang mulai meranum dan berbau harum. Aku mengelinting sebatang rokok ganja, mengisapnya sampai habis, mengelinting rokok kedua dan mengisap hampir setengahnya sebelum ruangan mulai berputar dan aku mematikannya.
Aku telentang tanpa pakaian diatas tempat tidur, mendengarkan suara-suara malam yang masuk melalui jendela yang terbuka. Suara dering bel rikshaw bercampur dengan suara klakson kendaraan, suara pengemis yang memelas, tawa seorang wanita dan suara musik dari sebuah bar yang berdekatan. Berbaring telentang diatas punggungku, terlalu mabuk untuk bisa bergerak, aku menutup mata dan membiarkan udara menjelang musim penghujan yang panas dan lengket menyeimutiku seperti balsem; aku merasa seolah-olah tubuhku mencair ke dalam kasur. Sebuah arak-arakan kereta kembang api dan sekelompok orang berwajah lucu dan berhidung besar bergulir dibalik kelopak mataku dengan warna warni yang cemerlang.
Ketika aku berbalik ke samping, telingaku bersentuhan dengan sesuatu yang basah, dan aku sadar, bahwa airmata sedang turun melewati wajahku dan membasahi seprai. Aku tersedu, buih-buih perasaan sedih dan malu membubung naik melewati sumsum tulang belakangku dari suatu tempat yang jauh didalam diriku. Cairan hangat keluar melalui hidung dan mulutku, diikuti oleh isak tangisku yang pertama, kemudian yang berikutnya dan yang berikutnya.

Pada 19 Mei aku terbang kembali ke Amerika, membawa dua ransel berisi barang-barang milik Doug Hansen untuk dikembalikan kepada orang-orang yang mencintainya. Di bandara Seattle, anak-anak Doug, Angie dan Jaime, teman wanitanya, Karen Marie dan beberapa teman serta kerabat sudah menungguku. Aku merasa bodoh dan tidak berdaya menghadapi airmata mereka.
Menghirup kembali udara laut yang tebal yang membawa bau gelombang yang sedang surut, aku mensyukuri udara musim semi di Seattle, menikmati daya tarik udaranya yang lembap dan berlumut. Perlahan-lahan, Linda dan aku memulai proses pengenalan kembali. Berat badanku yang susut sebanyak dua belas setengah kilogram selama berada di Nepal, pulih dengan cepat. Kegembiraan sederhana yang diberikan oleh kehidupan rumah---sarapan bersama istriku, mengamati matahari terbenam di Teluk Puget Sound, terbangun tengah malam dan berjalan tanpa alas kaki ke kamar mandi yang hangat---menimbulkan kegembiraan bercampur pesona. Tetapi, saat-saat seperti itu dengan cepat tertutup oleh kegelapan panjang yang ditimbulkan oleh bayang-bayang Everest, yang tampaknya hanya sedikit memudar seiring dengan berjalannya waktu.
Aku mengumpat sikapku yang pengecut, yang terus menunda menelepon pacar Andy Harris, Fiona McPherson dan istri Rob Hall, Jan Arnold, sampai akhirnya mereka meneleponku dari Selandia Baru. Ketika telepon tersambung, aku tidak mampu mengatakan apapun untuk mengurangi kemarahan maupun kebingungan Fiona. Saat berbicara dengan Jan, dialah yang justru menghiburku, bukan sebaliknya.
Aku selalu sadar bahwa mendaki gunung merupakan kegiatan yang sangat beresiko. Aku juga sadar bahwa bahaya merupakan komponen terpenting dalam permainan ini---tanpa itu, mendaki gunung tidak berbeda dengan rekreasi rutin yang lain. Rasanya menyenangkan bisa bersentuhan dengan sebuah keabadian yang menyimpan sejuta teka teki, melihat sekilas wilayahnya yang terlarang. Mendaki merupakan kegiatan yang mengagumkan, aku sangat yakin akan hal itu, bukan karena berbagai resiko yang terkandung didalamnya, melainkan justru karena semua resiko tersebut.
Sebelum mengunjungi Himalaya, aku belum pernah menyaksikan kematian dari jarak dekat. Sebelum ke Everest, aku bahkan belum pernah menghadiri sebuah pemakaman. Kematian merupakan sebuah konsep hipotetis, sebuah gagasan untuk direnungkan secara abstrak. Cepat atau lambat, sikap naif seperti itu pasti akan membawa dampak dan saat dampak itu muncul, perasaan shock yang ditimbulkannya diperburuk oleh sejumlah korban yang berlebihan: secara total,pendakian Everest pada musim semi 1996 itu menewaskan dua belas pria dan wanita, tingkat kematian tertinggi dalam satu musim pendakian, sejak manusia berhasil menginjakkan kaki di puncak Everest tujuh puluh lima tahun yang lalu.
Dari enam pendaki dalam tim ekspedisi Hall yang berhasil mencapai puncak, hanya Mike Groom dan aku yang berhasil selamat sampai di bawah: empat rekan satu timku, teman aku tertawa, muntah dan mengobrol panjang lebar dan akrab, telah kehilangan nyawa mereka. Tindakan-tindakanku---atau kegagalanku untuk bertindak---berdampak langsung pada kematian Andy Harris. Dan ketika Yasuko Namba sedang terbujur sekarat diatas Jalur Selatan, aku hanya terpisah sekitar 350 meter darinya, meringkuk didalam tendaku, tidak menyadari perjuangannya dan hanya peduli pada keselamatanku sendiri. Noda yang ditimbulkannya pada jiwaku, bukanlah jenis noda yang bisa terhapus oleh duka dan perasaan bersalah yang kurasakan dalam beberapa bulan ini.
Akhirnya, kuceritakan semua perasaan tertekan itu pada Klev Schoening, yang kebetulan tinggal tidak jauh dari tempatku. Menurut Klev, dia juga merasa sangat sedih karena kehilangan begitu banyak jiwa, tetapi tidak sepertiku, dia tidak merasa bersalah karena bisa bertahan hidup. Dia menjelaskan, “Terperangkap di Jalur Selatan malam itu, saya sudah melakukan semua yang bisa untuk menyelamatkan diri dan orang-orang yang bersama saya. Ketika kami kembali ke tenda, saya tidak memiliki apa-apa lagi. Salah satu kornea saya terkena gigitan salju dan saya hampir-hampir buta. Saya terserang hipotermia, meracau, dan menggigil tanpa kendali. Saya merasa sangat sedih karena kehilangan Yasuko, tetapi saya sudah berdamai dengan diri saya, karena didalam hati, saya tahu bahwa saya tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk menyelamatkannya. Kamu tidak boleh terlalu keras pada dirimu sendiri. Badai saat itu memang sangat buruk. Mengingat kondisimu saat itu, apa yang bisa kamu lakukan untuknya?”
Barangkali memang tidak ada. Begitulah kesimpulanku. Tetapi, tidak seperti Schoening, aku tidak akan pernah merasa yakin. Dan aku tidak bisa berbicara dengan perasaan damai sepertinya.

Mengingat begitu banyaknya pendaki dengan keahlian pas-pasan yang datang berbondong-bondong ke Everest akhir-akhir ini, banyak orang percaya bahwa tragedi besar seperti ini seharusnya terjadi lebih awal. Tetapi, tidak ada yang membayangkan bahwa tragedi tersebut justru menimpa sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Rob Hall. Hall menjalankan program yang paling teliti dan paling aman digunung tersebut, sama sekali tidak tertandingi. Sebagai pria yang sangat cermat, Rob Hall sudah mengembangkan berbagai sistem yang seharusnya bisa mencegah bencana seperti itu. Jadi, apa yang sebenarnya telah terjadi? Bagaimana semua itu bisa dijelaskan, bukan saja kepada orang-orang tercinta yang ditinggalkan, melainkan juga pada publik yang sangat kritis?
Kebanggaan yang berlebihan mungkin merupakan salah satu penyebabnya. Hall sudah sangat terlatih membawa pendaki dari berbagai tingkatan keahlian untuk mendaki dan menuruni Everest sehingga mungkin saja dia menjadi sedikit congkak. Hall kerap sesumbar bahwa dia bisa membawa siapapun asalkan orang tersebut cukup sehat, untuk mencapai puncak, dan catatan yang dia miliki mendukung pernyataannya. Dia juga memiliki kemampuan yang sangat mengagumkan untuk mengatasi berbagai masalah.
Pada 1995, misalnya, Hall dan para pemandunya bukan hanya mampu mengatasi masalah Hansen jauh dipuncak sana, mereka juga mampu menangani seorang klien lain yang pingsan bernama Chantal Mauduit, seorang pendaki ternama dari Prancis, yang mencoba menaklukkan Everest untuk ke tujuh kalinya tanpa dukungan oksigen. Mauduit jatuh pingsan pada ketinggian 28.700 kaki dan harus ditarik dan digotong sepanjang perjalanan dari Puncak Selatan sampai Jalur Selatan, “seperti sekarung kentang”, kenang Guy Cotter. Setelah semua anggota tim berhasil dipandu keluar dari wilayah puncak dalam keadaan hidup, mungkin Hall berpikir, tidak banyak masalah yang tidak mampu dia atasi.
Tetapi, sebelum musim pendakian pada 1996 ini, nasib baik Hall sangat ditunjang oleh kondisi cuaca, barangkali, itulah yang memengaruhi pertimbangannya. “Selama beberapa musim,” kata David Breashers, yang sudah lebih dari selusin kali ikut dalam ekspedisi Himalaya dan tiga kali mendaki Everest, “Rob selalu bernasib baik dan disambut cuaca yang bagus pada hari terakhir pendakian menuju puncak. Dia tidak pernah dihadang badai jauh diatas gunung. “Padahal, badai yang terjadi pada 10 Mei, meskipun kuat tetapi tidak luar biasa, serupa dengan badai-badai lain yang kerap terjadi di Everest. Seandainya badai tersebut pecah dua jam lebih lambat, kemungkinan besar tidak ada satu anggota tim pun yang tewas. Sebaliknya, jika badai tersebut pecah sejam lebih awal, dengan mudah dia bisa membunuh delapan belas atau dua puluh pendaki---termasuk diriku.
Jelas, waktu dan cuaca sangat memengaruhi terjadinya tragedi tersebut, dan mengabaikan waktu tidak bisa dianggap sebagai bencana alam. Dampak yang timbul karena mengabaikan beberapa batasan sebenarnya sudah bisa diduga, dan sangat mungkin dihindari. Waktu kembali yang sebelumnya sudah ditentukan secara mencolok telah diabaikan.
Keputusan mengulur waktu kembali turun gunung dalam beberapa tingkatan mungkin dipengaruhi oleh persaingan yang terjadi antara Fischer dan Hall. Sebelum tahun 1996, Fischer belum pernah memandu di Everest. Secara bisnis, Fischer menghadapi tekanan besar untuk berhasil. Dia sangat termotivasi untuk membawa klien-kliennya mencapai puncak, terutama klien selebritis seperti Sandy Hill Pittman.
Sebaliknya, karena Hall tidak berhasil membawa satu klien pun ke puncak pada ekspedisi 1995, bisnisnya pasti akan terpukul jika dia gagal lagi pada musim pendakian tahun 1996---terutama jika Fischer berhasil. Scott memiliki pribadi yang sangat karismatik, dan kharisma itu secara agresif dipasarkan oleh Jane Bromet. Fischer berusaha keras untuk mengambil alih bisnis Hall, dan Hall menyadari itu. Dalam kondisi demikian, membawa kliennya pulang sebelum mencapai puncak, sementara klien saingannya terus bergerak menuju puncak mungkin dirasa menyakitkan, sehingga memengaruhi pertimbangan Hall.
Selain itu, harus pula digaris bawahi, bahwa Hall, Fischer dan kami semua dipaksa untuk membuat keputusan-keputusan penting ketika kami sendiri hampir lumpuh karena hipoksia. Saat mempertimbangkan mengapa bencana seperti ini bisa terjadi, harus diingat bahwa pemikiran jernih tidak mungkin dilakukan pada ketinggian 29.000 kaki.
Pemikiran bijak dengan mudah mengemuka setelah bencana berakhir. Terguncang oleh banyaknya korban manusia, para kritikus dengan cepat mengusulkan sejumlah kebijakan dan prosedur yang bisa menjamin agar bencana yang terjadi pada musim ini tidak terulang lagi. Ada yang mengusulkan, misalnya, agar perbandingan satu pemandu untuk satu klien dijadikan aturan baku di Everest---artinya, setiap satu klien akan mendaki bersama satu pemandu pribadi dan terus terikat kepada pemandunya saat pendakian berlangsung.
Barangkali, melarang penggunaan tabung oksigen kecuali untuk kebutuhan medis darurat, bisa menghindari jatuhnya korban dalam jumlah besar selama pendakian. Segelintir orang yang cukup nekat mungkin masih akan tewas saat mencoba meraih puncak tanpa bantuan gas, tetapi sebagian besar pendaki yang keahliannya pas-pasan akan dipaksa turun oleh keterbatasan fisiknya sebelum mereka mendaki cukup tinggi dan tertimpa bencana. Selain itu, aturan yang melarang dipakainya gas oksigen akan memiliki dampak samping yang positif, yaitu secara otomatis mengurangi sampah dan jumlah pendaki, jumlah orang yang berupaya mendaki Everest akan jauh berkurang jika mereka tahu bahwa penggunaan oksigen dilarang.
Tetapi, memandu di Everest merupakan bisnis dengan aturan yang sangat longgar, dikelola oleh birokrasi negara Dunia Ketiga yang tidak mampu menaksir keahlian pemandu maupun klien. Selain itu, dua negara yang mengontrol akses ke puncak---Nepal dan Cina---merupakan negara-negara yang sangat miskin. Sebagai negara yang sangat membutuhkan devisa, pemerintah kedua negara tersebut memiliki kepentingan khusus untuk mengeluarkan izin pendakian sebanyak yang dibutuhkan oleh pasar, dan kecil kemungkinannya mereka akan menerapkan kebijakan yang akan sangat membatasi pemasukan devisa mereka.
Menganalisis kekeliruan yang sudah dilakukan di Everest barangkali cukup bermanfaat dan mungkin bisa mengurangi jumlah kematian. Tetapi, tidak benar jika kita berpikir bahwa mengulas secara terperinci peristiwa tragis yang terjadi pada 1996 bisa mengurangi kematian di masa depan. Mencatat kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi agar bisa “belajar dari kesalahan” sebagian besar hanya sekedar latihan untuk pengingkaran dan menipu diri sendiri. Mungkin Anda yakin bahwa Rob Hall tewas karena dia membuat serentetan kesalahan bodoh, dan Anda merasa terlalu pintar untuk mengulang kesalahan-kesalahan itu. Kalau memang demikian, akan lebih mudah bagi Anda mengambil keputusan mendaki Everest, ditengah bukti-bukti yang sulit disangkal bahwa upaya itu merupakan tindakan yang tidak bijaksana.
Kenyataannya, jumlah korban yang tewas pada 1996 dalam banyak hal hanyalah sekedar dampak dari sebuah bisnis seperti biasanya. Meskipun pendakian musim semi di Everest telah memakan sejumlah korban, dua belas korban yang tewas tersebut hanyalah 3 persen dari total 398 pendaki yang mendaki lebih tinggi dari Base Camp---artinya lebih kecil dari persentase kematian yang tercatat sepanjang sejarah, yaitu 3,3 persen. Dengan kata lain: antar tahun 1921 dan Mei 1996, jumlah pendaki yang tewas mencapai 144 orang dan puncak Everest sudah didaki sebanyak 630 kali---artinya perbandingan antara jumlah yang tewas dan yang berhasil sampai dipuncak mencapai satu berbanding empat. Musim semi lalu, 12 pendaki tewas dari 84 pendaki yang mencapai puncak---berarti satu berbanding tujuh. Dibandingkan dengan persentase rata-rata yang tercatat sejarah, pendakian pada 1996 sebenarnya lebih aman daripada angka rata-rata.
Perlu diingat, bahwa mendaki Everest merupakan kegiatan yang sangat berbahaya dan tidak diragukan akan selalu berbahaya, baik bagi para pendaki pemula yang dipandu, maupun bagi pendaki gunung kaliber dunia yang mendaki bersama rekan-rekan mereka. Perlu digaris bawahi, bahwa sebelum gunung tersebut menewaskan Hall dan Fischer, dia sudah menewaskan beberapa pendaki kelas dunia, termasuk Peter Boardman, Joe Tasker, Marty Hoey, Jake Breitenbach, Mick Burke, Michel Parmentier, Roger Marshall, Ray Genet dan George Leigh Mallory.
Dalam kasus pendaki yang dipandu, dengan cepat aku bisa mengamati selama pendakian 1996, bahwa beberapa klien yang berhasil mencapai puncak (termasuk diriku sendiri) benar-benar menyadari besarnya resiko yang dihadapi---tipisnya kemungkinan hidup manusia pada ketinggian diatas 25.000 kaki. Orang-orang awam yang terpelajar, yang bermimpi untuk mendaki Everest, harus selalu ingat bahwa jika sesuatu yang salah terjadi di Zona Kematian---dan cepat atau lambat kesalahan seperti itu akan terjadi---pemandu paling kuat didunia pun tidak akan mampu menyelamatkan nyawa kliennya; bencana 1996 bahkan menunjukkan bahwa pemandu terbaik dunia pun kadang-kadang tidak mampu menyelamatkan nyawanya sendiri. Empat dari rekan satu timku bukan tewas karena sistem yang diterapkan Rob Hall kurang aman---sesungguhnyalah, tidak ada sistem lain yang lebih baik---melainkan karena di Everest, sangat wajar sistem-sistem seperti itu diluluh lantakkan.
Ditengah ramainya perdebatan setelah bencana berakhir, orang dengan mudah melupakan fakta bahwa mendaki gunung tidak pernah menjadi sebuah kegiatan yang aman, yang bisa diduga dan berpegang pada aturan. Ini adalah aktivitas yang mendewakan resiko; sosok-sosok ternama dalam olah raga ini adalah mereka yang senang mempertaruhkan nyawa, dan mereka selamat. Para pendaki, sebagai sebuah kelompok, bukanlah orang-orang yang dikenal cermat dalam bertindak. Dan ini terutama berlaku bagi para pendaki Everest: ketika dihadapkan pada kesempatan untuk meraih puncak tertinggi didunia, sejarah menunjukkan bahwa secara sangat mengherankan, orang-orang mudah mengabaikan pertimbangan akal sehat. “Cepat atau lambat,” Tom Hornbein, seorang pendaki berusia tiga puluh tiga tahun sesaat setelah dia mendaki Lereng Barat, mengingatkan, “apa yang terjadi di Everest selama musim pendakian ini pasti akan terulang kembali.”
Pada 17 Mei, dua hari setelah tim ekspedisi Hall meninggalkan Base Camp, seorang pendaki Austria bernama Reinhard Wlasich dan rekannya seorang Hungaria, mendaki Everest melalui wilayah Tibet tanpa oksigen tambahan. Mereka sudah mendaki sampai ke perkemahan yang terletak di Lereng Tenggara pada ketinggian 27.230 kaki, dan menempati tenda-tenda yang ditinggalkan oleh pendaki Ladakh yang bernasib buruk. Keesokan harinya, Wlasich mengeluh sakit kemudian jatuh pingsan; seorang dokter Norwegia yang kebetulan ada ditempat itu menduga bahwa pendaki Austria itu menderita pembengkakan jantung dan otak. Meskipun sang dokter mencoba memberinya oksigen dan pengobatan, menjelang tengah malam Wlasich tewas.
Sementara itu, di lereng Everest yang terletak di wilayah Nepal, tim ekspedisi IMAX dipimpin David Breashers sedang berkumpul dan mempertimbangkan kembali pilihan-pilihan mereka. Setelah mengeluarkan 5,5 juta dolar untuk pembuatan film, mereka memutuskan untuk tetap berada digunung dan meneruskan upaya untuk mencapai puncak. Didukung oleh Breashers, Ed Viesturs dan Robert Schauer, tim IMAX merupakan tim yang paling tangguh dan paling kompeten yang ada digunung tersebut. Dan, meskipun mereka sudah menyumbangkan setengah dari persediaan oksigen yang mereka miliki untuk membantu upaya penyelamatan dan membantu para pendaki yang membutuhkan, mereka memperoleh cukup banyak gas dari tim-tim ekspedisi yang meninggalkan gunung dan bisa mengganti sebagian besar oksigen yang telah mereka sumbangkan.
Paula Barton Viesturs, istri Ed yang bertindak sebagai Manajer Base Camp untuk tim IMAX, sedang memantau radio ketika bencana pada 10 Mei terjadi. Sebagai teman baik Hall dan Fischer, dia benar-benar sedih; Paula menduga, setelah bencana yang mengerikan tersebut, tim IMAX otomatis akan membongkar tenda mereka dan pulang. Kemudian, tanpa sengaja dia mendengar percakapan antara Breashers dengan seorang pendaki lain, dan pemimpin IMAX itu dengan santai mengatakan bahwa tim mereka akan beristirahat sebentar di Base Camp sebelum melanjutkan pendakian menuju puncak.”
“Setelah semua yang terjadi, aku benar-benar tidak percaya bahwa mereka masih berniat kembali ke atas sana,” kata Paula. “Ketika mendengar pembicaraan radio itu, aku benar-benar bingung.” Dia sangat kesal sehingga dia meninggalkan Base Camp dan turun ke Tengboche untuk menenangkan diri selama lima hari.
Pada Rabu, 22 Mei, tim IMAX tiba di Jalur Selatan, disambut oleh cuaca yang baik; kemudian, malam itu juga mereka melanjutkan perjalanan ke puncak. Ed Viesturs, pemeran utama dalam film tersebut, mencapai puncak pada Kamis, pukul 11.00, tanpa oksigen tambahan(*1). Breashers tiba dua puluh menit kemudian, diikuti oleh Araceli Segarra, Robert Schauer dan Sherpa Jamling Norgay---putra pendaki kenamaan Tenzing Norgay dan anggota keluarga Norgay yang kesembilan yang berhasil mencapai puncak. Pada hari itu, enam belas pendaki berhasil mencapai puncak, termasuk pendaki Swedia yang mengendarai sepeda dari Stockholm ke Nepal, Goran Kropp dan Sherpa Ang Rita, yang mencapai puncak Everest untuk kesepuluh kalinya.
Dalam perjalanan menuju puncak, Viesturs melewati tubuh Fischer dan Hall yang sudah membeku. “Jean (istri Fischer) dan Jan (istri Hall) memintaku untuk membawakan barang-barang pribadi suami mereka,” kata Viesturs sedikit sungkan. “Aku tahu, Scott mengalungkan cincin kawin dilehernya dan aku ingin membawakannya untuk Jeannie, tetapi aku tidak tahan menggali disekitar tubuhnya. Aku tidak sanggup melakukannya.” Viesturs tidak membawa satu benda kenangan pun, dalam perjalanan menuruni gunung dia hanya menyempatkan diri untuk duduk selama beberapa menit disamping mayat sahabatnya. “”Hei Scott, apa kabar?” kenang Ed yang dengan sedih menceritakan pengalamannya. “Apa yang terjadi, Bung?”
Pada Jumat sore tanggal 24 Mei, ketika tim IMAX sedang turun dari Camp Empat menuju Camp Dua, diatas Jalur Kuning, mereka bertemu dengan sisa-sisa tim ekspedisi Afrika Selatan---Ian Woodall, Cathy O’Dowd, Bruce Herrod dan empat orang Sherpa---yang sedang menuju Jalur Selatan sebelum menuju puncak. “Bruce kelihatan kuat, dan wajahnya pun tidak tampak letih,” kenang Breashers. “Dia menjabat erat tanganku, memberi selamat pada kami semua, dan mengatakan bahwa dia merasa sehat. Setengah jam dibelakangnya, kami melihat Ian dan Cathy yang roboh diatas kapak es mereka dan tampak mengerikan---keduanya benar-benar kepayahan.
“Aku sengaja berhenti sebentar untuk bercakap-cakap dengan mereka,” tambah Breashers. “Aku tahu mereka tidak berpengalaman, jadi aku berpesan, “Tolong, hati-hatilah. Kalian sudah melihat apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini. Ingat, bahwa mendaki sampai puncak lebih mudah ketimbang turun.”
Malam itu juga, tim Afrika Selatan bergerak menuju puncak. O’Dowd dan Woodall meninggalkan perkemahan dua puluh menit setelah tengah malam ditemani Sherpa Pemba Tendi, Ang Dorje(*2) dan Jangbu, yang membawakan oksigen untuk mereka. Sepertinya Herrod meninggalkan perkemahan beberapa menit setelah tim utama, tetapi selama pendakian berlangsung dia semakin jauh tertinggal.  Hari Sabtu, tanggal 25 Mei, pukul 09.50, Woodall menelepon Patrick Conroy, operator radio di Base Camp, melaporkan bahwa dia sudah tiba dipuncak bersama Pemba, bahwa O’Dowd akan tiba lima belas menit kemudian bersama Ang Dorje dan Jangbu. Woodall juga mengatakan bahwa Herrod, yang tidak membawa radio, masih berada di lereng bawah, disatu tempat yang tidak diketahui.
Herrod yang kujumpai beberapa kali selama berada digunung adalah pria yang sangat ramah, usianya tiga puluh tujuh tahun, dan tubuhnya kukuh seperti beruang. Meskipun tidak berpengalaman mendaki gunung-gunung tinggi, Herrod seorang pendaki yang cukup kompeten, dan pernah tinggal selama delapan belas bulan didaerah kutub Antartika saat bekerja sebagai seorang ahli geofisika---dia pendaki yang lebih baik dibandingkan pendaki lain dalam tim Afrika Selatan. Sejak 1988, dia bekerja keras untuk menjadi seorang fotografer lepas yang sukses, dan berharap bahwa mencapai puncak Everest bisa menunjang kariernya.
Ternyata, saat Woodall dan O’Dowd sudah berada dipuncak, Herrod masih jauh tertinggal, dia masih berjuang keras sendirian untuk melewati Lereng Tenggara dengan kecepatan lambat dan membahayakan. Sekitar pukul 12.30 dia berpapasan dengan Woodall, O’Dowd dan tiga Sherpa yang sedang dalam perjalanan turun. Ang Dorje memberi Herrod sebuah radio dan menjelaskan dimana dia bisa menemukan tabung oksigen, kemudian Herrod meneruskan pendakian menuju puncak sendirian. Dia baru tiba dipuncak sore hari sekitar pukul 17.00, tujuh jam lebih lambat dari yang lain, dan saat itu, Woodall dan O’Dowd sudah kembali ditenda mereka di Jalur Selatan.
Secara kebetulan, ketika Herrod menghubungi Base Camp melalui radio, teman wanitanya, Sue Thompson, sedang menelepon Conroy di Base Camp melalui telepon satelit dari rumahnya di London. “Ketika Patrick mengatakan bahwa Bruce masih berada di puncak,” kenang Thompson, “aku terkejut, ‘Ya ampun! Bagaimana mungkin dia masih berada di puncak sesore ini---sekarang sudah jam lima lewat lima belas menit! Aku tidak suka kabar ini.”
Beberapa waktu kemudian Conroy meneruskan telepon Thompson kepada Herrod dipuncak Everest. “Suara Bruce terdengar waras, “ kata Thompson. “Dia sadar bahwa dia sangat terlambat, tetapi suaranya terdengar normal untuk orang yang berada pada ketinggian tersebut. Dia membuka masker oksigennya saat bicara. Napasnya pun tidak terdengar tersengal-sengal.”
Meskipun demikian, Herrod membutuhkan tujuh belas jam untuk mencapai puncak dari Jalur Selatan. Meskipun angin hampir-hampir tidak ada, awan mulai menyelimuti puncak dan cuaca dengan cepat berubah menjadi gelap. Berada sendirian di puncak dunia, sangat kelelahan, Herrod mungkin kehabisan oksigen, atau botolnya hampir kosong. “Berada disana sendirian pada jam selarut itu, tidak ditemani siapapun, merupakan perbuatan gila,” kata bekas rekan satu timnya, Andy de Klerk. “Benar-benar menakutkan.”
Herrod sudah berada di Jalur Selatan pada 9 Mei malam sampai tanggal 12 Mei. Dia mndengar sendiri ganasnya suara badai, mendengar permintaan tolong yang memelas melalui radio, melihat bagaimana Beck Weathers lumpuh karena gigitan hawa dingin. Sebelumnya, dalam perjalanan menuju puncak pada 25 Mei itu, Herrod juga melewati mayat Scott Fischer, dan beberapa jam kemudian, di Puncak Selatan dia juga pasti menemukan mayat Rob Hall. Tampaknya kedua sosok mayat itu sama sekali tidak menggugah perasaannya karena, meskipun dia mendaki dengan kecepatan lambat dan mengingat hari yang sudah cukup sore, Herrod memaksa untuk terus bergerak menuju puncak.
Tidak ada lagi hubungan radio dari Herrod setelah hubungan radio dari puncak pada pukul 17.15. “Kami menunggu panggilannya dari Camp Empat dengan radio yang terus dinyalakan,” O’Dowd menjelaskan dalam sebuah wawancara yang diterbitkan majalah Mail & Guardian di Johannesburg. “Kami sangat kelelahan dan akhirnya tertidur. Ketika aku terbangun keesokan harinya sekitar pukul 05.00 pagi dan dia belum juga menelepon, aku menyadari bahwa kami sudah kehilangan dia.”
Bruce Herrod sekarang dianggap sudah tewas, korban kedua belas selama pendakian musim semi 1996.
------------------------------------

(*1) : Viesturs pernah mendaki Everest pada 1990 dan 1991 tanpa bantuan oksigen. Pada 1994 dia mendaki untuk ketiga kalinya, bersama Rob Hall; dalam pendakian itu dia menggunakan oksigen botol karena dia memandu ke puncak dan dia berpendapat bahwa memandu tanpa oksigen merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab.
(*2) : sebuah catatan: Sherpa bernama Ang Dorje yang bekerja untuk tim Afrika Selatan tidak sama dengan Ang Dorje yang bekerja untuk tim Rob Hall

Into Thin Air --- Bab XX

                INTO THIN AIR
                      BAB XX
                GENEVA SPUR
                  12 MEI 1996,
    PUKUL 09.45 --- 25.900 KAKI

Satu manfaat besar yang dimiliki para pendaki yang tidak berpengalaman adalah dia tidak dihambat oleh tradisi atau oleh preseden. Baginya, semua hal tampak sederhana, dan dia memilih solusi langsung untuk semua permasalahan yang dihadapi. Kadang-kadang, tentu saja hal itu bisa menjauhkan sukses yang sedang dia cari, dan kadang-kadang berakibat sangat tragis, tetapi dia tidak menyadarinya saat memulai petualangannya. Maurice Wilson, Earl Denman, Klav Becker-Larsen---sama-sama tidak tahu banyak tentang mendaki gunung; seandainya mereka tahu, mereka tidak akan memulai upaya yang sia-sia tersebut, tetapi, meskipun kemampuan teknis mereka sangat terbatas, tekad yang kuat membawa mereka menempuh perjalanan yang jauh.

Walt Unsworth
Everest
------------------------------------

Minggu pagi 12 Mei, lima belas menit setelah meninggalkan Jalur Selatan, aku berhasil menyusul rekan satu timku yang sedang menuruni lereng Geneva Spur. Pemandangan yang menyedihkan: semua orang sudah sangat lemah, dan dibutuhkan waktu lama sebelum tim kami bisa melewati beberapa ratus kaki dan tiba dilereng tertutup es dibawah kami. Tetapi, yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa jumlah anggota tim kami telah berkurang: tiga hari sebelumnya saat kami melewati lereng ini, jumlah kami sebelas orang, namun sekarang kami hanya tinggal berenam.
Stuart Hutchison yang berjalan paling belakang masih berdiri diatas Geneva Spur saat aku berhasil menyusulnya, sedang bersiap-siap untuk turun melewati lintasan tali. Kulihat dia tidak memakai kacamata. Meskipun cuaca berawan, radiasi kuat ultraviolet yang dipantulkan oleh salju pada ketinggian ini bisa membutakan matanya. “Stuart!” teriakku mengatasi suara angin, sambil menunjuk pada kedua mataku. “Kacamatamu!”
“Oh ya,” katanya dengan suara lemah. “Terima kasih sudah diingatkan. Hei, karena kamu kebetulan ada disini, bisa tolong periksa tali harnessku? Aku sangat lelah sehingga tidak bisa lagi berpikir jernih. Aku akan sangat berterima kasih jika kamu bisa mengawasiku.” Ketika aku memeriksa tali harnessnya, aku melihat bahwa gesper pelana itu tidak terkunci dengan baik. Kalau dia mengaitkannya pada lintasan tali dengan menggunakan tali pengaman, pelana itu akan terlepas karena harus menahan berat tubuhnya, dan dia akan jatuh melewati Lhotse Face. Ketika hal itu kusampaikan kepadanya dia berkata, “Ya, aku pikir juga begitu, tetapi kedua tanganku terlalu kaku untuk bisa melakukannya.” Setelah melepaskan sarung tanganku ditengah cuaca yang sangat dingin, dengan cepat aku mengunci harness yang melingkar diseputar pinggangnya dan memintanya untuk segera menuruni Geneva Spur menyusul yang lain.
Pada saat mengaitkan tali pengaman ke jalur tali yang tersedia, Stuart melemparkan kapak esnya ke bawah, dan membiarkan kapak itu tergeletak diatas salju, kemudian mulai menuruni tali, “Stuart!” teriakku. “Kapak esmu!”
“Aku terlalu lelah untuk membawanya,” katanya berteriak. “Biarkan saja dia disana.” Aku sendiri sudah terlalu lemah sehingga aku tidak mau berdebat dengannya. Kubiarkan kapak itu tergeletak  disana, mengaitkan tubuhku pada lintasan tali dan kemudian mengikuti Stuart menuruni lereng Geneva Spur yang curam.
Satu jam kemudian kami tiba di puncak Jalur Kuning, sebuah hambatan yang sangat sulit, sehingga setiap pendaki harus ekstra hati-hati saat melewati tebing tertutup singkapan gamping dengan kemiringan yang hampir vertikal itu. Ketika aku sedang menunggu giliran dibelakang antrean, beberapa Sherpa dari kelompok Fischer berhasil menyusul kami. Lopsang Jangbu, yang sudah setengah gila karena sedih dan lelah, ada diantara mereka. Sambil meletakkan tanganku diatas bahunya, aku menyampaikan rasa bela sungkawa atas kepergian Scott. Lopsang memukuli dadanya dan sambil terisak dia berkata, “Aku memang sial, sangat sial. Scott mati, itu salahku. Aku pembawa sial. Itu salahku. Aku sangat sial.”

Aku berjalan lunglai memasuki Camp Dua pada pukul 13.30. Meskipun secara rasional tempat ini masih sangat tinggi---21.300 kaki---tetapi keadaan disini berbeda dengan di Jalur Selatan. Angin pembawa bencana sudah sepenuhnya reda. Aku tidak lagi menggigil dan mencemaskan gigitan salju, sebaliknya tubuhku basah karena keringat akibat matahari yang bersinar terik. Sepertinya, aku tidak lagi harus berjuang mempertahankan hidup dengan bergantung pada sehelai benang yang rapuh.
Tenda utama kami sudah diubah menjadi semacam rumah sakit darurat yang ditangani oleh Henrik Jessen Hansen, seorang dokter warga Denmark dari tim Mal Duff, dan Ken Kamler, seorang klien sekaligus dokter warga Amerika dari tim Burleson, yang bertindak sebagai staf. Pukul 15.00, ketika aku sedang minum secangkir teh, enam Sherpa tiba dengan membawa Makalu Gau yang tampak linglung ke dalam tenda, yang langsung ditangani oleh kedua dokter tersebut.
Dengan cepat mereka membaringkan Gau, melepaskan pakaiannya, dan memasukkan infus melalui lengannya. Saat mengamati tangan dan kakinya yang membeku dan berwarna putih gelap seperti bak cuci kamar mandi yang kotor, Kamler berkata dengan suara murung, “Gigitan salju yang paling buruk yang pernah aku lihat.” Ketika Kamler meminta ijin pada Gau untuk memotret lengan dan kakinya untuk catatan medis, pendaki Taiwan itu mengangguk sambil tersenyum lebar; seperti serdadu yang menunjukkan luka bekas pertempuran, dia tampak bangga dengan luka mengerikan yang dideritanya.
Sembilan puluh menit kemudian, kedua dokter tadi masih menangani Makalu ketika suara David Breashers terdengar melalui radio: “Kami sedang dalam perjalanan turun bersama Beck. Kami akan tiba di Camp Dua malam ini juga.”
Beberapa detik berlalu sebelum aku sadar bahwa Breashers tidak membawa sesosok mayat; dia dan rekan-rekannya sedang membawa Beck yang masih hidup. Aku tidak percaya. Ketika aku meninggalkan Beck di Jalur Selatan tujuh jam yang lalu, aku takut dia tidak bisa bertahan hidup sampai esok hari.
Meskipun dianggap sudah mati, sekali lagi Beck tidak mau menyerah. Belakangan aku mendapat penjelasan dari Pete Athans bahwa sesaat setelah mendapat suntikan dexametason, warga Texas itu secara mengagumkan pulih dengan cepat. “Sekitar pukul sepuluh malam kami membantunya mengenakan pakaian, memasang tali pelana, dan mendapati bahwa dia masih mampu berdiri dan berjalan. Kami semua benar-benar kagum.”
Mereka memutuskan untuk turun dari Jalur Selatan, membiarkan Athans berjalan langsung didepan Beck, dan menunjukkan dimana dia harus meletakkan kakinya. Beck meletakkan tangannya dibahu Athans, sementara Burleson memegang kuat-kuat tali pelananya dari belakang. Perlahan-lahan dan hati-hati mereka menuruni lereng. “Beberapa kali kami harus menggendongnya,” kata Athans, “tetapi selebihnya dia mampu bergerak dengan baik.”
Pada ketinggian 25.000 kaki, dipuncak lereng Jalur Kuning yang tertutup singkapan lempung, mereka disambut oleh Ed Viesturs dan Robert Schauer yang secara efisien membantu membawa Beck melewati lereng yang curam tersebut. Di Camp Tiga mereka dibantu oleh Breashers, Jim William, Veikka Gustaffson dan Araceli Segarra; kedelapan pendaki yang masih sehat itu mengusung Beck yang sudah setengah lumpuh menuruni Lhotse Face, relatif lebih cepat dari waktu yang kami butuhkan saat menuruni lereng yang sama tadi pagi.
Waktu aku mendengar bahwa Beck sedang dalam perjalanan turun, aku berjalan ke tendaku, dengan letih mulai memakai sepatuku, dan berjalan mendaki untuk menyongsong regu penyelamat, berharap bisa bertemu mereka dikaki Lhotse Face. Dua puluh menit diatas Camp Dua, aku sangat terkejut ketika bertemu mereka. Meskipun tubuhnya diikatkan pada pendaki lain melalui seutas tali pendek, Beck masih bisa berjalan sendiri. Breashers dan rekan-rekannya membawa Beck menuruni gletser dengan kecepatan tinggi, sehingga dalam kondisiku yang masih  sangat lemah, aku hampir-hampir tidak mampu mengikuti mereka.
Beck dibaringkan disamping Gau ditenda rumah sakit, dan para dokter mulai melepaskan pakaiannya. “Ya Tuhan!” dr.Kamler berseru setelah mengamati tangan kanan Beck. “Gigitan salju yang dideritanya lebih parah dari Makalu.” Tiga jam kemudian, ketika aku merangkak ke dalam kantong tidurku, para dokter dengan sangat hati-hati masih merendam lengan dan kaki Beck didalam belanga berisi air hangat, bekerja dibawah sorotan sinar lampu kepala mereka.
Keesokan harinya---Senin, pada 13 Mei---sesaat setelah matahari terbit, aku meninggalkan perkemahan, berjalan sejauh dua setengah mil melewati celah Cwm Barat yang dalam menuju mulut Jeram Es. Ditempat itu, sesuai instruksi radio dari Guy Cotter yang berada di Base Camp, aku mencari wilayah datar yang bisa menjadi tempat pendaratan helikopter.
Beberapa hari sebelumnya, dengan menggunakan telepon satelit, Cotter bekerja keras mengatur evakuasi helikopter dari kaki Cwm, agar Beck tidak perlu melewati lintasan tali dan tangga-tangga alumunium di sekitar Jeram Es yang sangat berbahaya dan pasti menyulitkan bagi tangannya yang terluka hebat. Mendaratkan helikopter di Cwm pernah dilakukan dua kali, yaitu pada 1973, ketika sebuah tim ekspedisi Italia menggunakan dua helikopter untuk membawa perbekalan dari Base Camp. Meskipun demikian, evakuasi seperti itu memang sangat berbahaya, tepat di ambang batas kemampuan pesawat, dan salah satu dari dua helikopter milik tim Italia tersebut kemudian jatuh diatas gletser. Dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun setelah kejadian itu, pendaratan diatas jeram es tidak pernah lagi dilakukan.
Tetapi Cotter cukup gigih, dan Kedutaan Amerika ikut membujuk angkatan bersenjata Nepal untuk mencoba melakukan upaya penyelamatan dengan helikopter diatas Cwm. Sekitar pukul 08.00, sebelum aku berhasil menemukan landasan helikopter ditengah bongkahan serac yang memenuhi mulut Jeram Es, suara Cotter tiba-tiba terdengar melalui radioku: “Helikopter sedang dalam perjalanan Jon, dan sewaktu-waktu akan tiba ditempatmu. Kamu harus secepatnya menemukan tempat untuk mendarat.” Berharap bisa menemukan medan yang cukup datar diatas gletser, dengan cepat aku berlari menyongsong Beck yang sedang menuruni Cwm, tubuhnya terikat tali di bantu oleh Athans, Burleson, Gustaffson, Breashers, Viesturs dan anggota tim IMAX yang lain.
Breashers yang kerap bekerja menggunakan helikopter sepanjang masa kariernya yang panjang dan gemilang didunia film, dengan cepat menemukan sebuah tempat pendaratan yang diapit oleh dua celah besar pada ketinggian 19.860 kaki. Aku mengikat sehelai kain kata terbuat dari sutra pada sepotong bambu untuk menunjukkan arah angin, sementara Breashers---menggunakan sebotol Kool-Aid warna merah---membuat huruf X besar diatas salju ditengah lokasi pendaratan. Beberapa menit kemudian, Makalu Gau mulai tampak, tubuhnya diikat tali plastik, ditarik oleh setengah lusin Sherpa menuruni gletser. Beberapa saat kemudian, kami mendengar suara baling-baling helikopter yang berputar cepat ditengah udara yang tipis.
Pesawat helikopter jenis Tupai-B2 warna hijau militer yang dikemudikan oleh Letkol. Madan Khatri Chhetri dari angkatan bersenjata Nepal---dengan bahan bakar dan peralatan yang minimal---mencoba melakukan dua kali pendaratan, tetapi pada detik terakhir selalu gagal. Pada percobaan ketiga, dengan disertai goncangan keras, Madan berhasil mendaratkan badan pesawat diatas gletser dengan ekor helikopter tergantung diatas celah gletser yang sangat dalam. Membiarkan baling-baling helikopternya berputar dengan kekuatan penuh dan mata yang tidak pernah lepas dari panel pengendali, Madan menaikkan salah satu jarinya, artinya, dia hanya bisa membawa satu penumpang; pada ketinggian seperti ini, setiap kilogram berat tambahan bisa membuat pesawat jatuh saat mengudara.
Karena kedua kaki Gau yang terkena gigitan salju sudah dihangatkan di Camp Dua, dia sama sekali tidak bisa berjalan atau berdiri, sehingga Breashers, Athans dan aku setuju untuk mendahulukan evakuasi pendaki Taiwan tersebut. “Maaf,” teriakku pada Beck mengatasi jerit suara mesin helikopter. “Mudah-mudahan nanti dia bisa melakukan pendaratan yang kedua.” Beck mengangguk penuh pengertian.
Kami mengangkat Gau ke samping helikopter, perlahan-lahan helikopter itu naik ke udara. Begitu Madan berhasil mengangkat tubuh pesawat dari atas permukaan gletser, dengan cepat dia mendorong badan pesawatnyake depan, dan terjun seperti batu melewati bibir Jeram Es, lalu menghilang ke dalam kegelapan lembah. Sebuah keheningan yang berat menyelimuti Cwm.
Tiga puluh menit kemudian kami masih berdiri diseputar zona pendaratan, membahas bagaimana menurunkan Beck, ketika kami mendengar suara samar desing baling-baling helikopter yang datang dari lembah dibawah kami. Perlahan-lahan suara itu bertambah keras dan terus bertambah keras, dan akhirnya helikopter kecil berwarna hijau itu mulai tampak. Madan menerbangkan pesawatnya sedikit melewati jalur Cwm kemudian berbalik sehingga moncong pesawat mengarah ke lereng yang menukik curam. Kemudian, tanpa ragu-ragu, dia mendaratkan kembali pesawatnya diatas tempat pendaratan. Dengan cepat, Breashers dan Athans mengangkat Beck ke dalam badan pesawat. Beberapa detik kemudian helikopter itu mengudara, terbang melintasi Bahu Barat Everest seperti capung metal yang ajaib. Sejam kemudian, Beck dan Makalu Gau tiba di Rumah Sakit Kathmandu.
Setelah tim penyelamat bubar, aku duduk beberapa saat diatas salju, menatap sepatuku, mencoba memahami apa yang telah terjadi selama tujuh puluh dua jam terakhir. Bagaimana mungkin semuanya bisa berubah menjadi kacau? Bagaimana mungkin Andy, Rob, Scott, Doug dan Yasuko bisa benar-benar tewas? Tetapi, betapapun kerasnya aku berpikir, jawabannya tidak pernah kutemukan. Dahsyatnya bencana ini melebihi apapun yang pernah kubayangkan, sehingga otakku menolak untuk bekerja dan menjadi gelap. Aku melepaskan harapan untuk bisa memahami rentetan peristiwa yang telah terjadi, mengambil ranselku dan berjalan menuruni Jeram Es yang dinginnya mampu menyihirku, perasaanku cemas seperti seekor kucing, dan untuk terakhir kalinya melewati jalan berliku yang di penuhi serac es yang sedang hancur.